Daftar Lengkap Peserta ONE Esports Singapore Major 2021

Musim pertama DPC 2021 Season 1 untuk kawasan Amerika Utara (NA), Amerika Selatan (SA), Eropa (EU), CIS, dan Asia Tenggara (SEA) memang lebih dulu selesai ketimbang kawasan Tiongkok yang baru rampung tanggal 14 Maret 2021 kemarin. Dengan berakhirnya DPC 2021 Season 1 untuk kawasan Tiongkok, lengkap sudah daftar peserta ONE Esports Singapore Major 2021.

Berikut ini adalah daftar peserta yang lolos ONE Esports Singapore Major 2021 dari tiap-tiap kawasan.

 

Kawasan Tiongkok

Invictus Gaming yang berhasil menutup musim pertama dengan 6 kemenangan dan 1 kali kekalahan menjadi juara dari region Tiongkok. Sedangkan Team Aster yang finis di peringkat kedua juga lolos meski harus memulai turnamen Major nanti dari babak Group Stage. Vici Gaming dan PSG.LGD juga lolos namun harus menjalani babak Wild Card terlebih dahulu.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Kawasan Eropa

Dari Eropa, Team Secret berhasil mendominasi sepanjang musim karena berhasil menang dalam 7 kali pertandingan, tanpa 1 kekalahan pun. Di bawah Team Secret, Alliance berada di posisi kedua setelah menorehkan 5x kemenangan dan 2x kekalahan. Di posisi Wild Card untuk kawasan Eropa, ada Team Nigma dan Team Liquid yang siap berlaga ke Singapura.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Kawasan CIS

Kawasan CIS mungkin yang paling mudah diprediksi sebelumnya karena keperkasaan Virtus.pro selama beberapa tahun terakhir. Sama seperti Team Secret, Virtus.pro juga berhasil menyelesaikan musim pertama tanpa kekalahan. Di posisi kedua dari CIS, ada tim legendaris Natus Vincere yang akan berlaga dari babak Group Stage ONE Esports Singapore Major 2021. Kawasan CIS, yang hanya mendapatkan 1 slot Wild Card, akan mengirimkan AS Monaco Gambit kali ini.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Kawasan Amerika Utara

Evil Geniuses juga nampaknya masih menjadi langganan perwakilan dari wilayah NA. Sedangkan Quincy Crew berhasil menempati posisi kedua dan akan melaju ke Major pertama lewat jalur Group Stage. Karena kawasan NA hanya mendapatkan 2 slot kali ini, kedua tim tadi yang akan bertarung di Fairmont Square, Singapura, dari tanggal 27-4 April 2021.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Kawasan Amerika Selatan

Seperti yang pernah kami tuliskan sebelumnya, beastcost yang memimpin klasemen akhir region SA akan langsung menuju babak Playoffs. Sedangkan Thunder Predator harus melalui babak Group Stage. Menariknya, 9 dari 10 pemain di 2 tim yang lolos ke Major dari region ini berasal dari Peru.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Kawasan Asia Tenggara

Dari Asia Tenggara, 3 slot diberikan untuk total 8 tim yang bertanding di kawasan ini. Fnatic akan langsung menuju Playoffs. Neon Esports akan melaju dari Group Stage. Sedangkan T1 harus berjuang melalui babak Wild Card.

Sayangnya, meski DPC 2021 menggunakan sistem baru yang mendapatkan sambutan positif dari berbagai ikon Dota 2 di Indonesia, tidak ada tim Indonesia yang akan berlaga di Major pertama kali ini. Untungnya, jika berbicara pemain, ada dua pemain tanah air yang akan turut meramaikan pertarungan yaitu Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon di bawah bendera T1.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

 

Format Turnamen ONE Esports Singapore Major 2021

Seperti yang tadi saya tuliskan, ada 6 tim yang harus melaju lewat babak Wild Card yang akan digelar pada tanggal 27-28 Maret 2021. 2 tim teratas dari babak Wild Card akan lanjut ke Group Stage. Fase ini dikenal dengan babak Play-In jika mengacu pada LoL World Championship.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Dari sana, babak Group Stage yang berisikan 8 tim akan bertanding pada tanggal 29-30 Maret 2021. Dua tim teratas akan mendapatkan posisi di Upper Bracket babak Playoffs. Sedangkan tim di peringkat 3-6 akan maju ke Playoffs namun di posisi Lower Bracket. Dua tim yang tersisa akan tereliminasi.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Di babak Playoffs, 6 tim yang sebelumnya juara dari masing-masing kawasan akan menunggu di posisi Upper Bracket bersama dengan 2 tim teratas dari babak Group Stage. Sebaliknya, di Lower Bracket ada 4 tim yang sebelumnya kurang beruntung dari Group Stage.

Screenshot: Liquipedia
Screenshot: Liquipedia

Turnamen Major pertama DPC 2021 ini akan memperebutkan total hadiah sebesar US$500 ribu dan 2700 DPC poin.

Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, gamegame tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game freeto-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games
Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Sumber: Blizzard Official Site
Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan “gold” yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa “membayar” waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Sumber: VALORANT In-Game Store
Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

“Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda.”

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi “produk” yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.
RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa…XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistem game-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran — kalau tidak bisa menjadi bukti — bagaimana model monetisasi yang “memajaki” perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara “frontal”, yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa… Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan “pay-to-win” pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entry barrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

BBC akan tampilkan konten turnamen FIFA 21 Eropa.
FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Sumber: Time
Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, “kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih.” Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu “kebelet esports“.

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.

Reminiscing the Prodigious Tale of 23savage: Southeast Asia’s Greatest Potential

When it comes to games and sports that require their players to think strategically, some people are simply built differently. In games like Chess and Go, these people are dubbed “prodigies” — extraordinary players who excel as if their DNA was meant for the game. Esports is no exception to this, especially in highly complex titles like Dota 2.

We have seen numerous players with such an outstanding capability: Miracle-, Topson, ana, you name it. These players came into the scene as a nobody and somehow managed to leave a lasting legacy throughout their careers. While the aforementioned prodigies have carved their mark in the history of Dota 2, there’s still one whose prodigious chapter is yet to be unleashed.

That person is no other than 23savage, an 18-year-old Thai player who’s currently enlisted in the roster of the South Korean organization, T1. Time and time again, we constantly witnessed how this miraculous boy magically attained the highest of Match Making Rating in the Southeast Asian server. Because of that, large organizations alike are constantly on the hunt for this young pub star.

However, 23savage’s journey hasn’t always been as smooth as many had expected. In order to achieve where he is now, 23savage had to start small and begin his journey in his homeland: Thailand.

 

Chapter 1: Homeland

23savage began his competitive Dota 2 career with a local team called ALPHA Blue, a subsidiary roster to the main organization ALPHA Pro Team. 23savage was only 16 years old when he kickstarted his journey in 2018 together with other Thai senior players as his teammates. The roster didn’t hold for long, as 23savage was only enlisted officially for only four days.

ALPHA Blue. Source: Neolution Esports.
ALPHA Blue. Source: Neolution Esports.

Several ALPHA Blue players decided to depart the organization and join a team called Reaper, whose roster became the basis of the establishment of MSCerberus. The initial lineup consisted of Thai players Whatthe, tnt, Feimao, 23savage, as well as the Laotian player, Nevermine.

Before the team could make their international debut, they had to undergo several roster changes due to the retirement of their captain, Feimao, and the departure of Whatthe. Catering to the vacant slots, MSCerberus enlisted the help of the Filipino player RAN, the Malaysian player ADTR, and a secondary Thai Offlaner Seri.

MSCerberus’ first recorded international debut was in Sin Esports Dota 2 League Season 1, where they faced off against other Southeast Asian underdogs. MSCerberus and 23savage managed to qualify to the event’s Upper Bracket Semifinals, but had to fall to the Lower Bracket after losing 0-2 against Neon Esports and was later eliminated by PG.Orca.

MSCerberus. Source: MS Chonburi Dota 2’s Facebook Page.
MSCerberus. Source: MS Chonburi Dota 2’s Facebook Page.

Despite their loss, 23savage’s major potential began to take place in the international scene. His signature heroes like Morphling and Juggernaut put up a great fight against the Filipinos, proving that he’s capable of playing on such a high-stake event.

Unfortunately, the team struggled to secure a commendable victory in the events that followed after. It surely was difficult to cope up against older organizations whose roster are much more stable and had greater international experience. As a result, 23savage took the opportunity to further explore the international scene by becoming a stand-in player for neighboring teams.

 

Chapter 2: Standing on the Shoulder of Giants

To obtain greater exposure, 23savage played as a stand-in substitute for teams like the Filipino squad of Clutch Gamers and the Indonesian roster of EVOS Esports. He did so while going into inactivity with his main team MSCerberus. Although his addition wasn’t enough to bring home the trophy, the experience was enough to gain recognition from other more established organizations.

Furthermore, 23savage had the chance to represent Thailand in World Cyber Games 2019 APAC. Accompanying him in this competition are other senior players Jabz, Seri, BungsellRotee, and tnt. Initially, the team played under the name of Thai Style, before finally playing under the banner of MSCerberus TH during the offline Finals held in Seoul.

With this temporary roster, the squad secured a second-place finish, bringing home $1500 as a prize. Once the event ended, 23savage spent some more time with his main team before deciding to try out with other teams and officially go inactive in MSCerberus, which rebranded to MS Chonburi not so long ago.

It was perhaps 23savage’s visit to South Korea where he decided to pair up with three veteran South Korean players, Forev, Febby, and March, for The International 2019: Southeast Asia Open Qualifier. To complete the lineup, Team Jinesbrus summon the aid of another prodigy player from the United States, Gunnar.

Team Jinesbrus. Source: Dota 2 Thailand.
Team Jinesbrus. Source: Dota 2 Thailand.

Jinesbrus was utterly dominating the entire bracket, losing close to zero games throughout the Open Qualifiers. They were among the three teams which qualified for the Southeast Asian Closed Qualifiers of TI9.

In the Group Stage, Jinesbrus remained unstoppable, dropping only a single best-of-one loss against Team Amplify. As for the other matches, their playstyle is famous for being fierce and aggressive, essentially reminiscent of the olden days of MVP Phoenix. Surely enough, three out of five of their players were MVP Phoenix players, so that shouldn’t be surprising.

However, their Playoffs bracket started badly, losing 0-2 to Mineski right off the bat. Nonetheless, Jinesbrus and 23savage persisted through the Lower Bracket, eliminating Team Amplify and Team Adroit in the process. Again, they faced off against Mineski in the Grand Finals, with an even higher stake. Whoever wins the series secures their ticket to the most prestigious Dota 2 event of all: The International.

We could go over all the games that took place in the intense best-of-five series, but to sum it up, it kept everyone on the edge of their seats. The first four games went back-and-forth between these two rivals. The two teams took turns which ultimately led up to a 2-2 score and a deciding game five.

 

Chapter 3: So Close, Yet So Far

The deciding match kicked off almost evenly, with Jinesbrus securing a minimal 2000 gold-lead. At about the 30-minute-mark, Mineski wiped the entire roster of Jinesbrus, snowballing the advantage to their hands this time around. It was this point onwards that Jinesbrus was hanging on their last TI9 lifeline.

Sadly for the boys, Mineski had the upper hand in that match, and so ends their hopeful TI9 run of the year. Arguably, 23savage’s run with Jinesbrus was the best achievement thus far in his career. As much as he and his teammates failed to secure their victory, joining Jinesbrus was the leap 23savage required to enter the realm of giants, marking the commencement of his next competitive chapter.

23savage’s respectable TI9 attempt catapulted him into popularity and the international spotlight. As many had predicted, the Southeast Asian giant Fnatic quickly incorporated him into their main roster. On September 4, 2019, 23savage joined the ranks of Moon, iceiceice, DJ, and fellow Thai player Jabz. Together, the revamped Fnatic roster was ready to shake up the Southeast Asian stage.

They wasted no time to achieve such a title, by not only finishing second in Midas Mode 2 – Asia, but also qualifying for MDL Chengdu Major and DreamLeague Season 13.

Thailand’s Dota 2 Representatives at the 30th Southeast Asian Games. Source: Nation Thailand.
Thailand’s Dota 2 Representatives at the 30th Southeast Asian Games. Source: Nation Thailand.

Amid these qualifiers, 23savage had another chance to represent his nation in the 30th Southeast Asian Games where the Thais finished second. It was also during this event where 23savage could once again pair up with his former MSCerberus teammates and the new contenders of MG.Trust.

 

Chapter 4: Fnatic’s Rise to Glory

After successfully qualifying for these Major events, Fnatic, in fact, struggled in these first few international events, perhaps due to adaptation reasons. In MDL Chengdu Major and DreamLeague Season 13, they finished 9th-12th in both events, losing out to their Southeast Asian counterparts, TNC Predator.

Fnatic winning Summit 12. Source: Beyond the Summit.
Fnatic winning Summit 12. Source: Beyond the Summit.

Before they could shine on the international stage, however, the COVID pandemic took place and halted virtually all international LAN events, including today. Nevertheless, several tournament organizers decided to shift their events online and divide participating teams into their respective regions.

Back in their region, Fnatic became the new Southeast Asian giants. They came out as champions in Summit 12, BTS Pro Series: Southeast Asia, ESL One Birmingham 2020 – Online: Southeast Asia, and World E-sports Legendary League. Afterward, they finished third in BTS Pro Series Season 2: Southeast Asia and second in ONE Esports Dota 2 SEA League thereafter.

It was quite evident that Fnatic was pretty much unstoppable in their region, and not even the best teams around could overthrow their throne. 23savage displayed his marvelous Position 1 carrying abilities throughout these events and truly proven that the mix of seniors and newcomers is amongst the strongest strategy in all of Dota 2.

For the young Thai, it seemed that his career was pretty much on the right track. It was until Fnatic abruptly decided to replace their new-found prodigy with a more stable veteran and senior Position 1 player, Raven. Only a week after their run in ONE Esports Dota 2 SEA League ended, 23savage’s Fnatic chapter is brought to an end.

 

Chapter 5: Auspicious Vici

Now teamless, 23savage became a hot target for big organizations willing to integrate this prodigy from Southeast Asia into their mix. Many were expecting teams from around the globe to add 23savage into their lineup, including Western teams who were open for such a ride. It was Vici Gaming, in the end, who picked up 23savage in replacement of their star Carry Eurus.

At first, the pasture seemed all too green for 23savage. His removal from Fnatic was a mere pinch while his purchase by Vici Gaming meant a huge leap in his career. Even so, because of the COVID19 travel restrictions, 23savage had to wait for his time to shine. As a temporary replacement of 23savage, Vici Gaming summoned the help of Erica while hoping for a better COVID situation.

For the time being, 23savage continued to stand-in for several casual teams such as Among Us and the newly formed Thai squad MG.Trust. With Among Us, 23savage attained a third-place finish in BTS Pro Series Season 3: Southeast Asia, even beating Fnatic, his former team, in the process.

Team Among Us Dota 2 Roster. Source: Team Among Us.
Team Among Us Dota 2 Roster. Source: Team Among Us.

What else could go wrong for 23savage? He is performing relatively well in these casual teams, while an organization like Vici Gaming is waiting for his arrival. Well, that’s the case until Vici Gaming decided to part ways with 23savage without even playing a single match together with him. Although the main reason is likely due to the worsening of the global COVID situation, Vici Gaming seemed all-too comfortable with Erica, given their achievements without 23savage.

 

Chapter 6: T1 Onwards

After what seems to be a fresh start to a bitter end, 23savage finds himself teamless once again, with a similar aftertaste. With the Dota Pro Circuit Regional Leagues taking place and 23savage still teamless, all he’s open for is stand-in opportunities.

Unsurprisingly, his assistance was called upon by the Indonesian-Thai-Korean roster of HOYO for DPC Season 1 – Southeast Asia Lower Division and later by the Indonesian squad of BOOM Esports for DPC Season 1 – Southeast Asia Upper Division.

Thereafter, participating DPC teams were looking to alter their rosters, especially for those who qualified through the Major. In the end, it’s the South Korean giant of T1 who decided to add 23savage into their mix, replacing their former Carry player, JaCkky.

T1 welcomes 23savage. Source: @T1 Twitter.
T1 welcomes 23savage. Source: @T1 Twitter.

Regardless of whether or not the move was deemed ethical, it seemed logical that T1 would do such a critical move. T1 barely qualified for the Major Wild Card, and their best bet is to go all-in if they’d like to advance further, one of which is by purchasing a star player like 23savage himself.

 

Closing

Together with four former Geek Fam players, 23savage and his new shiny T1 squad are expected to put up a powerful battle in the premiere 2021 Dota 2 LAN Event, ONE Esports Singapore Major 2021. From this point onwards, what lies in the next chapters of 23savage’s career is nothing but a wild guess.

 

Featured Image by Dreamhack.

Valve Hentikan Pengembangan Artifact Karena Minimnya Jumlah Pemain

Artifact, card game yang menggunakan lore Dota 2 (seperti Legends of Runeterra yang menggunakan lore League of Legends) akhirnya dihentikan pengembangannya menurut pernyataan langsung dari Valve (publisher dan developernya).

Game yang dirilis tahun 2018 ini tadinya dirilis untuk menyaingi game kartu populer lainnya seperti Hearthstone dan Magic: The Gathering. Namun begitu, meski game ini mendapatkan angka penjualan yang cukup baik di awal, jumlah pemainnya merosot tajam seiring waktu; menurut pengakuan Valve.

Artifact Classic
Artifact Classic

Setelah 1,5 tahun tim yang menangani Artifact mencoba memperbaiki Artifact, usaha tersebut nampaknya tidak berhasil menggaet jumlah pemain yang cukup untuk menjustifikasi pengembangan lebih lanjut. Maka dari itu, mereka juga menghentikan pengembangan Artifact 2.0.

Menariknya, menurut Valve, masih ada pemain dan komunitas yang menyukai Artifact. Karenanya, Valve pun membuat game ini jadi free-to-play untuk semua orang. Versi akhir dari Artifact Classic dan Artifact 2.0 (sekarang jadi Artifact Foundry) sudah bisa Anda dapatkan dan mainkan gratis. Artifact Foundry sendiri diakui Valve adalah produk yang belum rampung meski sudah memiliki core gameplay.

Berikut ini adalah detail lengkap dari perubahan terakhir untuk Artifact Classic.

  • Game ini bisa dimainkan gratis untuk semua orang
  • Setiap pemain bisa mendapatkan semua kartu gratis. Anda tak bisa lagi membeli Card Pack.
  • Setiap kartu yang sebelumnya dibeli oleh pemain telah diubah menjadi versi Collector’s Edition dan marketable. Integrasi Marketplace di dalam game sudah dihilangkan.
  • Paid event tickets sudah dihilangkan.
  • Pemain yang sebelumnya membeli game-nya juga akan mendapatkan sepaket kartu Collector’s Edition; sedangkan pemain yang mengunduh gratis tidak akan mendapatkannya.
Artifact 2.0 versi Beta
Artifact 2.0 versi Beta

Di sisi lain, inilah update terakhir untuk Artifact Foundry.

  • Game ini bisa dimainkan gratis untuk semua orang.
  • Pemain mendapatkan akses ke kartu baru dengan bermain. Setiap kartu hanya bisa didapatkan dengan cara ini. Tidak ada kartu atau pack yang akan dijual dan kartu Artifact Foundry tidak marketable.
  • Tampilan kartu yang sebelumnya sudah direncanakan sudah tersedia di dalam game.

Jika Anda masih bingung dengan perbedaan antara Artifact dan Artifact Foundry, Anda bisa membaca penjelasannya langsung dari Valve di tautan ini.

Hasil Akhir Klasemen DPC SEA dan SA Musim Pertama

Musim pertama Dota Pro Circuit (DPC) untuk wilayah Asia Tenggara (SEA) dan Amerika Selatan (SA) sudah selesai digelar.

Setelah pertandingan sengit antara tim-tim terbaik di wilayah SEA dan SA selama beberapa pekan, hasil akhirnya sudah terlihat jelas sekarang untuk siapa saja tim-tim yang akan berlaga di Major pertama musim ini di Singapura.

 

DPC Season 1: SEA Region

Dari SEA, Fnatic akan langsung melaju ke babak Playoffs berkat prestasi gemilang mereka sepanjang musim — hanya kalah satu kali melawan BOOM Esports di pekan ketiga. Sedangkan Neon Esports, yang berada di peringkat dua klasemen akhir DPC SEA Season 1, juga akan melaju ke Major meski harus bertarung melewati babak Group Stage. Neon Esports yang berasal dari Filipina juga sebenarnya bermain cantik sepanjang musim — kalah dua kali saat melawan Fnatic dan T1.

Boom Esports, satu-satunya tim asal Indonesia di Upper Division sayangnya tak berhasil meraih hasil yang maksimal karena hanya berhasil mencetak 4 kemenangan dan 3 kekalahan. Untungnya, mereka masih berada di posisi tengah klasemen akhir sehingga tak perlu turun ke Lower Division di musim selanjutnya.

496 Gaming dari Vietnam dan Vice Esports asal Filipina adalah 2 tim dengan posisi bontot di Upper Division yang akan terdegradasi ke Lower Division di musim berikutnya.

Berikut adalah klasemen akhir lengkap untuk wilayah Asia Tenggara.

Klasemen akhir DPC Season 1: SEA Region -- Upper Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SEA Region — Upper Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SEA Region -- Lower Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SEA Region — Lower Division. Via: Liquipedia.net

Di Lower Division, Lilgun dari Mongolia berhasil menempati peringkat pertama. Sedangkan Omega Esports dari Filipina berhasil menempati posisi kedua. Kedua tim tersebut akan naik ke Upper Division di musim kedua nanti.

Di divisi kedua ini, ada lebih banyak tim yang berisikan para pemain asal Indonesia. Army Geniuses yang sepenuhnya berisikan para pemain asal Indonesia justru menempati posisi tertinggi ketimbang 2 tim lainnya, HOYO dan ZeroTwo. Padahal, 2 tim lainnya memiliki pemain-pemain yang lebih berpengalaman.

HOYO, yang harus tereliminasi di musim berikutnya, memiliki  Tri “Jhocam” Kuncoro yang sebelumnya cukup sukses bersama Boom Esports. Zero Two, di sisi lainnya, yang bahkan memiliki 2 bintang Dota 2 asal Indonesia, Randy “Dreamocel” Sapoetra dan Muhammad “inYourdreaM” Rizky malah berada di posisi 6 dan nyaris tereliminasi.

 

DPC Season 1: SA Region

Dari region Amerika Selatan, beastcoast akan langsung menuju babak Playoffs. Sedangkan Thunder Predator harus berjuang melalui Group Stage. Hasil kedua tim tadi juga sama persis dengan dua tim yang lolos ke Major dari SEA. beastcoast, sama seperti Fnatic hanya kalah satu kali. Sedangkan Thunder Predator kalah dua kali, sama seperti Neon Esports.

Dari Upper Division SA Region, EgoBoys dan Latam Defenders yang berada di posisi juru kunci dan harus terdepak dari divisi utama di musim selanjutnya.

Sedangkan dari Lower Division SA Region, Infinity Esports yang 4 pemainnya berasal dari Peru berhasil menempati posisi pertama. Hokori, yang sepenuhnya berisikan para pemain Peru, menjadi runner up divisi kedua musim ini. Keduanya akan naik ke Upper Division SA Region di musim kedua.

Berikut ini adalah klasemen akhir lengkap dari SA Region.

Klasemen akhir DPC Season 1: SA Region -- Upper Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SA Region — Upper Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SA Region -- Lower Division. Via: Liquipedia.net
Klasemen akhir DPC Season 1: SA Region — Lower Division. Via: Liquipedia.net

Feat Image via: VPEsports

Free Fire World Series Bakal Kembali Diadakan, Mantan Pemain EVOS Kini Masuk ke Manajemen

Dalam satu minggu terakhir, muncul berbagai berita menarik di industri esports. EVOS baru saja menunjuk mantan pemainnya sebagai Business Development Lead di Singapura. Sementara itu, Garena telah mengungkap kalender pertandingan dari Free Fire untuk tahun 2021.

EVOS Tunjuk Mantan Pemainnya Sebagai Business Development Lead

Minggu lalu, EVOS Esports menunjuk mantan pemainnya, Stefan Chong — yang juga dikenal sebagai EVOS.Soul — sebagai Business Development Lead di Singapura. Dengan ini, Stefan akan bertanggung jawab atas pengembangan bisnis di negara itu. Selain itu, dia juga akan memimpin EVOS di Singapura dalam menjalin hubungan dengan para brand, badan pemerintah, dan publisher, menurut laporan The Esports Observer.

Stefan Chong alias EVOS.Soul kini akan bekerja sebagai bagian dari tim manajemen.
Stefan Chong alias EVOS.Soul kini akan bekerja sebagai bagian dari tim manajemen.

Garena Ungkap Free Fire World Series Bakal Kembali di 2021

Garena mengungkap jadwal kompetisi esports dari Free Fire sepanjang 2021. Mereka menyebutkan, Free Fire World Series (FFWS) akan kembali diadakan. Pada 2020, FFWS harus dibatalkan akibat pandemi COVID-19 dan diganti dengan Free Fire Continental Series. Pada tahun ini, Garena akan mengadakan dua World Series. FFWS pertama akan diadakan pada 24 April-1 Mei 2021 di Asia, menurut laporan The Esports Observer. Sementara FFWS kedua akan diadakan pada November. Namun, masih belum diketahui lokasi dari turnamen itu.

Castrol Dukung Turnamen Honor of Kings dari Tencent

Castrol, merek oli mesin, mengumumkan bahwa mereka telah menandatangani kontrak dengan Tencent. Dengan ini, mereka akan menjadi salah satu sponsor dari King Pro League (KPL), salah satu kompetisi Honor of Kings terbesar di Tiongkok. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari sponsorship ini, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer. Selain Castrol, Tencent mengumumkan, PUMA juga akan menjadi rekan apparel eksklusif dari KPL.

DOTA: Dragon’s Blood akan Terdiri dari 24 Episode

Robert Meyer Burnett, animatic editor dari DOTA: Dragon’s Blood, membahas tentang proyek yang tengah dia kerjakan di channel YouTube miliknya. Di sana, Burnett mengungkap bahwa dia sedang mengerjakan episode ke-24 dari DOTA: Dragon’s Blood. Season pertama dari animasi itu akan tayang di Netflix pada 25 Maret 2021.

Season pertama Dragon’s Blood akan terdiri dari delapan episode. Saat ini, masih belum diketahui apakah seri animasi itu akan memiliki lebih dari satu season. Hanya saja, menurut informasi dari Burnett, cerita tentang Davion sang Dragon Knight akan memiliki tiga season. Setiap season akan terdiri dari delapan episode, lapor VP Esports.

NHL Gandeng DreamHack Sports Games untuk Adakan Kompetisi Esports

NHL menggandeng DreamHack Sports Games untuk menyelenggarakan kompetisi-kompetisi esports dari NHL Gaming World Championship, baik turnamen offline maupun online. Kerja sama antara dua perusahaan ini akan berlangsung selama lebih dari satu tahun. Selain bertanggung jawab atas penyelenggaraan turnamen dan live stream, DreamHack Sports Games juga akan membantu NHL untuk mencari sponsor-sponsor baru, lapor The Esports Observer.

Sumber header: Dot Esports

Dota 2 Singapore Major Diumumkan, Riot Games Hadirkan Wild Rift Icon Series

Pertandingan esports dari berbagai skena sudah dimulai pada pekan pertama bulan Februari 2021 ini. Selain rekap pertandingan dari berbagai skena esports, ada juga kabar perpindahan pemain di skena PUBG Mobile, serta beberapa pengumuman pertandingan besar. Berikut rekap berita esports di pekan kedua Februari 2021.

Valve Umumkan Dota 2 Singapore Major

https://twitter.com/pglesports/status/1357584770537050113

Setelah cukup lama dinanti, skena esports Dota 2 akhirnya mengumumkan pertandingan besar untuk bulan Maret 2021 nanti. Pertandingan tersebut adalah Dota 2 Singapore Major yang merupakan bagian dari Dota 2 Pro Circuit 2021. Pertandingan Singapore Major nantinya akan diselenggarakan oleh ONE Esports yang bekerja sama dengan PGL dan Singapore Tourism Board. Pertandingan dijadwalkan berjalan tanggal 27 Maret hingga 4 April 2021 mendatang dan mempertandingkan 18 tim terbaik dari masing-masing DPC Regional League yang sedang berjalan saat ini.

Riot Games Umumkan Wild Rift Icon Series

Lama ditunggu, Riot Games akhirnya memberi secercah cahaya terhadap kepastian esports Wild Rift di Asia Tenggara. Melalui rilis, Riot Games mengumumkan turnamen bertajuk Wild Rift Icon Series sebagai inisiatif esports perdana atas versi mobile dari game League of Legends tersebut. Wild Rift Icon Series merupakan sebuah rentetan pertandingan yang diadakan di setiap akhir pekan mulai dari Februari hingga Maret 2020 mendatang. Setiap pekan pertandingan menampilkan pertandingan lokal dari 7 negara Asia Pasifik yaitu Vietnam (26-28 Februari), Malaysia (6-7 Maret), Taiwan (11-14 Maret) dan Thailand (13-14 Maret), Indonesia ( 19-21 Maret) dan Filipina ( 20-21 Maret), serta Singapura (26-28 Maret) sebagai penutup. Mengutip blog resmi, tim bertanding adalah tim yang diundang langsung oleh Riot Games. Untuk sementara waktu, Alter Ego dan ONIC Esports adalah dua tim undangan pertama untuk Icon Series Indonesia.

BOOM Esports Resmi Gabung Liga LoL PCS

BOOM Esports sepertinya terlihat sangat serius ingin terjun ke dalam ekosistem esports Riot Games. Beberapa saat setelah mengumumkan divisi Wild Rift, muncul sebuah berita bahwa BOOM Esports resmi tergabung ke dalam liga League of Legend (PC) tingkat asia pasifik yaitu PCS. Akun resmi Pacific Championship Series mengatakan bahwa organisasi BOOM Esports akan mewakili Thailand pada PCS Spring Split 2021 nanti. Gary Ongko Putera selaku Founder dan CEO BOOM Esports juga kembali menegaskan lewat media sosial bahwa sang #HungryBeast tidak memainkan pemain Indonesia di liga PCS tersebut.

Omega Esports asal Filipina Jadi Juara Wild Rift Asia Brawl

Turnamen Wild Rift antar tim esports perdana Asia akhirnya rampung tanggal 7 Februari 2021 kemarin. Omega Esports yang berisikan pemain Filipina berhasil keluar sebagai juara setelah berhasil menang pertandingan dengan skor 4-2 dari seri pertandingan best-of-7. Mereka berhadapan dengan Nexplay Esports dan bertanding sengit pada babak Grand Finals. Bigetron Infinity sebagai satu-satunya wakil Indonesia yang lolos ke babak Playoff harus tumbang di lower bracket ronde ke-2 setelah terlibas 0-2 oleh Nexplay Esports. Victim Esports adalah wakil Indonesia lainnya dalam pertandingan tersebut. Sayangnya Victim Esports sudah pulang terlebih dahulu setelah gagal lolos dari babak grup.

Rekap DPC Regional League SEA Week 3

Pertandingan SEA Regional League dari Dota Pro Circuit 2021 telah memasuki pekan ketiga. Pekan ini BOOM Esports harus menjalankan dua pertandingan di Upper Division SEA Regional League. BOOM Esports berhasil menang 2-1 saat melawan Fnatic, walau sayangnya harus kalah 1-2 saat melawan T1. Sementara di Lower Division, HOYO (Jhocam dkk) dan Army Geniuses (MamangDaya dkk) sayangnya mendapat hasil yang kurang memuaskan. Sementara pada sisi lain ZeroTwo (InYourDream, Dreamocel dkk) yang juga bertanding di Lower Division berhasil mendapat hasil manis berupa kemenangan 2-0 melawan Yangon Galacticos dari Myanmar.

Rekap Match Day 7 & 8 Free Fire Master League Division 1

Pertandingan Free Fire Master League divisi 1 sudah memasuki match day ke-8 pada hari minggu 7 Januari 2021 kemarin. Pertandingan cukup didominasi oleh BOSS Nightmare berkat 3 kali Booyah yang mereka dapatkan dari total 6 ronde pertandingan pada match day ke-8. Mengikuti di belakangnya ada DG Esrorts yang mendapatkan 2 kali Booyah.  Sebelum pertandingan hari ke-8 ada pertandingan hari ke-7 yang mempertandingkan grup lainnya. Persaingan di match day ke-7 terbilang lebih sengit karena Booyah didapatkan oleh tim yang berbeda-beda kecuali First Raiders yang berhasil mendapat dua Booyah di ronde 1 dan ronde 5.

VALORANT Champions Tour Indonesia – Stage 01 Dimenangkan oleh BOOM Esports

VALORANT Champions Tour Indonesia – Stage 01 telah selesai digelar pada akhir pekan kemarin. BOOM Esports berhasil merebut tahtanya kembali setelah berhasil mengalahkan Alter Ego di babak Grand Final. Kemenangan yang didapat oleh BOOM Esports bukanlah kemenangan yang mudah karena Alter Ego memberi perlawanan yang keras di pertandingan tersebut. Setelah menang game pertama di map Bind, Alter Ego berhasil menang dua kali berturut-turut di map Split dan Haven. Untungnya BOOM Esports segera memberi balasan keras dengan berhasil menang dua kali berturut-turut di map Split pada game ke-4 dan 5 sehingga skor berujung menjadi 3-2 dari seri best of 5.

Kabar Bursa Transfer PUBG Mobile Pasca PMGC


Pasca PMGC 2020 selesa, skena esports PUBG Mobile pun kini memasuki masa off-season. Berbarengan dengan itu, transfer window pun dibuka sehingga kita dapat melihat perpindahan pemain dari tim satu ke tim lainnya. Pekan ini ada beberapa perpindahan menarik yang dapat kita lihat. Salah satu yang cukup besar adalah skuad Dranix Esports yang diboyong oleh tim Kong Esports. Tim yang berisikan Botz, Ucup, Noox, dan Licin, memang belum berhasil menjadi juara di turnamen besar, namun menunjukkan potensi yang cukup menjanjikan. Selain itu ada juga Jughead yang pindah ke 21esports, Bobbs yang pindah dari BOOM Esports ke Victom Esports, Henz yang pindah dari Louvre ke Dewa United, dan Uni yang kini bergabung ke Dewa United.

Sentinels Juarai VALORANT Champions Tour Amerika Utara

https://twitter.com/valesports_na/status/1358548814911578114

Berbarengan dengan VCT Indonesia, seri VALORANT Champions Tour juga berjalan di Amerika Utara pada akhir pekan lalu. Babak final VCT Amerika Utara mempertemukan Immortals dengan tim Sentinels. Walau harus merangkak dari Lower Bracket, Sinatra dan kawan-kawan ternyata berhasil keluar sebagai juara setelah memenangkan seri best of 5 dengan skor 3-1. Kemenangan dari Sentinels terbilang cukup mendominasi. Bahkan Sentinels sempat mendapat kemenangan 13-3 pada game pertanma dengan salah satu pemainnya membukukan 19 kill dengan 3 kali death saja. Kemenangan Sentinels mungkin menjadi kemenangan yang cukup mengagetkan, mengingat Immortals sebelumnya mendominasi kompetisi dengan 10 kali kemenangan beruntun sebelum menghadapi Sentinels di final.

PUBG Global Invitational.S 2021 Dimulai

https://twitter.com/PUBGEsports/status/1358737591730774016

Walaupun sempat mengalami beberapa polemik, namun esports PUBG (PC) masih tetap terselenggara hingga tahun 2021 ini. Tahun ini PUBG Corp. mencoba strategi baru dengan menghadirkan pertandingan internasional dalam format liga yang bertajuk PUBG Global Invitational.S 2021. Turnamen internasional tersebut diikuti oleh 32 tim yang berasal dari Eropa, Tiongkok, Asia Tenggara, Amerika Utara, Korea Selatan, Amerika Selatan, Jepang, dan Taiwan. Pekan lalu menjadi pekan pertandingan perdana untuk menentukan grup dari masing-masing tim. Nantinya pertandingan akan dilakukan secara rutin setiap pekan hingga 28 Maret 2021 mendatang.

Kompetisi Battle of Gods Tunjukkan Antusiasme Kawan-Kawan Difabel Terhadap Esports

Sumber Gambar - Dewa United Official
Sumber Gambar – Dewa United Official

Turnamen Battle of Gods sudah akan segera dimulai. Walaupun baru akan dimulai, namun sudah ada informasi menarik dari turnamen yang  diselenggarakan oleh Dewa United tersebut. Informasi tersebut adalah antusiasme dari teman-teman disabilitas yang sangat tinggi terhadap turanmen tersebut. David selaku CEO Dewa United bahkan mengakui bahwa teman-teman disabilitas sudah memenuhi 100 slot peserta turnamen PUBG Mobile yang dibuka. Puncak pertandingan Battle of Gods akan diselenggarakan tanggal 18 Februari 2021 mendatang. Turnamen tidak hanya terbuka untuk umum, tapi juga untuk teman-teman disabilitas.

Sumber Gambar Utama – Twitter @pglesports.

Info Turnamen dan Event Minggu Ini

OMEN Boot Camp Valorant Quest telah membuka pendaftaran untuk Anda yang ingin mengikuti rangkaian acara terkait game Valorant. Ada coaching clinic, battlequest atau individual challange. Acara ini juga berhadiah total cukup menarik yaitu 50 juta rupiah.

Info lengkap untuk acara ini bisa dilihat di tautan ini: https://www.menanggaming.com/event

Turnamen PES. Tertarik mengasah keahlian bermain PES atau Pro Evolution Soccer? Anda bisa mencari turnamen terdekat sesuai domisili lewat situs Turnamenpes.com.

HybridIDN Subscription. Berlangganan Hybrid hanya dengan 25k rupiah dan dapatkan artikel ekslusif dan berbobot khas Hybrid.co.id. Cek link ini. https://hybrid.co.id/subscription

Valve Bakal Terapkan Sistem Overwatch di Dota 2. Efektifkah?

Semakin tinggi pohon, semakin lebat buahnya, dan semakin kencang pula angin yang menerpanya. Pepatah ini tampaknya juga berlaku di industri game. Semakin populer sebuah game, semakin banyak pula jumlah pemainnya, dan semakin banyak juga masalah yang akan dihadapi oleh sang developer/publisher.

Masalah yang biasanya muncul di game multiplayer online adalah pemain yang berbuat curang atau pemain yang berlaku toxic. Sebagai publisher dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive, Valve familier dengan masalah-masalah tersebut. Untuk mengurangi jumlah cheaters di CS:GO, Valve lalu menerapkan sistem Overwatch. Sekarang, mereka berencana untuk menerapkan sistem serupa di Dota 2.

 

Apa Itu Sistem Overwatch?

Valve meluncurkan update baru untuk Dota 2 pada 27 Januari 2021. Salah satu hal baru yang Valve perkenalkan dalam update itu adalah sistem Overwatch, yang memungkinkan komunitas untuk meninjau laporan sesama pemain Dota 2. Memang, sebelum Valve memperkenalkan sistem Overwatch sekalipun, Dota 2 sudah dilengkapi dengan sistem reporting. Pada akhir sebuah game, para pemain bisa melaporkan pemain lain yang melakukan tindakan bermasalah.

Ada tiga alasan mengapa seorang pemain dilaporkan. Pertama, jika seorang pemain berkata kasar, baik via suara maupun teks. Kedua, ketika seseorang secara sengaja mempersulit timnya sendiri. Terakhir, saat seorang pemain menjadi feeder dengan sengaja. Pemain yang sering dilaporkan oleh pemain lain akan terkena hukuman berupa communications ban atau dimasukkan dalam low priority game.

Satu hal yang harus diingat, sistem reporting Dota 2 sepenuhnya terotomatisasi. Hal itu berarti, Valve akan secara otomatis menghukum seorang pemain yang dilaporkan bermasalah beberapa kali. Untuk memastikan para pemain Dota 2 tidak sembarangan melaporkan pemain lain, Valve membatasi jumlah communication reports yang bisa dibuat oleh seorang pemain.

Tiga alasan pemain Dota 2 dilaporkan. | Sumber: Gamepedia
Tiga alasan pemain Dota 2 dilaporkan. | Sumber: Gamepedia

Sistem Overwatch memungkinkan komunitas untuk meregulasi diri mereka sendiri. Setelah Valve mengaktifkan sistem Overwatch, para pemain Dota 2 yang memiliki reputasi bagus akan terpilih sebagai reviewer. Sebagai reviewer, seseorang bisa meninjau laporan dari pemain lain dan menentukan apakah pemain yang dilaporkan memang bersalah atau tidak.

Saat ini, masih belum diketahui kriteria apa saja yang harus dimiliki seseorang untuk bisa menjadi reviewer dalam sistem Overwatch di Dota 2. Di CS:GO, kriteria untuk menjadi seorang investigator — sebutan untuk pemain yang menilai apakah seseorang berbuat curang — adalah jumlah wins, umur akun, total hours played, jarang dilaporkan, dan lain sebagainya.

Cara kerja sistem Overwatch di Dota 2 cukup sederhana. Jika Anda menemukan pemain toxic ketika bermain Dota 2, Anda bisa melaporkannya dengan mengklik ikon flag di hero portrait dari pemain yang bermasalah atau melaporkannya langsung via scoreboard. Anda juga bisa memberikan marker saat game berlangsung. Tujuannya, untuk menandai kapan perilaku bermasalah terjadi dan memudahkan para reviewer dalam meninjau kasus yang dilaporkan. Anda bisa melaporkan seorang pemain  lebih dari satu kali. Hanya saja, sama seperti communication reports, Valve juga membatasi jumlah Overwatch report yang bisa Anda lakukan.

Valve juga akan menerapkan sistem Overwatch di Dota 2.
Valve juga akan menerapkan sistem Overwatch di Dota 2.

Sementara itu, para pemain yang dianggap pantas untuk menjadi reviewer akan mendapatkan notifikasi ketika ada video laporan yang bisa mereka tinjau. Seorang reviewer tidak diwajibkan untuk meninjau kasus yang mereka dapatkan. Ketika seorang reviewer memutuskan untuk menilai video yang dilaporkan, mereka bisa melihat bagian yang ditandai oleh pelapor. Setelah itu, reviewer bisa memutuskan apakah pemain yang dilaporkan memang bermasalah atau tidak. Seorang reviewer juga bisa menetapkan, bukti tidak cukup untuk menentukan apakah pemain yang dilaporkan bersalah atau tidak.

Untuk memastikan para reviewer tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka, Valve juga akan meninjau performa dari para reviewers. Semakin sering seorang reviewer memberikan keputusan yang tepat, maka semakin tinggi pula nilai akurasi mereka. Begitu juga sebaliknya. Jika nilai akurasi seorang reviewer terus turun, mereka bisa kehilangan hak sebagai rewiever.

 

Seberapa Efektif Sistem Overwatch?

Valve tidak hanya menerapkan sistem Overwatch di Dota 2. Faktanya, mereka telah menggunakan sistem Overwatch di CS:GO sejak 2013. Secara garis besar, sistem Overwatch yang diterapkan di Dota 2 serupa dengan apa yang Valve gunakan di CS:GO. Hanya saja, tujuan Valve untuk menerapkan sistem Overwatch di kedua game itu tampaknya agak berbeda. Di Dota 2, Valve kelihatannya ingin untuk meminimalisir perilaku toxic dari para pemainnya. Sementara di CS:GO, tujuan utama sistem Overwatch adalah untuk mengurangi orang-orang yang berbuat curang.

Ketika Valve pertama kali memperkenalkan sistem Overwatch di CS:GO, tanggapan komunitas beragam. Sebagian orang menyambut keberadaan sistem itu dengan antusias. Mereka bahkan mencari tahu tentang bagaimana cara menjadi investigator. Sementara itu, sebagian pemain CS:GO lain mengaku tak terlalu tertarik untuk meninjau laporan dari para pemain lain meskipun mereka ditunjuk sebagai investigator. Sampai sekarang, sistem Overwatch di CS:GO tetap berjalan, walau sebagian investigator mengeluhkan bahwa laporan Overwatch kini dipenuhi dengan orang-orang yang menggunakan spinbot.

Sistem Overwatch di CS:GO masih berjalan hingga sekarang.
Sistem Overwatch di CS:GO masih berjalan hingga sekarang. | Sumber: DailyEsports

Sebelum Valve menerapkan sistem Overwatch, Riot Games sebenarnya telah menggunakan sistem serupa di game MOBA mereka, League of Legends. Sistem yang dinamai The Tribunal ini diperkenalkan pada Mei 2011. Meskipun mirip, The Tribunal memiliki mekanisme yang agak berbeda dari sistem Overwatch yang Valve terapkan di CS:GO dan Dota 2.

Salah satu hal yang membedakan The Tribunal dengan Overwatch adalah kriteria dari pemain yang bisa meninjau laporan dari pemain lain. Valve menentukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk pemain CS:GO sebelum dia bisa menjadi investigator. Sementara itu, satu-satunya syarat yang Riot tetapkan adalah level pemain. Pada awalnya, Riot menetapkan bahwa semua pemain yang setidaknya telah mencapai level 30 boleh ikut serta dalam The Tribunal. Level persyaratan ini kemudian diturunkan menjadi level 20.

Setiap hari, seorang pemain LOL bisa meninjau hingga 20 kasus. Sama seperti sistem Overwatch, The Tribunal juga punya skor untuk menentukan tingkat akurasi dari para pemain yang aktif dalam The Tribunal. Skor ini Riot namai Justice Rating. Hanya saja, Justice Rating seseorang ditentukan berdasarkan apakah keputusannya sesuai dengan keputusan mayoritas pemain di The Tribunal.

Hal lain yang membedakan The Tribunal dengan sistem Overwatch adalah data yang dapat diakses oleh para peninjau. Dalam sistem Overwatch, seorang investigator/reviewer bisa mengakses video dari pertandingan pemain yang dilaporkan. Sementara Riot memberikan chat logs, statistik game, serta laporan mendetail terkait sebuah kasus.

The Tribunal juga dilengkapi dengan Justice Rating. | Sumber: Wiki
The Tribunal juga dilengkapi dengan Justice Rating. | Sumber: Wiki

Tanggapan komunitas LOL akan sistem The Tribunal juga terpolarisasi. Sebagian pemain menganggap, The Tribunal berjalan dengan baik. Sementara sebagian yang lain merasa, sistem The Tribunal pantas untuk dihapuskan. Satu hal yang pasti, Riot memang berhenti menggunakan sistem The Tribunal pada 2014.

Sayangnya, Riot tidak menjelaskan alasan mengapa mereka berhenti menerapkan sistem The Tribunal. Di kalangan pemain League of Legends, muncul sejumlah teori terkait hal ini. Sebagian pemain merasa, The Tribunal tidak berjalan dengan baik karena setiap pemain punya anggapan yang berbeda tentang perilaku toxic. Sementara sebagian pemain lainnya percaya, The Tribunal tidak berjalan dengan baik karena para pemain bisa menyalahgunakan sistem ini untuk melaporkan pemain yang tak bersalah hanya karena mereka kalah atau tidak senang dengan gaya bermain mereka.

Sumber: blog Dota 2, blog League of Legends, blog CS:GO

3 Organisasi Esports Terpopuler Dunia di Tahun 2020

Akhir tahun 2020 yang lalu, Hybrid.co.id sudah sempat membahas berbagai pencapaian besar dari ekosistem esports terutama dari ranah lokal. Kami mencoba membuat daftar tim esports lokal tersukses, turnamen esports dengan hadiah terbesar, kesepakatan bisnis esports terbesar pada tahun 2020, dan lain sebagainya.

Dari semua itu, satu yang mungkin masih jadi pertanyaannya adalah siapa tim esports terpopuler pada tahun 2020 kemarin? Mengutip data dari Esports Charts, berikut 3 organisasi esports terpopuler dunia beserta skena game yang jadi andalan dari masing-masing organisasi.

 

#3 – Team Liquid

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Sebenarnya ada banyak indikator yang bisa digunakan dalam menentukan popularitas sebuah organisasi esports. Jumlah pengikut media sosial mungkin bisa menjadi salah satunya, namun dalam hal ini yang jadi indikator adalah seberapa tertarik para penggemar esports untuk menyaksikan tim tersebut berlaga dengan menggunakan metrik total watch hours.

Pada peringkat ketiga ada Team Liquid dengan catatan mencapai 81 juta lebih total watch hours. Dari total watch hours tersebut, 32,7% datang dari skena Dota 2, 27.1% datang dari skena League of Legends, 28.6% dari CS:GO, dan sisanya dari berbagai cabang game lain sebesar 11.8%.

Team Liquid tercatat memiliki 13 divisi yang bertanding di 13 cabang game berbeda. 13 Cabang tersebut termasuk Free Fire ataupun Super Smash Bros. Cukup menarik melihat bagaimana divisi Dota 2 Team Liquid menjadi divisi yang banyak ditonton oleh para penggemar esports. Padahal divisi Dota 2 Team Liquid terbilang sedang cukup terseok pasca ditinggal roster bintangnya (Kuroky, Miracle, dan kawan-kawan) pada tahun 2019 lalu.

Sementara itu divisi CS:GO dan League of Legends memang juga merupakan beberapa divisi kuat milik Team Liquid. Divisi CS:GO punya karisma seorang Stewie2K dan divisi League of Legends memiliki karisma seorang Doublelift pada musim tersebut. Namun demikian, divisi CS:GO memiliki nasib yang kurang baik karena harus puasa gelar di musim 2020. Sementara divisi League of Legends sendiri berhasil menjadi juara di babak liga dan mendapat peringkat 3 di babak Playoff LCS 2020 Summer. Sayangnya Team Liquid sendiri mendapat hasil yang kurang memuaskan pada Worlds 2020 karena tidak berhasil lolos dari babak grup.

Dengan angka 81 juta lebih total watch hours, 54% di antaranya menonton pertandingan Team Liquid yang ditayangkan dengan menggunakan bahasa Inggris, 17,7% menggunakan bahasa Rusia, dan 12,9% menggunakan bahasa Portugis, dan 15,4% adalah sisanya.

 

#2 – Natus Vincere

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Organisasi esports asal Ukraina ini ternyata masih memiliki tajinya, walau memang popularitasnya di Indonesia menurun setelah sang mega bintang Dendi meninggalkan divisi Dota 2.

Navi mencatatkan 86 juta lebih total watch hours dengan 71.9% di antaranya berasal dari divisi CS:GO, 27.9 % dari Dota 2, 2% dari Rainbow 6, dan 0.3% dari divisi lainnya.

Divisi CS:GO Natus Vincere memang sedang kuat-kuatnya pada musim 2020 lalu. S1mple dan kawan-kawan berhasil mengantongi salah satu gelar juara terbesar di skena CS:GO yaitu Intel Extreme Masters XIV. Tak hanya itu, divisi CS:GO Navi juga berhasil menjuarai babak liga dan turnamen BLAST Premier: Global Final 2020 secara keseluruhan. Karena prestasi tersebut, tim CS:GO Navi pun kini berada di peringkat 3 dunia berdasarkan hltv.org.

Pada sisi lain, Dota 2 adalah mata tombak lain dari tim Navi. Setelah ditinggal Dendi pada sekitar tahun 2018, roster Dota 2 Navi terbilang cukup compang-camping, terus bergonta-ganti pemain, dan masih belum menemukan performa terbaiknya. Tahun 2020 pun juga terbilang bukan musim yang terbaik bagi Navi dengan sedikitnya gelar juara yang mereka dapatkan. Namun sepertinya mengingat nama Navi yang sudah begitu mengakar di kancah Dota 2 membuat tim tersebut tetap menjadi favorit tersendiri di hati penggemar esports Dota terutama di Rusia.

Dari total 86 juta lebih total watch hours, mayoritas penggemar menonton pertandingan Navi dengan bahasa Rusia yaitu sebanyak 43.4%. Lalu dilanjut dengan penonton pertandingan berbahasa Inggris sebanyak 41.3%, penonton berbahasa Portugis sebanyak 7.4%, dan sisanya sebesar 7.8% tergolong sebagai penonton bahasa lainnya digabungkan.

 

#1 – G2 Esports

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Tahun 2020 mungkin bisa dibilang sebagai tahunnya bagi G2 Esports. Organisasi esports asal Jerman tersebut mungkin tidak selamanya berhasil menjadi juara di sepanjang tahun 2020. Namun G2 Esports berhasil mendapatkan nama sebagai tim yang kuat di beberapa skena esports.

G2 Esports berhasil mencatatkan 92 juta lebih total watch hours dengan proporsi terbesar sebanyak 52.8% berasal dari League of Legends. Mengikuti setelahnya adalah sebesar 35.5% berasal dari CS:GO, 4.2% berasal dari Rainbow 6, dan dari beberapa game sisanya sebesar 6.9%.

Divisi League of Legends G2 Esports adalah salah satu yang terbaik di skena Eropa. Hal tersebut terbukti lewat usaha mereka yang hampir menyapu bersih seluruh gelar esports LoL Eropa di musim 2020.

PERKZ, Caps dan kawan-kawan berhasil menjadi juara di babak liga dan playoff dari LEC (Liga LoL Eropa) Spring, mendapat peringkat 3 di babak liga dan menjuarai babak playoff LEC Summer 2020. G2 Esports juga tampil dengan baik di gelaran Worlds 2020 kemarin. Menjadi harapan terakhir penggemar esports League of Legends barat, G2 Esports berhasil mencapai babak semi-final walau akhirnya harus tumbang 1-3 oleh Damwon Gaming.

Pada sisi lain roster CS:GO menjadi divisi lain yang cukup menarik perhatian para penggemar esports. Pencapaian terbesar mereka di musim 2020 adalah keberhasilan mereka mencapai puncak babak liga dari BLAST Premier: Spring. Sementara itu mereka juga berhasil mencapai babak final Intel Extreme Masters walau akhirnya harus terlibas 0-3 oleh Navi.

Dari total 92 juta lebih total watch hours, mayoritas penonton pertandingan mereka menonton tayangan berbahasa Inggris sebesar 57.6%. Penonton sisanya datang dari beberapa bahasa, mulai dari Portugis sebesar 8.3%, Rusia 6.3%, Spanyol 5.9%, Korea 5.6%, Prancis 4.9%, dan sisanya sebesar 11.6%.

 

Dota, CS:GO, dan League of Legends Masih Jadi 3 Besar Esports Dunia

Selain mempertunjukkan tim esports terpopuler, data tersebut juga menunjukkan tiga game esports terpopuler secara tidak langsung. Melihat dari game yang jadi mayoritas dan berdasarkan dari peringkat tim, bisa dibilang bahwa Dota 2 ada di peringkat ketiga, CS:GO berada di peringkat kedua, dan League of Legends berada di peringkat pertama.

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

League of Legends dengan liga yang konsisten dan tersebar di berbagai wilayah sepertinya memang masih menjadi liga esports raksasa. Apalagi juga apabila kita melihat daftar tim esports terpopuler secara keseluruhan, 8 dari 10 tim yang berada di dalam daftar memiliki divisi League of Legends. Navi dan OG menjadi 2 tim yang tidak memiliki divisi League of Legends di dalam daftar tersebut. Namun dua tim tersebut memiliki aset di cabang lain berupa roster yang kuat di CS:GO bagi tim Navi dan dan pesona juara The International 2019 bagi tim OG.

*Disclosure: Esports Charts adalah partner dari Hybrid.co.id

Sumber Gambar Utama – gamesradar.co.uk

Esports Point Blank 2021 Diumumkan, Army Geniuses Masuk DPC SEA 2021 Lower Division

Pekan ketiga bulan Januari 2021 diwarnai oleh beberapa hal menarik di ekosistem esports. Melihat ke belakang, kita punya pengumuman esports Point Blank 2021 dari Zepetto, Army Geniuses yang secara tiba-tiba diundang masuk DPC SEA 2021 Lower division, BOOM Esports yang lepas divisi CS:GO, dan lain sebagainya. Berikut rangkuman berita esports di pekan ke-2 Januari 2020 (12-18 Januari 2021).

Zepetto Umumkan Rencana Esports Point Blank 2021

Hadapi tahun yang baru, Zepetto pun turut mengumumkan rencana esports terhadap game besutan mereka yaitu Point Blank. Melalui sebuah rilis, Zepetto mengatakan bahwa rencana rangkaian turnamen mereka akan dimulai dari bulan Januari ini hingga bulan Agustus 2021 mendatang. Akan ada empat turnamen dari rangkaian tersebut. Empat turnamen tersebut adalah Point Blank Day & Night, PB Rising Star, PB Ladies League, dan PB Star League. 20 tim terbaik dari rangkaian turnamen tersebut nantinya akan mendapatkan hak untuk bertanding di salah satu turnamen terbesar di dalam rangkaian tersebut, yaitu Point Blank National Championship yang akan diselenggarakan bulan September 2021 mendatang.

Army Geniuses Gantikan Team Assault di Lower Division DPC SEA 2021

Army Geniuses dipastikan masuk Lower Divison DPC SEA 2021. Sebelumnya Army Geniuses sendiri dipastikan gagal masuk Lower Division DPC SEA 2021 setelah kalah terhadap tim ZeroTwo (IYD, Dreamocel, dkk) pada fase tiebreaker di babak closed qualification fase 2. Namun beberapa hari setelahnya, PGL selaku penyelenggara DPC SEA 2021 membuat sebuah pengumuman yang cukup mengagetkan. Tim Assault yang sudah lolos ke dalam Lower Division DPC SEA sebelumnya ternyata terbukti melakukan account sharing (menggunakan joki) di dalam sebuah pertandingan. Akhirnya Assault pun didiskualifikasi dan digantikan oleh Army Geniuses.

Whitemon dan Kuku Resmi Jadi Pemain T1 Divisi Dota 2

Beberapa waktu yang lalu, Whitemon dan Kuku sebenarnya sudah masuk ke dalam roster Dota 2 T1. Namun demikian, dua pemain tersebut mungkin memang masih dalam masa percobaan ketika itu. Namun T1 sepertinya tidak butuh waktu lama untuk meresmikan kedua pemain tersebut. Melalui akun media sosialnya, T1 pun mengumumkan tergabungnya Kuku dan Whitemon ke dalam tim. Dengan diumumkannya dua pemain tersebut, maka T1 pun akan bertanding di DPC 2021 Upper Division dengan Jackky, Karl, Kuku, Xepher, dan Whitemon.

BOOM Esports Lepas Divisi CS:GO

BOOM Esports CSGO Picture

Tanggal 15 Januari 2021 lalu, BOOM Esports mengumumkan bahwa mereka secara resmi telah melepas divisi CS:GO asal Brazil yang mereka miliki. Mengutip dari rilis, situasi pandemi COVID-19 mungkin terbilang jadi salah satu alasan. “2020 menjadi tahun yang tidak kami sangka. Kami berencanan bertanding pada ESL Pro League di Malta dan melanjutkan berkompetisi di Amerika Utara denga berlatih di Kanada. Namun demikian COVID-19 banyak mengubah rencana kami. Meski mengalami kesulitan pada awal hingga akhir tahun, namun kami berhasil menorehkan 100% kemenangan di turnamen-turnamen yang kami ikuti, meraih kualifikasi major, meraih kualifikasi IEM serta ESL Pro League, dan menjadi salah satu tim terbaik di Amerika Selatan. Terima kasih atas prestasi yang didapatkan bersama kami dan saya berharap yang terbaik untuk karir kalian ke depannya.” Ucap Gary Ongko CEO BOOM Esports lewat rilis yang juga diterbitkan di laman boomid.gg.

MORPH Team Putus Kontrak Herli “Jeixy” Juliansyah.

Jeixy MORPH_Instagram @morphteam

Berita mengejutkan datang dari skena PUBG Mobile pada tanggal 13 Januari 2021 kemarin. MORPH Team mengumumkan bahwa manajemen mereka telah memutus kontrak terhadap salah satu pemain andalannya yaitu Jeixy. Mengutip dari Revivaltv.id, alasan Jeixy diputus kontrak adalah karena perilaku tidak sportif yang dilakukan sang pemain terhadap manajemen MORPH Team. Selain diputus kontrak, media sosial MORPH Team juga memberikan pinalti kepada Jeixy berupa larangan untuk bergabung dengan tim mana pun selama durasi waktu tertentu.

Pakistan Resmikan Esports Sebagai Bagian Dari Olahraga

Sumber: Esports Observer.
Sumber Gambar – Esports Observer

Fawad Hussain, Menteri IPTEK Pakistan mengungkap sebuah memorandum yang telah ditandatangani oleh Pakistan Sports Board dan Pakistan Science Foundation. Memorandum tersebut menyatakan status resmi esports sebagai bagian dari olahraga di negara Pakistan. Lebih lanjut, Fawad Hussain juga mendorong anak-anak muda untuk tidak lagi ragu apabila melihat ada peluang karir di bidang esports. Seiringan dengan pengumuman tersebut, kementrian Fawad juga mengumumkan rencana untuk mengadakan turnamen esports serta memberikan sertifikasi di bidang animasi dan game development di negara Pakistan.

Kit Kat Jadi Sponsor Vodafone Giants

https://twitter.com/GiantsGaming/status/1350035167742668802

Vodafone Giants baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan KitKat. Lewat kerja sama tersebut maka KitKat akan menjadi sponsor utama dari organisasi esports asal Spanyol tersebut. Sayangnya tidak ada informasi lebih lanjut terkait durasi ataupun nilai kontrak dari kerja sama tersebut. Apabila melihat dari informasi yang disiarkan di media sosial, maka kehadiran logo KitKat di bagian bahu jersey tim Vodafone Giants menjadi salah satu kesepakatannya. Vodafone Giants sendiri merupakan organisasi esports yang bertanding di beberapa cabang ternama internasional seperti League of Legends, Rocket League, FIFA 21, dan CS:GO.

Blizzard Umumkan Format dan Perubahan Overwatch League 2021

Memasuki musim baru, Blizzard pun mempersiapkan beberapa perubahan baru yang akan membuat Overwatch League menjadi semakin menarik untuk disaksikan. Salah satu perubahan terbesar adalah dengan membagi liga ke dalam dua grup, Barat dan Timur. Overwatch League grup Timur akan bertanding di Tiongkok dan Korea Selatan. Tim-tim yang mengisi grup timur adalah Chengdu Hunters, Guangzhou Charge, Hangzhou Spark, Los Angeles Valiant, New York Excelsior, Philadelphia Fusion, Shanghai Dragons, dan Seoul Dynasty. Grup Barat akan bertanding di Eropa dan Amerika Utara. Tim-tim yang mengisi grup barat adalah Atlanta Reign, Boston Uprising, Dallas Fuel, Florida Mayhem, Houston Outlaws, London Spitfire, Los Angeles Gladiators, Paris Eternal, San Francisco Shock, Vancouver Titans, Toronto Defiant, dan Washington Justice. Overwatch League 2021 akan dimulai bulan April dengan beberapa perubahan format lain yang bisa Anda saksikan pada video di atas.

Penyelenggara LPL Catatkan Total Pemasukan Sampai 155 juta dollar AS

TJ Sports_TheEsportsObservers
Sumber Gambar – TJ Sports

Tanggal 9 Januari 2021 kemarin, TJ Sports yang merupakan penyelenggara dari LPL mengungkap bahwa mereka telah berhasil mendapatkan US$155 juta pemasukan. Namun selain itu, TJ Sports juga mengumumkan bahwa liga LPL telah mengantongi 4 miliar total watch hour di berbagai platform yang menjadikan LPL sebagai salah satu most valuable esports intellectual properties. Esports Observer menjelaskan bahwa tiga pencapaian tersebut berhasil dicapai karena beberapa hal. Pertama adalah kerja sama LPL dengan platform stream terbesar di Tiongkok, Bilibili. Kerja sama tersebut dikabarkan memiliki nilai sebesar US$123 juta. Kedua adalah kerja sama senilai US$ 31 juta antara LPL dengan Nike . TJ Sports sendiri merupakan perusahaan hasil joint venture antara Tencent dengan Riot Games. Perusahaan tersebut ditemukan pada tahun 2019 lalu dan telah mencapai berbagai pencapaian tersebut hanya dalam kurang lebih 3 tahun saja.