VIDA Luncurkan “Identity Stack”, Bantu Bisnis Cegah Penipuan Identitas Berbasis Deepfake

VIDA, penyedia solusi identitas dan keamanan digital, secara resmi meluncurkan VIDA Identity Stack. Ini adalah layanan komprehensif yang dirancang untuk mengatasi ancaman penipuan identitas digital, terutama yang menggunakan teknologi deepfake dan AI. Peluncuran ini dilakukan dalam acara “VIDA Executive Summit 2024” yang dihadiri oleh berbagai pakar dan pemimpin industri digital, termasuk ahli keamanan siber dunia, Mikko Hyppönen.

Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman penipuan digital di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, terutama serangan yang memanfaatkan deepfake, pengambilalihan akun, dan rekayasa sosial. VIDA Identity Stack hadir sebagai jawaban atas meningkatnya ancaman ini, menawarkan solusi pencegahan penipuan dengan tingkat keberhasilan hingga 99,9%. Solusi ini mencakup berbagai fitur seperti verifikasi identitas, autentikasi pengguna, dan deteksi penipuan digital yang didukung oleh teknologi AI canggih.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Nezar Patria, yang turut hadir dalam acara tersebut, menekankan pentingnya solusi keamanan digital untuk menjaga kepercayaan dalam transaksi online. “Dengan meningkatnya jumlah serangan siber di Indonesia, penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi seperti yang disediakan oleh VIDA menjadi krusial untuk menjamin identitas dan integritas dalam sistem elektronik,” ujar Nezar.

Fitur utama Identity Stack

VIDA Identity Stack menghadirkan beberapa fitur utama, antara lain:

  • Identity Verification: Mengkonfirmasi keaslian dokumen dan identitas secara real-time, mencegah penipuan melalui gambar atau video palsu.
  • User Authentication: Memastikan keamanan akses melalui otentikasi berbasis ponsel dan pengenalan wajah.
  • Fraud Detection: Menggunakan AI dan machine learning untuk mendeteksi dan mencegah aktivitas penipuan, termasuk deepfake.

Peluncuran VIDA Identity Stack menegaskan komitmen VIDA untuk melindungi bisnis di Indonesia dari ancaman penipuan digital yang semakin kompleks. Dengan teknologi yang terus berkembang, solusi ini diharapkan dapat menjadi benteng pertahanan utama bagi bisnis dalam menjaga keamanan transaksi digital mereka.

Founder & CEO VIDA Group Niki Luhur menyatakan, “Risiko deepfake dan penipuan berbasis AI semakin nyata, menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi banyak bisnis. VIDA Identity Stack dirancang untuk melindungi bisnis dari ancaman ini, sehingga mereka dapat menjalankan operasi dengan lebih aman dan lancar.”

Laporan tentang ancaman siber

Selain peluncuran produk, VIDA juga merilis laporan riset bertajuk “Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud.” Laporan ini mengungkapkan bahwa 97% bisnis di Indonesia telah menjadi korban serangan rekayasa sosial dalam satu tahun terakhir, dengan phishing dan smishing sebagai metode yang paling sering digunakan. Lebih dari itu, 46% bisnis tersebut belum memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi AI untuk mencegah serangan ini, menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi yang lebih komprehensif.

Secara lebih lengkap, berikut temuan utama dalam laporan tersebut:

  • Ancaman Penipuan Berbasis AI Meningkat Pesat: Penipuan digital yang dihasilkan oleh AI, termasuk deepfakes, rekayasa sosial (social engineering), pengambilalihan akun, dan pemalsuan dokumen, terus meningkat. Teknologi tradisional semakin tidak efektif dalam menghadapi ancaman yang kian canggih ini, yang menyebabkan kerugian finansial dan reputasi yang signifikan.
  • 97% Bisnis Indonesia Mengalami Serangan Rekayasa Sosial: Hampir semua bisnis di Indonesia telah menjadi target serangan rekayasa sosial, dengan metode phishing (67%), smishing (51%), dan vishing (47%) sebagai teknik yang paling umum digunakan.
  • 84% Bisnis Mengalami Penipuan Identitas: Sebagian besar bisnis di Indonesia melaporkan telah mengalami penipuan identitas dalam setahun terakhir. Deepfakes dan pemalsuan identitas sintetis menjadi ancaman yang semakin sulit dideteksi.
  • 100% Bisnis Khawatir dengan Deepfake dan Penipuan Berbasis AI, tetapi 46% Tidak Memahami Teknologi Ini: Meskipun seluruh responden bisnis menyatakan kekhawatirannya terhadap ancaman penipuan berbasis AI, hampir separuh dari mereka mengakui tidak memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi ini.
  • 96% Bisnis Menghadapi Pemalsuan Dokumen: Bisnis di berbagai sektor, seperti keuangan dan real estat, sering kali menjadi korban pemalsuan dokumen dan tanda tangan, yang berdampak pada kerugian finansial, pelanggaran data, dan kerusakan reputasi.
  • 97% Bisnis Mengalami Upaya Pengambilalihan Akun (Account Takeover): Bisnis di sektor keuangan dan e-commerce sangat rentan terhadap pengambilalihan akun, dengan 76% serangan berhasil menghasilkan transaksi tidak sah atau pencurian data.
  • AI Membantu dalam Pencegahan Penipuan Berbasis AI: Solusi yang didukung AI, seperti verifikasi identitas berbasis biometrik dan deteksi penipuan menggunakan algoritma canggih, sangat penting untuk mengatasi ancaman penipuan yang terus berkembang.
Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Privy Realisasikan Ekspansi ke Australia Pasca-Putaran Seri C

Startup penyedia layanan tanda tangan digital dan identitas digital Privy mengungkapkan akan ekspansi ke Australia. Negara ini adalah tujuan pertama perusahaan pasca-perolehan putaran seri C sebesar $48 juta yang diumumkan pada November 2022.

Kabar ini diumumkan langsung oleh Co-Founder dan CEO Privy Marshall Pribadi dalam unggahan di laman LinkedIn-nya. “Thanks IA-CEPA ECP Katalis for supporting Privy’s expansion to Australia. Looking forward to working together with you guys!,” tulisnya, kemarin (13/12).

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Marshall tidak merespons seluruh pertanyaan yang dikirimkan hingga berita ini diturunkan.

Ekspansi ini disebut terealisasi berkat kerja sama Privy dengan IA-CEPA ECP Katalis (Katalis). Katalis adalah program kerja sama ekonomi bilateral yang mendukung perdagangan dan investasi yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif antara Indonesia dan Australia. Program ini didirikan berdasarkan perjanjian perdagangan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang berlaku sejak 5 Juli 2020.

Katalis bekerja sama dengan pelaku bisnis dan pemerintah untuk mengimplementasikan IA-CEPA, melengkapi kegiatan pembangunan Australia yang ada, menghadirkan pendekatan yang berorientasi komersial, bilateral, dan gender serta inklusif secara sosial untuk semua yang dilakukan.

Pembentukan IA-CEPA memiliki beberapa latar belakang. Indonesia dan Australia merupakan mitra perdagangan yang strategis sehingga dibentuknya IA-CEPA dapat menciptakan kerangka kerja bagi Australia dan Indonesia untuk membuka potensi besar kemitraan ekonomi bilateral, mendorong kerja sama ekonomi antara bisnis, komunitas, dan individu.

Rencana ini sebelumnya sudah disebutkan oleh Marshall saat memperoleh pendanaan seri C yang diumumkan pada November 2022. Ia menyampaikan dengan dukungan dan pengalaman global KKR & Co Inc.,, dikombinasikan dengan dukungan investor MDI Ventures, GGV Capital, dan TMI yang memainkan peran penting dalam mencapai kesuksesan perusahaan sejauh ini.

“Privy berada di posisi tepat untuk berinovasi lebih jauh dengan penawaran dan kemampuan lebih kuat, serta membangun fondasi yang kuat untuk ekspansi ke luar negeri,” ucapnya.

Pernyataannya didukung oleh Louis Casey sebagai Growth Technology Lead KKR di Asia Tenggara. Dia bilang, “Privy telah membangun platform terdepan di industri yang menggabungkan fitur-fitur utama, desain yang ramah pengguna, serta infrastruktur yang aman dan kuat. Kami ingin memanfaatkan jaringan global dan keahlian operasional KKR untuk membawa Privy ke tingkat pertumbuhan berikutnya dan memperluas kepemimpinannya dalam kepercayaan digital bagi individu dan perusahaan di Indonesia dan sekitarnya.”

Perkembangan Privy

Didirikan pada 2016, Privy menawarkan berbagai layanan termasuk identitas digital, tanda tangan digital, verifikasi digital, dan produk dan layanan manajemen dokumen di berbagai sektor termasuk layanan keuangan, kesehatan, dan pendidikan.

Dalam perkembangannya di 2018, Privy menjadi lembaga non-pemerintah pertama yang mendapatkan lisensi sebagai Otoritas Sertifikat (CA) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Setahun kemudian, menjadi penyedia layanan e-KYC pertama yang terdaftar di OJK.

Diklaim, saat ini Privy adalah pemimpin pasar dengan lebih dari 30 juta pengguna terverifikasi dan 1.800 konsumen perusahaan pada produk tanda tangan digital, verifikasi digital, dan langganannya, serta memproses lebih dari 40 juta tanda tangan digital per tahun.

Menurut laporan Statista, pasar solusi identitas digital secara global diproyeksikan tumbuh dari $23,3 miliar pada 2020 menjadi $49,5 miliar pada 2026. Pertumbuhan pasar yang sangat cepat ini didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan peraturan pemerintah baru.

Privy Kantongi Pendanaan Seri C Sebesar 744 Miliar Rupiah Dipimpin KKR

Startup penyedia layanan tanda tangan digital dan identitas digital Privy mengumumkan pendanaan seri C senilai $48 juta atau sekitar 744 miliar Rupiah yang dipimpin perusahaan investasi global KKR. Putaran ini diikuti oleh investor terdahulu, yakni MDI Ventures, GGV Capital, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), serta investor baru Singtel Innov8.

Sebelumnya, GGV Capital memimpin putaran seri B di Privy dengan nilai $17,5 juta pada Oktober 2021.

Privy akan menggunakan dana segar untuk memperkuat posisinya sebagai penyedia tanda tangan digital dan identitas digital di Indonesia, mempercepat transformasi digital, serta mendukung pengembangan produk konsumen agar masyarakat dan pelaku bisnis dapat mengakses layanan lebih luas secara aman. Selain itu, perusahaan juga berencana ekspansi ke luar negeri untuk mempercepat pertumbuhan dengan dukungan jaringan investornya.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan pihaknya senang menyambut KKR sebagai salah satu investor baru di Privy. Dukungan KKR dan investor sebelumnya merupakan bukti kemajuan yang telah dibuat selama ini dan keyakinan pada visi jangka panjang Privy untuk membangun kepercayaan dan mendorong potensi transformasi digital di Indonesia.

“Dengan dukungan dan pengalaman global KKR, dikombinasikan dengan dukungan investor MDI Ventures, GGV Capital, dan TMI yang telah memainkan peran penting dalam membantu kami mencapai kesuksesan kami sejauh ini, Privy berada di posisi tepat untuk berinovasi lebih jauh dengan penawaran dan kemampuan lebih kuat, serta membangun fondasi yang kuat untuk ekspansi ke luar negeri,” ucap Marshall.

Sementara, Partner dan Head of Growth Equity Asia Pacific KKR Mukul Chawla mengatakan, “Privy telah memantapkan dirinya sebagai pelopor dalam ruang kepercayaan digital Indonesia dengan ambisi yang kuat. Kami sangat antusias dengan potensi pertumbuhan Privy dan peluang untuk memajukan transformasi digital dan kemakmuran Indonesia.”

Growth Technology Lead KKR di Asia Tenggara Louis Casey menambahkan, “Privy telah membangun platform terdepan di industri yang menggabungkan fitur-fitur utama, desain yang ramah pengguna, serta infrastruktur yang aman dan kuat. Kami ingin memanfaatkan jaringan global dan keahlian operasional KKR untuk membawa Privy ke tingkat pertumbuhan berikutnya dan memperluas kepemimpinannya dalam kepercayaan digital bagi individu dan perusahaan di Indonesia dan sekitarnya.”

Investasi di Privy merupakan bagian dari strategi KKR “Asia Next Generation Technology”. Privy menjadi portofolio investasi terbaru KKR pada kategori software di Asia Tenggara, menambah deretan portofolio di kawasan ini setelah platform e-commerce B2B asal Filipina GrowSari dan platform untuk merchant UKM asal Vietnam KiotViet.

Di kawasan Asia Pasifik, KKR juga menambah portofolionya, termasuk Education Perfect (Selandia Baru), dataX (Jepang), NetStars (Jepang), dan Livspace (India dan Singapura).

Mempercepat transformasi digital

Marshall melanjutkan, investasi terbaru ini dilandasi atas komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk mempercepat transformasi digital pada empat sektor strategis, yakni infrastruktur digital, tata kelola digital, ekonomi digital, dan kewarganegaraan digital yang berkontribusi pada pengembangan komunitas digital di Asia Tenggara.

Adapun, ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $146 miliar pada 2025, dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai lebih dari $300 miliar pada 2030.

Menurut laporan Statista, pasar solusi identitas digital secara global diproyeksikan tumbuh dari $23,3 miliar pada 2020 menjadi $49,5 miliar pada 2026. Pertumbuhan pasar yang sangat cepat ini didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan peraturan pemerintah baru.

Didirikan pada 2016, Privy menawarkan berbagai layanan termasuk identitas digital, tanda tangan digital, verifikasi digital, dan produk dan layanan manajemen dokumen di berbagai sektor termasuk layanan keuangan, kesehatan, dan pendidikan.

Dalam perkembangannya di 2018, Privy menjadi lembaga non-pemerintah pertama yang mendapatkan lisensi sebagai Otoritas Sertifikat (CA) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Setahun kemudian, menjadi penyedia layanan e-KYC pertama yang terdaftar di OJK.

Diklaim, saat ini Privy adalah pemimpin pasar dengan lebih dari 30 juta pengguna terverifikasi dan 1.800 konsumen perusahaan pada produk tanda tangan digital, verifikasi digital, dan langganannya, serta memproses lebih dari 40 juta tanda tangan digital per tahun.

Selain Privy, saat ini juga muncul startup dengan layanan serupa, misalnya TekenAja, Verihub, dan Vida.

Adopsi Tanda Tangan Elektronik yang Lebih Luas Butuh Kehadiran Identitas Digital

Saat ini sektor pemerintahan di Indonesia sudah mulai mengadopsi tanda tangan elektronik atau digital. Beberapa di antaranya adalah pelayanan eFaktur di Ditjen Pajak, eSPM di Ditjen Perbendaharaan, Pengadaan Pemerintah Secara Elektronik, ePTSE di Kemandagri, dan SK Kenaikan Pangkat PNS Kemkominfo.

Penggunaan tanda tangan digital, menurut Plt Direktur Keamanan Informasi Kemkominfo, Riki Arif Gunawan, dalam lingkup pemerintahan sangat bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi biaya dan waktu, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan izin.

“Untuk satu izin saja, dokumennya sangat tebal. Petugas harus mengecek satu per satu. Kalau [pakai tanda tangan] digital, lebih otomatis, dan waktu lebih efisien. Kepala dinas perizinan juga bisa tanda tangan hal lain di manapun dan kapanpun tanpa harus ada di kantor pusat,” tutur Riki ditemui usai menjadi pembicara di Talkshow Tanda Tangan Digital di kantor PrivyID, Jakarta.

Ia mengakui dunia digital rentan dengan peretasan dan penipuan karena mudah dimodifikasi dan dimanipulasi oknum-oknum tertentu. Untuk itu ia menekankan pentingnya jaminan berbentuk digital, yakni kepastian identitas pengguna, keutuhan bentuk digital, dan nirsangkal perbuatan. Tanpa ada jaminan ini, sulit untuk mempercayai pembuktian dokumen atau hal tertentu.

“Dengan menggunakan tanda tangan digital, kita dapat memastikan bahwa kapan sebuah dokumen tersebut ditandatangani dan oleh siapa,” ungkap Riki.

Bicara soal pemanfaatannya di Indonesia, Riki menilai tanda tangan digital di Indonesia belum bisa memanfaatkan teknologi yang lebih tinggi atau advanced. Alasannya, masyarakat Indonesia belum memiliki sebuah identitas digital yang dapat terverifikasi.

Beberapa negara maju, seperti Korea Selatan dan Estonia, sudah menggunakan teknologi advance dalam pemanfaatan tanda tangan digital. Artinya, tanda tangan digital dapat digunakan dalam lingkup aktivitas sehari-sehari dan tidak terbatas pada sektor tertentu saja, seperti sektor industri dan pemerintahan.

“Negara maju menggunakan [tanda tangan] digital yang lebih tinggi karena identitas penggunaannya bisa diverifikasi. Sementara, kalau kita belanja di marketplace dengan data nama dan nomor telepon, orang lain bisa saja mengaku sebagai kita,” papar Riki.

Apabila tanda tangan digital digunakan untuk layanan lain untuk pembeliaan produk yang memiliki nilai tinggi, pembuktiannya akan lebih sulit karena masyarakat belum bisa memberikan identitas digital yang terpercaya.

Username dan password yang kita pakai, hanya bisa dipercaya oleh satu layanan, tetapi pihak lain tidak bisa. Contoh internet banking, data kita bisa dipakai bank A, kalau bank lain tidak bisa karena bank A saja yang dipercaya,” ungkapnya.

Tantangan lainnya adalah perihal jaminan transaksi. Ia menilai sulit untuk memiliki bukti berbasis digital yang dapat dipercaya dan terverifikasi mengingat dokumen digital dapat dimanipulasi. Berbeda dengan bukti manual yang tersedia dalam bentuk dokumen kertas atau kuitansi.

Di Indonesia sendiri sudah ada penyedia tanda tangan digital serta sertifikat elektronik dan sertifikat digital yang sah, yakni PrivyID. Menurut Riki, jika layanan semacam ini diterapkan, Indonesia bisa melangkah jauh dalam hal pemanfaatan tanda tangan digital.

“Di Korea Selatan, implementasinya langsung di sektor perbankan karena penggunanya terverifikasi dengan eKTP, mereka paham cara menggunakannya, dan hal ini juga diwajibkan. Jika pengguna diberikan identitas digital, mereka akan menjadi pengguna terpercaya. Kami jadi lebih mudah untuk memberikan layanan lain yang lebih advance,” tambahnya.

Soal regulasi, implementasi tanda tangan digital telah berada di bawah Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012. Kendati demikian, Riki menilai bahwa Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang mewajibkan implementasi di wilayah industri.

“Di PP memang disebutkan tidak wajib [menggunakan tanda tangan digital]. Maka itu, yang punya kuasa sektornya.”