Startup Teknologi Iklim “Fairatmos” Dapat Pendanaan Awal 69 Miliar Rupiah

Fairatmos, startup teknologi karbon lokal, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $4,5 juta (lebih dari 69 miliar Rupiah) dipimpin Go-Ventures dan Kreasi Terbarukan TBS, lengan investasi dari perusahaan energi lokal Toba Bara Sejahtera. Vertex Ventures SEA and India dan angel investor terkemuka turut serta dalam putaran tersebut.

Dana segar bakal digunakan untuk memperkuat platform dengan menyediakan inovasi digital baru di pasar karbon, menjangkau lebih banyak komunitas dan pengembang proyek, serta memperluas tim di berbagai fungsi, termasuk pakar analitik penginderaan jauh, produk, dan engineer.

Startup yang baru didirikan pada tahun ini berambisi  mendemokratisasi akses ke pasar karbon melalui platform yang mendukung pengembangan proyek penyerapan karbon bagi komunitas, korporasi, dan pihak lain. Selain itu, membantu pengembang proyek dalam aspek pendanaan bersama entitas komersial dan individu.

Di bawah Perjanjian Paris 2015, sebanyak 196 negara mendukung tujuan global untuk mempertahankan kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius, yang berarti mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50% pada tahun 2030. 702 perusahaan di seluruh dunia telah menjanjikan nol bersih mereka sasaran, yaitu pertumbuhan yang sangat pesat pada tahun sebelumnya, termasuk di Indonesia.

“Salah satu cara bagi perusahaan untuk memenuhi targetnya adalah dengan mengimbangi emisi mereka melalui kredit karbon,” jelas Founder dan CEO Fairatmos Natalia Rialucky dalam keterangan resmi, Senin (5/12).

Produk Fairatmos

Natalia melanjutkan, mengembangkan proyek penyerapan karbon yang berkualitas tinggi dan terukur bukanlah tugas yang mudah. Terlepas dari potensi yang melimpah bagi Indonesia untuk menjadi penyerap karbon dunia, secara historis hanya ada sedikit proyek di Indonesia, karena ada banyak hambatan teknis dan biaya di muka yang mempersulit masyarakat dan organisasi untuk berpartisipasi.

Fairatmos bertujuan untuk mendemokratisasi akses ke pasar karbon. Misi perusahaan adalah meningkatkan mata pencaharian masyarakat petani kecil melalui pendapatan tambahan dari keterlibatan dalam proyek karbon dan mengurangi degradasi ekosistem di sekitarnya. Fairatmos sedang membangun solusi inovatif yang membantu masyarakat, pemilik aset, dan pengembang proyek untuk merancang dan memverifikasi proyek karbon, selain itu memberikan panduan teknis dan studi pra-kelayakan digital gratis.

Produk pertamanya adalah Digital Pre-Feasibility Study (Pre-FS) untuk penyerapan karbon melalui konservasi mangrove. Platform tersebut membantu proses verifkasi karbon dengan ringkas yang mencakup identifikasi, standardisasi, dan pemilihan metodologi, hingga pengecekan kelayakan proyek berdasarkan metodologis.

Menurut Natalia, dengan proses biasa dapat memakan waktu 60 hari sehingga memerlukan biaya yang tinggi. Sementara dengan platform Pre-FS ini dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari secara gratis.

Platform Pre-FS dibangun dengan teknologi Remote Sensing dan Machine Learning yang diklaim dapat memprediksi potensi proyek penyerapan karbon secara tepat. Dalam pengembangan, Fairatmos selalu merujuk pada basis data yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti National Forest Reference Emission Level for Forest Deforestation and Forest Degradation yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Beberapa proyek Digital Pre-FS yang sedang dijalankan oleh Fairatmos termasuk di antaranya program restorasi bakau di Muara Badak Ulu, pedesaan Handil Terusan di Kalimantan Timur, dan program restorasi bakau di Cilacap, Desa Ujungalang di Jawa Barat.

“Seluruh proyek ini mengikutsertakan komunitas petani dan inisiatif bisnis lokal. Tujuan untuk memperbaiki ekosistem lingkungan seperti wanatani dan bakau, melestarikan habitat natural seperti pohon bakau, membuat peluang turisme dengan ekoturisme, dan memfasilitasi inisiatif bisnis lokal dalam produk bakau,” tutur Natalia seperti dikutip secara terpisah dari SWA.

Di masa mendatang, Fairatmos berencana untuk menghubungkan pengembang dengan perusahaan dan individu yang ingin mengimbangi mereka emisi karbon sebagai bagian dari tujuan net-zero mereka. Dalam waktu kurang dari satu tahun beroperasi, Fairatmos telah mendapatkan daya tarik yang kuat dan bekerja dengan lebih dari 40 pengembang proyek di beberapa proyek penyerapan karbon di hutan bakau, hutan dan pertanian.

“Dengan tutupan hutan lebih dari 126 juta hektar, Indonesia secara global dikenal sebagai ‘paru-paru dunia’. Potensi pasar karbon di Indonesia sangat besar, dengan nilai $565 miliar nilai ekonomi karbon,” kata Partner Go-Ventures Aditya Kamath.

Sebelumnya hubungan bisnis antara Go-Ventures (dalam hal ini GoTo Group) dengan Kreasi Terbarukan TBS di bidang energi terbarukan sudah terjalin sejak pembentukan perusahaan patungan PT Energi Kreasi Bersama, bersama PT Rekan Anak Bangsa. Perusahaan ini bergerak kendaraan motor listrik, termasuk perakitan, perdagangan, pembiayaan, perakitan baterai hingga menyediakan stasiun penukaran baterai.

Fairatmos telah bermitra erat dengan pemerintah Indonesia untuk mengikuti panduan peraturan dalam mengembangkan proyek karbon. Perusahaan terpilih sebagai mitra resmi inisiatif netral karbon pada KTT B20 baru-baru ini pada November 2022, forum dialog resmi komunitas bisnis global G20.

Fairatmos dipimpin oleh tim pendiri yang kuat, dengan pengalaman  dan rekam jejak yang terbukti dalam iklim dan keberlanjutan. Natalia Rialucky, memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman memimpin inisiatif keberlanjutan untuk berbagai proyek pertanian dan iklim. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Chief Strategy and Social Impact Officer di TaniHub dan Head of Social Impact di Boston Consulting Group.

Perusahaan baru-baru ini mengangkat Karida Niode sebagai Head of Climate Solutions, yang sebelumnya adalah Konsultan di sebuah perusahaan ESG  berbasis di New York dan perusahaan multinasional lainnya untuk manajemen ESG; Aruna Pradipta sebagai VP of Growth and Partnerships, sebelumnya bekerja di Systemiq memimpin berbagai proyek dalam pengelolaan hutan dan masyarakat; Fredric Tanuwijoyo, sebagai VP of Strategy and Project Development, sebelumnya menjadi konsultan di McKinsey.

“Ke depan, kami bertujuan untuk terus mendobrak hambatan dan mengembangkan inovasi teknologi untuk platform kami yang akan memungkinkan akses yang lebih besar ke modal dan keahlian teknis untuk proyek penyerapan karbon,” tutupnya.

Laporan Google Trends: Peningkatan Jumlah Penelusuran Cara Daur Ulang dan Cara Berbelanja Berkelanjutan

Data Google Trends sepanjang bulan September 2020 hingga September 2022 mendeteksi sejumlah perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia selama pandemi. Kondisi ini telah mempengaruhi kebiasaan masyarakat dan mendorong mereka untuk mulai berpikir melakukan gaya hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Penelusuran daur ulang dan definisi efek rumah kaca

Persoalan daur ulang ternyata menjadi salah satu topik yang banyak dicari  masyarakat Indonesia melalui mesin pencari Google. Tercatat 2 dari 5 provinsi yang memiliki minat tinggi terhadap penelusuran seputar daur ulang terdapat di Pulau Jawa. Jawa Timur sebagai provinsi dengan minat tertinggi, diikuti Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi lain yang menunjukkan minat tinggi adalah Bali, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau.

Masyarakat Indonesia juga semakin peduli terhadap pentingnya keberlanjutan. Terbukti dari penelusuran terkait “organisasi amal dan “daur ulang” tercatat mencapai frekuensi tertinggi di tahun 2022. Google Trends juga mencatat, selama dua tahun terakhir, konten seputar keberlanjutan yang ditelusuri masyarakat Indonesia berkembang menjadi sangat variatif mulai dari bagaimana cara berbelanja secara berkelanjutan hingga bagaimana tanaman teh dapat menahan erosi.

Terkait kegiatan belanja online dan offline, Google Trends juga mencatat adanya penelusuran dalam jumlah yang cukup tinggi terkait dengan kata kunci charity shop atau organisasi amal dan daur ulang yang mengalami peningkatan di titik tertinggi di tahun 2022. Pakaian, kemasan, perabot rumah, produk perawatan kulit, dan sepatu menempati posisi lima besar produk berkelanjutan yang paling dicari masyarakat Indonesia.

Sementara itu, definisi terkait perubahan iklim juga banyak ditelusuri, termasuk di antaranya: definisi hidroponik, efek rumah kaca, cuaca, tanaman musiman, hingga definisi pencemaran menurut UU nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Penelusuran juga memperlihatkan komputer tua, sobekan kertas, kaleng logam, buku usang, dan bola sepak kerap menjadi barang yang ingin diketahui masyarakat Indonesia perihal bagaimana proses daur ulangnya.

Tidak hanya barang-barang, bahkan makanan menjadi kata kunci yang sering ditelusuri terutama resep vegetarian seperti nasi goreng, burger, roti pisang, pizza, dan pasta.

Hibah Google.org kepada Edufarmers dan World Food Programme

Bertujuan untuk mendukung penelitian dan peningkatan awareness tentang cara meningkatkan hasil produksi di sektor pertanian, serta mengajarkan bisnis dan soft-skill kepada calon-calon pemimpin di bidang pertanian, Google.org mengumumkan pemberian hibah sebesar US$724.490 kepada Edu Farmers International Foundation.

Edufarmers akan menggunakan dana dari Google.org untuk bekerja sama dengan petani dalam mengadopsi praktik dan teknologi inovatif untuk memaksimalkan hasil produksi, melalui koordinasi yang erat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Kementerian Pertanian.

“Melalui hibah ini, Edufarmers akan berusaha meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia melalui R&D untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pengembangan modul dan video pelatihan tentang keterampilan teknis pertanian dan soft-skill, pelatihan dan program pengembangan untuk petani dan pemuda, serta konferensi agri-innovation untuk mendukung regenerasi petani ke pemuda dan mengakselerasi penggunaan teknologi agrikultur,” kata COO Edufarmers Amri Ilmma.

Google.org juga menyediakan hibah sebesar US$500.000 untuk World Food Program USA untuk mendukung upaya United Nations World Food Programme (WFP) di Indonesia. WFP mengurangi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia dengan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat agar dapat merespons peristiwa cuaca ekstrem dan kendala terkait iklim dengan lebih baik.

WFP mengurangi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia dengan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat agar dapat merespons peristiwa cuaca ekstrem dan kendala terkait iklim dengan lebih baik. Menggunakan metodologi inovatif dan set data baru untuk meningkatkan kemampuan prediksi, WFP bersama Pemerintah mengerjakan PRISM (Platform for Real-Time Impact Situation Monitoring). PRISM menggunakan pencitraan satelit dan sensor lainnya untuk memberi informasi iklim dengan cepat kepada pemerintah dan sektor kemanusiaan untuk ditindaklanjuti.

“Kami berharap inisiatif ini dapat memperkuat ketahanan ekosistem pertanian di Indonesia dan kami tidak sabar ingin melihat peran teknologi dalam mewujudkan sistem pangan yang lebih berkelanjutan,” kata Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf.

Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus Terpilih Mengikuti Program Akselerator NINJA JICA 2022

Program akselerator NINJA JICA 2022 bermitra dengan ANGIN telah memilih 3 startup berdampak asal Indonesia yang berhak untuk mengikuti program akselerasi. Tiga startup tersebut adalah Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus. Mereka berhasil lolos setelah melalui proses kurasi, total ada 200 startup yang terdaftar.

Bertujuan untuk meningkatkan ekosistem kewirausahaan yang berdampak di Indonesia, program akselerasi yang diinisiasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) ini melakukan proses pemilihan secara selektif dan ketat. Mereka ingin mendukung dan melengkapi perusahaan rintisan Indonesia yang berpengaruh untuk menghadapi daftar investor yang dikurasi, memperluas peluang kemitraan, dan meraih dukungan finansial.

Selanjutnya ketiga startup terebut akan menerima sesi mentoring mulai bulan November 2022 dan menghadiri Demo Day untuk investor lokal, regional, dan Jepang pada Februari 2023 di Jakarta dan Jepang. Startup terpilih tersebut nantinya dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah dan area emisi rendah karbon.

Startup berdampak

Salah satu persamaan yang dimiliki oleh tiga startup terpilih tersebut adalah, fokus mereka yang menyasar kepada impact. Kategori startup berdampak saat ini mulai banyak bermunculan, mulai climate tech, waste management, renewable energy, hingga energy efficiency.

CarbonEthics misalnya, mendukung institusi dan individu dalam aksi iklim melalui perhitungan karbon dan penyerapan karbon melalui konservasi mangrove berbasis masyarakat. CarbonEthics berencana untuk memasuki pasar kredit karbon global dengan menyediakan proyek karbon terverifikasi dan memperluas cakupannya dari hanya ekosistem karbon biru ke solusi iklim berbasis alam yang lebih luas.

Sementara Bell Society mengembangkan dan memproduksi kulit biomaterial dengan mengubah limbah kulit kopi, sekam, dan ampas kopi. Kulit digunakan sebagai bahan tas, sepatu, waller. Bell Society memperoleh kopi dan sampah organik dari kafe, restoran, dan langsung dari koperasi petani kopi. Rencana pertumbuhan mereka akan mencakup skala dan distribusi global untuk menjadi merek global dan memiliki kolaborasi di seluruh dunia dalam 2 tahun ke depan.

Startup lainnya yang berfokus kepada food waste management adalah Surplus. Tercatat saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Yogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Disclosure: DailySocial.id merupakan media partner ANGIN untuk peliputan startup berdampak di Indonesia

Tantangan dan Peluang Pertumbuhan “Green Startup” di Indonesia

Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.

Membangun ekosistem

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.

Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

“Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency,” kata Jonathan.

Tantangan menemukan talenta

Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.

Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.

Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science – MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.

“Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya,” kata Jonathan.

Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.

Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.

Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.

Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.

“Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar,” kata Jonathan.

Fokus Ecoxyztem

Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

“Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia,” kata Jonathan.

Mendalami Fokus Bisnis OCTOPUS, Platform Agregator Daur Ulang

Menerapkan ekosistem ekonomi sirkular berbasis teknologi, OCTOPUS hadir sebagai platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Layanan ini telah memulai operasionalnya di kota lapis 2 dan 3.

Tercatat layanan mereka telah menjangkau hampir 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar. OCTOPUS juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi (mereka menyebutnya dengan “pelestari”).

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO OCTOPUS Moehammad Ichsan mengungkapkan, persoalan daur ulang di tanah air memiliki potensi besar. Namun demikian besarnya permintaan dari kalangan industri tidak bisa dibarengi dengan persediaan yang ada. Meskipun saat ini jumlah pemulung hingga pengepul banyak di berbagai lokasi, namun banyaknya lapisan atau proses penjualan yang harus dilalui oleh para pengepul, menyulitkan bagi mereka untuk bisa menjual langsung.

“Dari sisi para pelestari dan pengepul, kami juga melihat masih adanya trust issue di antara mereka. Dengan alasan itulah OCTOPUS ingin menjadi platform yang bisa memberikan standardisasi untuk harga penjualan hingga volume yang sesuai antara pengepul dan pelestari,” kata Ichsan.

Untuk memangkas lapisan yang diklaim sudah terlalu berlapis hingga menyulitkan industri mendapatkan barang secara langsung, OCTOPUS memberikan kesempatan bagi para pengepul untuk bisa menjual semua barang daur ulang yang telah mereka dapatkan dari para pelestari langsung kepada industri.

OCTOPUS juga bisa memberikan rekomendasi kepada para pengepul menyesuaikan skala usaha mereka. Untuk pengepul yang masih dalam skala kecil disarankan bisa fokus kepada barang seperti plastik. Sementara mereka yang sudah dalam kategori menengah bisa fokus kepada barang kardus. Dan untuk usaha pengepul yang masuk dalam kategori besar bisa fokus kepada barang tertentu seperti sampah daur ulang elektronik.

“Konsepnya kita mempertemukan sektor informal, yaitu pelestari dan juga pengepul yang melakukan jual-beli barang, tujuannya untuk meningkatkan keuntungan mereka. Dengan menjembatani langsung antara industri dan sektor informal tersebut, kita menciptakan solusi sebagai agregator yang memiliki impact ke lingkungan hingga ekonomi sosial dengan menyelesaikan persoalan di supply chain,” kata Ichsan.

Kembangkan aplikasi dan dasbor

Agar tujuan bisa mencapai target yang sesuai sekaligus mendapatkan profit yang berkelanjutan, OCTOPUS kemudian mengembangkan 3 aplikasi yang bisa digunakan oleh pelestari, pengepul, dan konsumen. Sementara untuk brand hingga perusahaan FMCG yang ingin memanfaatkan data yang diperoleh dari para pelestari di berbagai lokasi konsumen, mereka juga menyediakan pengolahan data.

Untuk saat ini strategi monetisasi yang dijalankan adalah B2B. OCTOPUS masih fokus memenuhi permintaan industri lewat dasbor pengolahan data.

Namun untuk membantu pelestari mendapatkan kesempatan langsung penjemputan sampah daur ulang dari konsumen, disiapkan juga aplikasi yang bisa digunakan oleh pelestari dan konsumen secara on-demand. Reward yang diterima oleh konsumen nantinya berupa poin yang bisa ditukar untuk pembelian pulsa, token listrik, hingga pembelian produk F&B.

Sebagai lulusan Grab Velocity Ventures (GVV) Batch 4, OCTOPUS juga menawarkan penukaran poin untuk layanan yang ada di Grab seperti GrabBike, GrabMart, dan lainnya.

Selain itu bagi pelestari yang berhasil melakukan penjemputan sampah daur ulang langsung ke rumah konsumen, nantinya akan diberikan rekomendasi tempat penjualan barang atau pengepul yang relevan. Sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan penjualan kepada lebih dari satu pengepul.

“Untuk pengepul juga kami berikan kesempatan untuk mengembangkan bisnis mereka dengan mendapatkan modal dari Bank BJB hingga KemenkopUKM. Dengan [interest] rate yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan perbankan, para pengepul nantinya bisa melakukan scale-up melalui bantuan modal tersebut,” kata Ichsan.

Bersama dengan Pemprov. DKI, OCTOPUS juga telah melakukan kerja sama strategis untuk bisa memanfaatkan bank sampah yang dikelola oleh pemerintah setempat. Termasuk lewat pendirian OCTOPOINT sebagai bagian dari ekosistem OCTOPUS di M Bloc Space Jakarta Selatan. Kini warga Jakarta dapat mengakses layanan tanpa biaya ini untuk memilah, mengumpulkan dan mengelola sampah rumah tangga mereka.

“Setelah memulai dari kota di lapis 2 dan 3, tahun ini OCTOPUS akan mulai fokus mengembangkan layanan di kota lapis 1 yaitu Jakarta dan sekitarnya. Harapannya kami juga akan memperluas layanan ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat,” kata Ichsan.

Pendanaan awal dari Openspace Ventures

Sejak awal, misi OCTOPUS membantu para produsen melacak, memilah, dan mengumpulkan produk pasca-konsumen. Sejalan dengan slogan ‘Solusi Daur Ulangmu’, aplikasi OCTOPUS memberikan kemudahan bagi pengguna dalam mengelola sampah, sehingga menjadi salah satu solusi untuk mendorong masyarakat membuang sampah atau barang bekas pakai dengan tepat.

Hingga saat ini OCTOPUS masih menjadi pemain pertama yang menyediakan layanan ini. Dengan alasan itulah akhirnya Openspace Ventures bersedia untuk memberikan pendanaan awal.

Meskipun mengaku masih memiliki runway yang cukup dan telah mendapatkan profit, perusahaan masih memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan selanjutnya.

“Setelah mendapatkan dana segar dari Openspace Ventures, kami memiliki rencana untuk menambah jumlah tim dan fokus kepada pengembangan produk, terutama pengembangan 3 aplikasi dan data dashboard yang kami miliki,” kata Ichsan.

Application Information Will Show Up Here