Analogue Pocket Adalah Reinkarnasi Game Boy Sekaligus Medium untuk Berkreasi

Tidak peduli seberapa cepat industri gaming berkembang, console lawas masih punya tempat di hati umat manusia. Fakta ini semakin diperkuat berkat adanya perusahaan seperti Analogue, yang selama lima tahun terakhir ini menunjukkan bahwa console lawas masih pantas dinikmati apabila dikemas dan disajikan secara proper.

NES, SNES, dan Sega Genesis sudah mereka garap reinkarnasi modernnya. Sekarang giliran handheld console legendaris yang menjadi incaran mereka, apalagi kalau bukan Nintendo Game Boy. Di tangan Analogue, handheld console berusia 30 tahun tersebut disulap menjadi perangkat berwajah sleek dan berspesifikasi modern. Namanya Analogue Pocket.

Analogue Pocket

Semodern apa memangnya? Baterainya rechargeable via USB-C, speaker-nya stereo, dan ia turut dilengkapi slot microSD. Masih kurang modern? Coba kita tengok layarnya. Tidak tanggung-tanggung, Analogue menyematkan panel LCD 3,5 inci dengan resolusi 1600 x 1440 pixel. Ya, sekitar 10x lipat lebih tajam ketimbang Game Boy orisinal, dengan tingkat kepadatan pixel yang mencapai angka 615 ppi.

Grafik gamegame lawas boleh pixelated, tapi itu bukan berarti mereka harus disuguhkan melalui display yang inferior, kira-kira seperti itu prinsip yang dipegang teguh oleh Analogue. Di bawah layarnya, kita bisa melihat tombol D-Pad dan empat tombol action yang tak berlabel.

Analogue Pocket

Mengapa tidak ada labelnya? Karena semua tombol yang terpasang di Analogue Pocket bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Lalu mengapa jumlahnya empat dan bukan dua? Karena Pocket bukan cuma bisa menerima kaset (cartridge) Game Boy orisinal saja, melainkan juga semua kaset Game Boy Color dan Game Boy Advance.

Lebih lanjut, Analogue bahkan berencana menawarkan aksesori opsional untuk Pocket berupa cartridge adapter, memperluas kompatibilitasnya lebih lagi hingga mencakup cartridge milik Sega Game Gear, Neo Geo Pocket Color, atau Atari Lynx.

Analogue Pocket

Aksesorinya bukan cuma itu saja. Seandainya pengguna ingin menikmati sesi gaming di layar besar, ada aksesori bernama Analogue Dock yang siap ditugaskan. Cara kerjanya mirip seperti dock milik Nintendo Switch; cukup sambungkan Pocket ke Dock, maka output layarnya akan langsung dikirim ke TV via HDMI, dan pengguna tinggal bermain menggunakan controller yang tersambung ke Dock secara wireless maupun via kabel USB.

Menariknya, Analogue juga merancang Pocket sebagai medium untuk berkreasi. Hal itu diwujudkan lewat sepasang chip FPGA (field-programmable gate array) yang tertanam pada Pocket. Chip yang pertama berfungsi untuk menjalankan game tanpa bantuan emulasi sama sekali, sedangkan chip yang kedua disiapkan untuk para developer yang berminat mengembangkan atau membuatkan porting suatu game.

Analogue Pocket

Kemudian yang tidak kalah menarik, Pocket juga dirancang untuk bisa berfungsi sebagai synthesizer, spesifiknya yang siap dipakai untuk berkreasi di genre chiptune. Bagi yang penasaran, Anda bisa menonton seri YouTube Originals dari MKBHD; di situ ada bagian yang memberikan gambaran bagaimana Game Boy bisa dipakai sebagai instrumen untuk bermusik.

Yang berbeda, kalau setup bermusik menggunakan Game Boy itu terkesan cukup kompleks, Pocket hanya perlu mengandalkan satu aplikasi bawaan bernama Nanoloop yang dibekali fitur sequencing. Interface-nya pun jelas lebih intuitif ketimbang milik Game Boy yang pada dasarnya tidak diciptakan untuk music production.

Sayang sekali kita yang berminat masih harus bersabar menunggu. Analogue Pocket baru akan dipasarkan mulai tahun depan dengan banderol $200. Kabar buruknya lagi, Analogue hanya akan memproduksinya dalam jumlah terbatas.

Sumber: Wired.

Sony Resmi Umumkan PlayStation 5, Akan Meluncur di Musim Libur 2020

Ketersediaan layanan cloud dan makin siapnya infrastruktur pendukung perlahan tapi pasti mengubah cara video game disajikan. Dan kini banyak orang penasaran bagaimana kondisi tersebut memengaruhi perancangan dan penyajian home console selanjutnya. Antisipasi khalayak kian menjadi ketika pihak Microsoft dan Sony mengonfirmasi pengembangan hardware gaming next-gen.

Eksistensi console game kelima Sony disingkap resmi di bulan April 2019 kemarin. Dan baru saja lewat blognya, Sony Interactive Entertainment mengumumkan nama formal produk dan kapan rencananya ia akan meluncur. Meneruskan tradisi perusahaan (dan sudah bisa kita tebak), perangkat gaming tersebut diberi nama ‘PlayStation 5’ dan dijadwalkan untuk mulai dipasarkan di musim liburan tahun depan (prediksi analis Hideki Yasuda dari Ace Research Institute terbukti akurat).

Sony belum menyingkap seperti apa penampakan dari PlayStation 5 dan berapa harganya, namun CEO Jim Ryan mengungkap cukup banyak informasi baru mengenai unit controller pendampingnya (dugaan saya akan disebut DualShock 5). Gamepad itu dirancang agar mampu memberikan level immersion lebih baik ketika Anda sedang bermain dengan upgrade yang difokuskan pada aspek sentuhan.

Ada dua inovasi besar pada periferal kendali tersebut. Pertama, Sony kini memanfaatkan teknologi haptic feedback untuk menggantikan sistem rumble – umumnya menggunakaan putaran komponen mirip cincin di dalam buat menghasilkan getaran. Dengan metode haptic, sensasi feedback dapat dihidangkan secara lebih variatif. Contoh kecilnya: pengalaman bermain game balap via kendaraan virtual akan berbeda dari ketika menikmati permainan sepak bola.

Terobosan kedua adalah kehadiran pelatuk (trigger) adaptif – diterapkan pada tombol R2 dan L2. Sistem ini memperkenankan developer untuk memprogram tombol agar mampu memberikan sensasi tactile dalam permainan, misalnya ketika Anda sedang menarik busur panah atau mempercepat laju kendaraan di sirkuit off-road.

Kabarnya, Sony telah membagikan controller baru itu (beserta PS5 versi developer kit) pada sejumlah studio game dan mempersilakan mereka buat berkreasi. Controller memiliki port berjenis USB type-C serta menyimpan baterai berkapasitas lebih besar dari DualShock 4.

Berdasarkan info yang sudah dikonfirmasi sebelumnya, PlayStation 5 dipersenjatai CPU berbasis chip AMD Ryzen dan GPU Navi, ditopang teknologi ray-tracing (berbekal hardware, bukan sekadar software) serta ditunjang penyimpanan berjenis SSD demi mempersingkat waktu load permainan. Selain itu, Sony menyiapkan UI baru yang lebih informatif serta membubuhkan fitur backward compatibility ke game-game PS4.

Demi memeriahkan pelepasan PlayStation 5, Sony mempercayapakan Bluepoint Games buat me-remake Shadow of the Colossus serta Uncharted: The Nathan Drake Collection (plus satu permainan baru khusus untuk PS5). Sementara itu, judul-judul besar eksklusif seperti Death Stranding, The Last of Us Part II serta Ghost of Tsushima baru akan hadir di PlayStation 4.

Tambahan: Wired.

Analogue DAC Siap Maksimalkan Sesi Nostalgia Anda Bersama Console Lawas

Analogue Super Nt dan Analogue Mega Sg, dua perangkat tersebut merupakan reinkarnasi console lawas yang terlahir untuk generasi modern. Keduanya sama-sama masih mengandalkan sistem cartridge seperti perangkat orisinalnya, akan tetapi output grafik pixelated-nya bisa kita nikmati di TV full-HD atau 4K sekalipun.

Namun bagaimana seandainya ada konsumen yang justru ingin menikmati semua itu sesuai aslinya, alias memainkannya di hadapan TV tabung yang beresolusi rendah? Itulah yang menjadi alasan di balik lahirnya Analogue DAC, sebuah digital-to-analog converter yang dirancang untuk menjadi perantara console bikinan Analogue dan TV lawas.

Analogue DAC

Sesuai namanya, Analogue DAC berfungsi untuk mengubah sinyal digital yang berasal dari sambungan HDMI milik Super Nt atau Mega SG tadi menjadi sinyal analog, sehingga yang diterima oleh TV pada akhirnya adalah sinyal analog. Perangkat ini memanfaatkan HD15 (VGA) dan RCA stereo sebagai sambungan output video dan audionya.

Output video yang didukung sendiri bukan sekadar RGB, tapi juga component, S-video, dan composite, demi menjamin kompatibilitasnya dengan berbagai display kuno yang masih mengandalkan teknologi CRT (cathode-ray tube).

Kalau Anda sudah punya Super Nt atau Mega Sg, dan kebetulan masih memiliki simpanan TV tabung yang fungsional, Analogue DAC siap menyuguhkan sesi nostalgia yang lebih maksimal lagi. Perangkat ini sekarang sudah dipasarkan seharga $80.

Sumber: VentureBeat.

Game Unik PC Building Simulator Kini Tersedia di PS4, Xbox One dan Nintendo Switch

Berawal dari keisengan seorang developer asal Rumania, PC Building Simulator telah berevolusi menjadi game yang resmi dijual di Steam. Sekarang, game yang mengajak kita menjadi ahli dalam merakit PC itu juga sudah tersedia di tiga console terpopuler: PlayStation 4, Xbox One, dan Nintendo Switch.

Sepintas game simulator bakal terdengar membosankan, akan tetapi PC Building Simulator rupanya turut dilengkapi dengan Career Mode yang cukup menarik. Dikisahkan bahwa Anda tengah dititipi toko komputer oleh paman Anda, dan Anda harus meneruskan bisnisnya dengan menerima permintaan klien via email.

Anggap saja ini Stardew Valley, hanya saja yang diwariskan bukanlah kebun, melainkan bisnis komputer rakitan. Permintaan yang datang dari konsumen tentu beragam, mulai dari yang sederhana seperti sebatas membersihkan casing berdebu, memberantas virus, mengganti modul RAM dengan yang baru, sampai yang lebih kompleks seperti mengganti prosesor sekaligus motherboard-nya.

PC Building Simulator

Di samping Career Mode, tentu saja yang menjadi andalan game ini adalah Free Build Mode. Di sini Anda bebas berkreasi merakit PC impian Anda, dengan ribuan pilihan komponen dari brandbrand asli yang merujuk pada versi nyatanya. Kalau Anda berencana menambahkan sistem liquid cooling bersifat custom, game ini setidaknya bisa menjadi kelinci percobaan sebelum mempraktekkannya secara langsung.

Detail yang disajikan game ini tergolong mengesankan. Utak-atik BIOS bahkan juga merupakan langkah yang tak bisa dihindari, persis seperti saat kita merakit PC sesungguhnya. Overclocking juga merupakan bagian penting dalam game ini, dan kalau kita tidak jeli, Blue Screen of Death (BSOD) pun siap menyambut.

Memainkan PC Building Simulator di console mungkin akan terdengar agak aneh awalnya, tapi tidak ada salahnya bagi yang gemar memainkan game simulator yang kompleks, realistis sekaligus amat mendetail.

Sumber: PlayStation Blog.

Nintendo Switch Diam-Diam Diperbarui, Kini Punya Daya Tahan Baterai yang Lebih Lama

Baru beberapa hari yang lalu, Nintendo mengumumkan Switch Lite, alternatif lebih terjangkau dari Switch standar, tapi yang hanya bisa dimainkan secara handheld. Sekarang, Nintendo diam-diam rupanya juga telah memperbarui Switch standar.

Mengapa harus diam-diam? Karena pembaruannya terbilang sangat minor. Berdasarkan revisi atas sertifikasi Switch yang diajukan Nintendo ke FCC, pembaruannya hanya meliputi komponen prosesor dan flash storage anyar saja, tanpa menyentuh aspek lain sama sekali.

Dampak dari penggantian kedua komponen itu adalah peningkatan di sektor efisiensi. Nintendo mengestimasikan Switch versi baru ini punya daya tahan baterai sekitar 4,5 – 9 jam, tergantung game apa yang dimainkan. Kalau memainkan Zelda: Breath of the Wild misalnya, pengguna bisa menikmati waktu bermain hingga 5,5 jam sebelum perangkat perlu di-charge.

Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan versi lamanya, yang hanya memiliki estimasi daya tahan baterai 2,5 – 6,5 jam. Bukan cuma itu, angka tersebut bahkan juga lebih baik ketimbang yang dicatatkan Switch Lite (3 – 7 jam).

Lalu bagaimana dengan performanya? Kemungkinan besar tidak ada perubahan, dan kalaupun ada, selisihnya pasti sangat kecil dan nyaris tidak terasa. Ini penting demi ‘keselamatan’ stok Switch yang masih ada sekarang, yang sejatinya cuma kalah soal waktu pemakaian dalam satu kali charge.

Terlepas dari itu, sebagian besar konsumen yang tertarik namun belum sempat membeli Nintendo Switch tentunya berharap bisa mendapatkan versi yang terbaru ini, yang memiliki nomor model HAC-001(-01). Kalau memang itu yang diincar, konsumen harus memastikan bahwa nomor seri perangkat diawali dengan “XKW” sebelum membelinya.

Di Jepang, Switch versi baru ini baru akan dipasarkan mulai akhir Agustus. Jadi seandainya Anda berniat membeli Switch namun menginginkan versi terbaru yang baterainya lebih tahan lama, sebaiknya jangan lakukan itu dulu sekarang.

Sumber: Eurogamer dan The Verge.

Nintendo Umumkan Switch Lite, Lebih Murah tapi Hanya Bisa Dimainkan Secara Handheld

Semenjak Sony menyetop produksi PlayStation Vita di awal Maret lalu, status penyedia handheld console modern dipegang secara eksklusif oleh Nintendo. Namun Nintendo rupanya masih belum puas. Mereka ingin Switch bisa merambah lebih banyak kalangan. Dari situ lahirlah Nintendo Switch Lite.

Sepintas Switch Lite terlihat mirip seperti Switch standar, akan tetapi ada perbedaan fundamental di antara keduanya: Switch Lite tidak bisa dijejalkan ke Switch Dock dan disambungkan ke TV. Pengguna Switch Lite murni hanya dapat menikmati permainan di layar perangkat itu sendiri.

Nintendo Switch Lite

Atas dasar itu, fisik Switch Lite juga sedikit diubah. Controller-nya menjadi satu dengan bodi perangkat, tidak seperti Switch standar yang bisa dilepas-pasang dengan mudah. Layar sentuhnya juga lebih kecil di angka 5,5 inci – Switch standar 6,2 inci – tapi untung resolusinya tetap sama di angka 1280 x 720 pixel.

Secara dimensi, Switch Lite juga lebih ringkas, dengan panjang 208 mm dan lebar 91,1 mm, tapi tebalnya sama persis di angka 13,9 mm. Juga berbeda jauh adalah bobotnya: Switch Lite berada di kisaran 275 gram, sedangkan Switch standar berkisar 398 gram dengan controller Joy-Con terpasang.

Komponen penting lain yang dipangkas dari Switch Lite mencakup HD Rumble (vibration) dan IR Motion Camera. Kickstand terintegrasi juga tidak tampak di punggung Switch Lite mengingat perangkat ini cuma bisa dimainkan selagi berada di genggaman tangan.

Nintendo Switch Lite

Terlepas dari itu, Nintendo memastikan Switch Lite kompatibel dengan seluruh game atau software milik Switch standar yang mendukung mode handheld. Game yang tidak mendukung mode ini masih bisa dimainkan, tapi dengan catatan pengguna menyambungkan wireless controller yang kompatibel ke Switch Lite (macam Joy-Con), dan ini bakal dijual secara terpisah oleh Nintendo.

Switch Lite juga sedikit lebih unggul perihal efisiensi baterai ketimbang Switch standar, dengan estimasi daya tahan hingga 3 – 7 jam pemakaian, sedangkan Switch standar cuma 2,5 – 6,5 jam. Salah satu alasannya mungkin adalah layar Switch Lite yang lebih kecil, namun selisihnya tidak terlalu jauh karena resolusinya sama persis.

Yang berbeda jauh adalah harganya: Nintendo Switch Lite dibanderol $200 saat dipasarkan mulai 20 September nanti, lebih murah $100 ketimbang harga perdana Switch standar. Buat konsumen yang tidak tertarik memainkan game selagi bersantai di depan TV, Switch Lite jelas merupakan pilihan yang lebih ideal ketimbang Switch standar.

Sumber: Eurogamer.

Playdate Adalah Handheld Console Unik dengan Tuas Putar Sebagai Salah Satu Input Kontrolnya

Posisikan Anda sebagai developer yang sudah menciptakan software demi software selama lebih dari 20 tahun. Di saat titik kebosanan sudah tercapai, apa yang bakal Anda lakukan? Terus mengerjakan hal yang sama, atau keluar dari zona nyaman dan menekuni bidang baru?

Buat Panic, jawabannya adalah yang kedua. Setelah puluhan tahun berkutat dengan software, Panic memutuskan untuk terjun ke bidang hardware, dan produk pertamanya benar-benar di luar kejutan: sebuah handheld console ala Game Boy bernama Playdate.

Ini sebenarnya bukan pertama kalinya Panic mencelupkan kaki ke ranah gaming. Di tahun 2016, mereka sempat mencuri perhatian dengan membantu menerbitkan salah satu game indie terfavorit banyak orang, Firewatch. Namun sebatas menjadi publisher rupanya kurang bisa memuaskan hasrat mereka sendiri untuk berinovasi. Itulah mengapa mereka beralih ke hardware.

Playdate

Melihat wujud Playdate, saya langsung teringat dengan Nintendo Game Boy. Bentuknya hampir mengotak sempurna, dengan panjang sisi 74 x 76 mm, dan ketebalan 9 mm. Separuh wajahnya dihuni oleh layar 2,7 inci beresolusi 400 x 240 pixel. Layarnya unik, hitam-putih tanpa backlight, akan tetapi grafik yang ditampilkan dijamin begitu tajam dan bersih, apalagi mengingat layarnya ini begitu reflektif.

Beralih ke kontrol, Anda bisa melihat tombol D-Pad empat arah dan tombol A B di sana. Namun Playdate masih menyimpan kejutan lain di sisi kanannya, yaitu sebuah tuas atau pedal yang dapat diputar. Bukan, tuas putar ini bukan untuk menyuplai daya perangkat, tapi benar-benar berguna sebagai salah satu input kontrol.

Tuas ini adalah ide cemerlang dari Teenage Engineering, produsen synth asal Swedia yang memang sangat piawai perihal desain produk. Panic cukup beruntung bisa mendapat mitra sekelas Teenage Engineering dalam mendesain Playdate.

Kegunaan tuas ini diilustrasikan lewat salah satu game Playdate yang berjudul Crankin’s Time Travel Adventure. Di game itu, baik tombol D-Pad maupun tombol B A sama sekali tidak berguna; pemain akan mengontrol jalannya waktu (maju atau mundur) secara eksklusif menggunakan tuas putarnya.

Kreator game ini juga bukan sosok yang sembarangan, melainkan Keita Takahashi, sang pencipta game Katamari Damacy. Pada kenyataannya, Panic telah mengajak sejumlah developer game indie ternama untuk menciptakan game eksklusif buat Playdate.

Playdate

Juga menarik adalah bagaimana Playdate bakal menyajikan koleksi game-nya. Bukan melalui online store tersendiri, melainkan lewat update yang datang setiap seminggu sekali secara cuma-cuma. Total ada 12 game yang sudah disiapkan untuk awal peluncuran Playdate, dan 12 game itu akan dikirim satu per satu ke konsumen setiap minggunya.

Ini berarti konsumen tidak akan tahu game baru apa yang menantinya setiap minggunya. Usai game-nya diunduh, konsumen bebas memainkannya kapan saja, yang berarti di minggu ke-12, sudah ada 12 game Playdate yang dapat dimainkan kapan saja. Ini semua tidak akan mungkin terwujud tanpa sistem operasi Playdate OS bikinan Panic sendiri.

Bicara soal update, berarti Playdate harus tersambung internet. Benar, Panic telah membekalinya dengan Wi-Fi, Bluetooth, USB-C maupun headphone jack. Wujudnya boleh retro, akan tetapi secara keseluruhan Playdate tetap merupakan handheld console modern.

Saya pribadi sangat tertarik dengan Playdate, dan salah satu alasan utamanya adalah kontrol menggunakan tuas putar itu tadi. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Panic bakal memasarkan Playdate mulai awal 2020. Harganya cukup terjangkau: $149, sudah termasuk 12 game yang akan dirilis setiap minggunya itu. Sayang sekali Panic masih belum bisa memastikan negara mana saja yang bakal kebagian jatah Playdate.

Sumber: Panic via The Verge.

Sejumlah Informan Bilang, Xbox Next-Gen Lebih Canggih Dibanding PlayStation 5

Pengumuman Project Scarlett oleh Phil Spencer di E3 2018 menandai dimulainya babak baru persaingan console game generasi selanjutnya. Setelah momen itu, muncul beberapa kali update tambahan mengenai sistem anyar milik Microsoft. Sang rival sendiri sudah mengonfirmasi pengembangan PlayStation ‘5’ di bulan Oktober 2018 dan men-tease  spesifikasi hardware-nya minggu lalu.

Berbekal teknologi persembahan AMD, PS5 (belum jadi nama resmi) menjanjikan fitur ray tracing ala PC ber-GPU Nvidia RTX serta kapabilitas menangani konten di resolusi 8K. Meskipun belum diketahui apakah 4K di sana bersifat native atau via upscale, klaim tersebut memang terdengar mengagumkan sekaligus ambisius. Namun yang membuat rivalitas antara Sony dan Microsoft jadi tambah menarik adalah, sejumlah narasumber menyampaikan bahwa Xbox versi baru bahkan lebih canggih dari PlayStation 5.

Informasi tersebut disampaikan oleh head editor Seasoned Gaming Ainsley Bowden via Twitter-nya berdasarkan pengakuan beberapa narasumber. Menurut Bowden, laporan ini bisa dipercaya karena para informan telah beberapa kali berhasil membuktikan keakuratan data mereka. Buat sekarang, belum diketahui jelas apa yang membuat Scarlett/Anaconda lebih canggih dibanding PlayStation 5 – apakah dilihat dari sisi performa atau kelengkapan fitur.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kita tahu kesuksesan console tidak hanya ditentukan oleh hardware. Konten eksklusif bermutu adalah salah satu alasan utama mengapa orang memutuskan buat membeli. Dilihat dari perspektif ini, PlayStation 4 masih lebih unggul dari Xbox One. Tetapi console current-gen Microsoft itu punya satu fitur yang tak dimiliki rivalnya: backward compatibility. Kapabilitas ini rencananya baru akan dihadirkan di PS5.

Di bulan Februari kemarin, tersingkap kabar yang menyatakan bahwa Project Scarlett akan tersaji dalam lebih dari satu varian hardware. Seperti Xbox One S dan X, konsumen nantinya dipersilakan untuk memilih model standar atau tipe ‘superior’. Yang unik di sini ialah, walaupun kita tahu masa senja sistem current-gen telah tiba, Microsoft masih punya agenda buat memperluas keluarga Xbox One dengan penyediaan versi All-Digital bulan depan.

Namun ketika Sony telah mengungkap secara resmi komponen-kompenen penopang PlayStation 4 (di antaranya pemakaian CPU dan GPU semi-custom berbasis Ryzen 3 serta Radeon Navi, plus penyimpanan SSD), Microsoft malah belum mengabarkan detail hardware Xbox anyar. Ada dugaan kuat sang produsen turut mengandalkan teknologi AMD, sehingga dari segi arsitektur, kedua perangkat tak begitu berbeda. Menurut Phil Spencer, ada dua target utama yang coba dihidangkan oleh Xbox baru: peningkatan frame rate dan pemangkasan waktu loading.

Dengan absennya Sony di E3 2019, perhatian khalayak kini tertuju pada Microsoft, yang menjanjikan ‘pertunjukan besar‘ di pameran gaming raksasa tahunan itu. Ada kemungkinan besar mereka akan mengumumkan segala informasi terkait Scarlett di sana. Dan saya pribadi penasaran di mana perusahaan akan menempatkan layanan gaming on demand yang tengah mereka godok, apakah akan berdiri sendiri atau mengusung branding Xbox?

Via Push Square

8BitDo Luncurkan Adaptor Wireless untuk PlayStation Classic

Menurut saya pribadi, reinkarnasi console klasik macam NES, SNES dan PlayStation Classic merupakan peleburan yang tepat antara unsur nostalgia dan kepraktisan sekaligus kenyamanan. Yang kita mainkan pada console tersebut adalah game yang kita gandrungi pada zamannya, tapi di saat yang sama kita tak lagi perlu mencolokkan kaset maupun CD.

Ketiadaan kaset maupun CD baru satu dari nilai kepraktisan yang ditawarkan ketiga console ini. Kalau console aslinya harus disambungkan ke TV via kabel RCA, reinkarnasinya kini mengandalkan HDMI. Yang tadinya harus memakai controller berkabel, sekarang, well ternyata masih berkabel juga.

8BitDo wireless adapter for PlayStation Classic

Inilah yang hendak dijegal oleh 8BitDo, produsen periferal yang terkenal akan komitmennya melayani para pencinta console klasik. Mereka baru saja meluncurkan adaptor wireless untuk PlayStation Classic, sehingga pemiliknya dapat memainkannya menggunakan beragam controller wireless.

Jadi yang kompatibel bukan sebatas controller PS3 dan PS4 DualShock saja, tapi juga controller Bluetooth Xbox, dan bahkan Joy-Con milik Nintendo Switch. Buat saya, mengurangi sedikit kesan retro bukanlah masalah besar apabila kepraktisan dan kenyamanan jadi meningkat drastis.

8BitDo saat ini telah membuka gerbang pre-order untuk adaptor ini. Harganya cukup terjangkau, $20, dan pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 31 Desember mendatang.

Sumber: The Verge.

Analogue Mega Sg Adalah Reinkarnasi Modern Sega Genesis

Penggemar game console klasik semestinya sudah tidak asing dengan perusahaan bernama Analogue. Mereka adalah sosok di balik Analogue Nt Mini dan Analogue Super Nt, reinkarnasi modern console NES dan SNES, yang menjanjikan nostalgia sesi gaming lawas secara autentik.

Kalau kita ingat, pada masa keemasan console 16-bit, SNES punya musuh yang tidak kalah populer, yaitu Sega Genesis. Analogue pun tidak mau melupakan eksistensi console berwarna hitam itu. Alhasil, lahirlah Analogue Mega Sg.

Sama seperti Nt Mini dan Super Nt, Mega Sg menjanjikan pengalaman bermain game retro yang autentik berkat penggunaan chipset tipe FPGA ketimbang mengandalkan emulasi software. Untuk bisa bermain, pengguna harus punya cartridge atau kaset game Sega, dengan mekanisme pemasangan yang sama persis.

Analogue Mega Sg

Perihal kompatibilitas, Mega Sg siap dipasangi kaset game Sega Genesis, Sega Mega Drive maupun Sega Master System. Sega CD pun turut didukung lewat sebuah expansion port tersembunyi, dan Analogue juga berencana merilis sejumlah adaptor tambahan di tahun 2019 demi semakin memperluas kompatibilitasnya.

Semua itu dapat dimainkan dalam resolusi 1080p, 720p, atau 480p tanpa lag sedikit pun dengan menyambung ke TV via HDMI. Audio tidak lupa dijadikan prioritas; Mega Sg sanggup menghasilkan output suara stereo 16-bit/48kHz, plus ada pula jack 3,5 mm untuk mencolokkan headphone.

Analogue Mega Sg

Mega Sg memiliki dimensi yang cukup ringkas: 138 x 168 x 47 mm. Satu kekurangannya adalah, tidak ada satu pun controller pada paket pembeliannya. Konsumen dibebaskan memakai controller lawas mereka, atau controller wireless 8BitDo M30 seperti yang tertera pada gambar, yang dijual secara terpisah.

Rencananya, Analogue Mega Sg bakal dipasarkan secara global mulai April 2019. Harganya dipatok $189, sama persis seperti Analogue Super Nt.

Sumber: GameSpot.