Fujifilm Resmikan Showroom Pertamanya di Surabaya

Membuka toko fisik di era yang didominasi e-commerce ini mungkin terkesan sebagai tindakan yang kurang bijak. Namun kalau melihat kesuksesan Apple dengan jaringan Apple Store-nya di berbagai negara, langkah yang penuh risiko ini sejatinya juga bisa membantu meningkatkan penetrasi pasar secara signifikan.

Di Indonesia, Apple memang belum memiliki toko fisik, akan tetapi brand lain seperti Samsung sudah membuka semacam experience store. Itu di industri smartphone, sedangkan di industri kamera, ada Fujifilm yang sudah membuka showroom resminya di Jakarta sejak tahun 2015.

Tahun 2018 ini, mereka memutuskan untuk berekspansi ke kota lain. Tujuan yang pertama adalah Surabaya, di mana Fujifilm baru saja meresmikan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza 6. Lokasinya terbilang cukup tengah bagi saya yang memang berdomisili di Kota Pahlawan.

Fujifilm Showroom Surabaya

Fungsi utama showroom ini tentu saja adalah sebagai tempat berjualan, akan tetapi calon pembeli pun juga dibebaskan untuk menjajal deretan kamera yang sudah di-display. Kalau Anda membeli ponsel, umumnya pasti ingin mencoba langsung terlebih dulu, premisnya kurang lebih sama di sini, hanya saja barangnya berupa kamera.

Dalam persaingan di kancah mirrorless di Indonesia, Fujifilm sendiri menduduki peringkat dua menurut penjelasan Johanes Rampi selaku General Manager divisi electronic imaging Fujifilm Indonesia. Tren penggunaan mirrorless yang terus naik – rata-rata naik 25 persen setiap tahun, tahun lalu bahkan lebih – menjadi salah satu dorongan bagi Fujifilm untuk membuka showroom di lokasi lain selain ibukota.

Lalu mengapa Surabaya? Karena Surabaya memang merupakan lahan penjualan kamera Fujifilm yang terbesar kedua setelah Jakarta. Showroom ini pun baru permulaan, sebab mereka juga berencana membuka cabang lainnya, termasuk yang terintegrasi dengan toko kamera (Fujifilm Corner), dan Fuji pun juga tertarik untuk membuka showroom di Yogyakarta, meski belum tahu kapan.

Showroom sebagai upaya menyatukan berbagai unit bisnis

Fujifilm Showroom Surabaya

Selain mengedepankan aspek experience, masih ada beberapa fasilitas lain yang ditawarkan showroom Fujifilm di Surabaya. Yang pertama adalah ruang kelas untuk menggelar workshop, dengan kapasitas sekitar 20 orang. Workshop ini bakal mencakup tema dari yang basic sampai advanced, dan diestimasikan 80 persennya bisa diikuti secara cuma-cuma.

Anggiawan Pratama, Marketing Manager Fujifilm Indonesia, mengatakan bahwa workshop bakal dihelat secara rutin, bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali. Jadwalnya akan dipublikasikan melalui media sosial, dan yang tertarik bisa melakukan pendaftaran via email.

Fujifilm Showroom Surabaya

Di seberang ruang kelas itu, ada booth khusus untuk memamerkan lini kamera instan Fujifilm Instax. Namun yang lebih menarik ada di sebelahnya lagi, yakni sebuah booth bernama Wonder Photo Corner untuk mencetak foto. Mungkin Anda sudah lupa, tapi sebelum dunia mengenal kamera digital, Fujifilm memang cukup berjaya di bisnis printing.

Showroom ini pada dasarnya bisa dianggap sebagai upaya Fujifilm untuk menyatukan divisi-divisi bisnisnya yang berhadapan langsung dengan konsumen umum. Jadi meskipun bisnis printing cukup tergerus oleh industri digital, nyatanya bisnis ini masih bisa bertahan, dan belakangan konsumen memang banyak yang tertarik mencetak hasil jepretan kamera maupun smartphone-nya.

Fujifilm Showroom Surabaya

Di booth Wonder Photo Corner ini, konsumen hanya perlu membawa ponsel atau memory card, lalu memindahkan foto yang hendak dicetaknya ke komputer yang telah tersedia. Konsumen bebas mengedit fotonya sebelum dicetak, dan sesudah dicetak pun mereka bisa menambahkan ornamen-ornamen dekoratif lainnya di semacam meja arts & crafts (DIY) yang sudah disediakan.

Semua ini tidak dipungut biaya selama masa pembukaan showroom, tapi masih belum bisa dipastikan sampai kapan tepatnya – Fuji nantinya bakal mematok tarif. Anda pun tidak harus menjadi pengguna kamera Fujifilm untuk bisa mencetak di sana, sebab booth ini pada dasarnya merupakan bentuk promosi bisnis printing Fuji.

Gratis, tapi tentu harus ada sejumlah batasan agar tidak disalahgunakan. Utamanya, batas foto yang bisa konsumen cetak hanya lima lembar. Format foto yang dapat dicetak pun bisa sampai sebesar 10R (sekitar 25 x 30 cm).

Varian warna baru Fujifilm X-A5

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Dalam momen yang sama, Fujifilm turut memperkenalkan varian warna baru untuk kamera Fujifilm X-A5 yang sebelumnya sudah mereka luncurkan secara resmi di tanah air pada bulan Februari lalu. Warna baru ini mereka sebut dengan istilah Dark Silver, dan harganya sama-sama dipatok Rp 9 juta bersama lensa kit. Selama bulan Mei ini, X-A5 Dark Silver akan dijual secara eksklusif melalui Tokopedia.

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Dibandingkan pilihan warna sebelumnya, warna baru ini tampak jauh lebih maskulin (di mata saya sepintas terlihat seperti warna panel belakang iPhone 5) dan diharapkan bisa menarik perhatian lebih banyak konsumen pria. X-A Series sendiri merupakan lini yang paling laris penjualannya tahun lalu, jadi wajar apabila Fujifilm ingin terus meningkatkan angka penjualannya lebih lagi.

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Secara keseluruhan, Anggiawan mengatakan bahwa konsep yang diusung showroom Fujifilm di Surabaya ini lebih modern ketimbang yang sudah beroperasi di Jakarta. Kalau terbukti bisa meningkatkan traffic dan penjualan, rencananya showroom yang di Jakarta juga akan di-refresh mengikuti arahan baru ini – yang sebenarnya juga bisa dipandang sebagai upaya peremajaan toko cetak foto.

Canon Tak Lagi Kesampingkan Kamera Mirrorless

Entah sudah berapa lama para penggemar kamera mirrorless mencemooh Canon. Alasannya sederhana: sejak merilis kamera mirrorless pertamanya di tahun 2012, Canon terkesan tidak serius menghadapi segmen tersebut dengan hanya merilis produk yang biasa-biasa saja.

Bandingkan dengan Sony dan Fujifilm yang begitu all-out dan pada akhirnya bisa cukup dominan di segmen mirrorless. Kendati demikian, Canon EOS M50 yang dirilis baru-baru ini bisa menjadi indikasi akan adanya pergeseran fokus buat Canon; kamera tersebut bisa merekam video 4K di saat DSLR high-end Canon EOS 6D yang seharga $2.000 cuma mentok di 1080p.

Asumsi ini semakin diperkuat dengan adanya laporan baru dari Nikkei. Salah satu petinggi Canon, Masahiro Sakata, mengatakan kepada Nikkei bahwa Canon bakal secara aktif merilis produk untuk pasar yang pertumbuhannya bagus meskipun kanibalisasi harus terjadi.

Berbekal teknologi Dual Pixel AF dan opsi perekaman video 4K, Canon EOS M50 pada dasarnya merupakan 'kanibal' terhadap sejumlah DSLR Canon / Canon
Berbekal teknologi Dual Pixel AF dan opsi perekaman video 4K, Canon EOS M50 pada dasarnya merupakan ‘kanibal’ terhadap sejumlah DSLR Canon / Canon

Pernyataan ini pada dasarnya bisa diterjemahkan menjadi: Canon akan lebih memprioritaskan segmen mirrorless ketimbang sebelumnya. Terkait kanibalisasi, ini merujuk pada DSLR kelas entry yang posisinya memang sering terancam oleh mirrorless, dan nampaknya Canon sudah mulai siap mengambil kompromi soal ini, seperti bisa dilihat dari EOS M50 itu tadi.

Canon juga menyampaikan kepada Nikkei bahwa mereka bakal merilis kamera mirrorless kelas entry baru bulan ini juga, dengan target pasar kalangan keluarga, macam para mama yang gemar memotret keseharian buah hatinya. Bisa jadi suksesor EOS M100, atau model baru yang harganya lebih terjangkau lagi (idealnya di bawah $600 sudah termasuk lensa).

Saya sendiri melihat belakangan mirrorless memang mulai populer di kalangan mama-mama muda, yang kerap membuatkan akun Instagram khusus buat anaknya. Mayoritas foto yang terdapat pada akun-akun tersebut bagus, bahkan terlalu bagus untuk kamera smartphone, dan ternyata dari beberapa yang saya temui langsung (di tempat bermain anak) memang menggunakan kamera mirrorless.

Sumber: Nikkei via Ubergizmo.

Nikon SnapBridge Versi 2.0 Hadirkan Kontrol Kamera Secara Penuh dan Tampilan Lebih Rapi

Di antara semua pabrikan kamera, Nikon tergolong yang paling tertinggal di kategori mirrorless, bahkan melebihi rival abadinya, Canon. Namun hal itu bukan berarti Nikon tidak mau mengadopsi tren baru. Buktinya bisa kita lihat dari inovasi mereka bernama SnapBridge.

Nikon SnapBridge pada dasarnya merupakan konektivitas wireless berbasis Bluetooth. Kalau sebelumnya kamera hanya mengandalkan Wi-Fi saja untuk menyambung ke smartphone atau tablet, SnapBridge memulai tren baru yang lebih efisien dan efektif dengan memadukannya dengan Bluetooth. Alhasil, kamera jadi bisa terus tersambung secara konstan ke smartphone.

Satu fungsi yang paling bermanfaat dari SnapBridge adalah kemampuan memindah gambar dari kamera ke ponsel secara otomatis. Pengguna hanya perlu fokus menjepret dan menjepret, dan foto-foto yang diambil bakal langsung bisa dilihat dan dibagikan ke media sosial dari smartphone.

Hampir dua tahun sejak meluncur pertama kali bersama Nikon D500, SnapBridge akhirnya sudah siap diperbarui secara signifikan. SnapBridge versi 2.0 mengemas sederet fitur baru yang cukup menarik, termasuk perbaikan desain secara menyeluruh agar lebih mudah dinavigasikan.

Nikon SnapBridge 2.0

Yang paling utama adalah, SnapBridge kini dapat digunakan untuk mengontrol kamera secara penuh. Selain menampilkan live view dari kamera, SnapBridge juga memungkinkan pengguna mengubah pengaturan exposure dari ponsel; mulai dari mengganti mode P/S/A/M, shutter speed, aperture, exposure compensation, tingkat ISO sampai memilih white balance.

SnapBridge versi 2.0 juga telah mendukung pairing hingga lima kamera sekaligus, sehingga pengguna bisa berganti dari satu kamera ke yang lain dengan mudah tanpa perlu menjalani proses pairing ulang. Di samping itu, Nikon turut menyematkan mode power-saving agar smartphone yang tersambung tidak terkuras dayanya saat SnapBridge sedang tidak digunakan.

SnapBridge versi 2.0 saat ini sudah bisa didapatkan melalui App Store dan Google Play. Kamera yang kompatibel adalah sebagai berikut: Nikon D850, D500, D7500, D5600, D3400, CoolPix A900, A300, B700, B500, W100, W300, dan KeyMission 80.

Sumber: DPReview.

Kecil tapi Tahan Banting, Sony RX0 Adalah Action Cam Unik yang Bisa Dijadikan Solusi Multi-Kamera

Pada perhelatan IFA 2017, Sony memperkenalkan sebuah kamera yang sangat unik. Dinamai RX0, sepintas ia kelihatan seperti sebuah action cam. Namun setelah mengamati fitur-fiturnya, kita akan sadar bahwa ia lebih dari sekadar kompetitor GoPro.

Desainnya memang sangat action cam, berwujud balok mini dengan dimensi 59 x 40,5 x 29,8 mm dan bobot cuma 110 gram. Namun jangan sekali-kali tertipu oleh ukurannya, sebab RX0 telah dirancang dengan ketahanan luar biasa. Jatuh dari ketinggian 2 meter bukan masalah besar baginya, dan ia juga siap diajak menyelam sampai 10 meter di bawah air – 100 meter dengan bantuan casing opsional.

Sony RX0

Di dalamnya bernaung sensor Exmor RS berukuran 1 inci dengan resolusi 15,3 megapixel. Dipadukan dengan lensa fixed Zeiss Tessar T* 24mm f/4, kualitas gambarnya sejatinya tidak perlu diragukan. Performanya juga tidak kalah mumpuni, sanggup memotret dalam format RAW dengan kecepatan 16 fps, dan shutter speed-nya bisa didongkrak sampai 1/32.000 detik.

Opsi perekaman videonya juga sangat beragam. Mode slow-motion bisa diaktifkan dalam kecepatan hingga seekstrem 960 fps, atau 240 fps dengan resolusi nyaris 1080p. Mode S-Log2 pun turut hadir, memungkinkan kamera untuk merekam video dalam format yang sejatinya mirip RAW di mode pemotretan.

Sony RX0

Lalu apa yang membuatnya lebih dari sekadar action cam? Jawabannya adalah potensinya untuk dijadikan sebagai solusi multi-kamera, semisal untuk membuat video 360 derajat. Menggunakan bantuan aksesori opsional, pengguna dapat menyambungkan hingga 15 unit RX0 sekaligus dan mengoperasikan semuanya secara bersamaan – atau hingga 5 unit secara wireless dengan bantuan aplikasi PlayMemories di perangkat mobile.

Kesimpulannya, Sony RX0 bukan sembarang kompetitor GoPro yang dimaksudkan untuk digunakan secara individual saja. Kamera ini dijadwalkan masuk ke pasaran mulai Oktober mendatang dengan harga $700.

Sumber: DPReview dan Sony.

Olympus OM-D E-M10 Mark III Datang dengan Desain Lebih Ergonomis dan Perekaman Video 4K

Olympus OM-D E-M1 Mark II adalah salah satu kamera mirrorless terbaik saat ini, tapi dengan kisaran harga Rp 28 juta untuk bodinya saja, ia jelas bukan untuk semua orang. Itulah mengapa seri OM-D E-M10 eksis, dan Olympus baru saja memperkenalkan generasi ketiganya yang membawa sejumlah penyempurnaan.

Pembaruannya tergolong minor, tapi masih bisa membuat E-M10 Mark III terdengar menarik. Sensor yang digunakan masih sama, yaitu sensor Micro Four Thirds 16 megapixel, akan tetapi prosesor yang mendampinginya telah di-upgrade menjadi TruePic VIII, yang pada akhirnya memungkinkan kamera untuk merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, sama seperti kakaknya yang jauh lebih mahal itu.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

E-M10 Mark III dilengkapi sistem autofocus 121 titik, naik dari 81 titik pada generasi sebelumnya. Performanya juga ikut naik meskipun sangat tipis; burst shooting dapat dilakukan dalam kecepatan 8,6 fps, selisih 0,1 fps saja dibandingkan pendahulunya.

Desainnya secara keseluruhan masih sama, namun Olympus sudah membenahi sejumlah elemen agar perangkat bisa menjadi lebih ergonomis lagi. Yang paling utama, handgrip-nya kini sedikit melengkung agar lebih pas dengan kontur tangan, kemudian deretan dial pada pelat atasnya sedikit diperbesar ukurannya untuk memudahkan akses.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Selebihnya, E-M10 Mark III masih mempertahankan fitur-fitur unggulan pendahulunya, di antara lain viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot, layar sentuh 3 inci yang dapat di-tilt, dan image stabilization 5-axis yang dapat diaktifkan selagi merekam video 4K sekalipun.

Olympus OM-D E-M10 Mark III rencananya akan dipasarkan mulai akhir September mendatang seharga $650 untuk bodinya saja, atau $800 bersama lensa M.Zuiko 14–42mm EZ.

Sumber: DPReview.

Cuma $600, Canon EOS M100 Tawarkan Sensor 24 Megapixel dan Dual Pixel AF

Dirilis setahun yang lalu, Canon EOS M5 merupakan kamera mirrorless terbaik dari Canon yang bisa dibeli di pasaran saat ini. Kendati demikian, banderol harganya mungkin masih belum bisa menjangkau semua kalangan, terutama mereka yang baru berniat naik kelas dari kamera saku atau malah smartphone.

Buat mereka ini, Canon rupanya punya persembahan baru yang tak kalah menarik, yaitu EOS M100. Kamera ini merupakan penerus langsung dari EOS M10 yang Canon luncurkan dua tahun silam, dan waktu yang panjang itu rupanya sudah dimanfaatkan dengan baik oleh Canon untuk menggodok suksesor yang jauh lebih bisa diandalkan.

Canon EOS M100

Yang paling utama, sensornya telah diganti dengan sensor APS-C baru beresolusi 24,2 megapixel yang memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600. Namun ternyata bukan cuma resolusi saja yang ditingkatkan, EOS M100 juga telah dilengkapi teknologi Dual Pixel autofocus seperti yang dimiliki EOS M5 maupun sederet DSLR besutan Canon.

Dipadukan dengan prosesor DIGIC 7, performa EOS M100 pun meningkat drastis jika dibandingkan pendahulunya. Mengambil foto tanpa henti dengan continuous AF bisa ia lakukan dalam kecepatan 4 fps (6 fps dengan single AF), dan kemampuannya merekam video naik dari 1080p 30 fps menjadi 1080p 60 fps.

Canon EOS M100

Dari segi pengoperasian, M100 masih mempertahankan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,03 juta dot milik pendahulunya, namun dengan interface yang lebih baik. Tentu saja layar ini masih bisa dilipat sampai menghadap ke depan untuk memudahkan pengambilan selfie.

Pop-up flash, Wi-Fi dan NFC tetap hadir, namun sekarang tersedia pula konektivitas Bluetooth agar kamera dapat terus terhubung dengan perangkat mobile secara konstan – sangat berguna ketika hendak mengambil foto dan langsung memindah hasilnya ke ponsel. Canon tidak lupa bilang kalau M100 merupakan model teringan dan teramping dari semua lini EOS M yang ada sekarang.

Canon EOS M100

Canon EOS M100 rencananya bakal dipasarkan mulai Oktober mendatang seharga $600 bersama lensa EF-M 15–45mm f3.5–6.3 IS STM, atau bundel dua lensa seharga $950 (tambahan EF-M 55–200mm f/4.5–6.3 IS STM).

Sumber: DPReview.

Pixel Peeper Adalah Web App untuk Menampilkan Bagaimana Suatu Foto Diedit dengan Adobe Lightroom

Pernahkah Anda melihat suatu foto di internet lalu penasaran seperti apa sang fotografer mengeditnya? Apakah cuma exposure dan kontrasnya saja yang disesuaikan? Atau mungkin highlight dan shadow-nya juga ikut diutak-atik, demikian pula untuk vibrance-nya? Kalau software editing yang Anda gunakan adalah Lightroom, Anda pasti akan merasa terbantu oleh situs baru bernama Pixel Peeper ini.

Web app sederhana ini dirancang secara spesifik untuk menampilkan informasi EXIF (nama kamera beserta lensa yang digunakan, aperture, shutter speed, ISO dan lain sebagainya) dari suatu foto berformat JPEG, sekaligus semua parameter yang diedit menggunakan Lightroom. Ya, sayang sekali Anda tak bisa ‘mengintip’ parameter foto-foto yang diedit menggunakan software lain.

Pixel Peeper

Cara kerjanya sederhana: cukup unggah foto yang hendak diintip, lalu Anda bisa melihat deretan slider di sebelah kanan yang tampilannya persis seperti di Lightroom, lengkap dengan angka-angka yang menunjukkan hasil editannya. Informasi EXIF-nya sendiri dibeberkan di bagian bawah.

Tentu saja semua informasi ini tidak akan muncul apabila sang fotografer memutuskan untuk menghapus semua data EXIF ketika meng-export foto ke format JPEG plus data semua editannya menggunakan Lightroom.

Di samping itu, fitur terbaru Pixel Peeper adalah Preset Finder, yang memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi preset apa yang digunakan pada suatu foto. Situs ini bisa diakses secara cuma-cuma, tapi kalau Anda juga mendaftar sebagai akun premium dengan biaya $25 per tahun, Anda juga bisa mengecek foto dengan cara mencantumkan URL, tanpa harus mengunggah apapun.

Sumber: DPReview dan PetaPixel.

Berbekal AI Canggih, Arsenal Akan Bantu Anda Memaksimalkan Potensi Kamera Mirrorless Maupun DSLR

Hampir semua kamera modern, baik itu DSLR maupun mirrorless, menawarkan mode pemotretan otomatis. Hasilnya boleh dibilang oke, akan tetapi seorang fotografer pasti akan bilang kalau Anda tidak memaksimalkan potensi asli yang dimiliki kamera Anda.

Memang benar, dengan latihan dan jam terbang yang cukup, Anda bisa menghasilkan foto yang jauh lebih menarik menggunakan mode manual. Namun tentu saja tidak semua orang punya cukup waktu atau ketertarikan untuk belajar fotografi. Mereka mungkin cuma punya budget yang cukup untuk membeli kamera mirrorless demi mendapatkan foto yang lebih baik ketimbang memakai smartphone.

Buat orang-orang seperti ini, mungkin perangkat bernama Arsenal berikut bisa menjadi alternatif yang menarik. Secara prinsip ia merupakan artificial intelligence (AI) yang dirancang secara spesifik untuk membantu Anda menciptakan foto yang lebih baik, tanpa harus merepotkan Anda dengan mode manual atau malah mengandalkan mode otomatis.

Arsenal AI

Arsenal mempunyai wujud seperti modem Wi-Fi portable yang dapat diselipkan ke hot shoe, lalu menyambung ke port USB milik kamera via kabel. Ia dapat dikendalikan secara wireless melalui aplikasi pendamping untuk perangkatiOS maupun Android.

Anda bisa menganggap Arsenal sebagai mode pemotretan otomatis milik kamera pada umumnya yang telah disuntik steroid. AI di dalamnya telah dilatih menggunakan ribuan gambar untuk bisa memahami beragam kondisi pencahayaan dan lingkungan di sekitarnya, sebelum akhirnya menetapkan parameter yang tepat pada kamera.

Yang perlu Anda lakukan hanyalah mengatur framing-nya saja, kemudian Arsenal yang akan mengatur setting seperti ISO, shutter speed, aperture, dan masih banyak lagi dengan memperhatikan total hingga 18 faktor.

Arsenal AI

Lebih lanjut, Arsenal juga menawarkan fitur pemotretan HDR, long exposure maupun focus stacking, semuanya dengan menggabungkan beberapa foto dalam setting exposure yang berbeda menjadi satu foto yang menawan tanpa perlu melewati tahap editing.

Fitur lain yang tak kalah menarik adalah time lapse, dimana Arsenal akan mengatur exposure secara otomatis seiring berjalannya waktu dan bergantinya kondisi pencahayaan. Semua foto yang diambil akan otomatis disimpan ke smartphone dalam resolusi penuh, dan siap untuk dibagikan ke media sosial pilihan Anda.

Arsenal kompatibel dengan berbagai model DSLR maupun mirrorless keluaran Canon, Nikon, Sony dan Fujifilm. Ia saat ini sedang dipasarkan melalui Kickstarter seharga $150, sedangkan harga retail-nya diperkirakan berkisar $210.

Olympus Tough TG-5 Siap Abadikan Momen di Segala Medan

Lini kamera Olympus Tough merupakan salah satu alternatif terbaik jika Anda mengincar kamera saku untuk travelling yang siap menghadapi segala medan. Model terbarunya, Olympus Tough TG–5, baru saja diperkenalkan, dan bersamanya datang sederet pembaruan yang signifikan dibanding pendahulunya.

Tepat di jantungnya bernaung sensor 12 megapixel dengan ISO maksimum 12800 dan kemampuan memotret dalam format RAW. Buat yang mengikuti perkembangan lini Olympus Tough, Anda mungkin sadar kalau resolusi sensor pendahulunya malah lebih besar di angka 16 megapixel, akan tetapi Olympus menjamin kualitas gambar TG–5 tetap lebih baik.

Panel atasnya kini dilengkapi sebuah control dial, sedangkan mekanisme zoom-nya kini diganti menjadi lebih konvensional / Olympus
Panel atasnya kini dilengkapi sebuah control dial, sedangkan mekanisme zoom-nya kini diganti menjadi lebih konvensional / Olympus

Kok bisa? Sederhana saja: ukuran penampang sensor yang digunakan masih sama, yakni 1/2,3 inci, tapi berhubung jumlah pixel-nya lebih sedikit, maka ukuran masing-masing pixel-nya jadi lebih besar. Hasilnya, kualitas gambar TG–5 dalam kondisi low-light bisa lebih bagus karena cahaya yang masuk lebih banyak. Ini sangat penting diingat supaya kita tidak selalu mengukur kualitas kamera berdasarkan resolusinya.

Peningkatan kualitas gambar ini juga didukung oleh prosesor quad-core TruePic VIII, persis seperti yang terdapat pada kamera mirrorless unggulan Olympus, OM-D E-M1 Mark II. Soal video, TG–5 siap merekam dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps jika Anda hendak mengabadikan aksi slow-motion.

Lensa yang digunakan masih sama seperti TG–4, yaitu 25–100mm f/2.0–4.9. Lensa ini sendiri sebenarnya cukup istimewa karena dapat mengunci fokus meski objek hanya berada 1 cm di depannya.

Tough TG-5 mengemas fitur Field Sensor System yang dipinjam dari action cam TG-Tracker / Olympus
Tough TG-5 mengemas fitur Field Sensor System yang dipinjam dari action cam TG-Tracker / Olympus

Desainnya tidak berubah banyak, akan tetapi Olympus rupanya sudah membuat TG–5 jadi lebih ‘berotot’. Ketahanan airnya kini naik jadi 15 meter – bisa ditingkatkan lagi menjadi 45 meter dengan bantuan underwater housing – dan perangkat masih tetap tahan banting dari ketinggian 2,1 meter, plus tetap bisa beroperasi meski mendapat tekanan sebesar 100 kg. Suhu dingin sampai –10º Celsius juga bukan masalah besar buat TG–5.

Fitur unik lain dari TG–5 adalah Field Sensor System, yang sejatinya dipinjam dari action cam TG-Tracker. Fitur ini memungkinkan kamera untuk merekam informasi seperti lokasi, suhu, ketinggian maupun arah, yang kemudian bisa ditambatkan pada foto atau video sebelum dibagikan ke media sosial.

Olympus Tough TG–5 bakal tersedia di pasaran mulai bulan Juni mendatang seharga $449. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam atau merah.

Sumber: DPReview.

Phase One IQ3 Achromatic Ialah Kamera Medium Format Seharga $50.000 yang Hanya Bisa Memotret Hitam-Putih

Leica M Monochrom merupakan salah satu produk paling kontroversial dalam sejarah perkembangan teknologi kamera digital. Bagaimana tidak, kamera seharga $7.450 itu cuma bisa mengambil gambar hitam-putih saja. Ya, Anda tak mungkin mengambil foto untuk dijadikan iklan produk Crayola dengan kamera ini.

Akan tetapi foto hitam-putih tentunya memiliki kesan artistik tersendiri, dan sekarang M Monochrom bukan satu-satunya pilihan jika Anda ingin benar-benar mendedikasikan waktu dan talenta Anda ke fotografi hitam-putih. Kalau Anda punya modal berlebih, Phase One baru saja meluncurkan kamera medium format yang hanya bisa memotret foto hitam-putih.

Dinamai IQ3 Achromatic, secara teknis ia merupakan modul belakang yang mencakup sensor dan layar, dan yang kompatibel dengan sistem IQ3 XF maupun bodi kamera medium format lain. Layaknya M Monochrom, sensor 100 megapixel milik IQ3 Achromatic tidak dilengkapi filter warna Bayer. Menurut Phase One, absennya filter warna ini memungkinkan sensor untuk berfokus hanya pada detail, nuansa dan pencahayaan.

Modul Phase One IQ3 Achromatic tanpa dipasang ke bodi kamera medium format / Phase One
Modul Phase One IQ3 Achromatic tanpa dipasang ke bodi kamera medium format / Phase One

Sederhananya, gambar yang dihasilkan IQ3 Achromatic bakal terlihat lebih mendetail ketimbang kamera lain yang sama-sama mengemas sensor 100 megapixel dengan lapisan filter warna Bayer. Karena tidak perlu menangkap informasi warna, sensor Achromatic ini juga dapat menerima lebih banyak cahaya – ISO 200 setara dengan ISO 50 pada sensor ber-filter warna standar.

ISO maksimumnya sendiri berada di angka 51200, menjadikannya sebagai yang paling sensitif terhadap cahaya dalam segmen medium format menurut Phase One. Akan tetapi yang tidak kalah istimewa, IQ3 Achromatic bisa digunakan untuk fotografi inframerah tanpa perlu dikalibrasi ulang, dan gambar dalam spektrum cahaya inframerah ini bisa kita lihat langsung lewat layar belakangnya.

Kembali ke soal modal berlebih tadi, Phase One IQ3 Achromatic saat ini telah dipasarkan seharga $50.000 – bukan typo. Berikut sejumlah sampel foto untuk memberikan gambaran terkait kualitas yang dijanjikannya.

Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Gambar atas di-zoom bagian tengahnya, bisa Anda lihat tingkat detailnya yang mengesankan / Phase One
Gambar atas di-zoom bagian tengahnya, bisa Anda lihat tingkat detailnya yang mengesankan / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic dalam spektrum cahaya inframerah / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic dalam spektrum cahaya inframerah / Phase One

Sumber: 1, 2, 3.