Daftar Turnamen Esports Terpopuler di September 2021

Daftar turnamen esports terpopuler di September 2021 diisi oleh kompetisi dari berbagai game esports, seperti dari Mobile Legends, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive dan VALORANT. Durasi waktu penyelenggaraan kompetisi itu pun beragam; ada yang hanya digelar selama beberapa hari dan ada pula yang berlangsung selama beberapa bulan.

Berikut daftar turnamen esports terpopuler pada September 2021, berdasarkan data dari Esports Charts.

5. MPL PH Season 8

Sekali lagi, Mobile Legends Professional League Philippines (MPL PH) Season 8 masuk dalam daftar kompetisi esports terpopuler pada bulan ini.  Hanya saja, pada September 2021, MPL PH S8 harus turun satu peringkat dari peringkat 4 pada pada Agustus 2021. Sepanjang MPL PH S8, pertandingan antara Omega dengan Nexplay EVOS berhasil menjadi pertandingan favorit penonton. Buktinya, pertandingan yang terjadi pada Minggu ke-2, Hari ke-3 itu berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 569 ribu orang. Sementara itu, pertandingan terpopuler ke-2 mempertemukan RSG Philippines dan Nexplay EVOS, dengan peak viewers sebanyak 517 ribu orang.

Lima tim dan pertandingan terpopuler sepanjang MPL PH S8. | Sumber: Esports Charts

Dalam MPL PH S8, Nexplay EVOS menjadi tim paling populer. Sejauh ini, tim tersebut berhasil mendapatkan 6,88 juta hours watched dan jumlah average viewers sebanyak 264,63 ribu orang. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, lima pertandingan terpopuler di MPL PH S8 selalu menampilkan Nexplay EVOS. Sementara itu, tim ONIC Philippines merupakan tim terpopuler ke-5. Tim berlambang landak kuning itu berhasil mengumpulkan hours watched sebanyak 3,54 jam dan jumlah average viewers sebanyak 149,58 ribu orang.

Sejak diadakan pada 27 Agustus 2021, MPL PH S8 telah disiarkan selama 104 jam. Liga esports itu berhasil mendapatkan total hours watched sebanyak 16,9 juta jam. Sementara itu, jumlah penonton rata-rata dari liga ini adalah 162,3 ribu orang. MPL PH S8 disiarkan di 3 platform utama, yaitu Facebook, YouTube, dan TikTok. Dari ketiga platform itu, Facebook menjadi platform yang paling populer, dengan jumlah peak viewers mencapai 292,5 ribu orang. Sementara di YouTube, secara total, MPL PH S8 telah mendapatkan 34,1 juta views dan 248,2 ribu likes.

4. LCK 2021 Regional Finals

Dengan peak viewers sebanyak 699,7 ribu orang, League of Legends Champions Korea 2021 Regional Finals berhasil menduduki peringkat 4 dalam daftar turnamen esports terpopuler di September 2021. Babak grand final — yang mempertemukan T1 dengan Hanwha Life Esports (HLE) — menjadi pertandingan yang menarik paling banyak ditonton. Disiarkan selama 12 jam, LCK Regional Finals berhasil mendapatkan 3,5 juta jam hours watched dan 300 ribu average viewers. T1 menjadi tim paling populer di LCK Regional Finals, diikuti oleh HLE, Nongshim RedForce, dan Liiv SANDBOX.

Tim dan pertandingan terpopuler sepanjang LCK Regional Finals. | Sumber: Esports Charts

LCK Regional Finals disiarkan di empat platform, yaitu Twitch, YouTube, AfreecaTV, dan Facebook. Twitch menjadi platform terpopuler, dengan 454,7 ribu peak viewers, diikuti oleh YouTube dengan 131,1 ribu peak viewers dan AfreecaTV dengan 116,9 ribu peak viewers. Di Twitch, LCK Regional Finals disiarkan di 6 channels dan mendapatkan 2,7 juta views serta 12,8 ribu follows.

Data viewership dari LCK Regional Finals. | Sumber: Esports Charts

Sementara di YouTube, LCK Regional Finals berhasil mendapatkan 2,2 juta views dan 27,2 ribu likes. Menariknya, jika Esports Charts menyertakan data dari platform streaming game di Tiongkok, viewership dari LCK Regional Finals meroket. Jumlah peak viewers dari kompetisi itu bisa mencapai 9,7 juta orang dengan hours watched sebanyak 52,5 juta jam dan average viewers sebanyak 4,5 juta orang.

3. ESL Pro League Season 14

ESL Pro League Season 14 mulai digelar pada 16 Agustus 2021 dan berakhir pada 12 September 2021. Dalam satu bulan, total durasi siaran dari turnamen CS:GO itu mencapai 222 jam. Sementara tota hours watched yang didapat turnamen CS:GO itu mencapai 29,7 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 133,9 ribu orang. Pada puncaknya, jumlah penonton dari ESL Pro League mencapai 758,6 ribu orang. Angka ini tercapai pada babak final, ketika NAVI bertemu dengan Vitality.

Memang, di ESL Pro League Season 14, NAVI merupakan tim esports paling populer. Dari segi hours watched, NAVI berhasil mendapatkan 7,62 juta jam, dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 267,95 ribu orang. Posisi tim tepropuler ke-2 diisi oleh Vitality, yang mendapatkan 5,76 juta jam hours watched dan jumlah average viewers sebanyak 196,24 ribu orang.

Tim dan pertandingan terpopuler di ESL Pro League Season 14. | Sumber: Esports Charts

ESL Pro League Season 14 disiarkan dalam belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Rusia menjadi siaran paling populer, dengan peak viewers sebanyak 313,2 ribu orang. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi menjadi siaran terpopuler ke-2, dengan peak viewers sebanyak 303,8 ribu orang. ESL Pro League Season 14 disiarkan di Twitch, YouTube, dan Facebook. Jika dibandingkan dengan dua platform lainnya, Twitch jauh lebih unggul. Di Twitch, kompetisi CS:GO ini disiarkan di 23 channels dan mendapatkan 52,9 juta views serta 234 ribu follows. Sementara di YouTube, jumlah views yang didapat oleh ESL Pro League hanyalah 1,3 juta views dengan 25,3 ribu likes.

2. VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin

Dengan peak viewers sebanyak 811,4 ribu orang, VALORANT Champions Tour 2021: Stage 3 Masters Berlin berhasil duduk di peringkat ke-2 dalam daftar turnamen esports terpopuler pada September 2021. Sebelum ini, Stage 3 Masters Berlin juga dinobatkan sebagai kompetisi VALORANT paling populer ke-2. Disiarkan selama 86 jam, Stage 3 Masters Berlin berhasil mendapatkan 33,4 juta jam hours watched. Dari segi jumlah penonton rata-rata, kompetisi itu mendapatkan 390 ribu orang.

Stage 3 Masters Berlin disiarkan dalam belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran paling populer. Pada puncaknya, ada 488 ribu orang yang menonton siaran dalam bahasa Inggris. Selain itu, siaran dalam bahasa Jepang juga cukup populer, dengan 223,5 ribu peak viewers, diikuti oleh siaran dalam bahasa Spanyol, yang mendapatkan jumlah peak viewers sebanyak 194 ribu orang.

Lima tim dan pertandingan terpopuler pada VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin. | Sumber: Esports Charts

Disiarkan di 56 channels di Twitch, Stage 3 Masters Berlin berhasil mendapatkan 54,1 juta views dan 627,6 ribu follows. Sementara di YouTube, turnamen VALORANT itu berhasil mendapatkan 15,9 juta views dan 380,4 ribu likes. Sentinels dan G2 merupakan dua tim paling populer di Stage 3 Masters Berlin. Jadi, tidak heran jika dua babak terpopuler di Stage 3 Masters Berlin merupakan pertandingan antara Sentinels dan G2.

1. MPL ID Season 8

Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8 sukses mempertahankan gelarnya sebagai kompetisi esports terpopuler di bulan September 2021. Hanya saja, jika dibandingkan dengan peak viewers pada Agustus 2021, peak viewers dari MPL ID S8 pada September 2021 lebih rendah. Bulan lalu, jumlah peak viewers dari MPL ID S8 adalah 1,1 juta orang. Sebagai perbandingan, peak viewers dari MPL ID S8 pada Agustus 2021 mencapai 1,7 juta orang.

Peak viewers dari MPL ID S8 untuk bulan September 2021 tercapai ketika RRQ Hoshi bertemu dengan Alter Ego di Minggu ke-7, Hari ke-2. Pertandingan lain yang berhasil menarik perhatian banyak penonton adalah pertandingan antara ONIC Esports dan RRQ Hoshi. Pertandingan yang berlangsung pada Minggu ke-5, Hari ke-3 itu mendapatkan 1,03 juta peak viewers.

Tim dan pertandingan terpopuler di MPL ID S8. | Sumber: Esports Charts

RRQ Hoshi — yang pernah menjadi juara MPL ID 3 kali — merupakan tim paling populer di MPL ID S8. Total hours watched yang dikumpulkan oleh tim itu mencapai 14,48 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 537,81 ribu orang. Sementara itu, EVOS Legends menjadi tim paling populer ke-2. Tim tersebut mendapatkan 14,39 juta jam hours watched dan 474,3 ribu average viewers.

Sejauh ini, lama waktu siaran MPL ID S8 telah mencapai 134 jam. Total hours watched yang didapatkan oleh liga itu adalah 43,9 juta jam dengan average viewers sebanyak 328 ribu orang. YouTube menjadi platform siaran paling populer, diikuti oleh NimoTV, dan Facebook. Di YouTube, jumlah views dari MPL ID S8 mencapai 171,2 juta dengan 2,1 juta likes.

Sumber header: ONE Esports

Teknologi di Esports dan Olahraga: Cheat dan Regulasi

Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.

Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.

Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?

Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.

Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.

PUBG Mobile punya rulebook tersendiri.

Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.

Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.

Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.

“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.

Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.

Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.

Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.

“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”

Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.

Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.

Contoh Aksesori di Dunia Esports

Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaming gloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.

Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compression sleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.

POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.

Celana POINT3 yang bisa menyerap keringat. | Sumber: Inven Global

Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.

Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”

Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.

Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.

“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.

Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.

Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.

Garmin Instinct Esports Edition.

Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.

Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.

Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.

Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.

Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.

Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.

Compression sleeves dari ASUS ROG. | Sumber: ASUS

“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”

Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.

Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”

Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.

Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?

Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.

Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.

Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan  beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.

Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.

Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.

Baju renang polyutherane. | Sumber: Deutsche Welle

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.

Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.

“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”

Kesimpulan

Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.

Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.

Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.

Sumber header: Trend Hunter

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Berapakah Penghasilan Free Fire Per Tahun?

Free Fire kerap kali masuk ke dalam 10 game dengan pendapatan terbesar di dunia. Namun berapakah penghasilan Free Fire per tahunnya?

Sebelum kita hitung-hitungan, dari blog post terakhir yang dirilis Sensor Tower, Free Fire berada di posisi keenam dari 10 game dengan penghasilan terbesar. Game rilisan Garena tersebut berada di bawah Pokemon Go tapi berada di atas Roblox. Sedangkan rival beratnya, yang sama-sama Battle Royale di mobile, PUBG Mobile masih bertengger di posisi pertama. Game rilisan Tencent itu dibuntuti oleh saudaranya sendiri, Honor of Kings di peringkat kedua. Sedangkan di peringkat ketiga, ada Genshin Impact dari miHoYo.

Image credit: Sensor Tower

Dari sumber yang sama, Sensor Tower mengestimasi jika penghasilan PUBG Mobile mencapai US$270 juta (sekitar Rp3,8 triliun) pada Agustus 2021 – naik 4,7% dari Agustus 2020. Sedangkan Honor of Kings (atau di sini lebih dikenal dengan Arena of Valor) berhasil meraup US$256 juta (atau Rp3,66 triliun).

Sayangnya, di sumber tersebut tidak disebutkan berapakah penghasilan Free Fire dalam sebulan. Jadi, saya harus mencari di artikel yang berbeda. Namun untungnya, saya mendapatkan angka perkiraannya yang sama-sama dirilis oleh Sensor Tower.

Penghasilan Free Fire Per Tahun 2021

penghasilan free fire per kuartal
Image Credit: Sensor Tower

Di artikel ini, Sensor Tower memperkirakan penghasilan Free Fire (FF) di kuartal pertama (Q1) 2021 mencapai US$254,6 juta (atau Rp3,63 triliun). Sedangkan pada bulan Mei 2021, penghasilan Free Fire per bulan mencapai US$59 juta (Rp843,3 miliar).

Dari dua angka tadi, kita bisa mencoba hitung-hitungan untuk mendapatkan angka penghasilan FF per bulan ataupun durasi lainnya. Bulan Mei punya 31 hari. Berarti, di bulan Mei, penghasilan FF per hari mencapai US$1,9 juta (Rp27,1 miliar). Jika ingin lebih detail lagi, dari ekstrapolasi angka tadi, penghasilan Free Fire per detik menyentuh Rp314 ribu.

Lalu berapa penghasilan Garena dari Free Fire per tahun? Kita bisa menggunakan 2 angka tadi untuk mencari perkiraannya. Dalam 1 tahun, ada 4 kuartal (Q1-Q4). Jika penghasilan Free Fire pada Q1 2021 tadi sama persis di 3 kuartal berikutnya, berarti dalam setahun FF bisa mendapatkan Rp14,56 triliun.

Di sisi lainnya, jika kita ingin menghitungnya dari penghasilan per bulannya dan anggap penghasilan FF di bulan Mei 2021 sama persis dengan bulan-bulan lainnya, penghasilan FF per tahun ada di Rp10,12 triliun.

penghasilan free fire per tahun
Tabel penghasilan Free Fire menurut data perkiraan dari Sensor Tower

Penghasilan PUBG vs FF

Meski memang kelihatannya besar, jangan lupa Free Fire masih berada di peringkat keenam. Bagaimana jika kita hitung-hitungan yang sama untuk PUBG Mobile? Penghasilan PUBG Mobile per bulan (Agustus 2021) mencapai US$270 juta. Jika kita berasumsi angkanya masih sama setiap bulannya, PUBG Mobile mendapatkan penghasilan sebesar Rp46,33 triliun dalam setahun (atau Rp1,4 juta per detik). Jadi, penghasilan PUBG Mobile sekitar 3-5 kali lebih besar ketimbang Free Fire.

penghasilan free fire vs pubg mobile
Tabel perbandingan antara penghasilan Free Fire dan PUBG Mobile menurut data dari Sensor Tower

Game Gacha: Antara Judi, Psikologi, dan Pekerti

Harga rata-rata game AAA adalah US$60 atau sekitar Rp850 ribu. Namun, ada game yang bisa membuat para pemainnya rela menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah walau game itu bisa dimainkan secara gratis. Ialah game gacha atau loot box. Sistem randomisasi dalam game gacha bisa membuat para pemainnya menghabiskan banyak uang demi mendapatkan karakter atau sebuah item yang mereka inginkan.

Pertanyannya, apa yang membuat game gacha begitu menarik sehingga ia bisa mendorong para pemainnya menghabiskan banyak uang, terkadang bahkan sampai mengacaukan keuangan mereka?

Game Gacha dan Trik Psikologi yang Digunakan

Sebelum membahas tentang daya tarik game gacha, saya akan membahas tentang pengertian game gacha terlebih dulu. Pada dasarnya, game gacha adalah game yang menggunakan sistem random untuk mendapatkan karakter/item tertentu. Memang, sistem randomisasi adalah bagian penting dari sebuah game. Ada banyak elemen dalam game yang menggunakan sistem acak, mulai dari kemungkinan mendapatkan critical hit, bertemu musuh, sampai world/level generation dalam sejumlah game. Satu hal yang membedakan game gacha/loot box dengan game non-gacha adalah game gacha mengharuskan pemainnya untuk mengeluarkan uang demi mendapatkan kesempatan memiliki karakter/item yang mereka inginkan.

Ketika Anda bermain game MMORPG, kemungkinan karakter Anda melakukan critical hit memang random. Namun, Anda tidak harus mengeluarkan uang untuk memastikan karakter Anda terus melakukan critical hit. Dalam game gacha, jika Anda ingin mendapatkan karakter/item tertentu, Anda harus membeli in-game currency — bisa berupa gems, orbs, bucks, atau mata uang lainnya — hanya untuk meraih kesempatan mendapatkan karakter yang Anda mau. Jadi, yang Anda beli bukanlah karakter/item itu, tapi kesempatan untuk mendapatkan karakter/item tersebut.

Biasanya, semakin langka karakter/item, semakin rendah pula kesempatan untuk mendapatkannya. Kesempatan pemain mendapatkan karakter SSR di game gacha biasanya tidak sampai 1%. Jadi, jangan heran jika ada gamers yang menghabiskan uang hingga puluhan juta rupiah untuk mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan dalam game gacha.

Kebanyakan game gacha bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, sebenarnya, Anda bisa memainkan game itu tanpa harus mengeluarkan uang sama sekali. Namun, pihak developer tentu saja mendesain game mereka sedemikian rupa sehingga pemain akan terdorong untuk menghabiskan uang dalam game untuk melakukan gacha. Salah satu trik psikologi yang developer gunakan untuk mendorong pemain melakukan in-game purchase adalah menggunakan in-game currency, seperti UC Cash di PUBG Mobile atau diamonds di Mobile Legends. Trik ini biasanya tidak hanya digunakan oleh developer game gacha, tapi juga developer dari game-game free-to-play.

Tujuan developer menggunakan in-game currency adalah agar pemain tidak menyadari berapa banyak uang yang dihabiskan untuk mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan. Saya akan memberikan contoh memberikan gambaran menggunakan Genshin Impact. Bukan karena game gacha itu lebih baik/lebih buruk dari game gacha lain, tapi hanya karena Genshin Impact adalah satu-satunya game gacha yang saya mainkan saat ini.

Dalam Genshin Impact, jika Anda ingin melakukan gacha, Anda memerlukan Wish. Anda bisa mendapatkan 1 Wish dengan menukar 160 Primogems. Primogems ini bisa Anda dapatkan dengan melakukan quest dalam game atau membelinya dengan uang. Primogems dijual dalam paket dengan harga yang beragam. Paket paling murah dihargai Rp16 ribu, yang menawarkan 60 Genesis Crystals (yang bisa ditukar dengan Primogems). Paket paling mahal menawarkan 6480 Genesis Crystals (dengan bonus 1600 Crystals) dan dihargai Rp1,6 juta.

Dalam Genshin Impact, setiap 10 Wish, Anda akan mendapatkan setidaknya 1 karakter/senjata bintang 4. Dan setiap 80 Wish, Anda dijamin akan mendapatkan 1 karakter/senjata bintang 5. Jadi, untuk mendapatkan setidaknya 1 karakter bintang 4, Anda harus menghabiskan 1600 Primogems. Jika Anda tidak familier dengan game Genshin Impact, Anda tidak akan tahu berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan untuk mendapatkan Primogems tersebut. FYI, jika Anda ingin mendapatkan setidaknya 1600 Primogems, Anda bisa membeli paket 1980+260 Primogems, yang dihargai Rp479 ribu.

Harga primogems di Genshin Impact.

Anda mungkin rela untuk menghabiskan 1600 Primogems untuk mendapatkan setidaknya 1 karakter/senjata bintang 4. Namun, apakah Anda bersedia untuk mengeluarkan hampir setengah juta hanya untuk mendapatkan 1 karakter/senjata dalam game? To be fair, Anda bisa mendapatkan lebih dari 1 karakter/senjata dalam 10 kali pulls. Tapi, biasanya, Anda hanya akan mendapatkan 2 karakter/senjata.

Menariknya, trik psikologi ini — menggunakan mata uang pengganti — juga digunakan oleh pihak manajemen kasino. Di kasino, Anda tidak bertaruh uang tunai, tapi menggunakan chip. Alasan kasino menggunakan chip sama dengan alasan developer menggunakan in-game currency, yaitu membuat pemain tidak sadar berapa banyak uang yang sudah dihabiskan di meja judi. Hal ini didukung oleh riset yang menyebutkan, konsumen cenderung menghabiskan uang lebih banyak ketika mereka menggunakan kartu debit daripada saat mereka membayar tunai.

Seiring dengan meningkatnya popularitas game online, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Asumsi bahwa gamers adalah orang-orang anti-sosial kini tidak lebih dari sekadar mitos. Dan hal ini juga dimanfaatkan oleh developer game gacha. Saat sedang bermain game gacha, Anda pasti pernah mendapatkan notifikasi ketika teman Anda mendapatkan karakter/item langka. Dan walau tidak semua game gacha mengimplementasikan fitur ini, ada media sosial yang memudahkan gamers untuk memamerkan karakter/item yang mereka punya.

Developer memberikan notifikasi ketika teman Anda mendapatkan karakter/item langka bukan tanpa tujuan. Notifikasi itu bertujuan untuk mengacaukan persepsi Anda tentang kemungkinan untuk mendapatkan karakter/item langka. Melihat pemain lain mendapatkan karakter/item langka bisa membuat Anda berpikir: “Ah, kalau dia bisa dapat, saya juga bisa dapat.” Padahal, kemungkinan Anda mendapatkan satu karakter/item tidak dipengaruhi oleh apakah pemain lain mendapatkan karakter/item tersebut. Jika kesempatan untuk mendapatkan karakter SSR adalah kurang dari 1%, kesempatan itu tidak akan berubah, tidak peduli berapa banyak teman Anda yang memamerkan bahwa mereka telah mendapatkan karakter SSR.

Lagi, trik psikologi ini juga diterapkan di kasino. Kesempatan Anda memenangkan slot machine sebenarnya sangat kecil. Namun, jika ada pelanggan yang berhasil mendapatkan jackpot, mesin akan mengeluarkan suara keras dan cahaya terang, menarik perhatian pengunjung lain. Tujuan dari “perayaan” kemenangan seorang pelanggan ini adalah untuk menunjukkan pada pelanggan lain bahwa mereka juga bisa menang. Dengan begitu, para pelanggan diharapkan akan terus menghabiskan uang walau mereka kalah.

Mesin slot. | Sumber: Wikipedia

Selain dua trik psikologi di atas, pihak manajemen kasino juga menerapkan  beberapa trik psikologi lain. Misalnya, mereka menempatkan ATM di dalam kasino dan menawarkan kamar hotel/makanan gratis bagi orang yang telah menghabiskan uang dalam jumlah tertentu. Dua hal ini dilakukan oleh pihak manajemen dengan tujuan agar para pelanggan tidak keluar dari kasino untuk makan/tidur/mengambil uang. Pihak manajemen kasino juga biasanya tidak memasang jam di dalam kasino serta melapisi kaca jendela dengan kaca film. Tujuannya adalah agar para pelanggan lupa waktu.

Trik-trik psikologi yang digunakan oleh kasino di atas memang tidak digunakan oleh developer game gacha. Sebaliknya, game gacha biasanya punya mekanisme yang membatasi seberapa lama pemain bisa bermain, seperti keterbatasan energi yang bisa pemain gunakan. Namun, pembatasan ini sebenarnya juga trik untuk membuat pemain menghabiskan uang dalam game. Karena, energi di game biasanya bisa dibeli dengan uang.

Ego Depletion merupakan salah satu konsep psikologi yang menjadi basis bagi developer game untuk membuat game gratis yang memiliki in-game purchase. Berdasarkan konsep Ego Depletion, kendali diri merupakan sumber daya mental yang bisa tergerus habis, sama seperti kesabaran. Jadi, saat pertama kali bermain game, Anda mungkin tidak tergoda untuk membeli item sama sekali. Namun, seiring dengan waktu, Anda akan semakin tergoda untuk menghabiskan uang dalam game.

Developer game juga bisa mendorong pemainnya menjadi spender dengan memberikan “fun pain“. Istilah “fun pain” pertama kali digunakan oleh Roger Dickey dari Zynga. Dia menjelaskan, fun pain adalah keadaan ketika pemain menghadapi masalah yang bisa diselesaikan jika dia melakukan in-game purchase, seperti yang disebutkan oleh Huffington Post.

Daya Tarik dan Bahaya Game Gacha 

Ketika Anda mendapatkan karakter/item langka dalam game gacha, otak Anda akan mengeluarkan hormon dopamin, yang juga dikenal dengan hormon kebahagiaan. Satu hal yang harus diingat, otak manusia tidak hanya terpicu untuk mengeluarkan hormon dopamin ketika Anda mendapatkan karakter/item yang Anda inginkan, tapi juga ketika Anda mengantisipasi karakter/item yang akan Anda dapatkan, yaitu ketika Anda melakukan gacha/membuka loot box.

Dalam psikologi, ada konsep yang disebut dengan intermittent rewards. Berdasarkan konsep tersebut, Anda bisa membentuk kebiasaan seseorang dengan memberikan hadiah ketika dia melakukan hal yang Anda inginkan. Hanya saja, Anda memberikan hadiah dalam interval acak. Misalnya, developer game gacha ingin mendorong pemainnya menghabiskan uang di game. Mereka bisa memberikan “hadiah” — berupa karakter/item langka — secara random pada pemain. Masalahnya, sistem pemberian hadiah yang random ini justru bisa membuat otak kita menjadi lebih merasa senang.

Sistem random adalah bagian dari game. | Sumber: Nerdist

“Model judi yang paling menggoda adalah model judi yang menawarkan hadiah secara acak,” kata Frank Lantz, game designer dan juga dosen, pada Polygon. Dia menjelaskan, berdasarkan konsep intermittent rewards,  semakin random hadiah yang bisa seseorang dapatkan, maka hal ini justru akan membuatnya semakin tergoda untuk mendapatkan hadiah tersebut. Alasannya, otak tetap merilis dopamin bahkan ketika kita belum tahu apakah kita akan mendapatkan hadiah atau tidak.

“Setiap game gacha didasarkan pada konsep intermittent reward. Prinsip ini tidak akan berjalan jika Anda bisa menebak kapan Anda akan mendapatkan hadiah,” ujar Lantz. “Jika hadiah yang diberikan sudah bisa diprediksi, perasaan excitement yang kita rasakan justru berkurang.”

Dengan kata lain, ketidakpastian akan karakter/item apa yang akan Anda dapatkan dalam game gacha justru membuat Anda merasa lebih senang. Apalagi karena dalam game gacha, karakter/item langka yang Anda dapat pun random. Jadi, Anda mungkin saja mendapatkan karakter/item langka, tapi belum tentu karakter/item langkah itu sesuai harapan Anda.

“Dopamin dirilis ketika kita mendapatkan sesuatu atau saat kita berharap untuk mendapatkan sesuatu, misalnya saat kita membuka loot box,” kata Luke Clark, Head of Gaming Research Arm, University of British Columbia, seperti dikutip dari IGN. Tak hanya itu, tingkat rarity dari karakter/item juga bisa meningkatkan jumlah dopamin yang dikeluarkan oleh otak.

Ketidaktahuan akan karakter/item yang akan didapat dari game gacha justru memicu dopamin.

“Tampaknya, banyak gamers yang membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika mereka mendapatkan item atau karakter tertentu. Kecenderungan ini sama seperti orang yang membeli lotre. Mereka juga membayangkan apa yang akan mereka beli jika mereka menang,” kata Clark.

Ketidakpastian akan karakter/item yang akan kita dapatkan memang bisa membuat otak merilis dopamin. Namun, hal itu tidak menghentikan rasa kecewa ketika kita tidak mendapatkan karakter/item yang kita inginkan. Dan  menurut Clark, rasa kecewa itu bisa mendorong para pemain game gacha untuk menghabiskan uang lebih banyak, demi bisa mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan.

Kebanyakan — jika tidak semua — game premium punya akhir yang jelas. Game akan tamat setelah Anda melakukan semua tugas yang harus Anda lakukan. Lain halnya dengan game gacha. Biasanya, game gacha tidak punya akhir yang jelas. Developer game gacha biasanya akan merilis update secara berkala, menambah konten yang tersedia, berupa karakter/item baru. Jadi, para pemain game gacha akan selalu terancam akan perasaan Fear of Missing Out (FOMO). Hal ini diperparah dengan keberadaan media sosial.

Mengingat bermain game sudah menjadi kegiatan sosial, semakin banyak gamers yang memamerkan pencapaian mereka di media sosial. Saat bermain game gacha, “pencapaian” itu biasanya berupa keberuntungan untuk mendapatkan karakter/item terbaru. Jika tidak kuat iman, pemain game gacha yang iri dan cemburu bisa menghabiskan uang mereka hanya demi bisa pansos di media sosial.

Game gacha bisa membuat para pemainnya menghabiskan uang tanpa sadar. YouTuber Michael “Mtashed” Tash pernah menghabiskan US$2 ribu untuk mendapatkan Klee di Genshin Impact. Dia mengaku menyesal karena menghabiskan uang sebanyak itu demi karakter yang menurutnya tidak sekuat harapannya.

YouTuber lain, Tectone, juga merupakan salah satu “whale” alias sultan di game gacha. Dia mengaku, dia pernah menghabiskan semua uangnya di game gacha. Dikabarkan, kebiasaan buruknya itu pernah membuatnya kehilangan tempat tinggal. Sekarang, dia mengaku sudah berubah. Tectone mengungkap, sekarang, dia membuat konten akan berapa banyak uang yang dia habiskan dalam game gacha sebagai “pembelajaran”. Tujuannya adalah agar penontonnya bisa menjadi lebih bijak dalam menghabiskan uang di gacha game.

“Saya rasa, akan lebih mudah bagi orang-orang untuk tidak melakukan gacha ketika mereka tahu betapa tidak berguna dan berbahayanya melakukan hal itu,” kata Tectone pada Polygon. “Saya rasa, kalau penonton saya melihat saya menghabiskan sekitar US$600 sampai US$700 untuk mendapatkan Klee, mereka tidak akan berpikir, ‘Oh, hanya US$600-700? Saya siap untuk menghabiskan uang sebanyak itu.’ Saya pikir, mereka akan berpikir, ‘Kenapa orang ini begitu bodoh untuk menghabiskan uangnya hanya demi cewek anime?’ Benar, kan? Menurut saya, hal itulah yang akan terjadi.”

Regulasi Game Gacha

Mekanisme randomisasi di game gacha serupa dengan judi. Selain itu, game gacha juga berpotensi membuat pemainnya menghabiskan uang tanpa kendali. Pemerintah dari beberapa negara menyadari bahaya dari game gacha dan memutuskan untuk membuat regulasi terkait game gacha/loot box.

Salah satu negara yang memiliki regulasi terkait game gacha adalah Belgia. Pemerintah negara Eropa itu melarang game yang menggunakan mekanisme gacha atau loot box sepenuhnya. Jadi, jika perusahaan game ingin meluncurkan game mereka di Belgia, mereka harus memastikan bahwa game itu bebas dari mekanisme loot box/gacha. Dan jika perusahaan game gagal memenuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah, mereka bisa dikenakan denda hingga EUR600 ribu (sekitar Rp10 miliar). Tak hanya itu, pihak publisher juga bisa terkena hukuman penjara hingga 5 tahun, menurut laporan BBC.

Negara lain yang pemerintahnya menunjukkan perhatian akan game gacha adalah Belanda. Pada April 2018, Netherlands Gaming Authority mengadakan studi akan 10 game. Dari studi itu, mereka menemukan, 4 game melanggar hukum judi di Belanda. Jika sebuah perusahaan ingin menggunakan mekanisme gacha/loot box dalam game mereka, mereka harus mendapatkan lisensi dari pemerintah. Sayangnya, lisensi itu tidak bisa diberikan pada perusahaan game. Jadi, secara tidak langsung, game gacha/loot box dilarang di Belanda.

Game dengan sistem loot box telah dilarang di beberapa negara. | Sumber: BBC

Tiongkok adalah negara lain yang punya regulasi terkait loot box dan gacha. Pada 2016, pemerintah Tiongkok mengeluarkan regulasi yang mengharuskan perusahaan game untuk menyebutkan persentase kemungkinan untuk mendapatkan karakter/item dalam game. Sebelum itu, perusahaan game telah diminta untuk memberitahu karakter/item apa yang bisa pemain dapatkan dari sebuah loot box/gacha.

Seiring dengan berjalannya waktu, Beijing juga terus memperketat regulasi terkait loot box. Sekarang, perusahaan harus memberikan gambaran berapa banyak loot box/pull yang harus pemain beli untuk bisa mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan. Menurut ScreenRant, pemerintah Tiongkok juga membatasi berapa banyak loot boxes yang bisa pemain beli dalam sehari.

Gacha dari Sudut Pandang Perusahaan Game

Bagi pemain, game gacha memang berisiko. Namun, bagi perusahaan game, model bisnis gacha justru merupakan peluang. Buktinya, walau model monetisasi gacha pada awalnya hanya populer di kalangan developer dari Asia, beberapa tahun belakangan, developer dari Amerika dan Eropa pun mulai menggunakan sistem gacha/loot box. Bukti lainnya, ketika pemasukan divisi mobile Nintendo akhirnya menembus US$1 miliar, kontribusi terbesar datang dari Fire Emblem: Heroes, yang merupakan game gacha.

Kita juga bisa membandingkan pemasukan yang didapat miHoYo dari Genshin Impact dengan pemasukan Nintendo dari Legend of Zelda: Breath of the Wild. Ketika pertama kali diluncurkan, Genshin Impact menuai kontroversi, karena dianggap sebagai imitasi dari Breath of the Wild. Namun, dari Genshin Impact, miHoYo berhasil mendapatkan pemasukan yang jauh lebih besar. Menurut laporan Sensor Tower, hanya dalam waktu 5 bulan, Genshin Impact berhasil mendapatkan US$874 juta dari App Store dan Google Play. Dan angka itu tidak termasuk pemasukan miHoYo dari pemain Genshin Impact di konsol dan PC.

Keuntungan yang didapat miHoYo dari masing-masing banner. | Sumber: Sensor Tower

Sebagai perbandingan, per Oktober 2020, jumlah unit Breath of the Wild yang terjual adalah sekitar 20 juta unit. Mengingat harga dari game itu dipatok pada US$60, maka total pemasukan dari Breath of the Wild adalah US$1,2 miliar. Untuk mendapatkan pemasukan tersebut, Breath of the Wild — yang diluncurkan pada Maret 2017 — membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun. To be fair, game Zelda itu hanya diluncurkan di dua konsol, yaitu Wii U dan Nintendo Switch.

Salah satu contoh game gacha paling sukses adalah Fate/Grand Order. Game itu bahkan masuk dalam daftar 10 game dengan pemasukan terbesar. Sejak diluncurkan pada 2015, FGO berhasil mendapatkan total pemasukan sebesar US$4 miliar pada Januari 2020. Memang, game-game yang masuk dalam daftar 10 game dengan pemasukan terbanyak tidak berisi game gacha/loot box. Namun, biasanya, game-game di daftar itu menyertakan elemen gacha. Misalnya, PUBG Mobile. Di PUBG Mobile, Anda memang tidak harus membuka loot box demi mendapatkan karakter/senjata yang unggul. Hanya saja, game itu tetap menerapkan elemen gacha untuk mendapatkan kostum/skin.

Kesimpulan

Pada 1981, perusahaan gas dan minyak asal Amerika Serikat, Exxon membayar peneliti kelas dunia untuk mempelajari efek dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bumi, seperti yang disebutkan oleh BBC. Dari studi itu, diketahui bahwa jika kita terus menggunakan BBM tanpa henti, suhu Bumi akan meningkat dengan signifikan, yang akan menyebabkan perubahan iklim dan membuat kehidupan kita menjadi semakin sulit.

Namun, Exxon tidak mengungkap temuan mereka ke masyarakat umum. Sebaliknya, CEO perusahaan ketika itu justru mengatakan bahwa belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kegiatan manusia mempengaruhi iklim Bumi. Tak berhenti sampai di situ, Exxon bahkan sengaja membuat orang-orang meragukan temuan ilmuwan akan dampak penggunaan BBM pada iklim Bumi.

Apa yang Exxon lakukan memang tindakan tidak bermoral. Tapi, mereka melakukan hal itu untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan. Dan tujuan perusahaan memang mendapatkan untung. Saya tidak membenarkan tindakan Exxon, tapi dari keputusan mereka, kita bisa tahu bahwa perusahaan akan mementingkan keuntungan di atas segalanya.

Jadi, selama model monetisasi gacha menguntungkan, perusahaan game akan tetap menggunakan sistem itu. Tergantung pada di negara mana Anda tinggal, Anda mungkin bisa mengharapkan pemerintah untuk membuat regulasi tentang game gacha, memaksa perusahaan game untuk tidak mengeksploitasi pemain mereka habis-habisan. Tapi, tidak ada salahnya jika kita juga belajar untuk lebih waspada akan bahaya game gacha. Bukan berarti saya melarang Anda memainkan game gacha. Hanya saja, sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam menghabiskan uang di game gacha.

Sumber header: Sensor Tower

Comparing the Olympics With Esports Tournaments: Which One Is More Profitable?

In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.

The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.

Preparation of the Olympics

Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics

In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.

As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.

As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.

This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.

As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.

Preparation of Esports Events

Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.

Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.

Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.

“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”

“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.

When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.

“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”

According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament: 

  1. Venues and mandatories
  2. Hard production and soft production
  3. Property
  4. Production equipment
  5. Hospitality
  6. Talents
  7. Internet and communication
  8. Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks

Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.

LAN Events. | Source: ESL Gaming

Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.

“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”

In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.

“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.

“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.

LOL Worlds 2020 will be held in Shanghai. | Source: LOL Esports

How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.

Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.

“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”

However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.

“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”

Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.

On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.

“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.

Olympic Viewership Trends and Esports Competitions

Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media. 

Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.

In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.

Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:

Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%

Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%

Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%

Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%

Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%

As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.

NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.

Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds. 

I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.

Watch hours, peak viewers, and average viewership numbers of TI and LOL Worlds. | Source: Esports Charts]

As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.

You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.

Viewership statistics of LOL Worlds 2020. | Source: Esports Charts
Viewership statistics of The International 2019. | Source: Esports Charts

Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.

Profitability

Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.

The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.

Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.

During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.

The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.

Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.

Olympic’s revenue from licensing. | Source: Statista

Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.

 

Olympic’s revenue from marketing. | Source: Statista

Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD. 

Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.

More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.

Athletes village in Turin. | Source: Olympics

Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words

In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.

“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”

The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.

So, are esports tournaments profitable?

In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports. 

When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”

In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”

BOOM Esports when they won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.

“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”

Conclusion

Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.

In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Data Penonton DPC 2021 di Eropa, Tiongkok, CIS, Asia Tenggara, dan Amerika

Pada awal 2021, Valve merombak format Dota Pro Circuit. Salah satu perubahan yang Valve lakukan adalah mengurangi jumlah kompetisi Major yang diadakan. Sekarang, dalam satu tahun, hanya ada dua turnamen Major yang digelar. Tim yang maju ke turnamen Major ditentukan berdasarkan performa mereka di Regional Leagues, yang diadakan sebagai pengganti kompetisi Minor.

Dalam satu kompetisi Major, akan ada 18 tim yang bertanding. Berikut pembagian slot dari masing-masing kawasan:

Eropa – 4 slot
Tiongkok – 4 slot
Asia Tenggara – 3 slot
Commonwealth of Independent States (CIS) – 3 slot
Amerika Utara – 2 slot
Amerika Selatan – 2 slot

DPC 2021 diakhiri dengan digelarnya WePlay AniMajor pada Juni 2021. Menurut Esports Charts, walau format baru DPC ini menuai kritik dari para atlet esports, ia berhasil meningkatkan viewership dari DPC 2021. Berikut data lengkap mengenai viewership dari DPC 2021.

Viewership di Asia Tenggara dan Tiongkok

Untuk kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok, DPC Season 2 lebih sukses daripada Season 1. Hal ini terlihat dari pertumbuhan viewership pada Season 2. Namun, besar pertumbuhan viewership dari DPC 2021 pada Season 2 tidak terlalu signifikan.

DPC 2021 Season 1 untuk kawasan Asia Tenggara berhasil mendapatkan total hours watched sebanyak empat juta jam. Pada Season 2, angka ini naik menjadi 4,6 juta jam. Dari segi jumlah average viewers, pada Season 1, jumlah penonton rata-rata DPC di Asia Tenggara mencapai 42 ribu penonton. Dan pada Season 2, jumlah penonton rata-rata naik sedikit menjadi 48,9 ribu orang. Kabar baik bagi Indonesia, BOOM Esports masuk dalam daftar lima tim esports terpopuler di DPC Season 1 dan Season 2 untuk Asia Tenggara.

Lima tim terpopuler dari DPC 2021 Season 2. | Sumber: Esports Charts

Di Tiongkok, DPC 2021 Season 1 berhasil mendapatkan 2,4 juta jam hours watched dan 75,6 ribu peak viewers. Pada Season 2, total hours watched dari DPC Tiongkok naik menjadi 2,7 juta jam dan jumlah peak viewers naik menjadi 78,4 ribu orang. Secara umum, viewership DPC Asia Tenggara lebih tinggi daripada DPC Tiongkok. Meskipun begitu, ada satu pengecualian.

Statistik viewership DPC 2021 Tiongkok dan SEA. | Sumber: Esports Charts

Viewership DPC Tiongkok berhasil mengalahkan viewership dari DPC Asia Tenggara satu kali, yaitu pada Season 2 minggu ke-5. Ketika itu, jumlah hours watched dari DPC Tiongkok melampaui jumlah hours watched dari DPC Asia Tenggara. DPC Tiongkok berhasil mendapatkan total hours watched sebanyak 613 ribu jam, sementara DPC Asia Tenggara hanya 472 ribu jam. Kemungkinan, hal itu terjadi karena pada minggu ini, tim-tim Tiongkok tengah bertanding dengan satu sama lain.

Viewership di Eropa dan CIS

Jika dibandingkan dengan empat region lainnya, kawasan Eropa dan Commonwealth of Independent States (CIS) memiliki penonton paling banyak. Buktinya, jumlah hours watched dari DPC 2021 di Eropa untuk Season 1 dan 2 mencapai 23,5 juta jam. Sementara di CIS, total hours watched dari dua musim DPC 2021 mencapai 11,1 juta jam.

Secara keseluruhan, Season 2 dari DPC 2021 untuk kawasan Eropa dan CIS juga lebih baik daripada Season 1. Pada Season 1 minggu pertama, jumlah peak viewers di kawasan Eropa hanya mencapai 175 ribu orang dan di CIS hanya 100 ribu orang. Pada Season 2 minggu pertama, angka ini naik menjadi 233 ribu orang untuk kawasan Eropa dan menjadi 130 ribu orang untuk kawasan CIS.

Menariknya, seiring dengan berjalannya DPC 2021 Season 2, jumlah penonton justru semakin bertambah. Untuk kawasan Eropa, Season 2 minggu ke-6, jumlah peak viewers mencapai 320 ribu orang, naik 37% dari jumlah peak viewers pada minggu pertama. Sementara di CIS, jumlah peak viewers pada minggu ke-5 naik 24%, menjadi 162 ribu orang. Namun, pada minggu ke-6, jumlah peak viewers untuk DPC 2021 CIS kembali turun, menjadi 128 ribu orang.

Statistik viewership DPC 2021 Eropa dan CIS. | Sumber: Esports Charts

Dari segi hours watched, DPC Season 2 juga lebih sukses daripadam usim pertama. Di Eropa, total hours watched dari DPC 2021 Season 1 hanya mencapai 9,8 juta. Sementara pada Season 2, angka itu naik menjadi 13,7 juta jam. Hal yang sama juga terjadi di CIS. Jumlah hours watched dari DPC 2021 Season 2 untuk kawasan CIS mencapai 5,6 juta jam, sedikit lebih banyak daripada total hours watched pada Season 1, yang hanya mencapai 5,5 juta jam.

Tren hours watched untuk DPC 2021 di Eropa dan CIS berkebalikan dengan tren peak viewers. Jika jumlah penonton rata-rata justru naik seiring dengan berjalannya pertandingan, tren hours watched justru menurun. Pada Season 1 minggu pertama, jumlah hours watched dari DPC 2021 Eropa mencapai 2 juta jam. Namun, pada akhir musim, jumlah hours watched justru turun menjadi 1,4 juta jam. Hal ini juga terjadi di CIS. Pada akhir musim pertama, total hours watched dari DPC 2021 CIS hanya 654 ribu jam, turun dari 705 ribu jam pada awal musim.

Viewership di Amerika Utara dan Amerika Selatan

Pada DPC 2021, kawasan Amerika terbagi menjadi Amerika Utara dan Amerika Selatan. Menurut Esports Charts, secara umum, viewership untuk DPC 2021 Season 2 di Amerika Selatan lebih baik daripada Season 1. Namun, di Amerika Utara, viewership pada Season 2 justru mengalami penurunan. Pada Season 2, jumlah hours watched dari DPC Amerika Utara hanya mencapai 1,8 juta jam, turun dari 2,1 juta jam pada Season 1.

Statistik viewership DPC 2021 untuk Amerika Utara dan Selatan. | Sumber: Esports Charts

Sementara itu, pada DPC 2021 Season 1, viewership untuk kawasan Amerika Selatan jauh lebih rendah dari Amerika Utara. Namun, pada musim kedua, viewership dari Amerika Selatan mulai menyamai Amerika Utara. Pada Season 2, total hours watched dari DPC 2021 Amerika Selatan mencapai 2 juta jam. Sementara jika digabungkan dengan Season 1, total hours watched dari DPC 2021 untuk kawasan Amerika Selatan mencapai 3,85 juta jam.

Tim Esports Terpopuler di DPC 2021

Selain mengumpulkan data tentang viewership dari DPC 2021, Esports Charts juga mengumpulkan informasi tentang tim-tim Dota 2 yang paling banyak ditonton. Dua metrik yang digunakan oleh Esports Charts adalah hours watched dan average viewers. Berdasarkan dua tolok ukur itu, tim paling populer di DPC 2021 adalah Nigma. Tim tersebut berhasil mendapatkan total hours watched sebanyak 18 juta jam. Sementara jumlah penonton rata-rata dari tim yang dipimpin oleh Kuro Salehi Takhasomi alias KuroKy mencapai 182 ribu orang. Pada puncaknya, ada 497 ribu orang yang menonton Nigma.

Lima tim terpopuler di DPC 2021 berdasarkan hours watched. | Sumber: Esports Charts

Posisi tim terpopuler kedua diduduki oleh Evil Geniuses. Tim asal Amerika Utara ini adalah satu-satunya tim yang bisa menyaingi popularitas Nigma. Sepanjang DPC 2021, EG berhasil mendapatkan 16,9 juta jam hours watched dan 176 ribu average viewers. Jumlah peak viewers dari EG bahkan lebih besar dari Nigma, mencapai 645 ribu orang. Dari segi hours watched, tim terpopuler ketiga adalah PSG.LGD (13,9 juta jam hours watched), diikuti oleh Team Secret (12,2 juta jam hours watched), dan Vici Gaming (12,1 juta jam hours watched).

Lima tim terpopuler di DPC 2021 berdasarkan average viewers. | Sumber: Esports Charts

Jika kita menggunakan average viewers sebagai tolok ukur, Nigma masih menjadi tim paling populer, dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 182,2 ribu orang. Posisi kedua juga masih ditempati oleh Evil Geniuses, yang memiliki jumlah penonton rata-rata sebanyak 176,3 ribu orang. Sementara posisi ketiga, keempat dan kelima agak berubah. Team Secret ada di posisi ketiga, dengan average viewers sebanyak 172,2 ribu orang, sementara OG, yang memiliki average viewers sebanyak 160,5 ribu, ada di posisi ke-4, dan Virtus.pro ada di posisi ke-5 dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 144,6 ribu orang.

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Esports Charts

Data Penonton MPL Indonesia Season 8 Sampai di Pekan Kedua

MPL Indonesia (ID) Season 8 sudah merampungkan pekan keduanya. Anda bisa membaca rekapnya di artikel berbeda yang sudah kami tuliskan sebelumnya. Kali ini, saya lebih ingin berbagi data-data tentang penonton MPL Indonesia Season 8 sampai di pekan kedua. Semua data yang saya dapatkan kali ini dihimpun dari fitur Pro milik Esports Charts.

Pertama, Peak Viewers MPL ID S8 mencapai 1,031 juta penonton yang terjadi di pekan pertama saat pertarungan RRQ melawan Alter Ego. Pertandingan kedua yang paling ramai ditonton terjadi pada minggu kedua saat RRQ bertemu dengan ONIC Esports dengan 950 ribu penonton. Di posisi ketiga, pertandingan RRQ kembali menjadi yang terlaris. Namun, uniknya, lawan RRQ kali ini adalah Geek Fam. Anda dapat melihat 5 pertandingan yang paling banyak ditonton dari screenshot yang saya ambil di Esports Charts berikut ini.

Image credit: Esports Charts

Dari gambar di atas, Anda juga dapat melihat jika RRQ Hoshi menjadi tim yang paling populer sampai di pekan kedua ini, baik dalam hal Average Viewers ataupun Hours Watched.

Uniknya, Alter Ego ternyata lebih ramai ditonton ketimbang EVOS Esports. Meski kelihatannya fans EVOS lebih banyak di dunia maya. Di posisi keempat dan kelima, Bigetron ternyata berhasil mengalahkan ONIC Esports.

Selain Peak Viewers, sampai dengan pekan kedua, MPL ID S8 sudah ditonton selama 11,4 juta jam (Hours Watched).

Image credit: Esports Charts Pro

Terakhir, ada juga data yang disortir dari bahasa tayangan ataupun platformnya. Dari segi bahasa, tidak heran jika penonton tayangan bahasa Indonesia jauh mengungguli tayangan berbahasa Inggris.

Sedangkan dari sisi platform siaran, YouTube masih menjadi platform terlaris. Namun menariknya, penonton di NimoTV sudah lebih banyak ketimbang penonton di Facebook dengan selisih angka yang sangat besar.

Image credit: Esports Charts Pro

Harusnya, angka-angka tadi masih akan terus bertambah tinggi nantinya. Karena, pertandingan di babak Playoff biasanya lebih populer ketimbang Regular Season. Namun begitu, apakah nantinya jumlah penonton MPL ID S8 bisa mengalahkan musim sebelumnya? Apakah RRQ juga bisa jadi tim paling populer kali ini, setelah sebelumnya EVOS yang memegang predikat tersebut di S7?

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Niko Partners: Kebanyakan Gamers di Asia Tenggara Suka Game Multiplayer

Saat ini, jumlah gamers di dunia diperkirakan telah mencapai 2,7 miliar orang. Mengingat banyaknya jumlah gamers, jangan heran jika masing-masing gamer punya preferensi masing-masing. Bahkan gamer-gamer di Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok — tiga negara yang berdekatan dengan satu sama lain dari sisi geografis — punya kebiasaan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui kebiasaan gamers di Indonesia dan Asia Tenggara, Hybrid.co.id menghubungi Niko Partners. Berikut informasi yang kami dapatkan.

Preferensi Gamers di Asia Tenggara

Di Asia Tenggara dan Taiwan, jumlah gamers mencapai 381 juta orang. Menurut data dari Niko Partners, lebih dari 60% gamers di Asia Tenggara merupakan mobile gamers. Sekitar 35% gamers bermain di PC dan kurang dari 10% gamers bermain di konsol. Sementara itu, menilik dari model bisnis game, kebanyakan gamers di Asia Tenggara memainkan game free-to-play.

“Untuk game-game populer, kebanyakan gamers bermain multiplayer, walau hal ini juga tergantung pada genre game,” kata Director for Southeast Asia Research, Niko Partner, Darang S. Candra saat dihubungi melalui email. “Genre kasual biasanya banyak dimainkan oleh single player, sementara genre core seperti shooters, battle royale, MOBA, dan MMORPG, game-game ini dimainkan secara multiplayer.” Lebih lanjut, Darang mengungkap, sekitar 30% gamers di Asia Tenggara senang untuk memainkan game RPG, 30% lainnya game esports (seperti MOBA, shooters, dan battle royale), 15% bermain game strategi, dan 25% sisanya senang memainkan game dari genre lain, seperti kasual atau puzzle.

Genre favorit para gamers di Asia Tenggara. | Sumber data: Niko Partners

Ketika ditanya tentang fitur apa yang paling digemari oleh gamers di Asia Tenggara, Darang menjawab, “Secara umum, fitur yang diminati gamers di Asia Tenggara adalah fitur yang dapat membentuk komunitas dan game secara sosial. Guild dan chat merupakan dua contoh fitur yang populer.”

Sama seperti Indonesia, kebanyakan gamers di Asia Tenggara tidak punya kartu kredit. Karena itu, tidak banyak gamers yang menggunakan kartu kredit untuk melakukan transaksi dalam game. Berdasarkan data dari Niko Partners, sebagian besar gamers di Asia Tenggara melakukan pembayaran untuk transaksi di game melalui pulsa. Metode lain yang sering digunakan adalah membeli voucher fisik atau menggunakan e-money.

Genre Favorit Gamers Asia

Pada Maret 2021, Statista merilis laporan tentang tipe game favorit dari para gamers di delapan negara. Dari delapan negara itu, lima di antaranya merupakan negara Asia, yaitu Indonesia, Vietnam, India, Korea Selatan, dan Tiongkok. Sementara dari segi genre, ada enam genre yang Statista amati, yaitu casual single player, casual multiplayer, FPS, single player RPG, MOBA, MMORPG, dan battle royale.

Di Indonesia, tipe game yang paling digemari adalah casual single player game. Sebanyak 87% gamers Indonesia mengaku senang dengan tipe game tersebut. Tipe game terpopuler kedua adalah battle royale, yang menjadi genre favorit dari 74,6% responden, dan posisi ketiga ditempati oleh FPS, yang mendapatkan suara dari 74,4% responden. Jika dibandingkan dengan genre lainnya, single player RPG kurang populer di kalangan gamers Indonesia. Hanya 66,4% responden Indonesia yang mengaku senang dengan tipe game tersebut. Untuk lebih jelasnya, Anda bisa melihat tipe game favorit gamers Indonesia pada grafik di bawah.

Tipe game favorit di Indonesia dan Vietnam. | Sumber data: Statista

Preferensi gamers Vietnam tampaknya tidak jauh berbeda dengan gamers di Indonesia. Buktinya, casual single player game juga menjadi tipe game yang paling populer di kalangan gamers Vietnam. Sama seperti Indonesia, single player RPG menjadi game yang paling tidak diminati. Meskipun begitu, di Vietnam, jumlah gamers yang menyukai dua tipe game tersebut masih lebih tinggi dari Indonesia. Di Vietnam, jumlah gamers yang menyukai casual single player game mencapai 92,6% dan persentase gamers yang menyukai single player RPG mencapai 84%.

Sekarang, mari kita beralih ke Tiongkok dan Korea Selatan. Budaya gaming di kedua negara itu punya satu kesamaan. Gamers di Tiongkok dan Korea Selatan sama-sama menganggap bahwa bermain game merupakan kegiatan sosial. Selain itu, gamers di kedua negara itu juga cukup kompetitif. Hal ini tercermin dari jumlah atlet esports yang muncul dari Korea Selatan dan Tiongkok. Menariknnya, baik di Korea Selatan maupun Tiongkok, casual single player games tetaplah menjadi tipe game yang paling digemari. Kami juga pernah menuliskan lebih detail tentang perbedaan dan persamaan antara pasar gaming di Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Persentase gamers yang menyukai berbagai tipe game. | Sumber data: Statista

Sementara itu, tipe game yang paling populer kedua di Tiongkok adalah MOBA.  Di Korea Selatan, posisi tipe game terpopuler kedua ditempati oleh FPS. Sama seperti Indonesia dan Vietnam, gamers Tiongkok kurang menyukai tipe game single player RPG. Buktinya, jumlah penggemar single player RPG paling sedikit jika dibandingkan dengan tipe game lainnya. Lain halnya dengan Korea Selatan. Di negara itu, MMORPG adalah tipe game yang penggemarnya paling sedikit, diikuti battle royale.

Selera gamers India menyerupai gamers Korea Selatan. Di negara itu, casual single player games masih menjadi tipe game yang paling populer. Sebanyak 93,8% gamers mengungkap bahwa casual single player games merupakan tipe game favorit mereka. Sementara posisi kedua diisi oleh FPS, yang menjadi tipe game favorit dari 89,8% responden di India. Sama seperti Korea Selatan, MMORPG menjadi tipe game dengan jumlah fans paling sedikit. Di India, hanya 77,8% gamers yang menyukai tipe game MMORPG.

Genre Favorit dari Gamers di Negara Barat

Di benua Amerika dan Eropa, Statista hanya melakukan survei pada gamers dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Di ketiga negara itu, casual single player games merupakan tipe game dengan jumlah penggemar paling banyak. Di AS, jumlah fans casual single player games mencapai 85,2%. Angka ini naik menjadi 88,4% di Inggris, dan turun menjadi 83% di Jerman.

Baik di AS dan Inggris, casual multiplayer games menjadi tipe game favorit kedua. Hanya saja, jumlah gamers yang menyukai tipe game itu jauh lebih sedikit daripada casual single player gamers. Jumlah responden AS yang mengaku senang memainkan casual multiplayer games hanya mencapai 66,4%. Sementara di Inggris, angka ini turun menjadi 62,4%. Di Jerman, tipe game terpopuler kedua adalah FPS. Sebanyak 62,8% gamers Jerman mengaku senang memainkan tipe game itu.

Tipe game favorit dari gamers di Jerman, Inggris, dan AS. | Sumber data: Statista

Berbanding terbalik dengan Tiongkok, di AS, MOBA menjadi tipe game yang paling tidak disukai. Hanya 46,4% gamers AS yang menyukai tipe game MOBA. Begitu juga dengan gamers Inggris. Jumlah penggemar game MOBA di Inggris tidak jauh berbeda dengan jumlah pecinta MOBA di AS, yaitu 46,6%. Di Jerman, tipe game yang paling tidak diminati adalah MMORPG. Hanya 51,2% gamers yang mengungkap bahwa mereka senang memainkan game itu. Namun, MOBA juga kurang populer. Jumlah gamers Jerman yang menyukai game MOBA hanya mencapai 51,4%, menjadikan MOBA sebagai tipe game paling tidak diminati kedua.

Niko Partners: Esports dan Metaverse Jadi Pembicaraan Hangat di ChinaJoy 2021

Tiongkok telah mulai pulih dari pandemi virus corona. Karena itu, event offline, seperti China Digital Entertainment Expo & Conference alias ChinaJoy, sudah bisa digelar. Bertema Create Dreams with Technology and Win the Future with Fun, ChinaJoy diadakan pada 30 Juli-2 Agustus 2021. Walau event offline sudah bisa diadakan, penyelenggara ChinaJoy memutuskan untuk memperketat protokol kesehatan karena munculnya kasus varian delta di Nanjing dan Yangzhou.

Menurut laporan Niko Partners, sehari sebelum ChinaJoy diadakan, pengunjung dan perusahaan exhibitor dikabarkan bahwa mereka harus memberikan bukti tes negatif COVID-19 dalam satu minggu terakhir. Tak berhenti sampai di situ, pada pukul 3 pagi, pihak penyelenggara membuat pengumuman baru: hasil tes COVID-19 hanya berlaku jika tes dilakukan dalam 48 jam terakhir. Karena pengetatan protokol kesehatan ini, ada beberapa acara dari ChinaJoy yang harus dibatalkan. Penjualan tiket pun menurun. Orang-orang yang sudah terlanjur membeli tiket tapi tidak bisa menunjukkan bukti tes negatif COVID-19 diperbolehkan untuk melakukan refund.

Perusahaan-Perusahaan yang Hadir di ChinaJoy

ChinaJoy dihadiri oleh lebih dari 500 perusahaan sebagai exhibitor. Produk yang dipamerkan ratusan perusahaan itu beragam, mulai dari hardware, game, sampai solusi cloud gaming. Dari ratusan perusahaan yang hadir di ChinaJoy, sekitar 30% merupakan perusahaan dari luar Tiongkok. Beberapa perusahaan itu antara lain, Sony, Ubisoft, Banda Namco, dan DeNA.

Di ChinaJoy, Ubisoft memperkenalkan Rabbids: Adventure Party di booth mereka. Game tersebut memasukkan elemen cerita Journey to the West pada franchise Rabbids. Game itu diluncurkan secara eksklusif di Tiongkok untuk Nintendo Switch. Sementara itu, Sony memamerkan konsol baru mereka, PlayStation 5, di booth mereka. Di sana para pengunjung juga bisa memainkan demo dari Tales of Arise dan Dynasty Warriors 9: Empires. Selain itu, mereka juga bisa mencoba versi konsol dari Naraka Bladepoint. 

Pada ChinaJoy tahun ini, Sony membuat booth yang jauh lebih besar dari tahun -tahun sebelumnya. Keputusan Sony itu menjadi salah satu bukti bahwa pada tahun 2021, perusahaan-perusahaan game PC dan konsol menjadi semakin serius untuk menarik hati pengunjung ChinaJoy. Meskipun begitu, mobile game tetaplah mendominasi ChinaJoy pada tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain untuk memamerkan game atau konsol baru, ChinaJoy juga digunakan oleh para perusahaan game untuk mengumumkan rencana mereka di masa depan.

Misalnya, Riot Games — yang ada di bawah Tencent — mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di Shanghai. Untuk itu, mereka akan merekrut ratusan pegawai baru. Studio Riot di Shanghai akan bertugas untuk mengembangkan game berdasarkan IP lama dan baru Riot. Dengan membuat studio di Shanghai, Riot berharap, mereka akan bisa lebih fokus untuk memenuhi keinginan gamers Tiongkok. Riot bukan perusahaan game pertama yang melakukan hal itu. Sebelum ini, Supercell dan Garena juga telah membuat markas baru di Shanghai. Hal ini tidak aneh, mengingat Tiongkok memang merupakan pasar game terbesar di dunia.

Di ChinaJoy, perusahaan-perusahaan game asal Tiongkok — seperti Tencent, NetEase, dan miHoYo — juga menunjukkan game-game baru mereka. Dari semua game yang dipamerkan di ChinaJoy, ada cukup banyak game yang masuk dalam kategori anime/comic/games/novels (ACGN). Selain itu, juga ada cukup banyak game yang ditujukan untuk gamers perempuan. Hal ini menjadi bukti lain bahwa sekarang, semakin banyak perempuan yang senang bermain game.

Sementara itu, perusahaan induk TikTok, ByteDance memutuskan untuk fokus menampilkan merek Ohayoo, yang mengkhususkan diri pada game kasual, di ChinaJoy. Namun, Nuverse — merek ByteDance yang fokus pada core gaming — justru tidak menampakkan batang hidungnya. Padahal, belum lama ini, mereka telah mengakuisisi Moonton Games, kreator Mobile Legends, dan C4 Games.

Di ChinaJoy, ByteDance fokus pada merek Ohayoo mereka.Pada tahun 2021, developer dan publisher game bukan satu-satunya perusahaan yang membuka booth di ChinaJoy. Dalam event itu, kini juga tersedia area eksibisi baru untuk menampilkan teknologi VR/AR, Sci-Fi Con, Digital Human AI, dan koleksi model figur. Selain itu, keberadaan perusahaan esports dan live streaming pun semakin terasa. Hal ini terlihat dari booth perusahaan-perusahaan itu yang semakin besar. Bahkan, perusahaan-perusahaan otomotif juga membuka booth di ChinaJoy. Salah satu contohnya adalah BYD. Alasan mereka membuka booth di ChinaJoy adalah karena mereka bekerja sama dengan sejumlah IP game populer untuk memperkenalkan mobil terbaru mereka.

Empat Topik Populer di ChinaJoy

Dalam ChinaJoy, ada empat kategori yang menjadi topik pembicaraan hangat, yaitu esports, cloud gaming, metaverse, dan rencana kreator game Tiongkok untuk melakukan ekspansi global.

Pada awalnya, ChinaJoy akan mengadakan 200 pertandingan esports secara live. Hanya saja, karena pihak penyelenggara harus mengetatkan protokol kesehatan secara mendadak, sebagian besar pertandingan esports di ChinaJoy harus ditiadakan. Kabar baiknya, para publisher game esports — seperti Tencent dengan Honor of Kings atau NetEase dengan Overwatch — masih tetap bisa memamerkan game-game mereka.

Tidak heran jika esports menjadi salah satu kategori yang populer di ChinaJoy. Menurut laporan 2021 Esports in Asia dari Niko Partners, Tiongkok memiliki 400 juta fans esports, menjadikannya sebagai pasar esports terbesar di dunia. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga cukup mendukung industri esports. Salah satu hal yang Beijing lakukan adalah mengakui esports sebagai profesi resmi. Sementara itu, di tingkat provinsi, pemerintah Shangkai menyatakan rencana mereka untuk menjadikan kotanya sebagai ibukota esports di dunia.

Pemasukan dan jumlah penonton esports di Asia. | Sumber: Niko Partners

Selain publisher game, perusahaan-perusahaan live streaming dan platform video singkat juga ikut berkontribusi untuk meramaikan segmen esports dalam ChinaJoy. Bahkan JD.com, perusahaan e-commerce asal Tiongkok, pun punya andil. Di ChinaJoy, mereka membuat booth seluas 3.000 meter kuadrat untuk mempromosikan produk-produk terkait esports, seperti aksesori PC. Memang, selama ini, JD.com cukup aktif di dunia esports. Buktinya, mereka punya tim yang berlaga di Honor of Kings dan League of Legends.

Kategori lain yang menjadi sorotan di ChinaJoy adalah cloud gaming. Saat ini, segmen cloud gaming tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah. Meskipun begitu, kebanyakan platform gaming yang tersedia di Tiongkok saat ini masih dalam tahap percobaan. Biasanya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di teknologi cloud gaming menjadikan ChinaJoy sebagai tempat untuk mengumumkan update terbaru. Contohnya, divisi Migu milik China Mobile — perusahaan telekomunikasi Tiongkok — memutuskan untuk bekerja sama dengan Kingsoft Cloud dan Xiaomi untuk mencari cara baru dalam mendistribusikan cloud game via jaringan 5G.

Cloud Gaming jadi salah satu topik yang dibahas di China Joy. | Sumber: Niko Partners

Selain cloud gaming dan esports, hal lain yang menjadi topik pembicaraan di ChinaJoy adalah metaverse. Saat ini, metaverse diartikan sebagai penggabungan dunia nyata dengan dunia virtual atau augmented secara online. Di tingkat global, ada beberapa perusahaan game dan teknologi besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse. Sebut saja Epic Games, Roblox, Facebook, dan Microsoft. Empat perusahaan itu telah mengungkap bahwa mereka ingin mengembangkan metaverse. Jadi, tidak heran jika Tencent, publisher game terbesar di dunia, juga tertarik dengan metaverse.

Vice President, Tencent, Liu Ming mengungkap bahwa Tencent percaya, dengan teknologi yang ada saat ini, mereka akan bisa membuat hyper digital reality, menggabungkan dunia nyata dan digital. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan teknologi milik Epic Games, yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh Tencent. Selain itu, Tencent juga telah mengadakan kerja sama strategis dengan Roblox Corp. Dalam 10 tahun ke depan, Tencent berencana untuk membuat sekitar 8-10 game yang menggunakan konsep metaverse.

Terakhir, topik yang diangkat di ChinaJoy adalah rencana kreator game Tiongkok untuk melebarkan sayapnya ke luar negeri. Rencana ini didorong oleh kesuksesan game-game buatan Tiongkok, seperti Genshin Impact dan AfK Arena, di pasar luar Tiongkok. Dalam ChinaJoy International Game Business Conference, beberapa juru bicara perusahaan game menyebutkan, dua hal yang membuat mereka sukses di pasar luar Tiongkok adalah game yang berkualitas serta tim pelokalan yang baik.

Sejauh ini, kebanyakan game Tiongkok yang sukses di luar negara itu adalah mobile game. Meskipun begitu, game-game konsol dan PC buatan developer Tiongkok juga mulai diminati oleh gamers global. Biasanya, game-game tersebut dibuat oleh developer kecil atau sedang.