Lenovo Pamerkan LaVie Mini, Konsep Laptop Gaming dalam Wujud ala Nintendo Switch

Tepat setahun yang lalu, Alienware memamerkan calon rival Nintendo Switch yang istimewa. Istimewa karena spesifikasinya lebih mirip laptop gaming ketimbang sang console handheld, meski sayang statusnya hingga kini masih calon. Perangkat yang paling mendekati konsep tersebut dan yang sedang bersiap untuk meluncur ke pasaran adalah GPD Win 3, yang kabarnya bakal segera ditawarkan melalui Indiegogo.

Ide akan sebuah laptop gaming dengan wujud menyerupai Nintendo Switch rupanya turut menyita perhatian Lenovo. Bersama NEC, keduanya menciptakan konsep perangkat serupa yang dinamai LaVie Mini. Dalam posisi normal, ia dapat digunakan layaknya laptop tradisional, minus sebuah touchpad. Namun yang istimewa adalah ketika keyboard-nya itu dilipat hingga menempel ke belakang layarnya.

Di posisi tersebut, pengguna dapat memasangkan controller ke sisi kiri dan kanannya, memberikan akses mudah ke sepasang stik analog, tombol D-Pad, empat tombol aksi, dan sejumlah tombol trigger. Lagi-lagi terinspirasi Nintendo Switch, LaVie Mini turut hadir bersama docking unit opsional yang dapat meneruskan output-nya ke TV 4K.

Soal spesifikasi, LaVie Mini terdengar cukup menjanjikan. Layarnya memiliki bentang diagonal seluas 8 inci dan resolusi 1920 x 1200 pixel, sedangkan performanya ditunjang oleh prosesor Intel Core i7-1180G7 dan GPU Intel Iris Xe yang memiliki 96 Execution Unit (EU), plus RAM LPDDR4X 16 GB dan SSD NVMe 256 GB.

Secara umum, prosesor yang digunakan memang lebih superior ketimbang milik GPD Win 3, akan tetapi performanya belum tentu lebih baik. Alasannya simpel: GPD Win 3 punya layar yang lebih kecil sekaligus beresolusi lebih rendah, dan itu pasti sangat membantu mendongkrak fps selama sesi gaming berlangsung.

Berhubung masih konsep, detail mengenai LaVie Mini sejauh ini masih belum banyak, dan kita juga belum punya gambaran sama sekali terkait seberapa lama baterainya bisa bertahan. Untuk urusan konektivitas, LaVie Mini hadir mengemas sepasang port USB-C dan jack audio, belum termasuk port USB-C dan USB-A ekstra yang terdapat pada docking unit-nya.

Tentu saja PR terbesar Lenovo dan NEC saat ini adalah menyulap LaVie Mini dari sebatas konsep/prototipe menjadi perangkat yang dapat dibeli oleh konsumen secara luas. Semoga saja prosesnya berjalan lancar dan kita dapat membahasnya kembali saat perangkat ini siap meluncur ke pasaran.

Sumber: Gizmodo dan PC Gamer.

GPD Win 3 Adalah Handheld Gaming PC yang Sanggup Menjalankan Sederet Game AAA

Januari lalu, Alienware menyingkap Concept UFO, sebuah perangkat handheld mirip Nintendo Switch, tapi yang dibekali komponen PC tulen. Sayang sekali, sesuai dengan namanya, perangkat tersebut sejauh ini masih sebatas konsep, dan Nintendo Switch pun sampai saat ini masih merajai kategori handheld console tanpa ada perlawanan yang berarti.

Ide akan sebuah gaming PC yang dapat digenggam memang bukan hal baru, akan tetapi eksekusinya selama ini bisa dibilang belum begitu matang. Salah satu pabrikan yang sangat getol bereksperimen dengan gaming PC berukuran mini adalah GPD. Perusahaan asal Tiongkok ini memang belum lama berdiri, akan tetapi portofolio produknya sudah mencakup banyak perangkat yang semuanya mengadopsi rancangan yang amat portabel.

Yang terbaru, mereka tengah bersiap untuk meluncurkan GPD Win 3, sebuah handheld gaming PC yang sanggup menjalankan beragam game AAA dengan lancar. Saat melihat wujudnya, tampak jelas bahwa desainnya terinspirasi oleh Nintendo Switch maupun Alienware Concept UFO tadi. Bedanya, sepasang controller di sisi kiri dan kanannya itu tidak bisa dilepas.

Sebagai gantinya, layar GPD Win 3 justru bisa digeser ke atas sehingga pengguna dapat mengetik menggunakan keyboard QWERTY di baliknya. Namun ketimbang menjejalkan keyboard fisik, GPD lebih memilih menyematkan touch keyboard demi memangkas tebal perangkat semaksimal mungkin.

Layarnya sendiri menggunakan panel IPS 5,5 inci dengan resolusi 720p. Penggunaan resolusi HD ketimbang FHD ini menurut saya merupakan keputusan tepat. Daripada memaksakan resolusi FHD tapi game-nya tidak bisa stabil di 60 fps, lebih baik sedikit mengorbankan kualitas visual demi mendapatkan pengalaman bermain yang mulus – saya bilang sedikit karena 720p akan tetap kelihatan tajam di layar sekecil ini, dan itu bisa dibuktikan oleh kepadatan pixel-nya yang berada di angka 268 ppi.

Performanya ditunjang oleh prosesor Intel generasi ke-11 (Tiger Lake). GPD menyediakan dua model untuk Win 3. Model yang pertama dengan prosesor Core i5-1135G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 80 Execution Unit (EU). Model yang kedua dengan prosesor Core i7-1165G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 96 EU.

Kedua model sama-sama dilengkapi dengan RAM LPDDR4-4266 berkapasitas 16 GB serta SSD PCIe 3.0 sebesar 1 TB, dan GPD tidak lupa menyematkan sepasang heat pipe beserta satu kipas pendingin demi memastikan performanya tetap optimal selama sesi gaming berlangsung.

Performanya ini tidak main-main. GPU Intel Xe sendiri sudah terbukti mumpuni untuk menjalankan beragam judul permainan AAA, dan ketika dipadukan dengan resolusi 720p ketimbang 1080p, performanya jelas bakal lebih mulus lagi di GPD Win 3 ini. Video demonstrasi dari GPD menunjukkan Win 3 sanggup menjalankan Borderlands 3 stabil di 60 fps, dan mereka bahkan sempat menjajalnya dengan Microsoft Flight Simulator maupun Red Dead Redemption 2.

Dari segi kontrol, Win 3 mengusung layout yang mungkin sudah sangat dikenal oleh kalangan gamer: sepasang joystick di kiri-kanan, tombol D-Pad di kiri, empat tombol action di kanan, dan empat tombol trigger di atas. GPD tidak lupa menambahkan dua tombol ekstra di bagian punggung Win 3 yang dapat diprogram sesuai kebutuhan, semisal untuk menggantikan tombol “Esc” sehingga pemain tidak perlu repot membuka keyboard-nya setiap kali hendak menekan tombol tersebut.

Di ujung kanan bawah, terdapat sensor sidik jari untuk membuka kunci layar secara mudah. Tombol pengatur volume, jack mikrofon sekaligus headphone, port USB-A maupun USB-C (Thunderbolt 4) semuanya ada, dan seandainya itu masih kurang, GPD juga menawarkan dock eksternal untuk Win 3 yang akan memberikan akses ke sambungan ekstra seperti HDMI atau Ethernet.

Baterai Win 3 diklaim punya kapasitas 44 Wh, dan ini diperkirakan cukup untuk dipakai bermain game berat selama 2 – 3 jam. Charging-nya sendiri hanya memerlukan waktu sekitar 1,5 jam jika menggunakan adapter 65 W.

Semuanya itu ditawarkan dalam harga $799 saja untuk varian Core i5, atau $899 untuk varian Core i7. Seperti sebelum-sebelumnya, GPD kembali memercayakan metode crowdfunding untuk memasarkan Win 3, dan kampanyenya di Indiegogo dikabarkan bakal segera dimulai tidak lama lagi.

Sumber: PC Gamer.

Nintendo Luncurkan Reinkarnasi Modern dari Handheld Console Pertamanya

Di industri game console, konsumen modern sering kali hanya membandingkan Sony dengan Microsoft, dan lupa sepenuhnya terhadap eksistensi Nintendo. Padahal, kita tahu bahwa Nintendo merupakan salah satu pelopor di segmen ini, tapi di saat yang sama sebagian besar dari kita juga tahu bahwa Nintendo seakan hidup di dunianya sendiri.

Anggapan tersebut kembali mereka buktikan baru-baru ini. Di saat Sony dan Microsoft sibuk mengirimkan PlayStation 5 dan Xbox Series X ke konsumen, Nintendo malah merilis sebuah handheld console yang amat sederhana bernama Game & Watch: Super Mario Bros., reinkarnasi modern dari handheld console pertama bikinan Nintendo di tahun 1980 yang bernama sama.

Nintendo Game & Watch: Super Mario Bros.

Ya, Game & Watch bahkan lebih tua daripada Game Boy, dan hanya bisa memainkan satu game saja tanpa dibekali slot cartridge sama sekali. Untuk versi modernnya, Anda bakal mendapat tiga game: Super Mario Bros., Super Mario Bros. 2, dan Ball, permainan juggling yang disuguhkan oleh Game & Watch orisinal, tapi yang kini memakai karakter Mario ketimbang robot.

Secara fisik, Game & Watch: Super Mario Bros. sangat ringkas dengan dimensi 112 x 67 x 12,5 mm, dan bobot hanya sekitar 68 gram. Layout-nya tampak seperti controller NES yang dijejali layar LCD di bagian tengahnya, dan tema warnanya terinspirasi langsung dari Famicom (nama console NES untuk pasar Jepang).

Saat sedang tidak dipakai bermain, perangkat ini dapat berfungsi sebagai jam digital sesuai namanya. Satu sentuhan manis yang Nintendo bubuhkan adalah beragam animasi yang tampil selama perangkat menjadi penunjuk waktu. Secara total, Nintendo bilang ada 35 animasi jam yang berbeda.

Nintendo Game & Watch: Super Mario Bros.

Sebagai reinkarnasi modern, tentu saja perangkat ini membawa sejumlah elemen canggih yang tidak dimiliki leluhurnya, utamanya layar berwarna dan baterai rechargeable. Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa tahan sampai sekitar 8 jam pemakaian, dan charging-nya rupanya sudah mengandalkan sambungan USB-C.

Selebihnya, tidak banyak yang bisa ditawarkan oleh handheld console sesimpel ini selain sebatas nostalgia. Nintendo memperkirakan Game & Watch: Super Mario Bros. bakal tersedia di pasaran sampai 31 Maret 2021, dan mereka sudah mulai menjualnya sekarang seharga $50 di Amerika Serikat.

Sumber: The Verge.

Pengembang Playdate Pamerkan Sejumlah Game Bikinan Developer Pihak Ketiga

Mei tahun lalu, developer software kawakan Panic mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan handheld console unik bernama Playdate. Playdate unik karena selain bernuansa retro, ia juga dilengkapi tuas semacam pedal sepeda yang dapat diputar, dan yang berfungsi sebagai salah satu input kontrol di samping sejumlah tombolnya.

Sejauh ini, Playdate baru bisa dinikmati oleh kalangan developer saja. Mereka dipersilakan untuk mengembangkan imajinasinya masing-masing menjadi game yang pantas dimainkan di Playdate, dan Panic sepertinya sudah tidak sabar untuk memamerkan teaser dari beberapa karya mereka.

Beberapa di antaranya tidak kalah unik dari hardware-nya itu sendiri. Salah satunya adalah sebuah game puzzle yang hanya bisa dikendalikan dengan memiring-miringkan Playdate, memanfaatkan komponen accelerometer yang terdapat di dalamnya.

Contoh lainnya, ada aplikasi kaligrafi yang memanfaatkan tuas putar Playdate untuk mengatur arah gerakan kuas, atau game balap mobil di mana pemain harus memakai tuas putarnya seandainya hendak nge-drift. Game sejenis Tetris pun semestinya juga bisa jadi lebih menarik apabila dikendalikan dengan tuas putarnya.

Demonstrasi yang lebih ekstrem turut dipamerkan oleh seorang developer yang berhasil mem-porting Doom ke Playdate, lalu memfungsikan tuas putarnya sebagai tuas pelatuk senjata chain gun yang selalu menjadi ciri khas dedengkot game FPS tersebut.

Namun tidak semua game diharuskan memakai tuas putarnya sebagai salah satu input kendali. Beberapa game ada yang tidak menggunakannya sekali pun, dan Panic tidak lupa menegaskan bahwa semua demo yang mereka pamerkan kali ini belum tentu nantinya bakal dirilis pada versi final Playdate.

Memangnya kapan versi final itu tersedia buat konsumen? Panic belum berani memberikan tanggal yang pasti, tapi mereka menjanjikan update besar dalam beberapa bulan ke depan, termasuk halnya detail program pre-order, serta judul dari 12 game yang sudah mereka siapkan untuk periode awal peluncuran Playdate.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, 12 game ini akan didistribusikan secara digital. Namun ketimbang merilis semuanya secara serentak, Panic akan mengirimnya satu per satu setiap minggu sebagai bagian dari pengalaman unik yang ditawarkan Playdate.

Seandainya tidak ada perubahan, Playdate akan dijajakan seharga $149, masih lebih terjangkau dibanding Analogue Pocket, reinkarnasi modern Game Boy yang akan dirilis tahun depan.

Sumber: Engadget.

Peluncuran Handheld Console Analogue Pocket Ditunda Sampai Tahun Depan

Kabar buruk bagi yang sudah tidak sabar menanti kedatangan Analogue Pocket. Reinkarnasi modern Game Boy itu terpaksa harus ditunda perilisannya sampai tahun depan akibat pandemi. Untungnya, Analogue memanfaatkan waktu ekstra ini untuk menyempurnakan beberapa aspek dari handheld console perdananya tersebut.

Dari segi fisik, Pocket masih kelihatan sama elegannya seperti sebelumnya. Yang diubah hanyalah lokasi tombol Start, Select, dan Home, yang sekarang ditempatkan di tengah ketimbang ujung kanan. Desain aksesori Dock-nya juga sedikit dimodifikasi supaya Pocket bisa berdiri dengan lebih stabil selama ditancapkan.

Beralih ke software, Pocket kini dilengkapi mode standby yang dapat diaktifkan hanya dengan mengklik tombol power-nya yang berwarna hijau muda. Selama perangkat dalam posisi standby, progres permainan otomatis akan disimpan, dan pengguna bisa langsung melanjutkannya sesaat setelah menekan tombol power kembali.

Fitur lain yang tak kalah menarik adalah Original Display Modes. Fitur ini memungkinkan Pocket untuk mengubah tampilan layarnya menjadi sama persis seperti Game Boy, Game Boy Color, dan Game Boy Advance orisinal. Cocok buat yang benar-benar ingin merasakan pengalaman bermain autentik dari puluhan tahun yang lalu.

Tampilan layarnya pun juga dapat dirotasikan sehingga Pocket bisa dipakai untuk bermain game yang memang mengadopsi format vertikal, yang cukup populer di era console Atari Lynx. Bukankah Pocket cuma bisa dipasangi cartridge milik Game Boy, Game Boy Color dan Game Boy Advance? Ya, secara default, tapi Analogue juga akan menawarkan aksesori berupa adaptor untuk cartridge Atari Lynx, Sega Game Gear, dan Neo Geo Pocket Color, masing-masing seharga $30.

Spesifikasi layarnya sendiri tidak disentuh, masih 3,5 inci dengan resolusi 1600 x 1440 pixel, dan Analogue tak lupa melapisinya dengan kaca Gorilla Glass setebal 1,5 mm (kurang lebih tiga kali lebih tebal ketimbang kaca yang sama di mayoritas smartphone. Detail lain yang sebelumnya tidak diungkap adalah, Pocket dibekali baterai berkapasitas 4.300 mAh yang diyakini sanggup bertahan selama 6 – 10 jam pemakaian.

Fitur menarik lainnya mencakup fitur multiplayer hingga empat orang menggunakan kabel yang dijual terpisah seharga $16. Nanoloop, yang pada dasarnya merupakan digital audio workstation (DAW) khusus musik chiptune, tetap tersedia secara cuma-cuma di Pocket seperti pada pengumuman awalnya, akan tetapi Analogue nantinya juga akan menjual kabel sync MIDI maupun analog untuk menyambungkan Pocket ke berbagai hardware di samping laptop dan PC.

Terakhir, dalam rangka semakin memperkaya konten buat Pocket, Analogue memutuskan untuk bermitra dengan GB Studio. GB Studio sederhananya merupakan software untuk membuat game secara sederhana menggunakan mekanisme drag-and-drop. Software ini tersedia di Windows, macOS, maupun Linux, dan nantinya semua hasil kreasi GB Studio bisa dikemas menjadi file berformat .pocket untuk dijalankan via microSD.

Meski harus menunda peluncuran Pocket, Analogue masih cukup percaya diri dan bakal membuka gerbang pre-order Pocket mulai 3 Agustus mendatang meski barangnya baru akan dikirim ke konsumen mulai bulan Mei 2021. Beruntung harganya tidak berubah dan masih $200.

Sumber: Engadget.

Analogue Pocket Adalah Reinkarnasi Game Boy Sekaligus Medium untuk Berkreasi

Tidak peduli seberapa cepat industri gaming berkembang, console lawas masih punya tempat di hati umat manusia. Fakta ini semakin diperkuat berkat adanya perusahaan seperti Analogue, yang selama lima tahun terakhir ini menunjukkan bahwa console lawas masih pantas dinikmati apabila dikemas dan disajikan secara proper.

NES, SNES, dan Sega Genesis sudah mereka garap reinkarnasi modernnya. Sekarang giliran handheld console legendaris yang menjadi incaran mereka, apalagi kalau bukan Nintendo Game Boy. Di tangan Analogue, handheld console berusia 30 tahun tersebut disulap menjadi perangkat berwajah sleek dan berspesifikasi modern. Namanya Analogue Pocket.

Analogue Pocket

Semodern apa memangnya? Baterainya rechargeable via USB-C, speaker-nya stereo, dan ia turut dilengkapi slot microSD. Masih kurang modern? Coba kita tengok layarnya. Tidak tanggung-tanggung, Analogue menyematkan panel LCD 3,5 inci dengan resolusi 1600 x 1440 pixel. Ya, sekitar 10x lipat lebih tajam ketimbang Game Boy orisinal, dengan tingkat kepadatan pixel yang mencapai angka 615 ppi.

Grafik gamegame lawas boleh pixelated, tapi itu bukan berarti mereka harus disuguhkan melalui display yang inferior, kira-kira seperti itu prinsip yang dipegang teguh oleh Analogue. Di bawah layarnya, kita bisa melihat tombol D-Pad dan empat tombol action yang tak berlabel.

Analogue Pocket

Mengapa tidak ada labelnya? Karena semua tombol yang terpasang di Analogue Pocket bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Lalu mengapa jumlahnya empat dan bukan dua? Karena Pocket bukan cuma bisa menerima kaset (cartridge) Game Boy orisinal saja, melainkan juga semua kaset Game Boy Color dan Game Boy Advance.

Lebih lanjut, Analogue bahkan berencana menawarkan aksesori opsional untuk Pocket berupa cartridge adapter, memperluas kompatibilitasnya lebih lagi hingga mencakup cartridge milik Sega Game Gear, Neo Geo Pocket Color, atau Atari Lynx.

Analogue Pocket

Aksesorinya bukan cuma itu saja. Seandainya pengguna ingin menikmati sesi gaming di layar besar, ada aksesori bernama Analogue Dock yang siap ditugaskan. Cara kerjanya mirip seperti dock milik Nintendo Switch; cukup sambungkan Pocket ke Dock, maka output layarnya akan langsung dikirim ke TV via HDMI, dan pengguna tinggal bermain menggunakan controller yang tersambung ke Dock secara wireless maupun via kabel USB.

Menariknya, Analogue juga merancang Pocket sebagai medium untuk berkreasi. Hal itu diwujudkan lewat sepasang chip FPGA (field-programmable gate array) yang tertanam pada Pocket. Chip yang pertama berfungsi untuk menjalankan game tanpa bantuan emulasi sama sekali, sedangkan chip yang kedua disiapkan untuk para developer yang berminat mengembangkan atau membuatkan porting suatu game.

Analogue Pocket

Kemudian yang tidak kalah menarik, Pocket juga dirancang untuk bisa berfungsi sebagai synthesizer, spesifiknya yang siap dipakai untuk berkreasi di genre chiptune. Bagi yang penasaran, Anda bisa menonton seri YouTube Originals dari MKBHD; di situ ada bagian yang memberikan gambaran bagaimana Game Boy bisa dipakai sebagai instrumen untuk bermusik.

Yang berbeda, kalau setup bermusik menggunakan Game Boy itu terkesan cukup kompleks, Pocket hanya perlu mengandalkan satu aplikasi bawaan bernama Nanoloop yang dibekali fitur sequencing. Interface-nya pun jelas lebih intuitif ketimbang milik Game Boy yang pada dasarnya tidak diciptakan untuk music production.

Sayang sekali kita yang berminat masih harus bersabar menunggu. Analogue Pocket baru akan dipasarkan mulai tahun depan dengan banderol $200. Kabar buruknya lagi, Analogue hanya akan memproduksinya dalam jumlah terbatas.

Sumber: Wired.

Nintendo Switch Diam-Diam Diperbarui, Kini Punya Daya Tahan Baterai yang Lebih Lama

Baru beberapa hari yang lalu, Nintendo mengumumkan Switch Lite, alternatif lebih terjangkau dari Switch standar, tapi yang hanya bisa dimainkan secara handheld. Sekarang, Nintendo diam-diam rupanya juga telah memperbarui Switch standar.

Mengapa harus diam-diam? Karena pembaruannya terbilang sangat minor. Berdasarkan revisi atas sertifikasi Switch yang diajukan Nintendo ke FCC, pembaruannya hanya meliputi komponen prosesor dan flash storage anyar saja, tanpa menyentuh aspek lain sama sekali.

Dampak dari penggantian kedua komponen itu adalah peningkatan di sektor efisiensi. Nintendo mengestimasikan Switch versi baru ini punya daya tahan baterai sekitar 4,5 – 9 jam, tergantung game apa yang dimainkan. Kalau memainkan Zelda: Breath of the Wild misalnya, pengguna bisa menikmati waktu bermain hingga 5,5 jam sebelum perangkat perlu di-charge.

Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan versi lamanya, yang hanya memiliki estimasi daya tahan baterai 2,5 – 6,5 jam. Bukan cuma itu, angka tersebut bahkan juga lebih baik ketimbang yang dicatatkan Switch Lite (3 – 7 jam).

Lalu bagaimana dengan performanya? Kemungkinan besar tidak ada perubahan, dan kalaupun ada, selisihnya pasti sangat kecil dan nyaris tidak terasa. Ini penting demi ‘keselamatan’ stok Switch yang masih ada sekarang, yang sejatinya cuma kalah soal waktu pemakaian dalam satu kali charge.

Terlepas dari itu, sebagian besar konsumen yang tertarik namun belum sempat membeli Nintendo Switch tentunya berharap bisa mendapatkan versi yang terbaru ini, yang memiliki nomor model HAC-001(-01). Kalau memang itu yang diincar, konsumen harus memastikan bahwa nomor seri perangkat diawali dengan “XKW” sebelum membelinya.

Di Jepang, Switch versi baru ini baru akan dipasarkan mulai akhir Agustus. Jadi seandainya Anda berniat membeli Switch namun menginginkan versi terbaru yang baterainya lebih tahan lama, sebaiknya jangan lakukan itu dulu sekarang.

Sumber: Eurogamer dan The Verge.

Nintendo Umumkan Switch Lite, Lebih Murah tapi Hanya Bisa Dimainkan Secara Handheld

Semenjak Sony menyetop produksi PlayStation Vita di awal Maret lalu, status penyedia handheld console modern dipegang secara eksklusif oleh Nintendo. Namun Nintendo rupanya masih belum puas. Mereka ingin Switch bisa merambah lebih banyak kalangan. Dari situ lahirlah Nintendo Switch Lite.

Sepintas Switch Lite terlihat mirip seperti Switch standar, akan tetapi ada perbedaan fundamental di antara keduanya: Switch Lite tidak bisa dijejalkan ke Switch Dock dan disambungkan ke TV. Pengguna Switch Lite murni hanya dapat menikmati permainan di layar perangkat itu sendiri.

Nintendo Switch Lite

Atas dasar itu, fisik Switch Lite juga sedikit diubah. Controller-nya menjadi satu dengan bodi perangkat, tidak seperti Switch standar yang bisa dilepas-pasang dengan mudah. Layar sentuhnya juga lebih kecil di angka 5,5 inci – Switch standar 6,2 inci – tapi untung resolusinya tetap sama di angka 1280 x 720 pixel.

Secara dimensi, Switch Lite juga lebih ringkas, dengan panjang 208 mm dan lebar 91,1 mm, tapi tebalnya sama persis di angka 13,9 mm. Juga berbeda jauh adalah bobotnya: Switch Lite berada di kisaran 275 gram, sedangkan Switch standar berkisar 398 gram dengan controller Joy-Con terpasang.

Komponen penting lain yang dipangkas dari Switch Lite mencakup HD Rumble (vibration) dan IR Motion Camera. Kickstand terintegrasi juga tidak tampak di punggung Switch Lite mengingat perangkat ini cuma bisa dimainkan selagi berada di genggaman tangan.

Nintendo Switch Lite

Terlepas dari itu, Nintendo memastikan Switch Lite kompatibel dengan seluruh game atau software milik Switch standar yang mendukung mode handheld. Game yang tidak mendukung mode ini masih bisa dimainkan, tapi dengan catatan pengguna menyambungkan wireless controller yang kompatibel ke Switch Lite (macam Joy-Con), dan ini bakal dijual secara terpisah oleh Nintendo.

Switch Lite juga sedikit lebih unggul perihal efisiensi baterai ketimbang Switch standar, dengan estimasi daya tahan hingga 3 – 7 jam pemakaian, sedangkan Switch standar cuma 2,5 – 6,5 jam. Salah satu alasannya mungkin adalah layar Switch Lite yang lebih kecil, namun selisihnya tidak terlalu jauh karena resolusinya sama persis.

Yang berbeda jauh adalah harganya: Nintendo Switch Lite dibanderol $200 saat dipasarkan mulai 20 September nanti, lebih murah $100 ketimbang harga perdana Switch standar. Buat konsumen yang tidak tertarik memainkan game selagi bersantai di depan TV, Switch Lite jelas merupakan pilihan yang lebih ideal ketimbang Switch standar.

Sumber: Eurogamer.

Playdate Adalah Handheld Console Unik dengan Tuas Putar Sebagai Salah Satu Input Kontrolnya

Posisikan Anda sebagai developer yang sudah menciptakan software demi software selama lebih dari 20 tahun. Di saat titik kebosanan sudah tercapai, apa yang bakal Anda lakukan? Terus mengerjakan hal yang sama, atau keluar dari zona nyaman dan menekuni bidang baru?

Buat Panic, jawabannya adalah yang kedua. Setelah puluhan tahun berkutat dengan software, Panic memutuskan untuk terjun ke bidang hardware, dan produk pertamanya benar-benar di luar kejutan: sebuah handheld console ala Game Boy bernama Playdate.

Ini sebenarnya bukan pertama kalinya Panic mencelupkan kaki ke ranah gaming. Di tahun 2016, mereka sempat mencuri perhatian dengan membantu menerbitkan salah satu game indie terfavorit banyak orang, Firewatch. Namun sebatas menjadi publisher rupanya kurang bisa memuaskan hasrat mereka sendiri untuk berinovasi. Itulah mengapa mereka beralih ke hardware.

Playdate

Melihat wujud Playdate, saya langsung teringat dengan Nintendo Game Boy. Bentuknya hampir mengotak sempurna, dengan panjang sisi 74 x 76 mm, dan ketebalan 9 mm. Separuh wajahnya dihuni oleh layar 2,7 inci beresolusi 400 x 240 pixel. Layarnya unik, hitam-putih tanpa backlight, akan tetapi grafik yang ditampilkan dijamin begitu tajam dan bersih, apalagi mengingat layarnya ini begitu reflektif.

Beralih ke kontrol, Anda bisa melihat tombol D-Pad empat arah dan tombol A B di sana. Namun Playdate masih menyimpan kejutan lain di sisi kanannya, yaitu sebuah tuas atau pedal yang dapat diputar. Bukan, tuas putar ini bukan untuk menyuplai daya perangkat, tapi benar-benar berguna sebagai salah satu input kontrol.

Tuas ini adalah ide cemerlang dari Teenage Engineering, produsen synth asal Swedia yang memang sangat piawai perihal desain produk. Panic cukup beruntung bisa mendapat mitra sekelas Teenage Engineering dalam mendesain Playdate.

Kegunaan tuas ini diilustrasikan lewat salah satu game Playdate yang berjudul Crankin’s Time Travel Adventure. Di game itu, baik tombol D-Pad maupun tombol B A sama sekali tidak berguna; pemain akan mengontrol jalannya waktu (maju atau mundur) secara eksklusif menggunakan tuas putarnya.

Kreator game ini juga bukan sosok yang sembarangan, melainkan Keita Takahashi, sang pencipta game Katamari Damacy. Pada kenyataannya, Panic telah mengajak sejumlah developer game indie ternama untuk menciptakan game eksklusif buat Playdate.

Playdate

Juga menarik adalah bagaimana Playdate bakal menyajikan koleksi game-nya. Bukan melalui online store tersendiri, melainkan lewat update yang datang setiap seminggu sekali secara cuma-cuma. Total ada 12 game yang sudah disiapkan untuk awal peluncuran Playdate, dan 12 game itu akan dikirim satu per satu ke konsumen setiap minggunya.

Ini berarti konsumen tidak akan tahu game baru apa yang menantinya setiap minggunya. Usai game-nya diunduh, konsumen bebas memainkannya kapan saja, yang berarti di minggu ke-12, sudah ada 12 game Playdate yang dapat dimainkan kapan saja. Ini semua tidak akan mungkin terwujud tanpa sistem operasi Playdate OS bikinan Panic sendiri.

Bicara soal update, berarti Playdate harus tersambung internet. Benar, Panic telah membekalinya dengan Wi-Fi, Bluetooth, USB-C maupun headphone jack. Wujudnya boleh retro, akan tetapi secara keseluruhan Playdate tetap merupakan handheld console modern.

Saya pribadi sangat tertarik dengan Playdate, dan salah satu alasan utamanya adalah kontrol menggunakan tuas putar itu tadi. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Panic bakal memasarkan Playdate mulai awal 2020. Harganya cukup terjangkau: $149, sudah termasuk 12 game yang akan dirilis setiap minggunya itu. Sayang sekali Panic masih belum bisa memastikan negara mana saja yang bakal kebagian jatah Playdate.

Sumber: Panic via The Verge.

PocketSprite Adalah Game Boy Seukuran Gantungan Kunci

Tidak setiap hari Anda menjumpai gadget seunik ini: Game Boy, tapi seukuran gantungan kunci. Begitu mungilnya perangkat ini, apa yang ditampilkan layarnya sepintas kelihatan mikroskopis. Kendati demikian, perangkat bernama PocketSprite ini bukanlah sebatas dummy, melainkan sebuah handheld (finger-held?) console yang fungsional.

Pada mulanya, PocketSprite hanya merupakan proyek DIY dari seorang hardware enthusiast dengan nickname Sprite_tm. Dari situ penciptanya bertemu dengan seseorang yang memiliki koneksi dengan pabrik perakitan, dan keduanya memutuskan untuk bekerja sama guna merealisasikan PocketSprite.

PocketSprite

Secara fisik, PocketSprite tampak seperti versi stealthy Game Boy orisinil, dengan material plastik ABS sebagai kerangkanya. Layout tombolnya sengaja dibuat sama, kemudian sebuah speaker di ujung kanan bawah bertugas ‘mencuci otak’ Anda dengan kemerduan melodi-melodi 8-bit yang penuh nilai nostalgia. Tanpa harus terkejut, ia turut dilengkapi sebuah pengait untuk Anda gantungkan ke kunci.

PocketSprite mengemas layar berukuran 25 x 22 mm. Resolusinya memang cuma 80 x 64 pixel (bahkan lebih rendah ketimbang layar Game Boy orisinil), akan tetapi panel yang digunakan adalah panel OLED, dan apapun yang tampil di layarnya dipastikan dapat bergerak secara mulus dalam kecepatan 60 fps.

Rahasianya terletak pada penggunaan chipset ESP32 dengan prosesor dual-core 240 MHz dan RAM 520 KB. Kombinasi ini jauh lebih perkasa ketimbang perangkat serupa yang berbasis Arduino, dan di saat yang sama jauh melampau kapabilitas Game Boy orisinil, yang hanya memiliki prosesor 4,19 MHz dan RAM 16 KB.

PocketSprite

Juga menarik adalah integrasi dua emulator pada PocketSprite, yaitu GNUBoy dan SMS Plus. Ini berarti PocketSprite siap memainkan koleksi game milik Game Boy, Game Boy Color, Sega Master System dan Sega Game Gear sekaligus. Lebih lanjut, PocketSprite juga open-source, sehingga mereka yang paham coding bebas mengutak-atiknya sesuka hati.

Namun jangan keburu cemas, Anda sama sekali tidak memerlukan skill programming untuk memasukkan game ke dalam PocketSprite. Perangkat dapat menciptakan jaringan Wi-Fi lokalnya sendiri, lalu Anda tinggal menyambungkan komputer dan mengunggah file game lewat browser.

PocketSprite

Kalau semua itu belum cukup meyakinkan Anda akan superioritas PocketSprite dibanding Game Boy orisinil, coba yang terakhir ini: PocketSprite mengemas baterai yang dapat di-charge via micro USB. Dengan Game Boy orisinil, Anda harus selalu sedia stok baterai AA ketika bepergian.

Saat ini pengembang PocketSprite sedang dalam proses mengumpulkan dana di situs crowdfunding CrowdSupply. Anda yang tertarik bisa memesannya seharga $55 saja, tanpa dipungut biaya pengiriman internasional tambahan.

Sumber: PocketSprite dan The Verge.