Bukan Cuma Live Stream, Ajang The Game Awards 2021 Juga Akan Dikemas dalam Sebuah Metaverse

Untuk kali yang kedua, ajang The Game Awards tahun ini harus kembali digelar secara virtual. Namun ketimbang sebatas menyajikan live stream biasa, Geoff Keighley selaku sang penggagas acara sudah menyiapkan rencana yang cukup ambisius dalam bentuk sebuah metaverse.

jadi selain menonton acaranya pada tanggal 9 Desember, mulai pukul 07.00 WIB, kita juga bisa terjun ke dalam metaverse yang diciptakan secara khusus buat The Game Awards. Metaverse ini hidup di dalam Axial Tilt, semacam dunia interaktif yang dibangun di atas platform bernama Core.

Interaktif adalah kata kuncinya. Mereka yang mempunyai perangkat Windows 10 dapat mengunduh Core langsung dari situs resminya atau via Epic Games Store, dan dari situ mereka bisa mengakses Axial Tilt untuk langsung dibawa menuju ke metaverse hub milik The Game Awards.

Acara akan dibuka dengan sesi karpet merah, dan ditutup dengan sesi afterparty bersama seorang DJ tamu spesial. Selama acara berlangsung, pengunjung metaverse The Game Awards dapat memprediksi secara live para pemenang di berbagai kategori untuk mendapatkan hadiah in-game dalam ekosistem Core. Sebelum, selagi, dan sesudah acara, pengunjung juga dibebaskan bermain-main dengan koleksi mini game yang tersedia di Axial Tilt.

“Saya selalu mencari cara baru yang menarik untuk membawa The Game Awards ke audiens baru,” terang Geoff seperti dikutip VentureBeat. “Munculnya platform metaverse anyar seperti Core, dan pengalaman sosial yang dihadirkannya pada live event, menciptakan peluang luar biasa untuk memberi penggemar cara baru yang interaktif untuk menikmati pertunjukan. Dan mengingat ini adalah pertunjukan tentang hiburan interaktif, jadinya sangat cocok,” imbuhnya.

Kepada IGN, Geoff mengakui bahwa yang disuguhkan tahun ini belum sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai metaverse, dan ini juga baru versi pertama dari visi yang ingin ia realisasikan ke depannya. Dengan kata lain, ke depannya The Game Awards bakal menyajikan lebih banyak program, mulai dari yang sesimpel sesi talk show bersama kalangan developer, sampai yang lebih ambisius seperti mencoba langsung versi demo dari game yang trailer-nya ditampilkan di acara.

Sumber: VentureBeat.

5 Game Paling Overhyped dan 5 yang Paling Underrated di Tahun 2021

2021 tidak bisa dibilang sebagai tahun terbaik buat industri video game, apalagi mengingat pandemi masih menjadi hambatan terbesar bagi kalangan developer. Terlepas dari beberapa judul game yang cukup fenomenal, sebagian besar game yang dirilis tahun ini boleh dibilang tidak seistimewa di tahun-tahun sebelumnya.

Belum lagi ditambah beberapa judul game yang terkesan overhyped, yang ternyata kurang bisa memenuhi ekspektasi tinggi yang konsumen tetapkan setelah melihat pamor game tersebut, seperti Cyberpunk 2077 di tahun 2020. Di sisi lain, tentu saja ada game yang bernasib sebaliknya, yang sebenarnya sangat pantas direkomendasikan namun kurang terekspos ke publik, alias underrated.

Di artikel ini, saya telah merangkum 5 game yang paling overhyped sekaligus 5 yang paling underrated yang dirilis di tahun 2021. Tentu saja, berhubung ini merupakan topik yang amat subjektif, Anda bebas punya pendapat yang berbeda.

Game paling overhyped di tahun 2021

Outriders

Ibarat hasil kawin silang antara Gears of War dan Destiny, Outriders mampu menyuguhkan formula looter shooter dengan bumbu RPG secara cukup solid. Feel menembaknya memang tidak sememuaskan Bulletstorm (game lain bikinan developer yang sama), tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh berbagai build karakter yang bisa kita kreasikan di Outriders.

Kekurangan utama Outriders ada dua. Yang pertama adalah konten endgame-nya yang terbilang minimal sekaligus terasa repetitif. Kedua dan yang mungkin lebih krusial adalah tidak adanya mode offline. Layaknya Borderlands, Outriders memang akan lebih asyik jika dimainkan bersama teman. Namun terkadang saya juga ingin memainkannya sendirian, dan ini rupanya hanya bisa dilakukan selagi online. Masalahnya, Outriders kerap dilanda problem teknis dari sisi server, dan ketika itu terjadi, saya bahkan tidak bisa memainkannya sama sekali walaupun sendirian.

Biomutant

Dengan setting open-world yang indah dan karakter yang jauh dari kata konvensional, Biomutant tentu menawarkan premis yang menarik, apalagi setelah melihat sistem combat-nya yang menggabungkan persenjataan modern dengan aksi kungfu.

Namun sebagai sebuah RPG, Biomutant kurang begitu mampu bersaing karena terkesan terlalu formulaik, belum lagi ditambah deretan quest-nya yang terasa begitu generik sekaligus repetitif. Quest yang variatif dan memikat merupakan salah satu kekuatan utama RPG single-player, dan Biomutant justru terkesan seperti MMORPG terkait hal ini, yang sering kali hanya menjadikan quest sebagai alasan untuk grinding.

New World

Ada banyak sekali yang bisa Anda lakukan di New World, tapi entah kenapa, berenang bukanlah salah satunya, begitu juga dengan berkuda. Bosan membasmi monster atau beradu otot melawan pemain lain? Anda bisa menghabiskan waktu berjam-jam memasak atau crafting di game ini. Memasak bahkan merupakan salah satu cara tercepat untuk levelling di New World.

Namun banyak bukan berarti semuanya menarik untuk dilakukan, dan aspek PvE merupakan salah satu kelemahan utama New World, demikian pula variasi quest yang tersedia. Untuk game yang sudah dinanti-nantikan sejak tahun 2016, New World semestinya bisa memberikan lebih dari sekadar visual yang apik dan elemen PvP yang seru.

Battlefield 2042

Setelah hampir tiga tahun tidak ada game Battlefield baru, wajar apabila banyak yang menaruh harapan besar pada Battlefield 2042. Sayang sekali ekspektasi tinggi itu tidak bisa dipenuhi akibat berbagai kendala teknis, dan tidak sedikit pula yang menyayangkan absennya single-player campaign pada game tersebut.

Saya pribadi cukup menikmati Battlefield 2042 selama open beta, tapi tentu sesi singkat tersebut tidak bisa dijadikan acuan karena tidak merepresentasikan pengalaman bermain secara menyeluruh. Semoga saja ke depannya kondisi game ini bisa membaik.

Grand Theft Auto: The Trilogy – The Definitive Edition

Dirilis 20 tahun setelah Grand Theft Auto III pertama kali meluncur di PS2, GTA Trilogy Definitive Edition bisa dibilang adalah salah satu yang paling besar hype-nya tahun ini meskipun hanya merupakan sebuah remaster. Namun kenyataannya jauh lebih pahit dari yang dibayangkan, sebab game ini dirilis dalam keadaan seperti belum rampung digarap.

Kabar baiknya, game ini masih bisa diselamatkan seiring berjalannya waktu mengingat sebagian besar problemnya cuma perkara teknis. Kalau secara konten, kualitas trilogi game legendaris ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi.

Game paling underrated di tahun 2021

It Takes Two

Fakta bahwa game ini harus dimainkan oleh dua orang setiap saat membuatnya jadi agak underrated. Namun kalau Anda tidak keberatan dengan persyaratan tersebut, Anda bakal hanyut dalam sebuah pengalaman bermain yang tidak akan pernah terlupakan.

It Takes Two menuntut kedua pemain untuk terus bekerja sama secara kreatif. Selagi ceritanya berjalan, berbagai mekanisme gameplay-nya juga akan berganti dan ikut menyesuaikan. It Takes Two bukan sekadar game paling inventif, melainkan juga salah satu game terbaik tahun ini.

The Ascent

Apa yang terjadi ketika Anda mengawinkan setting dunia cyberpunk dengan genre action RPG ala Diablo? The Ascent jawabannya. Game garapan studio kecil asal Swedia ini berhasil membuktikan bahwa Night City bukanlah satu-satunya lokasi dengan setting cyberpunk yang menarik untuk dieksplorasi. Meski disajikan dalam sudut pandang isometrik, The Ascent dapat dengan mudah membawa saya masuk ke dalam dunianya.

Kalau disuruh menyebut kekurangan terbesar game ini, saya akan bilang kontennya terlalu sedikit. Namun itu bukan berarti kontennya tidak banyak, melainkan lebih ke saya yang tidak bisa berhenti memainkannya. Setelah memainkan The Ascent, saya pun langsung teringat dengan Dredd, film dengan setting cyberpunk yang menurut saya juga termasuk underrated.

Eastward

Secara umum, ada dua alasan mengapa suatu game mengadopsi grafik bergaya pixel art. Yang pertama adalah karena keterbatasan dari sisi teknis, sedangkan yang kedua adalah karena itu memang arahan desain yang dituju oleh kreatornya. Eastward merupakan game yang masuk di kategori kedua tersebut.

Grafik di game ini benar-benar memukau, dengan pilihan palet warna yang terinspirasi karya-karya Studio Ghibli, dan berbagai efek lighting modern yang membuatnya kelihatan semakin hidup. Gameplay-nya memang tergolong simpel untuk ukuran sebuah RPG, tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh musik chiptune yang orisinal dan begitu membekas di telinga.

Knockout City

Dodgeball dengan sejumput bumbu kreativitas, Knockout City bisa menjadi opsi alternatif yang menyegarkan di tengah banyaknya game kompetitif ber-genre shooter. Dalam Knockout City, orang lain yang bermain bersama Anda bukan sebatas rekan satu tim, melainkan juga bisa menjadi senjata di saat-saat darurat.

Permainan pun jadi terasa semakin menyenangkan setelah mempelajari sejumlah trick shot yang tersedia, dan semua aksi yang Anda lakukan di dalam game ini bisa terasa semakin mantap berkat efek suara yang distingtif. Untuk sekarang, konten di Knockout City memang terbilang minim, namun sebagai sebuah live service game, isu tersebut tentu dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Ruined King: A League of Legends Story

RPG dengan sistem combat turn-based memang bukan untuk semua orang, namun Ruined King cukup berpotensi menjadi mainstream berkat dukungan popularitas League of Legends yang mengitarinya. Meski begitu, Anda tidak perlu menjadi penggemar salah satu MOBA terpopuler itu terlebih dulu untuk bisa menikmati game ini.

Seperti yang sudah bisa ditebak, kekuatan utama game ini terletak pada sistem combat-nya. Awalnya mungkin terkesan agak kompleks, namun kepuasan yang didapat setelah menguasainya betul-betul tidak tertandingi. Art style yang khas juga menjadi daya tarik lain dari game ini, kurang lebih sama kasusnya seperti serial animasi Arcane.

Smartphone Gaming Vs Konsol Genggam Snapdragon G3x Gen 1, Apakah Gamer Membutuhkannya?

Untuk bermain game mobile dengan nyaman, harus diakui bahwa chipset pada smartphone kelas menengah sudah lumayan powerful untuk menangani berbagai game populer di Google Play Store. Sebagian besar perangkat menengah telah dibekali layar dengan refresh rate 90 Hz atau bahkan 120 Hz dan disandingkan dengan touch sampling rate tinggi. Keduanya angka ini dianggap penting kala bermain game-game kompetitif yang membutuhkan respons cepat.

Kebanyakan smartphone flagship terbaru, misalnya yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 888 juga memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk menangani game dengan pengaturan grafis rata kanan secara mulus. Sementara bagi yang mendambakan pengalaman bermain game mobile terbaik, tersedia opsi smartphone gaming.

Tahun depan, kemungkinan bakal tersedia perangkat khusus untuk gaming alias konsol genggam (handheld) berbasis Android yang menawarkan pengalaman bermain game mobile melampaui smartphone gaming. Perangkat tersebut akan ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon G3x Gen 1 Gaming Platform. Mari bahas lebih banyak.

Snapdragon 8 Gen 1 dan Snapdragon G3x Gen 1

Belum lama ini, Qualcomm telah mengumumkan chipset mobile generasi berikutnya dengan penamaan baru yakni Snapdragon 8 Gen 1 yang akan menenagai smartphone flagship dan gaming keluaran tahun 2022.

SoC ini dibangun dengan proses fabrikasi 4 nm dan menggunakan arsitektur ARMv9 terbaru dari ARM. Kalau dibandingkan dengan Snapdragon 888, CPU milik Snapdragon 8 Gen 1 punya kinerja hingga 20% dengan efisiensi daya 30% lebih baik.

Sementara, Adreno barunya menjanjikan peningkatan kinerja olah grafis hingga 30% dengan efisiensi daya 25% lebih baik. Didukung fitur Snapdragon Elite Gaming, termasuk rendering volumetrik, tingkat variabel shading yang ditingkatkan, dukungan layar dengan refresh rate 144 Hz pada resolusi QHD+, dan Unreal Engine 5.

Rangkaian peningkatan tersebut membuat smartphone flagship dan gaming dengan Snapdragon 8 Gen 1 menjadi mesin gaming yang amat powerful. Lalu, apa yang ditawarkan oleh Snapdragon G3x Gen 1?

Snapdragon G3x Gen 1 adalah platform berbasis Android yang memungkinkan para gamer memiliki perangkat terbaik untuk bermain game Android yang benar-benar premium dan imersif.

Dasar dari platform gaming ini adalah chipset Snapdragon G3x Gen 1 dengan GPU Adreno dan teknologi Snapdragon Elite Gaming yang diambil dari Snapdragon 8 Gen 1. Perangkat tersebut dapat menjalankan game hingga frame rate 144 fps pada tampilan 10-bit HDR.

Tentu saja, sebagai konsol genggam – perangkat gaming dengan Snapdragon G3x Gen 1 dapat dihubungkan ke layar lebih besar seperti tv dan monitor dengan output 4K. Serta, mendukung tethering ke headset mixed reality melalui port USB-C.

Sekarang mari lihat ROG Phone 5s Pro, smartphone gaming terbaru ASUS yang baru saja masuk di Indonesia. Ketika ditandemkan dengan aksesori ROG Kunai GamePad, ROG Phone 5s Pro berasa seperti Nintendo Switch. Meski di awal butuh penyesuaian, bermain dengan aksesori gamepad terasa lebih menyenangkan.

Smartphone gaming seperti ROG Phone 5s Pro ini dari awal dirancang dengan fokus utama menghadirkan pengalaman bermain game mobile terbaik. Jadi, apakah kita benar-benar membutuhkan perangkat khusus untuk gaming?

Menurut Qualcomm, salah satu tantangan besar ketika bermain game dengan grafis berat di smartphone ialah frame rate akan turun saat suhu perangkat memanas. Perangkat gaming dengan Snapdragon G3x Gen 1 ini menjanjikan kinerja berkelanjutan yang stabil tanpa kompromi.

Kontrol gamepad lebih baik dengan dukungan controller mapping technology dari AKSys yang memungkinkan penggunaan pengontrol bawaan pada beragam game. Tak sebatas game mobile, para gamer juga dapat streaming game dari konsol di rumah atau PC Anda, serta bermain game melalui layanan cloud gaming.

Saat ini, Qualcomm bekerja sama dengan Razer untuk menyediakan Snapdragon G3x handheld gaming developer kit pertama yang tersedia secara eksklusif untuk para developer. Untuk sekarang, fokus Qualcomm adalah membangun platform gaming tersebut bersama komunitas developer, setelah itu OEM dapat masuk dan membuat perangkat gaming untuk dinikmati konsumen. Kita tunggu saja perkembangannya.

Update Terbaru Stardew Valley Jadikan Game-nya Lebih Future Proof dan Semakin Mod-Friendly

Modding memegang peranan yang sangat penting dalam dunia PC gaming. Tidak jarang, modding memungkinkan game yang sudah bagus untuk disempurnakan lebih jauh lagi. Dalam beberapa kasus, modding bahkan bisa membantu memperpanjang ‘umur’ game. Tidak percaya? Lihat saja Skyrim, yang belum lama ini dirilis ulang oleh Bethesda dengan menyertakan segudang konten bikinan komunitas modder-nya.

Stardew Valley merupakan contoh lain game yang mod-friendly, meski memang jumlah mod-nya belum selevel game-game bikinan Bethesda. Mulai dari mod simpel yang menyisipkan elemen UI ekstra, sampai yang benar-benar menambahkan segudang konten baru untuk dimainkan, Stardew Valley punya semuanya.

Kreator Stardew Valley, Eric “ConcernedApe” Barone, mendukung penuh komunitas modding dari game bikinannya tersebut. Hal itu ia buktikan lewat patch terbaru untuk Stardew Valley (versi 1.5.5), yang membawa pembaruan amat substansial terkait modding.

Utamanya, patch anyar ini memindahkan Stardew Valley dari framework XNA ke MonoGame. Meski keduanya sama-sama merupakan framework untuk mengembangkan game, XNA sudah berhenti dikembangkan sejak 2013, sementara MonoGame merupakan proyek open-source yang masih terus aktif dikembangkan.

Menurut Eric, tujuan dari migrasi framework ini tidak lain supaya Stardew Valley bisa lebih future-proof, sekaligus untuk meningkatkan batasan RAM yang dapat diakses oleh mod menjadi lebih dari 4 GB. Dengan kata lain, modder Stardew Valley punya fleksibilitas ekstra dalam berkreasi pasca update terbaru ini.

Mod seperti Stardew Valley Expanded menghadirkan segudang konten baru yang membuat game-nya jadi terasa baru / FlashShifter

Di samping pembaruan dari sisi arsitektur game, patch 1.5.5 turut menghadirkan sejumlah pembaruan QoL (quality of life) seperti kemampuan untuk membeli kembali barang yang tidak sengaja terjual, serta beberapa bug fix. Patch note lengkapnya dapat Anda baca sendiri di blog resmi Stardew Valley.

Belum puas sampai di situ saja, Eric juga tengah menyiapkan patch versi 1.5.6 yang bakal semakin memudahkan pekerjaan para modder. Untuk mewujudkannya, Eric bahkan memutuskan untuk bekerja sama langsung dengan PathosChild, pencipta SMAPI yang merupakan tool esensial untuk sebagian besar mod di Stardew Valley.

Update versi 1.5.6 kabarnya juga akan menghadirkan sejumlah konten baru, tapi tidak akan sampai sesignifikan patch 1.5 yang dirilis tahun lalu — cukup wajar mengingat Eric sedang sibuk mengerjakan game baru. Selagi menunggu, tidak ada salahnya kita bermain-main dulu dengan sejumlah mod esensial untuk Stardew Valley.

Via: Rock Paper Shotgun.

LoL Wild Rift Terpilih Sebagai Game iPhone Terbaik 2021

Menjelang penutupan tahun, Apple kembali mengumumkan para pemenang ajang App Store Award. Berbeda dari yang dilakukan Google pada Google Play’s Best of 2021, Apple tidak memisahkan daftar aplikasi dan game terbaik berdasarkan tiap-tiap negara, melainkan hanya satu daftar saja berdasarkan hasil penilaian tim editorial globalnya.

Untuk kategori game iPhone terbaik 2021, titel juaranya dipegang oleh League of Legends: Wild Rift. Ya, tahun ini rupanya adalah tahunnya MOBA, sebab seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, gelar game Android terbaik untuk tahun ini jatuh pada Pokémon Unite (versi Amerika Serikat). Meski sudah tidak bisa dibilang baru lagi, nyatanya LoL Wild Rift memang baru meluncur di kawasan Amerika pada tahun 2021 ini.

Sementara untuk gelar game iPad terbaik 2021, pemenangnya adalah Marvel Future Revolution. MMORPG keluaran Netmarble ini memiliki kualitas grafik yang cukup menakjubkan untuk ukuran game mobile, dan itu sangat ideal untuk mendemonstrasikan performa hardware iPad Pro yang fenomenal. Di tablet termahal Apple tersebut, Marvel Future Revolution bahkan bisa berjalan di 120 fps.

Beralih ke game Apple Arcade terbaik 2021, jawaranya adalah Fantasian. Buat yang tidak tahu, Fantasian merupakan RPG baru karya Hironobu Sakaguchi, yang tidak lain merupakan pencipta franchise Final Fantasy. Selain mengandalkan iringan musik gubahan Nobuo Uematsu (komposer yang juga langganan mengisi musik di seri Final Fantasy), Fantasian juga banyak dipuji karena grafiknya yang unik, dengan setting dunia yang semuanya merupakan diorama buatan tangan.

Selain game iPhone dan iPad, Apple tidak lupa memberi penghargaan buat game Apple TV terbaik dan game Mac terbaik, yang masing-masing dimenangkan oleh Space Marshals 3 dan Myst. Space Marshals 3 dengan sistem tactical combat-nya sangat cocok dimainkan di layar besar, sementara Myst merupakan game petualangan keluaran tahun 1993 yang kini telah di-remake untuk platform virtual reality sekaligus diadaptasikan ke platform gaming modern.

Daftar lengkap pemenang App Store Awards 2021, termasuk untuk aplikasi-aplikasi non-gaming, dapat Anda lihat langsung di tautan ini.

Sumber: Apple.

Rumor: Sony Bakal Satukan PlayStation Plus dan PlayStation Now Menjadi Layanan Subscription Baru

Berdasarkan rumor terbaru yang dilaporkan oleh Bloomberg, Sony tengah sibuk menyiapkan layanan subscription baru untuk PlayStation sebagai respons atas popularitas layanan Xbox Game Pass yang terus mencuat belakangan ini.

Sejauh ini, Sony memang sudah punya dua layanan berlangganan yang ditujukan untuk konsumen PlayStation, yakni PlayStation Plus dan PlayStation Now, akan tetapi layanan baru yang secara internal dikenal dengan codename Spartacus ini kabarnya bakal menyatukan kedua layanan tersebut.

Sekadar mengingatkan, PlayStation Plus merupakan layanan yang diperlukan untuk memainkan sebagian besar game multiplayer sekaligus yang memberi bonus sejumlah game secara gratis, sedangkan PlayStation Now memungkinkan pelanggan untuk mengunduh atau streaming koleksi game yang sudah beredar selama beberapa waktu.

Spartacus di sisi lain bakal hadir dalam tiga tingkatan (tier) yang berbeda. Tier yang pertama menawarkan fasilitas serupa seperti PlayStation Plus. Tier yang kedua menambahkan akses ke sederet game PlayStation 4, dan ke depannya, PlayStation 5. Untuk tier yang ketiga sekaligus yang paling mahal, pelanggan juga bakal mendapat sejumlah demo dan fitur streaming, serta akses ke koleksi judul-judul game klasik yang pernah dirilis di PS1, PS2, PS3, dan bahkan PSP.

Bloomberg juga bilang bahwa ada kemungkinan Sony tetap mempertahankan branding “PlayStation Plus” untuk layanan baru ini. Peluncurannya dikabarkan bakal berlangsung di musim semi 2022, dan akan tersedia untuk pengguna PS4 sekaligus PS5.

Sepintas layanan baru ini kedengarannya menjanjikan, namun sayangnya Sony dikabarkan tidak akan menyertakan judul-judul game baru di hari pertama peluncurannya masing-masing seperti yang Microsoft lakukan dengan Xbox Game Pass. Jadi saat Gran Turismo 7 dirilis pada tanggal 4 Maret 2022, kemungkinan besar game-nya tidak akan langsung tersedia di layanan baru tersebut.

Hal ini kontras dengan yang ditawarkan Xbox Game Pass; Forza Horizon 5 yang dirilis pada tanggal 9 November lalu langsung tersedia buat pelanggan Xbox Game Pass sejak hari pertama, yang pada akhirnya membuat game tersebut dimainkan oleh lebih dari 10 juta orang dalam sepekan pertamanya. Sony tampaknya masih belum seberani itu.

Terlepas dari itu, layanan baru ini semestinya bakal memiliki daya tarik yang lebih besar ketimbang dua layanan subscription PlayStation yang eksis sekarang.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Charles Sims via Unsplash.

EA Ingin Ciptakan “Battlefield Universe” dengan Beberapa Proyek yang Saling Terhubung Satu Sama Lain

Peluncuran Battlefield 2042 baru-baru ini diwarnai oleh banyak problem. Namun hal itu tidak mencegah EA memiliki rencana besar untuknya. Bagaimanapun juga, Battlefield sudah menjadi salah satu franchise andalan EA semenjak mereka mengakuisisi DICE di tahun 2006.

Berdasarkan laporan dari GameSpot, EA tengah sibuk menyiapkan rencana untuk menciptakan sebuah “Battlefield universe“. Rencana spesifiknya seperti apa masih belum diketahui, tapi yang pasti bakal melibatkan lebih dari satu proyek dari berbagai studio sekaligus, dan yang semuanya saling terhubung satu sama lain.

Guna mengeksekusi wacana tersebut, EA pun menunjuk Vince Zampella, co-founder sekaligus CEO Respawn Entertainment (studio yang membuat Titanfall dan Apex Legends), untuk mengawasi pengembangan franchise Battlefield secara umum. Ripple Effect, studio yang bertanggung jawab atas mode Portal di Battlefield 2042, kabarnya juga bakal mengerjakan sebuah “experience baru” di universe Battlefield 2042.

Tidak cukup sampai di situ saja, EA juga tengah menyiapkan sebuah studio baru di kota Seattle yang akan dikepalai oleh Marcus Lehto, co-creator franchise Halo sekaligus pencipta karakter Master Chief. Lehto bergabung dengan EA pada bulan Oktober lalu setelah sempat menjalankan studionya sendiri, V1 Interactive, selama sekitar lima tahun.

Studio baru yang belum bernama ini kabarnya bakal berkolaborasi dengan DICE dan Ripple Effect untuk memperluas narasi dan pengembangan karakter di seri Battlefield. Apakah ini berarti ke depannya Battlefield 2042 bakal kedatangan single-player campaign? Mungkin saja, tapi tidak menutup kemungkinan juga Lehto dan timnya bakal mengerjakan game Battlefield baru.

Asumsinya, sosok seberpengalaman Lehto tidak mungkin cuma dipercaya mengembangkan konten pelengkap semata. Byron Beede, eks veteran Activision yang belum lama ini direkrut oleh EA, mengatakan bahwa apa yang dikerjakan studio baru di bawah kepemimpinan Lehto itu bakal menjadi fondasi atas semua hal yang berhubungan dengan narasi di universe Battlefield.

Dalam kesempatan yang sama, general manager DICE, Oskar Gabrielson, memutuskan untuk hengkang, dan posisinya kini digantikan oleh mantan studio director Ubisoft Annecy, Rebecka Coutaz. Sepintas ini mungkin terdengar sebagai buntut dari banyaknya permasalahan yang dialami Battlefield 2042, tapi kalau memang demikian, semestinya bakal ada jeda sebelum EA menunjuk penggantinya.

Battlefield 2042 boleh memberikan impresi awal yang buruk, akan tetapi statusnya sebagai sebuah live service game berarti EA dapat terus menyempurnakannya seiring berjalannya waktu. Dan ternyata rencana mereka bukan sebatas membenahi saja, melainkan juga mengembangkan franchise-nya lebih luas lagi.

Sumber: GameSpot.

Valve Pamerkan Packaging dan Prototipe Versi Final Steam Deck

Belum lama ini, Valve mengumumkan bahwa mereka harus menunda peluncuran Steam Deck selama dua bulan akibat krisis chip global yang terus berkelanjutan. Selagi konsumennya bersabar menunggu, Valve kembali memberikan update mengenai konsol genggam calon penantang Nintendo Switch tersebut.

Dikatakan bahwa Valve baru saja merampungkan prototipe final dari Steam Deck, dan bersamanya mereka juga ingin memperlihatkan seperti apa packaging yang bakal diterima konsumen mulai Februari 2022. Seperti yang bisa kita lihat, boks kemasan Steam Deck ini tampak begitu minimalis dan nyaris tanpa branding.

Selain unit konsol Steam Deck itu sendiri, paket penjualannya turut mencakup sebuah adaptor daya untuk charging, kontras dengan tren yang terus bertambah populer di dunia smartphone, dengan semakin banyaknya ponsel yang dijual tanpa charger sama sekali. Valve juga bilang bahwa jenis colokan adaptornya akan disesuaikan dengan region dari masing-masing konsumen, meski sayangnya Indonesia masih belum termasuk salah satunya, setidaknya di tahap pemesanan awalnya ini.

Setiap unit Steam Deck juga akan datang bersama sebuah carrying case, termasuk untuk varian termurahnya. Gambar di bawah adalah carrying case untuk varian 64 GB dan 256 GB, sedangkan varian 512 GB bakal disertai case yang lebih spesial yang masih misterius.

Menurut Valve, prototipe versi final dari Steam Deck ini bakal mereka gunakan untuk sejumlah pengujian tambahan, sekaligus sebagai dev kit yang akan mereka kirim ke kalangan developer. Prototipe final ini mengemas sejumlah penyempurnaan jika dibandingkan dengan versi yang sempat didemonstrasikan ke awak media pada bulan Agustus lalu, akan tetapi Valve tidak merincikan apa saja yang berubah.

Valve juga bilang bahwa akan ada sejumlah perubahan minor pada versi finalnya yang bakal diproduksi secara massal setelah ini. Dengan kata lain, prototipe terakhirnya ini pun masih belum 100% merepresentasikan versi ritel yang bakal diterima konsumen nantinya.

Dengan segala daya tariknya, Steam Deck berpotensi menjadi salah satu gadget terpanas tahun depan. Valve sendiri tampaknya cukup pandai membangun momentum; update singkat mengenai packaging dan prototipe versi final ini jelas dimaksudkan untuk semakin menumbuhkan hype yang sudah tergolong besar, namun di saat yang sama juga membantu membangun image Valve sebagai perusahaan yang transparan.

November kemarin, Valve juga sempat membahas Steam Deck dari sudut pandang teknis secara merinci melalui sebuah live stream.

Sumber: PC Gamer dan Valve.

Lebih dari Smartphone Gaming, Qualcomm Punya Chipset Snapdragon G3x Gen 1 Untuk Perangkat Gaming Handheld

ASUS ROG Phone 5, Xiaomi Black Shark 4S Pro, Lenovo Legion Duel 2, dan ZTE nubia Red Magic 6s Pro adalah beberapa nama smartphone gaming keluaran 2021 yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 888 series. Tahun depan, tentu giliran Snapdragon 8 Gen 1 yang akan menenagai smartphone flagship dan gaming 2022.

Di antara smartphone gaming dan konsol rumah seperti PlayStation dan Xbox, terdapat perangkat gaming handheld atau konsol genggam seperti Nintendo Switch atau Steam Deck dan Qualcomm telah mengumumkan chipset khusus yang dirancang untuk perangkat semacam itu.

Snapdragon G3x Gen 1 namanya, platform berbasis Android yang memungkinkan para gamer memiliki perangkat terbaik untuk bermain game Android, streaming game dari konsol di rumah atau PC Anda, serta bermain game melalui layanan cloud gaming.

Dasar dari platform gaming ini adalah chipset Snapdragon G3x Gen 1 dengan GPU Adreno dan teknologi Snapdragon Elite Gaming yang memungkinkan bermain game hingga 144 fps dan 10-bit HDR.

Chipset ini mendukung konektivitas Qualcomm FastConnect 6900 Mobile Connectivity yang membawa WiFi 6 dan 6E, serta 5G mmWave dan sub-6. Dengan teknologi Snapdragon Sound yang dapat mengurangi latensi saat bermain game menggunakan TWS.

Perangkat gaming dengan Snapdragon G3x Gen 1 juga bisa dihubungkan ke layar lain yang lebih besar seperti TV dan monitor dengan output 4K. Serta, mendukung tethering ke headset mixed reality melalui port USB-C.

Selain itu, dukungan dari AKSys memberikan sentuhan presisi pada controller mapping technology yang memungkinkan penggunaan pengontrol bawaan pada beragam game.

Untuk menunjukkan platform tersebut, Qualcomm bekerja sama dengan Razer untuk membangun Snapdragon G3x handheld gaming developer kit pertama yang tersedia secara eksklusif untuk para developer mulai hari ini.

Perangkat handheld developer kit khusus ini dirancang untuk platform Snapdragon G3x untuk menghasilkan kinerja tanpa kompromi. Hadir dengan layar OLED 6,65 inci Full HD+ HDR 10-bit dan refresh rate 120hz.

Memiliki webcam 5MP/1080p60 dengan dua mikrofon yang dapat digunakan oleh gamer untuk live streaming. Konektivitas 5G mmWave dan sub-6, serta WiFi 6E untuk memberikan koneksi tercepat dengan latensi rendah.

Juga hadir dengan kontrol yang seimbang dan mudah digenggam, untuk permainan yang nyaman dalam durasi yang lama. Semoga saja, OEM lain dapat segera mengadopsi chipset Snapdragon G3x Gen 1 dan merilis konsol genggam tahun depan.

Sumber: Qualcomm, TheVerge

Game City Building Townscaper Kini Dapat Dimainkan Secara Gratis Lewat Browser

Townscaper merupakan salah satu mutiara terpendam yang saya temukan di Steam beberapa bulan lalu, dan yang hingga kini masih menjadi andalan saya di kala penat melanda. Game ini merupakan sebuah city building sederhana dengan grafik low poly yang tidak memiliki narasi maupun tujuan; cuma sebatas sandbox untuk bermain-main dan menumpahkan kreativitas.

Kecintaan saya terhadap game ini semakin menguat setelah melihat sifat dermawan pengembangnya, Oskar Stålberg. Lewat Twitter, Oskar mengumumkan bahwa Townscaper kini dapat dimainkan secara cuma-cuma langsung melalui browser komputer.

Versi web-nya ini memang cuma sebatas demo, tapi saat saya coba, pengalaman yang saya dapat benar-benar identik seperti ketika memainkan versi penuhnya di Steam. Yang berbeda hanyalah luas area yang dapat dibangun; pada versi web-nya ini, kita hanya bisa membangun di atas area yang lebih kecil ketimbang di versi penuhnya.

Cara bermain Townscaper luar biasa mudah: klik kiri untuk membangun, klik kanan untuk menghapus. Sudah itu saja, namun berkat teknik procedural generation yang diterapkan, variasi bangunan yang bisa diciptakan di game ini benar-benar sangat beragam, dan tidak jarang saya menghabiskan waktu berjam-jam memainkannya selagi mendengarkan playlist favorit di Spotify. Seiring bermain, perlahan Anda juga pasti mulai hapal dengan pola-pola tertentu untuk menciptakan model bangunan yang spesifik.

Menurut saya pribadi, game ini bahkan lebih mudah dimainkan ketimbang menyusun balok-balok Lego. Bahkan anak saya yang masih berusia tiga tahun (dan yang baru saja bisa mengoperasikan mouse) pun mampu menciptakan kreasi-kreasi yang menarik di Townscaper. Kalau mau lebih santai, versi Steam-nya yang dapat dibeli seharga Rp48.999 juga mendukung pengoperasian via gamepad.

Selain di PC, Townscaper juga tersedia di Nintendo Switch, dan belum lama ini port versi Android sekaligus iOS-nya pun juga telah dirilis. Buat yang penasaran, sekarang Anda bisa mencobanya dulu di browser sebelum membeli. Percayalah, Anda bakal berterima kasih pada saya sudah meluangkan waktu sejenak untuk menjajalnya.

Via: Destructoid.