Kotakode Diluncurkan sebagai Kanal Komunitas dan Tanya Jawab Seputar Pemrograman

Berangkat dari pengamatannya memberikan inspirasi kepada Peter Tanugraha mendirikan platform yang berguna untuk para programmer di Indonesia. Bersama rekannya Michael Englo, Kotakode resmi diluncurkan pertengahan tahun 2020 ini.

“Ketika saya sedang bekerja di Kanada, saya sering berpartisipasi di Stack Overflow. Suatu hari ketika saya sedang browsing, saya menemukan sebuah pertanyaan oleh orang Indonesia. Karena Stack Overflow adalah platform yang strict untuk menggunakan bahasa Inggris, pertanyaan susah dipahami oleh beliau, mungkin karena kemampuan bahasa Inggris yang kurang mahir,” kata Peter.

Saat melakukan riset, Peter menemukan bahwa kebanyakan bagi mereka yang kesulitan untuk mengerti kemudian diarahkan ke beberapa platform seperti Facebook Group, Telegram Chat, Discord Chat, hingga Whatsapp Chat yang telah menjadi alternatif lain untuk media tanya/jawab tentang coding. Ditemukan jumlah total pengguna dari semua grup itu bisa mencapai lebih dari 4 juta orang. Melihat fakta tersebut Peter kemudian terpancing untuk meluncurkan sebuah platform menyeluruh untuk para programmer dalam bahasa Indonesia.

“Dari situlah inspirasinya untuk membangun sebuah platform online Kotakode, di mana kita ingin membuat sebuah komunitas inklusif untuk programmer di seluruh Indonesia. Saya pikir dengan Indonesia diprediksikan menjadi leader in digital economy pada tahun 2025, jumlah programmer di seluruh Indonesia juga akan meningkat,” kata Peter.

Di Indonesia, memang belum ada platform yang secara khusus menjadi kanal tanya jawab dan diskusi para programmer. Platform yang telah ada dari startup umumnya menawarkan kegiatan coding bootcamp dan kelas seperti Hacktiv8, Dicoding, dan Progate.

Model bisnis Kotakode

Saat ini Kotakode telah memiliki sekitar 2 ribu lebih pengguna terdaftar. Per harinya Kotakode bisa mendapatkan sekitar 500 – 3000 pageviews. Di bulan November dan Desember ini, Kotakode baru mulai meluncurkan community partnership dengan sejumlah Universitas dan SMK di Indonesia; programnnya akan dijalankan pada awal semester (Januari 2021). Langkah strategis ini diproyeksikan akan membawa ribuan pengguna baru.

“Pada dasarnya kita memiliki dua jenis mitra, yang pertama adalah Community Partner dan yang kedua adalah Supporting Partner. Community partnership adalah bentuk kerja sama yang lebih erat dibandingkan supporting partner di mana murid/peserta dari pihak kedua akan diarahkan ke Kotakode apabila ada pertanyaan apapun mengenai pemrograman. Sementara Supporting Partner lebih kepada kolaborasi acara, social media sounding dan juga soft-selling Kotakode,” kata peter.

Disinggung seperti apa model bisnis dan strategi monetisasi yang diterapkan, Peter menegaskan Kotakode memiliki beberapa strategi monetisasi yang bakal diterapkan ke depannya. Di antaranya adalah Targeted Advertisement, Job Hiring Platform, dan Kotakode Pro Version. Masing-masing nantinya akan menerapkan payment per ad posting, revenue per impressions, payment per job posting, subscription per month dan subscription per month.

“Tapi untuk saat ini kita masih menjalankan bisnis secara bootstrapping, karena fokus Kotakode saat ini adalah untuk mendapatkan pengguna dalam jumlah besar terlebih dulu,” kata Peter.

Pandemi dan rencana Kotakode

Saat pandemi Kotakode tidak mengalami kendala yang berarti. Dengan mengedepankan online, semua proses tetap bisa berjalan menyesuaikan kegiatan pengguna mereka yaitu para programmer. Hal tersebut yang menjadi keunggulan bagi Kotakode sebagai platform. Salah satu produk yang kemudian menjadi pilihan pengguna adalah, forum tanya/jawab dan juga forum blogging.

“Salah satu alasan kenapa orang berkontribusi di Kotakode (menjawab pertanyaan/menulis blog) adalah untuk menambah portofolio mereka. Karena pandemi ini orang kebanyakan tinggal di rumah saja, mereka memiliki waktu luang untuk mencoba menambahkan portofolio mereka agar bisa lebih competitive di job market,” kata Peter.

Tahun depan ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Kotakode, di antaranya adalah masuk ke revenue-generating stage melewati targeted Advertising di platform. Kotakode juga ingin menciptakan fitur job hiring di platform.

“Untuk saat ini kami sedang dalam fase research di mana kita sudah melakukan wawancara kepada 20 lebih dari technical recruiters dan ingin mengetahui lebih tentang tech-hiring landscape agar Kotakode bisa membantu. Setelah kita melakukan revenue-generating, rencananya kegiatan fundraising untuk ekspansi tim dari sisi engineering, product, marketing dan business development juga akan dilakukan,” kata Peter.

Mengintip Proses Produksi Konten Pembelajaran Pemrograman Online

Ramai-ramai mempelajari hal baru adalah salah satu dampak selama pandemi setengah tahun terakhir ini. Beberapa laporan dan survei menyebutkan masyarkat mulai peduli tentang pengembangan kemampuan di masa-masa sulit seperti sekarang. Gayung bersambut, industri edtech di Indonesia sedang tumbuh subur.

DailySocial berkesempatan mengintip bagaimana proses produksi konten dua penyedia layanan belajar online Kode.id dan Dicoding. Keduanya sama-sama berada di segmen pengguna yang sama, coding atau programming dan teknologi.

Kode.id (Kode), yang merupakan bagian dari Hacktiv8, saat ini sudah memiliki 165 kelas dengan total pembelajaran lebih dari 305 jam. Ada 70% konten Kode yang diproduksi secara mandiri, namun ada beberapa yang diproduksi bekerja sama dengan Production House.

“Hacktiv8 Indonesia memiliki in-house production team yang memproduksi konten setiap harinya. Tidak hanya in-house team, tetapi studio dan perlengkapan shooting produksi pun dijalankan secara mandiri. Namun, dengan adanya penambahan konten yang pesat, kami pun mulai berkolaborasi dengan production house lokal untuk memproduksi kelas di Kode.id,” terang Founder Kode.id Ronald Ishak.

Kode.id saat ini memiliki tiga tahapan yang harus dilalui untuk memproduksi sebuah konten atau kelas. Tahap pertama dimulai dengan perancangan dan desain materi pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan produksi kelas, seperti shooting dan editing. Tahapan ini ditutup dengan proses quality assurance atau review. Semua tahapan ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 minggu.

“Ada dua jenis review atau QA yang dilakukan: Content QA dan Production QA. Content QA dilakukan dengan cara melihat dan mengevaluasi materi, meliputi relevansi dengan dunia kerja, penggunaan teori yang tepat, penggunaan study case dan contoh untuk mengilustrasikan suatu topik. Sedangkan, Production QA berfokus kepada produk audio visual yang akan diterbitkan di platform Kode.id, meliputi cross check audio leveling, evaluasi kualitas gambar, konsistensi dalam editing, dan lain-lain,” lanjut Ronald.

Proses serupa juga berlaku di Dicoding. Sebagai salah satu pionir platform pembelajaran pemrograman di Indonesia, semua konten pembelajaran mereka, dasar sampai mahir, diproduksi sendiri secara in-house.

Prosesnya dimulai dengan menentukan atau mendesain alur belajar yang hendak diterbitkan, kemudian membuat daftar apa saja yang akan dibuat. Daftar ini kemudian dikonsultasikan dengan pihak eksternal (expert) untuk selanjutnya dituangkan dalam modul atau tulisan. Selanjutnya proses ditutup dengan multi layer review yang memastikan kaidah penulisan, kualitas materi, referensi, dan lainnya agar sesuai dengan standar kualitas yang mereka miliki.

Semua proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan,” sambung Founder Dicoding Narenda Wicaksono.

Amanda Simandjuntak, Co-Founder Skilvul, menambahkan tentang apa yang ada di balik produksi konten mereka. Menurutnya, setiap konten atau kelas yang ada di dalam Skilvil diproduksi mandiri bersama dengan beberapa kreator konten yang merupakan praktisi di industri.

Ada beberapa tahap dalam pengembangan kelas dalam Skilvul, termasuk adalah riset tentang materi dan survei ke hiring partner dan industri. Langkah ini dilanjutkan dengan pengembangan dan review. Kelas akan tetap diawasi agar tetap relevan dengan kebutuhan.

“Untuk saat ini, karena masih kelas dasar, rata-rata waktu penyelesaian per kelas adalah 1 minggu. Untuk kelas yang lebih advanced [akan di-launch bulan depan] akan memakan waktu lebih lama,” terang Amanda.

Menjaga kualitas

Saat ini konten materi pembelajaran, terutama pemrograman, sudah tersedia di banyak tempat. Baik yang berbayar maupun yang gratis. Kode dan Dicoding paham betul hal tersebut. Itu mengapa tak masalah produksi konten memakan waktu yang lama, karena yang utama adalah kualitas konten yang diberikan.

Proses menjaga kualitas ini dimulai sejak pertama kali memutuskan untuk membuka kelas. Kode, dari penuturan Ronald,  memilih untuk membuat kelas yang relevan dengan dunia kerja dan dapat diterapkan. Hal ini dikombinasikan dengan instruktur yang passionate di bidangnya.

Sementara Dicoding memulainya dengan melakukan riset, kemudian melihat ketersediaan expert yang dapat diandalkan secara in-house untuk kelas baru tersebut. Tak lupa mereka melihat kebutuhan industri dan permintaan pengguna.

Di Skilvul, karena menargetkan anak SMK dan kuliah, perusahaan mengamati bahasa pemrograman apa yang banyak dipakai di industri.

Dicoding Pertajam Fitur Job Marketplace, Bantu Perusahaan Temukan Lulusan Terbaik

Dicoding, startup edukasi dan komunitas pemrograman, mempertajam fitur job marketplace yang baru dirilis pada tahun ini agar semakin memberikan dampak positif demi mengurangi ketimpangan antara kebutuhan industri dengan talenta berkualitas.

Co-Founder dan CEO Dicoding Narenda Wicaksono menjelaskan, situs job marketplace ini dibutuhkan oleh tiap perusahaan yang ingin mencari talenta IT. Menurut hasil riset yang ia kutip, dari seluruh lulusan IT di Indonesia, hanya 7% di antaranya yang bekerja di perusahaan IT yang diinginkan.

Ditambah lagi, mengacu pada survei internal yang dibuat Dicoding bulan lalu untuk 150 ribu developer IT di 460 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hanya 56% SDM IT yang sukses mendapatkan karier sebagai IT developer atau engineer di perusahaan.

Sedangkan 44% sisanya masih bekerja lepas. Salah satu penyebabnya karena tertinggalnya kemampuan yang dimiliki lulusan IT dan belum sesuai dengan kebutuhan industri terkini.

Survei menyebutkan, meski mayoritas responden merupakan lulusan IT, tapi dua dari tiga orang merasa bahwa mereka baru “mulai belajar” pemrograman dasar seperti Android, Java, dan Web saat mengikuti kelas online Dicoding Academy.

Bahkan, satu dari tiga orang merasa bahwa materi yang diberikan oleh Kelas Pemula di Dicoding setara dengan materi yang diterima saat mereka kuliah.

“Ini jadi fakta yang miris. Untuk itu kita harus do something untuk memberi semangat dengan memberikan kesempatan belajar untuk semua orang. Makanya kami buat program beasiswa mulai bulan ini,” terangnya, Rabu (15/5).

Situs job marketplace ini disebutkan hanya untuk pelajar Dicoding Academy yang telah lulus menyelesaikan seluruh tugasnya dan aktif dalam komunitas Dicoding. Namun, setiap orang dari latar belakang manapun memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing mendapatkan pekerjaan di bidang IT sesuai spesialisasinya.

Narendra menyebutkan beberapa perusahaan yang sudah memanfaatkan Dicoding Jobs di antaranya BNI, Biznet, Telkom, dan Gojek.

“Kami ingin pastikan talenta yang bisa pakai situs ini hanya mereka yang sudah lulus. Banyak sekali dari mereka yang sudah keburu di-hire perusahaan meski belum lulus. Ini menunjukkan demand yang begitu tinggi terhadap talenta khusus di bidang IT apalagi yang bisa coding.”

Buat program beasiswa

Sejalan dengan upaya tersebut, Dicoding terus berusaha menjaring lebih banyak talenta baru untuk tertarik mendalami ilmu pemrograman dengan kelas edukasi yang telah disiapkan. Perusahaan kini giat menggelar program beasiswa, juga gaet mitra korporasi agar semakin banyak menelurkan talenta berbakat.

“Target kita adalah relevan dengan kebutuhan industri, bagaimana bisa cetak talenta terbaik agar bisa di-hire oleh perusahaan terbaik, talenta pun bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,”

Sepanjang tahun ini Dicoding bekerja sama dengan berbagai institusi pemerintah seperti Bekraf dan Kemkominfo, juga level swasta seperti perusahaan telekomunikasi untuk program beasiswa yang diadakan oleh masing-masing institusi. Harapan akhirnya adalah ketimpangan antara kebutuhan dan permintaan di bidang IT semakin menipis.

Hingga Mei 2019, Dicoding telah memiliki 150 ribu anggota yang berhasil membuat 820 startup. Startup ini maksudnya produk, bisa berupa aplikasi sebagai ketentuan kelulusan. Secara total ada 5.500 aplikasi yang telah dihasilkan oleh seluruh startup tersebut. Bila ditotal, seluruh aplikasi ini telah diunduh sampai 225 juta kali.

Adapun kelas yang ditawarkan terdiri dari 19 kelas berbeda dengan ragam jenjang dari pemula hingga mahir, meliputi Membuat Aplikasi Android, Membuat Game, Membangun PWA, Cloud, Flutter, Kotlin for Android, Blockchain, Java, Web, Chatbot, Cognitive, serta Manajemen Source Code.

Seluruh kelas ini ada yang bisa diakses secara gratis namun ada juga yang harus berbayar sampai Rp2,2 juta.

Secara perusahaan, Dicoding melakukan monetisasi secara B2B lewat bekerja sama dengan berbagai korporasi dan B2C lewat penjualan kelas edukasi Dicoding Academy kepada end user. Narenda menyebut perusahaan masih menggunakan dana dari kantong sendiri untuk operasionalnya dan belum terbuka untuk pendanaan dari pihak eksternal.

Entering the Fifth Year, Dicoding Is Set to Accommodate Indonesian Developers

In early March 2019, a startup iin education and programming community, Dicoding has celebrated its early fifth year. In an ocassion at Asian Insight Coonference 2019, Dicoding’s Co-Founder & CEO, Narenda Wicaksono shared some of the achievements. They’ve acquired more than 140 thousand developers, 800 local startups, and produce 5200 digital content. Dicoding community members come from various area, of 454 cities and regencies in Indonesia.

“Dicoding vision is to be the best network for Indonesian developers. Therefore, they have two main objectives. First is to help developer becoming entrepreneur that capable to develop world-class products. Second is to deliver as much digital talents available. In its fifth year, it becomes an important milestone in achieving Dicoding’s vision and mission, also supporting digital-based creative economy development program,” he said.

Since the beginning, Dicoding use the web-platform to reach developer and potential ones in Indonesia. There are some activities to follow through Dicoding, from developer competition, events, and learning channel in programming. Recently, they also launch job marketplace feature that allows partners to connect with the alumni.

“We’re focus to produce more relevant digital talents with market’s demand. We’ll keep working with world-class tech principals to develop the most updated technical curriculum. Their target is to produce new product every month. In the next few months, we’ll create subscription model for more access to the high-quality class at affordable price,” Dicoding’s Co-Founder & COO, Kevin Kurniawan said to DailySocial.

Kevin also said, although their members are in all over Indonesia, Dicoding has no plan to build new branches in other areas. Their headquarter is located in Bandung.

Tim di balik layar Dicoding / Dicoding
Tim di balik layar Dicoding / Dicoding

Connecting developer and industry

Dicoding partners with industry players, the government, and tech enthusiasts for its activities and learning materials. Bekraf, Microsoft, Google, and Samsung is some of Dicoding’s strategic partners.

Currently, there’s an online class to be an Android, Kotlin, Game, Azure Cloud, AWS Associate, and Progressive Web Apps developer. If the participants can pass the final test, they will get graduation certificate approved by IT industry players and will be considered in the recruitment.

In its fifth year, Dicoding plans to add some online classes with the latest topic to support the active classes verified by industry players, such as Google and Indonesian Game Association.

“Speaking of Indonesian public interest on programming, coding can be mastered by anyone, even though those without any IT background. For example, Junia Firdaus, a Gojek’s driver who made it into an Android Developer in one of the company in Jakarta. The competency standard for developer in Indonesia is merely low. Due to digital competency that is not very updated in formal academic institution,” Kevin added.

However, Dicoding team is optimistic that Indonesian resources can compete with overseas players in the future. As long as they have high fighting spirit and learn using the right curriculum.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Masuki Tahun Kelima, Dicoding Berkomitmen Terus Jadi Wadah Developer di Indonesia

Awal Maret 2019 ini, startup di bidang edukasi dan komunitas pemrograman Dicoding merayakan awal tahun kelimanya. Dalam sebuah kesempatan pada pagelaran Asian Insights Conference 2019, Co-Founder & CEO Dicoding Narenda Wicaksono menyampaikan berbagai capaian yang telah diraih. Mereka telah merangkul lebih dari 140 ribu developer, 800 startup lokal, dan menghasilkan 5200 karya digital. Anggota komunitas Dicoding berasal dari berbagai daerah, dari 454 kota dan kabupaten di Indonesia.

“Visi Dicoding menjadi jaringan terbaik untuk developer di Indonesia. Untuk itu, Dicoding memiliki dua misi utama. Pertama adalah membantu developer menjadi entrepreneur yang mampu mengembangkan produk kelas dunia. Kedua adalah melahirkan sebanyak mungkin talenta digital siap kerja. Di tahun kelima, pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan visi misi Dicoding, serta untuk mendukung program peningkatan ekonomi kreatif berbasis digital,” ujar Narenda.

Sejak awal, Dicoding memanfaatkan platform website yang dimiliki untuk menjangkau pengembang dan calon pengembang di Indonesia. Ada beberapa kegiatan yang bisa diikuti melalui web Dicoding, mulai dari kompetisi developer, acara developer, hingga kanal pembelajaran dengan topik pemrograman. Baru-baru ini Dicoding juga meluncurkan fitur job marketplace, memungkinkan rekanan untuk terhubung dengan para lulusan.

“Kami fokus untuk memproduksi lebih banyak talenta digital yang relevan dengan kebutuhan pasar. Kami akan terus bekerja sama dengan principal teknologi dunia untuk mengembangkan kurikulum teknis yang paling update. Setiap bulan ditargetkan akan ada produk baru yang dirilis. Dalam beberapa bulan ke depan, kami pun akan membuka model subscription yang akan memberikan akses ke lebih banyak kelas berkualitas dan harga yang bersahabat,” terang Co-Founder & COO Dicoding Kevin Kurniawan kepada DailySocial.

Kevin turut menyampaikan, kendati jangkauan anggota sudah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, namun Dicoding belum ada rencana untuk membangun markas baru di daerah lain. Saat ini kantor utama Dicoding berada di Bandung.

Dicoding
Tim di balik layar Dicoding / Dicoding

Menghubungkan developer dengan industri

Dicoding bekerja sama langsung dengan pelaku industri, badan pemerintahan, dan penggiat teknologi dalam melakukan aktivitas dan menyediakan materi pembelajaran. Bekraf, Microsoft, Google, dan Samsung adalah nama-nama besar yang kini telah menjadi mitra strategis Dicoding.

Saat ini tersedia kelas pembelajaran online untuk menjadi developer Android, Kotlin, Game, Azure Cloud, AWS Associate, dan Progressive Web Apps. Jika berhasil lulus ujian dan tugas akhir, peserta akan mendapatkan sertifikat kelulusan yang diakui oleh pelaku industri IT dan menjadi salah satu pertimbangan dalam perekrutan tenaga kerja.

Di tahun kelimanya, Dicoding berencana untuk menambah beberapa kelas online dengan topik materi coding terbaru untuk mendukung kelas aktif yang terverifikasi oleh pelaku industri seperti Google dan Asosiasi Game Indonesia.

“Bicara soal ketertarikan masyarakat Indonesia dengan dunia pemrograman, saat ini coding dapat dikuasai oleh siapa pun, bahkan yang bukan berlatar belakang IT. Salah satu contoh adalah Junia Firdaus, seorang driver Gojek yang berhasil menjadi Android Developer di salah satu perusahaan di Jakarta. Standar kompetensi developer di Indonesia sangat rendah. Karena kompetensi digital tidak diajarkan secara update di institusi pendidikan formal,” lanjut Kevin.

Kendati demikian tim Dicoding cukup optimis, bahwa ke depan SDM Indonesia dapat berkompetisi dengan SDM dari luar. Selama memiliki fighting spirit yang tinggi dan belajar dengan kurikulum yang tepat.

Google Developers Kejar 2018 Resmi Diluncurkan

Google kembali meluncurkan program Google Developers Kejar tahun ini. Diperkenalkan dengan nama Google Developers Kejar 2018, Google menggandeng Dicoding sebagai mitra dan menargetkan bisa melatih 2000 pengembang aplikasi mobile Android dan mobile web.

Program ini memiliki tujuan untuk mengasah kemampuan developer Indonesia dalam mengembangkan aplikasi mobile Android menggunakan bahasa pemrograman Kotlin dan mobile web sesuai dengan standar industri. Ia dikemas dalam bentuk panduan pembelajaran dengan materi berbahasa Indonesia yang terverifikasi oleh Google Training Partner dengan kegiatan mentoring atau kelompok belajar.

“Harapan kami, program ini akan mampu menumbuh kembangkan industri teknologi informasi di Indonesia melalui generasi baru developer bangsa Indonesia yang dapat menghasilkan produk berkualitas dengan teknologi termutakhir,” ujar Developer Training Program Google William Florance.

Pada tahun 2016, Google mengumumkan komitmen untuk melatih 100.000 pengembang mobile di Indonesia di tahun 2020 dalam rangka membantu menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terkuat di Asia Tenggara. Tahun ini Google berkomitmen untuk melatih 2000 pengembang.

“Salah satu outcome program Google Developers Kejar 2018 adalah terciptanya employable talent yang mampu menjadi tenaga kerja berdaya saing tinggi untuk menggerakan roda industri TI nasional,” lanjut William.

Tahun ini peserta Google Developers Kejar 2018 akan terbagi dalam dua angkatan, pertama untuk bulan Agustus-September 2018 dan yang kedua pada bulan Oktober-November 2018. Peserta yang mendaftar kelas pemrograman aplikasi mobile Android akan mendapatkan kurikulum online, dan buku cetak “Kotlin Android Developer Expert” dari Google Authorized Training Partner, Dicoding.

“Dicoding sebagai Google Authorized Training Partner menjadi penyedia materi kurikulum Kotlin On Android di Google Developer Kejar 2018,” terang Founder Dicoding Narenda Wicaksono.

Narenda menambahkan, “Kami mendukung penuh langkah Google untuk memberikan fasilitas pembelajaran kepada seluruh developer di Indonesia. Harapan kami kelak akan muncul banyak talenta baru yang dapat membantu menggerakan industri teknologi di Indonesia maupun membuat produk kelas dunia.”

Cerita MailTarget dan Dicoding Soal Rekrutmen Talenta

Selalu ada hal menarik yang bisa dipelajari dari startup yang sedang berkembang. Dalam seri tips merekrut karyawan kali ini, DailySocial berkesempatan mendapatkan beberapa informasi dan tips dari dua startup yang tengah berkembang di Indonesia, yakni MailTarget (startup yang menyediakan solusi otomasi email marketing) dan Dicoding (platform untuk belajar pemrograman. Keduanya secara garis besar memiliki kesamaan perihal merekrut karyawan, tetapi memiliki pendekatan masing-masing.

MailTarget yang tengah berkembang dan merencanakan ekspansi  membutuhkan sumber daya yang tidak hanya banyak tetapi juga berkompetensi. Untuk itu tak heran jika Yopie Suryadi, Founder MailTarget, menyebutkan bahwa MailTarget is always hiring. Mereka selalu membuka kesempatan untuk menemukan talenta-talenta yang cocok dan melengkapi tim MailTarget saat ini.

Ada beberapa kondisi mengapa MailTarget terlihat agresif. Pertama untuk menggantikan mereka yang mengundurkan diri atau demi investasi untuk mengerjakan lini produk baru, perluasan dan percepatan bisnis, dan beban pekerjaan yang terus bertambah. Hal ini juga yang melatarbelakangi MailTarget tidak hanya membuka lowongan melalui situs pencari kerja dan email, tetapi mencari talenta dengan pendekatan personal, seperti pada saat event offline.

Pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan Dicoding. Dari penuturan Narenda Wicaksono, pendiri Dicoding, mereka biasanya mengumumkan lowongan melalui newsletter. Selanjutnya kandidat harus sudah pernah lulus di salah satu academy Dicoding. Hal ini dinilai sangat penting oleh Narenda karena bisa membuktikan kemampuan self learning dari kandidat.

“Lulusnya seseorang kandidat dari kelas academy online kami adalah indikasi dia memiliki kemampuan self learning yang bagus. Tentu kami hanya memanggil lulusan terbaik saja. Tahap kedua adalah magang dengan durasi maksimum satu tahun on the job training memberikan impact edukasi 80% dibandingkan teori. Jadi selama ini program magang cukup efektif memberikan edukasi kepada calon pegawai sambil melihat dia fit untuk role apa. Tahap ketiga adalah probation dengan durasi maksimum tiga bulan. Pada tahap ini kandidat sudah mendapatkan benefit maksimal sebagai karyawan,” terang Narenda.

Bagi MailTarget, mereka memiliki proses tersendiri untuk menyeleksi pelamar. Mulai dari memproses lamaran tidak lebih dari satu minggu, interview, tes psikologi  dan proses-proses lainnya.

“Jika ada email lamaran yang masuk, akan kami proses tidak lebih dari seminggu, setelah itu interview, tes psikologi, dan lain-lain yang diperlukan untuk mengetahui personality-nya, skill dan kompetensinya, dan kecocokannya pada tim, dan terahir ada tes yang dibawa pulang untuk dikerjakan tidak lebih dari 24 jam. Tidak kurang dari seminggu akan kami kabari lulus atau tidaknya di seleksi kami,” terang Yopie.

Sejauh ini Dicoding kurang lebih sudah 10 kali melakukan perekrutan karyawan. Sementara MailTarget sudah lebih dari 20 kali. Kedua startup tersebut tentu punya prioritas masing-masing dalam membangun tim mereka, seperti kedewasaan dalam bekerja bagi MailTarget dan kemampuan self learning bagi Dicoding.

Selain self learning, Narenda menjelaskan, saat ini mereka mencari kandidat yang memiliki kemampuan-kemampuan lain meliputi loyalitas dan seorang pejuang. Bahkan Dicoding bersedia mengembangkan bakat talenta mereka dengan memberikan pendidikan ke luar negeri.

“Kalau loyal dan pejuang, kami rela untuk mendidik mereka. Kami tidak segan untuk mengirimkan karyawan ke Singapura, Malaysia, India, hingga Amerika untuk menuntut ilmu,” lanjut Narenda.

Tips untuk merekrut karyawan baru

Selain berbagi mengenai bagaimana perjalanan dan kisah mengenai startup-nya, pihak MailTarget juga membagikan beberapa poin yang bisa dijadikan pertimbangan kapan seharusnya startup mempekerjakan anggota baru. Disampaikan Masas Dani, co-founder sekaligus CTO MailTarget berikut beberapa poin yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk menambah anggota tim:

  • Menambah orang akan menambah cost. Apakah value yang diberikan orang tersebut di team jauh lebih besar?
  • Merekrut anggota baru seperti membawa orang ke dalam kapal, artinya kita bertanggung jawab atas hidupnya di lautan. Seberapa besar kapal sekarang, untuk berapa orang kapal ini?
  • Apakah sanggup menampung kesejahteraannya sampai pensiun ?
  • Apakah siap ditinggal di tengah jalan ?

Sementara itu Narenda memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan startup yang memulai bisnisnya secara bootstrap seperti yang dilakukan Dicoding hingga saat ini. Menurutnya startup yang berstatus bootstrap tidak bisa berkompetisi dengan iming-iming uang.

“Bagi yang ingin mengambil jalur seperti kami, perlu diketahui bahwa kita tidak bisa berkompetisi mencari talenta dengan iming iming benefit uang. Biarkan para unicorn yang bertarung disana. Perlu diketahui ada banyak talenta bagus yang mencari benefit seperti keberkahan rezeki, bisa shalat di masjid tepat waktu, atau kedamaian dalam bekerja. Carilah talenta yang hidupnya “berjuang”. Biasanya mereka sangat menghargai setiap jerih payah yang dilakukan. Loyalitas dan kemampuan self learning seorang talenta adalah mandatory. Agar kita semua bisa mencapai puncak bukit dengan kecepatan yang sama tanpa perlu takut ada yang tertinggal,” tutur Narenda.

Narenda juga menceritakan di Dicoding mereka memiliki beberapa hal dalam membentuk tim yang meliputi:

  • Pertama, harus berusaha untuk mengerti personality setiap anggota. Apa yang mereka butuhkan, seperti keakraban dan kepastian.
  • Kedua, mempelajari teknik persuasif agar tim paham kenapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan. Keinginan mereka untuk mengerjakan adalah indikasi teknik kita berhasil.
  • Ketiga, usahakan untuk tetap sopan (menjaga emosi) dan profesional. Jangan sampai menjatuhkan harga diri seseorang di depan anggota tim yang lain.
  • Keempat, harus sering mendelegasikan pekerjaan dan mempercayakan tim untuk mengerjakan task yang sulit.
  • Terakhir, kita sebagai composer tidak boleh takut tim kita salah salah. Musik dalam sebuah orkestra harus terus mengalir dan sejak awal harus memiliki ekspektasi bahwa nothing is perfect. Growing ke arah perfect adalah keniscayaan dan harus dirancang agar dapat berjalan secara kontinyu.

Dicoding and Google Provide 1000 Scholarship for Lecturers and Students

In order to expand app developer community in Indonesia, Google partners with Dicoding, a learning platform [programming class] in Indonesia. It creates opportunities for a scholarship to learn Android app development in the Android Developer Expert provided by Dicoding. There will be modules, curriculum, and mentoring by experts.

This scholarship is addressed for students and lecturers of information technology wants to deepen their ability in the field of programming. Scholarships will be awarded to the eligible candidates.

The candidates are to attend online class for 90 days with curriculum and modules compiled by the experts and to be mentored by Dicoding and Google Developer Experts through professional discussion and code review.

There are 125 modules, 35 videos and 24 quizzes provided in Bahasa, from material testing, debugging, to Enhanced System Integration. In addition, the candidates will also get the printed book of “Becoming an Android Developer Expert” published exclusively by Dicoding and a picodiploma certificate from Dicoding whether the entire module is completed in the class.

“By partnering with locals such as Dicoding, we look forward to participating in Indonesia’s digital economy management, which easily developed by innovative, cutting-edge developers,” William Florance, Google Product Relations Group Developer, explained.

This partnership is Google’s support to help Indonesia in advancing the digital economy. They believe to have found the right partner with the same vision to educate and train Indonesia’s app developers.

Google team on its official page mentioned:

“Through the partnership with locals such as Dicoding, we look forward for a real contribution to Indonesia’s digital economy, a whole covered system ready to use with qualified app developers.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dicoding dan Google Berikan 1000 Beasiswa untuk Dosen dan Mahasiswa (UPDATED)

Dalam upayanya mengembangkan komunitas app developer di Indonesia, Google menjalin kerja sama dengan Dicoding, salah satu platform belajar atau kursus pemrograman di Indonesia. Kerja sama ini mewujudkan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa untuk belajar pengembangan aplikasi Andorid di kursus Android Developer Expert yang disediakan Dicoding. Dalam kursus itu nantinya akan disediakan modul, kurikulum, dan pendampingan oleh ahlinya.

Beasiswa ini ditujukan bagi para mahasiwa dan dosen pengajar di bidang teknologi informasi yang ingin memperdalam kemampuan mereka di bidang pemrograman. Beasiswa akan diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat dan terpilih.

Nantinya mereka yang terpilih berhak mengikuti belajar secara online selama 90 hari dengan kurikulum dan modul yang disusun oleh ahlinya dan dapat dibimbing oleh Dicoding dan para Google Developer Expert melalui diskusi dan code review secara profesional.

Sementara itu dari pihak Dicoding, Founder Dicoding Narenda Wicaksono menyampaikan bahwa kerja sama dengan Google ini memungkinkan mahasiswa dan dosen IT yang mendapatkan beasiswa akan berkesempatan mendapatkan pembelajaran dengan standar global dan pengetahuan terkini tentang pembuatan produk digital di platform Android.

“Saat dosen IT memiliki kemampuan yang memiliki standar global maka Indonesia akan lebih banyak mencetak talenta digital handal dari universitas yang mampu menjawab tantangan global dan supply developer yang relevan dengan kebutuhan industi,” terang Narenda.

Dalam masa belajar itu juga disediakan 125 modul, 35 video dan 24 kuis dalam bahasa Indonesia, mulai dari materi testing, debugging, hingga Enhanced System Integration. Selain pembelajaran online, penerima beasiswa juga akan mendapatkan buku cetak “Menjadi Android Developer Expert” yang diterbitkan khusus oleh Dicoding dan sertifikat picodiploma dari Dicoding jika berhasil menyelesaikan keseluruhan modul dalam kelas tersebut.

“Dengan kolaborasi dengan mitra lokal seperti Dicoding kami berharap dapat berkontribusi untuk pengelolaan ekonomi digital yang kuat di Indonesia, yang mudah dikembangkan oleh gelombang inovatif, cutting edge developers,” terang Developer Product Group Google University Relations William Florance.

Kolaborasi ini juga menjadi salah satu bentuk dukungan Google untuk membantu Indonesia terutama untuk memajukan ekonomi digital. Dalam laman resminya pihak Google merasa mereka menemukan mitra yang tepat karena memiliki visi yang sama untuk mendidik dan melatih pengembang aplikasi di Indonesia.

Tim Google di laman resminya menyebutkan:

“Melalui kolaborasi dengan mitra lokal seperti Dicoding, kami berharap dapat memberikan kontribusi nyata untuk ekonomi digital Indonesia, sebuah perekonomian yang siap untuk maju dengan ketersediaan talenta pengembang aplikasi yang berkualitas.”

Update : penambahan informasi dan komentar dari pihak Dicoding

 

Bea Cukai Barang Impor Digital, Apakah akan Berdampak pada Produk Digital Lokal? (Updated)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sudah memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk bagai barang tak berwujud (intangible goods). Beberapa barang tak terwujud yang dimaksud termasuk e-book, perangkat lunak, musik digital, film digital dan sebagainya. Darmin menyebutkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menata dan mulai mengembangkan bisnis para pelaku usaha. Sejauh ini belum diberlakukan, karena terikat moratorium dengan World Trade Organization (WTO). Sementara moratorium tersebut berakhir di tahun ini.

Sebelumnya dalam moratorium disebutkan negara-negara berkembang tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Di tengah meningkatnya perdagangan digital, baik melalui situs e-commerce atau layanan distribusi digital lain, adanya bea masuk terhadap barang tak berwujud dinilai akan berpotensi menjadi penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengusulkan ke WTO perihal pengenaan biaya ini yang akan dimulai pada tahun 2018 mendatang.

Menjadi kesempatan untuk pengembang lokal?

Salah satu dampak di sisi konsumen untuk pengenaan cukai barang tak berwujud (digital) ialah terhadap harga jual. Harga jual pasti akan menjadi lebih mahal, misalnya untuk produk perangkat lunak. Sejauh ini isu yang banyak diutarakan oleh para pengembang produk lokal ialah persaingan yang cukup berat dengan produk korporasi dari luar, khususnya untuk produk perangkat lunak yang menyasar bisnis.

Namun sayangnya draft aturan terkait hal tersebut belum disampaikan detailnya. Karena di lapangan untuk distribusi produk perangkat lunak nyatanya cukup kompleks. Saat ini produk tidak hanya didistribusikan dalam bentuk installer – misal dikemas dalam DVD atau diunduh melalui internet lalu dipasang di perangkat. Ada juga model SaaS, yang mana statusnya ke konsumen adalah sewa, bukan kepemilikan utuh layaknya licensed software.

Menanggapi tentang rencana ini, kami coba berbincang dengan salah satu pengembang perangkat lunak lokal. Kali ini kami menghubungi Yopie Suryadi selaku CEO Mailtarget –sebuah aplikasi yang membantu bisnis dalam mengelola email marketing.

“Dari apa yang saya baca, tujuan dari pengenaan bea masuk ini adalah untuk menggenjot target bea masuk. Sangat sulit untuk melihat hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan produk digital dalam negeri. Untuk mendongkrak produk digital dalam negeri yang diperlukan adalah support dari pemerintah, mendukung para pembuat produk digital dalam negeri dalam bentuk kemudahan di regulasi, mendukung ekosistem, grooming programmer berkualitas, menggenjot penggunaan karya anak bangsa dll,” ujar Yopie.

Memang pemerintah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya bea masuk ini juga dalam upaya memajukan produk digital buatan lokal.

“Salah satu hal penting buat saya adalah bagaimana implementasinya. Bagaimana pemerintah mengenakan bea masuk dari setiap e-book yang kita beli dari luar negeri. Apakah pemerintah akan punya akses penuh dari semua data aktivitas kita di internet? Apakah pemerintah akan bekerja sama dengan semua e-commerce/institusi dari luar yang menjual produk digital untuk mengenakan bea masuk di setiap transaksi? Kalau menurut Menkominfo adalah dengan melakukan self assessment kelihatan mudah tetapi penerapannya akan sangat sulit,” imbuh Yopie.

Narenda Wicaksono selaku CEO Dicoding turut memberikan komentar. Menurutnya aturan ini dapat berimplikasi pada dua hal (melihat dari sudut pandang konsumen perangkat lunak). Pertama konsumen akan mencari alternatif yang lebih terjangkau, bisa jadi non legal, seperti perangkat lunak bajakan. Kemungkinan yang kedua, konsumen akan mencari perangkat yang lebih terjangkau dan legal. Namun demikian rata-rata perangkat lunak yang dijual langsung ke konsumen adalah yang pengembangannya membutuhkan biaya tinggi. Belum banyak alternatif pengganti yang bisa dibuat oleh pengembang lokal untuk perangkat lunak tersebut saat ini.

“Harapan saya agar lebih banyak pengembang lokal yang mulai membangun software kelas dunia untuk pasar lokal. Butuh waktu 3 tahun bagi pengembang untuk membangun software pertama yang bisa dimonetisasi. Bila telah 3 tahun lewat dan belum juga bisa monetisasi, mungkin bisa mulai beraliansi atau bergabung dengan pengembang lokal yang membutuhkan talenta agar bisa mengembangkan software kelas dunia,” ujar Narenda.

Update: Penambahan opini dari Narenda Wicaksono.