8 Startup Masuk Program “Synrgy Accelerator” Besutan BCA dan Digitaraya

BCA bekerja sama dengan Digitaraya mengumumkan delapan startup fintech yang berhak mengikuti program Synrgy Accelerator batch pertama. Mereka adalah Crowde, IndoGold, Amalan, AgenKan, Bizhare, Kendi, Bamms, dan Jari.

Dalam pengumuman ini, Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengatakan, laju positif startup di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa karena terdiri dari segmen kreatif yang menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.

“Oleh karena itu, Synrgy Accelerator hadir untuk mengakomodasi kebutuhan startup untuk dapat berkembang dan menjadi sumbangsih inovasi teknologi bagi kemajuan industri di Indonesia,” terangnya, kemarin (19/6).

Delapan startup tersebut selama tiga bulan ke depan akan mengikuti rangkaian bootcamp mulai dari 24 Juni 2019 sampai demo day yang digelar September 2019. Selama program berlangsung, startup akan mendapat mentor terpilih sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Saat demo day, ada kemungkinan BCA akan menjajaki peserta sebagai mitra bisnis untuk pengembangan bisnis perseroan ke depannya atau investasi dari para investor yang turut hadir.

Head of Accelerator Digitaraya Octa Ramayana menambahkan, keberagaman delapan startup ini menunjukkan ada peluang yang besar untuk memajukan ekonomi, serta meraih pasar yang baru dan lebih luas melalui teknologi. Dia juga menuturkan secara keseluruhan ada 45 startup fintech yang mendaftarkan diri sejak pendaftaran dibuka.

“Proses ke depan masih panjang, harapannya delapan startup ini dapat terus menciptakan solusi inovatif mutakhir dan mampu berdaya saing di tengah ketatnya persaingan global. [..] Dengan dukungan BCA, Digitaraya, dan Google, kami berharap startup dapat memiliki akses ke dalam jaringan mentor dan partner kami yang kuat,” katanya.

Berikut model bisnis yang diseriusi oleh delapan startup terpilih:

1. Crowde: merupakan platform p2p lending khusus untuk agrikultur, didirikan sejak September 2015. Crowde membantu pendanaan petani saat ingin mengembangkan usahanya lewat pendanaan didapat dari investor secara p2p.

2. IndoGold: adalah situs jual beli emas bersertifikat resmi Antam, juga dapat dimanfaatkan untuk investasi emas. Startup ini menjadi mitra Bukalapak untuk produk BukaEmas.

3. Amalan: startup yang menawarkan jasa mediasi antara debitur dengan pihak bank, agar debitur bisa mendapat diskon atau cicilan yang lebih rendah untuk utang yang sudah tertunggak.

4. AgenKan: aplikasi agen gadai untuk pemilik toko yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan dari gadai smartphone. Proses gadai sepenuhnya dilakukan lewat aplikasi.

5. Bizhare: adalah platform equity crowdfunding untuk bantu buka usaha baru atau waralaba. Skema pembagian hasil yang ditawarkan adalah bagi hasil secara berkala.

6. Kendi: merupakan singkatan dari “Keuangan Digital” dengan produk yang baru dirilis adalah Kendi POS, mengubah fungsi HP sebagai mesin kasir, melaporkan hasil penjualan sampai pelaporan pajak. Startup ini adalah besutan dari Pandu Sastrowardoyo yang merupakan Sekjen Asosiasi Blockchain Indonesia.

7. Bamms: adalah aplikasi mobile untuk tenant yang ingin memperoleh informasi seperti tagihan, pengumuman, jadwal perawatan, dan sebagainya. Pengelola gedung pun akan semakin efisien dalam memantau seluruhnya karena disediakan dasbor yang intuitif.

8. Jari: merupakan startup yang fokus solusi mobile pekerja lapangan berbasis cloud yang berbentuk aplikasi. Pekerja pun akan dipermudah saat survei lapangan dengan tools yang disediakan dan terpantau langsung oleh internal.

Direktur BCA: Konsistensi Menjadi Kunci Ketika Bank Terjun ke Fintech

Perjalanan BCA menjadi bank terdepan dalam hal inovasi fintech, yang terbukti dengan menyabet berbagai penghargaan, rupanya tidak dilalui dengan mudah. Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengungkapkan banyak kisah di baliknya saat menjadi pembicara dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017.

Dalam pemaparannya Armand mengatakan setiap kali BCA menginisiasikan suatu teknologi baru, selalu tidak dilakukan secara nasional. Melainkan menerapkan di lokasi yang dinilai sudah siap baik dari segi infrastruktur maupun kultur masyarakatnya, misalnya di Jakarta. Maksud dari strategi ini, ingin meminimalkan potensi terjadinya gangguan kenyamanan nasabah saat bertransaksi.

Berkaca dari perjalanan BCA saat pertama kali memulai inisiasi pengembangan fintech, saat pertama kali memasang mesin Automatic Teller Machine (ATM) pada sekitar 1990-an. ATM pada tahun pertamanya tidak laku di pasaran. Padahal tujuan dihadirkannya ATM adalah ingin mengurangi jumlah antrean di kantor cabang.

“Untuk mendidik orang pakai teknologi baru itu susah. Sebab tantangan terbesarnya bukan dari cara mengedukasi nasabah saja, tapi dari internal perusahaan. Saat ATM pertama kali hadir, banyak orang yang takut pakai karena belum terbiasa. Jawabannya adalah konsistensi, bagaimana menambah kenyamanan dan bangun awareness,” ucapnya.

Karena memegang prinsip konsisten, sambungnya, BCA perlahan-lahan mulai menambah jumlah ATM dan menyebarnya ke berbagai lokasi. Pada tahun kedua, pasar sudah mulai menerima kehadiran mesin ATM hingga kini.

Hal yang sama juga terjadi saat BCA pertama kali memperkenalkan kartu debit pada sekitar 1995-an. Pada tahun pertama, banyak penolakan karena saat itu mulai dihadirkan mesin Electronic Data Capture (EDC) di merchant. Promosi pun juga dilakukan dengan membebaskan beban bunga 0 persen untuk merchant discount rate (MDR).

Kemudian, saat BCA memperkenalkan internet banking. Teknologi ini malah baru bisa diterima pada tahun kedua sejak diluncurkan. Sebab pada tahun pertama, banyak isu mengenai phising yang membuat orang enggan untuk bertransaksi. Ditambah belum stabilnya koneksi internet saat itu.

Diungkapkan pada 2004, dalam seharinya BCA menerima 800 ribu sampai 1,2 juta transaksi internet banking dalam sehari. Sedangkan, porsi transaksi secara online selama satu tahun terakhir mencapai 97% dibandingkan transaksi via teller.

Selalu ada nasabah yang berani mencoba

Menurut Armand, dibalik penolakan yang terjadi di tahun pertama karena nasabah mayoritas masih banyak yang takut, selalu ada nasabah yang berani untuk coba-coba, jumlahnya pun selalu lebih sedikit dibandingkan yang takut.

Nasabah yang mau coba-coba, rupanya akan memberi efek multiplier kepada pihak lainnya. Menggiring orang untuk mencoba dan merasakan pengalaman yang sama.

“Kira-kira merchant yang pertama kali pasang mesin EDC untuk kartu debit adalah Hero. Mereka mungkin pasang karena ingin membuktikan apakah dapat membantu efisiensi saat transaksi. Rupanya benar, penjualan mereka menanjak naik. Dari hal ini terlihat bahwa di balik pihak yang wait and see, ada orang yang berani coba. Jumlah yang coba-coba itu selalu lebih sedikit.”

Fintech memberi ruang jenis pekerjaan baru

Sebelum tahun 1990-an, sebelum BCA menerapkan teknologi digital dalam perusahaan, dalam satu kantor cabang membutuhkan 200 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% menempati posisi sebagai pembukuan dan checker.

Akan tetapi, setelah menerapkan sistem online justru tidak mengurangi jumlah pekerja. Sebab dari pekerjaan semula yang menghilang, beralih ke fungsi lainnya misalnya menjadi front desk, relationship officer, dan lainnya.

Kehadiran teknologi online, justru membantu pemrosesan transaksi di BCA jadi lebih cepat. Tenaga manusia tidak akan sanggup melayani nasabah setiap harinya, makanya perlu kerja sama dengan teknologi robotika maupun virtual.

“Jadi jangan takut, meski sudah online, pekerjaan akan selalu ada dan akan selalu demikian. Ini dikarenakan teknologi itu memiliki keterbatasan yang menjadi masalah. Online itu akan tetap ada karena pada dasarnya manusia itu malas. Masalah yang bisa dipecahkan manusia, akan menciptakan revolusi baru lainnya.”

Hadirkan solusi dari setiap masalah yang muncul

Virtual chat assistant (Vira)

Ambil contoh, tenaga call center Halo BCA dulunya hanya berjumlah 70 orang. Mereka tidak sanggup karena jumlah telepon yang masuk mencapai 5 ribu – 6 ribu sehari, nasabah pun tiap hari terus bertambah.

Solusi menambah tenaga kerja CS menjadi 1700 orang, akhirnya tidak bisa menampung telepon yang masuk membludak hingga 50 ribu – 60 ribu dalam sehari.

Untuk itu solusi yang dihadirkan dari masalah ini adalah menghadirkan fasilitas web chat. Jumlah telepon yang masuk ke Halo BCA pun dapat ditekan menjadi sekitar 50 ribu sehari. Rupanya solusi ini dirasa belum cukup. Menambah tenaga kerja pun akhirnya bukan solusi yang tepat, maka dari itu butuh teknologi lainnya.

BCA pun akhirnya menelusuri jenis pertanyaan apa saja yang biasa ditanyakan kepada call center. Ternyata, jenis pertanyaannya bersifat umum, seperti bagaimana cek saldo, bagaimana kurs hari ini, lokasi cabang terdekat di mana, dan sebagainya.

“Kami coba klasifikasi lagi dari telepon yang masuk, ternyata 90% menanyakan informasi yang bersifat umum. Dari situ kami lihat, kenapa harus manusia yang menjawab bila bisa dijawab oleh mesin. Di situlah kami mulai terpikir untuk belajar teknologi baru.”

Solusi ini akhirnya dijawab dengan menghadirkan Virtual Chat Assistant (Vira) berbasis artificial intelligence (AI) pada awal tahun ini. Vira dapat menjawab pertanyaan nasabah seputar pertanyaan umum, promosi, cek saldo, membuat kartu kredit, dan lainnya.

“Vira itu sendiri sebenarnya sudah terbenak di ide kita, namun belum dapat mock up yang bagus. Baru dapat pas acara Finhacks tahun lalu, tim kami pun jadi lebih percaya.”

Armand menuturkan saat ini Vira masih terus “belajar” dan BCA pun makin menyempurnakan sistem back end dan infrastrukturnya agar terjaga baik. Pasalnya, hal tersulit yang terjadi saat menyerahkan teknologi untuk melayani nasabah adalah memberikan wewenang keputusan.

“Harus dipastikan apakah wewenang yang kita berikan kepada mesin apakah keamanan sudah terjaga baik dan benar-benar sesuai kebutuhan nasabah. Beda halnya bila offline, wewenang masih dipegang oleh manusia. Untuk memastikan keamanan kami buat machine learning untuk Vira agar terus belajar,” tutup dia.

Vira dapat diakses melalui platform chat messanging Line, Kaskus Chat, dan Facebook Messenger, dengan add akun Bank BCA tanpa harus mengunduh aplikasi baru. Kini Vira sudah digunakan oleh 523 ribu nasabah BCA.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

Dampak Pembukaan API Produk Perbankan di Mata Pelaku E-Commerce

Sebenarnya sejak dulu banyak yang menganggap membuka teknologi seperti API (application programming interface) ke khalayak umum, terutama bagi bank, adalah hal yang haram. Pasalnya teknologi ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini merupakan pedoman yang harus diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Pemain e-commerce, sebagai salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia, membutuhkan ekosistem pendukung untuk memajukan bisnis mereka. Salah satu adalah sistem pembayaran.

Saat ini, sistem pembayaran layanan e-commerce yang paling populer adalah transfer antar rekening bank. Sayangnya, saat menggunakan bank transfer sistem pengecekannya kebanyakan masih dilakukan secara manual. Bank yang memfasilitasinya belum membuka API agar bisa diakses secara otomatis oleh penjual e-commerce.

Di Indonesia, perbankan yang sudah membuka layanan API untuk produk tabungan adalah Bank Central Asia (BCA). Layanan tersebut diresmikan pada awal tahun ini. Layanan API BCA yang siap digunakan adalah transfer, informasi saldo, mutasi rekening, lokasi ATM, status pembayaran Sakuku, pembayaran Sakuku, info kurs, dan suku bunga deposito.

BCA menetapkan biaya sebesar Rp 200 per hit API untuk informasi saldo, mutasi rekening, dan transfer.

Bank lainnya yang sedang mempersiapkan pembukaan API tabungan adalah Bank Mandiri. Hal ini dikonfirmasi langsung Direktur Digital Perbankan dan Teknologi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans.

“Ya, ada arah ke sana [pembukaan API tabungan]. Semoga bisa [diluncurkan] tahun ini,” ucap Rico kepada DailySocial.

Ketua Umum idEA Aulia E Marinto mengatakan dengan adanya inovasi API, maka pelaku e-commerce dapat melakukan berbagai hal seperti transfer, mutasi rekening ataupun cek saldo melalui API. Salah satu contoh bentuk praktis adalah otomatisasi proses rekonsiliasi, khususnya untuk penerimaan pembayaran melalui ATM.

“Dengan API ini, pemain e-commerce dapat mengetahui secara real time apabila ada aktivitas pada rekening bank yang bersangkutan. Selain itu banyak praktek lainnya seperti perhitungan AR/AP tanpa melibatkan perhitungan secara manual,” terangnya kepada DailySocial.

Ada efek samping

Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya mengatakan layanan pembukaan API tabungan dari bank sebenarnya adalah hal yang sangat dibutuhkan pemain e-commerce. Dampak positifnya sangat besar yakni mendapat kemudahan transaksi di situs dan memudahkan pengecekan akun.

Sebelumnya mereka harus melakukan pengecekan secara manual dengan login satu per satu. Mengenai harga yang diberikan API BCA, menurut Joseph, hal inilah yang menjadi perhatian utama pemain e-commerce.

“Karena kalau transaksi naik, jadi lumayan kenanya [biaya]. Mungkin sebaiknya ada paket atau harga progresif, jadinya akan lebih menarik memperbanyak early adopter,” kata dia kepada DailySocial.

Hal yang senada diutarakan CTO Jualio Fahmi Bafadhal. Menurutnya, keterbukaan bank mengenai akses API dapat memicu inovasi terhadap kemudahan pembayaran yang makin banyak. Terlebih transaksi terbesar pemain e-commerce kebanyakan masih berasal dari bank transfer.

Dari sisi pembeli, sambung Fahmi, akan lebih nyaman menggunakan akun bank-nya dan seharusnya makin minim kesalahan.

“Dari sisi harga, pastinya memberatkan. Cuma lagi-lagi bisa dibandingkan dengan cost yang keluar jika harus hire CS untuk cek bank transfer. Mungkin strateginya yang perlu di-adjust.”

BCA sebagai pelopor

Semangat yang ingin disampaikan BCA adalah memungkinkan para pelaku fintech ataupun e-commerce dapat terkoneksi dengan layanan perbankan BCA dan berkesempatan menikmati beragam informasi dan transaksi BCA secara cepat dan mudah.

“Pengembangan sudah dilakukan sejak tahun lalu. API nanti mudah bisa untuk lihat saldo, mutasi, rekening, cek valuta asing, nanti ada pengembangan sehingga developer e-commerce tinggal pakai API kita langsung bisa nyambung,” terang Wakil Presiden Direktur BCA Armand W Hartono.

Data terakhir menyebut ada 17 layanan e-commerce yang tergabung dalam API BCA. Hingga akhir 2017, BCA berharap dapat menggandeng 100 layanan e-commerce sebagai pengguna API BCA.

BCA telah menginvestasikan sekitar Rp4 miliar untuk membangun sistem API. Tiap tahunnya, investasi BCA untuk pengembangan IT naik 7%-8%. “Kalau untuk digital banking investasinya pasti nggak akan berakhir,” kata Executive Vice President Information Technology BCA Hermawan Tendean.

Ia mengaku saat ini kontribusi API terhadap revenue memang masih kecil karena sekali akses dikenakan biaya. Pihaknya mengaku akan kembali mengevaluasi karena ada masukan dari industri yang mengatakan harganya terlalu mahal.

“Itu aja ada masukan dari industri bahwa terlalu mahal. Kami evaluasi lagi berapa nilai ideal supaya bisa diterima mereka.”

Berdasarkan catatan BCA, per Desember total transaksi digital per hari mencapai 18 juta transaksi. Sedangkan frekuensi transaksi ATM mencapai 153 juta dengan nilai Rp 170 triliun. Transaksi mobile banking sebanyak 65 juta per bulan dengan nilai Rp 60 triliun. Lalu untuk transaksi di internet banking tembus 129 juta dengan nilai Rp 77 triliun.

Adapun total nasabah BCA yang sudah memanfaatkan layanan perbankan digital mencapai separuh dari total nasabah yang kini berjumlah 14 juta orang.

BCA Dirikan Central Capital Ventura, Suntik Dana 200 Miliar Rupiah

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), pada 25 Januari 2017 BCA dan PT BCA Finance telah menandatangani akta pendirian modal ventura dengan nama PT Central Capital Ventura (CCV). Perusahaan ini tercatat sudah mengantongi izin resmi dari OJK pada 27 Desember 2016 lewat surat OJK Nomor S-208/PB.33/2016.

Wakil Presiden Direktur BCA Armand Wahyudi Hartono menjelaskan perusahaan menyiapkan modal disetor sebesar Rp 200 miliar dengan kepemilikan saham 100% adalah BCA. Armand menjelaskan CCV nantinya akan melakukan investasi dan berkolaborasi dengan perusahaan fintech.

CCV juga diharapkan akan mendukung ekosisitem layanan keuangan BCA dan para entitas anak usaha BCA, serta secara keseluruhan memberikan nilai tambah bagi nasabah BCA, khususnya masyarakat pada umummnya.

“Mengingat di era digital ini perusahaan fintech memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang, maka diharapkan CCV dapat menjadi perusahaan ventura yang berkembang dan memiliki bisnis yang prospektif,” tulis Armand.

Kehadiran CCV, turut menambah portofolio anak usaha BCA. Saat ini BCA memiliki tujuh anak usaha yang bergerak di jasa keuangan, yaitu BCA Syariah, BCA Finance, BCA Insurance, BCA Finance Limited, BCA Sekuritas, CS Finance, dan BCA Life.

CCV juga turut memanaskan peta persaingan perbankan Indonesia yang mulai mendekati arah digital sebagai jalur distribusi terbarunya. Sejauh ini perbankan yang memiliki modal ventura adalah Bank Mandiri dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI). Bank BUMN lain seperti BNI menyatakan akan mengakuisisi modal ventura, sementara kabar terakhir BRI mengatakan masih dalam tahap kajian.