Sony Beli Saham Minoritas Epic Games Senilai Rp3,6 Triliun

Sony menanamkan investasi sebesar US$250 juta (sekitar Rp3,6 triliun) ke Epic Games, perusahaan yang dikenal sebagai developer game battle royale Fortnite dan Unreal Engine. Dengan ini, Sony mendapatkan 1,4 persen saham di Epic, menurut laporan VentureBeat. Investasi tersebut juga memungkinkan Sony dan Epic untuk memperdalam kerja sama mereka. Sebelum ini, Epic mencari pendanaan dalam rangka untuk melakukan ekspansi Epic Game Store dan menambah staf Fortnite.

“Epic sukses mengembangkan teknologi grafis, menjadikan mereka sebagai perusahaan terdepan dalam pengembangan game engine, terbukti dari keberadaan Unreal Engine dan inovasi-inovasi lain,” kata CEO Sony, Kenichiro Yoshida, seperti dikutip dari Dot Esports. “Fortnite menjadi bukti kesuksesan Epic dalam menyajikan hiburan revolusioner. Melalui investasi ini, kami mencoba memperdalam kerja sama kami dengan Epic dalam rangka menciptakan sesuatu yang baru pada konsumen dan menguntungkan bagi industri, tidak hanya industri game, tapi juga industri hiburan.”

sony beli saham epic
Konser virtual Travis Scott di Fortnite menarik 27 juta penonton. | Sumber: Forbes

Dalam pernyataan resmi, CEO Epic Games, Tim Sweeney mengatakan bahwa Epic dan Sony memiliki visi yang sama untuk membangun teknologi yang menggabungkan unsur gaming, film, dan musik. Dengan teknologi itu, mereka ingin memungkinkan orang-orang berinteraksi dalam dunia virtual 3D. Sebelum ini, Travis Scott memang sudah pernah mengadakan konser virtual di Fortnite. Dan konser tersebut menarik 27 juta penonton. Sweeney juga mengungkap, Epic dan Sony berencana untuk membangun ekosistem digital yang lebih terbuka bagi semua konsumen dan kreator.

Mengingat Sony hanya mengakuisisi saham minoritas di Epic, developer game itu meyakinkan bahwa mereka akan tetap merilis game di platform lain. Tak hanya itu, Epic juga mengatakan bahwa baik Unreal Engine 5 maupun Fortnite buatan mereka akan tetap bisa digunakan di platform lain. Memang, selama ini, Epic selalu mengambil posisi netral dan mengembangkan teknologi cross-platform.

Meskipun begitu, kerja sama dengan Epic penting bagi Sony karena mereka harus menyiapkan diri dalam menghadapi perang konsol dengan Microsoft. Pasalnya, tahun ini, Sony dan Microsoft berencana untuk meluncurkan konsol baru mereka, PlayStation 5 dan Xbox Series X.

David Beckham Masuki Industri Esports, Tanamkan Modal di Guild Esports

Mantan pesepak bola David Beckham kini memasuki dunia esports dengan menjadi co-owner dari Guild Esports, startup esports asal Inggris. Melalui DB Ventures, Beckham menanamkan modal di Guild Esports, yang tengah mengumpulkan pendanaan dengan target sebesar £25 juta (sekitar Rp44,6 miliar). Selain Beckham, Blue Star Capital juga menjadi salah satu investor awal dari startup esports tersebut.

“Sepanjang karir saya, saya beruntung karena bisa bermain dengan para atlet terbaik. Saya telah melihat semangat dan dedikasi yang diperlukan untuk bisa bermain di tingkat tertinggi,” kata Beckham, menurut laporan Esports Insider. “Saya tahu bahwa para atlet esports juga memiliki semangat tersebut. Di Guild, kami memiliki visi untuk menciptakan standar baru, serta mendukung para pemain profesional untuk maju di masa depan. Kami berkomitmen untuk mendukung pemain muda bertalenta melalui sistem akademi kami dan saya tidak sabar untuk membantu tim Guild Esports untuk tumbuh dan berkembang.”

Guild Esports akan menggunakan model akademi, lapor GamesIndustry. Hal itu berarti, Guild Esports akan mencari pemain muda berbakat dan melatih mereka untuk menjadi atlet esports profesional. Saat ini, Guild akan fokus untuk melatih pemain yang berlaga di Rocket League, FIFA, dan Fortnite.

David Beckham esports
David Beckham menjadi co-owner dari Guild Esports. | Sumber: Nerd4Life

Selain Beckham sebagai co-owner, Guild Esports juga memiliki Carleton Curtis sebagai Executive Chairman. Curtis sempat menjabat sebagai Vice President of Programming di Activision Blizzard. Dia juga berperan penting dalam penyelenggaraan Overwatch League dan Call of Duty League. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Senior Director, Digital Strategy di Fox Sports serta Program Director, Esports di Red Bull.

“Industri esports tengah berkembang pesat dan masih akan terus tumbuh. Hal ini menjadi bukti bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Guild Esports untuk masuk ke dalam industri esports,” kata Curtis. “Kami memiliki tim manajemen yang berpengalaman dan saya senang dengan keberadaan David Beckham sebagai co-owner dari startup ini karena dia memiliki pengalaman dan profesionalisme dalam membuat tim olahraga yang baik. Hal ini sesuai dengan strategi kami untuk membuat tim esports terbaik.”

Memang, meskipun Beckham paling dikenal sebagai pemain sepak bola profesional, dia juga merupakan pemilik dari Inter Miami, tim sepak bola Amerika Serikat baru yang berlaga di Major League Soccer. Beckham bukanlah satu-satunya pemain sepak bola yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Pada akhir tahun lalu, Gareth Bale juga membentuk tim esports yang dinamai Ellevens Esports.

“Di Guild Esports, David akan memegang peran penting dalam membuat program pelatihan yang akan diimplementasikan di akademi kami. Selain itu, dia juga bisa menjadi inspirasi bagi para atlet esports muda,” ujar Curtis.

Sumber header: The Esports Observer

OnePlus 8 Jadi Smartphone Pertama yang Bisa Jalankan Fortnite di 90 fps

Apa yang membedakan Fortnite versi PC, console dan mobile? Jawabannya adalah performanya. Asalkan hardware-nya mumpuni, Fortnite versi PC bisa berjalan di ratusan fps (frame per second), dan ini dengan setting grafik yang tinggi atau bahkan mentok sekalipun. Di console dan mobile, Fortnite cuma terbatas pada 60 fps saja.

Namun itu tidak selamanya harus demikian. OnePlus hendak membuktikan bahwa Fortnite juga bisa berjalan di atas 60 fps di perangkat mobile. Demi mewujudkannya, mereka memutuskan untuk bekerja sama langsung dengan Epic Games guna mengoptimalkan Fortnite pada perangkat bikinannya.

Hasilnya, setelah sekitar 10 bulan keduanya berkolaborasi, Fortnite kini dapat berjalan di 90 fps pada OnePlus 8 dan OnePlus 8 Pro. Problem barunya, sesi baku tembak yang lebih mulus ini harus dijalani dengan mengorbankan kualitas grafik. Ya, saat memilih opsi 90 fps, setting grafiknya otomatis turun ke “Low”.

Fortnite 90 fps di OnePlus 8

Untungnya resolusinya tidak berubah, tetap 1080p di OnePlus 8, dan 1440p di OnePlus 8 Pro. Namun seperti yang bisa kita lihat pada screenshot-nya di atas, grafiknya tidak bisa lagi dibilang manis di mata. Kecuali Anda benar-benar berjiwa sangat kompetitif, menurut saya mengorbankan kualitas visual hingga sejauh ini demi mendapat tambahan 30 fps akan terasa cukup sulit.

Di luar duo OnePlus 8 dan masih dalam konteks mobile, cuma iPad Pro yang bisa menjalankan Fortnite di atas 60 fps. 120 fps lebih tepatnya, dan itu tidak mengejutkan mengingat GPU milik iPad Pro memang lebih perkasa ketimbang milik smartphone paling high-end sekalipun. Terlepas dari itu, pencapaian OnePlus ini tetap patut diapresiasi, sekaligus menunjukkan prospek yang cerah untuk ranah mobile gaming.

Sumber: GameSpot.

Fortnite Mobile Cetak Satu Miliar Dolar AS Dalam 2 Tahun

Tak bisa dipungkiri bahwa Fortnite merupakan salah satu game terbesar di dunia. Mengutip dari statista, Fortnite dikabarkan memiliki 350 juta pemain terdaftar di dalam game mereka pada Mei 2020. Ada beberapa hal yang menjadi kekuatan bagi Fortnite, rilis untuk beberapa platform sekaligus jadi salah satunya. Terakhir kali, Epic Games merilis Fortnite untuk mobile pada tahun 2018 lalu.

Walau lebih muda dari platform lainnya, Fortnite Mobile ternyata sudah tunjukkan kekuatannya. Baru beredar untuk mobile selama 2 tahun lamanya, Fortnite dikabarkan sudah cetak pemasukan sebesar satu miliar dollar AS (sekitar Rp15 miliar), mengutip dari Sensortower.

Sumber: Fortnite
Konten inovatif jadi salah satu pendorong pemasukan ini. Gambar di atas adalah contoh dari sajian konten Battle Pass di dalam Fortntite. Sumber: Fortnite

Walau ini merupakan jumlah pemasukan akumulatif selama 2 tahun, namun pemasukan Fortnite Mobile memang mengalami peningkatan yang signifikan pada bulan April 2020, yaitu sebesar 90% jika dibandingkan dengan Maret 2020. Pada bulan Maret, Fortnite Mobile berhasil kumpulkan US$23,3 juta (sekitar Rp346 juta). Sementara pada April, pemasukan tersebut naik signifikan jadi US$44,3 (sekitar Rp659 juta).

Peningkatan ini disebabkan oleh banyak faktor. Sensortower, mengatakan bahwa setidaknya ada 3 faktor, yaitu perilisan di Google Play, konser Astronomical yang menampilkan rapper Travis Scott, dan lockdown pandemi COVID-19 yang terjadi selama beberapa bulan belakangan.

Secara demografis, Amerika Serikat masih menjadi negara dengan penyumbang pemasukan terbesar terhadap Fornite Mobile. Sensortower mencatat sebesar US$632,2 juta pemasukan datang dari Amerika Serikat, atau sekitar 63 persen dari total pemasukkan. Sementara itu, peringkat kedua datang dari Inggris, dengan pemasukan sebesar US$38,2 juta, atau sekitar 3,8 persen dari total pemasukkan. Ketiga datang dari Swiss dengan pemasukan sebesar US$36,3 atau 3,6 persen dari total pemasukkan.

“Sementara pemasukan Fortnite sempat menurun, namun titel Battle Royale tetap menjadi salah satu game dengan pemasukan terbesar di dunia. Kabar ini menjadi luar biasa, mengingat jumlah pemasukan pada bulan lalu tersebut hanya datang dari Apple App Store saja.” tulis Sensortower dalam laporannya.

Konten inovatif bisa dibilang jadi salah satu magnet bagi Fortnite, terlepas dari platform yang digunakan. Terakhir kali, konser Astronomical berkolaborasi dengan rapper Travis Scott yang digelar secara digital di dalam game, dikabarkan berhasil menarik perhatian 12 juta pasang mata penonton.

Mengutip Business Insider, jumlah tersebut secara kasar hampir sama dengan jumlah rata-rata penonton program Monday Night Football, laga pertandingan American Football paling ditunggu oleh khalayak AS.

Fortnite mencatatkan 125 juta download di Apple App Store hingga saat ini. Bahkan versi Play Store yang baru rilis belakangan sudah mendapat 4,2 juta download. Akankah Fortnite terus bertahan sebagai game Battle Royale paling populer di dunia?

Bagaimana FaZe Clan Menyatukan Gaming, Esports, dan Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Sebagai sebuah industri baru, tak heran jika banyak entitas di ekosistem esports mencoba ini dan itu agar dapat menemukan formula sukses yang tepat. Kompetisi mungkin jadi satu hal utama jika kita bicara soal esports. Bagaimanapun, industri esports tumbuh besar dari kompetisi, sejak dari zaman laga adu skor di zaman dahulu hingga menjadi sebuah kompetisi global di zaman sekarang.

Seiring berkembangnya zaman, esports lama-lama tidak lagi kaku, jadi bukan soal kompetisi saja. Kompetisi dan segala hal yang terlibat di dalamnya menjadi begitu menarik diperbincangkan menjadi konten, tak lupa suguhan infotainment atau bahkan gosip juga menjadi bumbu penyedap dari kompetisi yang panas.

Selain dua hal tersebut, hal menarik yang mungkin masih belum banyak disentuh oleh entitas bisnis esports adalah nilai jualnya sebagai gaya hidup. Dari banyak organisasi esports di dunia, FaZe Clan menjadi salah satu yang bergeliat cukup kencang dalam menyatukan antara kultur gaming, kompetisi, dan gaya hidup.

Dan semua itu berawal dari komunitas Call of Duty di Amerika Serikat

360 no Scope, Vlogging, dan FaZe Clan

Bagi Anda pemain game FPS, Anda mungkin sudah cukup familiar dengan istilah 360 no scope. 360 no scope diibarat jenis gaya dalam lompatan skateboard. Dalam game FPS, 360 no scope dilakukan dengan cara melompat, memutar badan 360 derajat, lalu menembak musuh dengan menggunakan senapan jenis sniper tanpa menggunakan scope atau kekeran.

Mengutip dari salah satu situs yang mendokumentasikan berbagai budaya populer di internet, asal muasal 360 no Scope adalah dari komunitas Call of Duty 4 lewat pemain bernama zzirGrizz. Trik gerakan tersebut pertama menyeruak pada 11 Oktober 2008, ketika seorang pengguna YouTube bernama Devin LaBrie mengunggah video montage permainan zzirGrizz, dan menamainya sebagai top 10 no scopes of all time.

Setelah itu, istilah ini jadi populer setelah seorang pengguna YouTube bernama nomercysoldier0 mengunggah permainannya di Call of Duty: Modern Warfare 2 yang viral karena berhasil mendapatkan 2,1 juta view dan 7300 komentar dalam 4 tahun pertama.

Lalu apa urusannya 360 no scope dengan FaZe Clan? Setelah trickshot 360 no scope menjadi budaya di komunitas Call of Duty, semua orang akhirnya berusaha melakukan hal tersebut.

Sampai pada akhirnya, 30 Mei 2010, terciptalah FaZe Sniping, sebuah clan Call of Duty yang diciptakan oleh 3 pemain yaitu Eric Rivera (CLipZ), Jeff Emann (House Cat), dan Ben Christenen (Ressistance). Trio pemain tersebut menjadi dikenal banyak orang karena melakukan inovasi dalam melakukan trickshot, apalagi mereka bisa dibilang sebagai salah satu yang pertama dalam melakukan trickshot sebagai satu tim.

Mulai saat itu, FaZe rutin menciptakan montage atau rekaman hasil dari permainan yang mereka lakukan dalam satu seri video YouTube yang mereka beri nama ILLCAMS. Konten demi konten diciptakan sampai akhirnya FaZe Clan menjadi satu kelompok yang banyak dikenal di komunitas Call of Duty. Setelah beberapa saat, FaZe Clan menjadi semakin populer, apalagi ketika mereka mulai merekrut sosok-sosok trickshotter kenamaan di komunitas Call of Duty untuk bergabung ke dalam tim.

Setelah beberapa episode ILLCAMS, muncul sosok Thomas Oliveira atau dikenal dengan nama Temperrr. Tak banyak yang diketahui dari sosok Temperrr sebelum diperkenalkan FaZe. Tapi satu yang pasti, sosok ini seakan menjadi magnet bagi para penggemar FaZe. Ketika diperkenalkan pertama kali pada 2 Agustus 2010 lalu, Temperrr berhasil menyedot 1,5 juta view.

FaZe Temperr sendiri bisa dibilang merupakan salah satu dari founding member dari Faze Clan, sosok ini mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang terpenting dari perkembangan FaZe. Lompat beberapa tahun ke depan, FaZe kembali menghadirkan member baru yang membuatnya menjadi semakin melejit. Dia adalah Richard Bengston, sosok selebriti gaming yang juga dikenal sebagai FaZe Banks.

Banks pertama kali diperkenalkan pada 25 Maret 2013. Ketika itu, ia bergabung sebagai bagian dari pelaku konten trickshot milik FaZe Clan saja. Sampai pada Februari 2014, Temperrr dan Banks melakukan konten face reveal, seraya mengumumkan bahwa Banks akan pindah tinggal bersama Temperrr untuk membuat lebih banyak konten video.

Setelah kurang lebih 4 tahun FaZe Clan menghujani internet dengan konten trickshot super keren, kini mereka mulai berevolusi. “Kami adalah gamers pertama yang benar-benar menunjukkan wajah kami di internet.” ucap Temperrr kepada New York Times. Sejak saat itu, FaZe Clan mulai menyertakan wajah mereka pada konten gameplay. Tak hanya itu, para anggotanya mulai melakukan vlogging dan menunjukkan kehidupan sehari-hari mereka yang tidak ada hubungannya dengan gaming.

“Orang-orang menyukai hal itu (konten vlogging). Orang-orang pasti ingin tahu kegiatan di luar dari sekadar gameplay kami. Mereka main COD setiap hari tapi mereka juga harus melihat bagaimana gaya hidup kami dan bagaimana kami adalah bocah-bocah keren.” Ucap Banks dalam artikel New York Times tulisan Taylor Lorenz yang terbit 17 November 2019 lalu.

Terjun ke Dunia Kompetitif Call of Duty dan Dominasi di Skena CS:GO

Trickshot, vlog, dan tren sudah ada di dalam nadi FaZe Clan sejak lama. Namun esports dan dunia kompetitif jadi hal baru bagi FaZe Clan. Sementara konten trickshot dan vlogging kehidupan gamers masih berlanjut, mereka menjajaki dunia kompetitif Call of Duty dan menciptakan satu rivalitas paling panas di skena tersebut, yaitu antara FaZe Clan dengan Optic Gaming.

Kedua tim ini merintis kehidupannya dengan cara yang kurang lebih sama, membuat konten Call of Duty dan menjadikan konten mereka sebagai ruang menuju popularitas untuk para pemainnya. FaZe dan Optic menjadi nama yang gaungnya paling besar di skena Call of Duty, ibarat EVOS dan RRQ di skena MLBB lokal Indonesia.

FaZe memulai dari turnamen-turnamen kecil. Debut mereka untuk turnamen besar adalah di tahun 2013, lewat game Call of Duty Black Ops II. Mereka beberapa kali ikut kompetisi kasta utama Call of Duty, Major League Gaming (MLG). Sayang pada tahun itu mereka belum mendapat prestasi terbaik.

Mereka harus puas berada di peringkat 5 pada MLG Spring Championship kalah oleh Optic Gaming. Tim ini pun mengalami roster shuffle besar-besaran, yang berujung kepada kegagalan-kegagalan mencapai posisi yang lebih baik di turnamen-turnamen berikutnya.

Perjuangan jatuh-bangun tersebut terus berlanjut hingga pada tahun 2014 mereka mendapatkan pemain bernama ACHES. Pemain ini kerap kali dianggap sebagai musuh besar Optic Gaming, karena ia berkali-kali berhasil membuat Optic tertunduk. Bertanding pada MLG Columbus Open di tahun 2014, mereka berhasil mendapat angin segar dengan melaju mulus di upper-bracket.

Memasuki hari kedua pertandingan, bencana terjadi. Tangan ACHES terluka entah karena apa, membuatnya harus berada di rumah sakit semalaman. Walaupun begitu ACHES memutuskan untuk tetap bertanding. Tentu saja kemalangan ini membuat FaZe kesulitan, sehingga mereka terpaksa turun ke lower-bracket. Namun demikian, mereka berhasil bangkit sampai akhirnya di babak final bertemu dengan Optic Gaming dan memenangkan dua kali pertandingan best-of-5.

Kemenangan ini membuat mereka menjadi tim yang disegani dalam skena Call of Duty. Bahkan sekarang nama FaZe masih menjadi bagian dari skena kompetitif di Call of Duty League, dengan nama Atlanta FaZe.

Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media
Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media

Sejak saat itu, rivalitas antara FaZe dengan Optic jadi semakin keras karena keduanya sama-sama semakin kuat. Sempat mengalami badai roster shuffle lagi, namun FaZe kembali mendapatkan momentum kemenangan di tahun 2015. Mereka berhasil memenangkan UMG Dalls 2015, Gfinity Summer Championship, dan MLG Season 3 Playoff. Kemenangan ini berhasil membuat nama FaZe Clan semakin gemilang di skena Call of Duty.

Satu tahun setelah menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty, FaZe mulai coba mengembangkan sayap ke skena kompetitif lain. Ciri khas mereka tetap sama, yaitu game FPS. 2 Maret 2016, FaZe mengumumkan roster CS:GO mereka, hasil akuissi dari tim G2 Esports yang berisikan Maikel Bill (Maikelele), Havard Nygaard (Rain), Ricardo Pachecho (Fox), Joakim Myrbostad (Jkaem), dan Philip Aistrup (Aizy).

Roster ini dikabarkan dibeli dengan harga US$700.000 (sekitar Rp10 miliar) dari G2 Esports. Akuisisi ini membuat mereka disebut sebagai roster termahal sepanjang sejarah CS:GO menurut Dot Esports. Walau demikian, mereka memulai tahun pertamanya dengan cukup berat.

Mengutip catatan liquidpedia, performa mereka kurang memuaskan untuk sebuah roster termahal sepanjang sejarah CS:GO. Pada debut awal, mereka berkali-kali terhenti di peringkat 12. Malah mereka sempat gugur di fase grup dengan catatan menang-kalah 0-2 dalam gelaran DreamHack Masters Malmo 2016.

Belajar dari pengalaman di skena Call of Duty, FaZe jadi dikenal sebagai tim yang punya tangan dingin. Mengalami rentetan performa kurang memuaskan selama 2016, FaZe menjadi tim yang tidak takut untuk membongkar roster demi mendapat performa yang lebih baik.

Oktober 2016 mereka memasukkan Finn Andersen (Kariggan), mantan in-game leader Astralis, yang telah lama dibangkucadangkan karena rentetan hasil buruk yang ia dapatkan. Perekrutan ini segera memancing polemik, karena terlihat janggal, namun dianggap pergerakan yang mantap karena dirasa bisa memberi leadership ke dalam tim.

Masuk tahun 2017, roster shuffle kembali terjadi, Karrigan bertahan. Sampai satu yang cukup mencengangkan adalah ketika mereka mengambil The Bosnian Beast, Nikola Kovac (Niko). Perekrutan ini menunjukkan intensi FaZe, bahwa mereka ingin menang dan tidak takut untuk bayar mahal.

2017 segera menjadi tahun keemasan bagi CS:GO FaZe Clan. Mereka berhasil memenangkan beberapa turnamen besar seperti ESL One: NewYork 2017, ELEAGUE CS:GO Premier 2017, dan bahkan sempat kalahkan Astralis jadi juara StarLadder Season 3. Dengan resep yang kurang lebih sama seperti mereka mendominasi Call of Duty, zaman keemasan FaZe Clan di 2017 berhasil membawa brand mereka menjadi nama yang vokal di skena CS:GO. Bahkan hingga kini, Rain, Niko, Olofmeister, Coldzera, dan Broky masih menjadi tim yang keras di berbagai kompetisi CS:GO kelas dunia.

Kemunculan Fortnite, Tfue, dan Ekspansi Global FaZe Clan

Masih pada tahun 2017, Fortnite rilis di pasaran. Setelah game utama mereka Fortnite: Save the World rilis di bulan Juli 2017 , Fortnite Battle Royale yang bersifat free-to-play rilis di September 2017. Punya grafis kartun yang keren, game shooter yang mengedepankan kreativitas dalam bermain dan jadi ruang pamer gaya — selain pamer kemampuan — Fortnite seakan menjadi panggilan bagi FaZe Clan.

Game ini mungkin seperti membawa FaZe kembali ke zaman Call of Duty, saat mengalahkan musuh dengan trickshot kembali populer. Apalagi pada zaman itu Twitch semakin populer sebagai poros platform konten streaming bagi gamer, membuat FaZe seperti menemukan rumah barunya; ketika gaming, personality, dan reality television menjadi satu wadah.

Mereka mencoba mengulang formula kesuksesan mereka di Call of Duty, menang di kompetitif, tampil keren di berbagai konten. Maka dari itu, di Fortnite, mereka mengambil sebuah tim yang bisa berkompetisi tetapi tetap menjadi selebriti internet lewat konten streaming yang mereka sajikan.

Turner Tenney atau sosok yang lebih dikenal dengan alias Tfue menjadi ujung tombak bagi FaZe untuk memperkuat brand mereka di Fortnite. Namun FaZe di Fortnite bukan hanya Tfue saja. Mereka juga memiliki segudang streamer yang direkrut membawa nama FaZe termasuk salah satunya adalah seorang perempuan tuna rungu berusia 13 tahun bernama Soleil Wheeler yang juga dikenal sebagai FaZe Ewok.

Sumber: The Verge
FaZe Ewok, perempuan tuna rungu berusia 13 tahun yang menjadi streamer untuk game Fortnite. Sumber: The Verge

Nama FaZe muncul di mana-mana lewat berbagai bagian Fortnite, baik secara kompetitif, streaming, termasuk konten-konten yang mengedepankan personality yang jadi ciri khas FaZe Clan. Segera FaZe menjadi organisasi yang terdepan di Fortnite, kembali mengamankan statusnya sebagai organisasi paling dominan di dalam skena ini, seperti FaZe di Call of Duty dahulu kala.

Tapi tak lengkap rasanya jika FaZe cuma bisa tampil bergaya, tanpa unjuk gigi kemampuan. Hal ini mereka tunjukkan lewat gelaran Fall Skirmish, yang diselenggarakan pada Twitch Con 2018.

Ketika itu FaZe Clan diwakili oleh Tfue dan Dennis Lepore (Cloak), dua pemain yang tidak hanya mahir dalam bergaya, tapi juga dianggap sebagai dua yang terbaik di dalam skena. Bertanding dalam enam ronde, Tfue dan Cloak berhasil tampil dengan sangat dominan, membawa mereka memenangkan hadiah sebesar US$500.000 (sekitar Rp7,5 miliar).

Sumber: Dexerto
Cloak (kiri) bersama Tfue (kanan). Sumber: Dexerto

Kemenangan tersebut semakin memperkuat nama FaZe Clan di Fortnite, sampai akhirnya skandal Tfue mencuat ke permukaan. Mei 2019 Tfue menggugat FaZe Clan dengan tuduhan mengambil 80 persen pendapatan dan memaksa dirinya untuk berjudi dan minum-minuman keras saat usianya masih di bawah batas usia legal.

Dalam skandal tersebut pengacara Tfue mengatakan kepada Holywood Reporter bahwa Tenney beberapa kali dipaksa untuk melakukan stunts yang berbahaya demi konten video. “Pada salah satu video, Tenney menderita cedera berat pada tangannya saat bermain skateboard yang mengakibatkan cacat fisik permanen.” Ucap Bryan Freedman, pengacara Tfue ketika itu.

Tuntutan tersebut akhirnya dituntut balik oleh FaZe Clan, karena mereka merasa tidak pernah mengambil pendapatan milik Tfue. “Kami cuma menerima US$60.000 saja dari kerja sama ini, sementara Tfue bisa menerima sampai jutaan dolar AS sebagai anggota dari FaZe Clan.” Ucap FaZe Clan dalam sebuah pernyataan. Sampai saat ini, kasus tersebut belum diketahui bagaimana akhirnya. Namun satu yang pasti, Tfue meninggalkan FaZe sejak saat itu.

Namun kasus tadi tidak menghentikan FaZe Clan untuk melakukan ekspansi global. Game shooter populer selalu menjadi tempat terbaik bagi FaZe untuk berkembang. Setelah awal 2017 mereka mulai meniti karir di skena PUBG, pada Januari 2020, mereka melakukan ekspansi yang cukup jauh dengan mengambil tim PUBG Mobile asal Thailand bernama Bulshark untuk menjadi bagian dari FaZe.

Ekspansi FaZe tidak berhenti sampai di situ saja, setelah mendapatkan banyak kesuksesan di skena gaming, kini mereka mulai menjajah lahan lainnya.

Petarung di Dunia Gaming Kompetitif, Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Tampil keren di depan khalayak memang sudah berada dalam nadi FaZe Clan sejak mereka memenuhi YouTube lewat konten trickshot Call of Duty yang penuh gaya. Menjadi raja dunia gaming kompetitif, tampil lewat konten game yang menarik, dan memamerkan personalita gamer keren telah menjadi rumus jitu bagi FaZe Clan untuk bertahan dan menjadi sebesar seperti sekarang.

Memang itu adalah strategi unik, yang tak banyak dilakukan oleh organisasi esports lain. Lee Trink yang menjabat sebagai CEO FaZe Clan bahkan sesumbar kepada New York Times dengan mengatakan bahwa perusahaan seperti FaZe Clan itu memang belum pernah ada sebelumnya. Lebih lanjut, Lee Trink menjelaskan FaZe ibarat gabungan tim olahraga American Football Dallas Cowboys, brand Hypebeast Supreme, dan reality show ala MTV.

Klaim tersebut memang benar adanya. FaZe Clan berkompetisi di berbagai ranah esports dan menjadi juara di beberapa skena layaknya sebuah tim olahraga. Reality show menjadi santapan bagi penggemar setia yang menonton channel YouTube FaZe Clan, termasuk konten vlogging yang memamerkan gaya hidup glamor ala selebriti. Gaya hidup glamor tersebut juga turun ke fashion, lewat merchandise dan kolaborasi brand yang mereka lakukan.

The Verge bahkan mengatakan bahwa FaZe Clan ibarat Supreme nya esports. Satu perbedaannya mungkin hanya soal dari mana kedua brand ini berasal, Supreme tumbuh dari budaya skateboard, sementara FaZe tumbuh dari budaya gaming. Sejak 2018, FaZe terus menggandeng sosok selebriti.

Desember 2018, mereka menggandeng rapper Lil Yachty. Menggunakan alias FaZe Boat, Lil Yachty menjadi bagian dari daftar kreator konten di FaZe Clan. Pada masa itu mereka juga membuka ronde investasi seri A, yang segera menarik berbagai selebriti berinvestasi kepada mereka seperti rapper Ray J dan DJ Paul, pebasket Meyers Leonard, dan Josh Hart.

Salah satu yang terbesar mungkin adalah pada Agustus 2019, saat rapper Offset mengucurkan investasi yang angkanya tidak disebutkan kepada FaZe Clan. Lee Trink CEO Faze ketika itu semakin mempertegas posisi FaZe Clan yang bukan hanya sekadar brand gaming atau esports, tetapi juga ingin memimpin transformasi budaya lewat gaming dan esports.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“FaZe Clan kini berkembang melampaui gaming dan esports, kami memimpin transformasi budaya juga dunia entertainment. Offset melambangkan generasi baru, pemimpin yang mengerti akan pergerakan budaya tersebut. FaZe Clan kini sedang mendefinisikan ulang arti dari menjadi brand ikonik di dunia hiburan. Bekerja sama dengan Offset akan menjadi langkah berikutnya untuk maju di masa depan. Dengan ini kami tidak hanya akan mendominasi ranah gaming kompetitif, tetap kami juga akan menciptakan trend dalam hal konten, merchandise, brand partnership, dan lebih jauh lagi.”

Kolaborasi FaZe Clan begitu agresif di tahun 2019, terutama pada ranah non-gaming. Dari sisi fashion mereka sempat berkolaborasi dengan sportswear Champion, Kappa, dan berbagai brand fashion lainnya. Mereka juga berkolaborasi dengan Manchester City, untuk kolaborasi dalam hal konten dan juga melakukan co-branded untuk menciptakan jersey Manchester City x FaZe Clan.

FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire
FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire

Mereka juga berkolaborasi dengan asosiasi American Football, NFL. Kolaborasi ini dilakukan untuk menciptakan merchandise bertemakan NFL x FaZe Clan dan konten seputar putaran pertama dari NFL Draft atau bursa transfer di dalam American Football. Karena kolaborasi agresif ini, mereka juga mendapatkan investasi dari pebisnis industri musik, Jimmy Iovine dan platform merchandising NTWRK. Hal itu tentu akan semakin memperkuat posisi FaZe Clan di ranah merchandising. Sebagaimana dinyatakan Lee Trink bahwa investasi tersebut akan digunakan oleh mereka untuk memperkuat posisinya di bidang bisnis apparel dan merchandising.

Tapi, ternyata ide gila Faze Clan untuk terus berkembang tidak berhenti sampai situ saja. Setelah konten dan merchandising, perkembangan selanjutnya adalah televisi. Pada 29 April lalu mereka mengumumkan kerja sama dengan platform Sugar23 milik sutradara Michael Sugar, untuk membuat FaZe Studios yang akan menjadi pusat produksi film dan serial televisi baru.

Berawal dari konten trickshot, FaZe Clan berkembang ke ranah esports, selebriti internet, dan merchandising. FaZe Clan berkembang begitu besar sampai menjajah berbagai ranah industri hiburan. Perjalanan ini memberikan kita pelajaran bagaimana visi untuk tampil keren di hadapan orang banyak, telah membawa FaZe Clan dari sekadar gamers yang nerd, menjadi brand glamor yang menjadi simbol budaya bagi anak muda.

Gandeng Collegiate StarLeague, TikTok Buat TikTok Cup

TikTok bekerja sama dengan Collegiate StarLeague (CSL) untuk mengadakan TikTok Cup, turnamen esports bagi mahasiswa. Memang, CSL adalah penyelenggara turnamen esports yang mengkhususkan diri pada tingkat universitas. Ada empat game yang akan diadu dalam TikTok Cup, yaitu Fortnite, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, dan Rocket League.

Total hadiah dari TikTok Cup mencapai US$60 ribu (sekitar Rp931 juta). Namun, total hadiah tersebut tidak dibagi rata untuk empat game. Masing-masing game memiliki jumlah hadiah yang berbeda-beda. Kompetisi ini terbuka untuk semua orang yang masih terdaftar sebagai mahasiswa dari universitas di Amerika Serikat.

Selain kompetisi esports, TikTok juga menyelenggarakan kompetisi untuk membuat video tentang TikTok Cup. Tentu saja, video tersebut harus dibagikan di platform TikTok. Untuk ikut serta dalam kompetisi ini, seseorang hanya perlu menggunakan tagar TikTokCupContest, lapor Neowin. Pemenang dari kontes video TikTok Cup akan mendapatkan US$2.500 (sekitar Rp38,8 juta).

“Collegiate StarLeague sangat senang karena bisa bekerja sama dengan tim TikTok untuk memberikan kesempatan pada mahasiswa gamer dalam membuat konten yang menggabungkan esports, game, dan video TikTok,” kata Wim Stocks, CEO dari World Gaming Network dan Collegiate StarLeague, seperti dikutip dari Gamasutra. “Kami tidak sabar untuk melihat video seperti apa yang akan dibuat oleh para peserta. Kami berterima kasih pada TikTok atas kerja samanya.”

Ini bukan kali pertama, TikTok menyasar komunitas gamer. Pada Januari 2020, TikTok bekerja sama dengan Fortnite untuk mengadakan event #EmoteRoyaleContest. Dalam kontes ini, para peserta diminta untuk mengunggah video singkat dari tarian mereka. Tarian dari pemenang akan dijadikan sebagai salah satu emote dalam Fortnite.

Masih pada bulan Januari, ByteDance, perusahaan induk TikTok, juga dikabarkan tertarik untuk memasuki industri mobile game. Memang, sebelum ini, mereka juga telah menargetkan para gamer kasual. Namun, nantinya, mereka juga berencana untuk menyasar para hardcore gamer.

Sumber header: The Esports Observer

Epic Games ‘Terpaksa’ Melepas Fortnite di Google Play

Ketika pengguna PC sudah lama maklum mereka harus menggunakan banyak platform untuk mengakses konten berbeda, Google Play ialah satu-satunya portal ‘resmi’ di Android buat mendapatkan aplikasi. Tapi dari sejak pertama meluncurkan Fortnite di perangkat bergerak, Epic Games menolak menyediakan game populernya itu di Google Play. Mereka memilih menggunakan software buatan sendiri.

Namun sebuah perubahan datang minggu ini. Epic Games akhirnya menyerah dan resmi meluncurkan Fortnite di Google Play setelah 18 bulan memanfaatkan Fortnite Launcher/Epic Games App. Alasan mengapa Epic terpaksa melakukannya adalah karena Google ‘menempatkan app-app third-party di posisi yang kurang menguntungkan’ dengan cara memperingati pengguna terhadap potensi adanya masalah dan mengkategorikan software yang tidak tersaji via Play sebagai malware.

Dalam sebuah pernyataan, Epic menjelaskan bahwa sejumlah strategi Google jelas merugikan aplikasi pihak ketiga, baik dilihat dari sudut pandang bisnis maupun teknis. Contohnya adalah peringatan keamanan dan notifikasi update software yang muncul terus-menerus, kesepakatan dengan operator mobile serta vendor hardware yang restriktif. Selain itu lewat Play Protect, Google belakangan mulai aktif memblokir software-software yang diperoleh dari luar Play.

Dengan munculnya Fortnite secara resmi di Google Play, mulai sekarang Epic harus membayar Google sebesar 30 persen atas pemasukan yang mereka peroleh dari transaksi in-app. CEO Epic Tim Sweeney memang cukup vokal dalam mengutarakan ketidakpuasannya terhadap peraturan Apple App Store dan Google Play. Menurutnya, pemilik platform sering menyalahgunakan posisi mereka dan membebankan biaya tinggi pada developer.

Saat Fortnite dilepas di Android, Sweeney sempat menyampaikan bahwa potongan 30 persen merupakan angka yang sangat besar. Sementara itu, developer harus menggunakan 70 persen profit untuk terus mengembangkan konten, mengoperasikan, dan mendukung permainan mereka. Sebagai pemilik layanan distribusi digital, Epic sendiri menerapkan pembagian keuntungan 88:12 – menggoda banyak developer buat merilis game di storefront mereka.

Sikap Epic ini memang memperlihatkan ketidaksukaan mereka terhadap praktek monopoli pemegang platform, tapi bukankah tim pencipta Fortnite itu juga menerapkan strategi eksklusif di Epic Games Store? Hal inilah yang dikeluhkan oleh banyak gamer di PC terhadap Epic Store.

Terlepas dari penyediaan Fortnite di Google Play, sentimen Epic Games tidak berubah. Sweeney tetap berharap agar Google merevisi kebijakan serta cara mereka menjalankan bisnis dalam waktu dekat sehingga semua developer bisa bebas menjangkau konsumen dan menjajakan konten melalui layanan yang transparan. Epic bahkan meminta sang raksasa internet untuk tidak memaksa developer buat menggunakan metode pembayaran Google.

Sayangnya, Google menolak permintaan tersebut. Google menyatakan, mereka punya model bisnis dan kebijakan pembayaran sendiri, yang memungkinkan perusahaan menyediakan perkakas untuk membantu developer buat berkembang sembari memastikan pengguna tetap aman.

Via The Verge.

J.Storm Menghentikan Operasional Mereka di Amerika Serikat

J.Storm adalah organisasi esports yang didirikan oleh mantan pemain bola basket di NBA yaitu Jeremy Lin. Pada awal bulan Maret ini, manajemen J.Storm mengumumkan keputusan mereka melalui social media. Mereka memberhentikan operasional J.Storm yang ada di Amerika Serikat yang meliputi tim Dota 2 dan Fortnite J.Storm.

Pengumuman tersebut menyebutkan “reevaluating commitments” bagi J.Storm. Dengan demikian, akan ada kemungkinan J.Storm akan kembali membuka bisnis mereka di industri esports sekali lagi. Mereka seperti ingin memikirkan beberapa hal untuk dipertimbangkan sebelum mengeluarkan dana lagi di dunia esports. Padahal, prestasi yang dimiliki oleh tim Dota 2 mereka tidaklah buruk.

Di tahun 2018, J.Storm berhasil masuk ke The International 8 dan berakhir di posisi 7-8. Memang, di tahun 2019 tim Dota 2 J.Storm seperti menghilang dari ranah kompetitif. Tidak ada prestasi yang diraih oleh mereka. David “GoDz” Parker juga pernah menyebutkan bahwa betapa sulitnya bagi tim Dota 2 untuk berkembang di ranah kompetitif Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan Dota 2 kalah populer dengan game title lain seperti League of Legends atau Call of Duty. Dengan demikian, minimnya turnamen lokal membuat tim Dota 2 di Amerika Serikat harus bersaing secara internasional untuk meraih prestasi.

Minimnya prestasi di tim Fortnite mereka juga bisa menjadi alasan. Pasalnya, mereka hanya bisa mengumpulkan uang hadiah juara sebesar US$1800 selama 2 tahun. Hengkangnya J.Storm ini memang sudah diperkirakan oleh banyak pihak. Karena pada Januari lalu, pemain J.Storm yaitu James “Painful” Garrod mengabarkan dirinya telah berada di status free agent. Lalu di bulan Februari 2020, Clinton “Fear” Loomis juga dikabarkan telah keluar dari J.Storm dan memutuskan untuk membuat tim Dota 2 sendiri.

Sumber: Esports Marketing Blog
Sumber: Esports Marketing Blog

J.Storm secara organisasi mulai dikenal semenjak memperkenalkan tim Dota 2 mereka. Melalui kerja sama dengan Vici Gaming, VGJ menghadirkan dua tim yaitu VGJ.Storm dan VGJ.Thunder. Namun pada tahun 2018, Vici Gaming memutuskan untuk mengubah nama tim milik Jeremy Lin menjadi J.Storm saja. Hal ini dikarenakan peraturan dari Valve yang melarang dua atau lebih tim yang berada di organisasi yang sama untuk mengikuti The International 2018.

Durasi Bermain Fortnite Turun, Total Belanja Pemain Justru Naik

Pada 2019, dua tahun setelah diluncurkan, Fortnite masih berhasil menjadi game free to play dengan pendapatan terbesar. Meskipun begitu, laporan terbaru dari LendEDU menunjukkan bahwa lama waktu bermain para pemain Fortnite mulai mengalami penurunan pada 2020.

Pada 2018, jumlah pemain yang memainkan Fortnite selama 21 jam atau lebih mencapai 8 persen. Angka itu turun menjadi 5 persen pada 2020. Sementara jumlah pemain yang bermain selama 16-20 jam juga mengalami penurunan, dari 13 persen pada 2018 menjadi 8 persen pada 2020. Jumlah pemain yang bermain selama 11-15 jam msaih tetap sama, yaitu 17 persen. Pada 2018, kebanyakan pemain (33 persen) bermain selama 6-12 jam. Angka itu naik 1 persen menjadi 34 persen pada 2019. Sementara jumlah pemain yang bermain selama 0-5 jam naik dari 29 persen menjadi 36 persen. Anda bisa melihat perbandingan lama bermain Fortnite pada 2020 dan pada 2018 pada grafik di bawah ini.

belanja pemain Fortnite
Perbandingan durasi bermain Fortnite pada 2018 dan 2020. | Sumber data: LendEDU

Menariknya, meskipun lama durasi bermain mengalami penurunan, jumlah pemain membeli item dalam game justru naik. Pada 2018, ada 66 persen pemain yang membeli item dalam Fortnite. Tahun ini, angka itu naik menjadi 77 persen. Tak hanya itu, total rata-rata yang dihabiskan oleh para pemain Fortnite juga mengalami. Jumlah rata-rata uang yang dihabiskan pemain Fortnite naik 21 persen, dari US$84,67 (sekitar Rp1,2 juta) menjadi US$102,42 (sekitar Rp1,5 juta).

Sayangnya, jumlah orang yang percaya bahwa membeli skin di Fortnite akan membantu mereka bermain lebih baik juga bertambah. Pada 2018, hanya 20 persen pemain yang percaya bahwa item dalam game akan meningkatkan kemampuan mereka. Sekarang, angka itu naik menjadi 35 persen. Padahal, skin dalam Fortnite hanyalah kosmetik yang tak memberikan pengaruh apapun pada performa permainan.

Data dari LendEDU juga menunjukkan bahwa 58 persen pembelian item yang dilakukan oleh pemain Fortnite terjadi dalam waktu 12 bulan belakangan. Itu artinya, meskipun telah berumur lebih dari dua tahun, pemain Fortnite masih aktif melakukan pembelian item dalam game. Memang, menurut data dari SuperData, Fortnite menyumbangkan US$1,8 miliar pada pendapatan Epic Games pada 2019 lalu.

belanja pemain fortnite
Merchandise Fortnite. | Sumber: Fortnite

Menurut survei LendEDU, orang-orang yang membeli skin dalam Fortnite juga tertarik untuk membeli merchandise terkait Fortnite. Sebanyak 50 persen responden mengatakan bahwa mereka pernah membeli merchandise Fortnite atau merchandise dari streamer populer seperti Ninja.

Selain kebiasaan spending pemain Fortnite, LendEDU juga tertarik untuk tahu tentang ketertarikan para pemain Fortnite dengan esports. Ketika ditanya apakah mereka lebih suka liga olahraga tradisional atau turnamen esports, sebanyak 68 persen responden mengaku bahwa mereka lebih menyukai liga olahraga tradisional sementara 21 persen responden mengklaim mereka lebih menyukai liga esports dan 11 persen sisanya menjawab tidak yakin.

Epic Games Akan Batasi Waktu Main Fortnite Hanya 3 Jam di Tiongkok

Sebagai salah satu game terpopuler dan game dengan pendapatan terbesar, tak heran jika Fortnite menjalar ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Tiongkok. Sebagai negara yang cukup ketat dalam hal peraturan, tak heran jika beberapa game kadang punya versi yang berbeda jika rilis di Tiongkok, demi meminimalisir ‘dampak buruk’ terhadap pemain. Salah satu contohnya seperti PUBG Mobile, yang kehilangan izin rilisnya dari pemerintah, sehingga terpaksa berganti nama menjadi Elite Force for Peace untuk rilisan Tiongkok.

Bukan hanya PUBG Mobile saja, hal tersebut juga terjadi kepada Fortnite. Tidak, Fortnite tidak kehilangan izin rilisnya, namun kabarnya akan ada limitasi di dalam game-nya. Mengutip dari seorang data miner bernama Fire Monkey, ia menemukan data string yang mengatakan bahwa di Tiongkok waktu main Fortnite akan dibatasi hanya jadi 3 jam per hari pada update Fortnite 12.10.

Tencent, yang memiliki sebagian besar saham Fortnite, melakukan penambahan ini sebagai cara mereka untuk melawan masalah kecanduan bermain game, terutama untuk pemain yang berusia muda. Nantinya peringatan akan muncul dalam bentuk teks kepada pemain yang sudah bermain setelah tiga jam. Kabarnya, jika ia masih terus bermain, maka proggress challenge akan menurun, serat berbagai pengurangan pengalaman bermain lainnya.

https://twitter.com/iFireMonkey/status/1234788226159857664?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1234788226159857664&ref_url=https%3A%2F%2Fdotesports.com%2Ffortnite%2Fnews%2Fepic-and-tencent-reportedly-introduce-3-hour-limit-for-fortnite-players-in-china

You have been online for three hours accumulatively,” tulisan pesan yang akan diberikan kepada pemain. “The in-game gainings will be lowered by 50 percent from now on and challenge progress has been disabled. For your own health please log-off and get some rest. Appropriate physical exercise is good for your body.”

Tiongkok memang sedang gencar melawan efek kecanduan bermain game, apalagi setelah kecanduan bermain game dianggap sebagai penyakit sungguhan oleh badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO). Tiongkok melakukan ini dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan jam malam. Mengutip engadget peraturan jam malam berlaku bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, mereka akan dilarang bermain mulai pukul 22:00 sampai 08:00.

Ada juga peraturan pembatasan jam main. Para pemain hanya diperkenankan bermain 90 menit per pekan dan tiga jam per hari termasuk pada akhir pekan dan hari libur. Peraturan lain termasuk mengharuskan pemain menggunakan nama asli di dalam game, serta membatasi jumlah belanja in-game mereka jadi hanya US$28 (sekitar Rp398 ribu) sampai US$57 (sekitar Rp804 ribu), tergantung dari usia sang pemain.

Akankah kebijakan ini menurunkan budaya gaming masyarakat Tiongkok? Sepertinya hal itu tidak terlalu jadi masalah, karena akhir tahun lalu Tiongkok bahkan memiliki 300 juta gamers perempuan yang merupakan peningkatan 3,5% dari tahun lalu. Semoga saja kebijakan ini menyasar target yang tepat, dan membantu anak-anak di bawah 18 tahun mengenal budaya bermain game secara lebih positif.