Hardware Sudah, Magic Leap Kini Pamerkan Software AR Headset-nya

Menjelang akhir tahun lalu, Magic Leap secara resmi mengungkap headset augmented reality-nya yang bernama One usai mengembangkannya secara tertutup selama bertahun-tahun. Belum lama ini, mereka juga menguak hardware-nya secara lebih mendetail, dan kini giliran software-nya yang dipamerkan ke mata publik.

Lewat sejumlah screenshot dan mockup yang tersebar di Twitter dan Reddit, kita bisa mendapat gambaran lebih jelas mengenai sistem operasi Magic Leap One yang dinamai Lumin OS ini. Secara keseluruhan tampilannya kelihatan cukup familier dan tidak kelewat futuristis.

Magic Leap Lumin OS

Dari gambar-gambar ini bisa disimpulkan juga bahwa ada dua jenis aplikasi pada Lumin OS: landscape app dan immersive app. Tipe landscape adalah yang tampil dalam format 2D dan dikemas dalam sebuah jendela. Premisnya cukup mirip seperti aplikasi desktop, dan pengguna juga dapat menjalankan beberapa landscape app sekaligus.

Immersive app di sisi lain adalah yang mengemas konten yang terpengaruh oleh geometri, alias ruangan di sekitar pengguna. Salah satu contohnya adalah game shooter berjudul Dr. Grordbort yang sudah dikonsepkan sejak lama, jauh sebelum headset-nya sendiri disingkap ke publik.

Magic Leap Lumin OS

Lalu bagaimana cara pengguna menavigasikan home screen dan aplikasi-aplikasi yang tersedia? Salah satunya bisa menggunakan tangan mengingat perangkat dibekali fitur hand tracking. Pengguna cukup mengarahkan jari telunjuknya ke menu atau app yang hendak diakses, lalu lakukan gerakan seperti mencubit untuk membukanya.

Untuk menginput teks alias mengetik, pengguna memiliki sejumlah opsi: menggunakan keyboard virtual yang tampil di layar, menggunakan fitur dictation, memanfaatkan aplikasi pendamping di smartphone, atau dengan menyambungkan keyboard Bluetooth.

Magic Leap Lumin OS

Terlepas dari itu, Magic Leap masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yang paling utama tentu saja adalah mendemonstrasikan semua ini di hadapan publik, sebab di internet tidak sedikit populasi orang yang skeptis dengannya, dan sejumlah screenshot beserta GIF tampaknya belum cukup untuk mengubah pandangan mereka.

Headset Magic Leap One sendiri semestinya sudah berada di tangan sejumlah developer kalau mengacu pada pernyataan terakhir Magic Leap beberapa minggu lalu. Semoga saja peluncuran resminya tidak butuh waktu terlalu lama lagi.

Magic Leap Lumin OS

Sumber: TechCrunch.

Nickelodeon Screens Up Mengombinasikan AR Dengan Acara TV Tradisional

Ketika cara konsumen mengakses dan menikmati konten hiburan mulai berubah, para pemain di industri harus pintar beradaptasi. Dalam melakukannya, Nickelodeon telah merilis app mobile di perangkat Android dan iOS, serta meluncurkan jaringan radio dibantu iHeartMedia pada tahun 2013. Dan kali ini, Nickelodeon mencoba mengintegrasikan AR dalam layanan mereka.

Minggu lalu, jaringan TV khusus acara anak yang meluncur hampir empat dekade silam itu memperkenalkan sebuah inisiatif baru. Dinamai Screens Up, program ini sangat unik karena mencoba memadukan penyajian siaran televisi tradisional dengan teknologi augmented reality via perangkat bergerak. Pemanfaatan smartphone atau tablet buat mengakses AR bukanlah hal baru, tapi metode penyuguhan Screens Up terbilang unik.

Implementasi Screens Up seperti ini: Dalam acara Nickelodeon tertentu, notifikasi akan muncul dan penonton diminta mengaktifkan aplikasi sembari mengarahkan kamera ke layar televisi. Selanjutnya, app akan melakukan sinkronisasi, lalu adegan tertentu di acara TV memicu konten augmented reality – misalnya membuat karakter atau objek keluar layar atau mengaktifkan konten rahasia.

Nickelodeon menjelaskan bahwa Screens Up disiapkan sebagai ‘pusat engagement‘. Selain menyajikan konten berbasis AR, Anda bisa menemukan berbagai mini-game serta mengutak-atik stiker augmented reality. Opsi stiker akan bertambah banyak seiring dengan kian banyaknya event yang Anda ikuti. Nickelodeon berjanji untuk meng-update koleksi stiker AR tiap minggu.

Nickelodeon Screens Up 1

Di versi awalnya, aplikasi Screens Up siap menyuguhkan mini-game berupa trivia dan polling. Seluruh permainan tersebut tersinkronisasi ke acara televisi yang sedang ditayangkan. Di waktu ke depan, Nickelodeon akan menambah jumlah game-nya. Sejumlah permainan itu juga dapat diakses di luar waktu penayangan program.

Fungsi augmented reality Screens Up tentu saja jadi fitur andalan di sana. Berdasarkan trailer dan gambar, app AR tersebut dapat mengeluarkan tumpahan lendir hijau dari TV tanpa mengotori ruangan Anda hingga memunculkan karakter-karakter seperti Patrick sang bintang laut dan menaruhnya di telapak tangan Anda.

Screens Up merupakan buah karya Nickelodeon dengan mitranya Eyecandylab. Basis dari Screens Up ialah Augmen.TV. Teknologi ini memungkinkan penyedia layanan menambahkan komponen interaktif di konten yang mereka suguhkan melalui augmented reality. Metode tersebut mengubah karakteristik penonton dari pasif menjadi ‘peserta aktif’.

Saat ini Screens Up sudah bisa diunduh dan gunakan, tersedia di Google Play serta Apple Store. Acara pertama yang mendukung aplikasi ini adalah Kid’s Choice Sports.

Via VentureBeat.

Facebook Uji Iklan Berformat Augmented Reality di News Feed

Pemanfaatan augmented reality untuk keperluan pemasaran dan periklanan bukan suatu hal yang asing bagi Facebook. Sekarang, media sosial terbesar sejagat raya itu malah sedang menguji iklan berformat AR pada News Feed bersama sejumlah brand terpilih.

Facebook menjelaskan bahwa sepintas wujud iklannya tidak berbeda dari yang biasa pengguna jumpai di News Feed, terkecuali adanya simbol kamera disertai label “Tap to try on” pada gambar. Saat disentuh, pengguna bakal langsung dibawa ke tampilan kamera untuk mencoba produknya secara virtual.

Gambar di atas adalah salah satu contoh iklan AR yang Facebook uji bersama Michael Kors, di mana pengguna dapat langsung mencoba kacamata hitam yang tengah diiklankan berkat bantuan AR. Lalu seumpama produknya cocok, mereka juga bisa langsung membelinya secara online.

Facebook AR ads

Selain Michael Kors, sejumlah brand kecantikan seperti Sephora, Nyx dan Bobbi Brown, serta perusahaan furniture macam Pottery Barn dan Wayfair juga akan menguji iklan AR-nya di News Feed dalam beberapa bulan ke depan. Seperti biasa, fitur ini bakal lebih dulu diuji di Amerika Serikat sebelum merambah ke negara-negara lain.

Di samping iklan AR, Facebook turut menyediakan tool bernama Video Creation Kit guna memudahkan brand membuat video iklan menggunakan sejumlah aset gambar yang sudah ada. Hasil akhirnya pada dasarnya hanyalah sekumpulan gambar dengan animasi transisi, plus logo dan sejumlah informasi lainnya. Meski begitu, format video tetap dinilai jauh lebih efektif ketimbang gambar statis untuk kebutuhan periklanan.

Terakhir, Facebook juga memperluas cakupan brand yang memanfaatkan Instagram untuk berdagang. Seperti yang kita tahu, Instagram belum lama ini memang kedatangan fitur belanja, dan ke depannya jumlah brand yang menawarkan produknya via Instagram bakal terus bertambah banyak.

Sumber: TechCrunch dan Facebook.

Pistol Mainan Baru Nerf Tak Butuh Peluru, Serta Bisa Dimainkan Sendiri Berkat Bantuan AR

Bermain tembak-tembakan menggunakan pistol mainan Nerf terkadang bisa terasa lebih asyik ketimbang bermain video game. Yang kurang asyik adalah mendapati banyak pelurunya hilang entah ke mana, apalagi mengingat peluru isi ulangnya (yang asli) dihargai cukup mahal.

Itulah mengapa dua produk terbaru Nerf berikut terdengar begitu menarik. Keduanya termasuk dalam lini baru bernama Nerf Laser Ops Pro, di mana “laser” merupakan kata kuncinya. Secara teknis, yang ditembakkan sebenarnya adalah sinar inframerah (macam permainan Laser Tag), tapi uniknya, para pemain tidak diwajibkan menggunakan rompi khusus dengan sejumlah sensor yang tersebar di berbagai titik.

Sebagai gantinya, sensor yang berfungsi untuk mendeteksi tembakan itu disembunyikan di balik ujung laras pistol. Selain lebih praktis karena tidak perlu mengenakan rompi, desain baru ini diyakini juga lebih efektif mencegah kita bermain curang: kalau kita mencoba menutupi sensor pada laras pistol supaya tidak terkena tembakan, maka kita pun juga tidak akan bisa menembak.

Setiap kali pemain terkena tembakan, maka pistolnya bakal bergetar dan bersuara, dan pemain tidak dapat menembak selama 15 detik ke depan. Tujuannya agar kita bisa kabur dan mencari titik persembunyian baru sebelum mulai membidik kembali ke arah lawan.

Nerf Alphapoint Pro / Hasbro
Nerf Alphapoint Pro / Hasbro

Berhubung ini 2018, sudah pasti ada smartphone dan aplikasi pendamping yang dilibatkan. Dalam kasus ini, setiap paket penjualan dibekali sejenis wrist mount untuk ponsel, sehingga pemain dapat dengan mudah melakukan kustomisasi sekaligus mengecek skor. Namun perlu dicatat, semua ini sifatnya opsional.

Juga opsional adalah mode single-player berbasis augmented reality yang dapat dinikmati selagi kita bosan dan sendirian. Dalam mode ini, kita tinggal mengikatkan ponsel ke bagian belakang pistol, lalu membidik ke arah objek-objek digital yang tampak pada layar.

Tentu ini bisa dibilang sama saja seperti bermain video game, tapi toh mode ini hanya akan kita pilih saat sedang tidak ada teman bermain. Kendati demikian, melihat maraknya penerapan multiplayer pada platform AR yang dilakukan Apple, Google maupun Niantic, bukan tidak mungkin mode AR ini nantinya juga bisa dimainkan bersama teman (co-op).

Seperti yang saya bilang, pistolnya sendiri ada dua macam: Pro Deltaburst dan Alphapoint Pro. Pro Deltaburst adalah yang berbentuk laras panjang, dengan kemampuan menembak lebih cepat dan sebuah layar LCD terintegrasi untuk membantu mengecek sisa peluru virtual-nya. Model ini dihargai $50.

Alphapoint Pro di sisi lain mengemas wujud pistol dan tidak dilengkapi LCD, akan tetapi model inilah yang bisa dipakai untuk bermain mode single-player berbasis AR tadi. Harganya dipatok $30, atau $45 untuk bundel isi dua. Kedua model rencananya akan dipasarkan mulai Agustus mendatang.

Sumber: Engadget dan Popular Science.

Niantic Pamerkan Kemajuan Teknologi AR Rancangannya

Salah satu tema populer yang banyak dibicarakan dalam perkembangan teknologi augmented reality belakangan ini adalah multiplayer. Baik Apple dan Google sama-sama sedang menyiapkannya, dan ketika sudah terealisasi nanti, konsumen jadi bisa menikmati konten AR bersama orang lain di sekitarnya.

Tanpa harus terkejut, Niantic selaku pengembang game AR populer Pokemon GO juga tengah sibuk menyiapkan teknologi serupa pada platform-nya sendiri, yang mereka sebut dengan istilah Niantic Real World Platform. Yang mereka kerjakan tentu sudah pasti bersifat cross-platform, tapi ternyata masih ada kelebihan lain yang Niantic tawarkan ketimbang Apple dan Google.

Kelebihan itu adalah teknologi occlusion, yang memungkinkan konten AR untuk tampil di depan atau di belakang objek nyata di sekitar kita. Kalau yang ada sekarang, konten AR, semisal Pokemon dalam game Pokemon GO, selalu tampil di depan objek pada dunia nyata, sehingga terkadang terasa kurang realistis.

Perbedaan yang ditawarkan teknologi occlusion ini bisa Anda simak pada video demonstrasi di bawah, di mana sang Pokemon bakal tertutupi oleh pot-pot tanaman ketika ia memang melewati belakangnya. Semua ini dimungkinkan berkat implementasi teknologi computer vision dan machine learning, yang membuat semuanya tampak lebih alami dan logis.

Menariknya, Niantic tidak berniat menyimpan teknologi ini sendiri. Mereka bakal membuka kesempatan bagi para developer AR lain yang tertarik memanfaatkan platform-nya, terutama untuk mengimplementasikan aspek multiplayer dan efek realistis dari occlusion itu tadi.

Sumber: Next Reality.

Google Luncurkan Measure, Aplikasi untuk Mengukur Dimensi Objek Nyata di Sekitar

Dari sekian banyak fitur baru iOS 12, salah satu yang cukup menarik adalah penyempurnaan pada pengalaman augmented reality (AR), sekaligus aplikasi bawaan baru bernama Measure. Fungsi aplikasi tersebut sangat simpel, yakni untuk mengukur dimensi beragam objek nyata di sekitar kita, tanpa harus mengandalkan penggaris maupun meteran.

Pengguna perangkat Android tak perlu berkecil hati, sebab Google malah sudah merilis aplikasi serupa di Play Store, dengan nama yang sama pula. Measure memanfaatkan platform ARCore yang Google buat sendiri, yang berarti perangkat Anda haruslah mendukung ARCore untuk bisa menggunakannya – daftar lengkapnya bisa dilihat di situs resmi Google.

Ada dua tipe pengukuran di Measure: panjang (Length) dan tinggi (Height), sehingga Anda dapat mengukur panjang sebuah karpet, lebar lemari, maupun tinggi meja. Hasil pengukurannya bisa disimpan dalam bentuk foto untuk dijadikan referensi ketika diperlukan, semisal ketika berkunjung ke toko furniture guna berburu perabot baru.

Google Measure app

Google tidak lupa memberikan catatan kecil bahwa pengukurannya tidak bisa 100% akurat, melainkan hanya estimasi saja. Berdasarkan pengalaman saya menggunakan aplikasi serupa di iOS (third party), semuanya bergantung pada kondisi pencahayaan; kalau cahaya di dalam ruangan cukup terang terang, maka pengukurannya bisa lebih akurat ketimbang di dalam ruangan yang remang-remang.

Cara menggunakannya pun sangat mudah. Supaya lebih jelas, silakan tonton video demonstrasi Google di bawah ini.

Sumber: UploadVR.

Application Information Will Show Up Here

Google Luncurkan Kursus Online Gratis Bagi yang Tertarik Mengembangkan Konten AR

Awalnya lebih terkesan gimmicky ketimbang fungsional, augmented reality (AR) sekarang telah menjadi bagian penting dalam ekosistem digital. Ikea menggunakannya untuk menyimulasikan pengalaman berbelanja furniture dari kediaman masing-masing, Lego memanfaatkannya guna melengkapi lini mainannya, sedangkan Facebook memakainya untuk keperluan pemasaran.

Maka dari itu, tidak heran apabila ada banyak orang yang tertarik mendalami soal AR, mungkin mereka sebatas tertarik dengan cara kerjanya, atau malah ingin bergabung dalam komunitas kreator. Agar semua bisa berpartisipasi, Google merasa perlu mengambil tindakan.

Bekerja sama dengan Coursera, Google menghadirkan kursus online bernama “Introduction to Augmented Reality and ARCore”. ARCore, bagi yang tidak tahu, adalah platform AR yang digunakan di ekosistem Android. Dengan mengikuti dan menyelesaikan kursus ini, Anda pada dasarnya siap untuk menciptakan konten AR buat jutaan pengguna Android.

Secara total kursusnya dapat diselesaikan dalam waktu 15 jam saja, dan semuanya bisa diikuti tanpa harus mengeluarkan biaya satu sen pun. Target pelajar yang dituju adalah mereka yang belum pernah punya pengalaman mengembangkan konten AR. Sebatas tahu mengenai perkembangan AR – seperti saya contohnya – tentu saja bakal menjadi nilai plus.

Selain dasar-dasar teknologi AR, kursus ini juga bakal membahas teknik-teknik pembuatan konten AR, termasuk halnya tips memanfaatkan development kit ARCore dan alat bantu seperti Poly. Kalau tertarik, Anda bisa langsung mengujungi situs Coursera. Pastikan Anda sudah lebih dulu mendaftarkan akun sebelum mengikuti kursusnya.

Sumber: Google.

Google Kabarnya Tengah Mengembangkan Headset AR Baru yang Diotaki Chip Qualcomm

Google tak menjelaskan secara eksplisit alasan mereka menghentikan penjualan Google Glass, namun sejumlah pengamat teknologi menaksir bahwa penyebabnya adalah perpaduan antara minimnya dukungan konten, hingga meningkatnya kekhawatiran terhadap aspek privasi dan keselamatan. Di Inggris, mengenakan Glass sambil berkendara bisa membuat Anda ditilang. Bahkan di beberapa tempat, kita dilarang memakainya.

Meski perjalanan Glass sudah berakhir, Google tentu saja memahami ada banyak potensi pemanfaatan agumented reality ketimbang sekadar untuk mengidentifikasi objek atau menampilkan notifikasi app. Dan berdasarkan sejumlah dokumen yang diperoleh WinFuture, perusahaan teknologi penguasa internet itu diketahui punya agenda buat mengembangkan head-mounted display sekelas Microsoft HoloLens.

Layaknya perangkat Windows Mixed Reality tersebut, HMD AR Google disiapkan sebagai alat penunjang industri dan kegiatan produktif, termasuk menopang ranah desain hingga pelatihan. Dan seperti HoloLens, Ianyar Google dengan codename ‘A65’ itu bisa bekerja secara mandiri tanpa perlu tersambung ke komputer karena ia sudah menyimpan system-on-chip persembahan Qualcomm.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai spesifikasi dan seperti apa penampilannya. WinFuture hanya menerka bahwa agar bisa beroperasi mandiri, Google mencantumkan segala macam komponen-komponen krusial di sana, dari mulai sensor sampai microphone. Sang produsen mengotakinya dengan chip Qualcomm QSC603, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari seri Snapdragon dan dispesialisasikan untuk internet of things.

Qualcomm QSC603 menyimpan prosesor empat-core berarsitektur ARM – sepasang berjalan di kecepatan 1,6GHz dan satu pasang lagi berlari di 1,7GHz. WinFuture menyampaikan bahwa Google juga sempat mempertimbangkan untuk memanfaatkan chip Qualcomm QSC603 yang lebih bertenaga, ditunjang delapan core dengan kecepatan hingga 2,5GHz.

Qualcomm QSC603 adalah chip dengan proses fabrikasi 10nm yang dijanjikan mampu menghidangkan konten video hingga resolusi WQHD, dapat menampilkan overlay 3D, serta mendukung API OpenGL, OpenCL dan Vulcan. Selain itu, ia siap menopang konektivitas Gigabite WLAN, Bluetooth 5.1 dan GPS.

Headset Google A65 kabarnya masih berada di tahap awal pengembangan karena diskusi mengenainya baru mulai dilakukan awal tahun ini. Google tidak menggarap proyeknya sendirian, turut menggandeng produsen komputer asal Taiwan bernama Quanta dalam mengerjakannya.

Menariknya, A65 bukanlah satu-satunya produk dari Quanta. Di saat yang bersamaan, mereka tengah berkolaborasi bersama Meta Vision untuk mengerjakan proyek HMD bertajuk A66 dan sebelumnya telah memperkenalkan HMD AR Meta 2.

Via The Verge.

Google Umumkan ARCore 1.2, Kini Konten AR Bisa Dinikmati Secara Multiplayer

Google merilis ARCore secara resmi sekitar tiga bulan yang lalu. Dalam kurun waktu yang terbilang singkat itu, komunitas developer sudah melahirkan deretan aplikasi augmented reality yang sangat menarik untuk ekosistem Android. Namun bukan developer pihak ketiga saja yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumahnya, tim internal ARCore pun juga.

Di event Google I/O 2018, mereka mengumumkan ARCore versi 1.2. Versi baru ini tentunya membawa sejumlah penyempurnaan, dari yang sesederhana kemampuan untuk mendeteksi permukaan vertikal – yang berarti selain di atas meja kita juga bisa menempatkan objek virtual di tembok – sampai fitur yang cukup kompleks bernama Cloud Anchors.

Cloud Anchors ini pada dasarnya memungkinkan kita untuk menikmati konten AR secara bersama-sama (multiplayer). Semisal kita menggambar menggunakan Just A Line, orang lain yang berada di satu ruangan juga bisa ikut bergabung dan mencorat-coret di atas ‘kanvas’ yang sama.

Rahasianya terletak pada kemampuan Cloud Anchors untuk mencatat lokasi suatu objek virtual di dalam ruangan dan menyimpan informasinya di jaringan cloud. Info tersebut kemudian diteruskan ke perangkat milik teman yang bergabung tadi, sehingga pada akhirnya kedua pengguna dapat melihat objek virtual yang berada di lokasi yang sama persis.

Yang lebih menarik lagi, Google merancang agar Cloud Anchors kompatibel dengan teknologi ARKit milik iOS. Ini berarti multiplayer tadi bisa dinikmati meski pengguna lainnya sedang menggunakan iPhone. Kalau suatu aplikasi AR memang tersedia di Android dan iOS, saya yakin developer-nya tak akan kesulitan menerapkan Cloud Anchors ini.

Terakhir, Google juga menjanjikan proses pengembangan konten AR yang lebih simpel dan lebih cepat melalui SDK baru bernama Sceneform. Bagi para konsumen, ini berarti kita bakal menjumpai lebih banyak lagi aplikasi AR yang menarik tanpa harus menunggu lama.

Sumber: Google dan Ars Technica.

Tembus 1 Juta Unduhan, Kreator Game AR Osmo Ingin Terus Perluas Bisnisnya

Jauh sebelum Apple memperkenalkan ARKit bersama iOS 11, sudah ada satu startup yang membangun platform augmented reality-nya sendiri di iPad. Mereka adalah Osmo, pencipta permainan-permainan inovatif macam Osmo Pizza Co. dan Osmo MindRacers. Per 2018 ini, gamegame buatan mereka sudah merambah satu juta iPad.

Satu juta bukanlah angka yang kecil, apalagi jika melihat target pasar utama Osmo yang merupakan kalangan anak-anak. Bagi yang tidak tahu, kelebihan utama Osmo adalah bagaimana permainan buatannya bisa memadukan elemen fisik dan digital secara berimbang, sehingga pada akhirnya anak-anak tidak hanya fokus di depan layar saja, tapi juga dengan objek-objek di sekitarnya.

Osmo Pizza Co. adalah contoh terbaik untuk ini. Di sini anak-anak diajarkan untuk menjalankan bisnis pizza-nya sendiri, merangkap tugas sebagai pemilik, koki sekaligus kasir. Menggunakan alat bantu seperti uang-uangan dan pizza mainan, anak-anak dapat belajar berdagang dan menghadapi konsumen yang muncul di hadapan layar iPad.

Puncak popularitas Osmo menurut saya adalah ketika mereka merilis MindRacers tahun lalu, yang merupakan hasil kolaborasinya bersama Hot Wheels (Mattel). Kendati demikian, dalam wawancaranya dengan VentureBeat, Pramod Sharma selaku cofounder sekaligus CEO Osmo bilang bahwa Osmo Pizza Co. masih merupakan salah satu produk mereka yang paling laris.

Osmo MindRacers / Osmo
Osmo MindRacers / Osmo

Saat ini memang sudah ada banyak judul ciptaan Osmo, akan tetapi semuanya tetap bergantung pada satu komponen teknologi yang amat sederhana namun juga sangat inovatif, yakni sebuah cermin yang dipasangkan di atas kamera depan iPad. Berkat komponen ini, iPad jadi bisa ‘melihat’ objek-objek yang berada di depan layarnya, dan dengan bantuan software, mengenali satu per satu objek tersebut.

Dari situ Osmo tinggal mengembangkan jenis permainannya, bisa permainan simulasi, bisa juga balapan. Sekarang, prioritas mereka sudah bergeser ke arah memperluas skala jangkauan produknya, sebab angka satu juta tadi masih kecil jika dibandingkan dengan estimasi 200 juta iPad yang ada di tangan konsumen menurut Pramod.

Osmo Monster / Osmo
Osmo Monster / Osmo

Salah satu caranya adalah dengan menggandeng brandbrand besar lain, macam Sesame Street, serta melisensikan teknologinya ke pihak lain yang tertarik. Satu hal yang pasti, Osmo tidak mau produk yang memanfaatkan teknologinya tidak melibatkan aktivitas hands-on. Kalaupun mereka siap merilis permainan yang diperuntukkan konsumen dewasa nanti, tetap saja aktivitas hands-on bakal menjadi elemen yang utama.

Perluasan skala ini tentunya juga bakal berimbas positif pada penjualan, di mana ongkos produksi bisa ditekan, dan harga jual produknya pun menurun. Saat ini starter kit Osmo dihargai paling murah $100, sedangkan konten tambahannya (seperti Pizza Co. dan MindRacers tadi) berkisar $40 – $60. Harapan Osmo ke depannya adalah, konten ekstranya cukup dihargai $20 – $30 saja.

Baik Mattel dan Collab+Sesame (investment firm di balik Sesame Street) sebenarnya juga merupakan investor dari Osmo. Sejak didirikan di tahun 2013, Osmo sudah mengumpulkan pendanaan hingga sebesar $38,5 juta dari beberapa investor. Selain di iPad, permainan besutan mereka kini juga tersedia untuk iPhone. Ribuan sekolah telah memanfaatkan produk Osmo dalam aktivitas belajar-mengajar.

Di sisi lain, cerita Osmo ini pada dasarnya bisa menjadi contoh karya inovatif yang pada akhirnya dapat dikembangkan menjadi bisnis yang menguntungkan. Harapan pribadi saya adalah, Osmo bisa terus memperluas bisnisnya dan merambah konsumen di lebih banyak negara lagi – sampai saat ini yang paling dekat dengan kita baru Singapura – sehingga ketika anak saya sudah memasuki usia minimum yang disarankan untuk memainkan game-nya (5 tahun), saya bisa langsung membelinya.

Sumber: VentureBeat.