Mengurai Pertanyaan di Balik “Tutup Sementara” Zenius

Startup edtech Zenius mengumumkan tutup untuk sementara waktu. Kendala operasional jadi alasan utama di balik keputusan ini.

“Saat ini Zenius sedang mengalami tantangan operasional, dan kami sangat menyesal atas ketidaknyamanan yang akan ditimbulkan bagi para pengguna kami. Kami mengambil langkah strategis untuk menghentikan operasi secara sementara, tetapi kami menjamin bahwa kami tidak akan berhenti berusaha untuk menjalankan dan mewujudkan visi untuk merangkai Indonesia yang cerdas, cerah, asik,” tulis Founder & CEO Zenius Sabda PS dalam keterangan resmi.

Sabda melanjutkan, “Kami menyadari bahwa keputusan ini akan mengecewakan banyak pihak, terutama para pengguna setia kami, yang telah mendukung dan mempercayai kami selama ini. Untuk itu, kami meminta maaf dan berterima kasih kepada para pengguna dan mitra atas kepercayaan yang telah diberikan.”

Hanya saja, dalam pernyataan tersebut, Sabda tidak merinci lebih lanjut dampak dari keputusan “sementara ini”. Pertanyaan-pertanyaan yang tersisa belum terjawab oleh publik seperti:

  1. Kapan Zenius akan kembali?
  2. Bagaimana nasib pengguna dan uang yang telah dibayarkan?
  3. Bagaimana nasib pegawai Zenius? Apakah ada pembayaran pesangon?
  4. Bagaimana dengan kelanjutan nasib Primagama?

Dikonfirmasi lebih lanjut oleh DailySocial.id, perwakilan Zenius hanya menyampaikan, “Zenius belum bisa memberikan informasi lebih lanjut untuk saat ini. Nanti akan ada informasi lagi untuk para pengguna dan cabang-cabang Primagama.”

Perjalanan Zenius

Zenius memasuki umur 20 tahun sejak pertama kali didirikan pada 2004. Para pendirinya adalah Sabda PS, Wisnu Subekti, dan Medy Suharta. Sebelum bergaya ala startup, produk awal Zenius adalah meluncurkan materi pembelajaran dalam bentuk CD dan buku. Kemudian badan hukum didirikan pada 2007 di bawah Zenius Education.

Sebelumnya dalam sesi SelasaStartup, Sabda pernah bercerita dana operasional Zenius pertama kali diperoleh dari menggesek kartu kredit. Belum ada investor, semisal dari modal ventura, yang berminat mendanai. Model bisnis pertama yang diambil adalah membuat bimbingan belajar offline. Di sana perputaran bisnis di ranah ini sangat jelas.

Ada pembayaran yang rutin diterima di muka dan dia bisa langsung mengajar murid. Penghasilan ini dia putar untuk merekrut tambahan guru dan membuat rekaman saat guru-guru tersebut tidak mengajar. “Kita buat konten di awal-awal dan menjual CD-nya. Internet belum terpikir sama sekali,” katanya.

Setahun berikutnya, tim semakin giat memproduksi CD berisi pembahasan soal-soal. Bahkan hingga 2008, variasi CD yang dijual semakin lengkap. Ada yang berbentuk paket lengkap CD, sehingga tidak perlu beli satuan. Pada tahun itu juga mereka mulai memanfaatkan internet, tapi baru sebatas berjualan CD.

“Ini momen historical kita tanggal 4 April 2008, kita launch di pameran pertama di Jakarta dan kita launch website untuk jualan CD doang.”

Tahun pertama berjualan online, diklaim Zenius sudah cek untung. Dia pun mantap pada tahun berikutnya untuk mengembangkan bisnis Zenius secara online karena masih banyak anak Indonesia yang belum mengenal Zenius, kendati pada saat itu akses internet cenderung terbatas.

“Zenius bisa bertahan karena kita ada elemen, tidak hanya yang penting laku saja, tapi impact yang benar. Ketika mereka beli konten, memang beneran bikin cerdas atau enggak. Selama yang kita deliver itu bisa mengubah pola pikir, kayanya sih umur Zenius bisa terjamin [lebih lama].”

Aplikasi Zenius sendiri baru ada pada Juli 2019 dan melakukan kampanye besar-besaran, yakni menggratiskan lebih dari 80 ribu video materi pembelajarannya. Lalu setahun berikutnya, perusahaan melakukan rebranding, baik logo, visual, dan tagline untuk menandai evolusi merek.

Pada 2022, didukung pengaruh efek pasca-pandemi, Zenius mengakuisisi Primagama dan di-rebrand dengan New Primagama. Secara total, terdapat 264 cabang Primagama yang tersebar di seluruh Indonesia. Lalu pada Juni 2023, perusahaan mengumumkan audit menyeluruh. Hasilnya ada cabang yang setop kerja sama dan membuka waralaba untuk Primagama kepada yang berminat.

Pada tahun yang sama pula, Zenius mulai terseok-seok. PHK besar-besaran ditempuh dalam tiga gelombang.

Zenius telah didukung oleh jajaran investor besar, seperti MDI Ventures, Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures, Beenext, dan lainnya. Pendanaan terakhir diumumkan pada Maret 2022, tidak disebutkan nominal yang diperoleh. Dalam catatan, secara total Zenius telah mengumpulkan pendanaan lebih dari $40 juta.

Application Information Will Show Up Here

Rishabh Singhi Ungkap Alasan Kegagalan Mempertahankan DishServe

Dalam perjalanan kariernya, Rishabh Singhi sempat merasakan bekerja dan membangun startup sampai level yang cukup besar. Namun demikian sebagai pengusaha, ia memastikan tidak pernah kapok untuk mulai kembali membangun startup, meskipun pernah gagal.

Dalam diskusinya bersama Co-Founder & CEO KeTitik Bipin Mishra, Singhi mengungkapkan alasan startup yang ia bangun “DishServe” gagal untuk bertahan; serta bagaimana profitabilitas memainkan peranan kunci agar startup bisa bertahan.

Terlambat melakukan perubahan

Sebelum membangun DishServe, diketahui Singhi menjabat sebagai COO RedDoorz selama hampir 5 tahun. DishServe sendiri sebenarnya sudah mengantongi pendanaan sampai tahapan pra-seri A dari sejumlah investor. Beberapa penyuntik dananya termasuk Genting Group, Insignia Venture Partners, Stonewater Ventures, Ratio Ventures, Rutland Ventures, 300x Ventures, MyAsiaVC, dan beberapa angel investor.

Meskipun sempat melakukan pivot dan fokus kepada penyediaan solusi automasi operasional restoran, kafe, dan cloud kitchen, namun perusahaan gagal untuk bisa menjalankan bisnis karena mulai kehabisan “runway”. Miminmya cadangan dana operasional yang dimiliki, menyulitkan perusahaan untuk terus beroperasi, sementara perusahaan tidak mampu meyakini para investor bahwa bisnis ini dapat tumbuh positif dalam jangka panjang.

“Kondisi sudah mulai berubah, menyulitkan kami untuk melakukan penggalangan dana. Menjadi sulit bagi kami untuk scale-up tanpa adanya modal, padahal kami sudah mulai mendekati profitabilitas. Namun kami tidak bisa melakukan scale-up sebelum mencapai profitabilitas. Dilihat dari kondisi tersebut, kami kemudian memutuskan untuk menutup perusahaan di bulan Maret 2023,” kata Singhi.

Ditambahkan olehnya, terlambatnya keputusan perusahaan untuk melakukan pivot hingga meluncurkan private label brand juga menjadi salah satu penyebab perusahaan gagal untuk bertahan. Singhi menegaskan menjadi penting bagi bisnis untuk fokus kepada fundamental perusahaan dan segera melakukan perubahan, ketika perusahaan terkendala. Mereka yang tidak segera melakukan perubahan, bakal mengalami kesulitan yang bisa berakhir dengan kegagalan.

“Ekonomi makro juga menjadi salah satu penyebab mengapa penggalangan dana sulit dilakukan. Kondisi ini juga menyulitkan perusahaan untuk kembali pulih, kondisi yang terjadi saat ini mempengaruhi semua. Yang saya pelajari dari kegagalan ini adalah, perusahaan yang ingin bisa sukses 5-10 tahun lagi harus bisa mencapai profitabilitas,” kata Singhi.

Dalam dunia startup yang dinamis dan sangat kompetitif, mencapai profitabilitas merupakan tonggak fundamental untuk kesuksesan jangka panjang dan kelangsungan hidup. Meskipun startup seringkali fokus pada pertumbuhan, menarik investor, dan membangun customer base, profitabilitas harus tetap menjadi tujuan utama.

Dengan mencapai profitabilitas, startup dapat memposisikan diri mereka menjadi lebih kuat, berkembang, dan memiliki masa depan yang berkelanjutan dalam lanskap bisnis yang kompetitif.

Ingin membangun startup kembali

Setelah membangun DishServe, ke depannya Singhi masih ingin membangun kembali startup barunya. Namun demikian dirinya masih belum memiliki ide atau inspirasi, startup apa yang kemudian ingin ia bangun.

Salah satu alasan mengapa Singhi ingin kembali terjuan ke dunia startup adalah, dirinya melihat saat ini tidak ada pekerjaan yang ideal untuk dirinya. Ia juga tidak melihat ke depannya akan bekerja sebagai pegawai di perusahaan.

“Sampai saat ini belum ada rencana startup apa yang akan dibangun, saya masih melakukan evaluasi dan tidak memiliki ide yang tepat saat ini. Tidak menutup kemungkinan ide baru akan muncul beberapa minggu ke depan,” kata Singhi.

Disclosure: DailySocial.id merupakan print partner dari program “Startups Simplified, a Ketitik Podcast”

KitaBisa Shuts Down Saling Jaga Crowdinsurance Platform Due to Permission Issue

After decided to continue with the registered donors, Saling Jaga crowdinsurance service by Kitabisa is now officially shutdown. Previously, the Investment Alert Task Force (SWI) asked Kitabisa to stop operating the platform as it was yet to obtain license from OJK.

DailySocial tried to confirm on this closure, but the team directed us to the official website which contains information on the closure and the next process for the donors involved.

“The statement said, “Saling Jaga is a mutual cooperation innovation product initiated by KitaBIsa Foundation. The Foundation and its programs, including Saling Jaga, are intended as a donation-based social program under the Money and Goods Collection Law (PUB). Ministry of Social Affairs. However, as an innovation product, we understand and respect the decision of the Financial Services Authority to re-evaluate the form of Saling Jaga licensing. Therefore, after considering various issues, and respecting the OJK’s direction in May 2021, it is with a heavy heart that we decide Saling Jaga to stop the operation. See you in another good will innovation program.”

The website also mentioned the return process for donors to send back the fund to their respective account. This application process will be opened from July 16 to July 31, 2021 and will be distributed on August 16 to 30, 2021. The balance distributed is the remaining balance as of August 16, 2021 (the current balance).

Permission issue

In a previous interview, Kitabisa’s Co-Founder & CEO, Alfatih Timur, revealed to DailySocial that Saling Jaga product has been registered with the OJK regulatory sandbox and currently waiting for further direction from the authorities. This service alone has been introduced to the public since April 2021.

“Kitabisa as a donation crowdfunding platform will still be held under the Money and Goods Raising Permit (PUB) of the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia,” Alfatih said.

Licensing issues became an obstacle which then triggered the closure of Saling Jaga service. Although it has registered with OJK’s regulatory sandbox, the concept, which resembles crowdinsurance and involves many people in the form of mutual cooperation, has gained regulator’s attention.

As of March 2021, Kitabisa noticed that there were more than 650 thousand members who had joined Saling Jaga and had distributed a total donation of Rp. 2 billion to 500 members who were diagnosed with Covid-19 or critically ill.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Terkendala Perizinan, Kitabisa Hentikan Platform Crowdinsurance Saling Jaga

Setelah sebelumnya memutuskan untuk tetap menjalankan donatur terdaftar, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh Kitabisa saat ini resmi ditutup. Sebelumnya Satgas Waspada Investasi (SWI) meminta Kitabisa untuk menghentikan operasi platform tersebut karena belum mengantongi izin dari OJK.

DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi terkait penutupan ini, namun pihak mereka mengarahkan ke situs resmi yang berisikan informasi penutupan dan proses selanjutnya untuk para donatur yang terlibat.

Tertulis dalam pernyataan tersebut, “Saling Jaga merupakan bentuk produk inovasi gotong royong yang diinisiasi oleh Yayasan KitaBIsa. Yayasan Kita Bisa dan program-programnya, termasuk Saling Jaga, diniatkan sebagai program sosial berbasis donasi yang bernaung di bawah UU Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial. Namun demikian, Sebagai produk inovasi, kami paham dan menghormati arahan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengevaluasi kembali bentuk perizinan Saling Jaga. Untuk itu setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta menghormati arahan OJK pada bulan Mei 2021, dengan berat hati Saling Jaga kami putuskan untuk selesai beroperasi. Sampai jumpa di program inovasi kebaikan selanjutnya.”

Disampaikan juga dalam situs tersebut proses yang bisa dilakukan oleh donatur untuk mengembalikan dana ke saldo rekening masing-masing. Proses pengajuan ini akan dibuka mulai tanggal 16 Juli s/d 31 Juli 2021 dan akan disalurkan pada 16 s/d 30 Agustus 2021. Saldo yang disalurkan adalah saldo yang tersisa per tanggal 16 Agustus 2021 (jika ada).

Terkendala perizinan

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas. Layanan ini sendiri telah diperkenalkan kepada publik sejak bulan April 2021.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Persoalan perizinan menjadi kendala yang kemudian memicu penutupan layanan Saling Jaga ini. Meskipun telah mendaftarkan diri ke regulatory sandbox OJK, namun konsepnya yang menyerupai crowdinsurace dan melibatkan orang banyak dalam bentuk donasi gotong royong, menjadi perhatian dari regulator.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.