Logitech Luncurkan G303 Shroud Edition, Digarap Langsung Bersama Sang Streamer

Logitech punya mouse gaming wireless baru, yakni G303 Shroud Edition. Sesuai namanya, mouse ini merupakan hasil kolaborasi langsung Logitech bersama salah satu streamer terpopuler sejagat, Michael “shroud” Grzesiek.

Ini bukan pertama kalinya Logitech bekerja sama dengan sang streamer yang juga mantan pro player CS:GO tersebut. Namun kolaborasinya kali ini lebih spesial karena G303 (yang pertama dirilis di tahun 2015 dan sudah di-discontinue sejak lama) merupakan salah satu mouse favorit shroud yang digunakannya selama bertahun-tahun.

Secara umum, bentuk G303 Shroud Edition tidak jauh berbeda dari G303 orisinal, akan tetapi ada beberapa bagian yang telah diubah. Yang paling kentara tentu saja adalah hilangnya kabel di bagian depan, akan tetapi kita juga bisa melihat perbedaan letak dan wujud kedua tombol sampingnya. Di dalam, posisi switch-nya pun juga ikut dipindah.

Berbeda dari versi aslinya, kita sama sekali tidak akan menemukan pencahayaan RGB di sini. Satu-satunya sumber cahaya yang kelihatan hanyalah lampu kecil di atas scroll wheel sebagai indikator baterai. Di atas kertas, ukuran G303 Shroud Edition sedikit lebih besar ketimbang versi aslinya, akan tetapi bobotnya jauh lebih ringan di angka 75 gram.

Masih seputar fisiknya, kita juga bisa melihat panel samping yang berwarna agak transparan, tidak ketinggalan pula garis-garis penanda yang menunjukkan di mana biasanya shroud meletakkan jari-jarinya. Di bagian belakang mouse, ada laci kecil untuk menyimpan dongle USB.

Dari sisi teknis, G303 Shroud Edition menggunakan sensor HERO dengan sensitivitas 100-25.000 DPI dan kecepatan tracking maksimum 400 IPS. Supaya pergerakannya kian mulus, Logitech tak lupa menyematkan mouse feet berukuran jumbo yang terbuat dari bahan PTFE murni. Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim mampu bertahan hingga 145 jam pemakaian. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Di Amerika Serikat, Logitech G303 Shroud Edition saat ini telah dipasarkan seharga $130. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya secara resmi di pasar tanah air.

Sumber: Ars Technica dan Business Wire.

10 Headset Gaming Wireless Pilihan yang Bisa Dibeli di Indonesia

Dibanding keyboard atau mouse, headset nirkabel mungkin bisa memberikan nilai praktis yang lebih besar. Contoh sederhana saja, seandainya kita hendak buang air di tengah-tengah sesi gaming, headset-nya bisa tetap kita pakai selagi menuju ke toilet. Keyboard dan mouse di sisi lain pasti akan tetap kita tinggal di atas meja, mau wired ataupun wireless.

Dari situ tidak berlebihan seandainya headset wireless menjadi prioritas buat kebanyakan gamer. Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, apa saja faktor yang harus diperhatikan dalam memilih sebuah headset gaming wireless?

Supaya tidak kehilangan nilai praktisnya, sebuah headset gaming wireless haruslah mempunyai daya tahan baterai yang cukup awet dan koneksi yang stabil. Karena kalau dua aspek itu jelek, maka perangkat malah bisa jadi lebih merepotkan ketimbang versi berkabelnya.

Namanya produk audio, kualitas suaranya tentu juga harus baik. Tanpa perlu basa-basi terlalu panjang, berikut adalah 10 headset gaming wireless pilihan yang bisa Anda beli di Indonesia.

1. Razer BlackShark V2 Pro

Berbekal driver TriForce Titanium 50 mm yang sangat cekatan mengolah sinyal audio di tiga tingkatan frekuensi secara terpisah (bass, mid, treble), BlackShark V2 Pro menawarkan kualitas suara terbaik dari seluruh jajaran perangkat audio milik Razer. Belum lagi dukungan teknologi THX Spatial Audio untuk membantu menyempurnakan positioning di berbagai judul game kompetitif.

Dalam sekali charge, headset seharga Rp2.999.000 ini bisa beroperasi sampai 24 jam nonstop. Desainnya tampak premium sekaligus fungsional, dengan sebuah kenop putar di sisi kiri untuk mengatur volume. Selain hitam, ia juga tersedia dalam warna putih.

Link pembelian: Razer BlackShark V2 Pro

2. Razer Barracuda X

Kalau BlackShark V2 Pro terasa kemahalan, Barracuda X yang dibanderol seharga Rp1.699.000 ini bisa jadi alternatif. Keunikannya terletak pada dongle USB-C yang disertakan dalam paket pembeliannya, yang tak hanya kompatibel dengan PC atau PlayStation, melainkan juga Nintendo Switch dan sejumlah perangkat Android.

Di angka 250 gram, bobotnya termasuk ringan untuk ukuran headset gaming nirkabel, dan Razer pun tak lupa membekalinya dengan bantalan telinga berlapis kain breathable agar perangkat bisa lebih nyaman lagi digunakan dalam durasi yang lama. Baterainya sendiri diklaim tahan sampai 20 jam per charge.

Link pembelian: Razer Barracuda X

3. Logitech G Pro X Wireless

Sebagai penawaran paling high-end dari Logitech, headset ini menjanjikan kualitas suara yang sangat baik lewat sepasang driver Pro-G 50 mm miliknya. Dengan banderol Rp2.799.000, tidak mengherankan apabila headset ini menggunakan perpaduan bahan baja dan aluminium pada kerangkanya.

Selain suara yang pengguna dengar, G Pro X Wireless juga menempatkan prioritas ekstra pada suara yang ditangkapnya. Berbekal integrasi teknologi Blue Vo!ce, kinerja mikrofonnya bisa diutak-atik dengan opsi pengaturan yang sangat merinci, sangat cocok buat yang ingin suaranya terdengar profesional. Terkait baterainya, ia hanya perlu di-charge setiap 20 jam sekali.

Link pembelian: Logitech G Pro X Wireless

4. Logitech G733 Lightspeed

Tidak bisa dimungkiri, penampilan yang stylish merupakan salah satu nilai jual utama dari headset ini. Kenyamanan juga jadi faktor lain yang diutamakan, dengan karet suspensi yang menggantikan bantalan agar pengguna tidak merasa bagian kepalanya terlalu terbebani.

Label “Lightspeed” pada namanya merujuk pada teknologi nirkabel yang digunakan, yang tak cuma menawarkan latensi yang rendah, tetapi juga jangkauan koneksi yang jauh (maksimal 20 meter) dan konsumsi daya yang efisien. Dalam sekali pengisian, baterainya cukup untuk 29 jam pemakaian, atau sampai 20 jam kalau lampu RGB-nya dibiarkan menyala terus.

Link pembelian: Logitech G733 Lightspeed

5. Logitech G435 Lightspeed

Headset gaming nirkabel tidak harus mahal, dan perangkat ini adalah bukti nyatanya. Dijual seharga Rp929.000 saja, headset ini menawarkan koneksi wireless 2,4 GHz (Lightspeed) dan Bluetooth sekaligus. Murah tapi fiturnya tetap lengkap, kira-kira begitu premis utama yang disuguhkan oleh headset ini.

Bobotnya sangat ringan di angka 165 gram, sementara baterainya cukup untuk pemakaian selama 18 jam per charge. Satu hal yang terkesan tidak umum dari headset ini adalah, ketimbang mengandalkan boom mic, ia mengemas mikrofon yang tertanam langsung di bagian earcup.

Perangkat ini kabarnya akan dijual mulai bulan November 2021 ini juga, tapi masih belum tersedia saat artikel ini ditayangkan. Jadi, pantau terus saja official store Logitech agar tidak kehabisan.

6. HyperX Cloud II Wireless

Desainnya mungkin kelihatan agak kuno jika dibandingkan dengan headset lain di artikel ini, akan tetapi itu berarti Cloud II Wireless sudah sangat teruji perihal kenyamanan dan ketahanan, terutama jika melihat popularitas versi berkabelnya selama ini.

Dipadukan dengan kinerja audio yang mumpuni dan daya tahan baterai hingga 30 jam pemakaian, wajar apabila headset ini kerap menjadi rekomendasi para reviewer. Harganya? Rp2.490.000.

Link pembelian: HyperX Cloud II Wireless

7. Corsair HS80 RGB Wireless

Tren spatial audio terus bertambah populer selama tahun 2021 ini, dan produsen periferal gaming pun dengan cepat beradaptasi. Lihat saja penawaran terbaru Corsair ini, yang datang membawa dukungan teknologi Dolby Atmos dan Tempest 3D AudioTech milik PlayStation 5 sekaligus.

Kinerja audionya sendiri disokong oleh sepasang driver berdiameter 50 mm, sementara baterainya cukup untuk penggunaan selama 20 jam dalam sekali pengisian. Tertarik? Sediakan modal sebesar Rp2.099.000.

Link pembelian: Corsair HS80 RGB Wireless

8. SteelSeries Arctis 1 Wireless

Seperti halnya Barracuda X dari Razer, Arctis 1 Wireless juga datang bersama dongle USB-C sehingga ia dapat terhubung ke berbagai jenis perangkat tanpa harus terkendala latensi tinggi yang bisa didapat jika mengandalkan Bluetooth. Harganya pun juga nyaris sama persis: Rp1.695.000.

Meski cukup terjangkau, Arctis 1 Wireless tetap menjanjikan kualitas suara yang setara dengan kakak-kakaknya yang lebih mahal berkat penggunaan driver 40 mm yang sama. Buat para pemilik PS5, SteelSeries memastikan bahwa headset ini sepenuhnya kompatibel dengan teknologi 3D audio milik konsol tersebut.

Link pembelian: SteelSeries Arctis 1 Wireless

9. Cooler Master MH670

Dijual seharga Rp1.490.000, Cooler Master MH670 menawarkan berbagai keunggulan seperti driver 50 mm, desain yang sleek, dan daya tahan baterai sampai 25 jam.

Perangkat mengandalkan dongle USB-A standar, akan tetapi Cooler Master cukup murah hati dan menyertakan adaptor USB-C, sehingga ia juga bisa digunakan bersama sejumlah perangkat Android ataupun Nintendo Switch.

Link pembelian: Cooler Master MH670

10. JBL Quantum 800

Paling unik di antara yang lain, JBL Quantum 800 hadir membawa fitur active noise cancellation (ANC) untuk mengeliminasi suara di sekitar yang menganggu secara lebih efektif lagi. Sayang itu berarti daya tahan baterainya juga harus sedikit dikorbankan hingga menjadi 14 jam per charge.

Selain di PC, JBL Quantum 800 juga dapat digunakan di smartphone berkat dua tipe koneksi nirkabel yang diusungnya: 2,4 GHz via dongle atau Bluetooth 5.0. Ukuran headset ini cukup bongsor, jadi tidak mengherankan jika JBL menyematkan driver berdiameter 50 mm ke dalamnya. Perangkat saat ini bisa dibeli seharga Rp3.039.200.

Link pembelian: JBL Quantum 800

SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ Unggulkan Baterai yang Lebih Awet dan USB-C

SteelSeries meluncurkan versi baru dari salah satu headset gaming wireless paling populernya, Arctis 7. Versi anyar ini hadir dalam dua model yang berbeda, yakni Arctis 7+ dan Arctis 7P+.

Perbedaan di antara keduanya tidak banyak. Yang paling utama, 7P+ datang membawa dukungan penuh atas teknologi Tempest 3D Audio milik PlayStation 5. Ia juga tersedia dalam pilihan warna hitam atau putih, sementara 7+ cuma warna hitam saja.

Selebihnya, keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan pembaruan yang sama pula. Baik Arctis 7+ maupun Arctis 7P+ sama-sama datang bersama dongle USB-C sebagai pemancar sinyal wireless-nya. Alhasil, keduanya pun kompatibel dengan lebih banyak perangkat; mulai dari PC, PlayStation, Mac, Nintendo Switch, perangkat Android, iPad yang dibekali port USB-C, sampai VR headset Oculus Quest 2.

SteelSeries bilang dongle USB-C ini adalah yang pertama di pasar headset gaming, tapi kita tahu Razer sebelumnya sudah menerapkan hal serupa pada Barracuda X. Meski begitu, daftar perangkat yang kompatibel memang lebih panjang milik duo Arctis 7+ ini.

Selain pada dongle-nya, USB-C juga bisa kita temui pada headset-nya itu sendiri, menggantikan port Micro USB yang sudah termakan zaman. Tak hanya lebih praktis, USB-C turut mendatangkan fitur fast charging ke kedua headset ini; charging selama 15 menit saja sudah cukup untuk menenagai keduanya selama 3 jam pemakaian.

Kalau dalam posisi terisi penuh, baterai milik Arctis 7+ dan 7P+ diyakini mampu bertahan sampai 30 jam nonstop, lebih lama sekitar enam jam dari yang ditawarkan oleh masing-masing pendahulunya.

Di luar baterai dan colokan, kedua headset ini tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Desainnya pun tampak identik, dengan karet suspensi pada headband dan mikrofon yang dapat didorong masuk ke dalam ketika sedang tidak diperlukan. SteelSeries sama sekali tidak menyinggung soal kinerja audionya, jadi bisa diasumsikan kualitas suara yang dihasilkan oleh driver 40 mm miliknya sama seperti di generasi sebelumnya.

Di Amerika Serikat, SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ saat ini telah dipasarkan seharga $170, atau kurang lebih sekitar 2,4 jutaan rupiah.

Sumber: The Verge.

Bukan RGB, Headset Asus ROG Delta S Animate Andalkan Mini LED yang Dapat Diprogram

Teknologi AniMe Matrix yang Asus terapkan pertama kali pada laptop ROG Zephyrus G14 bisa dibilang membawa angin segar terhadap tren pencahayaan serba RGB di ranah gaming. Ketimbang warna-warni yang begitu mencolok, AniMe Matrix mengandalkan sederet mini LED warna putih yang dapat diprogram untuk menampilkan animasi bergerak.

Konsep tersebut sepertinya mendapat respon positif dari konsumen, dan ini bisa dilihat dari keputusan Asus untuk menghadirkan teknologi AniMe Matrix di kategori produk selain laptop. Yang terbaru, sistem pencahayaan yang unik ini juga bisa kita dapatkan di headset Asus ROG Delta S Animate.

Asus bilang bahwa masing-masing earcup milik headset ini mengemas lebih dari 100 mini LED. Semuanya tentu bisa diprogram untuk membentuk gambar statis atau animasi bergerak via software Armoury Crate.

Pengguna bahkan bisa menciptakan animasinya sendiri jika mau, dan mereka dibebaskan untuk mengutak-atik parameter seperti tingkat kecerahan, kontras, maupun jeda waktu. Kalau perlu, semua pencahayaannya juga bisa dimatikan dengan menggeser tuas kecil di belakang kenop volumenya.

Alternatifnya, tuas yang sama itu juga bisa dipakai untuk mengaktifkan fitur bernama Soundwave. Saat fitur tersebut aktif, deretan mini LED-nya akan bereaksi terhadap suara pengguna yang ditangkap via mikrofon; semakin keras suaranya, semakin intens pula efek pencahayaannya. Fitur ini semestinya cukup ideal digunakan oleh kalangan streamer.

Di luar sistem pencahayaannya, headset ini identik dengan ROG Delta S, mulai dari desainnya secara keseluruhan, earcup berbentuk huruf D-nya, sampai spesifikasi lengkapnya. Seperti saudaranya itu, headset ini turut dibekali driver berdiameter 50 mm dan ESS 9281 Quad DAC yang siap menangani format audio dengan resolusi tertinggi sekalipun.

Untuk konektornya, ROG Delta S Animate juga menggunakan USB-C (plus adaptor USB-A bagi yang membutuhkan). Selain di PC, headset ini juga dapat digunakan di PlayStation 4, PlayStation 5, maupun Nintendo Switch.

Di Amerika Serikat, ROG Delta S Animate kabarnya akan dijual mulai pertengahan bulan Desember 2021 seharga $250.

Sumber: Ars Technica.

Razer DeathAdder V2 X HyperSpeed Ramaikan Pasar Mouse Gaming Wireless di Bawah 1 Juta Rupiah

Razer kembali meluncurkan mouse gaming baru. Kali ini dari keluarga mouse terlarisnya, DeathAdder. Dinamai DeathAdder V2 X HyperSpeed, produk ini bisa jadi alternatif menarik bagi yang tengah mengincar mouse gaming wireless dengan bujet tidak lebih dari 1 juta rupiah.

Sebagai bagian dari lini DeathAdder, mouse ini mengunggulkan desain yang sudah terbukti sangat ergonomis selama lebih dari satu dekade. Fisiknya hampir identik seperti DeathAdder V2 maupun DeathAdder V2 Pro, akan tetapi ia tidak dilengkapi karet pelapis sama sekali di sisi kiri dan kanannya.

Namun yang langsung kelihatan berbeda adalah letak dua tombol yang secara default berfungsi untuk mengatur sensitivitas sensornya (DPI). Pada DeathAdder V2 X HyperSpeed, kedua tombol itu ditempatkan di ujung tombol klik kiri, bukan di bawah scroll wheel seperti pada kedua saudaranya.

Juga sangat berbeda adalah permukaan atas DeathAdder V2 X HyperSpeed yang dapat dilepas-pasang dengan mudah. Ini penting mengingat mouse ini mengandalkan baterai AA atau AAA sebagai suplai dayanya, bukan baterai internal yang rechargeable seperti milik DeathAdder V2 Pro.

Slot baterainya sendiri ada dua seperti milik Razer Orochi V2, dan ini lagi-lagi dimaksudkan agar pengguna bisa dengan bebas memilih antara daya tahan baterai yang lebih awet (AA), atau bobot mouse yang lebih ringan secara keseluruhan (AAA).

Menggunakan baterai AA, mouse ini diklaim mampu beroperasi sampai selama 235 jam jika menggunakan koneksi wireless 2,4 GHz (via dongle USB), atau sampai 615 jam kalau memakai koneksi Bluetooth.

Perbedaan yang selanjutnya ada di performanya. Mouse ini menggunakan sensor yang lebih inferior daripada kedua saudaranya, dengan sensitivitas maksimum 14.000 DPI dan kecepatan tracking maksimum 300 IPS. Bandingkan dengan sensor milik DeathAdder V2 dan DeathAdder V2 Pro yang menawarkan sensitivitas 20.000 DPI dan kecepatan tracking 650 IPS.

Fitur unggulan lain yang absen pada DeathAdder V2 X HyperSpeed adalah optical switch. Sebagai gantinya, ia masih mengandalkan mechanical switch standar dengan estimasi ketahanan hingga 60 juta klik.

Di Indonesia, Razer DeathAdder V2 X HyperSpeed saat ini sudah bisa dipesan seharga Rp989.000, alias tidak sampai separuh harga DeathAdder V2 Pro.

Sumber: Ars Technica.

Master & Dynamic MG20 Adalah Headset Nirkabel untuk Gamer Sekaligus Audiophile

Pasar gaming merupakan bisnis yang amat menjanjikan. Begitu menjanjikannya, sampai-sampai produsen perangkat audio premium seperti Master & Dynamic (M&D) pun juga tidak ingin ketinggalan. Gambar di atas adalah MG20, headset gaming pertama dari pabrikan yang lebih terbiasa menggarap headphone kelas audiophile tersebut.

Penampilannya sepintas tidak terkesan gaming sama sekali, dan ini sejalan dengan gaya estetika yang M&D adopsi selama ini; industrial sekaligus elegan. Juga dipertahankan adalah sentuhan mewah di sana-sini; mulai dari kerangka yang terbuat dari bahan aluminium dan magnesium, bantalan kepala yang dilapisi Alcantara, sampai bantalan telinga berbalut kulit domba asli. MG20 bahkan punya kenop volume yang juga terbuat dari aluminium.

Satu-satunya penanda kalau ini merupakan headset gaming adalah boom mic-nya. Bagian ini tentu dapat dilepas-pasang dengan mudah. Yang agak berbeda dari biasanya adalah, selagi boom mic-nya kita lepas, MG20 masih bisa menangkap suara pengguna berkat mikrofon yang tertanam langsung di bagian earcup.

Jadi kalau mau, MG20 bisa kita gunakan sebagai headset nirkabel biasa, apalagi mengingat ia turut mengemas konektivitas Bluetooth di samping wireless 2,4 GHz (via dongle USB). Lebih penting lagi, MG20 sepenuhnya mendukung codec aptX HD dan aptX Low Latency. Jadi tidak peduli Anda menggunakannya untuk mendengarkan musik atau bermain game di ponsel, MG20 siap mengerjakan tugasnya tanpa problem seputar transmisi data.

Terkait kinerja audionya, MG20 mengandalkan sepasang driver 50 mm berbahan Beryllium yang sudah menjadi khas M&D selama ini. Bedanya, berhubung perangkatnya ditujukan untuk gaming, driver tersebut sudah dimodifikasi agar dapat mendukung konfigurasi suara surround 7.1.

Dalam sekali charge, MG20 diyakini mampu beroperasi selama 22 jam nonstop. Kalau terpaksa, perangkat tetap bisa digunakan selagi tersambung via kabel USB maupun kabel 3,5 mm standar.

Master & Dynamic MG20 bukan barang murah. Dengan banderol $450, ia bahkan lebih mahal ketimbang headset gaming bikinan Bose yang dilengkapi noise cancelling. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung pada pertengahan November, dan perangkat bakal tersedia dalam dua pilihan warna: hitam atau putih.

Sumber: Pocket-lint.

RazerCon 2021: Razer Luncurkan Masker Zephyr dan Headset Nirkabel Kraken V3 Pro

Melanjutkan tradisi tahunan baru yang dimulai tahun kemarin, Razer resmi menggelar event RazerCon 2021. Seperti biasa, Razer memanfaatkan kesempatan ini untuk merilis sejumlah produk baru. Dua di antaranya yang akan saya bahas di artikel ini adalah Razer Zephyr dan Razer Kraken V3 Pro.

Kita mulai dari Zephyr dulu, yang sebelumnya kita kenal dengan nama Project Hazel. Kalau Anda familier dengan masker elektronik bikinan LG, Anda semestinya bisa langsung paham fungsi yang ditawarkan oleh Razer Zephyr sebagai sebuah “wearable air purifier”.

Dalam sesi presentasi tertutup yang saya ikuti bersama sejumlah awak media lain, Razer menjelaskan bahwa selama mengembangkan Zephyr, mereka menitikberatkan pada tiga aspek berikut: Safe, Social, dan Sustainable.

Aspek yang pertama diwujudkan melalui tiga buah filter N95 grade — dua di sisi kiri dan kanan, satu kecil di tengah — dengan perlindungan dua arah dan tingkat efisiensi penyaringan sebesar 99%. Razer pun tidak lupa menyematkan dua kipas intake dengan dua mode kecepatan (4.200 atau 6.200 RPM) sebagai opsi untuk memperlancar sirkulasi udara.

Razer turut membekali Zephyr dengan sepasang karet silikon yang menyangga bagian hidung dan dagu supaya perangkat benar-benar bisa menutup rapat hidung dan mulut pengguna. Di bagian belakang, kita juga bisa melihat sepasang strap yang adjustable guna menambah kenyamanan sekaligus mencegah masker mudah terlepas.

Terkait aspek yang kedua, Razer sengaja merancang Zephyr dengan cover plastik transparan dan lapisan anti-kabut agar wajah penggunanya bisa terlihat dengan cukup jelas. Bagian dalamnya bahkan dibekali pencahayaan sehingga ekspresi wajah penggunanya tetap bisa terlihat di berbagai kondisi pencahayaan.

Bicara soal pencahayaan, bukan produk Razer namanya kalau tidak ada sistem pencahayaan RGB, dan Zephyr pun rupanya tidak luput dari itu. Ketimbang sebatas tampil berbeda dengan masker non-konvensional, kenapa tidak sekalian saja mengundang perhatian dengan lampu warna-warni yang dapat dikustomisasi via aplikasi?

Ada kipas dan lampu, berarti Zephyr sudah pasti dibekali baterai. Dalam sekali pengisian, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai paling lama hingga 8 jam dengan mode kecepatan kipas rendah dan semua pencahayaan dimatikan. Kalau semuanya menyala dan kipas berputar dalam kecepatan maksimum, maka daya baterainya akan turun menjadi 3,5 jam. Kalaupun baterainya habis, pengguna dijamin masih bisa bernapas dengan baik walau kipasnya mati.

Lanjut ke aspek yang ketiga, Razer ingin memastikan bahwa perangkat ini bisa membantu mengurangi jumlah sampah yang diakibatkan oleh penggunaan masker sekali pakai. Untuk itu, Razer merancang agar filter milik Zephyr bisa tetap efisien sampai tiga hari pemakaian sebelum akhirnya perlu diganti dengan yang baru.

Lalu apakah filter tambahannya cuma bisa dibeli dari Razer? Tentu saja, tapi Razer juga bilang bahwa pengguna bebas menyelipkan filter lain jika mau, dengan catatan ukuran filternya pas dan bisa menutupi lubang di kiri, kanan, dan tengah Zephyr secara menyeluruh.

Rencananya, Razer Zephyr akan dijual seharga $100, sudah termasuk 3 set filter (untuk pemakaian selama 9 hari), atau dalam bundel Zephyr Starter Pack seharga $150 yang mencakup 33 set filter (untuk pemakaian selama 99 hari). Filter ekstranya sendiri bisa dibeli secara terpisah seharga $30 per 10 set. Setiap unit Zephyr di-cover oleh garansi selama satu tahun.

Setidaknya untuk sekarang, Zephyr hanya bisa dibeli secara eksklusif melalui Razer.com, akan tetapi perwakilan Razer sempat bilang bahwa mereka bakal mengusahakan agar produk ini juga bisa tersedia di Indonesia. Kapan pastinya masih belum diketahui.

Razer Kraken V3 Pro

Beralih ke Kraken V3 Pro, ini merupakan headset nirkabel yang mengunggulkan teknologi haptic feedback Razer HyperSense. Teknologi ini memang bukan hal baru, dan Razer sendiri pertama menerapkannya tiga tahun lalu melalui headset bernama Nari Ultimate. Namun tentu sudah ada penyempurnaan yang Razer terapkan di Kraken V3 Pro.

Utamanya, Razer mengklaim bahwa HyperSense mampu bekerja di rentang frekuensi yang lebih luas ketimbang teknologi haptic tradisional. Alhasil, pengguna bakal merasakan sensasi getaran yang lebih natural daripada biasanya.

Haptic di Kraken V3 Pro juga memiliki efek stereo. Artinya, pengguna dapat merasakan getaran di telinga kiri dan kanan secara terpisah, tergantung apa yang sedang tersaji dalam game. Contohnya, kalau pengguna mendengar ada ledakan dari sisi kiri, maka getarannya juga akan terasa di telinga sebelah kiri saja.

Namun yang menurut saya paling istimewa adalah, HyperSense bekerja secara real-time, dengan waktu pemrosesan tidak lebih dari 5 milidetik. Itu berarti HyperSense tidak memerlukan integrasi dengan tiap-tiap game. Selama game atau konten lainnya bisa menghasilkan suara, maka efek getarannya juga akan terasa.

Bukankah aneh seandainya efek haptic tetap muncul selagi pengguna hanya mendengarkan musik? Andai pengguna merasa demikian, matikan saja efek haptic-nya via tombol di earcup sebelah kanan. Tombol yang sama ini juga berfungsi untuk mengatur intensitas getarannya di tiga tingkatan (low, medium, high).

Juga istimewa adalah, HyperSense di Kraken V3 Pro tidak memerlukan driver khusus maupun software Razer Synapse agar bisa bekerja. HyperSense bahkan bisa aktif selagi headset tersambung ke smartphone via kabel 3,5 mm. Sayang perangkat ini tidak punya koneksi Bluetooth.

Terkait kinerja audionya, Kraken V3 Pro mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama seperti di BlackShark V2 Pro, lengkap dengan dukungan terhadap fitur THX Spatial Audio.

Kemudian soal kenyamanan, Razer membekali Kraken V3 Pro dengan pelapis earpad yang terbuat dari kombinasi bahan kain plus kulit sintetis. Jadi yang menempel pada sekitaran telinga adalah kain, sementara sisi samping bantalannya terbuat dari kulit demi memastikan bass yang dihasilkan tetap terasa mantap.

Kenapa tidak memakai bahan Flowknit seperti BlackShark saja? Well, kalau menurut Razer sendiri, Flowknit rupanya tidak kompatibel dengan haptic. Jadi memang material hybrid tadi adalah satu-satunya pilihan untuk Kraken V3 Pro.

Dalam sekali pengisian, baterai Kraken V3 Pro diyakini mampu bertahan selama 11 jam pemakaian (dengan semua pengaturan di level maksimum). Kalau haptic dan pencahayaan RGB-nya dimatikan (jadi headset wireless biasa), maka perangkat bisa beroperasi sampai 40 jam. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Razer Kraken V3 Pro kabarnya akan tersedia pada kuartal ke-4 tahun ini dengan banderol $200. Alternatifnya, Razer juga akan lebih dulu memasarkan Kraken V3 dan Kraken V3 HyperSense di bulan Oktober ini juga, masing-masing seharga $100 dan $130.

Kedua headset ini lebih murah karena sama-sama masih mengandalkan kabel. Meski begitu, keduanya tetap mewarisi beberapa fitur andalan milik Kraken V3 Pro, mulai dari driver TriForce Titanium sampai lapisan earpad berbahan hybrid itu tadi.

Khusus Kraken V3 HyperSense, tentunya ada teknologi haptic yang advanced itu tadi, akan tetapi ia cuma bisa digunakan dengan PC saja via kabel USB (tidak ada jack 3,5 mm seperti di Kraken V3 Pro). Kedua headset ini juga mengandalkan mikrofon cardioid biasa, berbeda dari Kraken V3 Pro yang dibekali mikrofon supercardioid.

Acer Luncurkan Proyektor Gaming dengan Dukungan Variable Refresh Rate

Kehadiran PlayStation 5 dan Xbox Series X mendorong produsen TV untuk menyematkan fitur variable refresh rate (VRR) pada model-model high-end terbarunya. Sekarang, fitur yang dirancang untuk memuluskan jalannya permainan itu juga bisa kita nikmati di proyektor.

Adalah Acer Predator GD711, salah satu proyektor pertama yang pantas menyandang titel proyektor gaming berkat dukungan fitur VRR tadi. Fitur tersebut bisa aktif di resolusi 1080p 120 Hz saat disambungkan ke konsol, atau 1080p 240 Hz saat digunakan bersama PC. Sesuai fungsinya, VRR akan selalu menyamakan refresh rate tampilan dengan output frame rate (fps) yang tersaji di masing-masing perangkat.

Untuk keperluan di luar gaming, proyektor LED ini mampu memproyeksikan gambar dalam resolusi 4K (3840 x 2160), dengan tingkat kecerahan maksimum 4.000 LED lumen (atau 1.650 ANSI lumen), dan rasio kontras 2.000.000:1. Color gamut-nya tercatat di 95% Rec. 709, dan perangkat juga kapabel untuk menyuguhkan konten HDR10.

Ukuran proyeksi terbesarnya adalah 300 inci, akan tetapi Acer sendiri merekomendasikan ukuran 100 inci dari jarak 2,7 meter. Perangkat hadir membawa speaker 10 W dan remote control dengan lapisan antimicrobial. Urusan software, Acer telah membekalinya dengan integrasi app store Aptoide.

Konektivitasnya mencakup dua port HDMI 2.0, tiga port USB-A, dan port audio-out. Berbekal sirkulasi udara yang baik, proyektor ini memiliki estimasi masa hidup hingga 20.000 jam, atau sampai 30.000 jam jika menggunakan mode Eco.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan proyektor ini di kawasan Asia, namun Acer berniat menjualnya di Tiongkok seharga 11.999 yuan, dan di kawasan Eropa seharga €1.499. Kalau dikonversi, berarti harganya ada kisaran 24-26 jutaan rupiah.

Acer Predator GM712 / Acer

Alternatifnya, Acer juga menawarkan Predator GM712 yang sedikit lebih terjangkau di €1.399 atau 10.999 yuan. Perangkat ini menawarkan dukungan fitur VRR yang sama persis (hingga 120 Hz di konsol dan 240 Hz di PC), akan tetapi dengan proyeksi berbasis lampu biasa ketimbang LED.

Tingkat kecerahan maksimumnya lebih tinggi di 3.600 ANSI lumen, dan ia tetap kompatibel dengan konten HDR10. Meski begitu, rasio kontrasnya lebih rendah di 10.000:1. Juga lebih inferior adalah estimasi masa hidupnya: sampai 5.000 jam, atau bisa juga sampai 15.000 jam dengan menggunakan mode Eco Pro.

Sumber: The Verge dan Acer.

Corsair Luncurkan Monitor Gaming Perdananya, Xeneon 32QHD165

Berawal dari berdagang memory, Corsair kini memiliki portofolio produk yang mencakup seabrek kategori sekaligus. Namun selama 27 tahun mereka berdiri, Corsair belum pernah sekali pun memproduksi monitornya sendiri. Well, itu berakhir hari ini.

Gambar di atas adalah Xeneon 32QHD165, monitor pertama Corsair yang dipersembahkan buat para gamer. Dari namanya saja, Corsair sudah menunjukkan impresi pertama yang bagus. Seperti yang kita tahu, kebanyakan monitor memang mempunyai nama yang luar biasa acak.

Monitor ini tidak demikian. Penamaannya seperti sudah dipikirkan dengan matang, dan saya pun dapat langsung menebak spesifikasinya dari namanya: ukuran 32 inci, resolusi QHD (2560 x 1440), refresh rate 165 Hz.

Jenis panel yang digunakan adalah Fast IPS, dengan waktu respon 1 milidetik (MPRT) dan dukungan teknologi Quantum Dot untuk menyajikan warna secara akurat. Teknisnya, Xeneon 32QHD165 menjanjikan color gamut 100% sRGB, 100% Adobe RGB, dan 98% DCI-P3.

Tingkat kecerahan maksimumnya berada di angka 400 nit, dan ia pun telah mengantongi sertifikasi DisplayHDR 400 dari VESA. Buat yang membutuhkan, monitor ini sudah sepenuhnya mendukung teknologi AMD FreeSync Premium dan Nvidia G-Sync.

Untuk input-nya, Xeneon 32QHD165 mengemas sepasang port HDMI 2.0, sebuah port DisplayPort 1.4, port USB 3.1 Type-C beserta Type-A masing-masing dua buah, dan jack audio 3,5 mm. Pada sisi belakang stand-nya, terdapat sejumlah pengait untuk membantu merapikan kabel.

Stand berbahan aluminium ini tak hanya memiliki rancangan yang tampak keren, tetapi juga mendukung pengaturan tinggi monitor, tidak ketinggalan juga tilt dan swivel. Alternatifnya, tersedia pula mount VESA 100 x 100 mm bagi yang hendak menggunakan bracket.

Bagi konsumen yang sudah menggunakan produk-produk Corsair maupun Elgato, monitor ini bakal punya nilai tambah tersendiri berkat kompatibilitasnya dengan software Corsair iCUE maupun Elgato Stream Deck. Jadi ketimbang mengakses pengaturan via tombol-tombol fisik di belakang monitor, pengguna bisa mengaksesnya dengan lebih mudah via software.

Bukan cuma itu, bagian atas stand-nya turut dilengkapi dudukan tripod standar 1/4 inci, sehingga pengguna bisa menempatkan lampu, mikrofon, atau kamera langsung di atas monitor.

Jika menimbang spesifikasi dan fiturnya, Corsair Xeneon 32QHD165 semestinya duduk di kelas monitor gaming premium. Dugaan tersebut tidak meleset; di Amerika Serikat, monitor ini dijual seharga $800, atau kurang lebih sekitar 11,4 jutaan rupiah. Namun sejauh ini masih belum ada informasi mengenai ketersediaannya di Indonesia.

Sumber: Corsair.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.