Jepang Jadi Negara Asia Pertama Tempat Pendaratan Resmi Pokémon Go

Bersama Hello Kitty dan Tamagotchi, Pokémon ialah franchise sekaligus ekspor budaya Jepang tersukses. Industri gaming Barat memang akhirnya mendominasi Jepang, tapi sejauh ini penduduk negara itu merupakan konsumen gaming yang paling dimanjakan. Itu mengapa banyak orang heran mengapa Nintendo malah menunda peluncuran Pokémon Go di sana.

Kabar gembiranya, usai sudah penantian ‘panjang’ para fans Pokémon di Jepang selama lebih dari dua minggu. Akhirnya permainan berbasis augmented reality karya tim pencipta Ingress itu tersedia di Google Play dan Apple app store, disertai dukungan penuh layanan Niantic. Jepang adalah negara pertama lokasi pendaratan Pokémon Go di Asia, setelah sebelumnya hadir di Kanada awal minggu ini.

Kiprah Pokémon dimulai lewat dua game untuk Game Boy, dikembangkan oleh Game Freak dan dipublikasi Nintendo. Franchise kini sudah meluas ke berbagai media: permainan trading card, film animasi, komik, sampai mainan. Sayang sekali The Pokémon Company, tim yang memegang lisensi Pokémon, merasa ragu buat memanfaatkan teknologi smartphone. Nyatanya, meminta Niantic Labs untuk menggarap Pokémon Go ialah sebuah langkah tepat.

Besarnya penantian dan harapan konsumen membuat Pokémon Go menjadi fenomena global dalam waktu singkat. Ia mendominasi app store sebagai aplikasi paling populer, terlepas dari kritik para media terkemukagameplay-nya dangkal, belum mempunyai fitur-fitur yang dijanjikan, lalu dinodai kendala teknis.

Dari penjelasan sebelumnya, penundaan peluncuran Pokémon Go di Jepang disebabkan oleh besarnya playerbase. Developer membutuhkan lebih banyak waktu untuk meningkatkan kapasitas server mereka demi menghadapi serbuan jutaan pemain.

Tentu saja, gamer Jepang harus mengejar ketinggalan dari pemain di negara lain. Belum lama ini, seorang gamer bernama Nick Johnson dikabarkan telah berhasil menangkap seluruh Pokémon di Amerika Serikat. Di sana ada 142 spesies ‘monster saku’ dari total 151 spesies, sisanya merupakan Pokémon eksklusif yang cuma terdapat di area tertentu, namun belum ada yang bisa menebak di mana lokasi enam spesies lainnya.

Pada Business Insider, Johnson menceritakan cara melakukan pencapaian tersebut. Ia banyak menghabiskan waktu berjalan di malam hari, bisa menghabiskan sampai delapan jam. App Health di iPhone miliknya menginformasikan bahwa sang gamer rata-rata menempuh jarak hampir 13-kilometer per hari.

Kini pertanyaannya adalah: dengan peluncuran Pokémon Go di Jepang, apakah proses perilisan game di kawasan Asia lain, termasuk Indonesia, akan jadi lebih cepat?

Via Reuters. Sumber: Facebook Pokémon Go.

Peluncuran Global Pokémon Go Dihentikan Sementara

Peluncuran Pokémon Go minggu lalu dirayakan dengan sangat meriah, bisa Anda lihat sendiri bagaimana game AR hasil kolaborasi Niantic dan Nintendo itu memenuhi timeline sosial media dan internet. Meskipun belum dirilis resmi di Indonesia serta negara-negara Asia Tenggara lain, tidak sedikit fans berhasil memperoleh cara agar mereka dapat segera menikmatinya.

Tampaknya antusiasme tinggi gamer memberi dampak negatif bagi developer. Masalah koneksi menodai momen pelepasan Pokémon Go, di mana sejumlah pemain sama sekali tidak bisa masuk ke game. Niantic mengetahui adanya problem ini dan telah mulai memperbaikinya. Efek dari hal tersebut adalah, developer terpaksa menghentikan sementara perilisan Pokémon Go secara global, kabar buruk bagi Anda yang menanti kemunculan game di app store.

Fokus utama Niantic ialah membenahi kapasitas server, menunda peluncurannya di Inggris dan Belanda. Meskipun tim tidak mau berlama-lama, pada Business Insider mereka bilang ‘akan menangguhkan waktunya hingga betul-betul merasa nyaman’. Kejadian seperti ini bukanlah hal baru di ranah game online. Banyak permainan blockbuster kreasi developer raksasa mengalami kendala koneksi di hari pertama perilisannya.

Sejauh ini, peluncuran Pokémon Go terbilang sangat sukses, ia menempati urutan pertama daftar Top Grossing dan Free di Apple app store – menyingkirkan app-app populer seperti Snapchat, Spotify, serta NBA Live Mobile. Walaupun cuma mengusung metode monetisasi in-app purchase, efeknya segera dirasakan oleh Nintendo, menyebabkan harga saham mereka naik 10 persen, mendongkrak nilai perusahaan ke angka US$ 23 miliar.

Tapi terlepas dari berita gembira untuk Nintendo, kehadiran Pokémon Go ternyata menimbulkan sejumlah masalah keamanan dan keselamatan. Beberapa orang dilaporkan mengalami luka ringan akibat tidak berhati-hati ketika bermain, sementara itu belasan gamer dikabarkan menjadi korban perampokan bersenjata. Dan perlu Anda tahu, insiden terkait Pokémon Go juga terjadi di Indonesia.

Tidak hanya itu, perusahaan keamanan Proofpoint mengeluarkan sebuah peringatan pada mereka yang tidak sabar menanti kemunculan Pokémon Go di Google Play dan memutuskan untuk menggunakan APK. Salah satu APK diketahui dimodifikasi dengan program backdoor bernama DroidJack. App tersebut cukup mirip versi aslinya dan berhasil mengelabui banyak user awam.

Pokémon Go telah tersedia secara resmi di Amerika Serikat, Australia dan Selandia baru sejak tanggal 6 Juli kemarin. Dengan adanya penundaan ini, pemain di wilayah lain memang harus menunggu lebih lama.

Octagon Studio Ramaikan Augmented World Expo 2016 dengan Buku Mewarnai dan T-Shirt AR

Baru belum lama pulang dari ajang Wearable Technology Show (WTS) 2016, startup AR dan VR asal Bandung, Octagon Studio sudah bersiap untuk hijrah ke California demi berpartisipasi dalam event Augmented World Expo (AWE) 2016 pada tanggal 1 – 2 Juni mendatang. Dalam event yang dihadiri oleh berbagai nama besar dunia teknologi tersebut, Octagon tentunya sudah menyiapkan sejumlah produk inovatif untuk dipamerkan.

Salah satunya adalah Octaland 4D+ Colour Me!, sebuah buku mewarnai interaktif yang bisa disandingkan dengan aplikasi Octaland 4D+ yang tersedia secara cuma-cuma untuk Android maupun iOS. Jadi setelah anak Anda selesai mewarnai suatu karakter, Anda bisa membuka aplikasi Octaland 4D+ dan mengarahkan kamera perangkat ke buku untuk melihat karakter tersebut menjadi ‘hidup’.

Konsep buku mewarnai berbasis augmented reality ini tentunya sangat menarik dalam konteks pendidikan. Selain mengasah bakat seni anak-anak, mereka juga bisa belajar tentang macam-macam profesi yang ditunjukkan oleh karakter-karakter dalam seri Octaland 4D+.

Selain buku mewarnai, Octagon juga siap memamerkan AR T-Shirt, kaus berteknologi augmented reality yang sempat mengundang banyak perhatian di ajang WTS 2016 kemarin. Kaus ini dari luar kelihatan biasa-biasa saja, akan tetapi saat dilihat dari aplikasi Wear 4D+, gambar hewan pada kaus tersebut seketika juga ‘bernyawa’.

Premis yang ditawarkan AR T-Shirt ini sekaligus menjadi bukti bahwa teknologi augmented reality bisa dimanfaatkan di beragam industri, fashion contohnya. Selain yang sudah disebutkan, Octagon tentunya juga tidak akan malu mendemokan portofolio produknya yang juga mencakup ranah VR di hadapan pengunjung AWE 2016

Application Information Will Show Up Here

IDC: Pemasukan Dari Penjualan Hardware VR Diperkirakan Lewati $ 2 Miliar di 2016

Keputusan para produsen untuk melepas perangkat virtual reality high-end di tahun ini membuat VR menjadi pusat perhatian. Di sejumlah negara, konsumen sudah bisa memiliki Rift dan Vive. Beberapa minggu silam mungkin Anda sudah membaca artikel soal perkiraan penjualan hardware VR oleh Strategy Analytics. Menariknya, perhitungan IDC bahkan lebih tinggi lagi.

Via press release, firma analis dan riset pasar Amerika itu memprediksi angka pengapalan hardware VR akan melonjak naik di 2016, mampu mencapai 9,6 juta unit. Penjualan diujungtombaki oleh produk-produk Samsung, Sony, HTC dan Facebook. Berdasarkan estimasi IDC, hal tersebut memberikan pemasukan lebih dari US$ 2 miliar bagi perusahaan-perusahaan ini – tepatnya US$ 2,3 miliar.

Berdasarkan pengamatan IDC, mereka mengidentifikasi tiga kategori utama di pasar head-mounted display: pertama adalah penonton screenless, yaitu mereka yang menggunakan smartphone buat menikmati VR (contohnya melalui Gear VR); lalu user Tethered Head Mounted Display, umumnya memanfaatkan PC dan console untuk menopang device (Rift/PSVR/Vive); serta Standalone HMD, yakni device yang tidak memerlukan sistem pendukung, misalnya Sulon Q atau HoloLens.

Menurut penjelasan Lewis Ward selaku direktur riset gaming, video game merupakan alasan orang membeli Rift, Vive atau PlayStation VR di tahun ini. Meskipun ada jeda di proses distribusi, ia yakin penjualan jadi lebih mulus sebelum musim liburan. Ward menuturkan bahwa judul-judul permainan baru berperan besar dalam mendongkrak minat konsumen – di antara mereka berbelanja buat diri sendiri, dan sebagian lainnya membeli untuk keluarga atau teman.

Virtual reality akan mendominasi persentase volume headset di 2016, sedangkan augmented reality sendiri baru menyusul beberapa tahun kemudian. Ketika VR dan AR dikombinasikan, jumlahnya diestimasi International Data Corporation melampaui 110 juta unit di 2020. Namun adaptasi konsumen terhadap AR memang tidak berjalan sekejap. Vice president Devices & Displays IDC Tom Mainelli menyampaikan, produk memerlukan waktu untuk dibawa ke pasar.

“Walaupun development kit dari Microsoft, Meta dan lain-lain menjaga ketertarikan khalayak akan augmented reality tetap tinggi, perangkat-perangkat itu lebih sulit diproduksi dibanding device VR,” tutur Mainelli. “Bagi produsen, mengeksekusinya dengan jitu lebih penting dari menggarapnya cepat-cepat, dan kami menyarankan mereka buat tetap mengerjakannya secara lambat namun stabil.”

Mengapa begitu? Ketika VR ‘sekedar’ berpotensi mengubah arah perkembangan industri hiburan digital, AR berpeluang merevolusi cara manusia melakukan pekerjaan sehari-hari…

Sumber: IDC.

Berkenalan dengan Octagon Studio, Startup AR dan VR Pemenang Penghargaan Internasional

Bicara soal augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), nama-nama yang tebersit di benak kita mungkin adalah Microsoft HoloLens, Oculus Rift, Google Cardboard, dan lain sebagainya. Namun siapa yang menyangka kalau di Indonesia, tepatnya di kota Bandung, berdiri sebuah startup yang bergerak di kedua bidang tersebut, dengan prestasi di kancah internasional?

Mereka adalah Octagon Studio, dan belum lama ini, mereka berhasil membawa pulang trofi Best App dan Rising Star Awards dari event Wearable Technology Show (WTS) 2016 yang dihelat di kota London pada tanggal 15 – 16 Maret lalu.

Kemenangan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Octagon. Dalam kesempatan pertama mereka mengikuti ajang WTS 2015 tahun lalu, Octagon hanya terpilih sebagai nominator untuk kategori Best App, Rising Star dan Best AR/VR Company.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Octagon Studio begitu istimewa, hingga akhirnya mereka bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan luar? Well, portofolio produk mereka begitu luas, mencakup ranah edukasi hingga industri.

Octagon Studio Animal 4D+ AR Flashcards

Salah satu produknya yang paling populer adalah seri kartu pengingat (flashcard) edukatif berbasis AR. Produk ini dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa Inggris, serta pengetahuan tentang dunia satwa, profesi, angkasa luar hingga makhluk-makhluk prasejarah. Berdasarkan keterangan yang diberikan CMO Octagon, Stella Setyiadi, sejauh ini mereka telah menjual lebih dari 200.000 unit AR flashcard ini baik di dalam maupun luar negeri.

Luar negeri? Ya benar, meski berbasis di tanah air, produk-produk besutan Octagon Studio rupanya telah dikenal cukup luas di mancanegara. Reseller produk-produknya sejauh ini sudah tersebar di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Hong Kong, Australia, Perancis, Irlandia, Inggris Raya, Amerika Serikat hingga Kanada.

Bagaimana sebenarnya cara kerja produk AR flashcard ini? Well, sepintas mereka hanyalah kartu biasa bergambar binatang, dinosaurus, planet dan lain sebagainya. Namun ketika dikombinasikan dengan aplikasi mobile, gambar-gambar tersebut akan ‘hidup’ dalam wujud tiga dimensi yang mendetail. Tak hanya itu, interaksinya pun beragam. Saat kartu bergambar sapi Anda dekatkan dengan kartu bergambar rumput misalnya, maka dari aplikasinya akan tampak seekor sapi yang tengah merumput.

Beralih ke VR, Octagon memiliki produk headset yang mereka juluki VR Luna. Headset ini dirancang dengan basis Google Cardboard, namun mengemas sejumlah penyempurnaan, di antaranya material yang lebih kokoh serta desain terbuka yang tidak mengisolasi kamera smartphone di dalam headset.

Octagon VR Luna

Dengan demikian, VR Luna sebenarnya juga bisa disinergikan dengan produk-produk AR flashcard tadi untuk menyajikan pengalaman mixed reality. Ketimbang hanya menyaksikan hewan-hewan tadi ‘hidup’ di layar smartphone, pengguna VR Luna bisa menikmatinya secara lebih immersive.

Ajang WTS 2016 kemarin turut dimanfaatkan Octagon untuk memperkenalkan produk terbaru mereka, yakni seri AR T-Shirt. Konsep AR flashcard mereka yang populer tersebut kini diusung ke pakaian kasual yang biasa dikenakan sehari-harinya.

Sama seperti AR flashcard, kaus-kaus ini sepintas tak terlihat berbeda dari kaus pada umumnya. Namun saat dilihat menggunakan aplikasi smartphone yang tersedia secara cuma-cuma, gambar hewan maupun makhluk prasejarah yang terpatri pada kaus tersebut akan ‘hidup’ seketika, seperti yang bisa Anda lihat pada video unggahan salah satu pengunjung acara berikut ini.

Kendati sudah bisa dibilang cukup sukses, perjalanan yang harus dilalui Octagon Studio sebenarnya masih panjang. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tren AR dan VR yang masih tergolong baru di tanah air. Pun begitu, Octagon optimis bahwa konsumen tanah air tak butuh waktu lama untuk menjadi familier dengan AR dan VR.

Untuk itu, mereka akan terus meningkatkan brand awareness dengan aktif mengikuti berbagai pameran, konferensi maupun melalui media sosial. Di saat yang sama, Stella juga menuturkan bahwa Octagon tak akan berhenti melakukan ekspansi, baik dari segi produk maupun jangkauan pasar.

Berbagai ide kreatif dari timnya akan terus digodok hingga menjadi produk final yang inovatif. Stella bahkan sempat menyebutkan bahwa timnya sudah mulai menggarap VR headset untuk PC ala Oculus Rift, meskipun masih dalam tahap pengembangan awal.

Soal jangkauan pasar, Octagon saat ini tengah melangsungkan diskusi bersama sejumlah lembaga pendidikan yang tertarik untuk menerapkan sejumlah produk Octagon dalam kurikulum belajar-mengajar mereka.

Octagon Studio Octaland 4D+ AR Flashcards

Dilihat dari kacamata konsumen, prestasi yang dicapai Octagon sejauh ini memang sangat fenomenal. Mereka dikenal di kancah internasional, padahal tren AR dan VR di negara asalnya masih belum begitu meluas.

Fokusnya yang berawal di bidang pendidikan juga menjadi bukti bahwa mereka tidak hanya mengejar keuntungan saja di ranah yang masih baru ini, tetapi juga untuk memberikan sarana belajar alternatif yang lebih menarik dan sesuai dengan kemajuan teknologi.

Update: Sedikit tentang profil perusahaan, Octagon Studio didirikan pada tahun 2013 oleh pria berkebangsaan Irlandia, Michael Healy, yang kini bertindak sebagai CEO. Beliau ditemani oleh sepasang co-founder yaitu Aurelia Vina (COO) dan Hasbi Asyadiq (CTO). Saat ini Octagon Studio beroperasi di bawah PT Transport System Solutions. Markas besarnya sendiri berada di Irlandia, akan tetapi semua sumber dayanya ditempatkan di kantor mereka di kota Bandung.

Bocoran Informasi Ini Singkap Detail Lebih Lanjut Mengenai Pokemon Go

Diumumkan bulan September silam, Pokemon Go merupakan buah pikiran almarhum Satoru Iwata dan Tsunekazu Ishihara, sebuah game unik dengan basis augmented reality. Digarap oleh tim spesialis AR, Niantic, Pokemon Go menjanjikan banyak premis menarik. Namun berbulan-bulan selepas momen pengungkapan itu, detail mengenainya masih sangat minim.

Beberapa belas jam lalu, rahasia Pokemon Go mulai terkuak. Sumber kebocoran ini adalah program Japanese Field Test, sebuah uji coba beta yang dilakukan secara eksklusif di negara tersebut demi menyempurnakan permainan sebelum ia dirilis untuk publik. Informasi-informasi penting itu dikumpulkan oleh pengguna Reddit bernama Juxlos dan di-posting ke sub-Reddit Pokemon Go.

Apa saja? Ini dia:

  • Terhitung ada 151 file data Pokemon di game, semuanya merupakan Pokemon Gen 1, dibagi dalam tiga kelas: normal, legendary dan mythic.
  • Di Field Test, petualangan Anda dimulai tanpa memiliki Pokemon.
  • Diketahui terdapat metode monetisasi berupa in-app purchase, beberapa elemennya adalah bundel Ball, Food, serta paket Gem; dan ada empat ‘tier‘.
  • Terdapat 232 gerakan, 95 di antaranya merupakan gerakan ‘cepat’, termasuk gerakan-gerakan yang tidak ada di permainan Pokemon Red & Blue.
  • Pokemon Go memanfaatkan engine Unity, dan menu-nya terbagi tiga: Pokedex, Pokemon dan Items.
  • Ada fitur achievement berupa Badge. Contohnya jika Anda berjalan sampai jarak tertentu, update data Pokedex, Pokemon Captures, Forts, Evolved, Hatched, Encounters, Pokestop Visited, Unique Pokestops, sampai seberapa banyak Anda melempar Pokeball.
  • Seorang tester berhasil menemukan fungsi dodge (menghindar), tapi tidak 100 persen akurat.
  • Terdapat tujuh ‘sifat’ monster saku, yaitu Stoic, Guardian, Assassin, Raider, Protector, Sentry, dan Champion.
  • Tersedia seluruh tipe Pokemon, termasuk Fairy, Dark dan Steel.
  • Proses evolusi bisa dilakukan dengan mengumpulkan Evolution Shards dari Pokemon-Pokemon liar untuk mendapatkan Evolution Stones. Item ini boleh jadi bersifat unik, tergantung jenis Pokemon-nya.
  • Permainan memonitor status Anda, layaknya game Ingress ciptaan Niantic.
  • Trainer bisa dikustomisasi dengan 52 item, kombinasinya terhitung ada 23.328.
  • Turut ditemukan fungsi Pokemon Navigator (PokeNav).
  • Item-item permainan meliputi: Pokeball, Potion, Max Revive, tiga item battle, dan lima jenis Berry (Razz, Bluk, Nanab, Pinap, Wepear; diperkenalkan di Gen III) -mereka tidak memberikan efek dalam bertempuran.
  • Di masa beta ini, level maksimal trainer ialah 50. Tersedia ruang buat menyimpan 1000 item, dan 500 untuk telur serta Pokemon.
  • Terbagi tiga tim, yakni biru, merah dan kuning.
  • Setiap Pokemon memiliki tingkat serangan, pertahanan, serta Combat Points berbeda. Semakin tinggi CP, maka ia semakin sulit ditangkap.
  • Dari screenshot peta game yang berhasil diambil, Pokemon Go mempunyai fitur perputaran siang dan malam.

Masih penasaran? Silakan simak bocoran video gameplay-nya yang sempat direkam di ajang SXSW Gaming:

Belum ada waktu spesifik kapan Pokemon Go akan dilepas, namun Nintendo berencana meluncurkannya di tahun ini.

Via Gamespot.

Intel Sedang Garap Headset Augmented Reality?

Hampir semua orang sudah memahami cara kerja augmented reality, namun tahukah Anda, perkembangan AR didorong dari kecanduan kita pada perangkat bergerak. Di tahun depan, pemasukan dari app augmented reality diperkirakan mencapai US$ 5,2 miliar. Tak heran jika perusahaan-perusahaan ternama mulai menyeriusi bidang ini dan tak ragu melakukan investasi besar-besaran.

Setelah Google dan Microsoft, satu lagi nama raksasa dkabarkan turut ambil bagian di sana. Berdasarkan sumber anonim Wall Street Journal, Intel dilaporkan sedang mengembangkan headset augmented reality berbasis RealSense. Menurut narasumber, inilah teknologi yang membedakan perangkat mereka dari device-device kompetitor. Intel kemungkinan besar akan menawarkan desain ke produsen third-party, dan tidak memasarkannya secara langsung.

Intel memang diketahui pelan-pelan melangkah ke ranah augmented serta virtual reality dengan sejumlah akuisisi. Mereka sudah membeli setidaknya lima perusahaan, terakhir ialah Recon Instruments di bulan Juni 2015. Tim asal Vancouver tersebut terkenal dalam penyediaan goggle Recon Jet untuk pecinta olahraga – sebuah kacamata yang dapat memproyeksikan info jarak atau cuaca langsung ke ruang pandang pengguna.

Sebelumnya, Intel juga berkolaborasi dengan Daqri untuk meramu Smart Helmet: helm canggih khusus keperluan industri yang memberikan kita kemampuan melihat tembus pandang. Ia memanfaatkan sistem pembaca temperatur serta rangkaian sensor pendeteksi bidang 360 derajat. Berkat teknologi ini, Daqri menyajikan overlay informasi mengenai objek, misalnya diagram kabel, skematik rancangan, serta zona-zona yang butuh perbaikan.

Achin Bhowmik selaku general manager RealSense menolak memberi penjelasan lebih rinci, tetapi ia bilang bahwa Intel mempunyai tradisi dalam menciptakan perangkat purwarupa untuk komputer laptop, dan ‘mereka harus menggarapnya sendiri sebelum mencoba meyakinkan ekosistemnya’. Di bawah pimpinan CEO Brian Kranich, Intel turut mengeksplorasi fitness tracker, drone sampai perhiasan pintar.

Membahas tentang teknologi yang menjadi dasar device AR mereka, RealSense ditenagai prosesor Intel, terdiri atas kamera infrared, proyektor laser inframerah serta kamera full-HD. Ketika dikombinasikan, ia mampu membaca jarak dan melacak gerakan pengguna. Intel menyediakan dua solusi; yaitu kamera F200 jarak pendek untuk notebook dan PC all-in-one, serta kamera R200 jarak jauh buat tablet dan sejumlah perangkat 2-in-1.

Saya penasaran pendekatan dan fitur apa lagi yang Intel usung supaya headset AR mereka distingtif. Sayangnya, sumber WSJ tidak menyebutkan informasi terkait waktu pengenalan atau peluncuran device.

Meta 2 Diklaim Sebagai Headset Augmented Reality Paling ‘Immersive’

Augmented reality memiliki kisah perjalanan berbeda dari produk-produk VR yang segera tiba sebentar lagi. Pemain besar seperti Google (Glass) dan Microsoft (HoloLens) malah memutuskan untuk mengembangkannya secara lebih tertutup. Namun membahas headset AR, device terbaru racikan tim Meta memiliki potensi buat menjadi perangkat tercanggih saat ini.

Pada tanggal 2 Maret 2016 kemarin, developer asal Redwood City Kalifornia itu membuka gerbang pre-order Meta 2 Development Kit. Mereka mendeskripsikannya sebagai produk AR pertama yang mampu menyuguhkan pengalaman paling immersive, berbeda dari perangkat-perangkat sejenis. Meta 2 memungkinkan kita berinteraksi dengan konten dunia maya, sebuah terobosan di bidang augmented reality.

Menurut CEO Meron Gribetz, Meta 2 Development Kit merupakan ‘produk baru paling penting semenjak Macintosh diperkenalkan’. Ketika Microsoft HoloLens menyajikan area hologram berukuran kecil, Meta 2 menyuguhkan field of view diagonal seluas 90 derajat serta display 2560×1440, dipantulkan dari LCD di visor ke mata. Melalui teknik itu, terciptalah gambar-gambar 3D stereoscopic beresolusi tinggi di 20ppd (pixels per degree), memastikan teks-teks mudah terbaca.

Meta 2 DK 01

Hebatnya lagi, Meta 2 sanggup melacak posisi tanpa menggunakan sensor eksternal. Perangkat memanfaatkan algoritma mutakhir yang mampu menggabungkan gambar-gambar di sekitarnya dengan arah gerakan serta kecepatan pengguna, melalui kamera 720p dan IMU (inertial measurement unit). Tak sama seperti headset AR lain, Meta 2 tidak memerlukan proses kalibrasi atau pemetaan ruang. Ketika dikenakan, device segera mengetahui posisi Anda.

Sebagai fitur primadonya, headset memberikan kita keleluasaan untuk memanipulasi objek maya secara langsung menggunakan kedua tangan. Lalu kita juga bisa berkreasi serta saling berbagi konten digital dengan teman di satu ruangan, atau rekan yang terpisah jarak ribuan kilometer; sehingga pengguna dapat saling berinteraksi dan berkolaborasi.

Meta 2 DK 03

Meta 2 DK merupakan jelmaan kedua dari device augmented reality mereka, didesain berbekal masukan-masukan dari hampir 1.000 perusahaan (developer, tester, sampai para akademisi). Headset diramu agar fungsinya fleksibel, dapat digunakan di beragam industri, dari mulai edukasi, pengobatan, sampai manufaktur.

Agar berjalan optimal, headset memerlukan sistem PC yang cukup mumpuni, antara lain prosesor Intel i7-3610MQ; kartu grafis Intel Iris Pro, Nvidia GT 650M, atau Radeon HD7970 (rekomendasi GTX 960 atau AMD 280); RAM 8GB, ouput HDMI 1.4, port USB 3.0 serta sistem operasi minimal Windows 8.1.

Meta 2 Development Kit dapat di-pre-order di situs MetaVision.com, ia dijajakan di harga US$ 950.

Sumber: Business Wire & MetaVision.

Tak Mau Seperti Kinect, Microsoft Baru Akan Merilis HoloLens Saat ‘Dunia Sudah Siap’

Meskipun namanya mengindikasikan bahwa seolah-olah Microsoft mengusung teknologi hologram, HoloLens bekerja hampir sama seperti headset AR. Walau demikian, sang produsen lebih nyaman dengan istilah mixed reality: meliputi elemen virtual maupun augmented reality. Setelah dipamerkan dalam beragam demo, kita tinggal menunggu waktu peluncuran device ini.

Namun saat VR sebentar lagi akan datang ke pangkuan konsumen, Microsoft tidak mau terlalu terburu-buru melepas HoloLens ke pasar. Mereka memilih untuk melangkah dengan lebih hati-hati, belajar dari pengalaman memasarkan Kinect. Perangkat input berbasis motion sensing yang dirancang buat mendampingi Xbox 360 itu dipuji karena inovatif, sayangnya tak semua orang siap mengadopsi sistem kendali inovatif tersebut di masa itu.

Berbicara pada para jurnalis di konferensi TED Vancouver, Alex Kipman selaku technical fellow Microsoft menolak memberi gambaran waktu kapan HoloLens akan tersedia. Ia berkomentar, “Ketika saya merasa dunia sudah siap, kami baru memperbolehkan konsumen biasa membelinya. Boleh jadi kami melakukannya di waktu dekat, tapi tidak menutup kemungkinan kami baru melepasnya nanti.”

Menariknya, Kipman menyampaikan bahwa saat ini hardware HoloLens sebetulnya siap untuk disajikan ke konsumen. Tak seperti Oculus Rift atau HTC Vive generasi awal, Microsoft tidak menawarkan versi ‘development kit‘. Mereka telah mulai menjual bundel ke developer dan konsumen enterprise dengan harga yang tidak murah (bagi khalayak umum) – US$ 3.000. Ternyata langkah tersebut diambil demi menyempurnakan ekosistemnya.

Kipman bilang, kesiapan device bukan hanya ditakar dari rampungnya sisi hardware, konten juga harus matang agar produk berguna di jangka waktu lama. Jika membelinya sekarang, kata sang technical fellow, HoloLens baru bisa melakukan 12 hal. Tentu tanggapan konsumen sesudah itu tidaklah positif. Mengeluarkan US$ 3.000 buat selusin fitur bukanlah cara khayalak normal bersenang-senang.

Microsoft memang mengetahui beberapa perusahaan (Meta, Magic Leap) berlomba-lomba untuk secepatnya menghadirkan teknologi sejenis ke pasar, tapi fakta tersebut tidak membuat raksasa dari Redmond itu terpancing. Mereka baru akan merilis HoloLens ketika yakin publik dapat memperoleh manfaat darinya.

Mereka tidak mau insiden Kinect terjadi kembali pada HoloLens. Dahulu, device motion sensing itu sempat memecahkan rekor penjualan Guinness Book of World Record. Namun antusiasime gamer menurun dengan cepat karena tidak banyak permainan yang benar-benar didesain buat mendukung Kinect. User juga lupa mempertimbangkan Kinect memerlukan ruangan yang cukup supaya perangkat bisa bekerja optimal.

Sumber: Recode. Gambar header: Microsoft.com.

Sennheiser Topang Virtual Reality Melalui Teknologi Ambeo

Pengenalan open headphone pada konsumen oleh Sennheiser puluhan tahun lalu melambungkan perusahaan Jerman tersebut sebagai brand audio papan atas. Selain tak berhenti mengembangkan produk high fidelity premium, ternyata Sennheiser juga memperlihatkan ketertarikan terhadap ranah yang belakangan mendapatkan perhatian besar: virtual reality.

Berkat kerja keras Oculus VR, Valve dan HTC, sebentar lagi khalayak umum dengan mudah bisa menikmati VR. Dan dari sana, kita bisa menerka, kulitas konten serta keberagaman periferal kendali akan meningkat. Namun bidang reproduksi suara tampaknya merupakan faktor yang kurang memperoleh perhatian. Dan karena alasan itulah, Sennheiser mengembangkan sebuah teknologi ‘3D immersive‘. Diungkap di CES 2016 silam, mereka menamainya Ambeo.

Sennheiser Ambeo adalah solusi yang didesain spesifik buat menopang virtual atau augmented reality, sehingga penyajian suara sama-sama realistisnya dengan elemen visual. CEO Dr. Andreas Sennheiser memberi penjelasan pada Digitial Trends bahwa Ambeo ialah ‘payung’ untuk beberapa tipe konfigurasi audio immersive berbeda. Prosedur diterapkan saat merekam, mixing, ketika memproses suara, serta tentu saja dalam penyuguhan output.

Ambeo memanfaatkan kombinasi teknologi berbeda, misalnya playback 9.1, playback di headphone, kemudian proses perekaman via microphone virtual reality. Ketika head-mounted display virtual reality dirancang buat mengelabui pengelihatan pengguna, seolah-olah mereka berada di tempat lain, Ambeo diramu untuk memperdaya indra pendengaran kita.

Tak cuma suara yang begitu akurat serta menyeluruh, Ambeo sanggup mengangkat detail-detail kecil. Ia sangat efektif buat menyajikan konser musik digital. Di CES, Ambeo dipadukan bersama headphone HD-630VB serta headset Samsung Gear VR. Digital Trends mengaku, penempatan audio di ruang virtual sangat mengagumkan. Ketika kepala digerakkan, ia sanggup melacak arah datangnya suara instrumen musik secara sempurna. Bahkan dari arah belakang.

Namun tentu saja, virtual reality tak bisa lepas dari tema gaming, dan Sennheiser sadar akan hal tersebut. Mereka menggandeng Soulpix dan mengimplementasikannya dalam Eden – demo proof of concept bertenaga Unreal Engine 4. Melalui algoritma khusus, sumber bunyi-bunyian di permainan jadi sangat mudah dideteksi.

Andreas Sennheiser menuturkan, “Engine rendering suara 3D yang Sennheiser gunakan di Eden memungkinkan transisi mulus antara dunia nyata dan audio virtual. Teknologi ini akan menjadi dasar masa depan suara 3D di aplikasi augmented reality.”

Kabar gembiranya, teknologi Ambeo rencananya akan hadir di produk audio tidak lama lagi, diperkirakan tiba tahun ini.

Sumber tambahan: Sennheiser.com.