Alfamart Manfaatkan Aplikasi WhatsApp, Rambah Omnichannel

Alfamart mengumumkan dalam waktu dekat masyarakat dapat berkomunikasi dan melakukan pemesanan secara langsung melalui WhatsApp. Konsumen dapat menjelajahi katalog produk secara online, menambah item ke dalam keranjang, sebelum melanjutkan ke sistem pembayaran Alfamart.

Semua pembelian dan pembayaran nantinya diselesaikan di luar WhatsApp pada sistem pembayaran eksternal yang dikelola dan dimiliki Alfamart. Setelahnya, pesanan akan diantarkan ke alamat konsumen dari gerai Alfamart terdekat. Pengalaman ini akan tersedia dalam beberapa bulan mendatang.

Informasi ini disampaikan di sela-sela konferensi pertama WhatsApp Business Summit yang digelar di Jakarta pada hari ini (1/11), dihadiri oleh lebih dari 1.500 peserta, terdiri dari pengusaha kecil, perusahaan, dan developer.

“Alfamart telah berhasil memanfaatkan WhatsApp secara efektif untuk memudahkan para pelanggan kami dalam mengakses program loyalitas kami. Saat ini, kami merasa sangat antusias dalam menggunakan WhatsApp untuk menghadirkan pengalaman online-to-offline yang sederhana dan dapat diandalkan bagi konsumen kami,” ujar Chief Commercial Officer Alfagift, Alfamart Linda Valentin dalam keterangan resmi.

Pengalaman Alfamart di WhatsApp / WhatsApp

Inisiatif Alfamart untuk masuk ke omnichannel sudah dimulai sejak pandemi. WhatsApp juga jadi alat Alfamart untuk berkomunikasi dengan konsumen. Akan tetapi, alurnya sedikit berbeda dengan rencana teranyar yang diumumkan perusahaan pada hari ini.

Berdasarkan pantuan DailySocial.id, akun bisnis Alfamart di WhatsApp menjadi gerbang awal untuk belanja online. Dengan instruksi pesan “Belanja”, Alfamart akan mengarahkan konsumen ke laman situs Alfagift untuk berbelanja dari katalog yang tersedia. Pengiriman ke alamat tujuan akan dilakukan dari toko terdekat.

Untuk pengalaman omnichannel, ditawarkan melalui aplikasi Alfagit. Alurnya sama, konsumen memilih barang dari katalog yang tersedia. Namun konsumen dapat memilih metode pengirimannya: Ambil di Toko atau Kirim ke Rumah.

“Masyarakat Indonesia menyukai dan menggunakan WhatsApp untuk mengirim pesan kepada teman, keluarga, dan ke semakin banyak bisnis karena sederhana, aman, dan pribadi. Sejak tahun 2022, percakapan sehari-hari antara individu dan bisnis di WhatsApp di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat, dan kami bertekad untuk terus mendukung perkembangan ekosistem digital di Indonesia,” kata Country Director Meta Indonesia Pieter Lydian.

Country Director, Meta Indonesia Pieter Lydian / WhatsApp

Dipaparkan, saat ini sebanyak satu miliar orang di seluruh dunia mengirimkan pesan bisnis setiap minggunya melalui aplikasi pesan Meta. Perilaku ini berkembang semakin pesat di seluruh dunia, salah satunya Indonesia yang menjadi negara terdepan dalam implementasinya.

Mengutip dari Business Messaging Usage Research by Kantar pada March 2023, diungkapkan setidaknya 9 dari 10 orang di Indonesia mengatakan jika mereka mengirim pesan bisnis setidaknya sekali seminggu. Data internal Meta 2023 juga menunjukkan, bahwa percakapan harian antara pelanggan dan pelaku bisnis meningkat hampir dua kali lipat di Indonesia dibandingkan tahun lalu.

Inovasi WhatsApp

Dalam kesempatan tersebut, Peter juga memperkenalkan fitur baru, Flows. Fitur ini memberikan kemampuan kepada bisnis unutk menyediakan beragam pengalaman, seperti memilih kursi pesawat dengan cepat atau membuat janji pertemuan. Semuanya dilakukan tanpa harus meninggalan chat.

“Dengan Flows, bisnis dapat menyediakan berbagai pilihan menu yang lengkap serta formulir yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang bermacam-macam. Fitur WhatsApp Flows kini tersedia secara global bagi bisnis yang menggunakan platform WhatsApp Business.”

Pengalaman Chat yang Lebih Cepat dengan Flows / WhatsApp

Selain itu, WhatsApp Business juga menyediakan Verifikasi Meta untuk bisnis. Langkah ini untuk meyakinkan pelanggan bahwa mereka sedang berinteraksi dengan akun bisnis yang resmi. Untuk mendapatkan verifikasi, bisnis dapat menunjukkan keasliannya kepada Meta. Setelahnya, bisnis tersebut akan mendapatkan lencana terverifikasi, dukungan akun yang ditingkatkan, dan perlindungan dari peniruan.

Verifikasi ini akan hadir dengan fitur premium tambahan. Kemampuan lainnya yang ditambahkan, yakni kemampuan untuk membuat halaman WhatsApp khusus yang nantinya mudah ditemukan melalui pencarian web dan dukungan multi perangkat agar beberapa karyawan dapat menanggapi pelanggan.

“Kami akan melakukan ujicoba Verifikasi Meta terlebih dahulu dengan bisnis skala kecil yang menggunakan aplikasi WhatsApp Business, sebelum memperkenalkannya kepada binsis di Platform WhatsApp Business di masa mendatang.”

Bisnis yang Diverifikasi Meta di WhatsApp / WhatsApp

Dalam waktu dekat, WhatsApp akan mendukung para pelaku bisnis dalam meningkatkan mutu dan kecepatan layanan yang mereka berikan kepada pelanggan melalui penggunaan solusi kecerdasan buatan (AI). Saat ini, masih dalam tahap menguji AI yang dirancang secara khusus untuk keperluan bisnis, agar setiap bisnis dapat memiliki AI yang mampu berinteraksi dengan pelanggan guna melakukan penjualan dan memberikan layanan dukungan.

Application Information Will Show Up Here

Pengembangan WhatsApp Bisnis Jadi Fokus Meta Indonesia di 2023

Setelah melakukan perubahan nama bulan Oktober 2021 lalu, Facebook yang kini dikenal sebagai Meta memiliki sejumlah fokus bisnis yang akan digencarkan pada 2023 mendatang, termasuk untuk unitnya di Indonesia.

Tiga fokus Meta untuk Indonesia adalah membantu pelaku bisnis melalui  teknologi digital, mendukung akselerasi digital melalui serangkaian kemitraan dan program, serta mendorong tren/inspirasi bagi kreator dan komunitas yang menggunakan platform miliknya.

WhatsApp untuk Bisnis

Meta melihat di tahun 2023 aktivitas bisnis di ranah online akan semakin erat dengan penggunaan layanan business messaging, terutama melalui layanan WhatsApp yang begitu populer di Indonesia. Studi yang diluncurkan oleh Kantar di tahun 2022 menunjukkan, 7 dari 10 orang di Indonesia lebih suka menggunakan layanan business messaging untuk terhubung dengan mitra dan pelanggan, daripada melalui telepon atau email.

Terlebih Meta juga telah meluncurkan fitur Communities di WhatsApp yang memungkinkan orang untuk terhubung dengan berbagai macam komunitas. Fitur ini baru diluncurkan, dan secara gradual akan ada di seluruh aplikasi WhatsApp bagi pengguna di Indonesia.

Tercatat saat ini lebih dari 1 miliar pengguna terhubung dengan akun bisnis  setiap minggu. Pada business messaging, percakapan dengan format 1:1 membentuk interaksi yang bermakna dengan pelanggan. Pasca-pandemi, hampir separuh konsumen Indonesia lebih sering melakukan obrolan dengan akun bisnis. 40% responden meningkatkan penggunaan perpesanan bisnis.

Sementara itu Komunikasi bisnis melalui perpesanan kini menjadi bagian dari perilaku konsumen. 1 dari 2 konsumen Indonesia menggunakan business messaging setiap 3 minggu sekali. Fitur tersebut juga digunakan oleh semua kategori umur, khususnya milenial gan Gen Z.

Sebelumnya WhatsApp juga telah menunjuk Calvin Kizana sebagai Head of WhatsApp Indonesia. Disinggung apa rencana Meta untuk WhatsApp ke depannya, Industry Head Meta Indonesia Aldo Rambie mengungkapkan, WhatsApp sendiri memiliki ekosistem yang menyeluruh, mulai dari consumer apps hingga business platform.

“Konteksnya tetap membangun one-on-one conversation yaitu memberikan fitur yang memudahkan conversation antara person-to-person. Untuk small bisnis bisa memudahkan mereka menggunakan WhatsApp. Dengan tujuan yaitu agar bisnis bisa menjangkau pelanggan dengan skala yang lebih besar. Tahun depan akan kita jelaskan lebih detail lagi.”

Menurut laporan yang dirilis Business of Apps, Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia untuk jumlah pengguna WhatsApp di dunia, setelah India dan Brazil. Diperkirakan pada tahun 2021 adalah 112 juta pengguna WhatsApp di Indonesia, atau hampir separuh populasi.

Pengembangan metaverse di Indonesia

Disinggung seperti apa perkembangan metaverse di Indonesia yang telah dikembangkan oleh Meta menggunakan headset virtual reality, menurut Kepala Kebijakan Publik Meta  Indonesia Noudhy Valdryno, perkembangan metaverse dilakukan secara berkala. Jadi bukan berarti secara langsung diimplementasikan di semua negara.

“Jadi apa yang kita lakukan di Indonesia saat ini adalah membangun ekosistemnya dulu. Tentunya metaverse ini bukan hanya teknologi AR/VR saja, namun juga banyak hal yang harus kita bangun. Contohnya ekosistem tapi juga ada infrastruktur hingga talenta.”

Ditambahkan olehnya secara pribadi dirinya juga berharap suatu saat Indonesia bisa mendapatkan akses teknologi metaverse yang dikembangkan oleh Meta. Namun saat ini fokus Meta Indonesia adalah mempersiapkan dulu ekosistemnya. Diharapkan Indonesia bisa menjadi salah satu negara kunci di era metaverse.

Dalam kesempatan tersebut juga dibahas studi yang dilakukan oleh Instagram bersama dengan Populix merilis laporan “Yang dicintai Gen Z Indonesia di Instagram” untuk pertama kalinya. Laporan ini menunjukkan, kelompok Gen-Z ternyata tidak hanya kelompok yang menikmati konten hiburan, namun mereka juga cenderung ingin lebih terhubung dengan orang-orang yang ada di dalam lingkaran pertemanan mereka.

Salah satu temuan menarik di Indonesia adalah bagaimana kelompok Gen-Z di Instagram menjadikan tren hashtag #PesonaIndonesia dan #Kuliner sebagai top hashtag di tahun 2022 dengan masing-masing masing-masing 37% dan 40% Gen-Z menggunakan dua hashtag ini. #PesonaIndonesia dan #kuliner akan terus menjadi tren di tahun 2023.

Juga terungkap dalam laporan tersebut tren yang dinanti oleh Gen-Z di Instagram. Di antaranya adalah implementasi metaverse dan elemen-elemen web3, seperti avatar, AR dan VR, hingga NFT. Tercatat sekitar 65% Gen-Z di Indonesia ingin melihat lebih banyak lagi fitur VR di Instagram.

Bulan September tahun ini, Meta meluncurkan Akademi Pembelajaran Virtual, sebuah program pelatihan untuk kreator-kreator Spark AR di seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang dan tingkatan yang bertujuan memberikan mereka kemampuan dari tingkat dasar hingga lanjut, untuk menciptakan pengalaman Augmented Reality (AR) yang menarik dan membawa dampak ekonomi.

“Akademi Pembelajaran Virtual merupakan upaya kami untuk mendukung anak-anak muda di Indonesia yang tertarik belajar Spark AR dan menjadi kreator-kreator masa depan sebagai tulang punggung dari masa depan metaverse dan evolusi teknologi secara umum,” ujar Noudhy.

Mark Zuckerberg: Kekayaan, Bisnis dan Keluarganya

Mark Zuckerberg merupakan orang terkaya ke-6 di dunia dan juga dikenal sebagai pendiri Facebook yang kini telah berganti nama menjadi Meta. Meski menjadi orang terkaya di dunia, Mark Zuckerberg dikenal sebagai orang yang sederhana dalam hal cara berpakaian dan menjalani kehidupan sehari-hari.

Zuckerberg pasti telah melalui banyak masa sulit untuk sampai ke posisinya saat ini. Sekarang, mari kita lihat perjalanan hidup Zuckerberg dan bagaimana ia berhasil menjadi orang terkaya yang masih hidup meski pernah sekali putus kuliah.

Latar Belakang Keluarga

Mark Elliot Zuckerberg, lebih dikenal sebagai Mark Zuckerberg, lahir sebagai putra seorang dokter gigi dan psikiater. Mark Zuckerberg lahir pada 14 Mei 1984 di White Plains, New York, AS. Mark Zuckerberg adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ketiga bersaudara itu masing-masing bernama Randy, Donna dan Ariel.

Masa kecil Mark Zuckerberg dihabiskan bersama keluarganya di desa Dobbs Ferry. Di lingkungan sosial tempatnya tinggal, keluarga Mark Zuckerberg dikenal sebagai keluarga yang berpendidikan dan sangat kaya raya. Mark juga tumbuh dalam keluarga Yahudi yang taat.

Menyukai Pemograman Sejak Kecil

Mark Zuckerberg mulai menyukai dunia pemrograman sejak kecil, saat ia berusia 8 tahun tepatnya, atau sekitar tahun 1990-an. Mark senang mengutak-atik komputer yang dibelikan ayahnya untuknya. Saya juga tidak lupa mengajar pemrograman Mark ATARI BASIC ketika ia berusia 11 tahun. Dari sinilah ia akhirnya mulai belajar bagaimana menulis berbagai program komputer.

Melihat bakat dan minat Mark dalam pemrograman tumbuh dan berkembang, ayahnya akhirnya memanggil seorang tutor bernama David Newman, seorang insinyur perangkat lunak, untuk mengajarinya dunia pemrograman seminggu sekali di rumah.

Sekitar usia 12-13 tahun, Mark dapat membuat program pengiriman pesan menggunakan ATARI BASIC, yang diajarkan ayahnya. Program tersebut bernama Zucknet dan akhirnya digunakan oleh ayahnya untuk menjalankan tugasnya di poli gigi. Program Zucknet digunakan untuk memberi tahu dokter ketika pasien baru datang. Zucknet juga digunakan oleh keluarga Zuckerberg untuk saling berkomunikasi.

Selain program Zucknet, Mark dan rekan-rekannya juga mengembangkan plugin untuk pemutar MP3 Winamp selama sekolah menengah di Phillips Exeter Academy. Plugin ini dibuat untuk membantu seseorang menyimpan banyak lagu favorit mereka dan membuat daftar putar mereka sendiri. Mark juga mengaku sering bermain game komputer dengan teman-temannya untuk bersenang-senang.

Perjalanan Pendidikan

Untuk pendidikannya, Mark Zuckerberg bersekolah di Phillips Exeter Academy, salah satu sekolah terkemuka di New York. Di sekolah ini Mark menjadi salah satu siswa terbaik dalam beberapa mata pelajaran seperti matematika, astronomi, sastra dan fisika.

Mark juga mengaku fasih berbahasa Prancis, Latin, Ibrani, dan Yunani Kuno. Semasa SMA, Mark juga magang di Intelligent Media Group. Mark berhasil mengembangkan software musik yang kemudian diberi nama Synapse Media Player.

Perangkat lunak ini kemudian diunggah ke Slashdot dan diberi peringkat 3 dari 5 oleh PC Magazine, sebuah majalah teknologi.

Software musik juga telah berhasil mengakuisisi sejumlah perusahaan, termasuk raksasa teknologi seperti AOL dan Microsoft. Bahkan, ketika Mark Zuckerberg mendapat tawaran pekerjaan sayangnya, ia menolak kesempatan itu. Setelah lulus dari sekolah menengah sekitar tahun 2002, Mark memutuskan untuk mendaftar di perguruan tinggi dan mengejar gelar sarjana di Universitas Harvard, jurusan psikologi dan ilmu komputer.

Sebagai mahasiswa, ia masih mengekspor dunia pemrograman. Perjalanan pengembangan perangkat lunaknya tidak berhenti di situ. Terbukti dengan Mark akhirnya membuat program bernama CourseMatch. Ini adalah program yang memungkinkan siswa untuk memilih kelas berdasarkan pilihan kursus siswa lain. Program ini juga dapat digunakan untuk kerja kelompok.

Pembangunan Platform Media Sosial Raksasa : Facebook

Mark Zuckerberg dikenal luas sebagai pendiri Facebook. Pertama, Mark diajak membuat program bersama rekan-rekannya. Namun, Mark akhirnya menolaknya karena ingin fokus menggarap program pribadinya, The Facebook.

Sekitar tahun 2004 ketika Facebook pertama kali didirikan, alamat Facebook adalah facebook.com. Ide untuk membuat program ini didasarkan pada daftar siswa sekolah menengah yang berisi foto dan alamat, mirip dengan buku memori. Dengan bantuan rekan-rekannya, Mark bekerja di Facebook.

Pengguna Facebook dapat membuat profil mereka sendiri, mengunggah foto, dan berkomunikasi dengan orang lain. Situs Facebook dibuat dan dioperasikan oleh asrama kampus Harvard hingga tahun 2004. Awalnya, situs Facebook hanya digunakan oleh mahasiswa Harvard, tetapi sekarang digunakan oleh kampus-kampus Ivy League lainnya.

Setelah Facebook muncul di mana-mana, Mark akhirnya memutuskan untuk fokus pada situs webnya dan berhenti kuliah. Dia bekerja secara eksklusif untuk The Facebook dari kantor Facebook Palo Alto.

Di sana Mark bertemu Peter Thiel sebagai investor awal. Akses ke area kampus masih terbatas, namun Facebook telah menarik banyak investor selain Peter, termasuk Accel Partners.

Adanya banyak sekali investor tadi menciptakan akhirnya penggunaan The Facebook semakin meluas. Bahkan dalam tahun 2005, pengguna The Facebook telah mencapai lima,lima juta. Adanya kesuksesan The Facebook tadi menciptakan beberapa perusahaan sepert Yahoo tertarik buat mengakusisinya.

Namun, sekali lagi, Mark menolak & menentukan buat menjalankan The Facebook seorang diri. Bahkan dirinya mulai menciptakan pola fitur-fitur pada The Facebook itu sendiri. Akhirnya dalam tahun 2004, The Facebook yang berubah nama sebagai Facebook ini dinobatkan menjadi media umum terbesar pada dunia.

Pada tahun 2012, Facebook melantai pada bursa saham menggunakan kode FB. Nilai perusahaan sebagai semakin merangkak & akhirnya IPO Facebook dinobatkan menjadi IPO tertinggi sepanjang masa. Facebook pula akhirnya dinobatkan menjadi perusahaan paling kaya pada Amerika Serikat.

Meskipun banyak sekali kasus kerap kali muncul, contohnya saja misalnya kebocoran data dalam tahun 2018 kemarin, tidak menciptakan Facebook surut. Bahkan penggunanya justru semakin bertambah. Dari adanya kesuksesan Facebook tadi, tidak ayal bila Mark akhirnya dijuluki menjadi orang terkaya ke-6 pada dunia.

Dilansir berdasarkan Forbes, jumlah kekayaan Mark Zuckerberg kurang lebih 103,tiga miliar dollar AS. Saat ini, Mark telah berbahagia bersama istri & kedua anaknya. Meskipun awalnya drop out kuliah, kini Mark sudah diwisuda menggunakan gelar kehormatan berdasarkan Harvard. Pada tahun 2021, Facebook resmi membarui namanya sebagai Meta.

Dapatkan Berita dan Artikel lain di Google News

SYNC Asia Tenggara: Kepuasan Konsumen Terhadap Pengalaman Belanja Online Menurun

Dalam laporan tahunan yang dirilis oleh SYNC Asia Tenggara, Meta, dan Bain & Company terungkap adanya penurunan tingkat kepuasan belanja online dari kalangan masyarakat di Asia Tenggara khususnya Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Khususnya ketika pasca-pandemi, ketika keadaan sudah berangsur pulih dan kegiatan offline kembali dilakukan. Indonesia juga tercatat sebagai negara yang memiliki paling banyak konsumen yang melakukan pembelian secara digital di Asia Tenggara.

Pertumbuhan konsumen digital

Selama dua tahun terakhir terlihat pertumbuhan konsumen digital di Asia Tenggara dengan jumlah yang cukup signifikan. Pandemi telah mengakselerasi kegiatan belanja online. Bukan lagi hanya membeli produk seperti gadget dan fashion saja, namun juga groceries seperti sayur, daging, dan ikan.

Tercatat Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki sekitar 168 juta orang yang telah melakukan kegiatan belanja secara online. Jumlah ini cukup meningkat dari tahun lalu sekitar 154 juta. Rentang usia yang banyak melakukan kegiatan belanja online adalah 15 tahun ke atas.

“Adopsi digital di kota tier 3 dan tier 4 terus tumbuh. Hal ini, seiring dengan peningkatan akses ke berbagai opsi pembayaran dan perkembangan logistik infrastruktur, telah membantu untuk lebih memudahkan kegiatan perdagangan,” kata Group Chief Economist Sea Limited Dr. Santitarn Sathirathai.

Dalam laporan juga disebutkan, kontribusi rata-rata layanan e-commerce terhadap industri ritel terus tumbuh sepanjang tahun lalu, naik dari 9% pada tahun 2021 menjadi 11% pada tahun 2022 (mewakili pertumbuhan 16%).

Pertumbuhan penetrasi ritel online untuk masing-masing kategori juga diproyeksikan meningkat dari tahun lalu, dengan groceries menunjukkan pertumbuhan terkuat di Asia Tenggara sebesar 29%. Selama lima tahun ke depan, pertumbuhan kontribusi ritel online untuk setiap kategori di Asia Tenggara diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar minimal 16%.

Pada tahap evaluasi, online masih bertahan dengan 81% konsumen menyebutkannya sebagai saluran utama mereka untuk membandingkan produk, melihat ulasan, dan melakukan penelitian. Namun, pada tahap pembelian, pemisah antara online dan offline hampir merata, karena offline masih memainkan peran yang lebih relevan bahkan untuk pembeli digital. 80% konsumen memilih untuk belanja secara online.

Hal menarik lainnya yang juga dicatat dalam laporan ini adalah, tingkat kepuasan konsumen terhadap pengalaman belanja online telah menurun dibandingkan tahun sebelumnya, dengan Net Promoter Score (NPS) dari layanan e-commerce teratas.

Untuk Asia Tenggara secara keseluruhan, rata-rata skor NPS tahun ini mencapai 35%, turun dari 53% tahun lalu. Pada perincian negara per negara, setiap pasar mengalami penurunan NPS tertinggi—terutama di Indonesia (dari 74% di 2021 hingga 50% pada 2022), Vietnam (dari 65% menjadi 41%), dan Filipina (dari 64% menjadi 43%).24

Di sisi lain ada perubahan yang cukup signifikan terkait dengan kebiasaan masyarakat saat ini. Tahun ini ketika mulai banyak orang yang kembali melakukan kegiatan offline secara rutin, mulai terlihat adanya pergeseran. Dan ini berpengaruh kepada cara orang berbelanja di Asia Tenggara.

Semakin banyak konsumen menuntut aktivitas belanja terintegrasi dengan pengalaman yang berjalan secara seamless di berbagai kanal secara end-to-end. Media sosial dan layanan e-commerce menjadi pilihan bagi mereka untuk melakukan pencarian dan menemukan produk, sementara offline adalah masih vital pada tahap pembelian.

“Pelanggan beralih dari online ke offline untuk dua alasan kunci, mereka ingin mengalami atau melihat produk itu sendiri. Mereka juga menginginkan kenyamanan, dan tidak mau membayar biaya pengiriman. Pelanggan bergeser kembali online karena mereka mau promosi dan spesial ditawarkan,” kata Marketing Manager Cỏ Mềm Homelab Hanh Vu.

Menyimak tren teknologi masa depan

Hal menarik lainnya yang juga dibahas dalam laporan ini adalah, teknologi masa depan di berbagai level kedewasaan pasar di Asia Tenggara. Layanan fintech dan metaverse diprediksi akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Disusul dengan healthtech dan edtech.

Untuk produk dan layanan fintech yang akan mengalami peningkatan dalam penggunaan di antaranya adalah dompet digital, internet banking, layanan remitansi, Buy Now Pay Later (BNPL), bank digital dan neobank. Sementara untuk teknologi metaverse produk yang akan semakin dikenal oleh masyarakat di antaranya adalah, cryptocurrency, augmented reality (AR), NFT dan virtual reality (VR).

Sementara untuk layanan healthtech yang akan makin banyak diminati oleh pengguna di antaranya adalah, telemedis, farmasi atau toko kesehatan, health & wellness, dan layanan penyakit kronik. Untuk edtech ada beberapa produk atau layanan yang bakal menjadi popular, di antaranya adalah, course and management tools, skill-learning, study tools dan online courses.

Indonesia juga terdepan di kurva regional dalam hal adopsi teknologi baru. Meskipun masih dalam tahap awal, metaverse merupakan babak baru dari inovasi teknologi yang memberikan banyak harapan di berbagai negara termasuk Indonesia.

Teknologi terkait metaverse mendapatkan daya tarik di mana sekitar 72% responden Indonesia telah menggunakan teknologi tersebut dalam satu tahun terakhir. Variasi dalam jenis teknologi terkait Metaverse yang digunakan di negara ini termasuk cryptocurrency (46%), augmented reality (34%), dunia virtual (29%). Ini diikuti oleh NFT dan VR.

Studi ini juga menemukan bahwa Asia Tenggara melihat lebih banyak investasi asing langsung disalurkan ke wilayah ini. Investasi asing langsung menyumbang proporsi yang lebih besar dari total investasi pada tahun 2021, sebesar 17% berbanding dengan 15% di tahun 2015 dan hanya 9% di tahun 2009. Peningkatan investasi asing yang stabil ini merupakan bukti kepercayaan investor di Asia Tenggara dan mendorong pertumbuhan teknologi baru seperti fintech.

Singapura dan Indonesia menyumbang sebagian besar deal investasi di
Asia Tenggara, menguasai hampir 80% pangsa pasar pada H1 2022. Singapura
mewakili proporsi yang cukup besar, pada 60% dari total deal pada sebagian tahun ini.

Mengenal Ami dan Caranya Membumikan Kesehatan Mental untuk Karyawan Startup

Hingga kini, kesehatan jiwa menjadi masalah yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan, baik di tingkat global maupun nasional. Kondisi semakin diperparah sejak pandemi Covid-19 yang menyebabkan ekonomi masyarakat memburuk, yang secara langsung berakibat pada kehidupan, juga mental dalam menghadapi situasi di masa pandemi.

Terlebih, isu kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu untuk masyarakat Indonesia. Stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental di Indonesia masih sangat kuat. Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) 2018 menunjukkan, sebanyak lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Data ini menunjukkan bahwa negara ini belum dapat menyelesaikan masalah kesehatan mental secara tepat. Namun sayangnya, isu ini menjadi stigma yang dapat berdampak buruk pada penderita, misalnya, diskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat yang dikhawatirkan menghambat kesembuhan dan pemulihan penderita kesehatan mental.

Fakta di atas turut didukung oleh temuan Google Trends. Di pasar global, tren pencarian “how to maintain mental health” disebutkan meningkat lebih tinggi pada tahun ini dari tahun sebelumnya.

Tantangan ini jadi menarik untuk diselesaikan oleh pihak swasta. Justin Kim dan Beknazar Abdikamalov menjadi orang dibalik berdirinya “Ami”, startup penyedia platform mental wellness dengan misi membuat perawatan kesehatan mental lebih mudah diakses oleh pekerja yang terlalu banyak bekerja dan stres di Asia.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Kim mengaku bahwa, baik dirinya maupun Abdikamalov, sudah terlalu akrab dengan budaya perusahaan yang sangat serba cepat. Kim sebelumnya adalah pemilik di Viva Republica, milik miliarder Korea Lee Seung-gun, yang mengoperasikan super-app keuangan Toss, sementara rekannya bekerja sebagai software engineer di Amazon.

“Setiap orang di Ami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di tempat kerja yang serba cepat dan mengalami langsung bagaimana rasanya mengabaikan kesehatan emosional kita. Ami dirancang untuk menjadi sumber kesejahteraan karyawan yang selalu kami inginkan. Kami sekarang bekerja dengan perusahaan untuk membuat pelatihan kesehatan mental 1:1 dapat diakses oleh karyawan di mana saja,” terang Kim.

Solusi Ami

Sumber: Ami

Ami bekerja sebagai platform online yang mencocokkan karyawan dengan pelatih kesehatan mental. Pengguna benar-benar dapat menelepon mereka, tanpa perlu membuat janji berminggu-minggu sebelumnya, untuk berbicara tentang tekanan mereka sehari-hari melalui platform WhatsApp. Langkah ini dimaksudkan, supaya bicara perawatan kesehatan mental itu semudah memeriksa cuaca dan senyaman berbicara dengan teman.

Kim melanjutkan, ada tiga karakteristik utama dari pengalaman Ami. Pertama, Ami beresonansi dengan rata-rata pengguna karena mereka memberikan pelatihan ringan yang dirancang untuk orang dan karyawan biasa. “Kami bukan layanan konseling klinis yang hanya melayani individu yang didiagnosis dan karena itu mencari pengobatan.”

Kedua, pengguna menikmati pengalaman interaktif 1:1 dengan pelatih yang dipilih sendiri dari tim Ami yang beragam agar cocok untuk mereka, sehingga pengalaman tersebut jauh lebih menarik dan dipesan lebih dulu dibandingkan solusi yang ada di industri. Akhirnya, pembinaan ditawarkan dengan cara yang dapat diakses sesuai permintaan.

“Pengguna di perusahaan mitra kami dapat menikmati pengalaman yang seamless di platform aplikasi kami, terhubung dengan pelatih dalam waktu kurang dari satu menit. Setelah itu, mereka dapat terus menikmati akses tak terbatas dan fleksibel ke sesi pelatihan Ami.”

Bagi perusahaan, dampak dari penerapan konsep ini diklaim mampu meningkatkan adopsi 10 kali lebih tinggi daripada solusi konvensional, dengan biaya yang lebih murah.

Dalam kurun waktu lima bulan, diterangkan lebih jauh oleh Kim, pihaknya telah membangun komunitas klien dan mitra yang kuat di seluruh Asia Pasifik. Permulaan awal yang positif ini membuat ia dan tim meyakini prospek yang cerah untuk membumikan literasi mengenai kesehatan mental.

Semua pelatih Ami dipilih sendiri dan bekerja bersama Ami secara internal. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan tim pelatih yang paling beragam dan kuat di Asia -terlepas dari latar belakang- semua pengguna Ami akan dicocokkan dengan profil pelatih yang sesuai untuk kebutuhan mereka.

“Fokus utama kami terus memastikan bahwa pengguna kami memiliki pengalaman pelatihan yang luar biasa dan memungkinkan mereka untuk menjadi advokat alami dan menyebarkan berita ke rekan-rekan. Kami mendapat banyak dukungan pengguna dari komunitas startup di Asia, terutama dari perusahaan dengan demografi milenial yang lebih berorientasi nilai.”

Industri kesehatan mental dan rencana Ami

Ami sendiri berbasis di Singapura dan mulai ekspansi ke Jakarta. Dua lokasi ini dipilih lantaran memiliki basis startup dengan pertumbuhan yang cepat. Terlebih itu, mayoritas karyawannya berusia muda dan cenderung lebih terbuka terhadap kesehatan dan kesehatan emosional.

Menurut Kim, bekerja di startup cenderung lebih cepat stres karena selalu dituntut pada pertumbuhan yang sangat tinggi. Sementara, mempertahankan talenta terbaik adalah prioritas yang berkembang untuk startup. Kendati stigma seputar kesehatan mental di Asia masih sangat nyata, namun respons startup terhadap solusi yang ditawarkan Ami begitu positif.

Mereka menambahkan Ami sebagai bagian inti dari paket tunjangan karyawan, karyawannya pun secara terbuka merangkul dan secara proaktif berinvestasi dalam pembinaan kesehatan mental. “Covid-19 telah membantu mempercepat ini. Sekarang adalah waktu yang tepat bahwa kesehatan mental adalah percakapan yang sangat terkini untuk masyarakat dan tempat kerja Asia sekarang, dan ini juga menjadi agenda sebagian besar tim SDM.”

Kim menambahkan, “kesehatan mental” telah menjadi kata kunci. Kondisi tersebut sangat penting memberikan nilai yang otentik dan jelas seperti apa nilai tambah yang diberikan Ami. “Kami mendidik dengan menunjukkan bahwa kesehatan mental relevan untuk semua orang di seluruh siklus berproses, tidak hanya untuk individu yang mencari bantuan klinis, atau untuk situasi tertekan setelah kejadian.”

“Kesejahteraan mental dan ketahanan dapat dipupuk melalui gaya hidup sehari-hari Anda, mengetahui cara menjeda dan mengatur ulang, sehingga Anda dapat melangkah lebih jauh. Di Ami, kami percaya coaching dapat menjadi pengalaman transformatif yang memfasilitasi hal ini secara efektif. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang menginginkan hubungan manusia,” sambung dia.

Kim menuturkan, selama setahun ini perusahaan akan memperluas cakupannya ke Asia. Bagi dia, Asia adalah rumah bagi beberapa negara yang paling banyak bekerja di dunia. Rata-rata orang di Korea Selatan, misalnya, bekerja 1.908 jam pada tahun 2020, keempat terbanyak di antara negara-negara maju, menurut data yang dikumpulkan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Sebagai perbandingan, rata-rata orang di AS bekerja 1.767 jam pada tahun yang sama.

Sementara di Jepang, jam kerja yang panjang begitu merajalela, hingga menjadi penyebab kematian —disebut “karoshi” dalam bahasa Jepang. Kenyataan ini telah diakui secara hukum sebagai penyebab kematian sejak tahun 1980-an. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Tiongkok.

“Pekerja di Asia adalah yang paling stres di dunia dengan akses yang buruk ke sumber daya manajemen stres. Meskipun demikian, terlepas dari geografi, apa yang kami lakukan akan relevan dan penting bagi organisasi mana pun yang mempekerjakan karyawan manusia, bukan robot. Kami menyambut baik untuk terhubung dengan perusahaan mana pun secara global yang mungkin ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kami lakukan.”

Ia pun optimistis dengan kesempatan Ami di Indonesia. Alasannya, budaya kerja di negara ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh cepat. Bila diterjemahkan lebih lanjut, hal ini memicu intensitas dan stres yang meningkat di sebagian besar tempat kerja. Bersamaan dengan ini, muncul generasi baru karyawan yang telah berubah menjadi lebih berorientasi pada nilai daripada pendahulu mereka, dan mencari lingkungan kehidupan kerja yang benar-benar holistik, otentik, dan seimbang.

“Kami yakin bahwa Ami berada di posisi yang tepat untuk membantu pemberi kerja dan karyawan dalam hal ini menavigasi keseimbangan ini. Last but not least, banyak dari pengguna Indonesia kami berbicara Bahasa dan telah memberikan pujian yang tinggi kepada pengalaman Ami karena mampu memenuhi tuntutan multi-bahasa, multi-budaya. Kami bekerja keras bahu membahu dengan pelatih untuk memberikan pengalaman yang relevan secara sosial budaya untuk semua klien kami.”

Beberapa startup lokal yang telah bermitra dengan Ami, di antaranya adalah HappyFresh, Modalku, dan Sampingan.

Saat ini, Ami telah didukung dengan pendanaan sebesar $4 juta (lebih dari 57 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh New Product Experimentation Team, investing arm dari Meta. Investasi dari Meta ini tandai debut awalnya di Asia Pasifik. Kemudian, diikuti Collaborative Fund, Goodwater Capital, Strong Ventures, January Capital, dan Wisdom Ventures.

Selanjutnya, jajaran investor lainnya yang turut berpartisipasi juga datang dari kalangan angel investor. Nama-namanya adalah tiga co-founder Modalku (Reynold Wijaya, Kelvin Teo, Koh Meng Wong), Maudy Ayunda, Chinmay Chauhan (BukuWarung), MX Kuok (K3 Ventures), Steven Lee (SV Angel), Rajesh Venkatesh (Nium), dan lainnya.

Menyambut Metaverse: Peluang Inovasi dan Kekhawatiran yang Membuntuti

Secara sederhana, metaverse didefinisikan sebagai sebuah dunia baru yang sepenuhnya virtual. Berbagai hal yang ada dalam dunia nyata akan ada versi virtualnya, termasuk barang-barang fisik seperti bangunan, karya seni, televisi dll; maupun yang bersifat sistem, seperti pembayaran, telekomunikasi, asuransi, dan mungkin regulasi. Representasinya juga mungkin akan lebih bagus dibandingkan konten digital yang sudah kita nikmati sejauh ini, karena mengandalkan teknologi Virtual Reality (VR).

Realisasinya bisa saja lebih cepat dari yang kita bayangkan. Perusahaan teknologi seperti Facebook, Microsoft, dan yang lain telah berinvestasi besar-besaran dengan harapan bisa menjadi penyedia dari platform yang melandasi metaverse tersebut – untuk tidak menyebutnya sebagai penguasa dunia virtual tersebut nantinya. Banyak yang sudah bersiap-siap untuk turut andil dalam dunia baru tersebut, namun tidak sedikit yang belum paham, bahkan belum tahu sama sekali tentang metaverse ini.

Gambaran aktivitas di metaverse

Sama seperti di kehidupan yang kita jalani sekarang, di metaverse semua aset virtual di dalamnya dapat dimiliki seseorang. Jika di dunia nyata orang membeli tanah untuk ditempati sebagai rumah, di metaverse orang juga akan bisa membeli lahan virtual untuk dijadikan tempat singgahnya. Pun demikian lukisan yang dipajang di rumah kita, di metaverse kita bisa membeli lukisan virtual yang dapat kita pajang di aset yang kita miliki.

Infrastruktur proses ekonomi tersebut dilandasi teknologi blockchain, dengan salah satu sistem yang sudah mulai tenar akhir-akhir ini, yakni Non-Fungible Token (NFT). NFT memungkinkan sebuah aset virtual untuk diikat kepemilikannya oleh seseorang – yang sebenarnya konsepnya sama dengan sertifikat tanah. Tanah itu mungkin bisa ditempati siapa saja, tapi pemiliknya adalah orang yang ada di sertifikat tersebut. Pun gambar-gambar virtual yang mungkin bisa disimpan dan digunakan banyak orang. Pemiliknya adalah yang tercatat di sistem kontrak NFT.

Kegiatan lainnya pun bisa saja terjadi, seperti bisnis, hiburan, dan sebagainya. Digadang-gadang metaverse akan menawarkan berjuta kesempatan aktivitas baru [termasuk ekonomi] yang mungkin sebelumnya tidak pernah ada. Contoh sederhananya, ketika ada yang membangun rumah di metaverse, tentu ada yang butuh jasa orang lain untuk mempercantik rumah tersebut – mungkin nanti akan ada desainer interior khusus mendesain rumah virtual di metaverse.

Diyakini banyak orang akan bergabung di metaverse, layaknya orang yang kini berbondong-bondong memasuki “kehidupan di media sosial”. Populasi yang besar, akan menciptakan cara-cara baru dalam berkehidupan. Mirip dengan yang disajikan ekosistem digital sekarang ini, misalnya sistem pendidikan berubah menjadi e-learning, jual-beli menjadi e-commerce, kesehatan jadi e-health, dan sebagainya. Nantinya akan ada versi metaverse untuk kegiatan-kegiatan seperti itu.

Pada intinya, metaverse akan menawarkan cara-cara baru bagi seseorang untuk melakoni kehidupannya. Bukan tidak mungkin hal yang ada di film “Ready Player One” akan kita rasakan, saat orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtualnya. Apa yang ada sekarang ini memang masih sebatas konsep belaka, karena memang metaverse tersebut belum benar-benar ada. Meskipun demikian, beberapa infrastruktur penyangganya mulai bisa diakses pengembang dan semua orang.

Siapa cepat, dia dapat

Yang diupayakan para inovator teknologi saat ini adalah berlomba-lomba untuk terlebih dulu menghadirkan “planet baru” tersebut. Dengan harapan tempat itu yang akan dihuni oleh orang-orang, bersama dengan ekosistem aset metaverse yang ada. Tentu, dengan menyediakan platform, perusahaan tersebut menjadi yang paling diuntungkan. Untuk itu tidak heran jika puluhan triliun Rupiah dana digelontorkan untuk melakukan R&D tentang metaverse.

Kita, sebagai konsumen, mungkin juga termotivasi untuk menjadi early adopter NFT. Mereka berinvestasi untuk menyiapkan kehidupan barunya di metaverse, yang diyakini aset-aset tersebut akan lebih bernilai di sana. Mereka belajar dari harga Bitcoin, yang sangat rendah di fase awal kemunculannya sampai bertahun-tahun, namun melambung sangat tinggi di beberapa tahun terakhir seiring dengan fungsinya sebagai alat transaksi yang mulai diakui. Namun apa daya, tidak semua orang telah memiliki pemahaman, akses, kemampuan untuk turut andil di fase awal metaverse ini.

Sayangnya, belum ada satu negara pun yang memiliki regulasi tentang metaverse. Hal ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak awal media sosial muncul. Kala itu semua yang ada di sana bebas, tidak ada regulasi secara khusus yang mengatur. Seiring berjalannya waktu, baru ada regulasi yang mengatur, misalnya terkait batasan ketika berpendapat. Yang lebih menyeramkan, dunia baru ini seperti tidak akan memiliki batasan, karena pada dasarnya metaverse memiliki banyak universe.

Kekhawatiran terbesar

Mungkin akan ada yang bilang, “dengan kondisi tersebut, metaverse tidak untuk semua orang”. Pernyataan tersebut mungkin juga relevan pada awal tahun 2010-an, ketika saat itu penetrasi ponsel pintar dan internet belum sebesar sekarang, media sosial dikatakan bukan untuk semua orang. Berbeda dengan saat ini, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua semua berbaur dalam media sosial untuk saling berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi.

Jika hambatan penetrasi metaverse adalah perangkat VR, tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi produk yang memungkinkan perangkat tersebut menjadi sangat terjangkau dan menjadi kebutuhan yang lebih mendesak, seperti ponsel pintar.

Jika metaverse datang lebih cepat, ia akan hadir di tengah proses edukasi literasi digital yang belum tuntas, di tengah literasi finansial yang belum menyeluruh. Bukan tidak mungkin jika gap yang ada saat ini justru menjadi lebih lebar, memberikan peluang kepada orang-orang yang sudah berkecukupan, namun melahirkan tantangan baru bagi mereka-mereka yang seharusnya membutuhkan bantuan. Toh keberhasilan di dalam dunia teknologi selalu didasari dengan kesigapan dalam mengadopsi.

Saya pribadi jadi merasa khawatir. Di sisi lain, belum rampung dengan urusan kehidupan nyata yang sedang dijalani saat ini. Lantas, apakah sudah harus memaksakan diri masuk ke hiruk-pikuk adopsi metaverse, bahkan saat saya sendiri belum memahami manfaatnya. Sebuah kegamangan untuk menyambut masa depan. Memang, investasi selalu punya risiko, pun investasi untuk masuk ke metaverse lebih awal. Perasaan takut tertinggal [dalam artian tidak bisa beradaptasi secara cepat] di dunia baru tersebut kini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang-orang yang memikirkan, memikirkan bagaimana cara hidup di metaverse.

Peluang inovasi

Teknologi selalu menghadirkan sebuah disrupsi, dari skala yang sangat kecil sampai ke sesuatu yang mempengaruhi masyarakat luas. Disrupsi sendiri erat kaitannya dengan inovasi, yakni proses melahirkan cara-cara baru yang jauh lebih efisien dari mekanisme yang ada sebelumnya. Tentu kita ingat mengapa produk payment gateway dilahirkan; karena ada kebutuhan akses ke sistem pembayaran yang ringkas untuk memfasilitasi transaksi di sistem e-commerce.

Menawarkan dunia baru, cara-cara baru, metaverse diyakini akan melahirkan peluang baru untuk berinovasi. Para pengembang akan ditantang, bagaimana melahirkan pengalaman berbisnis yang baik di dunia virtual 3D, bagaimana membangun sistem pengajaran dan pendidikan yang nyaman dengan keterbatasan aktivitas fisik, bagaimana sistem perdagangan dikonsep ulang dengan pengalaman pelanggan yang baru, dan lain-lain. Istilah “startup digital” yang trendi saat ini bisa jadi menjadi “startup metaverse” di kemudian hari.

Epilog

Sebagai orang yang mengikuti perkembangan teknologi, saya pribadi selalu tertarik untuk melihat kejutan-kejutan inovasi berikutnya. Setiap tahun saya menyimak konferensi yang diadakan raksasa teknologi, seperti Google, Apple, atau Microsoft; mengagumi produk-produk teknologi yang akan makan digandrungi masyarakat. Karena saya sendiri merasakan betul manfaat dari alat-alat teknologi tersebut.

Entah mengapa metaverse ini memberikan kesan yang beda. Sebuah perasaan yang menyiratkan ketidaksiapan menyambut era baru teknologi tersebut. Bisa jadi saya yang terlalu berburuk sangka dengan kompleksitas yang ditimbulkan oleh dunia virtual tersebut; atau saya yang terlalu mencari-cari tahu sesuatu yang sebenarnya belum memiliki bentuk pasti lalu “overthinking”. Namun layaknya inovasi teknologi yang bisa mengubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik, saya punya pengharapan besar metaverse tidak membuat kekhawatiran –mungkin dirasakan banyak orang juga di luar sana—tersebut terjadi.

[Tekno] Instagram Sedang Aktif Mencari Cara untuk Mengintegrasikan NFT ke Platformnya

Pembahasan mengenai NFT hampir selalu dikaitkan dengan metaverse. Pasalnya, tidak sedikit yang percaya bahwa NFT merupakan salah satu komponen kunci untuk merealisasikan konsep metaverse secara matang. Bagi Facebook Meta yang tengah berfokus mewujudkan konsep metaverse, ini berarti mereka juga perlu mengekspos NFT kepada publik.

Sejauh ini Meta memang belum menjabarkan rencana-rencananya secara spesifik, namun ada kemungkinan Instagram bakal jadi senjata utamanya dalam memperkenalkan NFT ke hadapan publik. Lewat sebuah story yang diunggah pekan lalu, bos besar Instagram, Adam Mosseri, mengonfirmasi bahwa timnya tengah aktif mendalami soal NFT.

“Belum ada yang bisa diumumkan, tapi pastinya kami secara aktif mengeksplorasi NFT dan bagaimana kami bisa menjadikannya lebih mudah diakses oleh audiens yang lebih luas,” jawab Adam terhadap seseorang yang menanyakan seputar integrasi NFT di Instagram. Menurutnya, keterlibatan Instagram dalam tren NFT juga bisa menjadi alternatif lain untuk membantu kalangan kreator.

Komentar yang terakhir ini pada dasarnya merupakan indikasi kuat bahwa Instagram nantinya juga bakal menghadirkan sejumlah tool yang dapat membantu kreator NFT memamerkan karya-karyanya. Namun seperti yang Adam bilang, sejauh ini mereka belum berani mengumumkan apa-apa, menandakan bahwa semuanya masih eksperimental.

Kabar mengenai ketertarikan Instagram terhadap NFT ini sebenarnya sudah bisa diendus sejak bulan Juni lalu, tepatnya ketika seorang developer bernama Alessando Paluzzi menemukan bahwa Instagram tengah menguji fitur bernama Collectibles secara tertutup. Belum lama ini, Alessandro juga memamerkan sejumlah tangkapan layar yang menunjukkan integrasi beberapa crypto wallet populer seperti MetaMask dan Coinbase di Instagram.

Seperti apa jelasnya integrasi NFT di Instagram ini masih tanda tanya besar. Apakah nantinya Instagram bakal mengakomodasi prosesnya dari awal sampai akhir? Apakah pengguna bisa dengan mudah minting koleksi foto dan videonya di Instagram menjadi aset NFT yang siap dijual? Bagaimana dengan filter AR, apakah ini juga dapat dijadikan NFT untuk digunakan di metaverse ke depannya? Semuanya masih spekulatif dan perlu konfirmasi lebih lanjut.

Sumber: Markets Insider. Gambar header: Brett Jordan via Unsplash.

Instagram Gandeng Qiscus Jadi Partner Resmi Messenger API for Instagram, Integrasikan Sistem Multichannel Chat

Urgensi transformasi digital adalah sebuah keniscayaan, lantaran transformasi digital menjadi hal yang krusial dalam menghadapi masa depan dengan segala perubahannya, tak terkecuali bagi pelaku bisnis.

Selama kurang lebih dua tahun, kita telah diperlihatkan bagaimana situasi pandemi mengakselerasi pengadopsian teknologi digital yang banyak menggeser bagaimana konsumen memilih dan berperilaku.

Hal ini dibuktikan, pergeseran perilaku konsumen nyatanya juga membuka peluang besar hadirnya tren social commerce. Sebuah fenomena di mana media sosial dimanfaatkan tak hanya untuk sekedar bersosialisasi, tetapi juga untuk promosi, menjual, dan membeli langsung layanan jasa maupun barang di aplikasi media sosial tersebut. Di Indonesia sendiri, Paypal melaporkan 80% bisnis di Indonesia dijual melalui social commerce dengan market yang ditaksir mencapai kurang lebih $3 miliar menurut McKinsey.

Pentingnya media sosial bagi bisnis dalam menghadirkan interaksi dan customer experience yang menyenangkan

Dari platform media komunikasi dan sharing sederhana, kini media sosial menjadi multifunction apps yang dimanfaatkan oleh banyak peluang bisnis untuk promosi, yang telah mengintegrasikan visual, audio, chat, dan sekarang fitur belanja (shop) dalam aplikasinya. Faktor ini, menjadikannya sebagai platform multifungsi dan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk menarik pelanggan dan membangun pengalaman konsumen dengan social commerce. Konsumen bisa memberikan ulasan, klik, dan memesan sembari menghabiskan waktu mereka berselancar di media sosial.

Salah satu platform social commerce yang diadopsi mayoritas bisnis adalah Instagram. Keseluruhan interaksi yang dapat dilakukan di Instagram memberikan kemudahan kepada brand berinteraksi langsung dengan konsumen. Dari sisi konsumen, brand yang mudah dijangkau ini memberikan customer experience yang menyenangkan karena brand hadir di platform yang biasa mereka gunakan dan memberikan ruang untuk berinteraksi langsung dengan konsumen.

Namun begitu, banyak pelaku bisnis yang masih menemui kendala dalam menghadirkan layanan pelanggan (customer service) yang prima. Padahal, customer service merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keputusan pembelian. Seperti tidak responsif kepada calon pembeli yang bertanya di kolom komentar atau melalui Direct Message (DM) akibat terlalu banyaknya jumlah pesan yang diterima.

Fenomena ini juga didukung oleh data dari Forrester yang menunjukkan interaksi customer service secara digital akan meningkat sebanyak 40%. Pandemi menciptakan tren di mana orang-orang sangat menggantungkan pembelian pada online shopping, digital financial services, dan telemedicine. Terbatasnya pelayanan langsung oleh brand di masa pandemi mendorong banyak konsumen berinteraksi dengan brand secara digital, dan dari hasil survei menyatakan customer akan terus melakukan hal ini kedepannya.

Instagram jadi kanal social commerce paling diminati

Masyarakat Indonesia menggunakan berbagai macam aplikasi media sosial. Salah satu aplikasi dengan persentase pengguna terbanyak di Indonesia yakni sebesar 79% adalah Instagram. Aplikasi yang hadir sebagai tempat berbagi foto dan video dengan berbagai fitur. Artinya, Instagram menjadikan unsur visual sebagai attention grabber utamanya.

Adanya layanan khusus bagi pelaku bisnis seperti profil bisnis dan iklan juga makin menambah keunggulan Instagram. Ditambah lagi saat ini telah hadir fitur Instagram shopping yang memuat barang dan harga serta link website/e-commerce yang bisa diakses seluruh pengguna Instagram.

Hal ini sejalan dengan laporan “Asia Social Commerce Report 2018” oleh PayPal dan Blackbox Research, yang menyatakan 63% responden menilai media sosial khususnya Facebook dan Instagram lebih mudah meraih pasar potensial yang lebih luas; 57% responden menilai lebih gampang membuka bisnis melalui media sosial; dan 48% responden mengatakan platform ini dapat meningkatkan jaringan teman dan kenalan yang bisa mendorong pertumbuhan bisnis.

Messenger API for Instagram bantu tingkatkan pelayanan bisnis

Dilansir laman induk Instagram sendiri, Meta Business, 90% pengguna Instagram mem-follow setidaknya satu akun brand. Meta Business juga membeberkan masih ada brand yang tidak memberikan tanggapan terhadap komentar konsumen baik di Instagram maupun di Facebook. Padahal, ketika brand bisa dengan cepat merespon dan berkomunikasi secara personal bukan dengan template, maka itu dapat memberikan customer experience yang menyenangkan dan mengubah potensial konsumen menjadi pembeli dan pelanggan. Selain itu, dengan semakin populernya Instagram sebagai kanal komunikasi bisnis, jumlah pesan DM Instagram bagi beberapa bisnis semakin meningkat sehingga sulit untuk mengelolanya.

Untuk mengatasi masalah ini, Instagram meluncurkan Messenger API for Instagram pada pertengahan tahun ini, yakni seperangkat programming code yang dapat digunakan untuk mengirimkan data dari Instagram ke platform yang terintegrasi dengannya.

Artinya, pengguna Messenger API for Instagram dapat mengakses pesan yang masuk ke Instagram mereka melalui platform lain yang telah diintegrasikan, tanpa harus log in ke akun Instagramnya. Selain itu, integrasi ini juga memungkinkan bisnis yang memiliki beberapa akun Instagram, mengakses pesan dari semua akunnya melalui suatu platform yang sama.

Perlu diketahui bahwa Messenger API for Instagram yang resmi dan kredibel hanya bisa didapatkan melalui partner resmi Instagram dan Facebook, seperti Qiscus

Qiscus jadi partner resmi Messenger API for Instagram

Di Qiscus, layanan Messenger API for Instagram diintegrasikan dengan dasbor Qiscus Multichannel Chat. Artinya bisnis yang menggunakan kedua layanan ini, dapat mengakses seluruh pesan yang masuk ke Instagram bisnisnya melalui dashboard Qiscus Multichannel Chat saja.

Inbox-Platform-Qiscus-Instagram-Gandeng-Qiscus-Jadi-Partner-Resmi-Messenger-API-for-Instagram-Integrasikan-Sistem-Multichannel-Chat
Dashboard Qiscus Multichannel Chat

Layanan Messenger API for Instagram yang terintegrasi dengan Qiscus Multichannel Chat ini memiliki beberapa keunggulan yang membedakannya dengan Instagram business biasa.

Multichannel Chat milik Qiscus ini dapat mengintegrasikan semua saluran pesan, sehingga semua pesan yang masuk di kanal-kanal media yang dimiliki baik itu WhatsApp, Facebook, maupun Instagram dapat terbaca dan terpantau melalui satu User Interface (UI) yang sama. Artinya, agen Customer Service (CS) yang menangani pesan konsumen tidak perlu berpindah-pindah aplikasi dan memungkinkan pemilik bisnis memberikan respon cepat dan selalu siap menangani pesan pelanggan selama 24/7. Pelaku bisnis juga bisa mendapatkan insight performa bisnis dan performa kerja agen CS secara realtime melalui fitur analytics.

Lebih lanjut, terdapat fitur multilevel agent, yang memungkinkan bisnis mengatur role setiap tim member yang mengakses dashboard, seperti Admin, Supervisor, dan Agent.

Messenger API for Instagram yang terintegrasi dengan Multichannel Chat Qiscus ini dapat dinikmati pelaku bisnis yang sudah mengatur profilnya menjadi Instagram Bisnis dan akun tersebut telah ditautkan ke halaman Facebook yang dimiliki oleh brand serta tanpa adanya limitasi dari jumlah followers.

Belajar dari pengalaman Morula IVF Indonesia, klinik fertilitas yang raih skor tinggi customer satisfaction

Sama seperti brand kebanyakan saat ini, Morula IVF Indonesia yang memiliki program andalan bayi tabung ini juga memiliki media sosial yang berfungsi untuk berbagi informasi baik klinik maupun medis. Khusus pada Instagram, brand yang sudah berdiri sejak 1997 dan memiliki 10 cabang tersebar di kota-kota besar di indonesia ini telah mengantongi pengikut Instagram sebanyak ratusan ribu followers.

Sebagai brand yang terjun di layanan kesehatan, maka menjadi hal yang wajib bagi Morula IVF Indonesia memberikan kualitas pelayanan yang bermutu bagi pasien dan calon pasien sehingga mereka merasa percaya, nyaman dan aman. Setidaknya ada puluhan hingga ratusan pesan masuk ke Instagram Morula IVF Indonesia melalui fitur pesan privat Direct Message (DM) baik untuk berkonsultasi maupun membuat jadwal janji temu. Belum lagi lewat fitur Instagram yang lain seperti komentar di unggahan Feeds, Instagram Story, maupun Mention.

Berkat Messenger API for Instagram yang terintegrasi dengan Multichannel Chat dari Qiscus, Morula IVF Indonesia mampu mengelola pesan masuk hanya dengan satu dashboard, yang mampu memudahkan tim media sosial Morula IVF Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dalam menjawab pesan dan menjadi lebih fast response dengan adanya fitur auto reply, dan quick reply yang bisa dilakukan dengan hanya satu klik. Terlebih lagi, Morula IVF Indonesia memegang SOP maximum response time untuk chat dibalas paling lama selama 3 menit

Tak hanya itu saja, Qiscus sebagai partner resmi Messenger API for Instagram juga menyediakan fitur yang mampu membuat rekapan berbagai data terkait pelayanan komunikasi brand di Instagram, yaitu fitur analytics. Data tersebut mampu menunjukan jumlah pesan yang masuk ataupun topik yang sering ditanyakan, sehingga membantu memperlancar Morula IVF Indonesia dalam menciptakan strategi improvement kedepannya.

Secara keseluruhan, penerapan layanan dari Qiscus ini membawa dampak yang signifikan bagi pelayanan Morula IVF Indonesia. Terbukti dari CSAT (Customer Satisfaction) Score, sebuah metrik bisnis yang digunakan perusahaan untuk mengukur angka kepuasan pada keseluruhan pengalaman konsumen, Morula IVF Indonesia mampu meraih skor 4,86 dari total skor tertinggi yaitu 5.

Selain Morula IVF Indonesia, terdapat ratusan bisnis lainnya yang juga telah menggunakan solusi Messenger API for Instagram dan Qiscus Multichannel Chat untuk meningkatkan kualitas customer service-nya.

Bagi Anda yang ingin mengadopsi teknologi ini untuk bisnis Anda, saat ini Qiscus tengah menyediakan percobaan layanan Messenger API for Instagram dan Qiscus Multichannel Chat selama 90 hari secara gratis, kunjungi www.qiscus.com. Hilangkan semua hambatan dan rasakan mudahnya berbisnis mulai dari sekarang.

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Qiscus.com

 

Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Setelah Hampir Satu Dekade, Preview Gambar Instagram di Twitter Muncul Lagi

Sembilan tahun, para digital creator dan influencer media sosial dibikin repot karena preview gambar pada tautan Instagram di Twitter tidak muncul. Hal itu sangat mengganggu workflow pengelola atau admin media sosial multi-platform.

Setelah hampir satu dekade, Instagram dan Twitter akhirnya sepakat untuk menghidupkan kembali fitur Twitter Card. Kini kita bisa menjumpai lagi, preview gambar pada konten kiriman dari Instagram di timeline Twitter.

 

Fitur ini diluncurkan di Android, iOS, dan web. Baik Instagram dan Twitter mempromosikan perubahan tersebut. Jadi bukan lagi hanya sekedar teks URL, meskipun formatnya berbeda dari yang sebelumnya yakni berbentuk kartu.

 

Dulu persaingan antara platform media sosial memang sempat memanas, Instagram menonaktifkan kemampuan untuk melihat preview postingan di Twitter setelah diakusisi oleh Facebook (sekarang Meta) pada tahun 2012. Kevin Systrom, founder dan mantan CEO Instagram, mengatakan bahwa keputusan itu miliknya, bukan dari CEO Facebook Mark Zuckerberg.

Instagram bukan satu-satunya pihak yang membuat perubahan yang membatasi integrasi Instagram dan Twitter. Twitter membalas dengan menghapus fitur yang memungkinkan Anda menemukan orang yang diikuti di Instagram pada Twitter, beberapa bulan setelah akuisisi Instagram oleh Facebook diumumkan.

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa keputusan ini untuk meningkatkan citra publik dari perusahaan induk Instagram yakni Meta. Mulai dari rebranding perusahaan dari Facebook menjadi Meta, kemudian diikuti oleh pengumuman penghapusan teknologi face recognition dengan lebih dari 1 miliar template data pengenalan wajah pengguna Facebook.

Sumber: TheVerge