Terima Pendanaan Debt Baru, HappyFresh Kembali Beroperasi di Indonesia

Startup online grocery HappyFresh kembali beroperasi di Indonesia setelah menerima dana segar berbentuk debt dari Genesis, Innoven, dan Mars. Nominal dana yang diterima dirahasiakan perusahaan.

Sebelumnya, pada awal bulan ini perusahaan memutuskan sementara berhenti beroperasi dalam rangka restrukturisasi bisnis karena gagal bayar kewjiban, dengan menunjuk firma global Alvarez & Marsal.

Dalam pernyataan, perusahaan kembali memulai operasinya di pasar Indonesia setelah tinjauan strategis. “Kami akan bekerja sama dengan dana debt dari Genesis, Innoven, dan Mars dalam restrukturisasi bisnis,” ucap manajamen seperti dikutip dari Bloomberg.

Berkaitan dengan itu, perusahaan juga mengumumkan operasionalnya kembali melalui unggahan di Instagram kemarin (21/2). Disampaikan Happy Fresh telah kembali dan siap melayani kebutuhan belanja di supermarket favorit konsumen.

Sebagai bagian dari perombakan, perwakilan dari perusahaan AS Kroll, Jason Kardachi, akan menggantikan tiga mantan direktur di dewannya, termasuk Lee Jung An, Kai-Kevin Gotthard Kux, dan David Keller. Kardachi akan memimpin praktik restrukturisasi Kroll di Asia Tenggara, akan bekerja sama dengan HappyFresh dalam perbaikannya.

Guillem Segarra (CEO) dan Frederic Verin (CFO), dan Christoph Krauss (COO) telah diangkat kembali setelah mundur dari tugas sehari-hari mereka. Manajemen juga menyampaikan saat ini akan fokus di Indonesia sambil mempertimbangkan opsi untuk bisnisnya di Thailand dan Malaysia.

Sejak tahun ini, HappyFresh yang berbasis di Jakarta, berjuang untuk meningkatkan modal setelah penurunan tajam di sektor online grocery. Pada Agustus kemarin, perusahaan menunggak gaji sejumlah karyawan dan PHK karyawan kontraknya dengan alasan isu keuangan.

Untuk menyelamatkan bisnis, perusahaan mempekerjakan Alvarez & Marsal Holdings LLC untuk meninjau situasi keuangannya.

“Kami telah melalui banyak hal. Selama beberapa minggu terakhir ketika kami menghentikan operasi, kami melihat banyak komentar dari pelanggan di berbagai platform media sosial yang menyatakan ketergantungan mereka pada penawaran layanan kami sambil meminta layanan untuk dilanjutkan sesegera mungkin,” kata Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini dalam sebuah pernyataan.

Menata ulang konsep online grocery

Model bisnis HappyFresh menjadi perantara antara konsumen dan modern trade seperti supermarket. Di tengah tingginya permintaan, tahun lalu mereka juga memperkenalkan “HappyFresh Supermarket”, tujuannya untuk memperluas akses terhadap produk kebutuhan harian dengan meningkatkan kehadiran toko virtual.

Langkah ini turut dijadikan sebagai salah satu strategi HappyFresh untuk mempererat kolaborasinya dengan jaringan supermarket nasional dan regional yang sejauh ini telah membantu menyediakan ragam produk.

“Dalam hanya beberapa bulan setelah peluncuran, kami melihat ketertarikan pelanggan yang luar biasa, melalui pertumbuhan pengguna sebesar 300% setiap bulannya,” ujar Co-founder & CEO HappyFresh Guillem Segarra.

Namun demikian jika melihat data, sebenarnya kanal penjualan produk grocery terbesar di Indonesia masih berada di ritel tradisional. Kendati toko modern juga terus memperluas cakupan wilayahnya.

Modern vs Traditional Trade in Indonesia / L.E.K Consulting

Sementara itu laporan e-Conomy SEA 2021 mengatakan bahwa di tengah penetrasi e-commerce di Asia Tenggara, digitalisasi sektor grocery baru mencapai 2% saja. Jelas ini menjadi PR besar bagi ekosistem industri terkait untuk bisa meningkatkan cakupan pasarnya — termasuk melalui peningkatan infrastruktur supply chain, edukasi pasar, dan ekspansi bisnis di skala nasional.

Dari survei yang dilakukan Katadata terhadap 2022 responden, menyatakan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mayoritas masih mengandalkan pembelian secara langsung di ritel terdekat, baik itu supermarket, pasar tradisional, warung kelontong, ataupun swalayan. Platform e-commerce mendapati peringkat terbawah.

Sumber: Katadata

Di titik ini mulai bisa ditarik kesimpulan, bahwa kebiasaan yang terbentuk selama pandemi ternyata tidak sepenuhnya bertahan pasca-pandemi. Khususnya dalam hal belanja, pengalaman datang ke toko tetap menjadi pilihan favorit — kendati ada beberapa aspek yang bisa diefisienkan dengan belanja online.

Pemain online grocery perlu menata ulang model bisnisnya, memberikan pengalaman pengguna yang lebih relevan dengan kondisi yang ada saat ini. Termasuk menata ulang kategori produk yang ada di rak belanja, sehingga menjadi relevan untuk dipenuhi secara online — di saat kecepatan saja belum sepenuhnya menjadi proposisi nilai yang membuat semua orang tertarik turut andil menjadi bagian dari basis konsumen.

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Racik Ulang Strategi Bisnis

HappyFresh dikabarkan tengah melakukan restrukturisasi bisnis guna menyusun strategi bisnis berkelanjutan. Seperti diberitakan Bloomberg, perusahaan merekrut firma konsultan Alvarez & Marsal untuk melakukan peninjauan terhadap kondisi finansialnya [Manas Tamotia menjabat sebagai Managing Director Alvarez & Marsal untuk; sebelumnya ia adalah CSO di HappyFresh hingga Juli 2022].

Di sisi lain, HappyFresh juga tengah berjuang untuk menghimpun pendanaan tahap selanjutnya. Sumber lain dari DealStreetAsia mengatakan, penggalangan dana tersebut akan difokuskan untuk melunasi kewajiban pembayaran kepada para mitranya — termasuk pemilik supermarket, mitra logistik, dan lainnya.

Bersamaan dengan ini, sumber mengatakan bahwa sejumlah pegawai HappyFresh mengalami PHK – kendati tidak disebutkan jumlah persentasenya. Bahkan beberapa eksekutif senior tengah berhenti untuk menangani pekerjaan hariannya [beberapa mengundurkan diri] sembari menunggu kejelasan tentang nasib perusahaan berikutnya. Operasional layanan di sejumlah wilayah di Jakarta juga dikabarkan terhenti — pelanggan tidak bisa memesan slot waktu pengiriman dan melakukan pembayaran via aplikasi.

Jelas ini mengindikasikan bahwa startup online grocery tersebut sedang tidak baik-baik saja. Sayangnya ini tidak hanya menimpa HappyFresh, di kancah regional sejumlah startup sejenis tengah meracik ulang strategi mereka untuk menjadi bisnis berkelanjutan. Startup food delivery & grocery Foodpanda salah satunya, mereka melakukan layoff ke sejumlah besar karyawan untuk menyesuaikan rencana induknya, Delivery Hero, untuk mencapai  EBITDA positif dengan mereduksi biaya operasional.

Foodpanda sempat hadir di Indonesia, lalu pada tahun 2016 memutuskan untuk menutup layanannya di wilayah ini.

Primadona saat pandemi

Dalam sebuah temu media di tahun 2021, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini mengataka bahwa perubahan perilaku pelanggan selama pandemi telah berdampak pada pertumbuhan bisnis mereka secara menyeluruh 10-20x lipat.

Demi menunjang akselerasi bisnis, Juli 2021 HappyFresh mengumumkan perolehan pendanaan seri D senilai $65 juta  oleh Naver Financial Corporation dan Gafina B.V., sebelumnya mereka telah mengumpulkan pendanaan $20 juta. Investasi tersebut sempat melambungkan valuasi perusahaan di angka $200 juta.

Di vertikal ini juga terdapat sejumlah kompetitor langsung, startup online grocery yang fokus ke model B2C. Di antaranya HappyFresh, Sayurbox, KedaiSayur, PasarNow, Titipku, AlloFresh, Astro, Bananas, dan lainnya. Konsep quick commerce juga mulai populer, menjanjikan proses pengiriman dalam hitungan menit.

Ketika disinggung apakah HappyFresh akan beradaptasi dengan model quick commerce, Filippo mengatakan, “Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen online grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja.”

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh meyakini bahwa model yang diusung adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan online grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peritel tradisional seperti Indomaret juga telah bertransisi dengan strategi O2O. Memanfaatkan jaringannya yang sangat luas, kini masyarakat juga diberikan kemudahan untuk melakukan pemesanan dan pembayaran melalui aplikasi.

Menata ulang konsep online grocery

Model bisnis HappyFresh menjadi perantara antara konsumen dan modern trade seperti supermarket. Di tengah tingginya permintaan, tahun lalu mereka juga memperkenalkan “HappyFresh Supermarket“, tujuannya untuk memperluas akses terhadap produk kebutuhan harian dengan meningkatkan kehadiran toko virtual.

Langkah ini turut dijadikan sebagai salah satu strategi HappyFresh untuk mempererat kolaborasinya dengan jaringan supermarket nasional dan regional yang sejauh ini telah membantu menyediakan ragam produk.

“Dalam hanya beberapa bulan setelah peluncuran, kami melihat ketertarikan pelanggan yang luar biasa, melalui pertumbuhan pengguna sebesar 300% setiap bulannya,” ujar Co-founder & CEO HappyFresh Guillem Segarra.

Namun demikian jika melihat data, sebenarnya kanal penjualan produk grocery terbesar di Indonesia masih berada di ritel tradisional. Kendati toko modern juga terus memperluas cakupan wilayahnya.

Modern vs Traditional Trade in Indonesia / L.E.K Consulting
Modern vs Traditional Trade in Indonesia / L.E.K Consulting

Sementara itu laporan e-Conomy SEA 2021 mengatakan bahwa di tengah penetrasi e-commerce di Asia Tenggara, digitalisasi sektor grocery baru mencapai 2% saja. Jelas ini menjadi PR besar bagi ekosistem industri terkait untuk bisa meningkatkan cakupan pasarnya — termasuk melalui peningkatan infrastruktur supply chain, edukasi pasar, dan ekspansi bisnis di skala nasional.

Penetrasi grocery commerce di Asia Tenggara / e-Conomy SEA 2021
Penetrasi grocery commerce di Asia Tenggara / e-Conomy SEA 2021

Pandemi Covid-19 relatif bisa dikendalikan, seiring vaksinasi yang sudah merata di seantero nusantara. Hal ini berdampak pada pulihnya aktivitas offline, termasuk di sektor ritel. Pusat perbelanjaan mulai ramai, bebarengan dengan aturan bepergian yang sudah semakin longgar.

Dari survei yang dilakukan Katadata terhadap 2022 responden, menyatakan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mayoritas masih mengandalkan pembelian secara langsung di ritel terdekat, baik itu supermarket, pasar tradisional, warung kelontong, ataupun swalayan. Platform e-commerce mendapati peringkat terbawah.

Survei pemenuhan kebutuhan sehari-hari / Katadata
Survei pemenuhan kebutuhan sehari-hari / Katadata

Di titik ini mulai bisa ditarik kesimpulan, bahwa kebiasaan yang terbentuk selama pandemi ternyata tidak sepenuhnya bertahan pasca-pandemi. Khususnya dalam hal belanja, pengalaman datang ke toko tetap menjadi pilihan favorit — kendati ada beberapa aspek yang bisa diefisienkan dengan belanja online.

Pemain online grocery perlu menata ulang model bisnisnya, memberikan pengalaman pengguna yang lebih relevan dengan kondisi yang ada saat ini. Termasuk menata ulang kategori produk yang ada di rak belanja, sehingga menjadi relevan untuk dipenuhi secara online — di saat kecepatan saja belum sepenuhnya menjadi proposisi nilai yang membuat semua orang tertarik turut andil menjadi bagian dari basis konsumen.

Application Information Will Show Up Here

Bisnis “Quick Commerce” Global Terguncang, Bagaimana Nasib Pemain Lokal?

Kabar kurang sedap datang dari startup quick commerce di berbagai negara. Pengurangan staf secara masif, penutupan dark store (infrastruktur pemenuhan dan distribusi), penghentian bisnis di wilayah tertentu, sampai dengan berhentinya startup terkait menjadi sorotan banyak media. Startup terdampak termasuk mereka yang telah memiliki nama besar, sebut saja Gopuff, Zapp, Yango Deli, Gorillas, Geitr, Deliveroo, dan beberapa lainnya.

Di Indonesia sendiri, era quick commerce justru baru saja dimulai. Semua pemain yang ada baru memasuki tahun pertamanya. Kendati demikian, dari sisi industri sambutannya luar biasa. Lihat saja, Astro yang baru berdiri September 2021 lalu baru-baru ini membukukan pendanaan seri B, membuat dana ekuitas yang dikumpulkan perusahaan telah mencapai $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah.

Pelaku industri lokal masih optimis

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li untuk membicarakan hipotesisnya dalam berinvestasi ke startup quick commerce. Di Indonesia, AC Ventures adalah pendukung awal dan utama Astro.

Mereka mengidentifikasi model quick commerce ini sebagai gelombang disrupsi lanjutan dari industri ritel konsumen di Indonesia, khususnya di kota-kota tier-1 dengan populasi kepadatan tinggi.

Mengawali perbincangan, Adrian mengulas kembali tentang industri. Sebelumnya layanan e-commerce horizontal seperti Shopee, Tokopedia, hingga Blibli berhasil merajalela. Lalu, kemunculan model hybrid omnichannel seperti perusahaan ride-hailing yang bekerja sama dengan pengecer offline untuk menawarkan model Instacart/Flipkart, mengaktifkan saluran penjualan offline dan online.

Pada akhirnya kemunculan quick commerce sebagai gelombang terbaru telah diadopsi dengan cepat oleh konsumen yang turut diakselerasi oleh pandemi Covid-19.

“Dibandingkan dengan model ritel yang ada, konsep quick commerce menunjukkan peningkatan dari segi hasil penjualan serta pemanfaatan aset juga efisiensi biaya yang signifikan. Toko grosir memiliki keunggulan dalam hal pemanfaatan ruang dan pemenuhan pengiriman di sisi produktivitas penjualan. Dengan fokus pada layanan pengiriman, quick commerce juga memperluas cakupan area ke pelanggan dalam jarak 2-3 km yang kemudian berkontribusi pada peningkatan kinerja penjualan aset tetap bersama dengan produktivitas kurir,” jelas Adrian.

Dari faktor penjualan dan penghematan biaya di atas, pihaknya sangat yakin bahwa quick commerce akan menjadi game-changer dalam bisnis ritel konsumen di Indonesia.

Pandemi jadi momentum pertumbuhan quick commerce

Salah satu narasumber kami dari kalangan investor mengatakan, firmanya tidak begitu tertarik untuk ikut andil ke dalam hingar-bingar quick commerce, karena menurutnya ini adalah model bisnis yang relevan saat adanya pembatasan ketat beberapa waktu lalu.

Saat pandemi dimulai pertengahan 2020, pembatasan ketat dilakukan di mana-mana. Masyarakat mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan online marketplace dan e-grocery yang sebelumnya ada pun ramai diserbu pembeli.

Misalnya Sayurbox, menurut data internal mereka, sepanjang H2 2021 nilai perdagangan atau GMV produk premium meningkat sampai 53%. Pemain lain, Happyfresh sepanjang tahun 2020 juga mengalami peningkatan trafik transaksi sampai 10-20x lipat.

Melihat kesuksesan pemain legacy, quick commerce berusaha hadir menawarkan solusi yang lebih andal. 10-15 menit, ini adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan para quick commerce untuk memproses dan mengantarkan pesanan kebutuhan pokok yang dipesan lewat aplikasinya. Kategori produknya pun cukup lengkap, mulai dari sayur-mayur, kebutuhan pokok (minyak, gula, dll), makanan ringan, bahkan sampai dengan daging.

Tentu di tengah pembatasan aktivitas yang digalakkan masyarakat, kecepatan dan pemenuhan ini menjadi penting, karena barang-barang tersebut terkadang dibutuhkan secara mendesak di waktu tertentu. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Covid-19 bisa dikatakan telah terkendali — di tengah vaksinasi yang semakin meluas, 97% untuk dosis pertama. Masyarakat pun mulai merasa bebas untuk beraktivitas di luar.

Kebiasaan dan tren baru masyarakat yang sempat terbentuk ketika pandemi lambat-laun mulai berubah, kembali ke masa sebelum pandemi. Salah satunya dikatakan oleh Nur, seorang rekan yang tinggal di Jabodetabek. Layanan e-grocery sangat ia andalkan ketika PPKM ditegakkan pemerintah. Namun sekarang ia memilih kembali datang ke supermarket, “Mencium langsung aroma bahan makanan dan pengalaman jalan-jalan berbelanja itu yang selama ini hilang. Dan kami senang bisa melakukannya kembali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Managing Partner Gayo Capital Edward Chamdani. Ia melihat bahwa pertumbuhan di sektor quick commerce  sangat tergantung dari perubahan kebiasaan para pelanggan.

“Saat ini layanannya sendiri masih menyasar kota-kota tier-1, jika mereka bisa terus rutin menggunakan layanan ini dan model bisnisnya terbukti ‘sticky’ maka sektor ini akan terus bertumbuh.” ujarnya.

Analisis persaingan horizontal

Selain tidak bisa menawarkan pengalaman yang dibawakan ritel tradisional (dan modern) — untuk beberapa orang pengalaman ini lebih dari sekadar kecepatan berbelanja—platform quick commerce sebenarnya juga bersaing dengan beberapa pemain sekaligus. Sebut saja dengan minimarket yang saat ini bisa dijumpai di berbagai titik strategis (plus dilengkapi aplikasi pesan-antar), toko kelontong, tukang sayur keliling, sampai layanan digital yang sudah ada sebelumnya.

Peta persaingan penyedia produk kebutuhan harian / DailySocial.id

Produk FMCG dan makanan segar memang menjadi komoditas yang dikonsumsi semua kalangan, di manapun mereka berada. Sementara yang hendak digarap oleh quick commerce adalah konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan bisnis ini, terutama mereka yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

Mereka belum menyasar segmen lain yang biasa berbelanja produk terkait, contohnya ke orang-orang yang mengandalkan asisten rumah tangga. Pun demikian penetrasi di luar metro, masih belum dilakukan. Ada satu pemain yang bermain di tier-2, yakni Radius, namun dari informasi sumber yang kami dapat, penetrasi layanannya belum mendapatkan traksi yang berarti membuat mereka masih bermanuver dalam “stealh mode”.

Hal ini juga sebenarnya menjadi antisipasi yang dilakukan startup e-grocery Titipku. Sebelumnya mereka fokus memulai bisnis dari daerah Yogyakarta, namun karena untuk mengejar pertumbuhan mereka menutup layanan yang di daerah, lalu fokus ke Jabodetabek.

Venture Capitalist Eddi Danusaputro berpendapat, sebenarnya infrastruktur e-grocery modern justru dibutuhkan di kota lapis dua.

“Menurut saya, bisnisnya [quick commerce] akan feasible tapi harus diubah sedikit. Kalau di tier 1, mungkin supply dan demand-nya sudah kuat. Hal ini belum tentu berlaku di tier 2 dan tier 3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah path to profitability, dari masing-masing tier berbeda tapi harus tetap ada. Ini akan menentukan waktu yang tepat untuk ekspansi.”

Secara global, menurut laporan Research and Market, ukuran pasar untuk quick commerce ini telah mencapai $25 miliar di tahun 2020 dan akan bertumbuh sampai dengan $72 miliar di tahun 2025. Di sisi lain, berdasarkan laporan Euromonitor, ukuran pasar yang mencakup sembako, toko serba ada, supermarket, dan pasar induk di Indonesia dilaporkan mencapai $97 miliar pada tahun 2020. Di sisi lain,  kota tingkat 1 mewakili setidaknya seperempat pasar.

Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra mengklaim, ruang pertumbuhan layanan quick commerce di kota besar masih sangat luas. Terlebih penetrasi e-grocery dinilainya baru sekitar 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Artinya, ini menjadi sebuah momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

Optimisme senada disampaikan Co-Founder & CEO Bananas Mario Gaw. Ia mengatakan, “Layanan quick commerce masih terbilang baru di Indonesia. Namun, kami melihat adanya peluang sangat besar pada groceries market ini terutama mengingat besarnya populasi masyarakat Indonesia dan besarnya pasar untuk barang kebutuhan sehari-hari yang belum tergarap. Sejak awal berdiri, kami ingin menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi konsumen kami dan terus melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka”

Arah perkembangan quick commerce di Indonesia

Tidak hanya Astro, kini pasar quick commerce turut diramaikan sejumlah pemain lainnya, termasuk Bananas, AlloFresh (bentukan Bukalapak dan CT Corp), hingga Radius yang fokus di pasar luar Jakarta. Sementara pemain legasi juga mulai mendirikan unit yang sama, seperti Sayurbox lewat SayurKilat, Tokopedia dengan Tokopedia Now, sampai Grab via GrabMart Kilat.

Startup Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Investor
Astro Seri B $90 juta Accel, Tiger Global AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, Sequoia Capital India, dll.
AlloFresh Corporate Joint Venture $70 juta PT Trans Retail Indonesia (bagian dari CT Corp), Bukalapak, dan Growtheum Capital Partners
Bananas Pendanaan Awal ~$1,5 juta East Ventures, SMDV, Arise, Y Combinator, dll.
Radius Pra-Awal ~500 ribu Y Combinator

Mengambil salah satu studi kasus bisnis quick commerce di Indonesia dalam mengoperasikan layanannya. Untuk menghadirkan proses pengiriman cepat, Bananas mengandalkan hub mikro berbasis teknologi (dark stores) dalam menjalankan bisnisnya. Dark stores ditempatkan di berbagai lokasi strategis mendekati area pemukiman yang memungkinkan mitra pengemudi untuk mengantarkan produk pesanan kepada pelanggan secara instan.

Selain itu, mereka juga berkolaborasi langsung dengan berbagai brand principal untuk menghadirkan berbagai pilihan produk. Fokus terhadap penggunaan data menjadi salah satu kekuatan yang dihadirkan penyedia quick commerce untuk menghadirkan value untuk mitra penyedia produknya tersebut. Data ini penting untuk mempelajari perilaku serta kebutuhan konsumen demi menjaga akurasi level stok produk.

Kondisi tersebut membuat pada startup quick commerce membutuhkan modal tidak sedikit untuk debut dan mengakselerasi bisnisnya. Seperti yang disampaikan Bananas, bahwa pendanaan awal yang didapat akan difokuskan untuk mendorong perkembangan bisnis dan membangun lebih banyak dark stores yang akan menyediakan berbagai macam pilihan produk.

Disrupsi ritel FMCG

Cerita menarik lainnya datang dari Astro. Disampaikan hingga Mei 2022, pertumbuhan yang dicatatkan perusahaan telah mencapai 10x lipat dengan efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Mereka telah mengoperasikan dark stores di 50 titik di Jabodetabek dengan 1.500 SKU produk, mempekerjakan lebih dari 200 staf.

Melalui aplikasinya, selain menyuguhkan UI/UX yang sangat sederhana, Astro juga berusaha memberikan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi. Bahkan jika ada item yang tidak sesuai pesanan, fitur pelaporan di aplikasi juga disediakan untuk melakukan penggantian produk dalam waktu maksimal 15 menit.

Hal lain yang juga menarik adalah, kini Astro mulai mengembangkan produk private label. Mereka memulai dengan produk minuman dan makanan siap santap, di antaranya aneka kopi dan roti. Ini menarik, karena ritel modern juga melakukan hal serupa untuk pemenuhan barang konsumsi sekali pakai — contohnya Indomaret juga memproduksi air mineral sampai tisu dengan brand milik mereka sendiri. Diyakini juga bahwa strategi ini dapat menghadirkan unit ekonomi yang signifikan.

Produk makanan dan minuman yang diproduksi in-house dengan brand Astro / Astro

Pengalaman akan kecepatan yang ditawarkan oleh quick commerce jelas menjadi proposisi nilai tersendiri. Selain itu, dengan perputaran produk yang cepat dan akuisisi kanal pembelian masyarakat memungkinkan bisnis ini mendapatkan keuntungan potensial dari setiap penjualannya. Faktanya, di kancah global selama pandemi quick commerce mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 50%.

Tantangan bagi pelaku quick commerce di Indonesia adalah menyeimbangkan pertumbuhan dan cash burn dalam proses merumuskan resep yang tepat untuk skalabilitas. Oleh karena itu, model bisnis memerlukan perhatian yang mendetail pada sisi logistik operasi dan pengadaan, pembangunan merek, dan kontrol kualitas.

Tanggapan pelaku e-grocery

Dalam sebuah kesempatan temu media, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini memberikan komentar terkait quick commerce yang mulai menjadi tren pasar dan terkesan segera menggantikan peran platform e-grocery.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen e-grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja,” ujarnya.

Sebagai antisipasi, HappyFresh mengembangkan layanan Supermarket Online agar bisa menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark stores quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan e-grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peluang ekspansi di luar kota metro

Sementara pasar e-grocery Indonesia bertumbuh pesat disokong oleh pandemi, potensi ini belum tergarap sepenuhnya mengingat masih banyak area di luar kota metropolitan yang masih belum merasakan dampak dari kemudahan dan kecepatan pengiriman yang ditawarkan layanan quick commerce.

Dalam upaya penetrasinya sendiri, tantangan hadir dari berbagai sisi, di mana timbul kelangkaan penyedia online, lalu melambungkan biaya layanan serta proses pengiriman yang memakan waktu berhari-hari. Pada akhirnya, keterbatasan ini memaksa pelanggan untuk memilih yang “lebih efisien”, yaitu supermarket offline.

Tentunya tidak mudah menggambarkan potensi yang dimiliki ketika solusi ini bahkan belum menjangkau bagian masyarakat yang lebih besar. Prediksi pertumbuhan layanan quick commerce saat ini masih sangat bergantung pada inklusivitas dari perkembangan digitalisasi yang terjadi di Indonesia.

Meskipun begitu, digitalisasi ritel tradisional di Indonesia tetap berlangsung. Pasar grosir di Indonesia disebut telah bertumbuh hingga $207 miliar. Sekitar 70% dari total tersebut datang dari area pedesaan. Fakta ini menciptakan optimisme di sektor ini untuk bisa berkembang bahkan 5x lipat dalam lima tahun ke depan.

Sementara kota tingkat 1 akan menjadi ranah pertumbuhan layanan quick commerce, Adrian mengungkapkan proyeksinya terkait ekspansi layanan ini, “Kami percaya bahwa distribusi berbasis agen atau B2B2C model akan menjadi solusi yang tepat untuk kota tingkat 2-3 karena mereka menjembatani kesenjangan antara kesiapan teknologi dan biaya logistik jarak jauh yang akan diperjuangkan oleh perdagangan cepat menguntungkan khususnya di daerah yang kurang padat.”

Masa depan layanan quick commerce ini sendiri terkait erat dengan demokratisasi pertumbuhan ekonomi yang telah dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin meningkat oleh pergerakan modal politik negara. Tidak hanya redistribusi ekonomi namun penetrasi layanan ini ke area pedesaan juga bisa menciptakan redistribusi talenta, dengan lebih banyak pekerja kerah biru dan talenta teknologi tidak lagi harus mencari peluang kerja berkualitas di kota-kota tingkat 1.

Kristin Siagian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

HappyFresh Hadirkan Inovasi Produk; Tanggapi Tren “Quick Commerce”

Layanan online grocery tampak mendapatkan penerimaan kalangan pengguna yang semakin luas. Hal tersebut ditangkap baik oleh HappyFresh sebagai salah satu platform yang menyediakan layanan terkait. Baru-baru ini, mereka meresmikan inovasi terbaru berjuluk “HappyFresh Supermarket”, untuk memperluas akses terhadap produk kebutuhan harian dengan meningkatkan kehadiran toko virtual.

Langkah ini turut dijadikan sebagai salah satu strategi HappyFresh untuk mempererat kolaborasinya dengan jaringan supermarket nasional dan regional yang sejauh ini telah membantu menyediakan ragam produk. Saat ini HappyFresh Supermarket sudah diluncurkan di kota-kota besar di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Di dalamnya menyediakan lebih dari 15.000 SKU yang terdiri dari produk segar, kering, dan beku yang disimpan dalam tiga zona suhu yang dipantau secara ketat.

“Dalam hanya beberapa bulan setelah peluncuran, kami melihat ketertarikan pelanggan yang luar biasa, melalui pertumbuhan pengguna sebesar 300% setiap bulannya. Untuk memenuhi permintaan ini, kami mendirikan lebih banyak fasilitas untuk meningkatkan area jangkauan kami dan menyediakan aksesibilitas yang jauh lebih besar. Produk kebutuhan harian ada dalam DNA kami,” ujar Co-founder & CEO HappyFresh Guillem Segarra.

Kepada DailySocial.id, ia juga menyampaikan saat ini platformnya telah melayani total pesanan dalam skala jutaan per tahun. Mereka juga telah bermitra dengan hampir banyak supermarket besar di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sampai saat ini perusahaan juga telah memiliki lebih dari 50 mitra jaringan supermarket dan ratusan toko khusus.

“Kami telah meluncurkan 15 fasilitas HappyFresh Supermarket di tiga negara. Di Indonesia, kami sudah menjangkau sebagian besar area Jabodetabek, dan beberapa dark store (toko virtual) lainnya akan segera siap,” imbuhnya.

Tanggapan tentang tren quick commerce

Filippo Candrini (Managing Director Happy Fresh) & Fajar Budiprasetyo (Co-Founder & CTO Happy Fresh) dalam sesi wawancara dan temu media

Seperti diketahui, fokus dari layanan quick commerce yang baru-baru ini banyak bermunculan juga pada pemenuhan grocery. Bedanya, mereka menjanjikan pengiriman instan dalam hitungan 10-15 menit — dua pemain lokal yang baru-baru ini mendapatkan sorotan adalah Bananas dan Astro. Sementara di negara lain sebenarnya model quick commerce juga sudah mulai populer, seperti Gorillas di Eropa dan Zepto di India.

Menanggapi hal ini Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini mengatakan, “Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen online grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja.”

Hal tersebut juga yang menjadikan alasan utama mereka membangun HappyFresh Supermarket sebagai online grocery. Melalui pemanfaatan teknologi dan fasilitas yang tersedia, HappyFresh dapat menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark store quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan online grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Pisah kongsi dengan Grab

Kabar lainnya yang disampaikan dalam sesi wawancara adalah layanan GrabFresh yang sudah dihentikan sejak awal 2021. Hal ini disampaikan oleh Co-Founder & CTO HappyFresh Fajar Budiprasetyo, menurutnya layanan tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diteruskan — dengan artian saat ini pihaknya sudah mantap untuk memperluas layanannya secara standalone. Pun untuk inovasi produk, difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas layanan HappyFresh, baik di mobile dan website.

Terlepas dari kabar tersebut, HappyFresh juga memiliki keyakinan bahwa sektor online grocery di Indonesia masih berada pada tahap pertumbuhan, masih banyak hal yang bisa dieksplorasi. Di platformnya, mereka melihat banyak pengguna yang tumbuh menjadi pelanggan grosir online secara berulang, dengan frekuensi pembelian bulanan dan total pengeluaran yang semakin meningkat. Hal ini merupakan sebuah pertanda bahwa mereka lebih banyak membeli kebutuhan bahan makanan secara online.

“Di HappyFresh kami juga berkomitmen pada keberlanjutan, yang merupakan inti komitmen kami – tidak hanya untuk masa depan, tetapi juga saat ini. Kami terus mencari cara untuk mengurangi jejak ekologis dengan mengurangi kemasan plastik. Salah satu terobosan terbaru pada HappyFresh Supermarket adalah kerja sama dengan food bank FoodCycle untuk mendistribusikan kembali kelebihan makanan yang tidak terjual kepada komunitas yang kurang mampu dan membutuhkan,” imbuh Filippo.

Rencana penggalangan dana

Kendati tidak memberikan tanggapan secara spesifik, Filippo mengatakan bahwa penggalangan dana lanjutan juga akan menjadi agenda ke depannya. Apalagi melihat iklim bisnis online grocery yang bertumbuh pesat di pasar regional.

“Industri online grocery di Asia Tenggara tidak diragukan lagi menerima banyak perhatian berkat peluang yang muncul saat ini. HappyFresh terbuka untuk berdiskusi dengan investor yang dapat memahami semangat kami dalam membentuk kembali industri grosir, menambah nilai strategis, dan membantu kami mempercepat pencapaian kami berikutnya,” ujarnya

Ke depan, bukan tidak mungkin HappyFresh akan hadir di negara-negara baru lainnya di Asia Tenggara. Namun ditekankan, untuk saat ini mereka masih ingin meningkatkan pengalaman untuk basis pengguna yang sudah ada dulu..

“Industri produk kebutuhan harian sedang mengalami transformasi signifikan yang didorong oleh perubahan dalam kebiasaan berbelanja konsumen. Asia Tenggara berada di puncak perubahan tersebut. Ini adalah industri senilai $300 miliar, maka fokus utama kami sebagai sebuah perusahaan adalah untuk menentukan fondasi bangunan fundamental untuk bagaimana 100 juta orang berikutnya akan berbelanja produk kebutuhan harian,” tambah Segarra.

HappyFresh Secures 940 Billion Rupiah Series D Funding, Valuation Exceeds 2.8 Trillion Rupiah

The online grocery marketplace, HappyFresh secures a series D funding worth of $65 million or equivalent to 940 billion Rupiah. The round was led by Naver Financial Corporation and Gafina B.V. Participated also some investors, including Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund and Z Venture Capital.

Previously, HappyFresh announced a series C funding in April 2019 worth of $20 million. Based on DailySocial’s calculations, all the closed rounds has brought the company’s valuation to $200 million.

Regarding the focus of this funding, HappyFresh’s CEO, Guillem Segarra said that his team is working hard to improve the company’s operations in various markets and maintain the company’s quality and safety standards. “We are still at the beginning of the journey and with all the support received, are very excited for the adventures ahead,” he said.

In a previous discussion with DailySocial, HappyFresh Managing Director, Filippo Candrini has revealed that the company’s current focus is to improve the user experience in online grocery shopping using a personal shopper approach. In addition, his team will also continue to carry out local expansion to tier 2 and 3 cities in Indonesia.

“We did not intend to be a super app, but we want to be a super in grocery app for our customers and partners,” Candrini added.

Debuting in Indonesia since 2015, HappyFresh has expanded its business to Malaysia and Thailand. The company claims to have experienced 10 to 20 times traffic growth. In the local market, this service is also available in 11 cities throughout Indonesia, including Greater Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, and Bali.

The e-grocery industry is said to be growing rapidly throughout Asia, especially Southeast Asia. The retail market for this industry is reported to have reached $350 billion supported by rapid adoption and fundamental changes in consumer behavior.

“We are seeing major changes in customer behavior; Retention rates and frequency have increased significantly while overall basket size has grown consistently. We attribute this to a major shift in wallet share from offline to online, which will remain,” Guillem said.

Indonesian market still dominated by offline

Despite the increasing penetration of online shopping, the offline market still dominates the online grocery industry in Indonesia. A research from L.E.K Consulting on the online grocery industry revealed that 82% of total food sales are still dominated by traditional markets.

This is in contrast to what happened in China and South Korea where the offline market only accounted for 30% and 19% of total grocery sales in 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

However, along with the increasing availability of services in various regions and people who are well educated from popular consumer applications, it is not impossible that the statistics of e-grocery will increase exponentially in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Kantongi Pendanaan Seri D 940 Miliar Rupiah, Tembus Valuasi 2,8 Triliun Rupiah

Pengembang layanan marketplace online grocery HappyFresh berhasil meraih pendanaan seri D senilai $65 juta atau setara dengan 940 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Naver Financial Corporation dan Gafina B.V. Beberapa investor yang turut berpartisipasi adalah Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Z Venture Capital.

Sebelumnya, perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan seri C pada bulan April 2019 senilai $20 juta.  Menurut perhitungan tim DailySocial, dari keseluruhan putaran yang berhasil ditutup HappyFresh membawa valuasi perusahaan mencapai $200 juta.

Terkait fokus pendanaan kali ini, CEO HappyFresh Guillem Segarra mengungkapkan bahwa timnya sedang berusaha keras untuk meningkatkan operasional perusahaan di berbagai pasar dan mempertahankan standar kualitas dan keamanan perusahaan. “Kami masih berada di awal perjalanan dan bersama semua dukungan yang diterima, sangat bersemangat untuk menghadapi petualangan ke depannya,” ujarnya.

Dalam diskusi sebelumnya bersama DailySocial, Managing Director HappyFresh, Filippo Candrini juga telah mengungkapkan bahwa fokus perusahaan saat ini adalah untuk bisa meningkatkan pengalaman pengguna dalam berbelanja bahan makanan daring menggunakan pendekatan personal shopper. Di samping itu, timnya juga akan terus menjalankan ekspansi lokal ke kota-kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

“Kami tidak berniat untuk menjadi super app, namun kami ingin menjadi aplikasi super dalam grocery untuk pelanggan dan mitra kami,” tambah Candrini.

Hadir di Indonesia sejak tahun 2015, HappyFresh telah mengembangkan bisnisnya ke Malaysia dan Thailand. Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan trafik sebesar 10 hingga 20 kali lipat. Di pasar lokal, layanan ini juga sudah tersedia di 11 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, dan Bali.

Industri e-grocery disebut meningkat pesat di seluruh Asia khususnya Asia Tenggara. Pasar ritel untuk industri ini dilansir telah mencapai $350 miliar didukung dengan adopsi yang cepat dan perubahan mendasar dalam perilaku konsumen.

“Kami melihat perubahan besar dalam perilaku pelanggan; tingkat retensi dan frekuensi telah meningkat secara signifikan sementara basket size secara keseluruhan telah tumbuh secara konsisten. Kami mengaitkan ini dengan perubahan besar dalam pangsa dompet dari offline ke online, yang akan tetap ada,” ujar Guillem.

Di Indonesia, sistem offline masih mendominasi

Namun, di balik angka penetrasi belanja online yang meningkat, pasar offline masih mendominasi industri bahan makanan di Indonesia. Sebuah riset dari L.E.K Consulting tentang industri online grocery mengungkapkan bahwa 82% total penjualan bahan makanan masih dikuasai oleh pasar tradisional.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Tiongkok dan Korea Selatan di mana pasar offline hanya menyumbang 30% dan 19% pada total penjualan bahan makanan di tahun 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

Namun demikian, seiring meningkatnya ketersediaan layanan di berbagai wilayah dan masyarakat yang teredukasi baik dari aplikasi konsumer populer, bukan tidak mungkin kalau statistik e-grocery akan meningkat eksponensial di kemudian hari.

Application Information Will Show Up Here

Pasang Surut Industri “Online Grocery” di Masa Pandemi

Ketika Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kasus pertama seorang warga yang terpapar SARS-CoV-2 pada 2 Maret 2020, masyarakat dihantam berbagai kekhawatiran salah satunya isu lockdown yang akan membatasi aktivitas mereka di luar rumah. Kondisi ini kemudian menyebabkan reaksi panic buying yang membuat mereka tanpa pikir panjang memborong bahan kebutuhan pokok serta produk kesehatan dalam jumlah besar.

Tepat pada tanggal 3 April 2020, ditetapkan Peraturan Pemerintah terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah sebagai upaya untuk memutus rantai penularan Covid-19 di Indonesia. Sejumlah fasilitas umum pun ditutup, kegiatan sekolah dan perkantoran dilakukan dari rumah, pembatasan transportasi, dan hanya mengizinkan 11 sektor untuk beroperasi selama PSBB.

Dengan ditutupnya berbagai gerai offline, bahkan kebutuhan paling dasar kita– makanan dan air–beralih ke sektor online. Sektor online grocery Indonesia telah menjadi salah satu yang diuntungkan dari pandemi COVID-19 karena berhasil mendorong para pelanggan urban membeli kebutuhan sehari-hari mereka secara online demi membatasi interaksi dan aktivitas sosial.

Rama Notowidigdo, Co-Founder dan CTO Sayurbox, mengaku bahwa pandemi telah mendorong pertumbuhan bisnis perusahaan tiga kali lipat dalam waktu sangat singkat. Perusahaan bahkan harus menghentikan operasional selama sekitar satu minggu untuk bisa menyesuaikan layanan dan kembali dengan strategi yang tepat.

Seperti ungkapan “mempertahankan lebih sulit daripada mendapatkan”, lonjakan permintaan yang signifikan di awal pandemi tidak serta merta membuat bisnis menjadi lebih mudah. Di balik angka pertumbuhan yang terus meningkat, banyak penyesuaian yang harus dilakukan serta tantangan yang membayangi industri ini.

Ekosistem online grocery di Indonesia

Berbeda dengan di Tiongkok maupun Amerika Serikat (AS), ekosistem online grocery di Indonesia masih tergolong “bayi”. Di Tiongkok, situasinya sangat berbeda—pada tahun 2018, belanja daring menyumbang 32,5% dari semua transaksi bahan makanan, naik dari 1,4% pada tahun 2010.

Sementara di AS, hampir sepertiga total rumah tangga sudah berbelanja bahan makanan online. Menurut riset Brick Meets Click/Mercatus Grocery Shopping Survey, pasar bahan makanan online AS berhasil mencapai $8,4 miliar pada April 2021, dengan 67,8 juta rumah tangga menempatkan rata-rata 2,73 pesanan bahan makanan online selama sebulan.

Dalam laporan InMobi bertajuk “Marketing in the Era of Mobile”, online grocery menjadi sektor bisnis digital kedua setelah e-commerce yang meningkat selama pandemi Covid-19. Survei PwC “Indonesia Consumer Insights” juga menunjukkan 69% responden Indonesia menyatakan mereka membeli lebih banyak bahan baku makanan secara online setelah penerapan pembatasan jarak.

Rama mengungkapkan, salah satu tantangan terbesar di Indonesia adalah pasar yang masih dikuasai offline channel. Sementara di Tiongkok dan AS, modern channel sudah menjadi pilihan utama. Sayurbox sendiri sedang fokus mengonversi pemain offline menuju online melalui digitalisasi supply chain dan membantu petani untuk bisa menjangkau konsumen yang lebih luas.

“Saat ini Indonesia masih terpaku pada digitalisasi dengan banyaknya proses yang masih manual. Sulit untuk mengumpulkan data yang lengkap dengan jumlah populasi yang sangat besar. Perjalanan masih sangat panjang.” tambahnya.

Pasar offline masih mendominasi

Di balik angka penetrasi belanja online yang meningkat, pasar offline masih mendominasi industri bahan makanan. Tidak sedikit masyarakat yang lebih memilih berbelanja ke pasar tradisional daripada memesan bahan makanan online karena perbandingan harga atau kualitas produk yang bisa dipilih sendiri.

Untuk mengantisipasi hal ini, pemain e-grocery seperti HappyFresh mencoba meningkatkan pengalaman pengguna dengan menyediakan personal shopper yang bertugas memilihkan bahan makanan dengan kualitas terbaik. Selain itu, banyak juga pemain lain yang menawarkan berbagai promosi untuk menjangkau pengguna baru.

Masyarakat Indonesia sendiri dikenal kental dengan budaya ramah tamah dan tawar menawar. Hal ini menjadi alasan utama rakyat Indonesia tidak bisa lepas dari pasar tradisional yang memungkinkan berbagai interaksi sosial. Namun, pandemi yang belum kunjung reda telah memaksa masyarakat untuk berdamai dengan situasi dan mengesampingkan kultur ini sejenak.

Meskipun penetrasi internet di Indonesia pada awal tahun 2021 sudah di angka 73,7 persen atau mencapai 202 juta penduduk, pangsa pasar online grocery sendiri masih terbatas. Meskipun statistik menunjukkan bahwa industri online grocery mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, segmentasi pasar dan layanannya sendiri masih terpusat di kota-kota besar seperti Jabodetabek.

Rama mengakui, pada awalnya, Sayurbox sendiri fokus menawarkan produk sehat dan organik dengan pangsa pasar menengah ke atas. Seiring berjalannya waktu, mereka menemukan fakta bahwa pasar ini tidak cukup besar. Lalu, mereka mulai mengembangkan layanan ke b2b dan menyasar lebih banyak kalangan menengah.

HappyFresh memiliki target serupa, khususnya kalangan retail. Tidak hanya untuk segmen menengah ke atas, tetapi juga mass market. Demografi perusahaan juga menunjukkan sekitar 80% konsumennya adalah perempuan berusia 25-40 tahun. Orang tua bekerja dan lajang profesional juga turut mewakili sekelompok besar pelanggannya.

Studi terbaru Alpha JWC Ventures dan Kearney memprediksi bahwa kota-kota tingkat dua dan tiga akan menyumbang 48 persen dari aktivitas e-commerce di Indonesia pada tahun 2025, naik dari 30 persen pada tahun 2020.

Dalam hal ini, beberapa pemain di industri semakin gencar menyasar kota tier 2 dan 3. Salah satunya adalah HappyFresh yang baru saja melakukan ekspansi ke Bogor dan Makassar. Melalui perluasan wilayah jangkauan ini, diharapkan masyarakat semakin mengenal dan memahami layanan online grocery di Indonesia.

Kemunculan pemain baru

Keterbatasan aktivitas offline telah menggeser pola konsumsi masyarakat ke ranah online. Begitu pula dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, banyak orang yang lebih memilih untuk menggunakan layanan pesan-antar guna mengurangi kontak fisik dan resiko terpapar virus. Hal ini dilihat sebagai kesempatan emas bagi banyak pihak untuk mencoba masuk dan menjangkau pasar online grocery.

Beberapa pemain mencoba melebarkan bisnis ke ranah online grocery, seperti Travelio menggunakan merk Traveliomart, juga Ubiklan dengan layanan Ubifresh. Di satu sisi, ini menjadi diferensiasi bisnis yang baik untuk menambah revenue stream perusahaan di tengah pandemi, namun juga menciptakan tantangan tersendiri untuk bisa menskalakan bisnis.

Selain itu, startup besar seperti Gojek dan Blibli juga sudah lebih dulu meluncurkan layanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan berbelanja pengguna. Dengan basis pengguna yang sudah besar, GoMart dan BlibliMart dinilai akan lebih mudah untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Persamaan dari beberapa pemain yang sebelumnya disebut adalah, online grocery bukanlah bisnis inti mereka. Perusahaan yang memutuskan untuk ekspansi lini bisnis ke ranah yang cukup berbeda harus siap dengan berbagai risiko, termasuk bersaing dengan pemain yang memiliki core business yang sama.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Filippo Candrini, Managing Partner HappyFresh Indonesia, menyampaikan, banyaknya pemain baru yang menyasar industri online grocery di Indonesia tidak serta merta menjadi hal yang mengkhawatirkan. Malahan, hal ini bisa memacu timnya untuk bekerja lebih keras dalam menelurkan inovasi baru.

It’s more like a marathon, not a race“, ungkapnya.

Terkait potensi Indonesia untuk memanfaatkan teknologi sepenuhnya dalam distribusi bahan makanan, Rama meyakini industri online grocery Indonesia akan bisa mencapai tahap itu. “Dengan pemain baru yang semakin banyak dan modern channel yang tentunya akan semakin berkembang, kita sudah dalam lajur yang tepat untuk sampai pada tahap itu,” ungkapnya.

Cita-cita HappyFresh Menjadi Marketplace Serba Ada untuk Grocery, Fokus pada Kemitraan dan Pengalaman Pengguna

Pandemi telah menyebabkan peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya di beberapa layanan online, termasuk e-grocery, didorong oleh pembatasan mobilitas dan masalah keamanan belanja offline. Filippo Candrini, Managing Director HappyFresh Indonesia, marketplace terkemuka di Indonesia untuk bahan makanan mengkonfirmasi pernyataan ini dan menguraikan beberapa mekanisme sebagai reaksi atas transisi ini.

“Pandemi ini telah mengubah cara banyak bisnis beroperasi. HappyFresh sebagai salah satu perusahaan digital pertama yang beroperasi di industri grosir online Indonesia mengalami lonjakan penggunaan layanan. Ini jelas menjadi tren yang berkembang sejak pandemi dimulai,” katanya.

Setelah satu tahun pandemi, HappyFresh berhasil beroperasi lebih baik. Dalam waktu yang sangat singkat, perusahaan telah menggandakan jumlah armadanya, memperoleh konsumen baru, dan meningkatkan produktivitas layanan. Namun, penting untuk menyoroti fakta bahwa pandemi tampaknya belum akan mereda.

“Apa yang telah kami lakukan, tahun lalu kami meningkatkan backend dan front-facing dalam platform untuk membantu akomodasi yang lebih baik, menambah fitur yang membatasi produk tertentu dalam jumlah massal untuk menghindari pembelian retorika, pengiriman tanpa kontak, menyediakan lebih banyak metode pembayaran, menguji armada kami, semua hal-hal yang telah kami lakukan dan terus kami lakukan pada dasarnya telah masuk dalam daftar rencana kami,” tambah Candrini.

Marketplace serba ada untuk grocery

HappyFresh memposisikan platformnya sebagai bahan makanan untuk mingguan atau bulanan. Perusahaan mengaku fokus pada grocery dan tidak merambah vertikal lainnya. Platform ini berfokus untuk menyediakan portofolio supermarket terbesar di Indonesia dengan pilihan toko khusus serta berbagai hal pelengkap bahan makanan.

“Kami tidak berniat untuk menjadi super app, namun kami ingin menjadi aplikasi super dalam grocery untuk pelanggan dan mitra kami,” tambah Candrini.

Dalam hal target pasar, platform bermaksud untuk menjadi layanan yang dapat melayani setiap pelanggan. Tidak hanya untuk segmen menengah ke atas, tetapi juga mass market. Demografi perusahaan juga menunjukkan sekitar 80% konsumennya adalah wanita berusia 25-40 tahun. Orang tua yang bekerja serta profesional lajang juga turut mewakili sekelompok besar pelanggannya.

“Banyak pelanggan kami berbelanja online pada tahun 2020 untuk pertama kalinya, dan mereka terus melakukan belanja mingguan atau bulanan karena merasa nyaman: Mitra Personal Shopper dan Rider kami yang terlatih akan memilih dan mengantarkan bahan makanan ke rumah mereka selagi mereka dapat mendedikasikan waktu untuk hal yang paling lebih penting, melupakan sejenak kemacetan lalu lintas, mengantri atau membawa tas berat, dan menikmati promosi online yang unik,” kata Candrini kepada DailySocial di wawancara terpisah.

Kenyamanan hadir dalam bentuk yang berbeda pada setiap individu, dapat berupa kecepatan pengiriman, harga, atau informasi terperinci. Namun, selama pandemi, hal itu juga berarti keamanan dalam hal kesehatan. Dari semua spektrum ini, HappyFresh berfokus untuk menghadirkan produk berkualitas tinggi dan pengalaman konsumen yang lebih baik. Termasuk menyediakan personal shopper dan kemasan khusus untuk memastikan kesegaran produk.

HappyFresh sangat ketat dalam memastikan kualitas produk yang mereka kirimkan. Oleh karena itu, sebagian besar pengiriman dilakukan oleh armada sendiri. Mereka hanya meneruskan pesanan yang memenuhi syarat ke pihak ketiga dan porsinya hanya sekitar 5% dari total volume. Dalam hal pengiriman produk, saat ini mereka bermitra dengan Grab dan Lalamove.

“Kami mencoba untuk bisa sangat personal melalui produk kami, oleh karena itu penting untuk membuat alur yang sangat sesuai dan sudah dipersonalisasi untuk setiap pengguna,” ujar Candrini.

Ada dua sumber utama monetisasi dalam platform ini, biaya layanan dari mitra dan biaya pengiriman dari konsumen. Dalam hal ini, perusahaan berusaha menghasilkan proposisi nilai yang setara bagi mitra dan konsumen.

Di awal tahun ini, HappyFresh juga meluncurkan program reward baru. Sistemnya cukup sederhana: dapatkan poin untuk setiap pesanan yang dikirim dan tukarkan dengan diskon untuk pembelian berikutnya. Setiap pesanan akan membuat pengguna semakin dekat menjadi anggota Gold untuk mendapatkan lebih banyak manfaat eksklusif. April lalu, platform tersebut juga menyertakan OVO sebagai metode pembayaran baru.

Selain HappyFresh, ada juga beberapa platform yang menyediakan layanan grosir online dengan proposisi nilai yang berbeda, termasuk SayurBox dan TaniHub.

Strategi Ekspansi

Selain di Indonesia, HappyFresh juga sudah tersedia di Malaysia dan Thailand. Dengan misi menyediakan layanan pengiriman online untuk kebutuhan rumah tangga bagi seluruh keluarga di Asia Tenggara, serta mempermudah hidup banyak orang, platform ini berusaha menjangkau pasar yang lebih luas dengan menggencarkan ekspansi lokal.

Studi terbaru dari Alpha JWC Ventures dan Kearney memprediksi bahwa kota-kota tingkat dua dan tiga akan menyumbang 48 persen dari aktivitas e-commerce di Indonesia pada tahun 2025, naik dari 30 persen pada tahun 2020. Candrini mengatakan ini sejalan dengan komitmen HappyFresh untuk terus meningkatkan layanan yang tersedia untuk seluruh rumah tangga Indonesia.

“Setiap kota dan wilayah layanan membutuhkan pendekatan khusus. Kami telah menjalin kemitraan dengan supermarket lokal dan perusahaan ritel nasional, serta mengadakan program untuk meningkatkan kesadaran akan manfaat dan kenyamanan belanja online untuk kebutuhan rumah tangga (kepada masyarakat dan pengguna baru),” tambahnya.

Di Makassar, HappyFresh telah menjalin kerjasama dengan beberapa supermarket, seperti Lotte Mart, Hero, dan Giant. Selama di Bogor, HappyFresh telah bermitra dengan Giant dan Tip Top. Secara total, platform ini telah bermitra dengan 400+ supermarket dan tersedia di 11 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, dan Bali.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Aims to be All-in-One Marketplace for Grocery, Focusing on Partnerships and Consumer Experience

The pandemic has led to an unprecedented increase in several online services, including e-grocery, driven by mobility restrictions and offline shopping security concerns. Filippo Candrini, the Managing Director of HappyFresh Indonesia, the country’s leading marketplace for groceries confirmed this statement and break down some of the mechanisms in reaction to this transition.

“This pandemic has shifted the way many businesses operated. HappyFresh, as one of the first digital companies operating in the online grocery industry, has experienced a surge in service usage. It obviously becomes a growing trend since the pandemic started,” he said.

After one year of pandemic, HappyFresh managed to operate without stressful conditions. In a very short time, the company has doubled its fleet numbers, gained new consumers, and improved services. However, it is important to highlight the fact that the pandemic does not seem to fade away.

What we’ve done, last year we did improve the backend and front-facing to help accommodate better, a feature that limited certain products in a mass quantity to avoid rhetoric purchases, contactless delivery, more payment methods, tested our fleet, all the things we’ve done and left continuing to do are basically have been stacked up on our plan,” Candrini added.

All-in-one marketplace for groceries

HappyFresh positioned its platform as the weekly or monthly groceries. The company declared to focus on groceries and not venturing in different verticals. The platform focused on catering to the largest portfolio of supermarkets in Indonesia with a nutritious selection of specialty stores and anything complementary to groceries.

“We don’t have any intention to become the super app, instead we want to be super at doing groceries for customers and our partners,” Candrini added.

In terms of target market, the platform intends to be a service that can cater to any customers. Not only for the middle to upper segment, but also the mass market. The demography also shows around 80% of its consumers are women aged 25-40 years. Working parents and single professionals also represent a large group of its customers. 

“Many of our customers shopped online in 2020 for the first time, and they continue to do their weekly or monthly shopping today because they feel comfortable: our trained Personal Shopper and Rider partners will select and deliver groceries to their homes while they can dedicate time. for what they love most, forgetting the hassle of traffic, queuing or carrying heavy bags, and also enjoying unique online promotions,” Candrini told DailySocial in different occasion.

Convenience works different with each individuals, it can be delivery speed, price tag or detailed information. However, during pandemic it also means health security. Across all these spectrums, HappyFresh focused on delivering high-quality products and better consumer experience. It includes providing personal shopper and special packaging to ensure the product’s freshness.

HappyFresh is very strict on the quality of products they delivered. Therefore, most of the deliveries are made by its own fleet. They only pass the eligible order to trivial partners and it is said less than 5% of the total volume. In terms of product delivery, they currently partnered with Grab and Lalamove.

“We tried to be very personal with our products, therefore it’s important to create a very customized and personalized flow for each user,” Candrini added.

There are two main sources of monetization in this platform, service fees from partners and delivery fees from consumers. In that regard, the company will try to generate equal value for partnerships and consumers. 

Earlier this year HappyFresh also launched a new rewards program. The system is quite simple: earn points for every order delivered and exchange it for a discount on the next purchase. Every order will get you closer to becoming a Gold member to get more exclusive benefits. Last April, the platform also includes OVO as a new payment method.

Aside from HappyFresh, there are also several platforms providing online grocery services with different value propositions, including SayurBox and TaniHub. 

Expansion strategy

Aside from Indonesia, HappyFresh has also available in Malaysia and Thailand. With a mission to provide an online delivery service for household needs for all families in Southeast Asia, also to make life easier for many people, the platform is trying to reach a wider market by intensifying local expansion.

A recent study from Alpha JWC Ventures and Kearney predicts that tier two and three cities will account for 48 percent of e-commerce activity in Indonesia by 2025, up from 30 percent in 2020. Candrini said this is in line with HappyFresh’s commitment to continuously improve services that is available for all Indonesian households.

“Each city and service area requires a special approach. We have formed partnerships with local supermarkets and national retail companies, as well as held programs to raise awareness of the benefits and convenience of online shopping for the household needs (to the public and new users),” he added.

In Makassar, HappyFresh has established partnerships with several supermarkets, such as Lotte Mart, Hero, and Giant. While in Bogor, HappyFresh has partnered with Giant and Tip Top. In total, the platform has partnered with 400+ supermarket and available in 11 cities across Indonesia, including Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar and Bali.

Application Information Will Show Up Here

Gojek’s Effort for Mature Online Grocery Business, GoMart to Provide Shopping Partner

With the rapid growth of online grocery services, Gojek reactivated GoMart in 2019. In order to support its development, a shopping assistant service called #EmakJago is recently launched.

Gojek’s Head of Groceries, Tarun Agarwal revealed to DailySocial that the pandemic has boosted GoMart’s popularity, it’s proven from the increasing number of traction and users. In fact, GoMart’s monthly gross transaction value (GTV) increased by 5x during the pandemic from February to October 2020.

“From this moment, we continue striving to improve services, one of which is by increasing the variety of product categories, including fresh food products,” Tarun said.

Along with this service improvement, new partners have joined GoMart, including Lotte Mart and Best Meat. GoMart will also work with more supermarket and hypermarket merchants in the near future.

Since its relaunch back in 2019, GoMart has partnered with Alfamart and AlfaMidi. Apart from Jabodetabek, GoMart online shopping services can is also available in Medan, Palembang, Makassar as well as big cities in Java & Bali and will soon be active in other big cities in Indonesia.

Throughout the pandemic, the online grocery service business is quite in demand. Not only Gojek, but other local technology giants also enter this segment, for example Blibli through the Bliblimart in-app feature. In addition, there is also HappyFresh which continues to expand its services, at the end of November 2020 they just officially launched in Bali.

Actively recruiting partners

Pelatihan Emakjago layanan asisten GoMart
Training Gomart’s assistant service Emakjago

About the kind of partner GoMart chose to become an assistant, it is said that as to the name of their campaign, #EmakJago, GoMart wanted to embrace those who have spare time among housewives to join as assistants. In order to increase the number of assistants in the coming months, GoMart will actively recruit hundreds of “housewives” who will be placed in supermarkets and hypermarkets throughout the city where GoMart operates.

“All experienced shopping assistants have been equipped with special training and a strict recruitment process including interviews and online tests in order to serve customers in selecting quality fresh food ingredients,” Tarun said.

Before the assistant service launching, GoMart’s research and testing process had been carried out in the last three months. This service has become one of the key features for purchasing fresh groceries straight from supermarkets such as Lotte Mart. Customers can also communicate directly with the #EmakJago shopping assistant, which is equipped with a choice of in-app phone and SMS features to facilitate the shopping process.

GoMart is also equipped with features that ensure customer safety and comfort in ordering goods. “Through the order tracking feature, customers can track orders in real-time. In ensuring the order to reach the customer, GoMart driver partners will be asked to enter the PIN code stated on the shopping receipt from the merchant before completing the order

“We will continue to innovate to make it easier for customers to meet their needs online by increasing product options, embracing more supermarket and hypermarket partners, expanding the GoMart service area including developing the #EmakJago shopping assistant service in the near future,” Tarun said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian