Bagaimana Etnis dan Budaya Memengaruhi Kemampuan Bermain Game Esports

Pemain esports profesional, Lee “Fearless” Eui-seok menceritakan pengalamannya terkait rasisme yang dia alami selama dia tinggal di Amerika Serikat melalui sebuah video singkat. Lee merupakan pemain Overwatch League asal Korea Selatan. Dia sempat bermain untuk Shanghai Dragons sebelum dia pindah ke Dallas Fuel yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat.

“Tinggal di sini sebagai orang Asia itu menakutkan,” kata Lee, seperti dikutip dari The Washington Post. “Banyak orang yang sengaja mencari masalah dengan kami. Setiap mereka melihat kami, mereka selalu mendatangi kami. Bahkan ada orang yang batuk ke arah kami. Kali ini adalah pertama kalinya saya merasakan rasisme. Dan rasisme di sini… cukup parah. Mereka mencoba menakut-nakuti kami — banyak dari mereka mencoba untuk membuat kami takut.”

Padahal di AS, ada banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Korea Selatan. Menurut Yahoo, lebih dari setengah pemain di Overwatch League berasal dari Korea Selatan. Selain Korea Selatan, Tiongkok menjadi negara Asia lain yang banyak menelurkan pemain esports berbakat.

 

Kenapa Banyak Gamer Profesional yang Berasal dari Asia?

Jumlah gamers profesional yang muncul di satu negara tergantung pada seberapa besar komunitas gamers di negara tersebut. Semakin banyak jumlah gamers di sebuah negara, semakin besar pula kesempatan negara itu punya pemain-pemain esports berbakat. Begitu juga dengan Korea Selatan dan Tiongkok. Mereka bukannya punya susunan genetik khusus yang membuat warganya punya Actions Per Minute (APM) yang tinggi. Hanya saja, budaya di kedua negara itu memang mendukung pertumbuhan industri gaming.

PC bang banyak ditemukan di Korea Selatan. | Sumber: Wikipedia

Korea Selatan adalah negara yang padat. Jadi, jumlah tanah lapang yang bisa digunakan oleh anak-anak dan remaja untuk bermain bola atau olahraga lainnya terbatas. Sebaliknya, warnet — yang disebut PC bangs — justru menjamur. Seperti yang disebutkan oleh InvenGlobal, di Korea Selatan, dalam satu bangunan, terkadang ada lebih dari satu PC bang. Selain itu, biaya untuk bermain di PC bang juga terjangkau. Alhasil, banyak anak-anak SMA yang bermain game untuk melepas penat.

Tak hanya itu, keterbatasan lahan juga memengaruhi pertumbuhan bisnis di Korea Selatan. Karena lahan terbatas, maka perusahaan di Korea Selatan biasanya fokus pada industri dengan teknologi canggih yang membutuhkan pekerja dengan edukasi tinggi. Jadi, jangan heran jika 70% lulusan SMA di Korea Selatan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Dan hal ini menumbuhkan budaya kompetitif di tengah masyarakat Korea Selatan, termasuk di kalangan para siswa SMA.

Tak hanya itu, nilai seorang murid bahkan bisa menentukan lingkaran pergaulannya. Pasalnya, di Korea Selatan, murid-murid yang ada di level yang sama akan cenderung berkumpul bersama. Satu hal yang unik, walau para murid membentuk kelompok pertemanan sendiri-sendiri, mereka juga saling bersaing dengan satu sama lain. Perilaku kompetitif ini juga tercermin dalam diri para gamers. Walau seorang gamer di Korea Selatan mengatakan bahwa dia tidak peduli pada rank, pada akhirnya, dia tetap akan berusaha untuk bisa menjadi juara. Dan budaya kompetitif inilah yang mengasah kemampuan para pemain esports profesional asal Korea Selatan.

Bahkan setelah menjadi atlet esports profesional sekalipun, semangat kompetitif seorang gamer Korea Selatan tak padam. Dan mereka tidak hanya bersaing dengan atlet esports dari tim lawan, tapi juga dengan rekan satu tim mereka sendiri. Para pemain esports Korea Selatan juga punya dedikasi tinggi. Jika dibandingkan dengan tim dari kawasan lain, tim Korea Selatan biasanya rela untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih. Semua faktor inilah yang menjadi alasan mengapa ada banyak pemain profesional berbakat yang datang dari Korea Selatan.

Gamers Tiongkok biasanya kompetitif. | Sumber: Asia Times

Budaya gaming di Tiongkok sedikit mirip dengan budaya gaming di Korea Selatan. Gamers di kedua negara itu sama-sama menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial dan punya semangat kompetisi yang tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Quantic Foundry dan Niko Partners, gamers asal Tiongkok cenderung lebih kompetitif dari gamers asal Amerika Serikat. Dari survei yang dirilis pada awal 2019 itu, diketahui bahwa salah satu motivasi utama bagi gamers Tiongkok untuk bermain game adalah Completion, yaitu ketika mereka harus mengumpulkan poin/trofi dan menyelesaikan berbagai task/quest. Faktor lain yang memotivasi gamers Tiongkok adalah kompetisi.

Hal lain yang membedakan gamer Tiongkok dengan gamer AS adalah motivasi gamers Tiongkok cenderung tidak berubah, meski umur mereka bertambah. Di AS, semakin berumur seorang gamer, minatnya untuk bersaing dengan pemain lain juga akan turun. Sementara di Tiongkok, umur gamer tak punya dampak signifikan pada semangat mereka untuk berkompetisi, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.

 

Bagaimana dengan Stereotipe di Indonesia?

Indonesia juga punya budaya gaming yang khas. Hal ini juga memunculkan tren tertentu di kalangan pemain esports profesional. Salah satunya, di awal era kemunculan esports pada tahun 2000-an, kebanyakan pemain esports PC adalah warga keturunan Tionghoa. Menurut pengamatan Editor in Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, yang sudah melanglang buana di dunia jurnalisme gaming selama ratusan belasan tahun, tren ini muncul karena gaya asuh orangtua dari keluarga Tionghoa yang unik. Biasanya, mereka cenderung lebih suka jika anak mereka diam di rumah. Dan untuk itu, mereka rela memfasilitasi anak mereka dengan PC atau konsol. Alhasil, anak-anak dari keluarga keturunan Tionghoa sudah familier dengan game sejak mereka kecil. Jadi, tidak heran jika ketika mereka beranjak dewasa, mereka tertarik untuk menjadi pemain profesional.

Sekarang, tren ini sudah mulai berubah. Game tak lagi menjadi hobi mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Perubahan tren ini terjadi berkat kemunculan mobile game. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol, harga smartphone lebih murah. Jadi, jumlah orang yang bisa membeli smartphone pun jauh lebih banyak. Buktinya, secara global, penjualan Sony PlayStation 4 hanya mencapai 112,3 juta unit. Sementara menurut Katadata, jumlah pengguna smartphone di Indonesia pada 2019 mencapai 63% dari total populasi, atau sekitar 170 juta orang. Karena smartphone bisa didapatkan dengan lebih mudah, jumlah gamers di Indonesia pun meroket. Alhasil, semakin banyak orang-orang yang punya kesempatan untuk menjadi pemain esports.

Penetrasi smartphone di Indonesia. | Sumber: Kata Data

Salah satu tren yang ada di Indonesia saat ini adalah kebanyakan pemain  esports profesional berasal dari pulau luar Jawa. Sebelum ini, kami bahkan sempat membahas bahwa sejak Mobile Legends Professional League Season 1 sampai Season 4, selalu ada pemain asal Pontianak yang jadi juara. Sekali lagi, tren ini muncul bukan karena orang-orang dari Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, Maluku, atau Papua susunan genetik khusus yang membuat mereka menjadi lebih jago dalam bermain game dari gamers asal Jawa.

Tren tersebut muncul karena faktor lingkungan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia cenderung fokus pada pulau Jawa. Alhasil, Jawa dipenuhi dengan berbagai tempat hiburan, mulai dari mall sampai kedai kopi kekinian. Buktinya, jumlah mall di Pulau Jawa jauh lebih banyak dari pusat perbelanjaan di luar Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 650 pusat perbelanjaan di Indonesia pada 2019. Dan Jawa punya 395 pusat perbelanjaan, lebih dari setengah total mall di Indonesia. Sebagai perbandingan, Sumatera hanya punya 113 pusat perbelanjaan, Bali dan Nusa Tenggara 30 mall, Kalimantan 42 mall, serta Papua dan Maluku 20 mall.

Persebaran mall di Indonesia. | Sumber: BPS

Tak hanya itu, tujuh mall terbesar di Indonesia, semuanya terletak di Pulau Jawa. Sebanyak empat mall terbesar ada di Jakarta, dua lainnya ada di Surabaya, dan yang terakhir ada di Yogyakarta. Berikut data tujuh mall terbesar di Indonesia berdasarkan pada total luas lantai yang disewakan (NLA), menurut data dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI).

1. Mal Pakuwon – Surabaya
2. Tunjungan Plaza – Surabaya
3. Summarecon Kelapa Gading – Jakarta
4. Grand Indonesia – Jakarta
5. Mal Taman Anggrek – Jakarta
6. Central Park – Jakarta
7. Hartono Mall – Yogyakarta

Lalu apa korelasi antara jumlah mall di sebuah pulau dengan kemampuan para gamers yang tinggal di pulau tersebut? Sederhana saja. Karena jumlah mall di luar Jawa terbatas, hal itu berarti tempat hiburan yang bisa dijangkau oleh masyarakat di sana juga terbatas, apalagi untuk remaja yang hanya berbekal uang saku dari orangtua. Jadi, tidak aneh jika mereka menghabiskan lebih banyak waktu luang mereka untuk bermain game. Seperti kata pepatah, bisa karena terbiasa. Ketika seseorang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game, tentunya kemampuannya pun jadi lebih baik.

Tren terkait etnis tidak hanya muncul di kalangan pemain profesional, tapi juga  di level pemilik organisasi esports. Di Indonesia, kebanyakan pemilik organisasi esports adalah keturunan Tionghoa. Hal ini masih ada kaitannya dengan fakta bahwa pada awal kemunculan esports, sebagian besar pemain profesional merupakan keturunan Tionghoa. Biasanya, salah satu alasan seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia memang punya passion di dunia competitive gaming, seperti Gary Ongko, pemilik dari BOOM Esports. Motivasi lain seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia pernah menjadi atlet esports, contohnya Richard Permana dari NXL.

 

Apa Pentingnya Membahas Rasisme di Esports?

Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports lebih inklusif. Pasalnya, esports tidak mengadu kekuatan fisik. Jadi, idealnya, hampir semua orang bisa ikut serta dalam esports. Sayangnya, esports masih belum bebas dari diskriminasi, baik yang didasarkan atas ras maupun gender. Belum lama ini, Gabriel “NTX” Garcia, pemain PUBG Mobile Pro League (PMPL) di Brasil terkena larangan bermain selama satu tahun karena membuat komentar rasis. Dia adalah pemain PMPL Brasil kedua yang terkena hukuman karena membuat komentar rasis. Sebelum itu, Lucas “Goodzin” Martins melakukan kesalahan yang sama.

Diskriminasi karena ras juga dialami oleh pemain Asia, seperti yang terjadi pada Lee “Fearless” Eui-seok. Sayangnya, perlakuan rasis juga bisa terjadi dalam turnamen. Misalnya, di turnamen Dota 2 Minor pada 2018. Dalam pertandingan antara tim asal Amerika Utara, Complexity Gaming dan tim asal Tiongkok, Royal Never Give-Up, pemain Complexity, Andrei “skem” Ong membuat komentar rasis, memanggil pemain RNG dengan sebutan “Ching chong”. Hal ini mendorong ImbaTV — platform streaming yang menyiarkan turnamen DreamLeague di Tiongkok — untuk protes pada DreamHack dan Valve.

Komentar rasis dari Kuku. | Sumber: The Esports Observer

Komentar rasis juga terkadang muncul dari sesama pemain esports Asia. Beberapa hari setelah kasus Ong, pemain TNC asal Filipina, Carlo “Kuku” Palad membuat komentar serupa, lapor The Esports Observer. Palad lalu dikenakan sanksi oleh TNC, yang membuat pernyataan resmi terkait hal itu di Weibo dan Facebook.

Rasisme adalah masalah yang harus diatasi. Pasalnya, ia bisa menyebabkan banyak masalah, baik pada individual yang menjadi korban rasisme ataupun sebuah komunitas. Bagi orang-orang yang menjadi korban, rasisme bisa membuat mereka merasa marah dan bahkan depresi. Selain itu, mereka juga akan selalu khawatir mereka akan diserang, baik secara verbal dan fisik. Dan hal ini bisa berdampak buruk pada komunitas, seperti merusak kepercayaan antar anggota komunitas.

Di dunia esports, rasisme tak hanya merugikan orang-orang yang menjadi target diskriminasi, tapi juga pihak publisher. Pasalnya, perilaku para gamers — apalagi pemain profesional — bisa menjadi cerminan dari reputasi sebuah game. Tak tertutup kemungkinan, komunitas yang toxic membuat orang-orang enggan untuk mencoba bermain sebuah game. Selain itu, jika publisher tidak menangani masalah rasisme dengan serius, hal ini bisa membuat para pemain melakukan protes. Mereka juga bisa memutuskan untuk tidak mendukung sebuah publisher dengan tidak membeli item dalam game, yang akan menyebabkan penurunan pemasukan publisher.

 

Kesimpulan

Di dunia olahraga tradisional, sempat muncul mitos yang menyebutkan bahwa orang-orang berkulit hitam memang punya susunan genetik yang unik, memungkinkan mereka unggul di bidang olahraga. Teori ini dipercaya oleh masyarakat Amerika Serikat pada 1991. Namun, pada 1971, sosiolog AS keturunan Afirka, Harry Edwards mengungkap bahwa kepercayaan ras memengaruhi kemampuan fisik seseorang merupakan teori yang rasis.

Sementara berdasarkan studi, kemampuan olahraga seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh susunan genetik mereka, tapi juga faktor lingkungan. Dan hal ini terbukti di dunia esports. Korea Selatan menelurkan banyak pemain esports berbakat karena keadaan di negara itu memang mendukung budaya gaming yang kompetitif. Sementara di Indonesia, gamers di luar Jawa cenderung lebih jago karena kemungkinan, mereka memang menginvestasikan lebih banyak waktunya untuk berlatih.

Melihat Perkembangan Penggunaan Data Statistik di Esports

Sains dan data statistik mungkin bisa dibilang sudah menjadi sesuatu yang lekat dengan perkembangan industri olahraga. Bahkan, keputusan memisahkan pertandingan olahraga perempuan dengan laki-laki saja didasarkan penelitian saintifik. Lalu apabila kita mencerminkan perkembangan esports dari perkembangan olahraga, pertanyaannya, bagaimana perkembangan “esports science”?

Dalam artikel ini kita tidak akan membahas terlalu jauh, kita akan fokus pada perkembangan data statistik esports terlebih dulu, baik di luar negeri atau lokal Indonesia. Namun sebelum itu, mari saya jelaskan terlebih dahulu kenapa data statistik itu penting bagi perkembangan olahraga.

 

Moneyball: Ketika Data Statistik Membawa Tim Olahraga Lebih Maju Satu Langkah

Dalam industri olahraga, mengumpulkan data statistik permainan untuk mengukur performa pemain sudah umum dilakukan. Setelah dikumpulkan, data statistik tersebut biasanya digunakan untuk berbagai macam hal.

Dari sisi B2C (Business-to-Consumer), data dapat digunakan penonton untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap kondisi yang terjadi dari suatu pertandingan. Dari sisi B2B (Business-to-Business), data biasanya digunakan oleh tim sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, seperti aspek apa yang harus diperbaiki dari satu pemain, atau mungkin pertimbangan saat akan membeli pemain baru, dan lain sebagainya.

Karena hal tersebut, data pun jadi penting bagi perkembangan industri olahraga, bahkan berkembang menjadi lini bisnis tersendiri. Istilah atau konsep moneyball mungkin bisa jadi salah satu contoh bagaimana pentingnya data statistik bagi perkembangan industri olahraga.

Konsep moneyball pertama kali datang dari olahraga Baseball, tepatnya dari pendekatan yang dilakukan manajer Oakland Athletic yaitu Billy Beane dalam membangun roster tim yang berbasis data analitik pada awal tahun 2000an. Dalam kisahnya yang tertulis dalam bentuk novel dan dijadikan film, Billy Beane bukan sekadar menggunakan data-data yang umum digunakan. Billy juga mencoba membongkar kebiasaan yang sudah lama terpatri dan mencoba melihat ke perspektif lain dengan menganalisa data-data yang justru tergolong undervalue pada masa itu.

Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Diikutip dari Beritasatu.com
Pada masanya, tim baseball biasanya hanya melihat statistik persentase keberhasilan memukul bola saja | Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Dikutip dari jakartaglobe.com

Tim baseball pada zaman itu biasanya hanya melihat data-data yang umum saja, contohnya seperti persentase keberhasilan pemain memukul bola. Karenanya pemain dengan statistik di bidang tersebut biasanya punya nilai transfer yang tinggi.

Oakland Atheltic, dengan dana yang tidak seberapa, mencoba menganalisis lebih dalam dan mencari data statistik yang kurang dihargai. Dalam moneyball, data yang jadi contoh adalah keberhasilan pemain mencapai base. Karena kurang dihargai, pemain dengan statistik tersebut cenderung punya nilai transfer yang rendah.

Setelah melalui berbagai analisa yang dilakukan manajemen, akhirnya Oakland Athletic pun mencoba mengambil jalan berisiko dengan analisis tersebut dan berhasil mencapai prestasi luar biasa. Mengutip dari wikipedia, Oakland Athletics diestimasi hanya mengeluarkan dana sebesar US$44 juta untuk gaji pemain. Namun mereka tampil sangat kompetitif dibanding tim yang lebih kuat finansialnya di zaman itu, yaitu New York Yankees yang mengeluarkan dana sebesar US$125 juta untuk gaji pemain di musim yang sama.

Maka dari itu, Moneyball sendiri secara umum sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk pengambilan keputusan yang berbasis kepada data. Tetapi secara khususnya, mencari data yang tergolong undervalue namun berpotensi tinggi di masa depan. Pada perkembangannya, bukan hanya baseball saja yang menggunakan data statistik dalam mengembail keputusan tertentu. Pada video di atas, ada pesepakbola N’Golo Kante sebagai contohnya.

Pada awal masa karirnya, ia bermain untuk klub asal Prancis, FC Caen. Saat bermain di tim tersebut, tidak banyak yang sadar bahwa ia adalah pemain yang berpotensi. Sampai akhirnya datanglah Leicester City melihat potensi Kante dari statistik Tackles per Game, Interceptions per Game, dan Clearance per Game. Leicester City membeli Kante seharga 7,65 juta Poundsterling tahun 2015 dan berhasil menjuarai Barclays Premier League di musim 2015/2016. Pasca kemenangan tersebut, nilai transfer Kante meningkat drastis, sehingga Chelsea merekrut dirinya dengan harga 35 Juta Poundsterling di tahun 2016.

Pengantar di atas memperlihatkan bagaimana data statistik digunakan di industri olahraga. Lalu bagaimana dengan esports?

 

Kabar Data Statistik Esports: Butuh Peran Aktif Pihak Pertama?

Sifat alami esports adalah kompetisi permainan yang disajikan lewat medium digital. Menariknya, walau sifat alami esports adalah permainan digital, perkembangan data statistik sebagai ranah bisnis di esports justru malah bisa dikatakan sebagai ladang baru yang masih hijau.

Namun demikian, ada alasan tersendiri kenapa data statistik di esports masih bisa dikatakan sebagai ranah “blue ocean”. Dari ranah game mobile kompetitif misalnya, Moonton (publisher Mobile Legends: Bang Bang) diwakili oleh Azwin Nugraha selaku PR Manager sempat mengatakan, bahwa alasan perkembangan esports science tergolong pelan salah satunya adalah karena perbedaan prioritas. Lebih lanjut, Azwin juga menjelaskan bahwa Moonton sendiri masih sedang membangun kapabilitas tim mereka untuk dapat memproduksi liga yang lebih berkelas lagi secara pelan-pelan.

Di luar dari apa yang dijelaskan oleh Azwin dari sudut pandang mobile gaming, bisnis data statistik justru tergolong berkembang dengan cukup cepat dari sudut pandang esports game PC terutama di negara-negara barat. Menurut opini saya, setidaknya ada tiga faktor yang mungkin jadi alasan atas perkembangan hal tersebut.

Sumber: MPL Indonesia
Di tengah perkembangan pesat dari esports game mobile, kehadiran data statistik yang detil menjadi salah satu hal yang cukup didamba-damba beberapa pihak. Sumber: MPL Indonesia

Pertama, pengembangan API yang dapat menjembatani sisi teknis pihak pertama (game developer) dengan pihak ketiga (pelaku bisnis data esports) mungkin cenderung lebih mudah di ranah game PC. Kedua, pelaku bisnis data esports dengan game developer yang sama-sama berasal dari negara barat mungkin jadi faktor juga. Ketiga, perkembangan teknologi dan talenta teknis programming negara barat yang lebih maju mungkin bisa jadi faktor juga.

Sebagai bukti kemajuannya, mari coba kita lihat data-data yang disediakan secara bebas oleh pihak ketiga untuk game-game esports PC. Perkenalan pertama saya dengan data statistik esports yang mendalam adalah dari Dotabuff. Seperti namanya, Dotabuff menyediakan data-data statistik seputar game Dota 2. Datanya tidak hanya tersedia untuk profesional saja, tetapi pemain casual juga bisa menikmati statistik permainannya sendiri hanya dengan menghubungkan Dotabuff dengan akun Steam saja.

Data yang tersedia dalam Dotabuff juga cukup mendalam, mulai dari yang standar seperti pick-rate atau win-rate, sampai yang tergolong advanced seperti jumlah damage yang dihasilkan terhadap tower dan bangunan lainnya. Dotabuff bahkan juga menyediakan data combat log (apa yang terjadi di menit berapa) yang mungkin bisa digunakan tim dalam mengevaluasi permainannya.

Selain Dotabuff di Dota 2, game-game esports lain yang ada di ranah PC juga hampir rata-rata memiliki data statistik permainan yang disediakan oleh pihak ketiga. OP.gg di skena League of Legends misalnya, yang menyediakan data-data seputar meta permainan mulai dari sekadar win-rate champion sampai win-rate berdasarkan build skill, item, serta rune dari sebuah champion.

Sumber Gambar - Dotabuff
Dotabuff memberi data yang cukup detil dan bisa diakses oleh semua orang, salah satu contohnya adalah combat log seperti di atas. Sumber Gambar – Dotabuff

VALORANT dan CS:GO juga punya beberapa penyedia data yang serupa. Dari sisi VALORANT, Thespike.gg adalah salah satu contohnya. Thespike.gg sendiri cenderung fokus menyediakan data-data statistik pemain-pemain profesional. Seperti pihak ketiga lainnya, data-data statistik yang disediakan cukup beragam mulai dari data sederhana seperti win-rate atau KDA, sampai data yang cukup mendalam seperti angka persentase area yang sering jadi target (kepala, badan, dan kaki). CS:GO juga punya csgostats.gg yang menyediakan data yang kurang lebih serupa.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, kehadiran API yang sifatnya terbuka jadi salah satu alasan perkembangan penyedia data statistik di esports game PC. Dalam hal Dota 2 dan CS:GO, Valve selaku developer kedua game tersebut memang memperkenankan penggunanya untuk menggunakan API milik Steam untuk dapat mengakses data-data digital terkait permainan tersebut.

Lalu dari sisi VALORANT serta League of Legends, Riot Games sendiri juga memang menyediakan dan memperkenankan komunitas untuk mengakses API tersebut untuk membuat produk data statistiknya masing-masing. Dalam hal League of Legends, Riot Games bahkan juga menyertakan daftar ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengembang pihak ketiga apabila ingin memonetisasi data-data yang mereka dapatkan dari API tersebut.

Bagiamana dengan mobile games? Sejauh ini, API yang dapat diakses sepertinya masih belum umum untuk game mobile. Karena penasaran, saya pun mencoba melakukan googling terhadap keyword terkait API dari game mobile kompetitif yang populer di Indonesia. Hasilnya pun nihil. Alih-alih memberi kata “API” sebagai keyword suggestion, game mobile malah memberi saya keyword suggestion berupa “APK Download”.

Dalam konteks Mobile Legends: Bang Bang, Moonton sendiri memang sempat mengatakan bahwa mereka masih sedang mengembangkan API secara internal. Hal tersebut diungkap oleh Azwin pada saat diwawancara Hybrid.co.id ketika membahas kerja sama Moonton dengan JOIDATA.

Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Walaupun data-datanya tak tersedia di luar game, tetapi game seperti PUBG Mobile tetap mencatat statistik permainan walau sifatnya personal dan hanya tersedia di dalam in-game. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi
Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Beberapa data statistik yang ditunjukkan di dalam game Mobile Legends: Bang-Bang. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi

API sebagai sarana berbagi data statistik memang belum marak digunakan di ranah game mobile kompetitif, tetapi bukan berarti game mobile tidak menyediakan data-data statistik permainan. Dari sisi esports MLBB, data statistik pemain MPL dan MDL tersedia di masing-masing laman resminya. Begitupun dengan esports PUBG Mobile yang juga menyediakan catatan data statistik pemain sepanjang PMPL Indonesia berjalan di website resminya.

Walaupun tersedia, namun data statistik yang ada di laman-laman resmi tersebut cenderung hanya data yang umum saja. Data statistik di laman MPL Indonesia misalnya, hanya menyediakan data yang umum digunakan seperti torehan KDA ataupun torehan total damage yang diberikan. PUBG Mobile pun sama, hanya menyediakan data KDA dengan tambahan Total Survive Time dan Max Kill Distance. Di luar dari esports, pemain juga bisa melihat data statistik permainannya sendiri melalui profil in-game masing-masing. Jadi, walaupun belum ada API dari pihak eksternal, namun data statistik sebenarnya sudah ada di ranah game mobile kompetitif walau lingkupnya masih tergolong sempit.

 

Data Statistik di Lingkup Esports Lokal

Setelah membahas soal moneyball di olahraga dan mencoba melihat ketersediaan data statistik di ranah esports (game mobile ataupun PC), satu hal yang membuat penasaran mungkin adalah kisah moneyball di dalam ranah esports, terutama esports lokal. Untuk itu saya pun berbincang dengan Pratama “Yota” Indraputra selaku analis tim Bigetron Alpha (divisi MLBB Bigetron Esports).

Berbicara dengan Yota, saya membincangkan soal bagaimana data statistik dapat membantu mendongkrak performa sebuah tim esports. Mengawali pembicaraan, Yota pun mengutarakan pendapatnya soal manfaat data statistik bagi sebuah tim.

“Sebetulnya ada banyak potensi yang bisa datang dari data, tergantung tim tersebut mau menggali sedalam apa. Tindakan mengambil keputusan saat drafting atau menggali hero baru yang berpotensi sebagai meta sebenarnya bisa dianalisis menggunakan statistik. Tetapi tentunya tidak semua data punya relevansi yang setara. Karenanya, tugas bagi tim adalah untuk mengambil dan menganalisa data yang diperlukan saja.”

Setelah itu, saya juga mempertanyakan soal ketersediaan data statistik permainan serta cara tim mendapatkan data-data tersebut. Yota pun memberi cerita pengalamannya.

Sumber Gambar - Instagram Bigetron Esports.
Yota yang kiniSumber Gambar – Instagram Bigetron Esports.

“Kalau menurut gue data statistik esports itu sudah cukup tapi masih kurang. Dalam ranah MLBB misalnya, kita enggak bisa melihat statistik creep score atau jumlah last-hit. Karena data tersebut enggak ada, kita jadi sulit mendata siapa pemain yang unggul dari segi CS dan seberapa besar pengaruh CS terhadap kekuatan laning ataupun timing mendapatkan item tertentu. Kalau mau, kita sebenarnya bisa saja mengakalinya dan mendapatkan data tersebut. Tetapi saya rasa akan makan waktu terlalu banyak untuk mendapat data tersebut. Maka dari itu sekarang cukup melihat statistik gold saja.”

Dalam hal mendapatkan data, Yota menjelaskan bahwa hampir semua data direkap secara manual. Tapi memang, seperti yang saya katakan tadi, walaupun MPL menyediakan data statistik di laman resminya, namun data tersebut tergolong terlalu sederhana untuk bisa digunakan sebagai sarana analisa performa tim. Karenanya jadi tidak heran apabila seorang analis seperti Yota lebih memilih merekap semua data secara manual yang bisa didapatkan melalui post-match statistics yang muncul di dalam game.

Lebih lanjut Yota juga menjelaskan soal beberapa data yang jadi andalan bagi pembelajaran tim. Yota mengatakan bahwa data statistik yang kerap kali digunakan adalah data soal pick & ban, data seputar pola pergerakan, torehan damage, gold, serta objektif yang didapatkan.

Bagaimana dengan data statistik lain? “Kalau dari pengalaman gue pribadi, ada statistik yang namanya adalah damage per gold ratio. Statistik tersebut memperkenankan kita untuk mengetahui seberapa efektif pemain memberikan damage dengan gold yang didapat. Lalu apabila dari MOBA secara umum, ada juga data yang bernama jungle proximity yang fungsinya untuk mengetahui lane yang diprioritaskan seorang jungle untuk di gank pada fase early game. Namun demikian, data tersebut enggak gue gunakan di MLBB karena sifat alami gameplay MLBB yang lebih cair.”

Di atas tadi kita membahas bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang analis. Lalu bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang manajemen tim esports? Aldean Tegar Gemilang selaku Head of Esports di EVOS Esports juga turut menyampaikan pendapat serta pengalamannya.

Dalam hal perspektifnya terhadap data statistik, Aldean mengatakan bahwa bagi dirinya, data statistik adalah filter pertama sebelum berlanjut ke proses-proses selanjutnya. Ia pun menjelaskan hal tersebut sembari menjawab soal ketersediaan data statistik di esports game-game mobile yang populer di Indonesia.

“Kalau ditanya apakah data pemain bisa diakses bebas, jawabannya tidak. Kalau soal rekrutmen pemain, sebetulnya ada banyak cara, bisa scouting atau open recruitment. Kalau scouting, EVOS Esports biasanya memanfaatkan analis untuk mencari data pemain terkait, yang mana datanya datang dari in-game profile. Kalau misal metode perekrutannya adalah open recruitment, data statistik biasanya kami jadikan sebagai proses penyaringan awal.” Jawab Aldean.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar Gemilang, Head of Esports dari EVOS Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel Jonathan Liandi (Emperor).

Lebih lanjut, Aldean juga kembali menegaskan posisi dirinya dalam melihat data statistik dalam proses perekrutan. “Menurut saya data statistik ini penting, tapi tetap hanya sebagai lapisan awal untuk menilai pemain. Masih banyak sekali faktor major dan minor yang perlu dilihat untuk menilai seberapa besar value (skill atau dampak-nya ke tim) seorang pemain.” Tutur Aldean.

Ia pun lalu juga menceritakan bagaimana perekrutan pemain kadang justru sulit apabila hanya berdasarkan data statistik saja. “Kalau berdasarkan pengalaman saya, hal tersebut terjadi terutama saat mencari pemain-pemain dengan role support. Pemain support biasanya punya data statistik yang cenderung kurang pasti (bias). Beberapa poin-poin penting pemain role support itu justru baru terlihat saat trial dilakukan secara offline.”

Terakhir, ia juga sedikit pandangannya soal jumlah ketersediaan data statistik di game-game esports sejauh ini. “Seperti tadi saya bilang, data statistik ini sebenarnya memang penting. Namun sayangnya ketersediaannya tergolong belum cukup untuk kebanyakan game mobile. Kalau dibandingkan dengan game seperti Dota 2 atau LoL, menurut saya masih cukup jauh. Salah satu alasan pendapat saya tersebut adalah karena game-game tersebut sudah punya wadah yang mempermudah melihat data statistik, salah satu contohnya adalah Dotabuff.” Jawab Aldean.

Pembeberan di atas adalah jawaban dari perspektif manajemen tim esports. Lalu bagaimana dengan usaha Moonton sendiri? Dalam menyediakan data statistik game untuk esports MLLB, usaha terakhir Moonton yang terlihat adalah kerja sama mereka dengan JOIDATA pada bulan Februari 2021 kemarin.

Pada kesempatan tersebut, Azwin Nugraha selaku PR Manager Moonton juga sempat menjelaskan bahwa kerja sama tersebut akan berfokus kepada data statistik game, termasuk usaha Moonton untuk menyediakan API agar pihak eksternal dapat mengakses data-data statistik game tersebut.

Karena penasaran, saya pun mempertanyakan bagaimana proses pengerjaan API tersebut demi ketersediaan data statistik untuk esports MLBB. Azwin pun mengatakan “Saat ini kerja sama mendalam masih terus dilakukan, kami masih menimbang beberapa kemungkinan yang nantinya berpengaruh terhadap penggunaan data tersebut.”

Di luar dari API, sebenarnya saya juga cukup penasaran, bagaimana semisal ada pihak ketiga yang mampu mengekstrak data statistik tersebut dengan menggunakan VOD pertandingan MPL saja? Hal tersebut sebenarnya bisa saja terjadi. Kalau dari sisi olahraga sepak bola, kita bisa melihat contohnya melalui Signality.

Signality mengembangkan semacam program AI dalam bentuk Computer Vision yang mampu mengenali gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemain bola. Dalam praktiknya, Signality bisa mengekstrak data statistik sepak bola hanya bermodalkan rekaman pertandingan saja.

Teorinya, kalau teknologi computer vision mampu mengenali gerakan manusia, maka kemungkinan besar teknologi tersebut mampu atau mungkin lebih fasih mengenali pergerakan di dalam video game. Lalu bagaimana sikap Moonton apabila misalnya ada sebuah startup yang mampu menciptakan teknologi tersebut untuk game esports MLBB?

Azwin pun merespon. “Tidak ada batasan bagi seseorang untuk berinovasi, apalagi jika inovasi yang dihasilkan dapat memberi manfaat dan turut berkontribusi dalam perkembangan esports. Kalau terkait izin, menurut saya berinovasi tidak memerlukan izin. Namun demikian, bagaimana inovasi tersebut digunakan nantinya adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan dan ditelaah lebih jauh.”

 

Kehadiran data statistik yang lebih lengkap dan mendetil tentunya adalah sesuatu yang baik bagi perkembangan esports. Dari sisi olahraga, kita bisa melihat sendiri bagaimana data statistik bahkan bisa membantu sebuah tim berkembang dari yang awalnya kurang kompetitif menjadi lebih kuat di dalam liga. Selain itu dari sisi penonton, data statistik juga bisa membuat tontonan esports jadi semakin seru untuk diikuti.

Jadi seberapa penting kehadiran data statistik bagi perkembangan esports? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun meminjam jawaban dari Yota.

“Intinya statistik ini menurut gue seperti suplemen saja, bukan kewajiban atau keharusan dan tidak menjamin kemenangan juga. Tetapi, ibarat tubuh manusia, meminum suplemen kesehatan tentu akan membuat tubuh jadi lebih kuat dan lebih siap melawan penyakit ataupun cidera.” Tutupnya.

Antara Perempuan dan Laki-Laki di Game dan Esports Menurut Hasil Sejumlah Penelitian

Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, perempuan memang berbeda dari laki-laki dari aspek biologis. Dan perbedaan biologis itu punya pengaruh pada berbagai aspek kehidupan seseorang. Salah satunya dalam kompetisi olahraga. Sampai saat ini, kebanyakan pertandingan olahraga biasanya dipisahkan berdasarkan gender.

Atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki karena memang ada perbedaan kemampuan fisik di antara keduanya. Lalu, bagaimana dengan esports? Dalam competitive gaming, kebugaran fisik bukanlah faktor penentu kemenangan utama. Idealnya, perempuan bisa bertanding berdampingan dengan laki-laki.

 

Kenapa Olahraga Tradisional Dipisahkan Berdasarkan Gender?

Dalam pertandingan olahraga, kemenangan memang penting. Namun, kemenangan bukanlah segalanya. Cara seseorang mendapatkan kemenangan juga tidak kalah penting. Karena itu, dalam kompetisi olahraga bergengsi seperti Olimpiade, fair play menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi.

It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play.” – Jacques Rogge

Jacques Rogge adalah Presiden dari International Olympic Committee pada 2001-2013. Dari kutipan di atas, terlihat jelas bagaimana dia menjunjung fair play. Selain semangat fair play, elemen lain yang tidak kalah penting dalam kompetisi olahraga adalah level playing field. Menurut BBC, level playing field merupakan keadaan dimana semua peserta kompetisi bertanding menggunakan peraturan yang sama dan punya kesempatan yang sama untuk menang. Lebih dari itu, level playing field juga berarti peserta yang diadu dalam sebuah kompetisi ada pada level yang sama. Jadi, seorang atlet NBA tidak akan diadu dengan orang yang hanya bermain basket sebagai hobi.

Pentingnya fair play dan level playing field dalam kompetisi olahraga menjadi salah satu alasan mengapa atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki di kebanyakan cabang olahraga. Pasalnya, secara fisik, pria dan perempuan memang berbeda. Pria punya massa otot dan massa tulang yang lebih besar. Selain itu, kadar lemak di tubuh perempuan juga lebih tinggi. Kadar lemak di tubuh atlet perempuan berkisar pada 14-20%, sementara pada atlet laki-laki, kadar lemak di tubuh mereka hanyalah 6-14%. Tak hanya itu, pria dewasa juga biasanya punya kapasitas paru-paru yang lebih besar. Semua ini membuat pria lebih unggul dari perempuan dalam segi kekuatan.

Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor
Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor

Menurut studi yang berjudul Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not Evolved since 1983, performa atlet perempuan memang masih kalah dari atlet laki-laki. Dalam studi itu, para peneliti menganalisa rekor dunia di berbagai cabang olahraga. Mereka juga mengamati performa para atlet Olimpiade di lima kategori olahraga dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan data dari para atlet dalam 82 Olimpiade.

Data dari studi itu menunjukkan, rata-rata, performa atlet perempuan 10% lebih rendah dari atlet laki-laki. Tergantung pada olahraga yang diadu, perbedaan performa antara atlet laki-laki dan perempuan bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Performa atlet perempuan paling mendekati performa atlet pria dalam olahraga renang gaya bebas. Perbedaan performa antara atlet perempuan dan laki-laki di cabang olahraga itu hanyalah 5,5%. Sementara itu, ada perbedaan yang sangat besar — sekitar 36,8% — pada kemampuan atlet pria dan perempuan dalam cabang olahraga angkat berat.

“Perempuan dan laki-laki memang punya fisik yang berbeda. Biasanya, perbedaan itu terkait kekuatan,” kata Andy Lane, psikolog olahraga di University of Wolverhampton pada How We Get to Next. Memang, dalam olahraga tertentu — khususnya olahraga yang melibatkan stamina aerobik, seperti lari jarak jauh — atlet perempuan bisa unggul dari laki-laki. Kabar baiknya, tidak semua olahraga mengadu fisik para atletnya. Ada beberapa cabang olahraga yang lebih mengutamakan aspek lain, seperti esports.

 

Apa Faktor yang Memengaruhi Performa Atlet Esports?

Tak peduli gender atau keadaan fisik seseorang, hampir semua orang bisa bermain game. Buktinya, Rocky Stoutenburgh, yang juga dikenal dengan nama RockyNoHands, berhasil menjadi streamer di Twitch meski dia hanya dapat menggerakkan kepalanya karena kelumpuhan di bagian leher ke bawah. Tentu saja, hal itu bukan berarti semua orang bisa menjadi atlet esports tingkat dunia, seperti Johan “N0tail” Sundstein dari OG atau Made Bagas “Zuxxy” Pramudita dan Made Bagus “Luxxy” Prabaswara dari Bigetron. Faktanya, kemungkinan seseorang sukses sebagai atlet esports hanyalah 0,0001%.

Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP
Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP

Kebugaran fisik memang bukan tolok ukur utama akan kemampuan seorang atlet esports. Namun, tetap ada beberapa keahlian yang harus seseorang kuasai untuk bisa menjadi pemain profesional ternama. Salah satunya adalah kemampuan sensorik-motorik. Kemampuan sensorik berkaitan dengan kemampuan untuk mengantarkan informasi yang diterima panca indera ke otak, sementara kemampuan motorik mengacu pada kemampuan untuk menyampaikan instruksi dari otak ke organ tubuh, seperti tangan. Kemampuan sensorik-motorik penting karena ia memengaruhi seberapa cepat seseorang dapat memproses apa yang dia lihat pada layar, mengambil keputusan akan apa yang harus dia lakukan, dan mengeksekusi keputusan yang dia buat dengan mengoperasikan perangkat game, seperti mouse, gamepad, keyboard, atau smartphone.

Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah spatial abilities atau kemampuan visual-ruang, termasuk kemampuan untuk membaca peta dan mengetahui posisi dari obyek yang ada di sekitarnya, baik obyek yang diam maupun obyek yang bergerak. Spatial abilities juga mencakup kemampuan seseorang untuk memprediksi dan mengantisipasi gerakan obyek atau aksi dari pemain lain. Misalnya, ketika Anda hendak menembak musuh yang sedang bergerak, Anda harus bisa memperkirakan ke mana dia akan bergerak untuk memastikan tembakan Anda akurat.

Selain kemampuan sensorik-motorik dan spatial abilities, kemampuan kognitif taktis juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam bermain game, menurut studi The structure of performance and training in esports. Kemampuan kognitif taktis sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti persepsi, kreativitas, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Cakupan kemampuan kognitif taktis juga cukup luas. Jadi, kemampuan kognitif taktis biasanya dibagi ke beberapa bagian seperti ingatan dan konsentrasi, perencanaan, dan cara mengatasi masalah kompleks. Untuk bisa menjadi pemain esports yang handal, seseorang harus menguasai semua bidang kognitif taktis. Dia harus bisa memerhatikan keadaan sekitar sambil melakukan tugas lain, mengalisa situasi dan memutuskan tindakan yang harus diambil, membayangkan setiap langkah dari aksi yang hendak dilakukan, serta membuat rencana dan mengeksekusinya.

Pembagian kemampuan kognitif.
Pembagian kemampuan kognitif.| Sumber: Journals.plos.org

Konsentrasi jadi aspek lain yang tak kalah penting bagi pemain esports. Bagi atlet olahraga sekalipun, kemampuan untuk berkonsentrasi dalam waktu lama adalah kemampuan yang penting. Meskipun begitu, konsentrasi biasanya punya peran yang lebih penting bagi pemain esports. Karena, dalam olahraga tradisional, para pemain biasanya punya waktu untuk beristirahat, seperti saat time out. Sementara pada kompetisi esports, pertandingan biasanya akan berlangsung tanpa jeda.

Kemampuan sosial — termasuk kemampuan komunikasi dan bekerja sama — juga memengaruhi performa seorang atlet esports. Terakhir, kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah mengendalikan emosi. Hal ini tidak mudah, mengingat tekanan mental yang harus dihadapi oleh atlet esports papan atas sama seperti para atlet Olimpiade. Kegagalan seseorang untuk mengendalikan emosi dalam pertandingan — rasa kecewa atau marah karena melakukan kesalahan, misalnya — justru bisa membuat mereka tidak bisa memberikan performa yang maksimal.

 

Perbedaan Kemampuan Kognitif Pada Perempuan dan Laki-Laki

Industri esports memang lebih inklusif dari olahraga tradisional. Meskipun begitu, industri esports tetap didominasi oleh pria. Buktinya, kebanyakan pemain profesional merupakan laki-laki. Sebagian orang percaya, hal ini terjadi karena pemain pria dapat bermain game dengan lebih baik. Namun, apa memang benar begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk membandingkan kemampuan kognitif laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan.

Berdasarkan studi Comparison of Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, kemampuan kognitif pria dan perempuan dalam fase folikular sama. Sementara perempuan yang memasuki fase luteal dari siklus menstruasi akan dapat melakukan executive tasks — tugas-tugas yang memerlukan ingatan, cara pikir yang fleksibel, dan kendali diri — dengan lebih baik. Sayangnya, daya konsentrasi perempuan di fase luteal biasanya lebih rendah dari pria.

Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI
Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI

Ketika membandingkan kemampuan peserta perempuan dan laki-laki, para peneliti di studi ini juga memerhatikan siklus menstruasi dari peserta perempuan. Alasannya, siklus menstruasi memengaruhi hormon perempuan. Secara garis besar, ada empat fase menstruasi. Fase folikular dimulai ketika seorang perempuan menstruasi sampai fase ovulasi dimulai. Sementara fase luteal juga dikenal dengan nama postovulatory phase atau fase pramenstruasi. Dalam fase ini, jumlah hormon progesteron pada perempuan akan naik.

Studi di atas bukan satu-satunya riset yang membahas tentang bagaimana gender memengaruhi kemampuan kognitif. Ada beberapa riset lain yang membahas tentang pengaruh gender pada kemampuan kognitif dan spatial seseorang. Kontra dengan hasil penelitian tadi, dalam studi Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, dijelaskan bagaimana Janet S. Hyde melakukan tes psikologis dan kognitif pada perempuan dan laki-laki. Di studi itu, Hyde menguji 124 variabel, termasuk kemampuan matematis, verbal, persepsi, dan motorik.

Dari penelitian tersebut, dia menemukan, gender tidak punya pengaruh yang signifikan pada performa seseorang dalam 78% variabel. Gender hanya punya pengaruh signifikan pada kemampuan motorik seseorang, seperti kecepatan melempar. Temuan lain dari studi itu adalah pria mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam tes rotasi obyek 3D, yang sering dikaitkan dengan IQ yang lebih tinggi dan kemampuan terkait STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) yang lebih baik. Hasil dari studi ini memperkuat asumsi bahwa pria punya kemampuan matematis dan spatial yang lebih baik. Sementara perempuan diangggap memiliki kemampuan verbal yang lebih baik.

Namun, riset terbaru menunjukkan, perempuan dan laki-laki punya spatial cognition yang tidak jauh berbeda. Penelitian itu dilakukan oleh Dr Mark Campbell dan Dr Adam Toth dari Lero Esports Science Research Lab menggunakan teknologi eye-tracking terbaru. Dari tes yang mereka lakukan, mereka menemukan, hasil tes spatial cognition dari peserta pria tidak lebih baik dari peserta perempuan, khususnya dalam tes rotasi obyek.

“Jadi, apakah laki-laki lebih baik dari perempuan? Sebenarnya, tidak juga. Studi kami menemukan bahwa pria tidak lebih baik dalam tes rotasi mental,” kata Toth, seperti dikutip dari Technology Networks. “Dengan memperpanjang durasi tes, perempuan bisa memberikan performa yang sama seperti pria. Hal ini membuktikan bahwa asumsi pria lebih baik dalam tes rotasi mental adalah salah atau disebabkan oleh faktor lain selain gender.”

 

Kesimpulan

Para peneliti telah melakukan berbagai studi untuk mengetahui pengaruh gender pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk dalam cara berpikir. Sayangnya, tidak semua studi memberikan hasil yang sama. Sebagian menyebutkan bahwa pria memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik — yang berarti mereka bisa bermain game dengan lebih baik pula — sementara sebagian yang lain menyebutkan bahwa kemampuan kognitif perempuan dan pria tidak jauh berbeda.

Sayangnya, belum banyak studi yang secara khusus membahas tentang hubungan gender dengan kemampuan seseorang dalam bermain game. Tampaknya, industri esports memang masih terlalu muda sehingga penelitian terkait competitive gaming pun belum menunjukkan kesimpulan yang konklusif. Terlalu naif juga, atau malah arogan, menyimpulkan sendiri hasil yang kita inginkan karena faktanya memang belum ada hasil yang definitif dari penelitian Satu hal yang pasti, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari gender, kemampuan fisik, dan status ekonomi seseorang.

Jasa Coaching Esports di Indonesia: Diperlukan atau Dilupakan?

Esports coaching platform adalah fenomena besar di luar negeri sana, terutama di negara-negara barat. Penyedia jasanya bahkan bukan cuma pemain atau pelatih esports profesional saja, tetapi juga termasuk pemain amatir yang memiliki rank tinggi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam artikel ini saya berbincang dengan manajemen RRQ Academy dan mantan pelatih EVOS AOV yaitu Priyagung “Ruichen” Satriono untuk mengupas bagaimana kondisi ladang bisnis esports coaching di Indonesia.

Sebelum menuju pembahasan tersebut, mari kita melihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan esports coaching platform di luar negeri.

 

Esports Coaching di Luar Negeri: Mulai dari Dilatih Manusia sampai Dilatih oleh AI

Jasa coaching atau pelatihan atau kursus dalam ranah gaming dan esports berkembang pesat di negara-negara barat. Dalam perkembangannya, jasa kursus gaming dan esports di negara barat bahkan sampai melibatkan teknologi (baik AI ataupun software khusus) demi memenuhi kebutuhan pasar. Tetapi memang, kebutuhan jasa coaching gaming dan esports tidak berkembang secara tiba-tiba. Saya merasa hal tersebut terjadi karena memang berlatih bermain game sudah lama diperkenalkan di wilayah barat, terutama Amerika Serikat.

Nintendo Game Play Counselor mungkin adalah kasus pertama yang menjadi bibit terciptanya kebiasaan kursus belajar bermain game. Pada tahun 80an, menamatkan game seperti Mario Bros atau Zelda tergolong sulit. Apalagi informasi tips dan trik serta guide belum dapat diakses mudah seperti pada era internet sekarang. Ditambah lagi, kebanyakan pemain game tersebut juga adalah anak-anak berusia 8-13 tahun.

Sumber Gambar - Twitter @ArtofNP
Nintendo Game Play Counselor yang ditampilkan dalam dokumenter di dalam Netflix. Pekerjaan sebagai Game Play Counselor bisa dibilang menjadi bibit-bibit jasa game coaching yang populer saat ini. Sumber Gambar – Twitter @ArtofNP

Karenanya, Nintendo menciptakan Game Play Counselor untuk “melatih” anak-anak tersebut agar bisa melewati bagian sulit dari suatu permainan. Pemain cukup menelpon nomor hotline yang disediakan, mengutarakan di bagian game mana mereka mengalami kesulitan, lalu para Counselor akan mengajari serta memberi tips untuk melewati bagian sulit tersebut.

Kini semua hal tersebut mungkin bisa teratasi dengan menonton video YouTube atau membaca artikel tips dan trik. Namun ternyata jasa coaching tersebut tetap dibutuhkan, salah satunya mungkin karena kehadiran fenomena esports.

Apabila Anda pergi ke fiverr.com (situs penyedia jasa freelance), tulis “gaming coach” di boks pencarian, Anda bisa menemuan sekitar 192 (48 penyedia jasa di 4 halaman pencarian) lebih penyedia jasa yang akan melatih Anda bermain game (entah itu catur, VALORANT, Overwatch, sampai Roblox). Harganya pun beragam, mulai dari US$5 (sekitar Rp72 ribu) sampai US$25 (sekitar Rp425 ribu). Apabila Anda mencari yang lebih spesifik, misalnya “League of Legends coach”, jumlah penyedia jasanya malah bisa lebih banyak lagi.  Sejauh penemuan saya, pencarian “League of Legends coach” berisi sekitar 528 penyedia jasa (48 penyedia jasa di 11 halaman).

Seperti tadi saya sebut, harga jasa pelatih di fiverr beragam. Beda harga juga beda pelatih dan beda pelatihan yang diberikan. Contoh jasa coaching US$5 dari Vahele misalnya. Dengan harga tersebut, Vahele hanya mengajarkan hal-hal dasar seperti map awareness, cara last-hit yang efektif, warding, dan lain sebagainya. Vahele juga hanya seorang pemain League of Legends dengan rank Diamond saja.

Ada juga jasa coaching League of Legends seharga US$50. Sosok yang menawarkan jasa tersebut juga berbeda. Pelatihnya adalah seseorang dengan nickname Nalu yang sudah punya 7 tahun pengalaman melatih League of Legends dan sempat melatih tim Origen juga.  Dengan harga US$50, Anda cuma dapat satu jam pelatihan, namun dengan isi pelatihan yang lebih mendalam. Dari laman fiverr miliknya, Anda akan mendapat pelatihan makro (map awareness misalnya) yang lebih mendalam, pelatihan mikro (mekanik Champion misalnya), bahkan sampai pelatihan mental serta tips cara berlatih yang efisien.

Di luar dari fiverr, ada juga berbagai platform yang menyediakan jasa coaching game dan esports. Salah satu yang besar mungkin adalah GamerzClass.com dan Proguides.com. Esports coach platform biasanya menggunakan sistem pembayaran berlangganan. GamerzClass memiliki biaya langganan sebesar US$9.99 per bulan. Dengan harga tersebut, GamerzClass menjanjikan pelatihan dari pemain-pemain profesional seperti N0tail dari tim OG Dota 2 atau Jensen dari Team Liquid League of Legends. Tetapi melihat dari laman resminya, bentuk pelatihan yang diberikan sepertinya hanya video online course yang bisa Anda tonton untuk belajar.

Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar - GamerzClass website
Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar – GamerzClass website

Proguides.com menawarkan harga yang lebih murah, yaitu US$7.99 yang ditagih secara tahunan. Dengan biaya yang lebih murah, Proguides.com menawarkan jasa yang tergolong lebih banyak. Selain dari video online course yang bisa ditonton, Proguides.com juga menawarkan sesi konsultasi dari para pelatih. Mengutip dari laman resminya, sesi konsultasi dibatasi sekitar 4 jam setiap bulannya. Di luar dari jasa coaching online yang berbayar, Proguides.com juga menawarkan beberapa konten-konten tips dan trik yang bisa diakses gratis via YouTube.

Proguides.com dan GamerzClass.com masih memanfaatkan jasa dari pemain lainnya untuk menyediakan pelatihan. Selain itu, ada juga esports coaching platform yang memanfaatkan teknologi. Beberapa contohya seperti Gosu.ai, aplikasi Aim Lab, atau bahkan Dota Plus. Platform tersebut mungkin tidak bisa sepenuhnya disebut coaching platform, namun tiga program tersebut tetap merupakan sebuah platform yang dapat digunakan oleh pemain untuk bermain lebih baik.

Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar - Website Proguides.com.
Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar – Website Proguides.com.

Gosu.ai misalnya, menggunakan teknologi AI dan API yang disediakan oleh game terkait. Dengan menggunakan dua teknologi tersebut, pemain yang sudah memiliki akun akan diberi informasi detil dari permainan sebelumnya yang sudah dianalisis. Saya sempat menggunakan Gosu.ai agar dapat bermain PUBG (PC) dengan lebih baik. Setiap kali selesai permainan, Gosu.ai akan memberi data yang berisikan di area mana dan berapa lama Anda bertahan hidup, tingkat akurasi senjata yang Anda gunakan, ke bagian tubuh mana saja tembakan Anda mendarat, dan lain sebagainya.

Aim Lab berbeda lagi. Aim Lab bersifat sebagai sebuah training platform yang fungsinya untuk melatih kemampuan pemain menggunakan mouse untuk membidik musuh di game FPS.  Berhubung hanya training platform, Anda harus berlatih sendiri di Aim Lab. Namun Aim Lab menyediakan beragam porsi latihan yang dibutuhkan untuk melatih aspek-aspek kemampuan menembak. Misalnya untuk berlatih flickshot, Anda akan diberikan tantangan untuk menembak satu target ke target lain dengan cepat. Lalu untuk melatih akurasi, target akan datang lebih lambat namun ukurannya jadi kecil sekali.

Dota Plus berbeda lagi. Dota Plus mungkin bisa dibilang satu-satunya training platform yang disediakan oleh pihak pertama yaitu Valve sendiri sebagai developer game Dota 2. Mirip seperti Gosu.AI, Dota Plus akan menyediakan data-data mendalam yang dapat membantu pemain membuat keputusan dalam memenangkan permainan. Data-data yang diberikan seperti termasuk harus pakai hero apa, skill apa yang harus dinaikkan, item apa yang harus dibeli, dan lain sebagainya. Dota Plus dijual seharga US$3.99 setiap bulan yang juga berisi berbagai macam kosmetik untuk mempercantik beberapa aspek di dalam permainan.

 

Melihat Lanskap Bisnis Esports Coaching di Indonesia: Terbentur Sumber Daya dan Perkara Edukasi Market

Dari sedikit penjelasan deskriptif saya di atas, Anda bisa melihat sendiri banyaknya tawaran dari berbagai pihak terhadap jasa pelatihan gaming (entah dalam bentuk pelatih berupa pemain profesional atau dalam bentuk program yang menyajikan data-data) di luar sana. Banyaknya penawaran jasa coaching sedikit banyak bisa menggambarkan tingkat permintaan jasa coaching gaming dan esports di sana. Lalu bagaimana dengan pasar lokal Indonesia sendiri?

Esports 2.0 di Indonesia sendiri bisa dibilang baru mulai berkembang pesat sekitar 3 sampai 4 tahun belakangan. Karena itu, membayar untuk jasa coaching di bidang gaming dan esports mungkin masih dirasa asing. Sejauh yang saya tahu, baru ada dua buah esports coaching platform yang ada di Indonesia. Dua platform tersebut adalah RRQ Academy dan juga Aegis.gg. Di luar dari dua esports coaching platform tersebut, ada juga beberapa sosok pelatih esports yang menjajakan jasa pelatihan secara freelance.

Untuk menakar kondisi serta potensi bisnis jasa esports coaching di pasar lokal, saya mencoba menghubungi manajemen RRQ Academy dan Priyagung “Ruichen” Satriono sebagai dua narasumber. RRQ Academy diwakili oleh Ajeng Hendarmin selaku Head of RRQ Academy dan Ahmad Zaki Zunnuroin selaku Head of Curriculum RRQ Academy. Lalu Priyagung “Ruichen” Satriono sendiri sebelumnya merupakan salah satu sosok di balik layar dari kesuksesan EVOS AOV. Setelah EVOS AOV bubar, Agung (panggilan akrab Ruichen) kini sedang mencoba menjajaki bisnis jasa esports coaching secara freelance untuk game genre MOBA secara umum.

Pertama-tama saya mewawancara manajemen RRQ Academy terlebih dahulu. Saya menanyakan terlebih apa itu RRQ Academy secara umum. Setelahnya lalu dijelaskan oleh Ajeng dan Zaki. “RRQ Academy adalah semacam tempat kursus yang dibuat dengan harapan untuk meningkatkan standar kualitas pemain esports di Indonesia. Dibuatnya RRQ Academy sendiri sebenarnya juga bisa dibilang sebagai cara bagi kami untuk memberikan kembali bagi komunitas RRQ ataupun komunitas game secara umum.”

Berhubung Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa RRQ Academy adalah lembaga kursus, maka para calon murid pun harus membayar sejumlah uang apabila ingin mengikuti kelasnya. Berapa biaya yang dibayarkan? Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa biaya untuk kelas reguler adalah Rp199.000 per orang. RRQ Academy memiliki beberapa tingkatan harga bagi para pesertanya.

Sumber Gambar - Website RRQ Academy
Pendaftaran bahkan kini sudah masuk gelombang ke-12. Sumber Gambar – Website RRQ Academy

Mengutip laman resminya, Kelas Reguler (di website diberi nama Kelas Semi-Pro) memiliki harga lain yaitu Rp250.000, Rp385.000, Rp460.000, dan Rp750.000. Semua tingkatan memiliki kurikulum yang sama, namun dengan benefit yang berbeda. Untuk harga Rp250.000, kursus menyertakan sertifikat cetak dan lanyard. Harga Rp385.000 menyertakan jersey RRQ Academy dengan custom nickname. Harga Rp460.000 menyertakan jersey custom nickname beserta sertifikat cetak, sementara harga yang terakhir yaitu Rp750.000 ditujukan untuk tim.

Dengan patokan harga yang cukup tinggi untuk pasar Indonesia, kira-kira berapa jumlah peminat jasa coaching yang disediakan oleh RRQ Academy sendiri. Ajeng dan Zaki tidak bisa menyebut angka pastinya, namun kurang dan lebihnya jumlah pendaftar RRQ Academy sendiri sudah mencapai angka ribuan menurut mereka.

Sebagai gambaran lain antusiasme calon peserta terhadap kelas RRQ Academy, kita mungkin bisa juga melihat sudah sampai di gelombang ke berapa dari masing-masing kelas. Saat ini RRQ Academy membuka kelas untuk empat game: MLBB, Wild Rift, PUBG Mobile, dan Free Fire. MLBB sudah menutup kelas gelombang ke-10 dan 11, Wild Rift baru akan memulai kelas gelombang pertama, PUBG M sudah menutup kelas gelombang ke-5 dan Free Fire telah menutup pendaftaran kelas gelombang ke-2. Dari jumlah gelombangnya, kita bisa melihat langsung bagaimana antusiasme para pemain terhadap jasa esports coaching ternyata cukup tinggi.

Lebih lanjutnya Ajeng dan Zaki juga menjelaskan. “Sejauh pengamatan saya, kebanyakan tim yang mengikuti turnamen semi-profesional itu bersedia membayar jasa esports coaching. Namun memang bagi kebanyakan tim yang masih bersifat swadaya, soal biaya itu sendiri adalah tantangannya. Karena itu kelas RRQ Academy memang sengaja kami rancang memiliki harga yang terjangkau. Jadi, walau sifatnya bukan privat, tetapi kami berharap murid-muridnya di sini jadi punya akses untuk berdiskusi dengan para pelatih yang profesional.”

Lalu apa saja yang diajarkan RRQ Academy kepada para murid-muridnya? Ajeng dan Zaki bercerita bahwa ilmu, pengalaman, serta tips dan trik game hanyalah satu bagian pengajaran saja. “Selain itu kami juga memberi materi komunikasi tim dan juga materi nilai profesionalisme sebagai persiapan mereka apabila terjun ke kancah profesional. Selain dari itu, RRQ Academy juga memasangkan pendaftar yang bersifat individual ke dalam satu tim.”

Ajeng dan Zaki juga menjelaskan bahwa isi pengajarnya adalah pelatih dari tim esports aktif, mantan pemain profesional, dan juga analis. Namun satu yang patut disadari, walau semua pengajar yang jadi pelatih punya pengalaman yang bagus dalam memahami permainan, kemampuan mengajar bisa dibilang sebagai kemampuan terpisah yang belum tentu dimiliki orang-orang tersebut.

Terkait hal tersebut manajemen RRQ Academy pun menceritakan. “Satu hal yang pasti, sebelum kelas dimulai, jajaran pengajar RRQ Academy akan saling tukar pikiran terlebih dahulu. Tukar pikiran tersebut membahas soal hal apa yang bisa diberikan kepada para murid nantinya. Kalau terkait ‘cara mengajari’, kebanyakan pelatih yang ada di RRQ Academy sendiri sudah memiliki kemampuan tersebut.” Tuturnya.

Menutup pembahasan, saya sendiri penasaran dengan cerita-cerita sukses dari para peserta RRQ Academy serta pendapat manajemen terhadap prospek serta tantangan bisnis jasa esports coaching. Dalam hal cerita sukses, manajemen RRQ Academy berkata bahwa sudah ada beberapa murid yang mencapai sesuatu setelah lulus dari RRQ Academy.

“Ada yang namanya Cello, dia pernah menjadi peserta Esports Star Indonesia. Ada juga beberapa nama yang masuk tim, walau mungkin bukan yang tier 1 seperti ‘Raja‘ yang sekarang membela XCN di MDL. Beberapa yang lain ada juga yang menjadi bagian RRQ pada divisi RRQ Streamers. Tetapi memang, untuk saat ini, belum ada satupun lulusan akademi yang tembus rekrutmen tim utama RRQ ataupun tim profesional lainnya.” Tutur manajemen RRQ Academy. Dalam hal potensi, manajemen RRQ Academy menjawab, “saya merasa bisnis jasa esports coaching punya prospek yang sangat menjanjikan walau tantangannya adalah jumlah sumber daya manusia untuk melatih yang masih belum banyak.”

Setelah selesai dengan RRQ Academy, narasumber berikutnya adalah Priyagung “Ruichen” Satriono. Sosok Ruichen sendiri memang sudah punya pengalaman yang malang melintang sebagai pelatih, walau lingkupnya mungkin hanya AOV saja. Dirinya bersama EVOS AOV telah berhasil membawa tim tersebut memenangkan liga AOV Indonesia (ASL) selama beberapa musim berturut-turut dan membawa timnas AOV Indonesia mendapatkan medali perak di SEA Games 2019. Setelah EVOS AOV bubar bulan Oktober 2020 lalu, Ruichen pun melanjutkan karirnya sebagai pelatih, namun kini sebagai freelance yang menyediakan jasa esports coaching game MOBA secara umum kepada tim.

Berbeda dengan RRQ Academy yang bergerak sebagai satu divisi, Ruichen hanya seorang diri di sini. Mungkin karena hal tersebut juga, jumlah orang yang mengikuti jasa esports coaching dari Ruichen cenderung lebih sedikit. “Kalau ditanya soal demand coaching di Indonesia, menurut gue sih sedikit. Mungkin karena menurut para penggunanya masih terlalu mahal juga. Kalau ditanya berapa orang yang pernah ikut kelas coaching dari gue, yang jelas masih di bawah 100 orang.”

Satu yang saya cukup penasaran sebenarnya mungkin adalah soal orang yang menggunakan jasa pelatih esports tersebut. Apabila kita mundur ke tahun 2018 lalu, sempat ada fenomena ketika banyak orang tua di Amerika Serikat mempekerjakan esports coach untuk melatih anaknya bermain Fortnite. Hal tersebut sepertinya agak tidak mungkin terjadi di Indonesia, mengingat beberapa orang tua Indonesia juga belum bisa menerima fenomena esports. Tetapi, apakah ada orang yang menggunakan jasa pelatihan hanya agar dapat bermain lebih baik saja?

Dalam kasus Agung, dirinya menceritakan bahwa pernah ada orang seperti itu yang menggunakan jasa pelatihannya. “Kalau ditanya siapa yang menggunakan jasa coaching gue, kebanyakan adalah pemain yang ingin naik ke jenjang karir pemain profesional. Kalau pemain casual yang sekadar ingin naik rank sih ada, tapi sejauh perjalanan gue sendiri baru ada satu orang saja.”

Selanjutnya saya juga menanyakan soal biaya yang dikenakan agar dapat dilatih oleh seorang Ruichen. “Coaching dari gue sendiri memiliki rate harga sekitar Rp350 ribu sampai 500 ribu setiap sesi. Dalam satu sesi bisa berjalan selama 1,5 sampai 3 jam, tergantung dari kesepakatan awal antara saya dengan tim/orang yang ingin dilatih. Semisal tim/orang tersebut ingin rutin dilatih beberapa sesi dalam setiap bulan, rate harga tentu masih bisa nego nantinya.” Tuturnya.

Di luar dari itu, saya juga sedikit berdiskusi soal berapa harga yang pas untuk sebuah sesi esports coaching. Pada kasus RRQ Academy kita bisa melihat sendiri bahwa mereka sudah hampir mendapatkan ribuan peserta dengan harga Rp200.000. Harga tersebut lebih murah ketimbang jasa esports coaching milik Ruichen yang harganya sekitar Rp350 ribu namun hanya dalam sesi satu jam saja.

Sumber: Agung "RuiChen" pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports.
Sumber: Agung “RuiChen” pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports pada zamannya.

“Kalau soal harga coaching, jujur ini sih gue masih kurang tahu ya. Tetapi menurut pengamatan gue, kebanyakan orang saat ini masih cenderung memandang rendah soal pentingnya pemahaman sebuah game. Orang-orang hanya berpikir untuk sekadar main saja.” Tutur Agung memberi pendapatnya.

Lebih lanjut, Agung juga menjelaskan soal metode pelatihannya. “Ada beberapa tim yang gue ajari dari hal yang paling mendasar: seperti soal tanggung jawab, tujuan, serta maksud dari pemain profesional itu sendiri. Semisal yang minta dilatih adalah tim profesional (sempat diminta oleh tim luar negeri), biasanya mereka lebih butuh vod review sama konsultasi saja. Namun demikian, hari pertama latihan akan tetap gue ajari hal dasar seperti itu juga. Kalau ditanya bagaimana metode gue dalam melatih, mungkin penjelasaannya begini. Ibarat mau makan, gue cuma menyediakan piring, nasi, sendok, dan memberi tahu bagaimana caranya makan. Tetapi apabila ingin makan, maka orang itu (pengguna jasa coaching) harus makan sendiri, bukan disuapi.”

Terakhir menutup perbincangan kami, saya juga menanyakan pendapatnya soal potensi masa depan bisnis esports coaching di Indonesia? “Kalau di Indonesia sepertinya masih susah.” Ucapnya membuka pembahasan.

“Kalau di luar negeri, potensinya sudah sangat besar. Di luar negeri sana sudah banyak sekali platform jasa esports coaching. Lalu kalau dalam kasus gue sendiri, gue bahkan sempat dapat client dari luar yang minta dilatih langsung dengan share-screen sembari gue memantau dan memberi tahu dia skill apa yang harus digunakan. Jadi sebetulnya kalau ditanya bagaimana potensi jasa coaching untuk jadi bisnis di masa depan, menurut gue potensinya ada aja. Cuma sepertinya kalau untuk saat ini belum cocok untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama. Menurut gue, Indonesia masih butuh lebih banyak edukasi soal jasa coaching dan konsultasi esports ini. Soalnya gue merasa masih banyak yang memandang remeh perkara mental dan pentingnya konsultan.” Jawab Agung menutup perbincangan.

 

Pada Akhirnya

Apabila melihat dari penjelasan dua narasumber terkait, bisnis esports coaching sepertinya punya posisi yang menarik. Pada satu sisi, esports yang kini sedang melaju pesat di Indonesia sepertinya memang berhasil menciptakan keinginan para penontonnya untuk mencapai posisi yang sama seperti sosok-sosok yang ditontonnya. Minat untuk menjadi pemain esports yang tinggi secara tidak langsung mungkin meningkatkan minat untuk menggunakan jasa coaching esports. Salah satu contoh hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari sisi RRQ Academy. Menggunakan nama besar RRQ di Indonesia, RRQ Academy cenderung menarik minat lebih banyak orang untuk menggunakan jasa esports coaching.

Pada sisi lain, apa yang dikatakan oleh Agung mungkin ada benarnya. Jasa coaching esports berbayar bisa dibilang sebagi bisnis jasa yang masih baru di ekosistem gaming/esports Indonesia. Karenanya masih butuh lebih banyak edukasi lagi kepada calon penggunanya, agar dapat memahami pentingnya jasa coaching seperti apa yang diberikan oleh Agung.

Lalu, apakah biaya menjadi masalah? Apabila melihat penjelasan Agung serta manajemen RRQ Academy beberapa pengguna jasa coaching esports sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan biaya. Pada RRQ Academy misalnya, kelas tersebut bahkan kini sudah mencapai pendaftaran gelombang ke-12 walau punya banderol harga jasa sebesar Rp199.000. Begitu juga dengan jasa coaching esports yang ditawarkan Agung. Dengan banderol harga yang ditetapkan, ia masih bisa mendapatkan banyak orang yang ingin menggunakan jasa esports coaching yang diberikan.

Bagaimana dengan potensi masa depan bisnis platform atau jasa coaching esports? Saya di sini mencoba menggabungkan pendapat manajemen RRQ Academy dan Agung. Jawabannya mungkin adalah, potensinya ada namun masih butuh dikembangkan lebih lanjut dengan cara edukasi seraya menambahkan kuantitas dan kualitas sumber daya pelatih di esports sendiri.

Sumber Gambar Utama – DotEsports

Kisah Upik Abu Kesuksesan Moonton dan Mobile Legends di Indonesia

Berita akuisisi Moonton oleh Bytedance membuat kita bertanya-tanya, akan ke arah mana perkembangan Moonton ke depannya? Bagaimana nasib MLBB dan ekosistem esports di dalamnya? Dalam artikel ini, ada Aswin Atonie selaku Brand Manager Moonton Indonesia membagikan soal arah perkembangan Moonton di masa depan nantinya. Namun sebelum itu, mari kita sedikit melakukan napak tilas, melihat perjalanan macam apa yang harus ditempuh Moonton untuk mencapai titik kesuksesan seperti sekarang.

 

Jalan Berbatu Moonton Membesarkan Anak Kesayangannya, Mobile Legends: Bang-Bang

Mengutip dari laman LinkedIn resmi milik Moonton Games, dikatakan bahwa Shanghai Moonton Co., Ltd berdiri tahun 2014 lalu sebagai sebuah perusahaan software. Seiring perkembangannya, Moonton berkembang ke arah pengembang game untuk platform mobile. Game pertama mereka adalah Magic Rush: Heroes. Game tersebut punya gameplay seperti kebanyakan game mobile yang ada di pasaraan, yaitu mengumpulkan hero sebanyak-banyaknya dengan melakukan gacha.

Satu tahun berlalu, Moonton merilis game baru. Game tersebut adalah game yang kini menjadi nafas baru bagi perkembangan esports di Indonesia, yaitu Mobile Legends. Kala itu game tersebut dirilis dengan nama Mobile Legends: 5v5 MOBA tahun 2016 silam dan segera berubah menjadi Mobile Legends: Bang Bang setelahnya.

Game mobile kompetitif (terutama genre MOBA) masih belum berkembang begitu pesat tahun 2016 silam. Namun memang, sudah ada beberapa developer yang mengincar peluang tersebut. Karenanya sudah ada beberapa game MOBA di mobile pada tahun 2016. Contohnya ada Vainglory yang dikembangkan oleh developer baru bernama Super Evil Megacorp. Selain itu ada juga Heroes of Order and Chaos yang dikembangkan oleh developer mobile games kawakan yaitu Gameloft.

Sayangnya, perjalanan Moonton merintis Mobile Legends tidak selalu mulus. Mobile Legends menghadapi sejumlah kontroversi di tahun awal perjalanannya. Namun memang, kontroversi tersebut bukan terjadi tanpa sebab.

Mobile Legends, pada awal masanya, bisa dibilang bukan game yang paling orisinil penampilannya. Alucard pada zaman itu terlihat sangat mirip dengan Dante dari seri Devil May Cry. Akai masih berbentuk binatang panda berjalan dua kaki tanpa pakaian membawa bola besi besar, yang sekilas mirip Po dari film Kung Fu Panda. Franco pada masa itu bahkan punya skill dan bentuk yang sama persis dengan Pudge dari Dota 2.

Walaupun demikian, pihak-pihak terkait yang saya sebut di atas tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tetapi di sisi lain, ada developer game MOBA lain yang merasa game buatannya telah ditiru. Developer tersebut adalah Riot Games yang merupakan pencipta game League of Legends.

Riot Games meluncurkan tuntutan kepada Moonton ke pengadilan pusat California, Amerika Serikat, pada 7 Juni 2017. Kala itu Riot Games menuduh game Mobile Legends: 5v5 MOBA dan Magic Rush buatan Moonton telah meniru League of Legends. Dalam dokumen pengadilannya, Riot Games memberi contoh tangkapan gambar yang menunjukkan seberapa mirip konten yang ada di Magic Rush dan Mobile Legends dengan konten yang ada di League of Legends. Mengutip dari dokumen pengadilannya, berikut beberapa kemiripan Mobile Legends terhadap LoL yang dituduhkan Riot Games kepada Moonton.

Sumber: Dot Esports
Beberapa cuplikan tuduhan plagiasi di dalam dokumen penuntutan hukum Riot Games kepada Moonton tahun 2017 lalu. Selain Mobile Legends, Riot Games juga menganggap Magic Rush: Heroes telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports
Sumber: Dot Esports.
Cuplikan lain yang ada di dalam dokumen penuntutan Riot Games ke Moonton. Kali ini Riot Games menunjukkan beberapa konten di dalam Mobile Legends yang dianggap telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports

Mengutip dari artikel Dot Esports yang terbit tahun 2018, tuntutan dari Riot Games ke pengadilan California berakhir dengan keadaan forum non conviens. Dalam keadaan tersebut, tuntutan dikesampingkan karena pengadilan Kalifornia menganggap kasus tersebut lebih baik diselesaikan di area yuridiksi atau pengadilan lain yang lebih tepat sasaran. Berhubung Moonton berbasis di Tiongkok, maka maksud pengadilan yang lebih tepat sasaran adalah pengadilan tinggi di Tiongkok.

Setelah tuntutan Riot Games ke Moonton selesai tahun 2017, Moonton kembali menghadapi tuntuntan hukum lain pada tahun 2018. Tuntutan kali ini dilayangkan oleh Tencent terhadap Xu Zhenhua yang dikatakan sebagai salah satu perwakilan dari Moonton.

Masih dari Dot Esports, Xu Zhenhua dituntut karena dianggap telah melanggar perjanjian non-disclosure (larangan menyampaikan suatu informasi yang bersifat rahasia) dan non-compete (larangan pindah ke perusahan saingan yang biasanya berada di bidang yang sama). Tuntuntan tersebut awalnya berakhir dengan denda sebesar 2,6 juta Yuan (sekitar Rp5,5 miliar) dikenakan kepada Xu Zhenhua. Tetapi setelahnya dikatakan bahwa denda yang dikenakan menjadi sebesar 19,4 juta Yuan (sekitar Rp42 miliar) tanpa ada penjelasan lebih lanjut berdasarkan dari sumber internal yang tidak disebut namanya oleh Dot Esports.

Terlepas dari segala jalan berbatu yang dilalui Moonton dalam mengasuh anak kesayangannya, MLBB akhirnya berhasil sukses besar sampai seperti sekarang ini. Sebelum membahas alasan kesuksesannya, mari kita lihat dulu nasib “anak-anak” lain Moonton.

 

Menilik Game-Game Besutan Moonton dan Alasan Gaungnya Tidak Sebesar MLBB

Seperti yang saya sebut di awal, kiprah Moonton di industri mobile games sebenarnya tidak hanya terbatas pada MLBB saja. Moonton masih punya beberapa judul mobile games lain. Selain Magic Rush: Heroes, Moonton juga punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing: Snake.io. Walaupun begitu, tiga game tersebut bisa dikatakan berada di luar dari DNA Moonton yang sukses di MLBB berkat esports.

Mobile Legends: Adventure tergolong sebagai game casual. Mirip seperti Magic Rush, gameplay ML: Adventure berkutat pada turn-based RPG yang bisa diotomasi dan konsep hero-collection dengan metode gacha. Sweet Crossing: Snake.io juga tergolong casual. Game tersebut punya gameplay seperti Snake.io yang sempat populer di antara para streamer lokal, namun dalam visual berupa karakter binatang lucu sebagai kepala ular dengan kue-kue manis sebagai buntut ularnya.

Walaupun punya beberapa game, tapi kesuksesan tiga game tersebut tergolong beda jauh ketimbang MLBB. Mengutip dari laman Google Play, baik Sweet Crossing, ML: Adventure, ataupun Magic Rush, hanya menyentuh angka 10 juta++ install saja pada saat artikel ini ditulis. Pada sisi lain, MLBB telah mencapai 100 juta++ install pada saat artikel ini ditulis.

Susmber Gambar - Google Play Store.
Sweet Crossing, salah satu game besutan Moonton yang terasa “melenceng” dari jalannya. Sumber Gambar – Google Play Store.

Total download per bulan dari tiga game tersebut sebenarnya tergolong masih cukup baik. Menggunakan data dari Sensor Tower, Sweet Crossing mencatatkan total 1 juta download di Google Play Store secara worldwide pada bulan Februari 2021 kemarin. Mobile Legends: Adventure mencatatkan total 400 ribu download secara worldwide di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Magic Rush: Heroes mencatatkan total 20 ribu download di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Namun angka tersebut memang tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan MLBB yang berhasil mencatat total 5 juta download di Google Play Store pada bulan Febaruari 2021.

Dari paparan-paparan saya di atas, Anda bisa lihat sendiri bagaimana angka download Sweet Crossing, Magic Rush, dan ML: Adventure sebenarnya masih cukup baik walau tetap kalah jauh ketimbang MLBB. Ditambah juga, mencapai angka 10 juta ++ install bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi sebenarnya terasa tidak adil apabila kita bilang tiga game tersebut kurang sukses. Walau begitu, satu hal yang mungkin bisa saya katakan adalah gaung tiga game tersebut yang kalah ketimbang MLBB.

Seperti yang kita tahu, MLBB sudah hampir layaknya oksigen bagi nafasnya gamers Indonesia. Selalu ada informasi seputar MLBB setiap hari, mulai dari bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari. Informasi yang hadir pun berbagai macam. Mulai dari informasi seputar game-nya seperti Hero baru, Starlight Member atau Skin terbaru, sampai konten seputar esports seperti rumor, gosip, ataupun komentar-komentar seputar esports dari para pemainnya. Informasi tidak hanya disajikan pihak Moonton sendiri, tetapi juga oleh konten kreator, media, ataupun partner-partner Moonton.

Lalu kenapa game lainnya kalah gaung ketimbang Mobile Legends, walau angka download ataupun followers media sosial dari masing-masing game sebenarnya tidak sebegitu buruk?

Menurut opini saya, esports menjadi salah satu alasan terbesarnya. Kehadiran esports membuat topik pembahasan game Mobile Legends menjadi lebih lebar. Tanpa esports, pembahasan Mobile Legends mungkin hanya terbatas kepada update patch, hero baru, tips dan trik, Skin baru, ataupun konten Starlight member.

Tetapi dengan kehadiran esports, game Mobile Legends jadi punya berbagai topik pembahasan yang menarik, mulai dari rumor atau gosip, tanggapan pemain atas satu topik (tim yang akan dihadapi, META di dalam game, dan lain sebagainya), wawancara pasca pertandingan, dan berbagai perbincangan lainnya.

Apalagi esports MLBB di Indonesia juga hadir dalam format liga yang rutin dilaksanakan setiap pekan. Karena hal tersebut, perputaran konten seputar MLBB dan esports-nya jadi semakin cepat dan selalu ada topik baru untuk diperbincangkan yang membuat gaung game tersebut terdengar konsisten setiap harinya.

Sumber Gambar - Facebook Nimo TV
Kehadiran liga esports membuat MLBB jadi tak berhenti dibicarakan. Apalagi ditambah juga dengan aktivitas nonton bareng seperti pada gambar di atas yang semakin memancing perbincangan baru seputar MLBB dan esports-nya. Sumber Gambar – Facebook Nimo TV

Pada sisi lain, tiga game besutan Moonton lainnya adalah game casual yang punya gameplay cenderung sederhana. Karena gameplay-nya cenderung sederhana, topik yang bisa dibahas atas game tersebut juga jadi lebih sedikit. Karena gameplay-nya sederhana, aspek kompetitif tiga game tersebut juga jadi lebih minim walau tetap bisa dipertandingkan.

Karenanya, aspek esports sebenarnya terbilang jadi hal yang membuat MLBB jadi semakin melejit lagi walau sebenarnya sudah cukup besar berkembang di Indonesia. Apabila Anda masih penasaran dengan dampak positif kehadiran esports bagi game free-to-play, saya sempat membahas soal kausalitas game gratis dengan esports yang dapat Anda baca pada tautan berikut ini.

Setelah kita berkelana melihat perjalanan Moonton merintis MLBB dan nasib game besutannya yang lain, kini mari kita beralih ke pembahasan berikutnya soal simbiosis mutualisme antara Moonton dengan MLBB dan perkembangan industri esports Indonesia.

 

Simbiosis Mutualisme Moonton, MLBB, dan Pasar Gaming Indonesia

Hubungan antara Moonton dengan MLBB dan industri esports Indonesia bisa disebut sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya saling memberi keuntungan satu sama lain, bahkan mungkin sudah berada di titik saling ketergantungan hingga saat ini. Kenapa bisa demikian? Mari kita melihat perkembangan esports Indonesia dari perspektif Mobile Legends: Bang-Bang.

Saya mungkin sudah beberapa kali menjelaskan bagaimana esports di Indonesia “bangkit” berkat kehadiran esports MLBB. Salah satu momen kebangkitan tersebut terasa pada MSC 2017 dan MPL Season 1 pada tahun 2018 yang dilaksanakan di Mall Taman Anggrek.

Dua turnamen tersebut berhasil menunjukkan besarnya potensi pasar gaming dan esports di Indonesia. Saya sudah beberapa kali melakukan liputan ke event esports offline pada tahun itu. Karenanya saya bisa menakar bahwa turnamen esports, biasanya cuma akan membuat penuh atrium Mall Taman Anggrek lantai 1 saja.

Namun demikian, MSC 2017 dan MPL Indonesia Season 1 menembus semua perikiraan tersebut. Bukan hanya Atrium Mall Taman Anggrek yang penuh sesak oleh penonton MSC 2017, tapi juga sampai ke lantai-lantai di atasnya. Saking penuhnya, saya ingat perncah diceritakan bahwa ada penonton yang sengaja bertahan di dalam elevator demi mendapat view yang enak untuk menonton turnamen MLBB. Luar biasa bukan?

Beberapa tahun berlalu, saya juga sempat membahas posisi Indonesia yang jadi begitu superior apabila kita bicara esports game mobile. Apabila kita mengutip data dari Esports Charts, sudah berkali-kali kita melihat MPL Indonesia menyalip liga-liga esports besar. Pada Februari 2021 kemarin saja, MPL Indonesia berhasil menyalip viewership liga esports yang lebih tua seperti liga LoL Korea LCK ataupun turnamen CS:GO terakbar, IEM Katowice. Pada bulan Oktober 2020 lalu saya juga sempat membuat pembahasan soal posisi Indonesia yang mungkin akan jadi kiblat esports mobile di dunia gara-gara Mobile Legends.

Dari perjalanan tersebut kita bisa melihat sedikit fakta soal dampak kehadiran Moonton dan MLBB terhadap pasar esports dan gaming Indonesia. Walaupun sering dicibir “hanya populer di Indonesia saja”, namun ekosistem esports Indonesia mau tidak mau harus berterima kasih kepada Moonton dan MLBB. Berkat penetrasi Moonton ke pasar Indonesia, ekosistem gaming dan esports Indonesia pun jadi berkembang sampai menjadi seperti sekarang.

Berkembang yang bagaimana? Salah satu yang paling terasa menurut saya adalah jumlah game developer yang investasi langsung ke pasar lokal jadi bertambah. Sejauh yang saya tahu dan ingat, hampir tidak ada developer game yang berinvestasi langsung ke pasar Indonesia sebelum fenomena MSC 2017 terjadi walau sudah ada beberapa perusahaan lokal yang berperan sebagai publisher.

Namun setelahnya kita bisa melihat sendiri Tencent hadir melakukan penetrasi langsung di tahun 2018 dengan PUBG Mobile. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 2020, perusahaan sebesar Riot Games bahkan juga melakukan penetrasi langsung ke pasar lokal Indonesia lewat game VALORANT dan League of Legends mobile atau Wild Rift. Dalam kasus Wild Rift, pasar Indonesia (dan negara-negara Asia Tenggara) bahkan mendapat perlakuan khusus berupa perilisan beta yang lebih dulu ketimbang negara-negara barat atau Asia timur.

Selain dari sisi investasi, perkembangan tim-tim esports lokal Indonesia juga menjadi salah satu hal yang terasa perubahannya berkat kehadiran Moonton dan MLBB di ekosistem esports Indonesia. Selain jumlahnya yang semakin banyak, beberapa tim yang besar di kancah MLBB saat ini juga sangat bersaing dari segi prestasi dan popularitas dengan tim-tim dari negara lain. Salah satu contohnya mungkin dapat Anda lihat pada pembahasan singkat saya soal posisi RRQ Hoshi sebagai tim MLBB terpopuler.

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
Kehadiran MLBB juga bisa dibilang memiliki andil dalam berkembangnya basis penggemar RRQ. | Sumber: ONE Esports

Tadi kita membahas soal ekosistem esports Indonesia yang diuntungkan dengan kehadiran Moonton dan MLBB. Tetapi tidak bisa dikatakan simbiosis mutualisme apabila pihak lainnya tidak diuntungkan. Pada sisi lain, penetrasi yang sukses tersebut juga sangat menguntungkan Moonton dan MLBB.

Kenapa pasar Indonesia sangat menguntungkan bagi Moonton dan MLBB? Kenapa Moonton dan MLBB juga butuh Indonesia? Salah satunya adalah karena game MLBB yang tidak rilis di Tiongkok walau Moonton memiliki basis perusahaan di negeri tirai bambu tersebut.

Apabila Anda mengikuti perkembangan industri game melalui pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh Hybrid.co.id, Anda tentu tahu betul pentingnya pasar Tiongkok bagi para publisher game. Alasan kenapa Tiongkok jadi penting, salah satunya adalah karena pesatnya perkembangan budaya gaming dan teknologi di sana. Pembahasan lengkapnya bisa Anda baca pada pembahasan Hybrid.co.id yang dilakukan oleh Ellavie berikut ini.

Berkat perkembangan budaya gaming dan teknologi yang pesat, Tiongkok menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi banyak developer game. Seberapa menggiurkan? Sensor Tower sempat melaporkan mobile games dengan pemasukan terbanyak sepanjang tahun 2020 lalu. Dari laporan tersebut, ditemukan bahwa dua game yang berada di peringkat teratas adalah PUBG Mobile dan Honor of Kings.

PUBG Mobile dilirilis secara global (termasuk di Tiongkok) dan berhasil mengumpulkan US$2,6 miliar. Honor of Kings hanya rilis di Tiongkok dan berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,5 miliar. Anda tidak salah baca, ada sebuah game yang cuma rilis di Tiongkok dan jumlah pemasukannya hampir mengalahkan game yang rilis secara internasional. Dari sana, Anda bisa melihat sendiri betapa menggiurkannya pasar game Tiongkok bagi para developer game, terutama game mobile.

Karena tidak rilis di Tiongkok, Moonton harus mencari negara lain yang berpotensi menjadi pasar untuk game besutannya dan Indonesia pun menjadi jawaban. Kami mewawancara pihak Moonton untuk mempertanyakan cerita di balik penetrasi pasar yang dilakukan Moonton ke Indonesia.

Moonton Indonesia diwakili oleh Aswin Atonie selaku Brand Manager menjawab, “penetrasi ke pasar Indonesia merupakan hal yang sudah direncanakan dengan matang. Kami melakukan berbagai riset dan analisa hingga akhirnya memahami bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan di Indonesia, terutama dalam bidang gaming.”

Sumber Gambar - ONE Esports.
Aswin Atonie, Brand Manager Moonton Indonesia. Sumber Gambar – ONE Esports.

Lebih lanjutnya, Aswin Atonie juga menceritakan sedikit cerita di balik layar dari kehadiran MSC 2017. “Dengan persiapan matang tersebut, kami pun mulai mempersiapkan gebrakan berupa MLBB South East Asia Cup (MSC 2017) yang bahkan sudah disiapkan sejak dari MLBB diluncurkan pertama kali yaitu pada tahun 2016 di Indonesia. Karenanya gelaran tersebut jadi mendapatkan animo yang luar biasa dari penggemar di indonesia.”

Akhirnya usaha penetrasi tersebut pun berbuah manis bagi Moonton. Melalui wawancara yang dilakukan redaksi Hybrid.co.id, Aswin Atonie juga mengungkap bahwa Mobile Legends sudah mengumpulkan 1 miliar download dengan 100 juta pengguna aktif. Investasi Moonton ke pasar Indonesia juga berbuah manis. Moonton sempat mengungkap bahwa pemain Mobile Legends di Indonesia adalah sebanyak 31 juta pemain aktif, mengutip dari artikel milik ONE Esports yang terbit tahun 2019 lalu.

Pada akhirnya perjalanan dan perkembangan ekosistem esports Indonesia dengan Moonton menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang saling ketergantungan hingga saat ini. Apabila MLBB tidak muncul menjadi fenomena di tahun 2017 lalu, pasar gaming dan esports Indonesia bisa jad stagnan tanpa ada perkembangan yang melejit. Begitupun dengan Moonton. Apabila Moonton tidak berhasil menemukan potensi pasar gaming Indonesia, Moonton dan game MLBB yang dibesutnya mungkin tidak akan berkembang hingga menjadi sebesar seperti sekarang.

Setelah melihat perjalanan dan hubungan antara Moonton dengan Indonesia, berikutnya adalah soal masa depan Moonton nantinya. Kira-kira akan ke arah mana perkembangan Moonton nantinya? Apakah akan bertahan dengan Mobile Legends saja? Atau berkembang lewat game-game baru dari genre yang sedang digandrungi?

 

Akuisisi Bytedance, Rencana Game Baru, dan Masa Depan Moonton

Topik terkait Moonton yang paling menarik untuk dibahas saat ini mungkin adalah sub-topik ini yaitu nasib masa depan Moonton. Dari sisi pengembangan game MLBB, kita melihat sendiri bagaimana MLBB berkembang secara positif lewat Project NEXT yang dilakukan. Berbagai elemen di dalam game diperbaiki, beberapa hero lama diperbarui jadi lebih modern, grafis game juga perlahan ditingkatkan MLBB sembari tetap mempertahankan sifat alami game-nya yang ringan untuk berbagai smartphone.

Dari sisi esports kita dapat melihat bagaimana Mobile Legends Professional League terus berkembang di Indonesia. Jumlah penontonnya terus meningkat, sisi kompetisinya terus berusaha diperbaiki, sisi komersilnya juga terus berkembang secara positif. Dari sisi bisnis, beberapa waktu Anda juga mungkin sempat membaca berita soal akuisisi Bytedance (perusahaan induk TikTok) terhadap Moonton.

tiktok bytedance

Dengan semua pencapaian yang berhasil didapat Moonton di titik ini, maka pertanyaan berikutnya adalah, ke mana langkah selanjutnya Moonton? Apalagi akuisisi yang terjadi juga semakin menambah pertanyaan kita.

Aswin Atonie banyak bicara soal ini pada saat saya wawancara, walau sayang belum bisa memberikan komentar terkait perubahan yang akan terjadi pasca akuisisi Bytedance. Namun di luar dari itu, Aswin memberi sedikit gambaran soal arah perkembangan Moonton. Pertama adalah soal rencana game baru. Memang seperti yang saya sebut di sub-topik awal, Moonton sebenarnya sudah punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing. Namun demikian, saya sendiri tetap penasaran apakah Moonton punya rencana untuk bersaing di genre game kompetitif lainnya seperti Battle Royale, Digital Card Game, atau mungkin genre Shooter?

Terkait hal tersebut, Aswin menjelaskan. “Kami selalu ingin update dengan tren terkini di industri game, tetapi saat ini fokus kami masih berada di genre game MOBA. Salah satu alasannya adalah karena kami percaya masih banyak hal yang bisa kami kembangkan lewat game MLBB sendiri.”

“Dalam pengembangan game MLBB, fokus kami masih berusaha memberikan experience yang baik bagi semua pemain lewat ragam fitur, pembaruan in-game, dan event yang rutin kami lakukan seperti 515 e-Party, Project NEXT, Winter Gala, dan lain sebagainya. Tetapi di luar dari itu, di belakang layar, kami (Moonton) juga dalam tahap development beberapa game. Informasi terkait hal tersebut tentunya baru akan dibagikan saat game tersebut sudah dianggap siap nantinya.” Lanjut Aswin menjelaskan soal rencana selanjutnya Moonton dari sisi pengembangan game.

Pertanyaan berikutnya adalah soal ekspansi pasar MLBB ke negara-negara lain, baik dari sisi esports ataupun percobaan penetrasi pasar ke negara lain. Seperti yang selalu saya jelaskan sebelumnya, walupun MLBB sudah berkembang begitu luar biasa namun perkembangannya terbilang cukup terbatas di pasar Asia Tenggara saja untuk saat ini.

Aswin pun menjawab. “Kami tentu ingin terus melakukan ekspansi pasar. Karenanya kami telah membuat beberapa rencana untuk beberapa wilayah. Untuk saat ini kami memiliki dua tim besar yang bertanggung jawab untuk mengatur ‘Developed Area’ seperti Asia Tenggara dan ‘Developing Area’ seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Timur.”

Lalu, akankah status “anak emas” bagi pasar Indonesia hilang dengan rencana ekspansi tersebut? Aswin pun menambahkan. “Kami masih terus berniat untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia lewat edukasi kepada masyarakat untuk mengubah stigma negatif gamers, serta memberi inspirasi pada generasi muda untuk bermain dengan sebuah tujuan. Saya merasa sampai saat ini MLBB telah membuka begitu banyak peluang dan lapangan pekerjaan di sektor esports, entah sebagai atlet esports profesional, content creator gaming, esports team management, event management, dan lain sebagainya.”

Menutup perbincangan soal masa depan Moonton, saya pun jadi berandai-andai dan berpikir, “Apa mungkin Moonton akan membuat game PC atau konsol di masa depan?”. Bertanya soal hal tersebut, Aswin pun menjawab. “Sebagai pelaku bisnis industri game, kami percaya bahwa game PC dan konsol masih akan terus berkembang ke depan. Namun kita semua tahu bahwa era digital telah memobilisasi aktivitas kita. Maka dari itu untuk saat ini Moonton masih terus fokus untuk mengembangkan MLBB sebagai game mobile demi memberikan pengalaman yang terbaik bagi para pemain.”

Perjalanan Moonton menjadi sebesar sekarang ibarat seperti kisah Cinderella yang berkembang dari sebuah developer kecil menjadi salah satu developer mobile games raksasa di Asia Tenggara. Semoga kisah kesuksesan Moonton dapat menjadi referensi atau inspirasi bagi Anda yang sedang berkutat atau ingin terjun ke bisnis esports dan gaming saat ini.

Gambar Utama – Moonton Epic Con 2019 (Sumber Gambar – Moonton Official)

Bagaimana Industri Game & Esports Indonesia dan Tiongkok Merefleksikan Karakteristik Negara

Indonesia dan Tiongkok punya beberapa kesamaan, seperti jumlah populasi yang besar. Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar pertama sementara Indonesia duduk di peringkat empat. Dari segi geografis, Indonesia dan Tiongkok juga cukup dekat. Hal ini memudahkan pertukaran budaya antara kedua negara. Jadi, tidak heran jika gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia punya kesamaan dengan pemerintah Tiongkok. Tapi tenang, kesamaan antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok bukan berarti Partai Komunis Indonesia kembali bangkit.

Kali ini, saya akan menjelaskan kesamaan regulasi pemerintah Indonesia dan Tiongkok di bidang game dan esports. Setelah itu, saya akan membandingkan pendekatan pemerintah Indonesia dan Tiongkok di beberapa sektor lain, seperti infrastruktur internet, smartphone, dan BUMN. Tujuannya adalah untuk melihat apakah regulasi yang pemerintah Indonesia dan Tiongkok tetapkan di industri game dan esports muncul akibat hukum di bidang lain yang terkait.

Berikut pembahasannya.

 

Industri Game

Menjunjung nasionalisme merupakan salah satu kesaamaan antara Indonesia dan Tiongkok di industri game. Di Indonesia, masih ada game-game yang dipasarkan dengan menggunakan sentimen “game buatan anak negeri!” Tak bisa dipungkiri, memang ada orang-orang yang tertarik dengan game-game tersebut. Hanya saja, strategi marketing itu bisa menjadi bumerang jika game tidak dilengkapi dengan gameplay yang menarik. Pada akhirnya, seseorang bermain game demi mendapatkan kepuasan bermain dan bukannya untuk mendukung kedaulatan negara. Satu hal yang harus diingat, developer bisa menjadikan budaya lokal dalam game sebagai daya tarik jika mereka memang bisa menempatkan konten lokal dengan porsi yang pas.

Rasa nasionalisme juga dijunjung tinggi di Tiongkok. Beijing bahkan turun tangan secara langsung untuk memastikan semua game yang dirilis di Tiongkok tidak mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara. Hal ini juga berlaku untuk para publisher asing yang hendak merilis game-nya di Tiongkok. Nasionalisme di Tiongkok begitu dijunjung hingga semua teks dalam game harus berupa Simplified Chienese. Menurut laporan Niko Partners, bahkan ada game yang dilarang rilis karena menampilkan kata seperti “Winner” atau “Attack” dalam bahasa Inggris dan bukannya Simplified Chinese.

Di Tiongkok, jumlah game yang dirilis setiap tahun juga dibatasi. Game yang mempromosikan budaya atau sejarah Tiongkok juga akan diprioritaskan. Hal ini menjadi bukti lain bagaimana nasionalisme menjadi poin penting dalam industri game Tiongkok. Tujuan pemerintah memprioritaskan game yang menunjukkan budaya dan sejarah Tiongkok adalah untuk meningkatkan kualitas game dan memperluas audiens yang bisa dijangkau oleh sebuah game. Dengan membatasi game buatan asing yang dirilis di Tiongkok, secara tidak langsung, pemerintah melindungi developer game lokal dengan membatasi persaingan.

Di Indonesia, pemerintah tidak membatasi jumlah game yang bisa dirilis atau menyaring game-game yang akan diluncurkan. Bentuk dukungan pemerintah pada developer lokal bukan dalam bentuk membatasi jumlah game asing yang beredar. Salah satu bentuk dukungan pemerintah Indonesia adalah dengan mengadakan event bagi developer lokal untuk unjuk gigi, seperti Game Prime. Selain itu, mereka juga berusaha untuk memfasilitasi developer lokal agar bisa mendapatkan investasi serta mempromosikan game lokal, seperti Lokapala.

Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Norman Marcioano sempat berkunjung ke markas Anantarupa Studios — developer Lokapala — pada Desember 2020. Ketika itu, dia menyatakan keinginannya agar KONI ikut mempromosikan Lokapala sebagai game esports nasional, seperti dikutip dari Kompas. Caranya, dengan memasukkan mobile game itu ke Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Selain itu, Lokapala juga pernah diadu di Piala Menpora.

Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara
Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara

Selain sama-sama menjunjung nasionalisme, Indonesia dan Tiongkok juga punya kesamaan lain, yaitu kecenderungan untuk memblokir game. Pada 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat memblokir game berjudul Fight of Gods. Alasannya, game itu menampilkan karakter berupa tokoh agama atau dewa dari berbagai negara, seperti Yesus, Buddha, Zeus, dan Anubis. Saat itu, Kominfo menjelaskan tujuan mereka memblokir game itu adalah demi mencegah terjadinya pertengkaran antara penganut agama.

Selain itu, di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa haram akan PUBG Mobile. Hal ini mendorong Aceh untuk mengharamkan PUBG Mobile dan game-game serupa lainnya. Pertimbangan MUI adalah karena PUBG dan game serupa dianggap bisa mengubah perilaku pemainnya dan mengganggu kesehatan, menurut laporan CNBC Indonesia. Hal ini memicu rumor bahwa Kominfo juga akan memblokir PUBG Mobile. Dan memang, pada Maret 2019, Kominfo mengaku siap untuk memblokir PUBG jika MUI menganggap pemblokiran memang perlu dilakukan. Meskipun begitu, pada akhirnya, Kominfo mengklaim bahwa kabar tentang pemblokiran PUBG Mobile tidak lebih dari hoaks.

Lucunya, PUBG Mobile juga diblokir di Tiongkok. Padahal, game itu dirilis di bawah bendera Tencent Games. Alasan pemerintah melakukan hal itu adalah karena PUBG Mobile dianggap menampilkan kekerasan eksplisit. Alhasil, pada Mei 2019, Tencent menarik PUBG Mobile. Sebagai gantinya, mereka meluncurkan Game for Peace alias Peacekeeper Elite. Game itu punya gameplay yang sama persis dengan PUBG Mobile. Hanya saja, tema yang diusung dalam game itu adalah perang melawan terorisme dan bukannya saling membunuh demi bisa bertahan hidup.

 

Industri Esports

Tak hanya di industri game, keputusan pemerintah Indonesia dan Tiongkok terkait industri esports juga punya kesamaan. Keduanya sama-sama mendukung esports. Hanya saja, lagi-lagi, dukungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan Tiongkok pada pelaku industri esports berbeda.

Di Tiongkok, salah satu dukungan pemerintah pusat pada pelaku industri esports adalah dengan menyatakan pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Semantara itu, pemerintah lokal justru tidak segan untuk mengucurkan dana demi mengembangkan fasilitas esports. Shanghai menjadi salah satu kota yang peduli akan ekosistem esports. Pada 2019, pemerintah lokal Shanghai bahkan menyatakan keinginan mereka untuk menjadikan Shanghai sebagai “ibukota esports“. Mereka berharap untuk merealisasikan rencana itu dalam waktu 3-5 tahun ke depan.

Shanghai bukan satu-satunya kota yang peduli akan industri esports. Pemerintah Huangzhou juga menunjukkan ketertarikan untuk menjadikan kota turis itu sebagai pusat esports. Untuk itu, pemerintah Huangzhou menyiapkan US$280 juta untuk membangun komplek esports seluas 360 ribu meter persegi. Keputusan pemerintah Huangzhou ini mendorong LGD Gaming dan Allied Gaming untuk membuka kantor di komplek tersebut. LGD Gaming merupakan organisasi esports yang punya beberapa tim sukses, termasuk tim League of Legends. Sementara Allied Gaming mengoperasikan jaringan esports di Tiongkok. Hal ini menunjukkan sinergi antara pemerintah dengan pelaku swasta dari industri esports, bagaimana pemerintah bisa menunjukkan dukungan secara nyata pada pelaku esports.

Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP
Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP

Pada Januari 2021, pemerintah Shanghai memamerkan desain dari esports hub yang hendak mereka bangun. Esports hub yang dinamai Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center ini akan dibuka pada 2024. Untuk membangun fasilitas seluas 500 ribu meter persegi ini, pemerintah Shanghai menggelontorkan uang sebanyak US$900 juta. Salah satu fungsi esports hub itu adalah untuk menjadi tempat diselenggarakannya turnamen esports. Memang, esports hub tersebut dapat menampung penonton hingga enam ribu orang. Setelah esports hub ini jadi, ia akan menjadi salah satu stadion esports terbesar di dunia. Sejauh ini, kebanyakan stadion khusus esports punya kapasitas kurang dari enam ribu orang. Sebagai perbandingan, Esports Stadium Arlington, stadion esports terbesar di Amerika Utara, hanya memiliki kapasitas 2,5 ribu penonton.

Dua fasilitas tadi bukan stadion khusus esports pertama yang dibangun di Tiongkok. Pada 2018, di Tiongkok, telah dibangun Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium, yang memiliki kapasitas 7 ribu orang. Stadion ini juga dilengkapi dengan plaza di bagian luar yang bisa menampung hingga 13 ribu orang. Para penonton yang ada di luar akan bisa menonton jalannya pertandingan melalui layar LED raksasa yang terpasang pada dinding luar stadion.

Sementara di Indonesia, salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan membentuk organisasi yang memayungi esports, yaitu Pengurus Besar Esports alias PB Esports, yang dipimpin oleh Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan. Hanya saja, sebelum PB Esports dibentuk pada Januari 2020, telah ada beberapa organisasi yang menaungi para pelaku dunia game dan esports, seperti Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) yang dibentuk pada Juli 2019 atau Federasi Esports Indonesia (FEI), yang didirikan pada Oktober 2019.

Pada pelantikan anggota PB Esports, Budi Gunawan menjelaskan, pemerintah ingin menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pelaku industri esports melalui PB Esports, mulai dari regulasi sampai training center. Tempat yang dipilih untuk menjadi pusat pelatihan esports adalah Sentul, Bogor. Sayangnya, sampai saat ini, saya tidak lagi mendengar kabar tentang proses pembangunan training center tersebut.

Bentuk dukungan lain dari pemerintah Indonesia adalah dengan menyatakan esports sebagai olahraga berprestasi pada Agustus 2020. Ketika itu, perwakilan PB Esports mengungkap, salah satu langkah konkret yang mereka lakukan untuk mengembangkan ekosistem esports adalah dengan menjaring bibit unggul. Mereka akan mencari para pemain berbakat di tingkat provinsi sebelum mengadu para bibit unggul itu di tingkat nasional. Selain itu, PB Esports juga hendak melakukan pembinaan pada para atlet unggul tersebut.

Berkaca dari akun Instagram resmi PB Esports, mereka telah mengadakan berbagai kompetisi esports di tingkat provinsi dengan game yang beragam, termasuk PUBG Mobile, Mobile Legends, dan PES. Tak hanya itu, mereka juga mengadakan berbagai turnamen esports tingkat nasional, seperti Piala Pelajar yang menawarkan total hadiah hingga Rp500 juta dan Piala KONI yang memiliki total hadiah sebesar Rp200 juta.

Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id
Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id

Dari segi budaya game dan esports, Indonesia juga punya kemiripan dengan Tiongkok. Baik di Indonesia maupun Tiongkok, mobile esports berkembang pesat. Di Tiongkok, hal ini terjadi karena Beijing memang sempat melarang penjualan konsol. Mereka baru mengizinkan penjualan konsol pada 2015. Alhasil, industri game yang berkembang di sana adalah game PC dan mobile game.

Sementara di Indonesia, mobile game dan esports tumbuh karena kebanyakan orang Indonesia memang mengenal internet pertama kali melalui smartphone. Tidak heran, mengingat harga smartphone jauh lebih murah dari PC atau konsol.  Selain itu, kebanyakan mobile game bisa diunduh dan dimainkan gratis. Karenanya, jumlah pemain mobile game bisa lebih banyak dari game PC atau konsol. Dan hal ini memudahkan ekosistem mobile esports tumbuh dan berkembang. Psst, kami juga pernah menjelaskan mengapa game esports yang populer adalah game gratis di sini.

 

Infrastruktur Internet dan Bisnis Smartphone

Suka atau tidak, industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan pertumbuhan dua industri ini sangat tergantung pada industri lain, seperti industri smartphone. Selain itu, infrastruktur internet juga memengaruhi perkembangan industri game dan esports. Tidak peduli sejago apa seseorang, dia tetap tidak akan bisa bermain game online atau bertanding di kompetisi esports jika dia tidak mendapatkan akses ke internet yang memadai. Jaringan internet yang buruk bahkan bisa memaksa tim mundur dari turnamen. Hal ini terjadi pada tim nasional Dota 2 dalam babak kualifikasi IESF World Championship 2020 untuk wilayah Asia Tenggara.

Indonesia dan Tiongkok sama-sama negara berkembang. Meskipun begitu, dari segi kecepatan internet, apalagi internet mobile, Tiongkok sudah jauh lebih baik. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile di Tiongkok mencapai 113,35 Mbps, hanya kalah dari Korea Selatan yang memiliki internet mobile dengan kecepatan 121 Mbps. Sementara kecepatan internet mobile di Indonesia hanya mencapai 16,7 Mbps. Kecepatan internet broadband di Tanah Air juga tidak jauh lebih baik, hanya mencapai 22,35 Mbps. Sementara di Tiongkok, kecepatan internet broadband sudah mencapai 138,66 Mbps. Sebagai perbandingan, Singapura — yang menjadi negara dengan kecepatan broadband tertinggi — memiliki kecepatan internet hingga 226,6 Mbps.

Namun, pemerintah Indonesia dan Tiongkok punya pendekatan yang sama soal internet: keduanya sama-sama peduli akan penyensoran. Tiongkok tidak hanya dikenal dengan Tembok Besar mereka, tapi juga dengan The Great Firewall of China. Memang, begitu Anda memasuki kawasan Tiongkok, akses internet Anda akan dibatasi. Bahkan perusahaan sekelas Facebook dan Google pun dilarang beroperasi di sana.

Secara garis besar, ada tiga alasan mengapa Beijing menyensor internet. Pertama, untuk mengendalikan massa. Media sosial dan internet bisa digunakan untuk mengumpulkan massa demi memprotes pemerintah. Memang, hashtag yang menjadi trending di jagat Twitter tidak melulu berakhir dengan tindakan di dunia nyata. Meskipun begitu, tidak sedikit kasus yang menunjukkan the power of netizens. Seminggu lalu, akun Instagram dari All England sempat hilang karena serbuan netizen Indonesia. Pasalnya, skuad Indonesia dianggap dicurangi, dilarang untuk bertanding karena ada kasus positif corona dalam pesawat yang mereka naiki.

Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia
Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia

Alasan lain pemerintah Tiongkok membatasi akses ke internet adalah untuk mengendalikan informasi sensitif. Dengan membatasi akses masyarakat akan internet, Beijing membatasi informasi yang bisa mereka terima atau bagikan. Jadi, secara teori, pemerintah bisa mengendalikan informasi yang sampai ke tangan masyarakat, khususnya terkait topik sensitif, seperti protes di Hong Kong. Alasan terakhir mengapa Tiongkok menyensor internet adalah untuk melindungi industri lokal. Pemerintah Tiongkok melarang perusahaan asing raksasa seperti Google dan Facebook karena mereka lebih suka untuk menggunakan jasa perusahaan lokal, seperti Baidu, yang menawarkan jasa seperti Google dan dan Weibo, platform media sosial serupa Twitter.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga melakukan penyensoran pada internet. Hanya saja, di sini, alasan pemerintah membatasi akses internet adalah untuk menyensor konten “negatif”, seperti pornografi. Untuk itu, Kominfo bahkan rela menyiapkan Rp194 miliar untuk mendapatkan mesin pengais (crawling). Meskipun begitu, saya cukup yakin saya masih melihat konten pornografi berseliweran di internet. Pada Maret 2018, Kominfo juga pernah memblokir Tumblr. Pemblokiran itu bisa diakali menggunakan VPN. Dua hal ini menunjukkan betapa (tidak) efektifnya penyensoran internet di Tanah Air tercinta.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga tidak hanya menyensor pornografi, tapi juga konten sensitif. Misalnya, pada Agustus 2019, pemerintah melakukan throttling kecepatan internet di Papua sebelum memblokir akses internet sama sekali. Alasannya, pemerintah mengklaim, adalah untuk “menangkal hoaks” yang muncul setelah masyarakat Papua melakukan protes besar-besaran akibat perlakuan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya, seperti dikutip dari Tirto.

Pemerintah Indonesia sempat memblokir internet di Papua. | Sumber: Deposit Photos
Sumber: Deposit Photos

Sekarang, mari kita melirik industri smartphone. Selama ini, Tiongkok dikenal karena punya banyak pabrik, termasuk pabrik smartphone. Sementara Indonesia mulai membahas tentang ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada 2015. Komponen lokal yang bisa dimasukkan ke dalam smartphone berupa hardware, software, atau investasi. Untuk memenuhi TKDN, perusahaan smartphone terkadang bekerja sama dengan pabrik lokal atau bahkan membuat pabrik sendiri. Namun, alasan pembuatan pabrik smartphone di Indonesia dan Tiongkok agak berbeda. Indonesia menerapkan TKDN dengan harapan untuk memajukan industri komponen lokal.

Sementara itu, kebanyakan perusahaan smartphone memang memilih untuk memproduksi ponsel mereka di Tiongkok. Salah satu alasannya adalah karena di Tiongkok, gaji pegawai relatif lebih rendah daripada Amerika Serikat. Selain itu, Tiongkok juga punya banyak pekerja. Dan kebanyakan dari mereka tidak keberatan untuk tinggal di asrama yang dekat dengan pabrik demi memangkas waktu pulang-pergi. Selain dari sisi sumber daya manusia, Tiongkok juga menawarkan keuntungan secara geografis. Pasalnya, lokasi Tiongkok lebih dekat dengan negara-negara pemasok bahan baku untuk membuat smartphone. Jarak yang lebih pendek berarti waktu pengiriman bahan baku yang lebih singkat, yang akan berujung pada waktu produksi yang lebih juga lebih pendek.

Tak terbatas pada infrastruktur internet dan bisnis smartphone, Indonesia dan Tiongkok punya kesamaan di sektor lain, seperti BUMN. Seperti namanya, BUMN alias Badan Usaha Milik Negara merupakan perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh pemerintah. Di sebagian BUMN, pemerintah menguasai keseluruhan saham perusahaan, sementara di sebagian BUMN yang lain, pemerintah hanya menguasai setidaknya 51% saham perusahaan. Secara garis besar ada dua jenis BUMN, yaitu BUMN yang berorientasi pada keuntungan — seperti PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom dan PT Garuda Indonesia — dan BUMN yang fokus pada menyediakan barang atau layanan berkualitas pada masyarakat dengan harga terjangkau, seperti Perum Damri, Perum Perumnas, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga berlaku di Tiongkok.

Sementara itu, di sektor keuangan, Jakarta dan Beijing juga membuat peraturan yang ketat. Mengingat uang memang masalah yang sensitif, tidak heran jika sektor finansial menjadi sektor yang diregulasi secara ketat. Di Indonesia, salah satu bentuk nyata campur tangan pemerintah adalah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada startup fintech. Pada September 2018, OJK mengeluarkan 9 pokok peraturan baru soal fintech, termasuk pemantauan dan pengawasan startup fintech.

Di Tiongkok, regulasi di sektor keuangan malah lebih ketat lagi. Beijing bahkan tidak membiarkan investor asing untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok begitu saja. Jika investor asing ingin menanamkan modal, mereka harus memenuhi setidaknya satu kriteria dari daftar persyaratan yang diberikan oleh Beijing, seperti tinggal di Tiongkok, bekerja di perusahaan ternama asal Tiongkok, atau punya tempat tinggal di Tiongkok. Dan jika seorang investor memang memenuhi kriteria itu, maka pemerintah akan melakukan background check yang ketat sebelum mengizinkan sang investor membeli saham perusahaan Tiongkok. Saham yang bisa dibeli sang investor pun hanyalah saham non-voting. Dengan kata lain, investor asing tidak akan bisa menentukan arah perusahaan, termasuk keputusan untuk melakukan merger atau penunjukan anggota dewan direksi.

Pada Januari 2021, pemerintah Indonesia berencana untuk membatasi investor asing sehingga mereka hanya bisa menanamkan modal di Indonesia dengan nilai di atas Rp10 miliar. Tak hanya itu, menurut CNN Indonesia, investor asing juga harus membuka PT jika mereka ingin melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Namun, peraturan ini tidak berlaku untuk startup teknologi yang ingin berinvestasi di kawasan ekonomi khusus. Walau peraturan terkait investasi asing Indonesia tidak seketat Tiongkok, BUMN biasanya masih mendominasi pasar. Buktinya, IndiHome masih menjadi penyedia layanan internet dengan jangkauan terluas dan pelanggan terbanyak walau sering mendapatkan keluhan.

 

Kesimpulan

Pemerintah Tiongkok tidak segan-segan untuk membatasi akses masyarakat akan internet. Alasan mereka adalah untuk mencegah protes dan melindungi perusahaan lokal dari persaingan global. Hal ini tercermin dalam keputusan yang pemerintah buat di industri game dan esports. Beijing tak segan-segan untuk melarang peluncuran sebuah game buatan developer asing jika game itu tidak sesuai dengan peraturan yang mereka buat atau mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga tidak ragu untuk mendukung para pelaku industri esports, termasuk dalam mengeluarkan uang ratusan juta dollar demi membangun fasilitas esports. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol juga memengaruhi ekosistem esports yang tumbuh. Di Tiongkok, ekosistem esports yang berkembang pesat adalah mobile esports dan PC.

Berbagai keputusan yang diambil Beijing membuat mereka dianggap sebagai pemerintahan yang opresif. Meskipun begitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ash Center, masyarakat Tiongkok merasa puas dengan kinerja pemerintah pusat. Pada 2016, sebanyak 95,5% responden mengaku “cukup puas” atau “sangat puas” akan kinerja pemerintah pusat. Menariknya, tingkat kepuasan masyarakat akan pemerintah lokal justru sangat rendah. Hanya 11,3% responden yang mengatakan bahwa mereka “sangat puas” dengan kinerja pemerintah lokal, seperti yang disebutkan oleh Harvard Gazette.

Walau pemerintah Indonesia punya banyak kemiripan dengan pemerintah Tiongkok, ada juga beberapa perbedaan antara keduanya. Salah satunya adalah konsistensi. Pemerintah Tiongkok lebih konsisten dalam menegakkan peraturan yang mereka tetapkan. Mereka juga tidak segan-segan untuk memblokir perusahaan sekelas Google atau Facebook. Bahkan Apple dan NBA pun harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Beijing jika mereka ingin berbisnis di Tiongkok.

Feature Image via: CGTN

The Love Triangle That Exists Between Video Games, Anime, and Esports

In Japan, anime are usually based on popular mangas. Popular mangas are sometimes also adapted to other media, such as video games. Dragon Ball is one of the most popular examples in this case. How many anime and video games have been made based on Akira Toriyama’s legendary series? Today, the gaming industry is also closely tied to the completely new esports industry. Given the close relationship between the gaming industry and anime, does that mean there is definitely a place for esports?

 

Video Games, Anime, and Esports

Last week, Team Liquid announced that they had a new collection of apparel. Unlike their other merchandise, Team Liquid collaborated with Naruto Shippuden in their brand new clothing line. On Twitter, the announcement of Team Liquid’s collaboration with Naruto received a great reception, evident from the 7 thousand retweets and 29 thousand likes the tweet received. By comparison, when LA Thieves announced their new kit on Twitter, they only had 268 retweets and 3.2 thousand likes. This discrepancy may prove that esports fans really like anime.

Unfortunately, the same chemistry does not apply between the esports and anime industry. Currently, there are not many collaborations between the two industries, even though both the esports-gaming and gaming-anime industry relationships meshes incredibly well. The first anime to be adapted from a game is Super Mario Bros: Peach-Hime Kyushutsu Dai Sakusen! The anime ran for 1 hour daily in 1986.

In 1988, the Astro Boy game – which is also based on the anime – was released for the PC platform. This game is one of the few first games which are adapted from the original anime. Since then, there have been many games based on popular anime, such as Dragon Ball, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Inuyasha, Initial D, Naruto, One Piece, and even Doraemon. There are also quite a lot of anime that are based on video games, such as Devil May Cry, Fatal Fury, Kingdom Hearts, Street Fighter, Virtua Fighter, and Final Fantasy XV.

There are also a number of anime that adapt the video game theme into their story. These are anime like Overlord, Sword Art Online, Log Horizon, No Game No Life, and .hack. Even though the game anime genre is not included in the list of the most popular anime, the Sword Art Online anime still has a very large following until today. The first season of Sword Art Online aired in 2012, implying that the genre has been popular for a very long time.

Anime also often carries popular sports themes such as soccer, basketball, and baseball. Sometimes less popular sports are also used as a theme, such as volleyball, bicycle racing, or American football. Esports itself is increasingly being recognized as a sport. However, almost no anime has an esports theme. So far, the only anime with an esports theme is High Score Girl. The anime was released in 2018. The story, however, was set in 1991. Therefore, you cannot expect to witness the developed esports ecosystem similar to today’s standards.

Currently, the only animation with a plot based on esports players is Quan Zhi Gao Shou or The King’s Avatar. It’s just that, The King’s Avatar – which is available in comic, animation, and even live-action form – is made in China and not Japan. On the other hand, Netflix has also just announced the anime series Dota: Dragon’s Blood. The series based on Dota 2 will launch on March 25, 2021. Although it is claimed to be an authentic “anime”, Dragon’s Blood is handled by Studio MIR, a South Korean studio that previously made The Legend of Korra and Voltron: Legendary Defender.

The two examples above show China and South Korea much faster than Japan in adopting the esports theme. Even the Japanese government alone is remarkably slow to support the esports industry. They only revealed their plan to develop the esports industry last May of 2020.

"Kota Esports" yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider
“Esports City” made in Hangzhou. | Source: Esports Insider

In comparison, Hangzhou – a city in China known for its tourism industry – has opened an “esports city” in November 2018. The Hangzhou government went full onboard and spent RMB2 billion (around 4.3 trillion Rupiah) to create an esports city as large as 3.94 million square feet. The central government of China also voices its interest regarding esports. In February 2019, Beijing recognized esports players as an official profession. In Indonesia, President Joko Widodo says that the government will support the esports industry by building digital infrastructure. In the 2019 Presidential Cup, esports has been included as one of the ongoing competitions.

Why is Japan slow to adopt esports culture even though half of their population is practically gamers? One reason for this is that most of the games played by Japanese gamers – both on mobile and console – are single-player games. Since single-player games rarely promote the element of competition, Japan’s esports ecosystem has not grown as fast as other countries where the majority of the population plays multiplayer and competitive games.

The number of professional players can be a benchmark to visualize the growth of the esports ecosystem in a country. According to Statista, in 2019, there are only 578 pro players in Japan. Meanwhile, in China and South Korea, the number of pros reaches beyond 1000. Indeed, China has a much larger population than Japan. In 2019, China has a population of approximately 1.4 billion, while Japan’s population only reaches 126 million people. However, South Korea’s population, of 51.7 million people, is much smaller than Japan’s. Therefore, we can conclude that the number of professional players in a country is not only influenced by the size of the population.

Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista
The number of professional gamers in each country in 2019 | Source: Statista

As further proof, the United States has the most number of professional esports players in the world, reaching more than 5 thousand pros. However, United States’ population is only 328 million people, which does not reach even half of China’s population

 

Advantages that the Cooperation between Esports and Anime Industry can bring

If Japan’s esports ecosystem is relatively undeveloped, why did the collaboration between Team Liquid and Naruto sparked so much interest? The reason is pretty simple: esports and anime viewers have lots of similar characteristics.

“I am even more surprised why the collaboration between the two industries didn’t happen sooner,” said Irliansyah Wijanarko SaputraChief Growth OfficerRevivalTV, expressing his opinion on the collaboration between Team Liquid and Naruto. “Today, esports is not just about competitively playing games but also has become a lifestyle for the millennials and the generations below. Therefore, it is only natural that anime, a mainstream form of entertainment for these generations, will be working with the esports industry.”

Irli compared the collaboration between Team Liquid and Naruto with the collaboration between automotive and golf companies. “There are BMW golf clubs, or the Gucci or LV brands that make bicycles. These sorts of collaboration occur because golf and bicycles are indeed entertainment and part of the lifestyle of the previous generation,” he said.

Meanwhile, ShoutcasterWibi “8KEN” Irbawanto mentioned that although the demographics of esports and anime viewers are not always the same, they both may have a lot in common. “We have seen several efforts put forth by the game developers to create cross-content, such as League of Legends with its Sailor Moon skin or CS: GO with anime character face skins. Thus, it can be implied that the demographics of the esports and anime industries do intersect to some extent.”

According to a GameScape report from Interpret in 2017, the average age of esports viewers in the US is 28. 39% of esports viewers are also 25-34 years old. When compared to the demographics of the esports audience, the target audience for anime is much broader. Anime targets audiences of all ages, from children to adults. As a result, anime is also categorized by gender and age. For example, the shounen and shoujo categories target adolescents aged 12-18 years; seinen and josei target audiences aged 18-40 years; kodomo is suited for children under the age of 10. Even so, as mentioned by Irli and Wibi, there is an intersection between esports and anime audiences.

What does exactly mean?

In marketing, there is the term called “targeting in marketing“. The term refers to a strategy focusing on a specific customer segment. One of the goals of targeting is to increase sales figures. As an illustration, if you try to sell chocolates on Valentine’s Day, you will get a larger profit if you sell chocolates to people who are not single. You might not obtain much success if you try to sell Valentine chocolates to singles.

The same can be applied in esports and anime. Esports and anime fans have a lot in common, as mentioned by Irli. Therefore, esports fans are more likely to watch anime or buy anime merchandise and vice versa. According to Irli, anime fans are very likely to be interested in esports because it usually features content with the “journey in becoming a hero” concept. This type of concept or plot is frequently present in anime, especially shounen, like Naruto.

For esports organizations, one of the benefits of collaborating with well-known anime is brand exposure. By creating Naruto-themed clothing, Team Liquid can expose their brand to Naruto fans and anime in general.

“The collaboration between Team Liquid and one of the biggest brands in the anime world, Naruto, should be able to attract the masses to buy a new Team Liquid apparel,” said Wibi. “Customers who access the Team Liquid’s store will also discover other Team Liquid products which can be promoted or shared through social media, hence the brand exposure.”

 

Potential Collaboration Between Indonesian Esports Organizations and Anime

When asked if a local esports organization could follow in Team Liquid’s footsteps, Irli replied, “It’s just a matter of time before someone does it.” However, he also discussed the challenges that Indonesian esports organizations must face if they want to collaborate with anime. “The most difficult obstacle to overcome is gaining access to the anime license. Anime franchises rarely collaborate with the esports sector. Instead, they usually cooperate with agencies in the form of community events.” said Irli.

Irli suggests that the most feasible approach for local esports organizations to collaborate with anime franchises is through Dentsu, a Japanese advertising and PR company that already has a branch in Indonesia. “You must first try to make contact with Dentsu. Then, Dentsu can connect you with the esports team,” he said.

If Indonesian esports organizations want to collaborate with anime franchises, they will also need to make sure that the collaboration will be successful. The collaboration usually might not seem to be very prosperous in the short term. Therefore, Indonesian esports organizations must convince the anime license holders to do a long-term collaboration. Meanwhile, the only logical approach that fulfills this objective is apparel collaboration, as was done by Team Liquid with Naruto.

Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.
The T-shirt collaboration between Team Liquid and Naruto

Local esports organizations can also opt to cooperate with local comic or animation franchises. However, this collaboration is not mutualistic for both parties. Irli mentions that esports is far more popular than local comics brands. “It is not exactly a business cooperation,” he said. “because the esports organization will end up supporting the local comic business and not the other way around.”

Even so, Irli said that it is possible that the local esports teams will collaborate with Indonesian comic artists or animators to create an entirely new intellectual property. “For example, there is a plan to create a new comic or universe as part of their future business prospect,” he said. “It is possible that the esports team will cooperate with local comic artists to market their new IP.”

 

Conclusion

Video games and anime meshes really well together. The collaboration between the two industries has also been going on for decades. Considering that esports is a derivative of the game industry, esports should technically have no problem cooperating with anime, right? Well, not exactly.

Unfortunately, so far, there has not been much cooperation between esports and the anime industry. One of the reasons behind this is Japan’s underdeveloped esports ecosystem. Even so, Team Liquid has paved the way with its collaboration with Naruto Shippuden. On paper, this cooperation should turn out well for both parties because esports and anime viewers have several similarities.

Of course, we can only wait and observe the extent of the success of this collaboration. However, if this collaboration proves to be successful, we can definitely see more esports organizations following in Team Liquid’s footsteps.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

PUBG Mobile vs Free Fire: Data & Fakta, Ekosistem Esports, Serta Masa Depan

PUBG Mobile dan Free Fire adalah dua game yang kerap diperdebatkan soal siapa yang lebih baik atau keren. Namun konotasi “baik” atau “keren” sebenarnya relatif dan subjektif. Maka dari itu mari kita mencoba lebih objektif dalam membandingkan dua game tersebut. Dalam artikel ini kita akan bicara data dan fakta, serta membahas bagaimana perkembangan ekosistem esports-nya, sampai memprediksi nasib masa depan yang mungkin terjadi bagi kedua game tersebut.

Tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai membahas dua game Battle Royale terpanas di mobile tersebut, dimulai dari kulit terluarnya.

 

Mengupas Kulit Luar PUBG Mobile dan Free Fire

Sebelum membahas ke aspek yang lebih “dewasa”, mari kita bahas kulit terluar dari dua game tersebut terlebih dahulu yaitu gameplay. Dua game tersebut sama-sama Battle Royale. Apa itu Battle Royale? Bagaimana cara bermainnya?

Battle Royale adalah genre yang cukup unik, bahkan bagi para gamers sekalipun. Ketika konsep permainan tersebut pertama kali diperkenalkan 2017 lalu, konsep ini segera menjadi tren baru yang diadaptasi ke dalam berbagai bentuk oleh berbagai developer. Dalam ranah mobile, dua yang paling besar dan gencar persaingannya adalah PUBG Mobile dan Free Fire.

Apa bedanya Battle Royale dengan genre game lain? Game kompetitif pada umumnya menggunakan konsep permainan tim vs tim beranggotakan 5 orang. Pertandingan bisa dilakukan dalam permainan MOBA (Mobile Legends contohnya) atau First-Person Shooter (Point Blank atau Counter-Strike). Battle Royale sedikit berbeda.

Mode kompetitif Battle Royale mempertandingkan 14 tim sekaligus. Masing-masing tim berisikan 4 pemain. Tujuan yang harus dicapai masing-masing tim adalah menjadi tim yang bertahan hidup paling terakhir. Cara bertahan hidup bisa bervariasi, bisa dengan bersembunyi, ataupun secara agresif mengalahkan tim lain. Dalam PUBG Mobile dan Free Fire, cara mengalahkan tim lain adalah menembaki musuh-musuhnya dengan menggunakan senjata.

Lalu apa yang jadi perbedaan utama antara PUBG Mobile dengan Free Fire? Perbedaan tersebut datang dari sisi cara memainkan game-nya (disebut juga mekanik permainan). Sebagai game tembak-tembakkan, kemampuan pemain untuk mengarahkan lalu menembakkan senapan ke arah musuh sangatlah diutamakan.

Dalam Free Fire, proses mengarahkan dan menembak musuh banyak dibantu oleh sistem game-nya sendiri. Beberapa contoh bantuannya sendiri adalah: bidikan (crosshair) senjata yang akan berubah warna saat mengarah tepat ke musuh dan bantuan untuk mengarahkan kembali bidikan ke arah musuh apabila melenceng terlalu jauh (disebut juga aim-assist). Hentakan senjata (disebut juga weapon recoil) juga sengaja dibuat lebih bisa diprediksi agar pemain bisa menembaki musuhnya dengan lebih mudah.

Lalu bagaimana dengan PUBG Mobile? Mekanisme menembak di PUBG Mobile cenderung lebih sulit. Mekanismenya jadi lebih sulit karena minimnya bantuan dari sistem game. Bantuan yang seperti apa? Warna bidikan di PUBG Mobile akan tetap sama ke manapun arahnya, walau tetap memberi timbal balik visual apabila tembakan Anda mengenai orang lain atau objek-objek yang bisa dihancurkan (kendaraan misalnya). PUBG Mobile sebenarnya juga punya aim-assist, tetapi bantuan dari sistem game untuk mengarahkan kembali bidikan yang melenceng tergolong minim. Selain itu, fitur aim-assist di dalam PUBG Mobile juga bisa dimatikan, tidak seperti di Free Fire yang bersifat permanen. Hentakan senjata di PUBG Mobile juga dibuat layaknya senjata di dunia nyata sehingga pemain cenderung lebih sulit untuk menembaki musuh.

Karena perbedaan mekanisme perrmainan tersebut, PUBG Mobile dan Free Fire cenderung menciptakan segmentasi yang berbeda. PUBG Mobile cenderung lebih digandrungi oleh pemain yang kompetitif, suka tantangan, dan cenderung lebih dewasa. Pada sisi lain, Free Fire lebih digandrungi oleh pemain tipe casual yang cenderung lebih muda, walau tetap bisa dinikmati secara kompetitif juga.

Di luar dari gameplay, PUBG Mobile dan Free Fire juga punya beberapa perbedaan aspek visual. Tema visual dan perlengkapan persenjataan di dalam PUBG Mobile cenderung lebih realistis dan militaristik. PUBG Mobile tetap menyajikan skin warna-warni, tapi persenjataan di PUBG Mobile tetaplah persenjataan yang lazim digunakan di dunia milier (seperti granat, flashbang, dan berbagai jenis senjata api yang memang ada di dunia nyata).

Free Fire punya tema visual yang lebih berwarna-warni dan dilengkapi dengan beberapa perlengkapan yang bersifat futuristik dan fantasi. Free Fire sebenarnya tetap memiliki senjata yang berasal di dunia nyata, tetapi beberapa persenjataan lain adalah sesuatu yang bersifat fantasi. Beberapa contohnya seperti: Gloo Wall yang memungkinkan pemain memunculkan tembok es untuk bertahan, karakter yang punya berbagai macam kemampuan, ataupun kendaraan-kendaraan yang terlihat futuristik.

Setelah membahas kulit luarnya, mari kita menyelam ke dalam pembahasan “dewasa” yang tadi saya janjikan, yaitu aspek ekosistem esports, perkembangan jumlah pemain, dan pemasukan dari kedua game tersebut.

 

Ekosistem Esports PUBG Mobile vs Free Fire

Skema ekosisstem esports PUBG Mobile sudah sempat kita bahas pada kesempatan sebelumnya. Lalu bagaimana dengan ekosistem esports Free Fire? Ada turnamen apa saja? Bagaimana skema dari sisi kompetitifnya? Free Fire punya empat kompetisi di Indonesia. Ada Free Fire Masters League dan Free Fire Indonesia Masters sebagai dua kompetisi kasta utama yang dibuat oleh pihak pertama yaitu Garena Indonesia selaku publisher game. Free Fire Masters League bisa dikatakan sebagai babak Regular Season dari satu musim kompetisi, sementara Free Fire Indonesia Masters adalah babak Playoff-nya.

Selain dua kompetisi utama tersebut, Garena Indonesia juga punya dua jenis kompetisi lain. Ada Free Fire The One yang menjadi wadah kompetisi bagi solo player dan Free Fire Royale Combat sebagai wadah kompetisi tim-tim amatir. Sistem kompetisi esports yang diadopsi oleh skena Free Fire sendiri sebenarnya bisa dibilang sebagai sistem campuran.

Garena Indonesia menerapkan sistem tertutup untuk Free Fire Masters League. Liga FFML tergolong sebagai sistem tertutup karena seleksi dilakukan secara terbatas. Selain itu, tim yang ingin ikut serta juga tidak bisa cuma modal jago saja. Christian Wihananto selaku Produser Free Fire dari Garena Indonesia sempat menjelaskan proses masuk ke dalam FFML pada konfrensi pers peluncuran FFML Season 1 yang dilakukan pada awal Januari 2020 lalu. Chris menjelaskan adanya seleksi administratif dan keharusan buy-in slot seharga Rp50 juta bagi tim yang ingin masuk ke dalam liga FFML.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Skema Esports Free Fire Masters League.

Tetapi ada sedikit perbedaan antara sistem tertutup yang diterapkan di Free Fire Masters League dengan Franchise League yang diterapkan Mobile Legends: Bang-Bang pada liga MPL. Model franchise dalam liga MPL menetapkan 8 tim yang bertanding di dalamnya sebagai peserta tetap, tanpa adanya sistem promosi ataupun relegasi.

Sementara investasi ke dalam Free Fire Masters League hanya berlaku untuk satu musim saja. Seiring perkembangannya, Free Fire Masters League di musim ke-3 bahkan memperkenalkan FFML Divisi 2 dan menyertakan sistem promosi-relegasi. Karenanya peserta FFML Divisi 2 yang memiliki performa baik akan punya kesempatan untuk naik ke divisi 1 dan sebaliknya (Tim divisi 1 yang berperforma buruk akan turun ke divisi 2 pada musim berikutnya). Maka dari itu liga FFML sendiri memang tidak bisa dibilang sebagai franchise league murni.

Dalam wawancara yang saya lakukan, Christian Wihananto mengatakan bahwa dirinya lebih suka menyebut liga FFML sebagai buy-in model. Selain itu, skena esports Free Fire juga menyertakan sistem terbuka lewat kompetisi Free Fire Indonesia Masters (FFIM). Kompetisi FFIM mempertandingkan 12 tim terbaik se-Indonesia. 12 tim yang bertanding terdiri dari 6 tim yang datang dari Free Fire Masters League dan 6 tim sisanya dari babak Play-Ins.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.

Bagaimana dengan ekosistem bisnis esports Free Fire? Model bisnis ekosistem esports Free Fire sebenarnya bisa dikatakan masih mirip dengan PUBG Mobile ataupun Mobile Legends: Bang-Bang. Kemiripannya terlihat dari besarnya peran publisher (yaitu Garena Indonesia) di dalam bisnis esports Free Fire. FFML, FFIM, sampai turnamen-turnamen tingkat grassroot seperti FFRC dan FF The One, semuanya diselenggarakan oleh Garena Indonesia sendiri.

Namun demikian, salah satu perbedaan cukup terlihat ketika kita membicarakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa di dalam skena PUBG Mobile dan Free Fire. Dalam ekosistem PUBG Mobile, kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa juga diselenggarakan oleh Tencent Games selaku publisher game tersebut di Indonesia. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship atau PMCC.

Sementara pada sisi lain, kebanyakan turnamen pelajar di ekosistem Free Fire diselenggarakan oleh pihak ketiga, bahkan beberapa di antaranya melibatkan badan pemerintah. Beberapa contohnya adalah seperti Dunia Games Campus League (2019) dan IEL University Series (2020).

Selain itu, segmentasi dua game tersebut sebenarnya juga cukup terlihat dari penyelenggaraan kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa. Seperti yang sebelumnya saya sebut, PUBG Mobile cenderung menyasar anak kuliahan lewat penyelenggaraan turnamen seperti PMCC.

Sementara itu kompetisi Free Fire cenderung menyasar anak sekolah. Selain dua contoh yang saya sebut di atas, Free Fire juga punya turnamen-turnamen yang diikuti oleh anak sekolah. Beberapa contohnya seperti Piala Pelajar (khusus pelajar setingkat SMA) atau Piala Menpora Esports (terbuka untuk pelajar setingkat SMA dan mahasiswa). Sama seperti sebelumnya, dua turnamen tersebut juga diselenggarakan oleh pihak ketiga.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Kelanjutan soal segmentasi akan saya bahas pada sub-pembahasan berikutnya. Sekarang mari kita melihat presensi global kedua game tersebut dari segi esports.

Tahun 2020 lalu dua game tersebut sama-sama menyelenggarakan turnamen internasional secara online. PUBG Mobile menyelenggarakan PUBG Mobile World League pada bulan Juli hingga Agustus 2020 lalu, sementara Free Fire mengadakan FF Continental Series di bulan November.

Dua turnamen tersebut sama-sama membagi pesertanya berdasarkan regional agar memudahkan teknis penyelenggaraan turnamen internasional secara online. PMWL membagi turnamennya menjadi dua bagian: East Region (negara-negara Asia dan sekitarnya) dan West Region (negara-negara barat dan sekitarnya). FFCS membagi turnamennya menjadi tiga bagian: EMEA (Timur tengah dan sekitarnya), Americas (Amerika Latin dan sekitarnya), dan Asia (SEA dan sekitarnya).

Walaupun Free Fire punya lebih banyak region pertandingan, tetapi PUBG Mobile ternyata punya lebih banyak perwakilan negara. Mengutip dari data Liquidpedia, tercatat ada 31 negara yang terwakilkan melalui pemain-pemain yang tergabung dalam PWML: West Region dan 13 negara untuk PMWL East Region. Maka dari itu, total ada 44 negara negara terwakili di dalam gelaran PMWL.

Masih mengutip dari Liquidpedia jumlah negara yang terwakilkan di FFCS lebih sedikit. Tercatat ada 12 negara terwakilkan melalui pemain-pemain yang jadi peserta di FFCS: Americas, 13 negara di FFCS: EMEA, dan 7 negara di FFCS Asia. Maka dari itu total ada 32 negara terwakilkan di dalam gelaran FFCS.

Presensi global esports kedua game tersebut juga bisa kita lihat salah satunya melalui jumlah tayangan bahasa lokal yang disajikan kedua turnamen tersebut. Mengambil data menggunakan fitur pro dari Esports Charts, PMWL memiliki total 16 tayangan bahasa lokal (tidak termasuk bahasa Inggris) dengan 9 bahasa untuk PMWL East dan 7 bahasa untuk PMWL West.

Beralih ke Free Fire, FFCS memiliki total 10 tayangan bahasa lokal (tidak menyertakan bahasa Inggris) dari 3 region yang dipertandingkan tersebut. Dari total 10 tayangan bahasa lokal tersebut, pembagiannya adalah 2 bahasa untuk FFCS: EMEA, 6 bahasa untuk FFCS: Asia, dan 2 bahasa untuk FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
Data viewership FFCS: Asia. Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Data viewership PMWL: East Region. Sumber: Esports Charts

Lalu bagaimana jika bicara dari viewership secara internasional? Untuk bagian ini saya kembali menggunakan data dari Esports Charts. Secara angka, Free Fire memang punya jumlah viewers yang lebih banyak ketimbang PUBG Mobile. Namun keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki basis penggemar terbesar di Asia. Menurut catatan Esports Charts, PMWL: East berhasil mebukukan 1,1 juta lebih peak viewers sementara FFCS: Asia membukukan 2,5 juta lebih peak viewers. Data lebih lengkapnya bisa Anda lihat pada gambar yang saya sajikan di atas.

 

Data Jumlah Pemain dan Pemasukan PUBG Mobile vs Free Fire

Dua game tersebut sedari awal memang sudah membedakan segmentasinya. Hal itu dapat kita lihat buktinya melalui laman Google Play. Dari laman Google Play, kita bisa melihat PUBG Mobile memiliki rating 16+ sementara Free Fire memiliki rating 12+. Karenanya jadi tidak heran juga kenapa Free Fire menyajikan gameplay yang lebih sederhana yang dilengkapi dengan aspek visual yang warna-warni, futuristik, juga bersifat fantasi.

Walaupun punya dua segmentasi yang berbeda, kedua game tersebut menjalani persaingan yang ketat dari segi angka. Mari kita lihat dulu dari segi jumlah pemain. Mengutip dari Invenglobal yang merujuk ke Business of Apps, jumlah pengguna harian PUBG Mobile sempat mencapai angka 65 juta pemain (peak Daily Active Users) pada tahun 2020 lalu.

Sumber: Google Play
Free Fire dipatok dengan rating 12+. Sumber: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile dipatok dengan rating 16+. Sumber: Google Play

Untuk Free Fire, SEA (perusahaan induk Garena) sempat mempublikasikan laporan keuangan perusahaan mereka pada bulan Agustus 2020 lalu. Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa Free Fire sempat mencapai 100 juta pengguna harian (peak Daily Active Users). Masih mengutip dari laporan keuangan tersebut, dikatakan juga bahwa Free Fire berhasil masuk daftar Top Grossing di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Free Fire juga masuk peringkat 3 most downloaded dalam kategori mobile games secara global.

Setelah membahas jumlah pemainnya, sekarang mari melanjutkan pembahasan dari segi pendapatan dari kedua game. Walaupun PUBG Mobile kalah jumlah pemain, tapi game yang dikembangkan oleh Lightspeed & Quantum tersebut ternyata lebih menguntungkan ketimbang Free Fire, mengutip dari data pemasukan terakhir kedua game tersebut.

Sumber Data - Sensor Tower.
Sumber Data – Sensor Tower.

Sensor Tower melaporkan pada bulan Desember 2020 lalu bahwa PUBG Mobile berhasil mencetak US$2,6 miliar. Catatan pendapatan tersebut merupakan gabungan dari game PUBG Mobile yang dirilis secara global dan pendapatan dari Peacekeeper Elite yang merupakan versi lokal Tiongkok atas game tersebut. Dengan total pendapatan tersebut, PUBG Mobile pun menjadi game dengan pendapatan tertinggi di atas Honor of Kings (AOV versi Tiongkok), Pokemon GO, dan 3 game casual lainnya (Coin Master, Roblox, dan Monster Strike).

Sementara itu, Free Fire sempat berhasil membukukan pendapatan sebesar US$2,13 miliar berdasarkan dari data yang dikeluarkan oleh SuperData. Karenanya Free Fire digolongkan sebagai game free-to-play paling menguntungkan di tahun 2020 bersama dengan Pokemon GO, Roblox, League of Legends, dan lain sebagainya.

Dari kedua data tersebut, kita bisa melihat bahwa Free Fire dan PUBG Mobile tergolong punya kesuksesannya masing-masing di ranah genre Battle Royale untuk mobile. Free Fire berhasil menggaet banyak pemain berkat gameplay yang lebih casual dan beragam skin serta kolaborasi yang dilakukan. Pada sisi lain, walaupun punya jumlah pemain yang lebih sedikit, pemain PUBG Mobile cenderung lebih mudah untuk dikonversi menjadi paid-user yang mungkin terjadi berkat segmentasi pemainnya yang lebih dewasa.

Dengan berbagai kesuksesan yang mereka dapatkan di tahun 2020 lalu, bagaimana iklim perkembangannya di masa depan? Mari kita berlanjut ke sub-topik berikutnya untuk mendiskusikan masa depan kedua game tersebut dari sisi esports ataupun daya tarik masyarakat.

 

Menatap Masa Depan Battle Royale dan Iklim Perkembangan PUBG Mobile vs Free Fire.

Dari sisi iklim perkembangannya, game PUBG Mobile sebenarnya bisa dikatakan kurang beruntung. Game PUBG Mobile sempat mengalami banyak kontroversi secara internasional ataupun lokal.

Secara internasional, PUBG Mobile kerap kali dianggap sebagai game yang memberikan “dampak negatif.” PUBG Mobile sempat diblokir di Pakistan gara-gara hal tersebut. Selain itu, PUBG Mobile juga diblokir di India walau karena perkara yang berbeda. Lalu dari tingkat lokal, PUBG Mobile juga dicap haram oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sejak bulan Juni 2019 lalu.

Dalam kasus lokal, mengutip dari Kompas.com, PUBG Mobile diblokir karena dianggap menyebabkan kecanduan. Dalam kasus internasional, masalahnya juga sama. Mengutip India.com, dikatakan bahwa salah satu alasan Pakistan memblokir PUBG Mobile adalah karena masyarakat menganggap game tersebut bersifat adikfif dan berpotensi memberi dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan psikis anak.

Pandangan negatif tersebut memang sering tercetus di masyarakat, terutama apabila membahas soal game online. Walaupun sering dicetuskan, namun pandangan negatif itu sebenarnya lemah argumentasinya. Pembahasan lebih panjangnya bisa Anda lihat pada artikel Hybrid.co.id yang satu ini.

Di luar dari itu, menurut opini saya pribadi, konten game yang cenderung realistis dan bersifat militaristik mungkin jadi alasan munculnya rasa paranoid atas PUBG Mobile. Apabila Anda memainkan PUBG Mobile tanpa skin, kosmetik, atau konten tambahan yang disajikan Lightspeed & Quantum, Anda bisa lihat sendiri bagaimana PUBG Mobile menyajikan dunia yang kelam, berisi peperangan, dan penuh kekerasan.

Gara-gara konten perang dan kekerasan tersebut, PUBG Mobile sendiri sebenarnya sempat diblokir di negara asal pengembangnya yaitu Tiongkok. Karena hal tersebut, PUBG Mobile pun kini berganti nama menjadi Peacekeeper Elite di Tiongkok dan meminimalisir konten kekerasan di dalamnya.

Tencent selaku publisher dan Lightspeed & Quantum selaku developer mungkin sadar bahwa salah satu alasan banyaknya kontroversi terhadap PUBG Mobile adalah karena konten peperangan yang disajikan. Maka dari itu, seiring perkembangannya, PUBG Mobile pun berusaha untuk memberi lebih banyak warna ke dalam game PUBG Mobile. Salah satu usaha untuk memberli lebih banyak warna ke dalam game adalah dengan menghiasi PUBG Mobile menggunakan berbagai skin bertema futuristik. Salah satu contohnya mungkin bisa Anda lihat dari konten Royale Pass Season 18 yang baru saja dirilis.

pubgm royale pass 18

Bagaimana dengan Free Fire? Walaupun sama-sama Battle Royale, Free Fire cenderung lebih minim kontroversi. Dari sisi konten, game Free Fire memang terlihat realistis pada awalnya. Namun seiring waktu, Free Fire juga terus berusaha mengembangkan kontennya ke arah game fantasi yang bersifat futuristik. Selain itu, Garena selaku publisher juga giat melakukan kolaborasi konten untuk semakin mengedepankan unsur fantasi ke dalam game tersebut.

Free Fire sempat berkolaborasi dengan serial Money Heist dari Netflix, pesepak bola Christiano Ronaldo untuk menghadirkan karakter Chronos, sampai anime Attack on Titan untuk menampilkan karakter Eren Jaeger ke dalam game. Free Fire sebenarnya juga sempat diblokir pemerintah India, namun pemblokiran tersebut lebih ke arah bentuk pemboikotan India terhadap produk-produk besutan Tiongkok yang terjadi karena masalah konflik perbatasan India-Tiongkok.

Sebagai pembahasan terakhir, hal yang menjadi pertanyaan mungkin adalah bagiamana nasib genre Battle Royale dan esports atas game tersebut ke depannya? Dari sisi esports, walaupun genre Battle Royale memang sempat mendapat kritik ketika saat dikompetisikan, namun perkembangan pesat Free Fire dan PUBG Mobile sebagai esports sebenarnya sudah jadi bentuk bukti minat pasar ke esports Battle Royale.

Namun demikian, seiring perkembangannya, baik PUBG Mobile ataupun Free Fire kerap kali melakukan perubahan format. Tetapi perubahan dan evolusi tersebut sebenarnya bisa dianggap positif mengingat posisi genre Battle Royale sebagai esports yang masih belia sehingga terus butuh perubahan untuk menemukan format terbaiknya.

Dalam kasus PUBG Mobile misalnya, saya sempat membuka diskusi membahas kemungkinan penggunaan mode First-Person Perspective untuk pertandingan esports-nya. Dari pembahasan tersebut, kita bisa melihat bahwa memang masih ada ruang untuk membuat esports genre Battle Royale jadi lebih baik lagi. Pembahasan tersebut masih baru satu aspek saja. Masih ada aspek lain yang sebenarnya juga bisa dipertanyakan seperti format turnamen yang tepat ataupun format pemberian poin yang adil baik untuk Free Fire ataupun PUBG Mobile.

Lalu bagaimana dengan genre Battle Royale sendiri? Apakah game dengan genre tersebut akan pudar popularitasnya di masa depan? Sebenarnya agak sulit untuk memprediksi hal tersebut.

Untuk menjawab perkara ini, sepertinya saya akan kembali mengutip pembahasan saya soal kausalitas antara game gratis dengan esportsDari pembahasan tersebut kita bisa menyadari bahwa memang kehadiran ekosistem esports bisa membuat sebuah game (atau genre game) jadi lebih panjang hajat hidupnya. Selama esports game Battle Royale masih ada, maka pemain baru untuk genre tersebut mungkin akan terus muncul, entah karena ingin menjadi pemain esports atau sekadar ingin menjajal gara-gara menonton pertandingannya.

Mengingat gameplay genre Battle Royale yang penuh aksi dan punya durasi yang pas, sepertinya dua game tersebut punya potensi untuk terus bertahan di dalam ekosistem esports sampai bertahun-tahun ke depan.

Mengupas Otak Kecerdasan Buatan: Di Balik Cara Berpikir Artificial Intelligence di Game

Apa yang muncul di benak Anda ketika Anda mendengar istilah kecerdasan buatan alias artificial intelligence? Mesin pembunuh seperti Terminator? Atau justru robot yang lucu seperti Wall-E? Menurut Oxford Languages, artificial intelligence adalah sistem komputer yang dapat melakukan tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti mengambil keputusan, menerjemahkan bahasa, atau mengenali gambar dan suara.

Sekarang, AI sebenarnya telah banyak digunakan di dunia nyata, walau pengaplikasian AI mungkin tidak sedramatis Detroit: Become Human. Salah satu contoh penggunaan AI di dunia nyata adalah asisten digital, seperti Siri, Cortana, Alexa, dan Google Assistant. Selain pada asisten digital, Google juga menggunakan AI pada mesin pencari mereka. Tak hanya Google, perusahaan e-commerce seperti Amazon pun sudah menggunakan AI.

Lalu, bagaimana AI diterapkan dalam game? Dan, bagaimana caranya jika Anda ingin mencoba berkreasi membuat AI sendiri di game?

 

AI Di Game dan Di Kehidupan Sehari-Hari

Jika Anda pernah bermain game, Anda pasti pernah berinteraksi dengan AI, tak peduli genre game yang Anda mainkan. Dalam game, salah satu penggunaan AI adalah untuk membuat Non-Player Characters alias NPC menjadi terlihat manusiawi. Ketika Anda berinteraksi dengan NPC — baik lawan atau kawan — dia akan bereaksi sesuai dengan aksi yang Anda lakukan.

Misalnya, dalam game shooter seperti Borderlands, jika Anda berlari ke arah musuh begitu saja, tentu musuh akan menembak Anda. Sementara dalam game yang fokus pada cerita, dialog dan aksi yang Anda pilih akan memengaruhi persepsi NPC pada Anda. Dalam Stardew Valley atau game serupa, jika Anda ingin memenangkan hati para love interest, maka Anda harus memberikan item yang mereka sukai.

Dalam membuat AI di game, salah satu metode yang developer biasa gunakan adalah Finite State Machine (FSM), menurut laporan Harvard. Pada dasarnya, dengan metode ini, sang developer akan mempertimbangkan semua interaksi yang mungkin terjadi antara AI dengan pemain dan memprogram semua reaksi yang mungkin dilakukan oleh sang NPC. Misalnya, ketika seorang pemain berada tidak jauh dari musuh, maka musuh akan menyerang. Dan ketika pemain berlari menjauh, musuh akan mengejar sang pemain.

Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard
Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard

Metode FSM telah digunakan dalam game sejak tahun 1990-an. Beberapa contoh game yang menggunakan metode ini antara lain Call of Duty, dan Tomb Raider. Namun, metode ini tetap punya kelemahan, yaitu respons AI akan tindakan pemain terbatas. Jadi, setelah memainkan game yang menggunakan FSM beberapa kali, pemain mungkin akan merasa bosan.

Selain FSM, metode lain yang bisa digunakan untuk membuat AI dalam game adalah Monte Carlo Search Tree (MCST). Model algoritma ini digunakan pada Deep Blue, AI pertama yang bisa mengalahkan juara catur pada 1997. Dengan MCST, AI akan mencoba untuk memecahkan masalah dengan melakukan tindakan secara random sebelum mempertimbangkan semua opsi tindakan yang bisa ia ambil.

Dalam kasus Deep Blue, sebelum mengambil langkah, ia akan mempertimbangkan semua langkah yang bisa ia ambil. Kemudian, ia akan memperkirakan semua langkah bisa dilakukan lawannya sebagai respons. Setelah itu, ia akan kembali mempertimbangkan semua opsi yang ia punya, dan begitu seterusnya. Deep Blue kemudian akan mengambil langkah yang dianggap memberikan hasil paling baik. Lalu, ia akan kembali mempertimbangkan langkah yang bisa ia dan musuhnya ambil. Contoh game yang menggunakan metode MCST adalah Civilization.

Skema MCST. | Sumber: Harvard
Skema MCST. | Sumber: Harvard

AI dalam game mungkin bisa bertindak layaknya manusia. Namun, AI dari NPC stagnan. Ia tidak akan bisa berevolusi atau mengubah strategi yang ia gunakan berdasarkan gaya bermain para pemain. Padahal, sejatinya, salah satu karakteristik AI adalah kemampuan untuk belajar. Fakta bahwa AI dalam game bersifat stagnan membuatnya jauh berbeda dari Ai yang bisa kita temukan sehari-hari, seperti pada Google Search. Ketika seseorang menggunakan Google Search untuk mencari kata kunci tertentu, hasil pencarian biasanya akan disesuaikan dengan kebiasaan browsing orang tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa AI dalam game dan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Salah satunya adalah karena AI pada game dan AI di kehidupan nyata punya fungsi dan tujuan yang berbeda. Dalam game, fungsi AI hanya satu, yaitu membuat pengalaman bermain para gamer menjadi lebih seru. Sementara dalam kehidupan nyata, AI punya fungsi yang berbeda-beda.

Contohnya Google, yang menggunakan AI pada berbagai produk mereka, mulai dari Search, Gmail, Maps, sampai Assistant. Walau sama-sama menggunakan AI, tapi fungsi AI pada masing-masing produk Google itu berbeda-beda. Di Gmail, AI berfungsi untuk mendeteksi email spam. Sementara di Search, fungsi AI adalah untuk menampilkan hasil yang paling relevan dengan kata kunci yang digunakan seorang pengguna. Dalam Maps, AI berfungsi untuk mencari rute terbaik atau memperkirakan kemacetan. Sementara Assistant harus bisa memahami perintah suara yang diberikan pengguna.

Alasan lain mengapa AI dalam game berbeda dari AI di kehidupan nyata adalah karena ruang lingkup game yang jauh lebih sempit. Jika dibandingkan dengan dunia nyata, dunia game jauh lebih kecil. Hal itu berarti, data yang bisa diakses oleh AI dalam game juga terbatas. Jadi, jangan heran jika AI dalam game cenderung stagnan sementara AI di kehidupan nyata akan terus berevolusi.

Selain itu, besar dana yang dikeluarkan perusahaan untuk membuat AI juga akan memengaruhi kualitas AI itu. Developer punya dana yang terbatas dalam membuat game. Sementara itu, perusahaan seperti Google atau Amazon punya dana yang jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, pemasukan Alphabet, perusahaan induk Google pada 2020 mencapai US$182,5 miliar. Sementara sepanjang 2020, pemasukan Nintendo hanya mencapai US$12,12 miliar. Selain itu, performa AI pada Search atau situs e-commerce Amazon juga akan berdampak langsung pada pemasukan perusahaan. Karena itu, tidak heran jika mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mengembangkan AI mereka.

Tak hanya di dunia gaming, AI juga pernah digunakan di ranah esports. Pada 2019, OpenAI mengadu AI buatan mereka — OpenAI Five — melawan OG, tim Dota 2 terbaik dunia ketika itu. Dalam pertandingan best-of-three, OpenAI berhasil menang 2-0.

Satu hal yang membedakan OpenAI Five dengan kebanyakan AI pada game adalah OpenAI Five bisa belajar. Faktanya, perusahaan OpenAI tidak memprogram Five agar bisa bermain Dota 2. Mereka membuat AI itu agar ia bisa belajar. Pada awalnya, AI itu sama sekali tidak mengerti bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah “latihan” selama 45 ribu tahun, AI tersebut dapat mengalahkan OG. Kemampuan OpenAI Five untuk belajar memungkinkan AI itu untuk terus berevolusi dan menyesuaikan strateginya dengan gaya bermain musuh.

Kabar baik bagi para pemain esports, OpenAI Five tidak dibuat untuk menggantikan posisi para pro player. Tujuan OpenAI membuat AI yang bisa bermain Dota 2 adalah untuk membuktikan bahwa sebuah AI bisa mengerjakan sesuatu yang kompleks, seperti bermain game MOBA. Dan jika AI bisa belajar bermain game, hal itu berarti AI juga akan bisa belajar cara untuk mengerjakan tugas kompleks di dunia nyata, lapor The Verge.

 

Bagaimana Cara Membuat AI?

Dalam membuat AI, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang hendak diselesaikan. Di sini, seorang programmer harus bisa memjawab pertanyaan: masalah apa yang ingin saya selesaikan dengan AI? Memang, AI terbukti bisa mengerjakan tugas yang kompleks. Namun, hal itu bukan berarti AI bisa menyelesaikan semua masalah. Biasanya, AI digunakan untuk menyelesaikan satu masalah tertentu. Misalnya, di dunia kedokteran, ada AI yang digunakan untuk mendeteksi kanker paru-paru. Alasannya, kebutuhan akan radiologi semakin meningkat, sementara jumlah radiolog yang ada tidak mencukupi. Selain itu, AI ini dapat mendeteksi kanker paru-paru dengan lebih akurat.

Ketika seseorang hendak membuat AI untuk game atau AI yang bisa bermain game, langkah pertama yang harus dilakukan pun sama, yaitu mengidentifikasi masalah. Berikut video penjelasan tentang bagaimana seorang programmer membuat AI yang bisa bermain Fall Guys.

Dalam video di atas, Clarity Coders menjelaskan bahwa dia ingin membuat AI yang bermain layaknya manusia. Hal itu berarti, AI yang dia buat tidak akan mengeksploitasi bug dalam game. Dia juga menjelaskan bahwa dia akan membatasi aksi yang bisa diambil oleh AI. AI yang dia buat hanya bisa melakukan tiga hal, yaitu bergerak ke kiri dan ke kanan, serta melompat. AI itu tidak bisa melakukan aksi lain seperti dive.

Langkah kedua dalam membuat AI adalah menyiapkan data untuk melatih AI. Semakin banyak data yang Anda gunakan, semakin baik performa dari AI yang Anda buat. Pada dasarnya, ada dua jenis data yang bisa Anda gunakan. Pertama adalah data yang terstruktur, seperti nama, tanggal lahir, alamat dan sebagainya. Kedua adalah data tidak terstruktur, seperti gambar, audio, infografis, percakapan di email atau platform chatting, dan lain sebagainya. Dalam video Clarity Coders, data yang digunakan untuk melatih AI masuk dalam kategori data tak terstruktur, karena data berupa gambar screenshot dari beberapa ronde yang sang YouTuber mainkan.

Jika Anda menggunakan data tidak terstruktur untuk melatih AI, maka Anda harus “membersihkan” data itu terlebih dulu. Contohnya, ketika Anda ingin membuat AI yang bisa membedakan gambar antara kucing dan anjing, Anda tidak hanya harus menyiapkan sekumpulan gambar dari anjing dan kucing, tapi juga melabeli sekumpulan gambar tadi, untuk membedakan mana gambar kucing dan mana gambar anjing. Jadi, AI akan bisa mempelajari perbedaan antara gambar kucing dan anjing. Menurut Becoming Human, membersihkan data yang hendak digunakan untuk melatih AI merupakan salah satu bagian tersulit dalam membuat AI. Tidak sedikit AI designers yang menghabiskan 80% waktu mereka untuk melabeli, merapikan, dan memeriksa data yang hendak mereka gunakan untuk melatih AI.

Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle
Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle

Mengapa membersihkan data training set penting? Karena data itulah yang akan menentukan seberapa akurat/cerdas AI yang Anda buat. Dalam contoh di atas, AI bisa salah mengenali seekor anjing atau kucing jika data yang digunakan untuk melatihnya juga tidak akurat. Padahal, semakin akurat sebuah AI, semakin baik, apalagi jika AI digunakan untuk tugas penting, seperti mendeteksi kanker.

Ketika membuat AI yang bisa bermain Fall Guys, Clarity Coders mengumpulkan data training set dengan memainkan Fall Guys sambil menjalankan script Python untuk mengambil screenshot dan mencatat tombol yang dia tekan selama bermain. Tujuannya, agar AI bisa belajar kondisi dari keadaan sekelilingnya dan tahu kapan harus memencet tombol apa.

Langkah ketiga dalam mendesain AI adalah menentukan jenis algoritma yang akan digunakan. Salah satu tipe algoritma yang sering digunakan adalah reinforcement learning. Tipe algoritma ini digunakan dalam OpenAI Five. Pada dasarnya, reinforcement learning memungkinkan AI untuk belajar dari kesalahannya dan terus berevolusi. Dalam kasus OpenAI, ia pada awalnya tidak tahu bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah berlatih selama puluhan ribu tahun, ia bahkan bisa mengalahkan tim OG.

Setelah menentukan algoritma yang hendak Anda gunakan, tahap berikutnya adalah memilih bahasa programming untuk membuat AI. Ada berbagai bahasa programming yang bisa digunakan untuk membuat AI, seperti C++, Java, Python, dan lain sebagainya. Kemudian, Anda tinggal memilih platform yang hendak Anda gunakan. Kabar baiknya, semakin banyak perusahaan yang membuat platform untuk membuat AI, seperti Microsoft Azure Machine Learning dan Google Cloud Prediction API.

 

Bahasa Programming dan Platform Apa yang Bisa Digunakan?

Python merupakan salah satu bahasa programming yang paling populer untuk membuat AI. Salah satu alasannya adalah karena Python sederhana dan mudah dipahami. Alasan lainnya adalah karena Python punya komunitas yang besar. Menurut Developer Survey 2018 oleh Stack Overflow, Python masuk dalam daftar 10 bahasan programming paling populer. Hal itu berarti, Anda bisa bertanya pada komunitas ketika Anda menemui masalah.

Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist
Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist

Alasan ketiga, dan yang paling penting, mengapa Python populer sebagai bahasa programming untuk AI adalah karena Python punya banyak library. Library adalah sekumpulan kode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah umum. Dengan menggunakan library, Anda tidak perlu membuat kode dari nol. Anda tinggal mencari library yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Misalnya, Anda ingin membuat AI yang bisa mengolah gambar, Anda bisa menggunakan library Python seperti NumPy atau OpenCV. Sementara jika Anda ingin mendesain AI yang fungsi utamanya melibatkan audio, ada library Librosa.

Dalam video Clarity Coders, dia menggunakan library Pandas dan fast.ai. Pandas library biasanya digunakan untuk pemprosesan dan analisa data. Sementara fast.ai library menyediakan komponen-komponen yang bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan pengguna. Soal platform, dia menggunakan Google Colab. Platform Google Colab memungkinkan Anda untuk menulis kode berdampingan dengan teks biasa. Tak hanya itu, Google Colab juga bisa digunakan untuk melatih AI menggunakan data training set yang telah Anda siapkan. Dengan begitu, Anda tidak perlu lagi membeli komputer seharga puluhan juta untuk melatih AI Anda. Yang lebih menarik, Google Colab bisa Anda gunakan secara gratis.

Selain Google Colab, platform lain yang bisa Anda gunakan untuk membuat AI adalah Gradient. Sama seperti Colab, Gradient juga bisa digunakan secara gratis. Meskipun begitu, keduanya juga menyediakan opsi berbayar. Memang, jika Anda menggunakan versi gratis, daya komputasi yang bisa Anda gunakan pun terbatas. Meskipun begitu, daya komputasi yang Gradient sediakan dalam versi gratis pun sudah cukup memadai jika Anda hanya tertarik untuk belajar tentang AI dan machine learning. Opsi Free-GPU dari Gradient menawarkan CPU 8 core, RAM 30GB, dan NVIDIA Quadro M4000 sebagai GPU.

 

Penutup

Elon Musk sempat berpendapat bahwa AI lebih berbahaya dari nuklir. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan AI memang membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Salah satu contoh penggunaan AI pada kehidupan sehari-hari adalah pada fitur face detection di smartphone Anda. Tak hanya itu, AI juga digunakan oleh perusahaan transportasi untuk mengatur jadwal. Dan AI sudah muncul dalam game sejak lama.

Dalam game, keberadaan AI membuat pengalaman bermain menjadi lebih seru. Menariknya, game terkadang digunakan sebagai tolok ukur kecanggihan sebuah AI. Karena itulah, ada perusahaan yang tertarik untuk membuat AI yang bisa bermain go atau bahkan Dota 2. Tak hanya perusahaan, masyarakat secara luas pun semakin tertarik dengan AI. Buktinya, di YouTube, Anda bisa menemukan banyak video yang menunjukkan cara membuat AI sederhana, seperti AI yang bisa bermain Flappy Bird dan 2048.

Popularitas AI yang terus naik berarti semakin banyak perusahaan yang bersedia untuk membuat platform pengembangan AI. Beberapa platform itu bahkan bisa digunakan secara gratis. Hal ini akan membuat pembelajaran dan pengembangan AI menjadi lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Pasalnya, melalui platform ini, Anda bisa membuat dan melatih AI Anda tanpa harus punya komputer mahal.

Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, gamegame tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game freeto-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games
Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Sumber: Blizzard Official Site
Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan “gold” yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa “membayar” waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Sumber: VALORANT In-Game Store
Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

“Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda.”

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi “produk” yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.
RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa…XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistem game-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran — kalau tidak bisa menjadi bukti — bagaimana model monetisasi yang “memajaki” perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara “frontal”, yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa… Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan “pay-to-win” pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entry barrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

BBC akan tampilkan konten turnamen FIFA 21 Eropa.
FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Sumber: Time
Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, “kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih.” Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu “kebelet esports“.

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.