CarbonEthics Raih Pendanaan Awal Rp32,2 Miliar Dipimpin Intudo Ventures

CarbonEthics mengumumkan keberhasilan meraih pendanaan sebesar $2,1 juta atau setara Rp32,2 miliar dalam putaran pendanaan awal (seed) yang dipimpin oleh Intudo Ventures. Beberapa angel investor strategis lainnya turut serta dalam pendanaan ini.

Didirikan pada Mei 2019, CarbonEthics awalnya fokus pada pengembangan ekosistem blue carbon, sebelum memperluas cakupannya ke ekosistem gambut dan hijau. Dengan solusi iklim berbasis alam, perusahaan ini memadukan dampak lingkungan dan komersial, mengembalikan ekosistem alami yang rusak untuk mendukung bisnis dalam perjalanan dekarbonisasi mereka serta menciptakan sumber pendapatan baru.

CarbonEthics menawarkan tiga layanan inti, yaitu:

  1. Proyek Karbon Berbasis Alam: Melindungi ekosistem untuk menyerap karbon, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga keanekaragaman hayati.
  2. Penanaman Pohon: Mendukung rehabilitasi ekosistem, khususnya ekosistem blue carbon.
  3. Konsultasi Karbon: Menyediakan layanan konsultasi ESG (Environmental, Social, and Governance) untuk membantu klien mencapai target pengurangan karbon dan mematuhi regulasi terkait.

Co-Founder & CEO CarbonEthics Bimo Soewadji, menyatakan bahwa pencapaian emisi nol bersih (net-zero) tidak hanya penting untuk melindungi bumi dari risiko perubahan iklim, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan yang menguntungkan. “Kami mengundang lebih banyak mitra untuk bergabung dalam mengembangkan inisiatif iklim yang berdampak besar dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang menguntungkan manusia dan planet,” ujar Bimo.

CarbonEthics juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perusahaan swasta, BUMN, lembaga pemerintah, dan organisasi non-pemerintah. Beberapa klien ternama mereka antara lain Allianz, Ernst & Young, dan Danone. Hingga saat ini, CarbonEthics telah menyelesaikan studi kelayakan untuk proyek karbon di lahan seluas lebih dari 4,2 juta hektare dengan potensi proyek karbon lebih dari 1 juta ton CO2e per tahun, serta menanam sekitar 288.000 biota, termasuk mangrove, lamun, rumput laut, dan terumbu karang.

Melalui pendanaan ini, CarbonEthics akan memperkuat portofolionya dengan mengamankan proyek karbon tambahan dan merekrut ahli teknis terbaik untuk melayani kebutuhan klien. Pada tahun 2030, CarbonEthics menargetkan untuk melindungi dan memulihkan 8 juta hektare lahan serta menciptakan dampak CO2e lebih dari 160 juta ton, sembari membangun ekonomi berkelanjutan bagi lebih dari 50.000 masyarakat lokal.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus Terpilih Mengikuti Program Akselerator NINJA JICA 2022

Program akselerator NINJA JICA 2022 bermitra dengan ANGIN telah memilih 3 startup berdampak asal Indonesia yang berhak untuk mengikuti program akselerasi. Tiga startup tersebut adalah Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus. Mereka berhasil lolos setelah melalui proses kurasi, total ada 200 startup yang terdaftar.

Bertujuan untuk meningkatkan ekosistem kewirausahaan yang berdampak di Indonesia, program akselerasi yang diinisiasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) ini melakukan proses pemilihan secara selektif dan ketat. Mereka ingin mendukung dan melengkapi perusahaan rintisan Indonesia yang berpengaruh untuk menghadapi daftar investor yang dikurasi, memperluas peluang kemitraan, dan meraih dukungan finansial.

Selanjutnya ketiga startup terebut akan menerima sesi mentoring mulai bulan November 2022 dan menghadiri Demo Day untuk investor lokal, regional, dan Jepang pada Februari 2023 di Jakarta dan Jepang. Startup terpilih tersebut nantinya dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah dan area emisi rendah karbon.

Startup berdampak

Salah satu persamaan yang dimiliki oleh tiga startup terpilih tersebut adalah, fokus mereka yang menyasar kepada impact. Kategori startup berdampak saat ini mulai banyak bermunculan, mulai climate tech, waste management, renewable energy, hingga energy efficiency.

CarbonEthics misalnya, mendukung institusi dan individu dalam aksi iklim melalui perhitungan karbon dan penyerapan karbon melalui konservasi mangrove berbasis masyarakat. CarbonEthics berencana untuk memasuki pasar kredit karbon global dengan menyediakan proyek karbon terverifikasi dan memperluas cakupannya dari hanya ekosistem karbon biru ke solusi iklim berbasis alam yang lebih luas.

Sementara Bell Society mengembangkan dan memproduksi kulit biomaterial dengan mengubah limbah kulit kopi, sekam, dan ampas kopi. Kulit digunakan sebagai bahan tas, sepatu, waller. Bell Society memperoleh kopi dan sampah organik dari kafe, restoran, dan langsung dari koperasi petani kopi. Rencana pertumbuhan mereka akan mencakup skala dan distribusi global untuk menjadi merek global dan memiliki kolaborasi di seluruh dunia dalam 2 tahun ke depan.

Startup lainnya yang berfokus kepada food waste management adalah Surplus. Tercatat saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Yogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Disclosure: DailySocial.id merupakan media partner ANGIN untuk peliputan startup berdampak di Indonesia

Ikhtiar CarbonEthics Bantu Masyarakat Pesisir Sembari Pulihkan Keseimbangan Iklim

Kerusakan lingkungan global terus berlanjut mengancam habitat seluruh makhluk hidup. Langkah kecil pun dimulai oleh Agung Bimo Listyanu (CEO), Innandya Irawan (COO), dan Jessica Novia (CMO), yang bertemu di One Young World Summit 2018 di Belanda untuk memulai CarbonEthics. Saat itu, ketiganya bertugas sebagai delegasi dari masing-masing perusahaan, berusaha mencari jalan keluar untuk mengurangi emisi karbon.

“Dari situ kita aware bahwa iklim enggak bisa nunggu. Makanya, we need to do something beyond our office dan ignite the spirit dari tiap korporasi untuk mengambil aksi. Akhirnya mulai bangun CarbonEthics di Mei 2019,” kata Agung Bimo Listyanto, atau lebih akrab disapa Bimo saat dihubungi DailySocial.id.

Masing-masing co-founder ini datang dari latar belakang yang beragam. Bimo punya pengalaman sebagai geothermal engineering ditambah pernah bekerja di dunia komersial untuk sales dan marketing, serta pernah bertanggung jawab memegang fund khusus ESG. Sementara, Jessica punya segudang pengalaman di dunia kreatif, digital marketing, dan manajemen konsultasi.

Terakhir, Innandya mendalami industri energi didukung dengan pengalaman lainnya di bidang commercial and investment appraisal, strategi dekarbonisasi, dan lainnya. Seluruh kemampuan dari ketiganya mendukung satu sama lain dalam merancang visi dan misi CarbonEthics. Sebagai catatan, ketiga co-founder ini baru akan full time di CarbonEthics per Januari 2023 mendatang.

“Sejak awal kami melabelkan diri sebagai corporate activist, yang punya privileges mendorong korporasi dari dalam. Tapi perlu juga untuk dorong dari luar, seperti mengevaluasi kebijakan dari perusahaan yang dirasa masih kurang bagi lingkungan. Kami buat CarbonEthics karena kami ingin reach lebih banyak pihak turut serta.”

Site visit di Kepulauan Seribu / CarbonEthics

Berdayakan masyarakat sambil mengurangi emisi karbon

Dalam upaya mengurangi emisi karbon, perjalanan CarbonEthics dimulai dengan menemui para petani di pesisir pantai untuk memulai fokus pada restorasi ekosistem biru. Salah satunya, dengan menanam mangrove, lamun, dan rumput laut. Kelompok masyarakat ini paling rentan terhadap isu lingkungan, sebab apabila permukaan air laut naik, rumah merekalah yang pertama akan tenggelam.

Terlebih, selama pandemi kesejahteraan para petani ini sangat terdampak. Penghasilan mereka bahkan turun hingga 90% karena penurunan permintaan dari restoran yang tutup, menurut temuan CarbonEthics.

“Mangrove, lamun, dan rumput laut ini bisa menyerap karbon antara 4-10x lebih banyak dari hutan di darat. Namun bukan itu yang ingin kita coba selesaikan. Tapi dari sisi isu ESG, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan economic value dari apa yang ditanam.”

Tim CarbonEthics, dibantu oleh 100 relawan, perlahan mendekati para petani pesisir untuk mulai menanam mangrove, dengan program pendampingan dari awal hingga pemantauan rutinnya. Proses menyeluruh ini dilakukan selama satu hingga dua tahun. Mangrove, lamun, atau rumput laut yang ditanam ini merupakan pesanan yang dibeli oleh konsumen CarbonEthics, entah dari konsumen ritel atau korporat.

Para petani inilah yang bertugas untuk merawatnya, dibantu oleh tim CarbonEthics dalam pendampingan. Untuk menjaga kepercayaan dari seluruh pihak, tim juga melakukan intervensi dari sisi ekonomi untuk mencegah para petani menebang atau menjual mangrove yang telah ditanam. Sejak awal pendampingan, tim mulai membentuk kelompok tani sebelum diedukasi. Kemudian bangun bedeng, pilih site, semuanya dilalui lewat izin resmi dari pemerintah setempat.

“Berjalan satu tahun kita lihat apakah mereka bisa kita edukasi untuk next step, biasanya setelah tanam mangrove, istrinya [petani] ngapain? Kita ajarkan mereka buat sabun dari bibit bekas mangrove agar bisa punya penghasilan. Lalu bisa juga buat batik dari bibit mangrove yang sudah layu, ini bisa jadi pewarna batik alami.”

Sumber: CarbonEthics

Ia tidak setuju dengan program yang on off, semua harus berkelanjutan sampai masyarakat di pesisir itu teredukasi. Bahwa mereka dapat hidup, memperoleh nilai ekonomi dengan mengandalkan mangrove.

Sejauh ini, menurut Bimo, CarbonEthics telah memiliki tiga area penanaman yang tersebar di Pulau Harapan, Kep. Seribu, Pulau Dompak, Kep. Riau, dan Padangbai, Bali. Khusus Bali, CarbonEthics menanam terumbu karang. Kendati terumbu karang ini tidak termasuk ekosistem karbon biru, namun penanaman ini diharapkan dapat merestorasi keanekaragaman hayati di dalam laut yang sudah terlanjur rusak karena ulah manusia.

Dalam menciptakan dampak pengurangan emisi karbon secara lebih luas, CarbonEthics menggaet lebih banyak korporasi agar dapat turut serta. Bimo menuturkan, pihaknya menyediakan kalkulator jejak karbon di dalam situsnya agar konsumen dapat melihat seberapa banyak emisi karbon yang terbuang dalam kehidupan sehari-hari.

Konsumen dapat menghitung jejak karbon dari kendaraan darat dan udara, listrik, makanan, dan plastik. Misalnya, akses dari rumah ke kantor dapat dihitung jaraknya dan diekstrapolasi selama satu tahun. Begitu pun dari makanan yang dikonsumsi per porsinya selama satu minggu, konsumsi plastik, dan tagihan listrik. Setelah seluruh data dimasukkan, tim akan mengirimkan dasbor yang dapat dilihat konsumen beserta rekomendasi ekosistem karbon biru yang perlu ditanam untuk restorasi emisi yang terbuang.

“Kalau konsumen korporat ada jasa servis berbayar untuk perhitungan jejak emisi sesuai dengan protokol ESG. Lalu dari situ ada rekomendasi berapa banyak karbon yang harus dikurangi, dan sisa dari emisi terbuang ini dikompensasi dengan restorasi ekosistem karbon biru.”

Sejauh ini, paket ekosistem karbon biru yang dijual CarbonEthics di situsnya telah dibeli oleh 2 ribu orang dan lebih dari 80 perusahaan turut berpartisipasi. Garnier – L’Oréal Indonesia, PT Allianz Indonesia, The Body Shop, Nike, dan lainnya adalah beberapa nama korporasi besar sudah bergabung.

Indikator dampak yang dihasilkan

Sumber: CarbonEthics

Dalam mengukur dampak bagi lingkungan, CarbonEthics mengandalkan Social Return of Investment (SROI). Setiap Rp1 yang diinvestasikan ke perusahaan akan menghasilkan nilai Rp4. Alhasil perbandingannya 1:4, hasil mengukur dari tiga aspek, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dari aspek sosial, tim mengukur berapa banyak petani yang ikut dan teredukasi, juga berkomitmen dalam menjalankan aksi iklim. Tak lupa mengukur dari anggota keluarga dari petani yang ikut terdampak dalam program. Lalu, dari sisi ekonomi, mengukur seberapa jauh penambahan penghasilan dari dan sebelum petani ikut program. Terakhir, dari aspek lingkungan, menghitung berapa banyak karbon yang terserap, baik itu dari mangrove, lamun, atau rumput laut.

Dari laporan perusahaan saat ini, dari aspek lingkungan, CarbonEthics telah menyerap lebih dari 5,3 juta kg gas CO2e diasingkan, 68.357 pohon bakau ditanam, 3.025 bibit lamun ditanam, 4.050 bibit rumput laut ditanam, dan 4.270 karang bayi ditanam. Berikutnya dari aspek sosial, sebanyak 184.933 orang pengguna, 2.709 aksi iklim dijanjikan, 16 orang dengan peningkatan pendapatan, dan 91 langsung dan tidak langsung penerima manfaat pesisir anggota komunitas. Dari aspek ekonomi, sebanyak 22% peningkatan rata-rata pendapatan petani.

Dalam keseluruhan proses bisnis di CarbonEthics, mayoritas masih menggunakan pendekatan tradisional. Namun, kini tim sudah melengkapi aspek teknologi berbentuk platform yang digunakan petani untuk memasukkan informasi dari mangrove, baik dalam bentuk foto dan ukuran pohon selama enam bulan sekali. Informasi tersebut nantinya dipakai untuk konsumen yang membeli mangrove dari CarbonEthics.

Pasalnya, perusahaan memberlakukan jaminan garansi, bakal melakukan penanaman ulang apabila yang berlaku selama dua tahun. “Kami akan transparan memberi tahu pertumbuhan mangrove lewat situs. Ada garansi proteksi selama dua tahun sebelum mangrove stabil, apabila sebelum periode tersebut mangrove mati, akan segera kita ganti. Namun value yang selalu kita tekankan adalah kepastian mereka hidup lewat proses iterasi yang terus kita improve.”

Bimo pun memercayai prospek startup impact seperti CarbonEthics punya ruang pertumbuhan yang sangat lebar. Saat ini pangsa pasar bisnis keberlanjutan memang masih niche, tapi dari waktu ke waktu pertumbuhannya begitu pesat. Karena masih niche, timbul tantangan dari segi harga jual yang lebih mahal, membuat adopsi terasa sulit untuk menjangkau pasar yang lebih umum.

“Sekarang demand ada tapi harga masih mahal. Tapi seiring waktu, masyarakat kian teredukasi, harapannya economic of scale dapat tercipta sehingga tercipta harga jual yang sama.”

Maka dari itu, untuk menyambut pertumbuhan yang bakal lebih pesat, para co-founder CarbonEthics siap menjadi full time di bisnis ini. Ditargetkan ke depannya, perusahaan dapat memperluas area karbon biru di beberapa titik di Indonesia.

Sumber: CarbonEthics

Saat ini CarbonEthics juga tengah melakukan penggalangan dana, ditargetkan sampai dengan Desember 2022.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.