Neliti Mungkinkan Institusi Pendidikan Buat Repositori Online secara Instan

Neliti merupakan perangkat lunak yang dikembangkan untuk membangun dan mengelola repositori berbentuk perpustakaan digital dan jurnal ilmiah online. Layanan ini menyasar dua segmen sekaligus, yakni institusi pendidikan dan individu dari kalangan akademisi. Model bisnis yang diterapkan dalam Neliti ialah mengenakan biaya bulanan kepada pelanggannya.

Saat ini beberapa universitas telah memanfaatkan layanannya, seperti Universitas Atma Jaya, Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Negeri Semarang, dan juga beberapa lembaga penelitian seperti Center for Indonesian Policy Studies. Untuk memudahkan akses, masing-masing institusi tersebut dapat melakukan kustomisasi URL dengan domain yang dimiliki.

Bagi pustakawan atau pengelola jurnal ilmiah di organisasi dapat mengelola jurnal atau repositori menyesuaikan kebutuhannya. Sementara untuk peneliti, mahasiswa atau dosen, layanan ini dapat dimanfaatkan untuk mencari informasi atau data penelitian. Saat ini di basis data Neliti sudah ada lebih dari 200 ribu publikasi penelitian. Rata-rata per bulan platform ini sudah digunakan lebih dari 3 juta orang.

Berawal dari sulitnya menemukan hasil riset di Indonesia

Neliti didirikan oleh Anton Lucanus pada bulan April 2015 saat dia magang di Institut Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta.

“Masalah yang ingin Neliti atasi adalah banyaknya riset-riset di Indonesia yang tidak tersedia secara online. Indonesia mempunyai kurang lebih 120.000 perpustakaan di bawah universitas, badan pemerintahan dan lembaga penelitian yang menerbitkan jutaan publikasi tiap tahun. Penelitian ini sangat penting untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan di Indonesia. Namun, saat ini hanya sekitar 28% penelitian tersebut tersedia secara online,” ujar Anton.

Menurutnya dari temuan tersebut mengindikasikan peneliti kesulitan untuk mengakses pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menghasilkan riset yang dapat mengatasi masalah sosial. Ini juga berarti bahwa penelitian di Indonesia jarang dibaca oleh kalangan pembuat kebijakan.

“Gagasan untuk membuat Neliti dimulai pada bulan April 2015 saat saya magang di Institut Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta. Selama magang, saya belajar bahwa Institut Eijkman memiliki data penting yang saat ini tidak tersedia untuk kalangan umum secara online, seperti tingkat Japanese Encephalitis di Jawa Tengah,” lanjut Anton.

Di bawah naungan PT Neliti Teknologi Indonesia, startup ini sudah mendapatkan dana awal dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Untuk peningkatan bisnis dan produk Anton mengungkapkan di tahun 2019 mereka berencana melakukan fundraising dari investor.

Unggulkan kemampuan kustomisasi

Repositori Neliti
Contoh tampilan repositori yang digunakan dengan platform Neliti

Disinggung soal pembeda dengan layanan serupa Anton menjelaskan bahwa di platform repositori lain, pengguna tidak bisa membangun repositori sendiri. Mereka harus menggunakan software lain khusus untuk membuat repositori mereka.

Selain itu, kalaupun menggunakan perangkat lunak seperti EPrints atau Dspace untuk repositori, institusi harus mempelajari keterampilan pengembangan web, membayar hosting web, dan terus menerus mengeluarkan dana untuk membayar pengembang web. Neliti mencoba menyederhanakan proses tersebut.

“Dengan Neliti, proses pengembangan repositori jauh lebih mudah dan murah. Pengguna dapat membangun repositori atau jurnal online hanya dalam 5 menit dengan biaya minimal. Selain itu, Neliti juga menangani web hosting yang cepat, desain web, dan masalah teknis lainnya,” imbuh Anton.

Kendati saat ini masih dalam fase beta, pertumbuhan pengguna yang signifikan membuat tim Neliti optimis untuk pengembangan ke depannya. Tahun 2019, mereka akan merilis lebih banyak fitur dan meluncurkan versi final dari Neliti. Salah satu fitur yang segera dikeluarkan memungkinkan pengguna untuk melakukan personalisasi desain website jurnal.

Aksaramaya dan Transformasi Perpustakaan

Banyak yang coba diperbaiki oleh pemerintah Indonesia mengenai pendidikan. Di antaranya adalah menumbuhkan minat baca di kalangan pelajar dan mahasiswa. Minat baca disinyalir menjadi salah satu akar permasalahan pendidikan Indonesia, seperti minimnya jurnal karya ilmiah dan pengetahuan dari siswa-siswi di Indonesia. Pemerintah juga memulai beberapa program untuk meningkatkan minat baca sejak usia dini, salah satunya dengan membuat program gerakan literasi sekolah. Permasalahan minat baca ini tampaknya juga menjadi salah satu fokus Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI. Bersama dengan Aksaramaya, Perpusnas meluncurkan iPusnas, sebuah aplikasi yang memungkinkan penggunanya meminjam dan membaca buku dalam bentuk digital dari berbagai macam ePustaka (perpustakaan digital).

Aksaramaya, seperti kita ketahui bersama, dari dulu memang getol dalam mengembangkan aplikasi-aplikasi digital untuk perpustakaan. Apa yang dilakukan Aksaramaya seolah menjadi jalan alternatif untuk kembali memudahkan masyarakat Indonesia mendapatkan bahan bacaan, dalam hal ini buku, dalam bentuk digital dengan lisensi legal. Hal ini juga melindungi para penyedia konten (buku) dari duplikasi ilegal meskipun format buku berupa digital.

Moco, iJakarta, sampai iPusnas menunjukkan keseriusan Aksaramaya dalam kembali memperkenalkan perpustakaan kepada masyarakat, tentu dalam format dan bentuk yang berbeda. Ia juga dilengkapi dengan fitur-fitur khas media sosial, yakni komentar dan rate.

Dalam peluncurannya beberapa waktu lalu, Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Perpustakaan Nasional RI Titiek Kismayati, seperti dilansir Metro TV, menjelaskan bahwa selain menumbuhkan minat baca iPusnas juga hadir untuk mengubah pola baca masyarakat ke bentuk digital.

“Kita juga bisa mengubah pola baca masyarakat yang berbasis pada printed (cetak) ke digital. Orang tidak perlu lagi cari yang printed. Kalau perlu kita kasih ke orang biar mereka tidak berat membawa buku. Dengan begitu, orang jadi lebih fleksibel. Enggak perlu repot lagi datang ke Perpusnas. Apalagi Jakarta itu macet, belum nanti naik kendaraan dan harus persiapan,” ujar Titiek.

Transformasi perpustakaan

Di era digital seperti sekarang ini banyak konten yang dikemas secara digital, bukan untuk meninggalkan format fisik tapi lebih untuk memudahkan pelanggan dalam membeli dan menikmati karya. Musik, video, film, dan buku sudah banyak dijual dalam bentuk digital. Sekarang perpustakaan digital hadir untuk melengkapinya dengan sistem sewa (pinjam) secara digital.

Screenshot_2016-10-12-11-16-26-168_mam.reader.ipusnas Screenshot_2016-10-12-11-17-18-017_mam.reader.ipusnas Screenshot_2016-10-12-11-20-00-620_mam.reader.ipusnas

Saya masih ingat betapa susahnya membuat kartu keanggotaan perpustakaan daerah sewaktu masih SD dulu. Kita memerlukan banyak sekali dokumen seperti surat keterangan dari desa dan copy dokumen-dokumen lain yang cukup merepotkan. Untungnya hal itu sebanding dengan apa yang didapatkan, akses ke semua buku di perpustakaan dan boleh dibawa pulang.

Di era digital seperti sekarang, semua itu semakin mudah dan diringkas. Proses pendaftaran, meminjam, dan membaca buku cukup dilakukan dalam sekejap. Sama seperti Moco dan iJakarta, iPusnas juga mengusung kemudahan dalam proses pendaftaran dan peminjaman. Pengguna baru tinggal melakukan pendaftaran di form yang sudah disediakan, baik melalui aplikasi Android, iOS, atau aplikasi desktop, selanjutnya tinggal bagaimana mengedukasi masyarakat mengenai “wujud baru” Perpusnas dan menanti lebih banyak lagi stok koleksi buku digital yang disediakan.

Selamat datang perpustakaan 2.0!

Application Information Will Show Up Here

Perpustakaan Digital MyPerpus Berambisi Raih Satu Juta Pengguna Tahun Ini

Perempuan sedang memilih buku di perpustakaan

Banyak orang hanya mengenal perpustakaan saat di bangku sekolah. Perpustakaan menjadi tempat menyenangkan untuk mencari pengetahuan dengan koleksi buku yang bisa dipinjam secara gratis, atau setidaknya dengan biaya murah. Di jaman modern seperti saat ini, sejumlah pihak ingin mengembalikan perpustakaan sebagai tempat untuk meminjam buku secara mudah dan terjangkau. Salah satunya adalah perpustakaan digital MyPerpus yang didirikan oleh Johan Dong dan Jones Dong.

Continue reading Perpustakaan Digital MyPerpus Berambisi Raih Satu Juta Pengguna Tahun Ini