Game Battle Royale Call of Duty: Warzone Siap Meluncur Minggu Ini

Call of Duty ialah salah satu franchise shooter populer yang segera merespons meledaknya tren battle royale dengan turut menyediakan mode ini di game-nya. Tidak tanggung-tanggung, last man standing bahkan menggantikan keberadaan campaign single-player di Black Ops 4. Namun kabar baiknya, Activision mengembalikan komposisi permainan seperti semula di reboot Call of Duty: Modern Warfare.

Meski begitu, tak berarti Activision melupakan battle royale begitu saja. Lewat sederetan bocoran, Anda mungkin sempat mendengar rencana sang publisher untuk meluncurkan mode last man standing di Modern Warfare. Dan lewat blog serta trailer, akhirnya Activision mengumumkan Call of Duty: Warzone dan mengungkap segala detail mengenainya. Game disajikan secara standalone dan bisa dinikmati tanpa perlu mengeluarkan uang.

Call of Duty: Warzone menjanjikan pengalaman tempur berskala besar, menawarkan dua pilihan mode: Battle Royale dan Plunder. Battle Royale tentu saja mengusung formula familier, mengadu 150 pemain dalam tim berisi tiga orang untuk jadi regu terahir yang mampu bertahan hidup. Seperti biasa, seiring berjalannya pertandingan, zona eksplorasi akan kian menyusut (kali ini diakibatkan oleh gas beracun).

Meski gameplay Battle Royale terdengar tak asing, developer turut menambahkan twist menarik di sana: ketika seorang karakter tumbang, ia akan dibawa ke Gulag dan diadu dalam pertandingan satu lawan satu. Jika berhasil menang, pemain akan diturunkan kembali ke medan tempur utama.

IMG_10032020_111410_(1000_x_650_pixel)

Di mode Plunder, pemain ditantang untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya; dengan cara menjarah, merebutnya dari musuh, atau menyelesaikan kontrak. ‘Kontrak’ ialah tugas yang bisa Anda aktifkan, misalnya seperti mengumpulkan serta membuka sejumlah peti perbekalan atau mengamankan suatu lokasi – mirip mode Domination. Jika berhasil melakukannya, Anda akan mendapatkan uang dan segala macam perlengkapan.

Di Battle Royale ketika mengumpulkan uang bukanlah keharusan, kita dapat menggunakannya untuk membeli berbagai macam item di Buy Station (ditandai dengan ikon kereta belanja di map) seperti Killstreak, Self-Revive Kit serta Redeploy Token buat mengembalikan anggota regu yang tumbang. Developer juga menyediakan bermacam-macam kendaraan dan menyebarnya di penjuru peta: ATV, SUV, rover, truk serta helikopter.

IMG_10032020_111310_(1000_x_650_pixel)

Sekali lagi, Call of Duty: Warzone bisa dinikmati semua orang tanpa perlu memiliki Modern Warfare. Permainan rencananya akan meluncur di tanggal 10 Maret waktu Pasifik ((itu berarti akan tiba lebih terlambat di Indonesia) di PC via Battle.net, Xbox One dan PlayStation 4. Gamer Modern Warfare sendiri berkesempatan buat mengakses Warzone lebih dulu lewat menu in-game setelah permainan di-update.

Twitter dan Angkatan Darat AS Jadi Sponsor Call of Duty League

Twitter dan Angkatan Darat Amerika Serikat menjadi sponsor terbaru dari Call of Duty League. Dalam tiga season ke depan, Twitter akan menampilkan highlight dari pertandingan Call of Duty League. Hal ini diharapkan akan meningkatkan interaksi para penonton Call of Duty League di Twitter. Selain itu, Twitter juga telah meluncurkan tager emoji untuk semua tim yang ikut dalam CDL. Para fans bisa menggunakan tagar tersebut untuk menunjukkan dukungannya pada tim jagoan mereka.

“Komunitas Call of Duty adalah salah satu komunitas gaming terbesar di Twitter, dan kami senang karena kami bisa bekerja sama dengan Activision Blizzard untuk terus mendukung komunitas ini,” kata Rishi Chadha, Global Head of Gaming Content Partnership, Twitter seperti dikutip dari Yahoo. “Di 2019 saja, 3 dari 10 acara esports yang paling banyak dibicarakan merupakan acara Call of Duty. Kerja sama yang berlangsung lebih dari satu tahun ini menunjukkan komitmen kami untuk memastikan kesuksesan esports Call of Duty dalam jangka panjang.”

twitter sponsor call of duty league
Call of Duty League punya dua sponsor baru, yaitu Twitter dan Angkatan Darat AS.

Selain Twitter, Angkatan Darat AS juga menjadi sponsor dari Call of Duty League. Meskipun kontrak Angkatan Darat dengan Activision Blizzard hanya berlangsung selama satu tahun, mereka akan ikut aktif dalam berbagai acara esports Call of Duty. Selain Call of Duty League, Angkatan darat juga akan mendukung Call of Duty Challengers, turnamen yang ditujukan untuk para amatir, dan Call of Duty Collegiate, yang ditujukan untuk para mahasiswa di Amerika Serikat dan Kanada.

Saat siaran CDL, merek Angkatan Darat akan ditampilkan dalam segmen khusus yang disebut Tactical Play. Segmen tersebut berupa pembahasan para analis tentang highlight dari pertandingan di Call of Duty league. Tak hanya itu, tim esports dari Angkatan Darat juga akan ikut serta dalam kompetisi Call of Duty Challengers LAN. Tim yang terdiri dari tentara yang masih aktif itu mewakili Angkatan Darat untuk berlaga di berbagai kompetisi esports, baik amatir maupun profesional. Mereka juga pernah ikut streaming bersama dengan beberapa streamer ternama.

Angkatan Darat bukan satu-satunya badan militer AS yang ikut mendukung turnamen esports. Pada Februari 2020, Angkatan Laut AS mengumumkan bahwa mereka akan berkolaborasi dengan DreamHack dan ESL. Pada bulan yang sama Angkatan Udara AS mengumumkan bahwa mereka akan mensponsori Intel Extreme Masters dan ESL Pro League.

Mantan Juara Dunia Call of Duty Ungkap Maraknya Penggunaan Doping di Esports

Persaingan di ranah kompetitif yang semakin ketat dan hadiah yang semakin besar membuat para atlet esports memutar otaknya agar bisa mengalahkan lawan. Dari menghadirkan pelatih sampai psikolog untuk membantu tim meraih kemenangan, beberapa atlet esports juga memilih performance enhancing drugs sebagai pilihan untuk meraih kemenangan.

Kory “Semphis” Friesen adalah mantan pemain CS:GO dari tim Cloud9. Pada sesi wawancara dengan Launders, ia mengakui dirinya dan rekan timnya menggunakan adderall ketika bermain di turnamen pada tahun 2015. “Kami semua menggunakan adderall dan kami tidak perduli.” Lalu Mohan “Launders” Govindasamy bertanya apakah semua pemain menggunakan adderall saat LAN event ESEA? Semphis mengatakan, “iya.”

Mantan pemain Dallas Fuel Timo “Taimou” Kettunen juga sempat membahas perihal penggunaan adderall di Overwatch League. Ketika sesi live stream-nya, Taimou menyebutkan “setidaknya ada 20 pemain yang menggunakan adderall di Overwatch League.” Adam “KiLLa” Sloss memberikan tanggapan kepada Washington Post mengenai penggunaan adderall di esports. “tidak ada yang membicarakan hal tersebut karena semua orang menggunakan adderall”. Ketika ditanyakan apakah KiLLa pernah melihat langsung atlet esports menggunakan adderall, mantan juara dunia Call of Duty ini menjawab “sangat sering dan ini sudah menjadi masalah besar”.

Akhirnya, ESL membuat peraturan akan penggunaan doping tersebut. Siapapun yang kedapatan menggunakan doping akan dicabut gelar juaranya, diberikan ban selama 1 sampai 2 tahun dan tidak diberikan uang hadiah. Apabila bukti penggunaan doping ditemukan sebelum turnamen berlangsung, pelaku akan didiskualifikasi dari turnamen. Ulrich Schulze selaku Senior Vice President of Product dari ESL menuliskan Tweet mengenai hal tersebut. ESL telah melakukan random test kepada para pemain di turnamen yang mereka selenggarakan. Tetapi sampai Tweet tersebut ditulis, ia belum menemukan satupun pemain yang positif menggunakan adderall.

Pada tahun 2018 kemarin, Valve mencabut bantuan terhadap turnamen Major Dota 2 yaitu Galaxy Battles. Keputusan Valve ini dikarenakan peraturan pemerintah Filipina yang mengharuskan para pemain esports profesional untuk menjalani drug tests sebelum masuk ke negara ini. Valve menganggap hal ini mempersulit para pemain yang akan mengikuti turnamen tersebut. Pemerintah Filipina sudah menganggap pemain esports profesional sebagai atlet. Karena itu, mereka diminta untuk menjalani serangkaian drug tests tersebut.

Masih banyak pihak yang memikirkan apakah mereka harus melarang penggunaan adderall di turnamen esports. Salah satunya adalah mantan Commissioner Overwatch League yaitu Nate Nanzer yang memberikan pernyataannya di sesi wawancara dengan Shack News. Ia berkata bahwa “adderall adalah obat legal yang bisa dibeli dengan resep dokter di Amerika Serikat. Dan belum ada data yang menyebutkan bahwa penggunaan adderall bisa membuat seseorang bisa lebih baik dalam bermain Overwatch.”

Adderall dalam dunia medis biasa digunakan untuk membantu orang yang menderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas agar lebih fokus dan tenang. Tetapi, penggunaan adderall biasanya dimanfaatkan oleh seseorang yang membutuhkan konsentrasi di waktu yang lama. Dalam esports sendiri, para atlet percaya bahwa adderall bisa meningkatkan performa mereka ketika bertanding.

Masih banyak yang tidak peduli akan penggunaan doping di esports mungkin menjadi salah satu alasan kenapa hal tersebut belum menjadi perdebatan. Di dunia olahraga, Lance Armstrong yang kedapatan positif dalam penggunaan doping mendapatkan kutukan dari berbagai pihak. Di dunia olahraga, penggunaan doping sudah dianggap tabu. Bagaimana menurut Anda? Apakah seharusnya penggunaan doping sudah harus mulai didiskusikan?

Chicago Huntsmen Berhadapan dengan NBA All-Stars di Call of Duty Exhibition Match

Sudah beberapa kali terlihat, upaya penggabungan antara olahraga dan esports memang berhasil membuat industri yang kita cintai menuju ke mainstream. Kali ini dalam perayaan kemenangan Chicago Huntsmen di Call of Duty League London kemarin, True Capital Management dan NRG Esports akan mengadakan exhibition match antara Chicago Huntsmen berhadapan dengan tim NBA All-Stars. Acara ini digelar pada tanggal 13 Februari 2020 dan dimulai pada jam 2 siang waktu setempat.

 

Tidak ada siaran langsung untuk acara tersebut, maka hal ini berkesan sangat eksklusif bagi mereka yang datang. Berita bagusnya, acara tersebut tidak ada biaya tiket alias gratis bagi penggemar yang ingin datang. Menonton para bintang NBA melawan juara Call of Duty tentu menjadi kesempatan yang sangat berharga. Ada juga kesempatan meet and greet dengan pemain dari NBA dan Chicago Huntsmen yang semakin membuat acara ini tidak bisa dilewatkan.

Belum ada kepastian mengenai siapa pemain NBA yang akan bertanding melawan Chicago Huntsmen nanti. Tetapi, kemungkinan besar Karl-Anthony Towns dari Minnesota Timberwolves akan ikut serta dalam acara tersebut. Mengingat tahun lalu, Karl-Anthony sempat bermain di Pro-Am saat peluncuran beta Call of Duty: Modern Warfare. Lalu ada rencana Karl-Anthony untuk diundang pada acara peluncuran Call of Duty League, tetapi rencana tersebut batal karena semua pemain NBA sedang berbelasungkawa atas meninggalnya Kobe Bryant.

Penggabungan antara olahraga dengan esports ini juga baru saja terjadi kemarin di In The Know Bowl yang diadakan oleh Misfits Gaming dan Verizon Media. Para pemain NFL berpartisipasi pada acara ini di Miami meliputi Davante Adams, Ronnie Stanley, Keenan Allen, Todd Gurley, Leonard Williams, Dwayne Haskins, Landon Collins, dan Leonard Fournette. Pemain profesional Call of Duty dipasangkan dengan pemain NFL dalam format 2 lawan 2 di game Call of Duty: Modern Warfare. Acara ini disiarkan di Facebook, Instagram, dan Youtube secara langsung.

Sumber: LGFormula Twitter
Sumber: LGFormula Twitter

Memasukkan esports di acara olahraga seperti menjadi langkah percobaan bagi para sponsor untuk melihat antusiasme penggemar esports. Sponsor tidak ingin mencoba hal yang tidak pasti dan akhirnya menyesal. Dengan popularitas acara olahraga seperti Super Bowl dan NBA All-Stars ini tentu memberikan kepastian akan kesuksesan acara tersebut. Dan juga semakin membawa esports ke mainstream.

Activision Blizzard Mau Dorong Jumlah Pemain Aktif dengan Mobile Game dan Esports

Salah satu franchise game dari Activision Blizzard yang paling dikenal adalah Call of Duty. Namun, sejak Activision Blizzard mengakuisisi King Digital Entertainment pada 2016, sebagian besar pemain mereka justru merupakan mobile gamer. Memang, game konsol kini kalah menarik jika dibandingkan dengan game PC atau mobile game, yang bisa dimainkan dimana saja.

Melihat hal ini, Activision Blizzard mengikuti tren pasar dan meluncurkan Call of Duty: Mobile pada akhir tahun 2019. Sejak saat itu, Call of Duty: Mobile telah diunduh sebanyak 150 juta kali dan menjadi salah satu game mobile paling populer. Selain itu, Activision juga meluncurkan Call of Duty: Modern Warfare untuk PC dan konsol pada Oktober 2019. Total penjualan Modern Warfare naik hingga lebih dari 10 persen jika dibandingkan dengan total penjualan seri Call of Duty sebelumnya. Sayangnya, seperti yang disebutkan oleh The Motley Fool, Activision tidak mengungkap keuntungan yang dihasilkan oleh setiap franchise. Satu hal yang pasti, keuntungan dari segmen Activision, yang membawahi Call of Duty, mencapai US$1,43 miliar, naik sedikit jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Tak melulu soal untung, salah satu strategi Activision selama ini adalah untuk meningkatkan jumlah pemain aktif bulanan (MAU). Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, angka MAU mereka justru mengalami penurunan. Pada Q3 2019, jumlah MAU mereka turun menjadi 316 juta orang. Kabar baiknya, jumlah MAU mereka naik menjadi 409 juta pada Q4 2019. Ini menunjukkan bahwa total MAU dari Activision Blizzard bisa kembali tumbuh, yang bisa mendorong pendapatan.

Jumlah pemain aktif bulanan. | Sumber: The Motley Fool
Jumlah pemain aktif bulanan tiga segmen Activision Blizzard. | Sumber: The Motley Fool

Sementara untuk membuat para gamer tetap tertarik bermain Call of Duty, Activision mencoba untuk kembali menggelar turnamen esports dari game tersebut. Memang, sebelum ini, telah ada Call of Duty World League. Sayangnya, liga esports tersebut tak begitu populer. Kali ini, Activision akan menggunakan format franchise untuk Call of Duty League, yang telah diikuti oleh 12 tim. Dikabarkan, masing-masing tim harus membayar US$25 juta untuk dapat ikut serta dalam liga tersebut.

Pertandingan perdana Call of Duty League diadakan pada 24 Januari 2020 di Minneapolis, Amerika Serikat. Liga tersebut menggunakan sistem kandang-tandang. Jadi, nantinya, tim-tim yang berlaga di liga itu akan saling bergantian menyambut musuhnya. Hasil penjualan tiket pertandingan bisa jadi salah satu sumber pemasukan tim yang bertanding di liga itu.

Selama ini, Call of Duty merupakan salah satu game Activision Blizzard yang paling dikenal. Namun, beberapa tahun belakangan, popularitas game itu mulai menurun. Jika Activision sukses dengan liga esports dan game mobile dari Call of Duty, tak tertutup kemungkinan franchise itu kembali populer di kalangan gamer.

call of duty league dotesports

Selain Call of Duty, Activision juga tertarik untuk membuat versi mobile dari franchise game mereka yang lain, seperti Diablo Immortal. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, mereka akan membuat game mobile dari StarCraft atau Overwatch. Ini bukan berarti Activision Blizzard akan berhenti membuat game PC atau konsol. Namun, mereka sadar bahwa mobile bisa menjangkau gamer yang biasanya tak bisa mereka dapatkan dengan game konsol atau PC.

Bukan PC atau Console, Mobile Jadi Platform Paling Menguntungkan Bagi Activision

Didirikan oleh sejumlah mantan staf Atari, Activision merupakan developer game console independen third-party pertama dan salah satu perusahaan gaming tertua. Tim asal Santa Monica itu sudah berkiprah selama kurang lebih 40 tahun, dan dalam perjalanannya, mereka telah melakukan berbagai langkah strategis. Manuver bisnis terbesar yang sempat Activision eksekusi ialah merging dengan Vivendi Games, mencetus didirikannya Activision Blizzard di tahun 2008.

Alasan mengapa CEO Activision Bobby Kotick setuju untuk bergabung bersama Vivendi adalah karena CEO Blizzard saat itu, Mike Morhaime, berhasil meyakinkan Kotick ia bisa memandu perusahaan menembus pasar gaming di Tiongkok yang tengah berkembang pesat. Satu dekade lebih berselang, kerja sama Activision Blizzard dengan raksasa teknologi Tiongkok membuahkan prestasi tak terduga. Berdasarkan laporan pemasukan terkini, platform mobile ternyata jadi penghasil profit terbesar bagi Activision Blizzard, melampaui PC dan console.

Activision Blizzard mengabarkan bahwa di kuartal terakhir 2019, perangkat bergerak memberi pemasukan sebesar US$ 633 juta, menghasilkan 32 persen dari pendapatan bersih perusahaan. Console menempati urutan kedua di 30 persen senilai US$ 595 juta, disusul oleh PC di posisi ketiga dengan 26 persen – setara US$ 521 juta. Namun di tengah transisi unik ini, profit perusahaan malah memperlihatkan penurunan dibanding periode yang sama di tahun 2018: merosot 17 persen, sebesar US$ 395 juta.

Jika dikomparasi dengan triwulan keempat 2018, penghasilan Activision Blizzard dari mobile memang melonjak tinggi, memangkas persentase PC dan console secara signifikan. Meski demikian, angka pemasukan via perangkat bergerak memang masih belum mampu menyusul rekor profit dari console tahun lalu. Rincian laporan pendapatan di Q4 2019 bisa Anda lihat di sini.

Activision 1

Dan di bawah ini ialah detail pemasukan total perusahaan selama satu tahun:

Activision 2

Ada beberapa hal yang melambungkan profit dari perangkat bergerak. Pertama tentu saja adalah Call of Duty: Mobile. Versi mobile dari game shooter populer ini meluncur di bulan Oktober 2019, tetapi sudah diunduh lebih dari 150 juta kali. Kesuksesannya mendorong Activision Blizzard untuk lebih menekuni segmen ini. Kabarnya, perusahaan sedang mempertimbangkan buat menghadirkan seluruh franchise permainannya ke perangkat bergerak.

Call of Duty: Mobile dikembangkan oleh TiMi Studios yang merupakan anak perusahaan Tencent Games. Walaupun tak dikerjakan oleh tim Call of Duty sesungguhnya (yakni Infinity Ward dan Treyarch), TiMi berhasil mengadopsi sejumlah elemen yang membuatnya jadi favorit gamer PC dan console seperti karakter, peta dan mode permainan. Perlu Anda ketahui bahwa Tencent sendiri memegang lima persen saham Activision Blizzard.

Penyumbang terbesar lain dari pertumbuhan bisnis Activision Blizzard di segmen perangkat bergerak ialah King, developer permainan Candy Crush Saga yang mereka akuisisi di tahun 2016 dengan nilai US$ 5,9 miliar. Pengambilalihan tersebut katanya menjadikan Activision Blizzard sebagai ‘pemain terbesar di ranah mobile‘.

Via GameSpot.

Bagaimana Activision Blizzard Memulai Bisnis Esports?

Sebagai developer dan publisher, Activision Blizzard memiliki sejumlah franchise game, seperti Overwatch, Call of Duty, dan StarCraft. Pada 2015, komunitas gamer telah mengadakan sejumlah turnamen dari berbagai game Activision Blizzard dan menyiarkan pertandingan tersebut di Twitch. Namun, ketika itu, turnamen masih bersifat informal. Activision Blizzard lalu memutuskan untuk membuat divisi media yang bertanggung jawab atas pengembangan esports. Mereka menunjuk Steve Bornstein, mantan CEO ESPN, untuk memimpin divisi tersebut. Selain itu, mereka juga mengajak Mike Sepso, seorang pioneer di industri esports, untuk bergabung dengan divisi baru mereka itu.

Satu tahun kemudian, pada 2016, Activision menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan esports dengan mengakuisisi Major League Gaming (MLG), penyelenggara turnamen esports yang didirikan pada 2002. Dengan ini, Activision memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan dan menyiarkan pertandingan esports. Langkah berikutnya yang Activision ambil adalah mencoba untuk membangun struktur liga esports.

Activision mulai mengadakan Overwatch League pada 2016. Overwatch League menggunakan model franchise dimana tim-tim yang berlaga akan mewakili sebuah kota besar, seperti Los Angeles Valiant, Shanghai Dragons, dan Seoul Dynasty. Dan mulai 2020, Activision juga akan menggunakan sistem kandang-tandang, layaknya olahraga tradisional. Jadi, tim yang menjadi tuan rumah akan menjamu lawannya di markas mereka. Fans bisa membeli tiket untuk menonton pertandingan secara langsung. Penjualan tiket dari pertandingan tersebut menjadi sumber pemasukan baru bagi Activision dan juga organisasi esports yang menjadi tuan rumah.

Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.
Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.

Pada awalnya, Overwatch League hanya diikuti oleh 12 tim, yang membayar biaya franchise untuk bisa ikut serta dalam liga tersebut. Sekarang, jumlah tim bertambah menjadi 20 tim. Sukses dengan Overwatch League, Activision mulai mengadakan Call of Duty League pada tahun ini, yang juga menggunakan sistem franchise. Saat ini, ada 12 tim yang berlaga dalam Call of Duty League. Menurut laporan The Motley Fool, dari penjualan franchise esports, Activision telah mendapatkan US$500 juta.

Bisnis esports Activision memang terlihat cukup sukses. Namun, mereka masih bisa mengembangkan bisnis itu agar menjadi lebih besar lagi. Sebagai publisher, Activision memegang hak atas properti intelektual game. Jadi, mereka memiliki berbagai cara untuk memonetisasi game mereka. Selain itu, mereka juga memiliki game lain yang populer, seperti StarCraft dan Warcraft, yang ekosistem esports-nya masih bisa dikembangkan. Mereka juga bisa mengembangkan liga esports mereka yang sudah berjalan.

Tentu saja, selain keuntungan dari segi finansial, Activision Blizzard juga mendapatkan keuntungan lain dengan mengembangkan bisnis esports. Keberadaan liga profesional membuat komunitas pemain menjadi lebih aktif, mereka bermain game lebih lama dan mereka rela untuk menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli item dalam game.

Review COD Mobile – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Call of Duty Mobile (COD Mobile) resmi dirilis pada 1 Oktober 2019 lalu. Animo gamers sudah terlihat sangat tinggi, bahkan ketika game ini belum resmi dirilis. Tercatat, ada 1,7 juta pemain yang sudah mendaftar saat game besutan Tencent dan Activision ini masih dalam masa pra-registrasi.

Dengan animo yang sebegitu besar, saya akhirnya turut terjerumus ke dalam hype dan mencoba game ini. Namun, awalnya saya merasa sangat skeptis. Alasan saya skeptis dengan COD mobile sebenarnya karena saya masih merasa bahwa FPS di mobile (dan konsol) adalah penemuan paling absurd sepanjang peradaban manusia.

Sebagai seseorang yang bermain FPS menggunakan mouse dan keyboard sejak zaman Wolfenstein 3D, saya merasa kontrol joystick untuk FPS sangat tidak praktis. Jika joystick saja sudah tidak praktis, apalagi virtual joystick yang ada pada kebanyakan mobile games zaman sekarang. Soalnya, menurut saya kontrol sentuh untuk pergerakan rumit ala game FPS terasa sangat tidak intuitif.

Tetapi, ternyata anggapan saya salah dan malah jadi ketagihan main COD Mobile, karena satu dan lain hal. Sebagai seorang penggemar Call of Duty kelas teri (karena saya hanya main COD versi jadul, itupun versi bajakan), berikut ulasan COD: Mobile, dan alasan kenapa game ini bisa dibilang sebagai FPS mobile terbaik sejauh ini.

Sensasi Adu Tembak Tempo Cepat Khas Call of Duty

Pertama, mari kita bahas soal elemen gunfight. Berhubung game FPS pada mobile phone yang saya mainkan hanyalah PUBG Mobile dan COD Mobile ini, jadi dengan sangat terpaksa, saya harus membandingkan pengalaman adu tembak pada kedua game tersebut.

Memang terkesan tidak sebanding, gunfight pada PUBG Mobile cenderung realistis, sementara gunfight COD Mobile bersifat fast-paced penuh aksi layaknya sebuah film laga. Dalam COD Mobile, pokoknya Anda cukup tekan tombol tembak, dan arahkan ke musuh. Mau Anda menembak sambil bergerak, sliding, ataupun lompat, tembakan Anda akan tetap tepat sasaran selama Anda menggunakan Aim Down Sight (ADS) atau bidikan senjata.

Mekanisme menembak juga lebih sederhana. Tak ada mekanisme lean atau miring ke kiri dan kanan seperti pada PUBG Mobile. Jadi untuk peeking, Anda bisa bergerak ke kiri dan kanan pada tembok yang ada. Recoil senjata juga lebih mudah dikendalikan. Anda bisa menembak spray 30 peluru sekaligus, namun masih tepat sasaran, sampai peluru terakhir. Selain itu, musuh-musuh juga bercahaya merah, yang membuat mereka jadi lebih mudah dideteksi.

Mekanisme Aim Down Sight (ADS atau menembak dengan membidik) yang hadir di COD Mobile juga terasa sangat khas Call of Duty, layaknya versi konsol ataupun PC. Jadi walau adu tembak berjalan dengan tempo yang cepat, Anda tetap harus melakukan transisi dari mode hip-fire ke mode ADS agar peluru Anda tidak nyasar. Transisi ini juga dapat dilakukan dengan mudah, yang nanti akan kita ulas secara lebih lanjut bersama dengan sistem kontrol lainnya yang disajikan dalam COD Mobile.

Tetapi, walau sedari tadi saya bilang menembak di COD Mobile itu mudah, bukan berarti game ini jadi membosankan. Sistem progression COD Mobile ditata dengan cukup rapih, membuat proses belajar di dalam game ini jadi menyenangkan dan sangat rewarding.

Pemain dibawa mempelajari game ini tahap demi tahap, mulai dari sistem kontrol dan cara menembak musuh, mekanisme-mekanisme permainan seperti Scorestreaks, sampai peraturan ragam mode pertarungan 5v5 yang jadi hidangan utama di COD Mobile.

Setelah Anda lepas dari mode tutorial, target selanjutnya Anda adalah menaikkan level akun agar dapat menikmati mekanik lanjutan yang ada di COD Mobile. Awal permainan, modal Anda hanyalah senjata M4 polos tanpa attachment, ditambah kemampuan Scorestreak dan Operator Skill saja. Mode permainan juga terbatas hanya Frontline 5v5.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Seiring level akun meningkat, Anda akan mulai menemukan kerumitan baru. Anda jadi bisa membawa perlengkapan tambahan. Muncul senjata baru dengan karakteristik tertentu yang tak bisa sembarang Anda gunakan. Muncul mekanisme perk (semacam skill pasif kalau di dalam MOBA) yang bisa membuat karakter jadi lebih cepat, lebih kuat, atau lebih sigap. Mode yang dimainkan juga jadi makin beragam. Ada mode Team Deathmatch, Domination, Search and Destroy, dan bahkan Battle Royale.

Pemain juga dibawa menikmati Ranked Match dengan tahap demi tahap. Pada rank terendah, Anda hanya bisa bermain Team Deathmatch saja. Nantinya pada rank tertinggi Anda akan dibawa bermain mode Search and Destroy yang tak hanya butuh kemampuan menembak saja, namun juga strategi yang solid.

Seiring waktu, permainan juga jadi semakin menantang mengikuti level akun dan rank yang Anda miliki. Awal-awal, musuh yang Anda hadapi mungkin hanya bisa menembak sambil diam. Semakin tinggi level dan rank, lawan-lawan Anda jadi bisa menembak sambil strafing dengan lincah, flick-shot cepat dengan senjata sniper bahkan dari jarak dekat sekalipun, dan lain sebagainya.

Antara 5v5 dengan Battle Royale

Pada beberapa paragraf sebelumnya saya sudah menyebut mode-mode yang ada di dalam COD Mobile. Pada intinya, COD Mobile membagi mode permainan jadi dua, 5v5 dan Battle Royale. Pertandingan 5v5 dibagi lagi menjadi beberapa bagian, Frontline, Team Deathmatch, Domination, lalu Search and Destroy.

Pada mode Frontline, setiap kali mati Anda akan langsung hidup kembali di tempat yang sama. Team Deathmatch mirip dengan Frontline, bedanya setelah mati Anda bisa hidup kembali di tempat yang berbeda. Domination masih memiliki peraturan ala Team Deathmatch, bedanya dalam mode ini Anda harus menguasai satu poin tempat atau lebih, dalam durasi selama mungkin agar dianggap menang.

Search and Destroy biasa ditemukan di game-game FPS di PC, seperti Rainbow Six: Siege ataupun Counter-Strike: Global Offensive. Pada mode tersebut, dua tim memiliki dua tujuan yang berbeda. Tim satu harus memasang bom, tim lainnya harus menggagalkan bom yang dipasang. Kematian dihukum lebih keras dalam mode ini. Setelah mati, Anda akan respawn, tapi pada ronde berikutnya. Siapa yang memenangkan 6 ronde (baik dengan memasang, menggagalkan bom atau membasmi semua tim musuh) akan memenangkan permainan.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mode Battle Royale, sama seperti PUBG Mobile. Anda terjun, looting, bertahan hidup sampai akhir, lalu jadi juara. Namun, Battle Royale pada COD Mobile hadir dengan sedikit twist. Pemain bisa memilih satu dari enam Class yang ada. Ada Scout, Clown, Medic, Ninja, Defender, dan Mechanic.

Masing-masing punya kemampuan khusus. Scout bisa mendeteksi musuh, Clown bisa memanggil zombie yang menyerang musuh, Medic menyembuhkan musuh lebih cepat, Ninja punya mobilitas yang tinggi, Defender lebih tahan semua damage kecuali dari tembakan, dan Mechanic mampu mendeteksi jebakan dan kendaraan dengan lebih cepat.

Selain dari kelas, beberapa perbedaan Battle Royale versi COD Mobile ini adalah, Anda bisa menghidupkan kembali teman yang sudah mati, dan juga kehadiran helikopter sebagai salah satu pilihan kendaraan yang bisa dikendarai. Dihadapkan dengan fitur-fitur menyegarkan tersebut, entah kenapa saya tetap merasa Battle Royale di COD Mobile itu membosankan. Mungkin karena sudah terlalu terbiasa dengan baku tembak tempo cepat yang memacu adrenalin pada mode 5v5.

Sementara Battle Royale? Tempo pertarungan jadi lebih lambat, belum lagi proses pergerakan circle yang lambat, bikin saya jadi makin bosan. Kalau ada satu hal yang bisa diperbaiki dari COD Mobile Battle Royale, mungkin adalah mekanisme circle-nya. Membuat tempo circle jadi lebih cepat mungkin akan membuat permainan jadi lebih seru dan mendebarkan.

Selain itu, lawan yang saya hadapi, kadang juga terlihat seperti bingung mau melakukan apa; yang membuat permainan jadi semakin kurang menarik. Mungkin karena rank saya terlalu rendah, sehingga lawan yang saya hadapi belum segitu hebat, atau mungkin karena yang saya lawan adalah bot

Tetapi Battle Royale COD Mobile memberi pengalaman yang kurang lebih lebih mirip dengan Battle Royale pada Call of Duty: Black Ops 4. Jadi jika Anda seperti saya (yang hanya mampu mencicipi Call of Duty: Black Ops 4 saat free week saja, namun tidak bisa membeli karena harganya yang terlalu mahal), COD Mobile bisa menjadi padanan yang tidak terlalu buruk.

Secara keseluruhan, memang pertarungan 5v5 masih lebih superior di dalam COD Mobile. Tetapi keseruan 5v5 dalam COD Mobile lebih dari sekadar adu tembak saja, karena ada beberapa mekanisme unik yang cukup membedakan COD Mobile dengan game FPS biasanya. Dua hal yang terasa paling beda dengan kebanyakan FPS lain (baik PC ataupun Mobile) adalah Scorestreaks dan Operator Skill.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mekanisme Scorestreaks sendiri sebenarnya pertama kali muncul pada mode multiplayer Call of Duty: Black Ops 2. Mekanisme ini memungkinkan pemain menggunakan ragam perlengkapan canggih, saat ia berhasil mengalahkan musuh secara berturut-turut tanpa mati. Perlengkapan Scorestreaks paling dasar ada 3, UAV, Hunter Killer Drone, dan Predator Missile.

UAV memungkinkan Anda untuk mendeteksi posisi musuh pada minimap. Hunter Killer merupakan drone kecil yang bisa diterbangkan, mencari musuh, lalu meledak. Sementara Predator Missile adalah rudal yang bisa Anda kendalikan untuk mengalahkan musuh-musuh. Seiring level Anda meningkat, pilihan Scorestreaks lain akan terbuka, tentunya dengan fungsi yang semakin variatif.

Sementara itu Operator Skill sendiri sebenarnya hampir mirip dengan perlengkapan Scorestreaks. Bedanya, Operator Skill biasanya berbentuk senjata. Setelah mendapat kill demi killbar Operator Skill akan terisi, dan bisa digunakan setelah bar tersebut penuh. Mekanisme ini mirip dengan mengisi skill ultimate pada Overwatch, kalau mungkin Anda pernah memainkannya.

Operator Skill yang pertama kali terbuka adalah Purifier, sejenis Flamethrower yang bisa membakar musuh dengan cepat. Seiring level meningkat, akan terbuka jenis Operator skill lain seperti, Scythe si gatling gun kecil yang mematikan, ataupun War Machine si grenade launcher peledak otomatis.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tambahan fitur ini membuat aksi adu tembak di COD Mobile jadi sangat menyenangkan (dan juga sangat menyebalkan). Menyenangkan jika Anda berhasil mendapatkan Scorestreak atau Operator Skill, yang membuat Anda bisa semakin mendominasi jalannya permainan; terutama pada mode Team Deathmatch ataupun Domination. Menyebalkan jika Anda berada di sisi tim yang kalah, sehingga Anda harus mati oleh segala peralatan aneh yang akan membuat Anda merasa permainan jadi tidak adil.

Namun yang disayangkan adalah dua fitur ini cenderung tak terpakai dalam mode Search and Destroy. Operator Skill memang tidak diaktifkan dalam mode tersebut. Mode Scorestreak sebetulnya tetap ada, namun hampir tidak mungkin untuk bisa dimanfaatkan, karena setiap ronde, semua hal akan direset, termasuk progress Scorestreak.

Jadi pada mode Search and Destroy, pembeda yang terasa hanyalah fitur Perks saja. Ini sebenarnya tidak terlalu jadi masalah, tapi saya merasa, penambahan skill tertentu atau class tertentu pada mode ini tentu akan membuat COD Mobile jadi lebih berwarna.

Kontrol 1-tap ADS yang Mengubah Segalanya

Saya sudah mengatakan soal ini di awal paragraf, FPS mobile dengan kontrol virtual joystick itu sebenarnya sangat konyol dan tidak praktis sama sekali. Tapi untungnya COD Mobile berhasil membantah hal tersebut, dan menyajikan kontrol praktis, yang langsung secara 180 derajat mengubah sudut pandang saya terhadap game FPS di mobile.

Secara umum, sistem kontrol di COD Mobile dibagi dua, Simple Mode dan Advanced Mode. Kalau Anda baru mulai belajar main FPS di mobile, kontrol Simple Mode jadi kontrol paling praktis untuk Anda gunakan. Anda tak perlu lagi repot menyentuh kontrol tembak. Cukup swipe untuk arahkan moncong senjata Anda ke musuh, selanjutnya senjata akan secara otomatis menembak setelah beberapa saat menemukan musuh pada targetnya.

Kalau Anda tak mau repot menekan terlalu banyak tombol, kontrol ini bisa Anda gunakan, tapi hanya untuk sementara waktu. Ironisnya, ketika rank Anda semakin tinggi, kontrol ini justru malah tak lagi praktis karena musuh jadi bergerak semakin lincah.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Saya sendiri sebenarnya baru mencapai rank Veteran II dan level karater 30. Tetapi saya sudah kesulitan mendapat lebih banyak kill dengan kontrol Simpe Mode, karena crosshair tak sempat mengunci target yang bergerak dengan lincah dan luwes.

Untuk itu, Anda bisa menggunakan sistem kontrol Advanced Mode. Sistem ini sebetulnya punya layout yang mirip dengan PUBG Mobile. Virtual joystick di kiri, lalu tombol tembak, reload, bidik ADS, jongkok, lompat, perlengkapan dan segala macamnya di kanan. Namun menurut saya, satu pembeda sederhana yang  langsung mengubah pendapat saya terhadap game FPS di Mobile adalah sistem 1-tap ADS.

Pada sistem ini, satu kali tap tombol tembak, Anda akan otomatis transisi ke mode ADS dan menembak. Mode ini membuat pengalaman adu tembak di mobile jadi berkali lipat lebih praktis. Perubahan sederhana ini yang menurut saya, membuat gunfight di COD Mobile jadi jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan PUBG Mobile.

Fitur 1-tap ADS ini bahkan juga bisa Anda manfaatkan ketika menggunakan senjata laras panjang. Anda cukup tahan tombol tembak, swipe ke arah target, lepas tombol untuk menembakkan peluru ke musuh. Perubahan sederhana seperti ini, menurut saya, membuat beberapa teknik game FPS seperti flick-shot, tracking, atau menembak strafing, jadi bisa diterapkan dengan lebih mudah.

COD Mobile #9
Seperti pada PUBG Mobile, kontrol juga bisa dikustomisasi sesuai preferensi Anda. Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi menurut saya, fitur ini hanya membuat COD Mobile jadi lebih praktis saja karena pertandingan melawan pemain berpengalaman tetap membutuhkan skill tersendiri. Nyatanya dalam permainan, kemampuan jempol Anda tracking pergerakan adalah modal terpenting pemain dalam menghadapi adu tembak. Karena praktis tidak sama dengan mudah, menurut saya sistem seperti ini seharusnya bisa menjadi standar baru bagi game FPS mobile, terutama yang memiliki mode ADS.

Kendati ada mode 1-tap ADS, namun bukan berarti tak ada kekurangan pada sistem kontrol COD Mobile. Salah satu masalah yang saya rasakan adalah input gerakan virtual joystick dan menembak yang kadang tidak sinkron. Jadi, walau niat hati melakukan Strafing, karakter kadang jadi diam saja karena virtual joystick yang bergerak tidak karuan atau terlepas.

Mungkin ini ada hubungannya dengan kemampuan suatu smartphone menerima respon multitouch. Saya sendiri menggunakan Xiaomi Pocophone F1, yang memang terkenal punya banyak masalah terkait LCD. Jadi, mungkin memang butuh smartphone yang punya kemampuan merespon touch dengan baik, agar pengalaman bermain COD Mobile jadi lebih nyaman.

Monetisasi khas Tencent dengan Konten yang Itu-itu Saja

Rasanya kurang lengkap jika tidak menyematkan pembahasan tentang microtransaction atau monetisasi ketika mengulas game mobile. Apalagi mengingat strategi microtransaction adalah nyawa penyambung hidup bagi game mobile gratis.

Seperti kebanyakan game gratisan lainnya, COD Mobile langsung punya berbagai bentuk microtransaction sejak hari pertama dirilis. Semua elemen dalam game diberi skin, senjata, tas, parasut dan glider (untuk mode Battle Royale), kendaraan, emote, bahkan granat sekalipun punya skin tersendiri. Sayangnya, konten skin dan segala macam tetek-bengeknya dalam COD Mobile, terkesan membosankan dan repetitif.

Jika Anda mendapatkan konten tambahan dengan tantangan lebih, Battle Pass bisa menjadi alternatif. Seperti Royale Pass pada PUBG Mobile, Anda bisa mendapat berbagai macam hadiah dengan melakukan berbagai macam misi di Battle Pass COD Mobile. Walau penawaran Battle Pass di dalam COD Mobile kadang terasa mengganggu, tapi saya masih merasa bahwa ini adalah monetisasi paling fair bagi pemain. Cukup satu kali beli, dapat banyak item in-game, permainan juga jadi lebih menyenangkan karena reward dari misi Battle Pass.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi lagi-lagi konten Battle Pass juga cenderung repetitif dan membosankan. Isinya hanyalah Skin, Weapon XP Card, CP (COD Points, mata uang premium COD Mobile), dan Battle Pass Crate mulai dari Battle Pass level 100 sampai 400. Mungkin karena baru Season 1, jadi konten tambahan yang disediakan juga masih terbatas, belum ada variasi lain yang lebih menarik.

Misi yang disajikan dalam Battle Pass juga terbilang masih masuk akal. Anda bisa bermain seperti biasa dan level Battle Pass akan tetap naik secara tanpa disadari. Saya sendiri saat ini sudah berada di level 27 pada Battle Pass versi gratis, hanya dengan bermain seperti biasa saja — tanpa harus fokus diri pada suatu misi tertentu.

Lanjut ke topik lain dalam microtransaction, yaitu pengaruhnya terhadap gameplay. Beberapa pemain kadang enggan memainkan game multiplayer gratis karena khawatir dengan permainan akan cenderung jadi pay to win. Monetisasi pada COD Mobile memang berpengaruh ke dalam gameplay, karena skin senjata dalam game ini memiliki stat atau Perks.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Perks senjata tersedia pada beberapa skin dengan tingkat rarity tertinggi. Bagaimana cara mendapat senjata dengan tingkat rarity tertinggi? Tentu saja dengan ‘GACHA’. Sejauh ini saya sendiri merasa bahwa pengaruh Perks terhadap gameplay masih belum sampai di tingkat Pay to Win.

Memang beberapa Perks terdengar cukup menyebalkan. Contohnya senjata HG 40 – Black Gold, yang bisa Anda dapatkan pada Season Weapon Crate. Skin senjata tersebut punya Perks yang akan mengisi peluru Anda kembali jika Anda mendapatkan Double Kill. Bayangkan betapa menyebalkannya Perks ini, terutama dalam mode Team Deathmatch. Jika Anda sangat jago, Anda bisa terus hidup dan tak pernah kehabisan peluru. Tetapi, sepertinya Perks ini tak akan terlalu mengganggu dalam pertarungan Search and Destroy (yang mungkin akan jadi standar esports COD Mobile). Toh semuanya akan reset kembali setelah satu ronde selesai.

Grafis Biasa Saja dengan Animasi yang Luar Biasa

Saya sengaja meletakkan pembahasan soal grafis di bagian paling terakhir, karena saya kerap merasa urusan grafis sebenarnya antara penting-tidak-penting dalam sebuah game FPS kompetitif. Saya sendiri lebih sering menggunakan pengaturan Graphic Quality di tingkat Low dengan pengaturan Frame Rate di tingkat Max, agar dapat merespon segala sesuatu dengan lebih cepat.

Walau demikian, jujur saya kagum dengan grafis COD Mobile. Meski dengan pengaturan terendah sekalipun, saya masih tetap bisa menikmati tampilan grafis yang ada. Tekstur senjata ataupun lingkungan tetap terasa detail walau mungkin tidak HD. Mengubah Graphic Quality ke tingkat Very High akan membuka opsi grafis lainnya yang menurut saya cukup baik untuk sebuah game mobile.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Pada tingkat Very High Anda dapat menemukan fitur Depth of Field, Bloom, Realtime Shadow, Ragdoll, sampai Anti-Aliasing untuk lebih memperhalus lagi grafis Anda. Anehnya, saya tidak merasakan perubahan grafis yang signifikan saat mengubah pengaturan ke tingkat Very High. Perubahan paling terasa hanyalah animasi pergerakan musuh yang kini jadi lebih halus.

Memang, satu hal yang paling sangat saya puji dari COD Mobile ini adalah animasinya. Dalam pengaturan grafis Low sekalipun, Anda tetap dapat menikmati animasi pergerakan karakter layaknya game Call of Duty terdahulu. Animasi ketika berlari, transisi dari mode tembak hipfire ke ADS, dan bahkan ketika Anda sliding, semuanya terasa halus, yang mungkin setingkat dengan animasi game pada platform PlayStation Portable (2004).

Kesimpulan – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Saya tidak bisa mengatakan bagaimana perbandingan antara COD Mobile dengan seri Call of Duty lainnya yang pernah rilis di PC ataupun konsol. Satu hal yang pasti, saya merasakan feels COD dari hal yang saya ingat pernah cicipi, seperti: gunfight tempo cepat namun tetap mengandalkan ADS yang khas COD, gadget dan senjata-senjata canggih ala Call of Duty: Modern Warfare, dan battle royale ala mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4.

Lalu, jika COD Mobile harus berdiri sendiri sebagai game FPS di mobile, saya juga merasa bahwa COD Mobile berhak mendapat gelar sebagai game FPS di mobile terbaik sejauh ini. Fitur 1-tap ADS adalah fitur sederhana yang membuat saya betah memainkan FPS di mobile bahkan berjam-jam sekalipun.

Terakhir kalau soal monetisasi dan microtransaction, saya merasa sejauh ini COD Mobile tidak terlalu memoroti pemainnya; walau tetap ada gacha skin di dalam game. Fitur Battle Pass harus diperbaiki lagi agar punya konten yang lebih menarik, namun itu bisa dimaklumi karena COD Mobile baru masuk season 1. Saya berharap semoga saja season 2 bisa menyajikan Battle Pass yang lebih variatif dan menarik bagi pemain. Terakhir, soal skin memberi Perks, mungkin bisa menjadi lampu kuning bagi Anda yang khawatir soal game yang Pay to Win. Sejauh ini, hal tersebut belum berdampak besar di dalam game, dan semoga seterusnya akan bertahan seperti itu.

Sparks:

  • Kontrol 1-tap ADS membuat pengalaman bermain FPS di mobile jadi sangat menyenangkan
  • Adu tembak 5v5 tempo cepat khas Call of Duty yang seru dan penuh aksi
  • Fitur kelas yang membuat mode Battle Royale jadi lebih menyegarkan
  • Animasi dan pergerakan karakter yang sangat halus bahkan pada pengaturan grafis tingkat Low sekalipun

Slacks:

  • Mode Battle Royale membosankan karena temponya terlalu lambat
  • Konten Battle Pass dan microtransaction yang itu-itu saja
  • Skin memberi Perks, berpotensi menjadi pay to win
  • Grafis terkesan biasa saja, bahkan pada tingkat pengaturan Very High

Pemain NBA Rudy Gobert Investasi di ReKTGlobal

Pemain NBA di Utah Jazz, Rudy Gobert, menanamkan investasi pada ReKTGlobal, grup esports global yang juga merupakan perusahaan induk dari tim Rogue. Gobert menjadi pemain olahraga tradisional terbaru yang ikut masuk ke ranah esports. Dari segi nilai industri, esports tumbuh pesat. Sementara dari total hadiah turnamen, turnamen esports bisa menawarkan hadiah yang tidak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Tidak heran jika tim atau atlet olahraga konvensional tertarik untuk mendukung tim esports. Belum lama ini, Manchester City juga telah mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan.

“Rudy sangat cocok untuk ReKTGlobal,” kata Amish Shah, co-founder of ReKTGlobal, seperti dikutip dari VentureBeat. “Dia telah menjadi gamer sejak lama. Tidak hanya itu, dia juga memiliki jiwa bisnis yang kuat dan memiliki ide-ide baru. Sejak lama, dia memang ingin berinvestasi di ranah esports dan ikut serta dalam industri gaming. Kami bangga karena dia memilih ReKTGlobal sebagai rekannya dan kami tidak sabar untuk melihat sepak terjangnya sebagai atlet olahraga tradisional pertama yang menjadi anggota dewan kami.”

Sumber: InvenGlobal
Sumber: InvenGlobal

Menurut laporan The Esports Observer, Gobert — yang pernah bermain di NBA selama enam musim dan pernah memenangkan Defensive Player of the Year dua kali — akan berbagi pengalamannya di dunia olahraga tradisional pada ReKTGlobal. Selain itu, dia juga akan membantu ReKTGlobal menjalin kerja sama strategis. Ke depan, pemain center asal Prancis ini juga akan membuat konten dan melakukan siaran langsung bersama dengan anggota tim Rogue. Saat ini, Rogue bertanding di League of Legends European Championship (LEC). Selain itu, Rogue juga memiliki tim di Fortnite, Rocket League, dan Rainbow Six Siege. Menurut kabar terbaru, Rogue telah mendapatkan slot untuk bertanding di liga Call of Duty yang akan mulai diadakan pada tahun depan. Rogue akan mewakili London dalam turnamen yang diadakan oleh Activision Blizzard itu.

“Kecintaan saya akan gaming sudah jadi rahasia umum di kalangan Utah Jazz dan tim nasional Prancis. Saya memang sudah tertarik untuk menanamkan investasi dan ikut serta dalam esports, dan saya tidak sabar untuk mengukir sejarah bersama dengan ReKTGlobal,” kata Gobert. “Selama bertahun-tahun, saya bermain game untuk bersantai ketika harus bertanding. Bermain game juga menjadi cara saya mempertahankan hubungan dengan teman-teman saya ketika saya sedang dalam perjalanan. Saya sangat tidak sabar untuk bekerja sama dengan tim Call of Duty sebelum mereka mulai berlaga pada tahun depan.”

ReKTGlobal didirikan pada 2016 dan memiliki markas di New York. Organisasi ini bertujuan untuk menjembatani bisnis olahraga tradisional dengan esports. Selain Gobert, ada sejumlah selebritas lain yang juga telah menjadi investor dari ReKTGlobal, seperti DJ Steve Aoki dan DJ Nicky Romero, serta anggota dari band Imagine Dragons.

Activision Blizzard Pastikan 12 Tim yang Bertanding di Liga Call of Duty 2020

Liga Call of Duty akan dimulai pada tahun depan. Activision Blizzard sudah memastikan bahwa jumlah tim yang ikut adalah 12 tim, sama seperti ketika Overwatch League baru dimulai. Meskipun begitu, bukan berarti tertutup kemungkinan jumlah tim yang ikut dalam liga Call of Duty akan bertambah. Pada musim pertama, Overwatch League memang hanya mengadu 12 tim. Namun, pada musim kedua, jumlah tim yang bertanding bertambah menjadi 20 tim. Call of Duty Esports Commissioner, Johanna Faries menyebutkan bahwa mereka senang dengan kemiripan antara liga Call of Duty dan Overwatch League. Saat ini, Activision Blizzard menyebut liga ini Call of Duty Global League, meski masih terbuka kemungkinan nama liga tersebut diganti.

“Ke depan, kami ingin agar Call of Duty Esports menjalin kerja sama dengan grup esports yang berkomitmen untuk membawa tim esports profesional ke kota mereka dan mengembangkan komunitas di kota asal mereka,” kata CEO Activision Blizzard pada The Washington Post. “Kami telah menemukan rekan yang tepat dan Call of Duty Esports League 2020 secara resmi akan memiliki 12 tim.” Sama seperti Overwatch League, liga Call of Duty ini juga menggunakan sistem franchise. Itu artinya, tim yang hendak ikut bertanding harus rela membayar sejumlah uang. Menurut rumor, sebuah tim harus membayar US$25 juta untuk dapat ikut serta dalam liga Call of Duty. Sistem franchise alias sistem tertutup memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Hybrid sempat membahas tentang sistem tersebut secara lengkap di sini.

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk ikut serta dalam liga Call of Duty membuat beberapa tim enggan untuk ikut. Salah satunya adalah 100 Thieves. Melalui sebuah video, CEO 100 Thieves, Matthew “Nadeshot” Haag mengatakan bahwa 100 Thieves tidak akan ikut dalam liga Call of Duty tahun depan. “Kami tidak ikut dalam CDL, kami juga tidak punya tim yang akan bertanding atas nama kami — dan saya tidak berkata bahwa ini adalah akhir dari partisipasi kami di Call of Duty, tapi kami juga tidak akan menyiapkan roster untuk Call of Duty,” katanya, lapor Dot Esports.

Tim 100 Thieves bukanlah satu-satunya tim yang memutuskan untuk tidak ikut dalam liga Call of Duty tahun depan. FaZe Clan serta eUnited, tim yang berhasil memenangkan Call of Duty World League 2019, juga memutuskan untuk tidak turun. Ketika ditanya apakah keputusan beberapa tim untuk tidak ikut serta akan mengundang kemarahan fans, Faries mengaku dia tidak khawatir. “Saya rasa, kami benar-benar berhati-hati dalam menyertakan komunitas dalam liga ini sejak awal,” katanya, lapor The Washington Post. “Jadi, walau tidak semua tim ikut serta, pada saat yang sama, mengadakan turnamen model franchise berbasis kota memerlukan keikutsertaan organisasi esports yang sama sekali berbeda.” Saat ini, belum ada informasi tentang jadwal atau format liga Call of Duty. Faries mengatakan, mereka akan mengumumkan hal ini dalam beberapa minggu ke depan.

Tim eUnited saat memenangkan CWL 2019 | Sumber: Dexerto
Tim eUnited saat memenangkan CWL 2019 | Sumber: Dexerto

Faries berkata, untuk saat ini, Activision Blizzard ingin memfokuskan liga Call of Duty pada kawasan Amerika Utara dan Eropa. Dua belas tim yang bertanding dalam liga tersebut mewakili 11 kota, yaitu Atlanta, Chicago, Dallas, Florida, London, Los Angeles, Minnesota, New York, Paris, Seattle, dan Toronto. Ada dua tim yang mewakili Los Angeles, yaitu KSE Esports dan Immortals Gaming Club. Sama seperti Overwatch League, liga Call of Duty juga akan menggunakan sistem kandang-tandang. Jadi, tim yang menjadi tuan rumah akan menjamu tim lawan di markas mereka.

Sumber header: Kevin Haube / ESPAT Media via The Esports Observer