Haru Biru Andi Taru Mendirikan Educa Studio

Andi Taru begitu terkejut ketika istrinya, Idawati, mengabarkan dirinya terkena PHK. Pemutusan hubungan kerja itu membuat masalah rumah tangga mereka semakin runyam. Pasalnya, bisnis Andi, pengembang game online, lagi mandek dan terancam bangkrut. Kejadian ini terjadi sekitar lima tahun lalu di kota kelahiran pasang pengantin baru itu, Salatiga.

Dalam beberapa hari, gelar pengantin baru berubah menjadi pasangan suami istri pengangguran. Keran sumber penghasilan keduanya macet. Yang tersisa hanya tabungan yang mereka punya. Dalam keadaan terjepit, konon otak manusia menjadi lebih kreatif. Survival Spirit. Keduanya memutar otak bagaimana menciptakan sumber penghasilan baru.

Andi memang penggemar game sejak jadi mahasiswa Teknologi Informasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Meskipun demikian, itu sekadar melampiaskan hobi saja, belum ada niatan untuk menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian utama.

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan istri, keduanya sepakat untuk membangun game khusus anak. Alasannya simpel. Saat itu belum banyak produk game edukasi khusus anak beredar di pasaran. Pasangan ini kemudian melakukan riset game anak seperti apa yang mau dibuat.

Pangsa pasar game edukasi cukup luas. Jenjangnya mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai kuliah. Idawati, yang juga lulusan Teknologi Informasi, menyarankan Andi menciptakan game untuk usia yang paling “dini”, baru perlahan ke jenjang yang lebih tinggi.

Keduanya lantas berbagi tugas. Andi memegang bagian pemrograman, sementara istrinya bagian riset dan desain. Ruang tamu berukuran seadanya diubah menjadi kantor kecil. Kelak, ruang ini yang menjadi cikal bakal lahirnya Educa Studio dan kini terus berkembang menjadi pengembang game yang mampu bertahan dengan seri-seri game-nya.

Sepanjang tahun 2012, Andi dan Idawati bertahan hidup dari sisa tabungan sembari merintis bisnis game mereka.

Proses memulai yang tidak mudah

Proses pembuatan game pertama memakan waktu selama tiga bulan. Biayanya ditekan seminim-minimnya. Untuk tetap hidup, keduanya mematok dana Rp10 ribu untuk makan berdua. Aset terbesar adalah kedua laptop yang mereka miliki. Tidak ada konektivitas Wi-Fi di ruang tamu mereka. Untungnya internet saat itu tidak begitu diperlukan karena kebutuhannya hanya sesekali.

Demi menghemat budget, orang-orang terdekat dikerahkan sebagai talenta. Sang adik menjadi voice talent pada game. Lalu untuk urusan musik dikerjakan teman sendiri. Bila ditotal, biaya yang dihabiskan untuk buat produk pertama sekitar Rp9 juta.

Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 1 Oktober 2012, judul mobile game pertama Andi dan Ida dirilis di Google Play. Namanya Marbel, yang berasal dari kata “Mari Belajar Sambil Bermain”. Sebelumnya, Marbel sudah ada versi PC di tahun 2011, tapi keduanya memutuskan untuk fokus ke mobile game, sebab di sanalah pasar yang belum tersentuh.

Versi pertama game Marbel ini sangat simpel. Hanya ada dua menu, play dan learn. Untuk menu learn, ada kartu yang bisa digeser-geser dan ditebak itu huruf apa. Pasca game Marbel dirilis, dapat diterima dengan baik oleh pengguna. Keduanya memanfaatkan semua masukan para pengunduh untuk terus memperbaiki kualitas.

Mumpung pasar mobile game anak belum banyak, pasutri pecinta dunia game ini memutuskan untuk berani mengambil pinjaman ke bank. Orangtua pun merestui bahkan mendukung dengan membolehkan keduanya menjaminkan sertifikat rumah sebagai agunan.

Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio
Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio

Bank yang bersedia memberi pinjaman adalah BRI dengan plafon Rp200 juta dan bunga 9% per bulan untuk tenor dua tahun.

Langkah pinjam ke bank ini diakui Andi cukup nekat. Pada saat itu “lebih mudah” jika mereka mencari investor modal ventura atau angel investor. Apalagi pada waktu itu bisnis game edukasi anak masih dianggap sebelah mata karena tidak seksi. Sayangnya, keduanya membutuhkan dana segar dalam waktu cepat dan jawaban untuk kebutuhan tersebut, yang ada di depan mata, adalah bank.

“Sejak dapat pinjaman, ada kelegaan sekaligus tanggung jawab berat yang harus saya tanggung. Ada sertifikat rumah yang harus segera ditebus. Kalau Educa Studio tidak jalan bisa fatal dampaknya. Beruntung pada awal-awal kami dibantu orang tua mengangsur kredit, jadi kami saling patungan,” Andi mengenang masa-masa sulitnya.

Kebetulan, orang tua Andi punya mimpi ingin punya perpustakaan dan sekolah. Keduanya memang berprofesi sebagai guru. Andi melihat keinginan orang tuanya itu sebagai sebuah impian untuk dikejar lewat bisnis barunya, Educa Studio.

“Saya bertekad untuk segera mempercepat pembuatan seri Marbel berikutnya. Langsung rekrut tim untuk meningkatkan kualitas game. Dari awalnya cuma saya dan istri, akhirnya ada tambahan orang yang khusus menangani musik, art, dan programmer,” paparnya.

Tahun berikutnya, Educa fokus pada produksi mobile game edukasi. Jumlah produk yang dirilis lebih dari 100 buah. Perhitungannya dalam sebulan mereka merilis delapan game baru. Educa memanfaatkan platform iklan Admob milik Google untuk strategi monetisasi seluruh produk.

Kondisi kemudian membaik

Tim Educa Studio / Educa Studio
Tim Educa Studio / Educa Studio

Pendapatan Educa perlahan meningkat dan mampu menutupi operasional sekaligus melunasi kredit bank. Banyaknya produk yang dirilis, bila diakumulasi dengan perolehan iklan, lumayan menutupi biaya perusahaan. Selain membayar utang bank, Andi dan Ida mulai memperbarui dan mempercanggih peralatan mereka.

Educa hingga kini sudah merilis 215 edugames di Google Play. Sekitar 80% pengguna Educa berasal dari Indonesia, sisanya dari Malaysia.

Sebenarnya, selain mengandalkan iklan, Educa juga memakai strategi in-app purchase. Hanya saja strategi ini tidak begitu berjalan karena sejak awal fokus Educa adalah aplikasi gratis, sehingga mendorong orang untuk membayar agak terlambat.

Kondisi keuangan di Educa Studio pada tahun 2014 mulai stabil, pendapatannya disebut sudah miliaran Rupiah.

“Kalau boleh dihitung-hitung, pertumbuhan Educa Studio secara keseluruhan mencapai 3 kali lipat per tahunnya,” Andi berbinar.

Game pertama keluaran Educa Studio, Marbel Huruf, terbukti jadi penyokong utama hingga kini dengan total unduhan sampai 3,5 juta kali. Basis penggunanya meningkat pesat. Di awal 2015, Educa mulai mencetak profit. Angsuran lunas dan kantor berpindah dari ruang tamu Andi – Ida ke kantor yang lebih layak.

Fokus Educa Studio kini mulai bergesar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi industri. Kompetitor mulai bermunculan. Kini Andi lebih berkonsentrasi menjaga pengguna yang sudah ada, bagaimana memperkecil churn rate, dan meningkatkan kualitas game. Churn rate adalah persentase pelanggan yang tidak melanjutan berlangganan.

“Rencananya kami akan mulai merambah pengembangan produk untuk segmen umur pelajar menengah pertama [SMP]. Selama ini kebanyakan produk untuk usia prasekolah sampai sekolah dasar,” kata Andi.

Promosi Digital Jadi Prioritas Tantangan Utama Pengembang Lokal

Dari gelaran Bekraf Developer Conference (BDC) 2016, 180 top pengembang lokal merumuskan ada tiga prioritas tantangan utama harus diselesaikan bersama. Yakni, mengenai promosi digital, pendirian asosiasi developer aplikasi, dan preload.

Sekadar informasi, BDC 2016 adalah acara puncak dari pelaksanaan roadshow Bekraf Developer yang telah diselenggarakan di Malang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Acara ini mempertemukan 180 top pengembang lokal dengan pemerintah (diwakili kementerian terkait) untuk merumuskan tantangan yang perlu diselesaikan demi membangun ekosistem yang dapat mendukung pengembang perangkat lunak bisa berkembang pesat di Indonesia.

“Acara BDC ini jadi wadah terbentuknya talenta di bidang digital yang akan melahirkan startup yang menyediakan solusi, sehingga Indonesia dapat menjadi tuan rumah di Ekonomi Digital Indonesia,” ucap Hari Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf, Senin (28/11).

Awalnya, ada 64 prioritas tantangan yang muncul. Lalu, ada proses voting untuk menentukan tingkat urgensi permasalahan, akhirnya mengerucut jadi sepuluh prioritas tantangan. Terakhir, terpilihlah tiga prioritas tantangan yang tingkat urgensinya paling tinggi.

“Proses perumusan masalah awalnya ada 64 isu, kemudian dilakukan voting hingga akhirnya tersaring jadi tiga isu. Ketiga isu ini dipilih karena urgensinya yang sangat tinggi dan dibutuhkan oleh pelaku pengembang lokal,” terang Andi Taru Nugroho selaku CEO dan Founder Educa Studio.

Dijabarkan lebih jauh, promosi digital adalah jalur kegiatan pemasaran yang masih asing untuk dilakukan oleh pelaku usaha yang kebanyakan masih menganut dengan cara konvensional. Maka dari itu, lanjut Andi, solusi yang ditawarkan pengembang kepada pemerintah ada tiga hal.

Yaitu, pemerintah melakukan kampanye nasional untuk mengedukasi pentingnya menghargai dan memakai karya lokal. Membuat etalase bersama (marketplace) aplikasi atau games yang bisa dipromosikan pemerintah. Terakhir, memberikan edukasi kepada pengembang mengenai cara promosi digital yang efektif.

Isu kedua, mengenai pendirian asosiasi developer aplikasi Indonesia. Urgensi untuk isu kedua ini cukup tinggi. Pasalnya, selama ini komunikasi antara pemerintah dengan pelaku pengembang belum maksimal karena ketidakhadiran asosiasi sebagai wakil yang tatap muka langsung dengan pemerintah.

“Sekarang ini baru ada Asosiasi Game Indonesia (AGI), untuk aplikasinya belum ada. Sementara, untuk bertemu dengan pemerintah perlu diwakili oleh asosiasi untuk membicarakan lebih jauh. Lagipula, kehadiran asosiasi memang diperlukan sejak awal sebagai wadah penampung aspirasi pengembang,” ujar Andi.

Isu terakhir, adalah mengenai preload. Solusi yang ditawarkan terkait masalah preload ini adalah membuat aplikasi khusus sebagai etalase bersama untuk perload dalam perangkat smartphone yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi aplikasi lokal yang baru dan berkualitas untuk di-preload.

Pengembang juga meminta kepada pemerintah agar mempermudah syarat preload agar semua developer memiliki kesempatan dan exposure yang sama. Andi mengatakan, usulan mengenai preload ini erat kaitannya dengan rencana pemerintah mulai 1 Januari 2017 untuk menetapkan 30% Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk telekomunikasi berbasis standar Long-Term Evolution (LTE).

“Aturan TKDN itu sebenarnya sangat baik karena tujuannya ingin memajukan produksi buatan dalam negeri. Hanya saja, aturan TKDN terlalu tinggi karena untuk bisa masuk ke preload itu hanya aplikasi yang sudah diunduh satu juta kali. Sementara untuk bisa menyentuh angka itu, butuh waktu yang tidak sebentar.”

Maka dari itu, sambung Andi, pihaknya mengusulkan untuk membuat aplikasi preload khusus yang sudah ditanamkan ke perangkat smartphone yang berisi aplikasi lokal berkualitas dan sudah terkurasi.

“Tujuan akhirnya, kami ingin masyarakat mengenai aplikasi lokal karena selama ini sangat minim yang tahu. Dengan adanya aplikasi khusus yang sudah di-preload, masyarakat jadi gampang mengetahuinya.”

Hari menambahkan, usulan yang diajukan pengembang lokal untuk bisa masuk ke TKDN diharapkan syaratnya bisa diturunkan, tidak lagi harus satu juta unduhan. Angka yang dinilai ideal menurut pelaku usaha adalah 100 ribu unduhan.

“Masukan angka unduhan minimal 100 ribu kali diunduh menurut kami cukup masuk akal dan bisa diukur kualitasnya. Kalau menunggu satu juta unduhan butuh waktu lama, bisa jadi tahunan.”

Isu kekurangan talenta masuk dalam prioritas tantangan

Selain itu, dalam konferensi ini juga membahas tujuh isu lainnya dan solusi yang coba ditawarkan kepada pemerintah. Pada dasarnya, ada lima bidang permasalahan yakni pasar, talenta, regulasi, infrastruktur, dan permodalan.

Mengenai permasalahan pasar, isu yang disinggung setelah promosi digital adalah meningkatan pangsa pasar lokal. Untuk masalah talenta, mengenai dukungan industri teknologi, ruang untuk inovasi, dan institusi pendidikan.

Untuk masalah regulasi, selain isu preload adalah perizinan dan legal. Masalah infrastruktur, mengenai kebutuhan riset pasar dan inkubator. Terakhir, masalah permodalan adalah isu mengenai investor.

Narenda Wicaksono, CEO Dicoding Indonesia, menerangkan salah satu masalah utama yang jadi tantangan adalah kurangnya talenta. Institusi pendidikan yang menyediakan ilmu jurusan komputer atau ilmu informatika memang jumlahnya banyak, tapi mayoritas tidak semua lulusan dari sana yang bisa langsung terserap di industri. Pasalnya, kurikulumnya tidak relevan dengan industri.

Menurutnya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dengan institusi pendidikan berupa komunikasi yang intensif agar ada restrukturisasi kurikulum yang dibangun sesuai dengan kebutuhan industri.

Salah satu kurikulum yang dibangun oleh pelaku usaha adalah International Business Machines (IBM) Indonesia. Vina Kasim, Country Manager IBM Indonesia menerangkan untuk mendukung talenta IT yang berkualitas pihaknya meluncurkan materi yang bisa diakses secara online dan berbahasa Indonesia yang diakses melalui situs Dicoding.

Di sana, para pengembang bisa mempelajari dengan gratis dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, IBM juga menyediakan akses infrastruktur dan teknologi bentuk kredit untuk penggunaan platform Softlayer dan IBM Bluemix.

“Kami percaya para pengembang Indonesia merupakan yang terbaik dalam mengarahkan perekonomian kreatif di negeri ini dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Kami berharap bisa jadi mitra dalam membantu mereka melalui perangkat dan platform teknologi yang kami miliki,” pungkas Vina.

Educa Studio Meluncurkan Aplikasi Pendidikan Anak Dunia Marbel

Educa Studio, developer game asal Salatiga, kembali merilis aplikasi terbaru yang bernama Dunia Marbel. Aplikasi yang saat ini sudah bisa diunduh di Google Play ini merupakan aplikasi yang menampilkan daftar ratusan aplikasi pendidikan untuk anak. Aplikasi ini dibuat untuk memudahkan pengguna mengakses berbagai macam list hanya dalam satu aplikasi.

Aplikasi yang dimiliki oleh Educa Studio saat ini cukup banyak, ada sekitar 250 aplikasi dan permainan. Aplikasi-aplikasi tersebut terbagi menjadi beberapa kategori seperti  aplikasi belajar dan pendidikan, buku cerita anak, buku kisah nabi, aplikasi belajar muslim, game anak, lagu anak interaktif, dan permainan untuk Ibu.

Menurut CEO Educa Studio Andi Taru, pembuatan aplikasi ini berdasarkan masukan dari banyak pengguna produk Educa Studio. “User membutuhkan sebuah perangkat yang ringkas, untuk dapat dengan mudah mengakses ratusan aplikasi pendidikan yang disediakan oleh perusahaan dan jumlahnya akan terus bertambah.”

Pembuatan “agregator” Dunia Marbel ini membutuhkan waktu tiga bulan dan secara resmi dirilis pada 22 Juni 2016 lalu.

User mungkin akan merasa kesulitan memilih aplikasi yang banyak tersebut. Dan berawal dari masukan pengguna produk Educa Studio, kami membuat alat bantu berupa Dunia Marbel. Jadi sebenarnya Dunia Marbel ini layaknya e-katalog dari produk-produk Educa Studio. Diharapkan pengguna dapat melihat aplikasi terbaru, melihat aplikasi sesuai dengan kebutuhan,” kata Andi.

Menambah jumlah pengguna aktif

Selama ini Educa Studio selalu konsisten menghadirkan ragam permainan hingga pendidikan yang berguna untuk anak-anak. Selain aplikasi Dunia Marbel, dalam waktu dekat Educa Studio juga akan segera mengembangkan permainan lainnya khusus untuk anak-anak.

“Saat ini kami sedang mengembangkan game untuk anak dengan nama Marbel & Friends. Berbeda dengan Marbel yang memang fokus pada pembelajaran untuk materi tertentu, walau ada porsi permainannya. Marbel & Friends lebih fokus pada permainan namun memiliki tema dan aktivitas tertentu untuk pengenalan suatu hal pada anak. Misalnya saja: Marbel Supermarket,” kata Andi.

Hingga akhir tahun 2016 ini Educa Studio memiliki ‘goals’ untuk mematangkan proses produksi yang sudah semakin efisien dengan peningkatan kualitas produk. Dengan demikian hal tersebut akan berimbas kepada retensi user yang semakin lebih baik.

“Diharapkan selain mempertahankan pengguna yang aktif Educa Studio bisa mempertahankan active user yang sudah sedemikian besar digabungkan dengan growing user baru sehingga perusahaan terus tumbuh,” tuntas Andi.

Application Information Will Show Up Here

Waktunya Menentukan Strategi Yang Tepat Untuk Perkembangan Startup

Hari pertama Echelon Indonesia 2016 Scale Stage diramaikan dengan kehadiran speaker yang memiliki prestasi serta bisnis yang terbilang sukses. Tahun ini Echelon Indonesia memberikan sesi Master Class kepada peserta Echelon untuk bisa mempelajari lebih lanjut, teknologi apa yang sesuai, CTO seperti apa yang ideal hingga UI/UX apa yang pas untuk website usaha.

Salah satu pembicara yang dihadirkan adalah Founder Dicoding Narenda Wicaksono. Narenda turut membagikan beberapa rahasia serta informasi penting kepada para programmer, coder dan developer yang menghadiri acara Echelon 2016. Salah satu fakta yang dipaparkan oleh Narenda adalah 87% startup di Indonesia dijalankan secara bootstrap, 77% startup lebih fokus kepada lokal market dan 100% pendiri startup adalah seorang coder.

Narenda juga menegaskan penting untuk seorang pendiri startup untuk menemukan CTO yang sesuai dengan visi dan misi startup, karena nantinya CTO tersebut yang bertanggung jawab membuat sebuah produk yang baik dan layak untuk dijual dan melakukan proses scale-up dengan menerapkan sistem yang up-to-date dan easy-to-use.

Di antaranya adalah small size APK untuk menjangkau lebih banyak pasar. Tentunya sebagai negara yang dikenal sebagai “mobile first” tim developer dan programmer nantinya juga harus mampu untuk menciptakan network dan desain yang baik.

Di akhir presentasinya, Narenda turut memberikan beberapa masukan kepada investor dan venture capitalist yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup di Indonesia.

“Saya juga ingin memberikan rekomendasi kepada pendiri startup hingga investor untuk mulai mencari tenaga coder, programmer dan developer di luar Jakarta, kemudian untuk investor investasi di early stage menjadi hal yang krusial,”kata Narenda.

Educa Studio berani bermain di produk “niche

Di kesempatan yang berbeda, Founder dan CEO Educa studio Andi Taru turut berbagi rahasia sukses startup yang dimilikinya. Sebagai salah satu pembuat permainan edukasi lokal yang menjalankan bisnisnya di awal secara bootstrapping, saat ini Educa Studio telah mengalami peningkatan dari jumlah pengguna hingga permainan yang dihasilkan, dengan strategi membuat permainan yang “niche” dan enggan untuk dibuat oleh pemain lainnya.

“Selama ini saya melihat masih jarang startup atau perusahaan teknologi dan pembuat aplikasi yang mengembangkan permainan edukasi, justru kami dari Educa Studio melihat pilihan tersebut berpotensi besar untuk dikembangkan,” kata Andi

Dalam sesi Master Class tersebut, Andi juga berbagi rahasia sukses bagaimana caranya untuk mendapatkan pengguna yang banyak, dengan memanfaatkan kesempatan menjadi speaker atau pembicara di berbagai acara konferensi teknologi.

“Dari situ nantinya media akan melihat bisnis Anda, dan mulai tertarik untuk mengembangkan, untuk itu selain media sosial manfaatkan acara-acara yang bisa digunakan untuk branding dan promosi,” kata Andi

Panggung scale di Echelon 2016 diwarnai dengan kehadiran pembicara yang cukup banyak membantu peserta untuk meningkatkan bisnis yang dimiliki dengan menerapkan teknik, sistem dan teknologi yang tepat.

Panggung scale di hari pertama juga dihadiri oleh, ANNA REHERMANN Founder, Growth Hacking Asia, Head of Elastic Computing Services, Aliyun XIANGLONG HUANG, Director Of Growth, MOX Ryan Shuken, Head of International Business (Technology Services), CodeStore – N’osairis Akshay Arora, Founder & CEO, Dycode Andri Yadi, Founder & CEO Kennedy, Voice & Berliner Dian Noeh Abubakar, UX Consultant, Netizen Experience Mike Wong.

Educa Studio Kembangkan Aplikasi Koleksi Lagu Anak (KOLAK)

Indonesia saat ini bisa dikatakan sedang kekurangan stok lagu anak. Banyak anak-anak di bawah umur dipaksa mengkonsumsi lagu-lagu yang bukan untuk seumuran mereka sehingga mereka terkesan dewasa sebelum waktunya. Menanggapi fenomena ini, pengembang aplikasi asal Salatiga, Educa Studio secara khusus meluncurkan aplikasi Koleksi Lagu Anak (KOLAK).

Educa Studio dalam pengembangan aplikasi ini berkolaborasi dengan pencipta lagu Z.P. Heru Budhianto atau yang lebih akrab disapa Kak Zepe pencipta lagu-lagu yang sudah cukup akrab untuk anak-anak, seperti Kebun Binatang, Kaki Hewan, Binatang Nocturnal, Sifat Air, Akulah Matahari, dan Sebanyak Bintang di Langit.

Aplikasi KOLAK Educa Studio 2

“Harapan saya, lagu-lagu ini dapat mengajak anak Indonesia untuk bernyanyi dan belajar mengenal keanekaragaman satwa dan keindahan alam yang perlu kita lestarikan bersama,” ujar Kak Zepe.

Melalui lagu yang mendidik dan menggembirakan, anak-anak belajar mengenal kekayaan alam, huruf, angka, dan juga budi pekerti yang baik dengan cara yang selaras dengan perkembangan kognitif dan psikologis anak.

CEO Educa studio Andi Taru dalam keterangan persnya juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi anak-anak yang lebih mahir menyanyikan lagu orang-orang dewasa (percintaan, kecemburuan dan perselingkuhan) dibanding dengan lagu-lagu yang pantas untuk seusia mereka.

“Keprihatinan inilah yang mendorong kami untuk membuat KOLAK. Kami ingin mengimbangi konten musik yang ada dengan lagu-lagu anak nusantara yang baru, ceria, dan bermanfaat,” jelas Andi.

Dalam aplikasi KOLAK nantinya akan terdapat kumpulan lagu-lagu anak yang didesain dengan tampilan yang menarik dilengkapi dengan audio visual dan gambar animasi yang bisa membuat kegiatan menyanyi bersama anak-anak lebih menyenangkan.

Semua fitur yang ada di dalam aplikasi KOLAK dapat dimanfaatkan secara gratis hanya dengan mengunduh aplikasi KOLAK di Google Play.

Aplikasi KOLAK Educa Studio

“Kami berharap KOLAK dapat dimanfaatkan oleh orangtua, sekolah, dan guru sebagai sarana untuk mengakrabkan anak-anak dengan lagu-lagu yang sesuai dengan perkembangan usia mereka,” lanjut Andi.

Ke depan untuk memberikan yang terbaik bagi penggunanya, Educa Studio berencana untuk menambah koleksi lagu terbaru KOLAK dengan mengangkat lebih banyak tema menarik dan meningkatkan standar rekaman sehingga kualitas suara bisa lebih baik.

Aplikasi KOLAK saat ini dikembangkan menggunakan Intel NDK dan juga mendapat dukungan dari platform Dicoding. Seperti yang diutarakan CEO Dicoding Narenda Wicaksono, pihaknya senaniasa menjembatani kebutuhan masyarakat dengan berbagai macam solusi teknologi hasil karya pengembang aplikasi lokal.

“Dicoding berkomitmen untuk menjembatani kebutuhan masyarakat dengan solusi teknologi tepat guna hasil karya developer lokal. Kami ingin agar karya-karya unggul developer lokal dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk Indonesia,” ungkap Narenda.

Aplikasi “Marbel Belajar Membaca” Tawarkan Kemudahan Belajar untuk Anak

Kemudahan teknologi dimanfaatkan oleh tim Educa Studio membuat sebuah aplikasi edukatif dalam mengenal huruf, mengeja suku kata hingga membaca sejumlah kosakata disertai gambar dan animasi yang menarik. Ide awal dibuatnya aplikasi ini adalah khusus untuk anak usia 6-8 tahun, namun pemanfaatan aplikasi Marbel belajar membaca bisa juga di gunakan oleh seluruh kalangan yang ingin mengasah kemampuan dengan memanfaatkan aplikasi ini. Saat ini aplikasi Marbel Belajar Membaca sudah tersedia di Play Store dan App Store.

Continue reading Aplikasi “Marbel Belajar Membaca” Tawarkan Kemudahan Belajar untuk Anak

Educa Studio Luncurkan Aplikasi Kumpulan Lagu Untuk Anak

Educa Studio nampak semakin melebarkan sayapnya untuk menyajikan konten untuk anak-anak. Setelah merilis berbagai seri permainan edukatif, cerita interaktif, dan game untuk anak-anak, kini Educa Studio mempersembahkan aplikasi yang berisi kumpulan lagu untuk anak-anak. Lagu anak ini merupakan hasil kolaborasi antara Educa Studio dengan Purwacaraka Music Studio Salatiga. Continue reading Educa Studio Luncurkan Aplikasi Kumpulan Lagu Untuk Anak

Ajak Anak Belajar Memasak di Game Magic Baby Food Maker

Educa Studio kembali meluncurkan game bertema edukasi untuk anak. Dalam game terbarunya yang berjudul Magic Baby Food Maker, Educa Studio mencoba membawa nuansa yang sedikit berbeda dengan gamegame sebelumnya.

Jika dalam game edukasi milik Educa Studio sebelumnya diisi dengan permainan yang sederhana, kali ini Magic Baby Food Maker mencoba menampilkan permainan yang sedikit lebih kompleks. Di sini anak akan dicoba untuk melakukan aktivitas dengan objektif yang memerlukan pemahaman yang baik terhadap tugas yang diberikan.

Screenshot_2015-10-01-19-54-27

Dalam Magic Baby Food Maker, ada karakter gajah serta ada tugas yang harus dikerjakan, nah pemain akan diminta membuat makanan sesuai dengan apa yang karakter gajah di dalam game inginkan.

Untuk membuat makanan tersebut, dibutuhkan beberapa bahan yang bisa dipilih. Dari bahan tersebut, kita harus mengolahnya terlebih dahulu sebelum bisa disajikan.

Info menarik: 5 Game Simulasi Merawat Bayi untuk Android

Jika dibutuhkan tiga buah wortel, maka kita harus mencari dahulu bahan makanan berupa wortel di invetori kita. Ketika sudah ketemu, kita harus meletakkan wortel tersebut di talenan. Setelah itu pemain harus memotong wortel tersebut menggunakan pisau.

Kemudian wortel tersebut dimasak di panci lalu dimasukan ke dalam mangkuk. Langkah ini harus diulang sesuai dengan berapa banyak wortel yang dibutuhkan. Demikian juga untuk bahan makanan lainnya.

Screenshot_2015-10-01-19-54-40

Proses memasak ini juga melibatkan proses belajar dimana anak bisa mengenal berbagai jenis bahan seperti sayur, buah, dan makanan lainnya. Game ini juga dibawakan dalam bahasa Inggris sehingga anak bisa turut belajar bahasa Inggris juga melalui game ini.

Magic Baby Food Maker sudah bisa diunduh di Google Play secara gratis. Game ini tepat dimainkan untuk anak-anak karena mengusung unsur edukasi dan ramah dimainkan oleh anak-anak.

Kisah Persahabatan Angsa, Aplikasi Buatan Lokal Untuk Bercerita Kepada Anak

Sewaktu kecil, sebagiab besar dari kita pernah dibacakan cerita atau dongeng untuk pengantar tidur. Kisah-kisah tentang persahabatan, cerita yang mengajarkan nilai kehidupan, atau bahkan kisah sejarah disampaikan dengan sangat menarik pada anak-anak kecil dari waktu ke waktu.

Continue reading Kisah Persahabatan Angsa, Aplikasi Buatan Lokal Untuk Bercerita Kepada Anak