foodpanda Indonesia Resmi Tutup Layanan

Sempat ditawarkan untuk dijual senilai kurang dari $1 juta dan tampaknya tidak berhasil, foodpanda Indonesia akhirnya resmi menutup layanannya. foodpanda mengumumkan hari ini, 3 Oktober 2016 jam 22.00, adalah hari terakhir mereka menerima layanan. Semua perjanjian kerja sama yang telah dijalin dengan para mitra bisnisnya akan diputuskan saat itu juga.

Menurut notifikasi penutupan yang ditandatangani langsung oleh Managing Director foodpanda Indonesia Victor Delannoy, penutupan layanannya akan berupa penutupan situs dan aplikasi mobile, pemutusan kerja sama dengan semua mitra restoran, dan penutusan perjanjian dengan semua mitra pemasaran.

Surat resmi penutupan foodpanda Indonesia
Surat resmi penutupan foodpanda Indonesia

foodpanda Indonesia sendiri berdiri sejak tahun 2012 dan sempat berjaya sebelum masuknya generasi baru layanan on-demand yang kini didominasi Go-Jek dan Grab. foodpanda kini tak berdaya menghadapi armada transportasi yang puluhan, bahkan ratusan ribu, jumlahnya dan mampu menjangkau jauh lebih banyak mitra secara agresif.

foodpanda sendiri, yang didukung Rocket Internet, mengalihkan perhatiannya ke pasar Eropa Timur dan Timur Tengah yang memberikan traksi dan keuntungan bagi perusahaan. Sebelumnya mereka juga telah menutup layanan di Vietnam tahun lalu.

Tak mampu bertahan

Survei kecil-kecilan yang dilakukan DailySocial tepat kemarin menunjukkan tidak berdayanya layanan pesan antar terdedikasi generasi awal, seperti foodpanda dan Klik-eat, menghadapi terjangan layanan on-demand.

foodpanda yang didesain khusus hanya untuk mitra dan melayani pengantaran jarak dekat, untuk menjaga kualitas, tak bisa bersaing melawan armada yang berbekal kantong plastik biasa dan tidak menggunakan kotak penyimpanan khusus selama perjalanan.

Kami sempat membahas tentang bagaimana pemahaman terhadap bisnis lokal membantu Go-Food (dan GrabFood) membentuk pasar pengantaran makanan di Indonesia dan foodpanda terlambat mengantisipasinya.

Penutupan foodpanda tidak akan berpengaruh banyak terhadap industri. Kekosongannya akan cepat digantikan oleh pemimpin pasar. Pesaing awalnya, Klik-eat sejauh ini masih bertahan, meskipun aplikasinya sudah tidak diperbarui sejak akhir tahun 2014.

Terima kasih foodpanda telah membuka jalan bagi hadirnya layanan pesan antar makanan yang telah menjadi bagian budaya masyarakat kota besar Indonesia hari ini.

Pelajaran yang Bisa Diambil dari Kasus Pengurangan Karyawan di Berrybenka dan Sale Stock Indonesia

Menjalankan sebuah bisnis tentu banyak tantangan dan hambatan. Salah satu syarat sebuah bisnis bisa tetap bertahan, berjalan, dan menghasilkan keuntungan adalah mampu menghadapi tantangan dan juga hambatan. Tidak mudah memang, perlu sebuah keputusan yang benar dan ditimbang secara matang, juga sedikit keberuntungan. Demikian juga di dalam sebuah startup. Selalu banyak tantangan dan hambatan yang dilalui. Seperti kabar terbaru dari Sale Stock Indonesia dan Berrybenka yang terpaksa merumahkan beberapa karyawannya. Alasannya jelas. Ada hal yang lebih prioritas dan urgent bagi bisnis yang memaksa terjadinya pengurangan karyawan.

Sebenarnya, dalam operasonal bisnis, pengurangan karyawan bukan hal yang aneh. Terlebih bagi startup yang notabene merupakan bisnis rintisan. Namun keputusan pengurangan karyawan dengan jumlah yang lumayan banyak (40 orang untuk Berrybenka dan 200-an untuk Sale Stock) meninggalkan sebuah pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada kedua bisnis startup tersebut?

Dapat disimpulkan bahwa keadaan kedua bisnis ini sebenarnya baik-baik saja, belum sampai taraf menuju kebangkrutan. Hanya saja ada prioritas yang sedang mereka kejar. Sale Stock, meski merumahkan ratusan karyawan, masih tetap melakukan hiring untuk posisi developer.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa disimpulkan. Pertama mereka belum berhasil mendapatkan pendanaan lanjutan sehingga harus menentukan prioritas sumberdaya yang dibutuhkan dan mengurangi burn rate. Kedua, investor mungkin sudah mulai mendorong mereka untuk menuju bisnis yang menghasilkan profit, misalnya dengan penggunaan layanan pelanggan in-house atau lebih banyak mengembangkan private label yang bisa mengoptimalkan margin. Dengan budget operasional yang sudah di-set di awal, mau tidak mau ada hal (sejumlah pegawai dengan skill set tertentu) yang terpaksa “dikorbankan”.

Berrybenka memang belum banyak membuka lowongan pekerjaan baru. Hanya beberapa untuk posisi internship marketing dan leader quality control, tapi apa yang dilakukan Sale Stock dengan membuka lowongan pekerjaan untuk developer menunjukkan fokus inovasinya.

Apa yang terjadi di kedua startup ini menjadi semacam pengingat bagi startup lainnya. Harus ada alokasi yang diperhitungkan dengan matang mengingat startup yang masih berkembang membutuhkan alokasi dana yang benar-benar pas untuk menghindari hal mubazir. Sebagai startup berbasis teknologi, bisa dibilang satu-satunya posisi yang relatif aman adalah para engineer.

Jika sebuah startup mulai merumahkan engineer-nya, itu berarti antara mereka sudah berhenti berinovasi atau sudah di ambang kematian.


Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Penutupan Jade dan Terhentinya Coral, Tanda Persaingan Industri E-commerce Indonesia Semakin Ketat

Vertikal startup paling riuh persaingannya di Indonesia adalah e-commerce. Sejak pertama kali hype startup terdengar di Indonesia, sektor ini seolah tidak kehabisan peminat. Banyak sekali model-model startup e-commerce bermunculan, baik dengan konsep yang serupa maupun yang berbeda. Tak jarang perusahaan besar turut masuk ke industri ini dengan alasan mengembangkan bisnisnya ke arah digital.

Salah satu imbas ketatnya persaingan e-commerce adalah banyak startup yang layu, tutup bahkan sebelum dikenal masyarakat. Tahun ini, Jade, sebuah layanan e-commerce yang kabarnya siap memanaskan persaingan industri e-commerce di Indonesia dengan konsep anggota premium mengumumkan penutupan layanannya dalam waktu yang tidak ditentukan. Belum jelas apa yang sedang terjadi, sejauh ini pihak Jade belum bisa dikonfirmasi.

Selain itu ada juga Coral, sebuah layanan mobile marketplace yang mencoba memanfaatkan tren sosial dan mobile ke dalam pengalaman belanja. Bersaing dengan sejumlah pemain seperti Lyke, Shopee, dan Carousell, beberapa waktu ini situs Coral tidak dapat diakses dan aplikasi Coral sudah ditarik dari Google Play. Kami berusaha menghubungi pihak Coral untuk memastikan hal ini. Ada yang mengabarkan bahwa Coral saat ini sedang melakukan rebranding untuk layanannya, meski belum terkonfirmasi.

Dua layanan tersebut melengkapi jajaran startup e-commerce yang menghentikan layanannya di Indonesia tahun ini. Sebelumnya sudah ada Ensogo dan Rakuten yang menutup semua layanannya di Asia Tenggara. PinkEmma, yang sebelumnya juga menimbulkan tanda tanya, tampaknya sudah kembali beroperasi.

Menghentikan layanan kadang menjadi pilihan terbaik

Dalam setiap keputusan penutupan pasti ada isu-isu yang melatarbelakanginya. Entah itu kehabisan modal, tidak bisa bersaing dengan pemain yang ada, hingga sedang mempersiapkan turn over bisnis ke bentuk, pasar, atau pengguna yang lebih potensial. Demikian juga pertanyaan yang menghinggap soal Jade dan Coral. Keduanya masih belum berumur 6 bulan sejak peluncuran.

Industri e-commerce di Indonesia sekarang semakin ketat dan keras. Ketat untuk menggambarkan begitu sesaknya industri ini dan keras untuk menggambarkan siapa pun harus bersiap untuk gulung tikar atau diakuisisi.  Jika sokongan dana tidak begitu besar, sulit untuk bisa bersaing dengan pemain yang sudah ada. Yang ada malah layu sebelum berkembang, ecuali jika memposisikan diri sebagai niche player.

Jika menengok pemain e-commerce di Indonesia yang masih bertahan macam Lazada, Bukalapak, Tokopedia, Mataharimall, Alfacart, Blanja, Bhinneka, dan lain-lain, mereka memiliki dukungan modal yang sangat besar untuk bisa terus berinovasi dan mempromosikan dirinya ke masyarakat. Dengan belum ada “pemenang” di sektor ini, bahan bakar pendanaan investor menjadi hal yang krusial. Mereka yang kehabisan bensin, bakal berhenti di tengah jalan.


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Situs Panduan Restoran OpenRice Tutup Kantor Perwakilannya di Indonesia

Beredar kabar situs panduan restoran OpenRice telah menutup kantor perwakilannya di Indonesia sejak bulan Mei 2016 silam. Selanjutnya operasional layanan yang telah hadir dari tahun 2010 di Indonesia ini langsung diambil alih kantor pusat OpenRice yang berbasis di Hong Kong.

Dari pantauan DailySocial, hingga bulan Juli lalu kegiatan pertemuan dengan pecinta kuliner di restoran yang direkomendasikan, atau yang disebut juga dengan OpenRice Gathering, masih dilakukan tim OpenRice yang tampaknya masih memiliki beberapa karyawan perwakilan yang tersisa.

Kami mendengar sejumlah karyawan terpaksa dirumahkan karena penutupan kantor perwakilan ini. Hingga kini pihak OpenRice Indonesia enggan mengkonfirmasi dan memberikan klarifikasi terkait dengan penutupan kantor perwakilan OpenRice Indonesia, sementara DailySocial masih menunggu konfirmasi dari pihak kantor pusat OpenRice.

OpenRice Indonesia yang resmi hadir di Indonesia pada tahun 2010 silam, merupakan salah satu situs panduan restoran dan ulasan restoran pertama di Indonesia. Jauh sebelum hadirnya Zomato, Qraved, Pergikuliner, hingga Foody di Indonesia.

Kehadiran OpenRice sebagai situs terpercaya untuk rekomendasi restoran dan ulasan diperkuat dengan diluncurkannya OpenSnap pada tahun 2014, sebagai aplikasi mobile sosial berupa album foto pribadi tentang makanan dan restoran favorit pengguna yang bisa dibagikan secara umum.

Untuk mencapai target jumlah unduhan OpenSnap sebanyak empat juta unduhan, pada tahun 2014 lalu telah dialokasikan dana sekitar Rp 6.5 miliar untuk keperluan promosi ke delapan negara yang disasar. Hal tersebut membuktikan keseriusan OpenRice untuk menjadi situs panduan dan ulasan restoran unggulan di Indonesia.

Kerasnya persaingan layanan restoran listing di Indonesia

Salah satu penyebab ditutupnya OpenRice Indonesia bisa makin banyaknya layanan serupa, baik buatan lokal hingga asing, yang mengguncang industri restaurant listing di Indonesia. Zomato dengan kekuatan penuh resmi hadir di Indonesia November 2013 lalu menawarkan rekomendasi restoran dilengkapi dengan ulasan melalui situs dan aplikasi. Secara rutin Zomato yang diperkuat dengan teknologi terkini dan berbasis di India, kerap memperbarui tampilan situs, aplikasi yang bukan saja memudahkan pengguna untuk mengakses, namun juga menawarkan layanan lebih kepada pihak restoran.

Selain Zomato layanan lain yang juga turut meramaikan industri restaurant listing di Indonesia adalah Qraved dan Abraresto. Saat ini Qraved telah bertransformasi dari situs untuk layanan reservasi restoran, menjadi situs dan aplikasi rekomendasi restoran dilengkapi ulasan dari pengguna, dengan senjata unggulannya yaitu Qraved Journal, yang merupakan rangkuman artikel menarik untuk pecinta kuliner di Indonesia. Sementara itu Abraresto yang juga hadir pada tahun 2013 sebagai layanan rekomendasi dan reservasi restoran, terpaksa harus berhenti beroperasi karena gagal mendapatkan putaran pendanaan lanjutan.

Inovasi, pembaruan dan ciri khas merupakan kunci keberhasilan yang nampaknya mulai terlihat dari layanan seperti Zomato, Qraved hingga yang paling baru dan masih berusia satu tahun yaitu Foody. Situs dan aplikasi restaurant listing berbasis di Vietnam ini berencana untuk meluncurkan layanan on-demand delivery food service, yang terbilang cukup ideal dengan tren dan kebiasaan dari masyarakat di Indonesia.

Apakah nantinya Zomato, Qraved, Foody dan Pergikuliner pemain di layanan serupa bisa menunjukkan kelebihan masing-masing dan tentunya bisa bertahan di Indonesia?, kita lihat saja kiprah dari layanan rekomendasi dan ulasan restoran yang saat ini masih eksis di Indonesia.

Ensogo Tutup Semua Lini Bisnis di Asia Tenggara

Dilansir dari beberapa pemberitaan hari ini Ensogo mengumumkan untuk penutupan bisnis di pasar Asia Tenggara berbarengan dengan pengunduran diri CEO mereka, Kris Marszalek. Tahun yang berat bagi Ensogo setelah dalam beberapa bulan terakhir mengalami kemerosotan nilai saham, direksi yang mengundurkan diri dan separuh dari staf diberhentikan.

Dikutip dari e27 pihak Ensogo mengungkapkan unit bisnis Asia Tenggara akan ditutup, semua staf sudah mendapatkan informasi ini dan komunikasi dengan pelanggan akan dilalukan dalam beberapa hari ke depan.

Kami masih berusaha menghubungi pihak Ensogo Indonesia untuk mendapatkan informasi lebih jauh mengenai kabar ini.

Ensogo adalah layanan e-commerce asing kedua yang hengkang dari kawasan Asia Tenggara tahun ini. Di bulan Februari, Rakuten telah menutup layanannya di Indonesia, Singapura, dan Malaysia karena tidak mampu bersaing. Ensogo bisa dibilang menghadapi nasib yang sama.

Ensogo dahulu sempat berjaya ketika masih bernama DealKeren dan sempat diakuisisi raksasa daily deals LivingSocial. Jatuhnya bisnis daily deals secara global membuat bisnis LivingSocial di Indonesia dilepas ke iBuy Group di bulan April 2014 dan kemudian kembali menggunakan entitas Ensogo.

Sebenarnya dari segi inovasi Ensogo masih sempat mencoba peruntungan di mobile commerce. Di awal Maret silam Ensogo sempat meluncurkan mobile marketplace, dan peluncuran tersebut disebut berhasil mendongkrak transaksi Ensogo. Dengan alasan untuk menjaga kas perusahaan dan memberikan peluang untuk kesempatan investasi baru, Ensogo menyatakan sudah tidak akan memberikan dukungan ke anak perusahaan flash sale dan unit bisnis marketplace di Asia Tenggara.

Layanan Asisten Virtual Diana Saat Ini Hentikan Layanan

Diana, layanan asisten virtual yang digarap tim di balik Sribu dan Sribulancer, menghentikan layanan. Di halaman situsnya, mereka menjanjikan suatu hal yang baru, persis seperti layanan e-commerce fashion PinkEmma yang saat ini sedang mati suri. Secara total, Diana hanya beroperasi selama 7 bulan sejak perkenalannya awal September tahun lalu. Sribu dan Sribulancer, di sisi lain, tetap beroperasi seperti biasa.

Sinyalemen penghentian layanan Diana sudah kami dengar setidaknya sebulan terakhir. Secara berangsur-angsur Diana mengurangi jam operasionalnya, menghentikan ketersediaan aplikasinya di Google Play, dan kabarnya mengurangi jumlah pegawai.

Hingga saat ini kami masih belum mendapatkan konfirmasi resmi dari Pendiri Diana Ryan Gondokusumo terkait penutupan layanan ini, tapi rumor on the street menyebutkan mereka tidak berhasil mendapatkan investasi eksternal untuk mendanai kebutuhan operasional. Ryan sendiri selain memimpin Diana juga memimpin dua startup lain di bidang marketplace jasa, Sribu dan Sribulancer.

Hal berkebalikan malah dialami kompetitornya, YesBoss. YesBoss sudah memperoleh pendanaan terbaru, Pra-Seri A, di antaranya dari MDI Ventures, dan telah mengakuisisi layanan serupa di Filipina, HeyKuya.

Diana dan YesBoss menyasar konsumen yang membutuhkan bantuan, untuk urusan apapun. Dibantu layanan seperti ini, konsumen dapat memesan tiket pesawat, memesan makanan dan minuman, reservasi tempat dan restoran, cek dan pesan barang, booking paket tur, pesan tiket (bioskop, kereta, konser, event, musikal) dan kebutuhan jasa lainnya via SMS. Bahkan dalam kondisi sibuk sekalipun.

Kami tidak memperoleh informasi berapa banyak percakapan yang ditangani Diana, tetapi YesBoss mengklaim telah menangani lebih dari 800 ribu percakapan sejak berdiri bulan Juni 2015.

Coworking Space Comma Akhirnya Ditutup

Sekitar tiga tahun yang lalu, saya ingat menjadi salah satu yang perdana meliput coworking space pertama di Jakarta, Comma. Didirikan oleh Ario Pratomo, Dondi Hananto, Michael Tampi, Yoris Sebastian, Rene Suhardono, dan Dodong Cahyono, Comma yang berlokasi di pinggir jalan Wolter Monginsidi bisa dibilang cukup strategis bagi siapapun, termasuk penggiat startup, freelancer, desainer, untuk singgah dan menikmati bekerja bersama yang lebih “intim”. Sebelumnya mereka-mereka ini bekerja di kedai kopi yang belum tentu menyediakan koneksi Internet yang memadai atau colokan listrik yang cukup. Hari ini Comma mengumumkan penutupan layanannya, meskipun secara resmi baru tutup per 31 Maret mendatang.

Comma tak cuma sekedar coworking space. Tempat ini juga beberapa kali menjadi tuan rumah berbagai event startup.

Menurut pernyataan resminya, Comma mengaku tak mampu meraih profit untuk mempertahankan bisnis yang berkelanjutan. Mereka menyebutkan urusan penyewaan ruangan dan pembangunan jalan baru yang tepat berada di depan Comma menjadi tantangan bagi mereka mempertahankan operasional Comma hingga setelah beberapa bulan melakukan eksperimen, mereka memutuskan untuk menutup coworking space ini.

Pendiri Comma menyatakan kepada DailySocial untuk saat ini mereka tidak dalam posisi berinisiatif mencoba membuka coworking space lagi di tempat lain.

Buat kami, Comma tidak akan disebut sebagai “kegagalan”. Comma berhasil membangun budaya bekerja bersama hingga saat ini menjamur berbagai coworking space di berbagai pelosok Jakarta, bahkan sampai di kota-kota lain. Sejalan dengan itu, bermunculan kolaborasi dalam bentuk startup yang hadir di dalam sebuah coworking space. Gugurnya Comma akan melahirkan coworking space dan kolaborasi yang lebih banyak lagi.

Terima kasih Comma.

Ada Apa dengan PinkEmma?

Mengarungi samudera e-commerce Indonesia sejak tahun 2012, layanan e-commerce fashion perempuan PinkEmma terlihat tidak lagi aktif beroperasi dan baru-baru ini mengganti halaman depannya dengan halaman “under renovation“. Dengan tidak lagi menerima order sejak Januari dan kanal media sosialnya tak lagi aktif sejak akhir Desember, ada apa dengan PinkEmma? Apakah mereka menjadi korban “keganasan” persaingan di segmen e-commerce berikutnya?

Menyasar segmen fashion perempuan, PinkEmma sempat menjadi primadona di kalangannya. Namun memasuki tahun keempat bisnisnya, tim kami justru menemukan bahwa kanal media sosial utama PinkEmma seperti Facebook, Twitter, dan Instagram-nya tak lagi aktif sebagai mana biasanya. Pembaruan terkini dilakukan pada bulan Desember 2015 silam, sedangkan pertanyaan soal order yang belum dikirim tidak lagi dijawab.

Di bulan Januari, meskipun masih menampilkan katalog berbagai produk, tak ada lagi tombol untuk melakukan pemesanan. Kini, halaman depan diganti dengan status “under renovation” tersebut.

4

Persaingan di segmen fashion perempuan memang sangat ketat. PinkEmma bersaing dengan Zalora, 8Wood, BerryBenka, Hijabenka, HijUp, dan masih banyak lainnya. Hadir pula layanan khusus mobile marketplace, seperti Shopee, Lyke, dan terakhir Coral yang membuat kondisi semakin pelik.

[Baca juga: Produk Fashion adalah Segmen yang Paling Sering Dibeli Pembelanja Online Jabodetabek]

Keriuhan seperti ini yang akhirnya membuat Moxy dan Bilna melakukan merger, dan mengubah entitas menjadi Orami, supaya tetap relevan di segmen ini.

Survei Telkomsel MSight di bulan Agustus 2015 menunjukkan produk fashion (khususnya fashion perempuan) adalah segmen paling populer di kalangan online shopper di kawasan Jabodetabek, diikuti gadget & produk elektronik dan kegiatan travel (hotel dan tiket pesawat).

Lantas, apakah PinkEmma akan tutup dan tak lagi mewarnai dinamika industri e-commerce Tanah Air? Berdasarkan keterangan yang DailySocial peroleh dari Co-Founder PinkEmma Winda Rezita, PinkEmma memastikan telah menutup kantor layanannya di Jakarta dan memusatkan operasionalnya kembali ke Bandung, tempat kebanyakan produknya dibuat, tetapi Winda tidak menjelaskan lebih jauh kapan PinkEmma akan kembali beroperasi dan inovasi seperti apa yang ingin dihadirkan.

Dalam tiga bulan terakhir, sudah ada beberapa layanan e-commerce yang menutup layanan, diakuisisi, atau merger untuk tetap relevan. Konsolidasi jelas tak terelakkan di vertikal ini. Semoga PinkEmma tidak mengikuti jejak Rakuten yang baru saja menutup operasional layanannya di Indonesia.

Inovasi atau pivot apa yang bakal dilakukan PinkEmma? Apakah mereka masih bisa bangkit dengan kreasi baru di tengah-tengah persaingan di segmen ini? Kita tunggu saja pembaruan berikutnya.


Michael Erlangga berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Rakuten Tutup Rakuten Belanja Online di Indonesia (UPDATED)

Rakuten dalam laporan keuangan tahun buku 2015 mengumumkan transformasi bisnis e-commerce dengan wujud Vision 2020. Selain target pencapaian finansial lima tahun mendatang, mereka melakukan fokus ulang terhadap bisnis yang dimiliki, dengan menutup layanan di pasar yang mereka tidak menjadi pemimpin di kawasan Asia Tenggara, yaitu Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Rakuten tetap memiliki kantor regional di Singapura sembari mencari cara lain untuk bertumbuh di pasar Asia Tenggara.

Penutupan Rakuten Belanja Online (RBO), yang berdiri sejak tahun 2011, tidaklah mengejutkan. Selain konflik internal dengan partnernya, raksasa media MNC Group, yang berujung perpisahan bisnis, secara bisnis mereka tidak mampu bersaing di kawasan Asia Tenggara melawan Lazada dan layanan lokal lainnya.

Dibanding Rocket Internet, yang belakangan hadir, RBO bisa dibilang kurang memahami pasar lokal dan terlalu banyak berpegang pada prinsip-prinsip negeri asalnya. Meskipun banyak modifikasi telah dilakukan seiring perjalanan bisnisnya di sini, RBO tetap tak mampu menyandingkan namanya sejajar dengan Lazada, Tokopedia, atau Bukalapak.

Selain bisnis marketplace, Rakuten juga membuka Rakuten University di Indonesia yang memberikan program dukungan bagi usaha kecil dan menengah untuk bisa masuk ke ranah e-commerce.

Rakuten menyatakan akan fokus ke pasar domestik Jepang, Taiwan, kawasan Asia Timur, dan bisnisnya di Amerika Serikat melalui Ebates.

Kami masih menunggu konfirmasi apakah penutupan ini bersifat immediate effect atau ada waktu tenggangnya, terutama berkaitan dengan proses transaksi yang telah terjadi dan bagaimana mereka mengatur segala urusan yang masih tersisa dengan konsumen dan merchant.

Update: Kami mendapat konfirmasi penutupan RBO dilakukan per 1 Maret 2016

Application Information Will Show Up Here

5 Startup Lokal Yang Menutup Layanan Di Tahun 2015

Banyak hal yang terjadi di ekosistem startup nasional per tahun 2015 ini. Dari cerita pendanaan, lahirnya startup baru, hingga bisnis startup yang berkembang pesat dan banyak diramalkan akan segera menyandang gelar unicorn. Namun di balik itu semua, tahun 2015 ini juga menjadi tahun terakhir untuk beroperasi bagi beberapa startup lokal yang sempat mematangkan bisnisnya di Indonesia.

Dari data yang kami catat, setidaknya ada lima startup lokal yang memutuskan untuk menutup layanan di tahun ini. Mereka adalah:

Handymantis

Startup penyedia jasa kurir serba bisa ini didirikan oleh Ahmad Fathi Hadi. Hampir tiga tahun beroperasi, HandyMantis sering kali diadu dengan layanan ride-sharing Go-Jek. Sebelumnya tahun ini HandyMantis berencana meluncurkan aplikasi mobile untuk memperluas jangkauan layanannya. Sempat terpuruk, manajemen bersigap dengan melakukan pembenahan manajemen internal.

Namun upaya yang ditempuh untuk mempertahankan operasional tak berujung pada membaiknya bisnis HandyMantis. Terhitung per tanggal 18 September 2015, startup ini menghentikan dan menutup layanan bisnis yang sudah dijalankan.

Inapay

Inapay merupakan penyedia layanan escrow (rekening bersama) yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi pembayaran saat melakukan jual-beli online. Konsep yang digunakan mirip dengan jasa Rekening Bersama (RekBer) yang kerap dijadikan metode pembayaran di forum jual beli atau situs marketplace.

Di bawah nanungan PT Indonesia Payment Solution selama hampir empat tahun beroperasi InaPay berhasil membukukan 29.466 transaksi dari 25 ribu pengguna layanan. Sempat melakukan pembaruan layanan untuk, terutama dari fitur dan sistem keamanan, bisnis InaPay justru terpuruk. Dan per 25 Januari 2015 InaPay memutuskan untuk tidak lagi beroperasi.

Lamido

Di bawah naungan Rocket Internet, layanan online marketplace Lamido diluncurkan pada akhir 2013. Dalam operasinya, sub-produk dari situs e-commerce Lazada ini berhasil merangkul lebih dari 2.500 merchant. Sempat beroperasi dengan 50 anggota tim, startup yang dipimpin oleh Johan Antlov dan Giacomo Ficari ini memilih untuk menutup layanannya per bulan Maret lalu. Secara bertahap, Lamido telah melebur tim dan rekanan merchant bergabung ke dalam bagian dari Lazada Indonesia.

Sejak diluncurkan, Lamido bertekad untuk mampu bersaing dengan beberapa pemain yang sudah ada, seperti Tokopedia dan Berniaga (dulu sebelum bergabung dalam naungan OLX Indonesia), Tokopedia dan Bukalapak. Namun persaingan yang ketat membuat manajemen memilih untuk memperkuat layanan e-commerce Lazada sehingga tetap fokus dalam bermanuver di lanskap online yang semakin panas.

Paraplou (Vela Asia)

Meluncur sebagai e-commerce pioner di Indonesia (didirikan Januari 2011) yang memfokuskan pada produk fashion, Paraplou mengklaim sebagai situs fashion terbesar ketiga di Indonesia. Startup yang dipimpin oleh mantan punggawa Rocket Internet Bede Moore dan Susie Sugden ini sempat mendapatkan pendanaan Seri A sebesar $1,5 juta dari Majuven.

Namun per 24 Oktober 2015 startup yang sebelumnya bernama Vela Asia ini memutuskan untuk menutup layanannya. Dalam salam perpisahannya, Paraplou mengungkapkan bahwa faktor persaingan pasar, finansial internal dan sulitnya mendapatkan sokongan dana menjadi alasan utama penutupan operasionalnya.

Valadoo

Layanan travel online yang menawarkan berbagai paket wisata perjalanan ini berdiri di penghujung tahun 2010. Sempat mendapatkan investasi dari Wego bersamaan dengan pivot layanan, Valadoo mampu bertumbuh baik tatkala penyedia jasa sejenis masih sepi di kancah online. Di bulan Agustus 2014 pihaknya melakukan merger dengan Burufly, namun nyatanya bisnis Valadoo tetap saja keteteran. Pada akhirnya per 30 April 2015 Valadoo resmi menutup layanannya.

Salah satu aspek yang diungkapkan Jaka Wiradisuria, CEO dan Co-Founder Valadoo, bisnisnya yang tidak bertahan karena arah yang tidak jelas dari awal, terkait dengan model bisnis yang tidak matang. Perbedaan kultur dan ekspektasi pasca merger juga menjadikan proposisi bisnis tergoncang, termasuk dari sisi penggunaan teknologi pendukung. Saat ini Jaka memutuskan untuk bergabung dengan Ruma setelah memastikan karyawan Valadoo tidak terlantar pasca penutupan perusahaan.