Ula Memutuskan Keluar dari Bisnis Distribusi FMCG; Kembali Lakukan PHK

Ula kembali melakukan PHK sebagai dampak atas penyesuaian strategi bisnis. Kabar ini secara resmi diumumkan melalui situs perusahaan, kendati demikian tidak menerangkan detail berapa banyak karyawan yang terdampak.

Sumber terpercaya yang kami wawancara mengatakan, ini adalah gelombang layoff ketiga dengan jumlah terbesar menyisakan 50-an pegawai di level VP dan Head saja. Perusahaan telah berkomitmen memberikan kompensasi pemutusan hubungan kerja yang adil sesuai dengan persyaratan hukum lokal yang berlaku.

Ia juga menyebutkan, bahwa rencana pivot Ula dilandasi atas performa bisnis yang kurang baik dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini diindikasi dengan penjualan yang sulit dan jumlah pemesanan kecil. Melayani usaha dii tingkat mikro, Ula turut dihadapkan dengan tantangan margin tipis dan biaya akuisisi konsumen yang besar.

Sebelumnya pada akhir 2022, Ula juga mengumumkan PHK. Berdampak pada 134 karyawan (23% dari total keseluruhan).

Dinyatakan dalam pernyataan resmi, Ula memutuskan segera keluar dari bisnis distribusi FMCG berbasis inventarisasi. Kendati demikian belum disampaikan ke mana arah bisnis selanjutnya. Mereka mengalihkan upaya ke usaha yang dapat berkembang lebih baik di lingkungan saat ini dengan memanfaatkan teknologi, juga fokus pada bisnis yang memiliki margin tinggi dan efisiensi modal yang lebih besar.

“Kami memulai perjalanan Ula dengan impian untuk mengubah perdagangan B2B. Saat dunia berjuang dengan dampak Covid, kami menciptakan platform distribusi komprehensif untuk mengirimkan barang kebutuhan sehari-hari ketika penyedia lain tidak konsisten atau tidak tersedia. Kami menyediakan pengiriman yang andal dengan pilihan yang luas dan harga yang bagus kepada pedagang kecil di Indonesia. Melayani pedagang di lingkungan sekitar membuka peluang untuk berkembang ke inti perdagangan di lingkungan tersebut.

Upaya kami awalnya berhasil, meskipun di tengah tantangan yang dibawa oleh pandemi karena bisnis distribusi FMCG Ula menjadi nama yang dihormati di kalangan pedagang, pemasok, dan investor. Tetapi seperti banyak bisnis lainnya, kami harus menyesuaikan fokus kami menuju keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Skala dan kompleksitas model distribusi berbasis inventarisasi memerlukan tingkat investasi yang terbukti sulit, terutama di tengah ekonomi digital yang lesu.”

Konsep bisnis Ula

Melayani warung dan ritel tradisional, Ula mencoba memberdayakan teknologi untuk mengefisiensikan rantai pasok barang FMCG. Solusinya terdiri dari tiga fitur. Pertama ada “Sobat Ula”, berupa aplikasi marketplace B2B yang menyediakan berbagai produk dengan harga kompetitif. Kemudian ada “Teman Ula”, didesain sebagai program penjualan berbasis komunitas yang memungkinkan siapa saja untuk membantu orang lain mendapatkan barang dagangan.

Terakhir ada “Titik Ula”, menawarkan kepada mitra (individu) yang memiliki tempat kosong sebagai titik antar-jemput barang pesanan pelanggan. Statistik terakhir, ada sekitar 200 ribu Sobat Ula yang telah memanfaatkan ekosistem Ula untuk mengakses 10 ribu SKU produk.

Ula didirikan pada awal 2020 oleh 4 orang founder yang memiliki pengalaman cukup panjang di industri teknologi dan startup, yakni Alan Wong, Derry Sakti, Riky Tenggara, dan Nipun Mehra. Sejak debut, mereka telah mengumpulkan sekitar $140,6 juta pendanaan dari para investor. Berikut daftar putaran investasi yang berhasil dibukukan Ula:

Putaran  Nilai Investor
Seed  $10.500.000 Pemimpin: Sequoia Capital India dan Lightspeed India. Partisipan: SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor (Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta).
Series A  $20.000.000 Pemimpin: Quona Capital dan B Capital Group. Partisipan: Sequoia Capital India, Lightspeed India.
Series B  $87.000.000 Pemimpin: Prosus Ventures, Tencent, dan B-Capital. Partisipan: Bezos Expeditions, Northstar Group, AC Ventures, Citius, Lighstpeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital, dan Alter Global.
Series B+  $23.100.000 Tiger Global dan angel investor (Binny Bansal)
Application Information Will Show Up Here

FMCG: Pengertian, Tantangan dan Contoh Perusahaannya

FMCG adalah istilah yang mengacu pada barang-barang konsumen yang sering dibeli dan dijual, seperti makanan, minuman, perlengkapan kebersihan, produk perawatan pribadi, perlengkapan rumah tangga, dan kemasan.

Merupakan salah satu pasar produk konsumen terbesar di dunia, mencakup lebih dari separuh pengeluaran konsumen untuk barang ritel.

Berikut ini adalah penjelasan terkait FMCG lebih lanjut.

Definisi FMCG

FMCG adalah singkatan dari Fast Moving Consumer Goods. Merupakan barang-barang yang biasanya dijual di toko kelontong, dan memiliki umur simpan yang pendek — biasanya antara 3 bulan dan 1 tahun.

Mereka juga biasanya terdiri dari bahan-bahan yang dapat dengan mudah diangkut dan disimpan, sehingga mudah diproduksi dan dijual dalam jumlah besar. Mereka sering dijual dalam kotak atau tas yang ditujukan untuk demografi pelanggan tertentu, seperti anak-anak atau orang tua.

Kategori FMCG mencakup makanan, minuman, perlengkapan kebersihan, produk perawatan pribadi, dan obat-obatan.

Alasan produk semacam ini disebut “Fast Moving” adalah karena sering kali dibeli oleh konsumen yang menginginkannya segera, daripada menunggu waktu yang lebih nyaman untuk melakukan pembelian.

Misalnya, jika kamu membutuhkan minuman sebelum pertemuan berikutnya dengan bos, kamu dapat mengambilnya dari vending machine di dekat kantor kamu alih-alih menunggu sampai sore hari ketika kamu punya waktu untuk keluar dan membelinya di supermarket atau restoran.

Contoh Perusahaan FMCG

Indonesia merupakan salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dan industri FMCG sedang berkembang pesat.

Berikut ini adalah beberapa perusahaan FMCG terbesar di Indonesia:

Indofood

Indofood / IDX Channel
Indofood / IDX Channel

Indofood adalah salah satu perusahaan FMCG di Indonesia. Produk andalannya adalah mie instan Indomie yang sudah terkenal di seluruh Asia Tenggara dan sekitarnya.

Perusahaan ini didirikan pada tahun 1990 oleh Sudono Salim sebagai perusahaan pembuat makanan ringan, namun kemudian memperluas bisnisnya hingga mencakup mie instan, kue dan produk lainnya.

Contoh produknya adalah Indomie, Sarimi, Racik, Qtela, Indomilk, Ichi Ocha, dll.

Unilever Indonesia

Unilever Indonesia / IDX Channel
Unilever Indonesia / IDX Channel

Salah satu perusahaan FMCG terbesar di Indonesia adalah Unilever Indonesia. Perusahaan telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1933 dan memiliki sejarah kesuksesan yang panjang.

Produk-produk Unilever Indonesia meliputi detergen, pasta gigi, sampo, kondisioner, sabun, dan sabun mandi. Produk-produk ini dijual di toko-toko retail besar seperti Hypermart dan Indomaret serta toko-toko kecil di seluruh negeri.

Contoh produknya adalah Sunsilk, Sunlight, Rinso, Pepsodent, Dove, Sariwangi, Royco, dll.

Mayora Indah

"<yoastmark

Mayora Indah adalah salah satu perusahaan FMCG di Indonesia yang ditemukan Jogi Hendra Atmadja. Mereka dikenal sebagai perusahaan makanan dan minuman, tetapi mereka juga menyediakan layanan lain.

Mayora Indah telah menjadi salah satu perusahaan makanan terbesar di Indonesia karena produknya yang berkualitas tinggi dan pelayanan yang baik kepada pelanggan di seluruh Indonesia.

Contoh produknya adalah Kopiko, Astor, Energen, Super Bubur, Better, dll.

Kalbe Farma

"<yoastmark

Kalbe Farma merupakan salah satu perusahaan FMCG di Indonesia. Menyediakan berbagai produk dan layanan perawatan kesehatan, termasuk obat-obatan dan peralatan medis untuk rumah sakit, pusat kesehatan dan klinik.

Butuh banyak kerja keras dan dedikasi dari seluruh karyawan di Kalbe Farma sebelum mereka dapat mencapai posisinya saat ini sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia.

Contoh produknya adalah Fatigon, Mixagrip, Promag, Sakatonik ABC, Fitbar, Prenagen, dll.

Wings Group

"<yoastmark

Wings Group merupakan perusahaan yang memproduksi produk rumah tangga dan pemeliharaan kesehatan diri. Ini dimulai di Indonesia, tetapi kemudian berkembang ke negara lain.

Telah beroperasi selama lebih dari 60 tahun dan membangun reputasinya dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi yang memenuhi kebutuhan konsumen lokal.

Contoh produknya adalah Daia, So Klin, Wings, Zinc, Floridina, Ale-Ale, dll.

Demikianlah penjelasan mengenai FMCG, semoga bermanfaat.

Platform B2B FMCG Berada dalam Fase Transisi Menuju Ekosistem Digital Terintegrasi

Transformasi digital telah membawa perubahan besar di industri B2B FMCG. Dalam studi yang dilakukan CELIOS bersama GudangAda, disebutkan sebanyak 60% UMKM di Indonesia sudah merasakan manfaat dari penerapan digitalisasi pada bisnisnya, seperti mempermudah mencari pemasok dan menjangkau pelanggan.

Melalui laporan bertajuk “Studi B2B FMCG Marketplace Indonesia Outlook 2023,” sekaligus mengonfirmasi bahwa ekosistem B2B FMCG telah berkembang semakin lengkap, selaras dengan kesiapan mengadopsi pendekatan digital oleh para pelaku UMKM yang semakin baik. Mulai dari meningkatnya permintaan layanan POS, pembiayaan, serta pertumbuhan UMKM di kalangan menengah, mendemonstrasikan besarnya potensi B2B FMCG Indonesia.

“Sebagai penyedia layanan distribusi produk mulai dari produsen, ke penjual, hingga end user, platform digital B2B akan menjadi tren yang menyebar di berbagai industri tak terkecuali FMCG,” tulis studi tersebut.

Studi ini diharapkan dapat menjadi acuan pelaku bisnis rantai pasok di Indonesia dalam mengkaji lanskap bisnis B2B, serta mengatur strategi bisnis terbaik untuk menghadapi tantangan ekonomi dari sudut pandang inovasi digital di industri B2B FMCG.

Sumber: GudangAda dan CELIOS

Sebagai catatan, B2B FMCG merupakan model bisnis baru dalam pengembangan bisnis B2B. Berbeda dengan B2B marketplace pada umumnya, B2B FMCG ini lebih spesifik aktivitas penjualan yang dilakukan oleh satu bisnis atau perusahaan-perusahaan lainnya khusus untuk produk-produk FMCG. Pemainnya tidak hanya GudangAda, tapi juga ada Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, GoToko, dan Warung Pintar.

Profil pengguna dari B2B marketplace ini mayoritas berada di usia 25-35 tahun (41%). Sekitar setengah pemilik warung telah menjalankan bisnisnya selama lebih dari tiga tahun. Karena populasinya yang besar, Pulau Jawa tetap menjadi lokasi utama sebagian besar warung. Jakarta dan kota satelitnya menyumbang sebesar 26% dari total pemilik warung.

Mayoritas pemilik warung (38%) mengalokasikan Rp1 juta per minggu untuk restock barang. Lalu, sebanyak 27% menghabiskan Rp1 juta-Rp2 juta, dan 12% menghabiskan Rp2 juta-Rp3 juta.

Temuan studi

Sumber: GudangAda dan CELIOS

  1. Riset menemukan tantangan terbesar UMKM dalam mengembangkan usaha pasca-pandemi, yakni kompetisi dengan toko modern (36%), konsumen gagal bayar utang (31%), dan lokasi usaha yang tidak menguntungkan (27%). Hal ini berkolerasi dengan temuan lain, terdapat peningkatan kebutuhan solusi digital sederhana untuk kecepatan dan efisiensi biaya, fleksibilitas pembayaran, dan jangkauan pasar lebih luas.
  2. Peluang eskalasi volume B2C FMCG di Indonesia pada 2023 dinilai masih besar seiring dengan potensi bisnis UMKM Indonesia, pertumbuhan pengguna internet, serta dukungan pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan masyarakat. CELIOS memprediksi potensi pertumbuhan transaksi bisnis B2B akan tumbuh 25% pada tahun ini.
  3. Hasil riset menunjukkan platform B2B digital sebagai sebagai penyedia saluran distribusi dari produsen, penjual hingga ke end-user akan menjadi tren yang menyebar di berbagai industri, tak terkecuali FMCG.
  4. Di tahun ini, riset memperlihatkan berbagai tantangan perkembangan industri B2B dari segi rendahnya literasi keuangan, kesenjangan akses digital, dan pembiayaan bagi UMKM harus diwaspadai oleh para pemain B2B FMCG di Indonesia.
  5. Terdapat prinsip-prinsip panduan (Strategi 4P) di dalam riset yang ditujukan bagi para pemain B2B FMCG untuk membangun ekosistem B2B yang berkelanjutan, di antaranya: pembuatan aplikasi integrasi secara menyeluruh; penguatan saluran distribusi; penjualan terfokus pada penjual strategis di area tertentu; dan penjagaan rasio biaya untuk stabilitas harga pasar.

Sumber: GudangAda dan CELIOS

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyampaikan, untuk menghasilkan analisis yang lebih mendalam studi ini dibuat menggunakan metode studi literatur dengan berbagai sumber, baik primer maupun sekunder dan studi terdahulu yang relevan. Hasilnya ditemukan, bahwa saat ini pasar B2B marketplace di Indonesia berada di masa transisi dari fase 2 (customer process portal) menuju fase 3 (multi-channel infrastructure).

“Fase transformasi B2B di Indonesia saat ini berada pada transisi Fase 2 menuju ke Fase 3 di mana perusahaan penyedia layanan B2B mulai melakukan pengembangan layanan tambahan yang dibutuhkan oleh pelaku UMKM dalam ekosistem digital yang terintegrasi,” kata Bhima.

Dia melanjutkan, “Kehadiran platform B2B digital seperti GudangAda dapat berperan aktif dalam mengakselerasi transisi tersebut melalui ragam layanan bisnis digital yang terintegrasi kepada segenap pemain di industri B2B, mulai dari prinsipal hingga pelaku bisnis level UMKM seperti pemilik toko dan warung.”

Sumber: GudangAda dan CELIOS

Prediksi tren di 2023

  1. Kebutuhan sistem one-stop solution untuk mempercepat proses validasi data secara realtime sehingga prinsipal dapat mengikuti perkembangan pasar secara lebih cepat.
  2. Pendekatan multi saluran (omnichannel) sebagai salah satu upaya industri B2B FMCG dapat bertumbuh lebih pesat.
  3. Tuntutan keamanan data pribadi seiring meningkatnya jumlah para pelaku usaha yang menggunakan platform digital B2B.
  4. Permintaan one-stop financing dengan tenor yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan UKM

SVP Marketing & Corporate Affairs GudangAda Yuanita Agata menuturkan, pada tahun ini GudangAda akan memfokuskan pada aspek strategis untuk mencapai posisi terbaik dalam mengarungi persaingan bisnis. Caranya dengan membangun jalur distribusi yang lebih efisien guna dukung perkembangan bisnis principal dan strategic sellers di area strategis, mengutamakan sustainability dengan menciptakan level margin yang sehat antara principal dan mitra bisnis.

“Lalu, fokus pada strategic buyer dan seller dengan meningkatkan literasi digital mitra dalam memaksimalkan fitur layanan di dalam aplikasi GudangAda serta menyediakan akses kredit produktif yang aman bagi mitra bisnis UMKM”, tutup Yuanita.

Bisnis “Quick Commerce” Global Terguncang, Bagaimana Nasib Pemain Lokal?

Kabar kurang sedap datang dari startup quick commerce di berbagai negara. Pengurangan staf secara masif, penutupan dark store (infrastruktur pemenuhan dan distribusi), penghentian bisnis di wilayah tertentu, sampai dengan berhentinya startup terkait menjadi sorotan banyak media. Startup terdampak termasuk mereka yang telah memiliki nama besar, sebut saja Gopuff, Zapp, Yango Deli, Gorillas, Geitr, Deliveroo, dan beberapa lainnya.

Di Indonesia sendiri, era quick commerce justru baru saja dimulai. Semua pemain yang ada baru memasuki tahun pertamanya. Kendati demikian, dari sisi industri sambutannya luar biasa. Lihat saja, Astro yang baru berdiri September 2021 lalu baru-baru ini membukukan pendanaan seri B, membuat dana ekuitas yang dikumpulkan perusahaan telah mencapai $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah.

Pelaku industri lokal masih optimis

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li untuk membicarakan hipotesisnya dalam berinvestasi ke startup quick commerce. Di Indonesia, AC Ventures adalah pendukung awal dan utama Astro.

Mereka mengidentifikasi model quick commerce ini sebagai gelombang disrupsi lanjutan dari industri ritel konsumen di Indonesia, khususnya di kota-kota tier-1 dengan populasi kepadatan tinggi.

Mengawali perbincangan, Adrian mengulas kembali tentang industri. Sebelumnya layanan e-commerce horizontal seperti Shopee, Tokopedia, hingga Blibli berhasil merajalela. Lalu, kemunculan model hybrid omnichannel seperti perusahaan ride-hailing yang bekerja sama dengan pengecer offline untuk menawarkan model Instacart/Flipkart, mengaktifkan saluran penjualan offline dan online.

Pada akhirnya kemunculan quick commerce sebagai gelombang terbaru telah diadopsi dengan cepat oleh konsumen yang turut diakselerasi oleh pandemi Covid-19.

“Dibandingkan dengan model ritel yang ada, konsep quick commerce menunjukkan peningkatan dari segi hasil penjualan serta pemanfaatan aset juga efisiensi biaya yang signifikan. Toko grosir memiliki keunggulan dalam hal pemanfaatan ruang dan pemenuhan pengiriman di sisi produktivitas penjualan. Dengan fokus pada layanan pengiriman, quick commerce juga memperluas cakupan area ke pelanggan dalam jarak 2-3 km yang kemudian berkontribusi pada peningkatan kinerja penjualan aset tetap bersama dengan produktivitas kurir,” jelas Adrian.

Dari faktor penjualan dan penghematan biaya di atas, pihaknya sangat yakin bahwa quick commerce akan menjadi game-changer dalam bisnis ritel konsumen di Indonesia.

Pandemi jadi momentum pertumbuhan quick commerce

Salah satu narasumber kami dari kalangan investor mengatakan, firmanya tidak begitu tertarik untuk ikut andil ke dalam hingar-bingar quick commerce, karena menurutnya ini adalah model bisnis yang relevan saat adanya pembatasan ketat beberapa waktu lalu.

Saat pandemi dimulai pertengahan 2020, pembatasan ketat dilakukan di mana-mana. Masyarakat mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan online marketplace dan e-grocery yang sebelumnya ada pun ramai diserbu pembeli.

Misalnya Sayurbox, menurut data internal mereka, sepanjang H2 2021 nilai perdagangan atau GMV produk premium meningkat sampai 53%. Pemain lain, Happyfresh sepanjang tahun 2020 juga mengalami peningkatan trafik transaksi sampai 10-20x lipat.

Melihat kesuksesan pemain legacy, quick commerce berusaha hadir menawarkan solusi yang lebih andal. 10-15 menit, ini adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan para quick commerce untuk memproses dan mengantarkan pesanan kebutuhan pokok yang dipesan lewat aplikasinya. Kategori produknya pun cukup lengkap, mulai dari sayur-mayur, kebutuhan pokok (minyak, gula, dll), makanan ringan, bahkan sampai dengan daging.

Tentu di tengah pembatasan aktivitas yang digalakkan masyarakat, kecepatan dan pemenuhan ini menjadi penting, karena barang-barang tersebut terkadang dibutuhkan secara mendesak di waktu tertentu. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Covid-19 bisa dikatakan telah terkendali — di tengah vaksinasi yang semakin meluas, 97% untuk dosis pertama. Masyarakat pun mulai merasa bebas untuk beraktivitas di luar.

Kebiasaan dan tren baru masyarakat yang sempat terbentuk ketika pandemi lambat-laun mulai berubah, kembali ke masa sebelum pandemi. Salah satunya dikatakan oleh Nur, seorang rekan yang tinggal di Jabodetabek. Layanan e-grocery sangat ia andalkan ketika PPKM ditegakkan pemerintah. Namun sekarang ia memilih kembali datang ke supermarket, “Mencium langsung aroma bahan makanan dan pengalaman jalan-jalan berbelanja itu yang selama ini hilang. Dan kami senang bisa melakukannya kembali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Managing Partner Gayo Capital Edward Chamdani. Ia melihat bahwa pertumbuhan di sektor quick commerce  sangat tergantung dari perubahan kebiasaan para pelanggan.

“Saat ini layanannya sendiri masih menyasar kota-kota tier-1, jika mereka bisa terus rutin menggunakan layanan ini dan model bisnisnya terbukti ‘sticky’ maka sektor ini akan terus bertumbuh.” ujarnya.

Analisis persaingan horizontal

Selain tidak bisa menawarkan pengalaman yang dibawakan ritel tradisional (dan modern) — untuk beberapa orang pengalaman ini lebih dari sekadar kecepatan berbelanja—platform quick commerce sebenarnya juga bersaing dengan beberapa pemain sekaligus. Sebut saja dengan minimarket yang saat ini bisa dijumpai di berbagai titik strategis (plus dilengkapi aplikasi pesan-antar), toko kelontong, tukang sayur keliling, sampai layanan digital yang sudah ada sebelumnya.

Peta persaingan penyedia produk kebutuhan harian / DailySocial.id

Produk FMCG dan makanan segar memang menjadi komoditas yang dikonsumsi semua kalangan, di manapun mereka berada. Sementara yang hendak digarap oleh quick commerce adalah konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan bisnis ini, terutama mereka yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

Mereka belum menyasar segmen lain yang biasa berbelanja produk terkait, contohnya ke orang-orang yang mengandalkan asisten rumah tangga. Pun demikian penetrasi di luar metro, masih belum dilakukan. Ada satu pemain yang bermain di tier-2, yakni Radius, namun dari informasi sumber yang kami dapat, penetrasi layanannya belum mendapatkan traksi yang berarti membuat mereka masih bermanuver dalam “stealh mode”.

Hal ini juga sebenarnya menjadi antisipasi yang dilakukan startup e-grocery Titipku. Sebelumnya mereka fokus memulai bisnis dari daerah Yogyakarta, namun karena untuk mengejar pertumbuhan mereka menutup layanan yang di daerah, lalu fokus ke Jabodetabek.

Venture Capitalist Eddi Danusaputro berpendapat, sebenarnya infrastruktur e-grocery modern justru dibutuhkan di kota lapis dua.

“Menurut saya, bisnisnya [quick commerce] akan feasible tapi harus diubah sedikit. Kalau di tier 1, mungkin supply dan demand-nya sudah kuat. Hal ini belum tentu berlaku di tier 2 dan tier 3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah path to profitability, dari masing-masing tier berbeda tapi harus tetap ada. Ini akan menentukan waktu yang tepat untuk ekspansi.”

Secara global, menurut laporan Research and Market, ukuran pasar untuk quick commerce ini telah mencapai $25 miliar di tahun 2020 dan akan bertumbuh sampai dengan $72 miliar di tahun 2025. Di sisi lain, berdasarkan laporan Euromonitor, ukuran pasar yang mencakup sembako, toko serba ada, supermarket, dan pasar induk di Indonesia dilaporkan mencapai $97 miliar pada tahun 2020. Di sisi lain,  kota tingkat 1 mewakili setidaknya seperempat pasar.

Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra mengklaim, ruang pertumbuhan layanan quick commerce di kota besar masih sangat luas. Terlebih penetrasi e-grocery dinilainya baru sekitar 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Artinya, ini menjadi sebuah momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

Optimisme senada disampaikan Co-Founder & CEO Bananas Mario Gaw. Ia mengatakan, “Layanan quick commerce masih terbilang baru di Indonesia. Namun, kami melihat adanya peluang sangat besar pada groceries market ini terutama mengingat besarnya populasi masyarakat Indonesia dan besarnya pasar untuk barang kebutuhan sehari-hari yang belum tergarap. Sejak awal berdiri, kami ingin menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi konsumen kami dan terus melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka”

Arah perkembangan quick commerce di Indonesia

Tidak hanya Astro, kini pasar quick commerce turut diramaikan sejumlah pemain lainnya, termasuk Bananas, AlloFresh (bentukan Bukalapak dan CT Corp), hingga Radius yang fokus di pasar luar Jakarta. Sementara pemain legasi juga mulai mendirikan unit yang sama, seperti Sayurbox lewat SayurKilat, Tokopedia dengan Tokopedia Now, sampai Grab via GrabMart Kilat.

Startup Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Investor
Astro Seri B $90 juta Accel, Tiger Global AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, Sequoia Capital India, dll.
AlloFresh Corporate Joint Venture $70 juta PT Trans Retail Indonesia (bagian dari CT Corp), Bukalapak, dan Growtheum Capital Partners
Bananas Pendanaan Awal ~$1,5 juta East Ventures, SMDV, Arise, Y Combinator, dll.
Radius Pra-Awal ~500 ribu Y Combinator

Mengambil salah satu studi kasus bisnis quick commerce di Indonesia dalam mengoperasikan layanannya. Untuk menghadirkan proses pengiriman cepat, Bananas mengandalkan hub mikro berbasis teknologi (dark stores) dalam menjalankan bisnisnya. Dark stores ditempatkan di berbagai lokasi strategis mendekati area pemukiman yang memungkinkan mitra pengemudi untuk mengantarkan produk pesanan kepada pelanggan secara instan.

Selain itu, mereka juga berkolaborasi langsung dengan berbagai brand principal untuk menghadirkan berbagai pilihan produk. Fokus terhadap penggunaan data menjadi salah satu kekuatan yang dihadirkan penyedia quick commerce untuk menghadirkan value untuk mitra penyedia produknya tersebut. Data ini penting untuk mempelajari perilaku serta kebutuhan konsumen demi menjaga akurasi level stok produk.

Kondisi tersebut membuat pada startup quick commerce membutuhkan modal tidak sedikit untuk debut dan mengakselerasi bisnisnya. Seperti yang disampaikan Bananas, bahwa pendanaan awal yang didapat akan difokuskan untuk mendorong perkembangan bisnis dan membangun lebih banyak dark stores yang akan menyediakan berbagai macam pilihan produk.

Disrupsi ritel FMCG

Cerita menarik lainnya datang dari Astro. Disampaikan hingga Mei 2022, pertumbuhan yang dicatatkan perusahaan telah mencapai 10x lipat dengan efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Mereka telah mengoperasikan dark stores di 50 titik di Jabodetabek dengan 1.500 SKU produk, mempekerjakan lebih dari 200 staf.

Melalui aplikasinya, selain menyuguhkan UI/UX yang sangat sederhana, Astro juga berusaha memberikan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi. Bahkan jika ada item yang tidak sesuai pesanan, fitur pelaporan di aplikasi juga disediakan untuk melakukan penggantian produk dalam waktu maksimal 15 menit.

Hal lain yang juga menarik adalah, kini Astro mulai mengembangkan produk private label. Mereka memulai dengan produk minuman dan makanan siap santap, di antaranya aneka kopi dan roti. Ini menarik, karena ritel modern juga melakukan hal serupa untuk pemenuhan barang konsumsi sekali pakai — contohnya Indomaret juga memproduksi air mineral sampai tisu dengan brand milik mereka sendiri. Diyakini juga bahwa strategi ini dapat menghadirkan unit ekonomi yang signifikan.

Produk makanan dan minuman yang diproduksi in-house dengan brand Astro / Astro

Pengalaman akan kecepatan yang ditawarkan oleh quick commerce jelas menjadi proposisi nilai tersendiri. Selain itu, dengan perputaran produk yang cepat dan akuisisi kanal pembelian masyarakat memungkinkan bisnis ini mendapatkan keuntungan potensial dari setiap penjualannya. Faktanya, di kancah global selama pandemi quick commerce mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 50%.

Tantangan bagi pelaku quick commerce di Indonesia adalah menyeimbangkan pertumbuhan dan cash burn dalam proses merumuskan resep yang tepat untuk skalabilitas. Oleh karena itu, model bisnis memerlukan perhatian yang mendetail pada sisi logistik operasi dan pengadaan, pembangunan merek, dan kontrol kualitas.

Tanggapan pelaku e-grocery

Dalam sebuah kesempatan temu media, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini memberikan komentar terkait quick commerce yang mulai menjadi tren pasar dan terkesan segera menggantikan peran platform e-grocery.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen e-grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja,” ujarnya.

Sebagai antisipasi, HappyFresh mengembangkan layanan Supermarket Online agar bisa menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark stores quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan e-grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peluang ekspansi di luar kota metro

Sementara pasar e-grocery Indonesia bertumbuh pesat disokong oleh pandemi, potensi ini belum tergarap sepenuhnya mengingat masih banyak area di luar kota metropolitan yang masih belum merasakan dampak dari kemudahan dan kecepatan pengiriman yang ditawarkan layanan quick commerce.

Dalam upaya penetrasinya sendiri, tantangan hadir dari berbagai sisi, di mana timbul kelangkaan penyedia online, lalu melambungkan biaya layanan serta proses pengiriman yang memakan waktu berhari-hari. Pada akhirnya, keterbatasan ini memaksa pelanggan untuk memilih yang “lebih efisien”, yaitu supermarket offline.

Tentunya tidak mudah menggambarkan potensi yang dimiliki ketika solusi ini bahkan belum menjangkau bagian masyarakat yang lebih besar. Prediksi pertumbuhan layanan quick commerce saat ini masih sangat bergantung pada inklusivitas dari perkembangan digitalisasi yang terjadi di Indonesia.

Meskipun begitu, digitalisasi ritel tradisional di Indonesia tetap berlangsung. Pasar grosir di Indonesia disebut telah bertumbuh hingga $207 miliar. Sekitar 70% dari total tersebut datang dari area pedesaan. Fakta ini menciptakan optimisme di sektor ini untuk bisa berkembang bahkan 5x lipat dalam lima tahun ke depan.

Sementara kota tingkat 1 akan menjadi ranah pertumbuhan layanan quick commerce, Adrian mengungkapkan proyeksinya terkait ekspansi layanan ini, “Kami percaya bahwa distribusi berbasis agen atau B2B2C model akan menjadi solusi yang tepat untuk kota tingkat 2-3 karena mereka menjembatani kesenjangan antara kesiapan teknologi dan biaya logistik jarak jauh yang akan diperjuangkan oleh perdagangan cepat menguntungkan khususnya di daerah yang kurang padat.”

Masa depan layanan quick commerce ini sendiri terkait erat dengan demokratisasi pertumbuhan ekonomi yang telah dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin meningkat oleh pergerakan modal politik negara. Tidak hanya redistribusi ekonomi namun penetrasi layanan ini ke area pedesaan juga bisa menciptakan redistribusi talenta, dengan lebih banyak pekerja kerah biru dan talenta teknologi tidak lagi harus mencari peluang kerja berkualitas di kota-kota tingkat 1.

Kristin Siagian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Personalisasi Kupon Belanja Shoplinks Dorong Kegiatan Pemasaran Brand FMCG

Berangkat dari pengalamannya bekerja di perusahaan FMCG selama 17 tahun, Teresa Condicion bersama Co-founder JD Lee mendirikan Shoplinks. Yakni berupa platform digital marketing yang menyediakan alat untuk membina relasi antara brand, retailer, dan konsumen memanfaatkan kupon belanja. Shoplinks juga ingin menonjolkan keunikan warung tradisional yang hanya tersedia di kawasan Asia Tenggara.

Kepada DailySocial.id, CEO Shoplinks Teresa Condicion mengungkapkan, selama ini kegiatan promosi secara digital hanya berlaku kepada perusahaan grosir hingga peritel besar saja. Warung tradisional yang masih banyak jumlahnya di Indonesia, kurang mendapatkan perhatian untuk memberikan pilihan membina relasi yang lebih personal dengan pelanggan.

“Shoplinks ingin menyediakan tools yang tepat dan relevan untuk menciptakan kegiatan promosi berupa kupon yang relevan kepada pembeli di warung tradisional. Dengan demikian brand dan retailer bisa mencapai return of investment yang lebih tinggi.”

Saat ini Shoplinks telah bekerja sama dengan brand FMCG besar seperti P&G, Unilever, dan Johnson and Johnson, memproses ribuan penggunaan kupon belanja per bulan. Secara khusus Shoplinks mendapatkan komisi dari brand yang ingin mengeluarkan kupon.

“Kami bekerja dengan warung untuk menyediakan pilihan kupon belanja untuk pembeli mereka, sementara dengan retailer kami memberikan data yang relevan,” kata Teresa.

Didirikan pada tahun 2020 bulan Oktober ini Shoplinks telah memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $900 ribu atau sekitar 12,8 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh perusahaan modal ventura Cocoon Capital dan partisipasi dari Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Dana segar ini selanjutnya akan digunakan oleh perusahaan untuk memperkuat posisinya di Indonesia sebelum ekspansi ke pasar lain di kawasan Asia Tenggara. Pihaknya juga berencana menambah jumlah tim dan memperluas jaringan mitra, baik perusahaan ritel maupun warung yang saat ini menyumbang sebanyak 70% terhadap total pengeluaran ritel di Indonesia.

Pandemi dorong adopsi digital

Selama ini, perusahaan FMCG sudah memiliki minat yang cukup besar untuk mengadopsi digital untuk kegiatan promosi dan engagement lebih baik lagi dengan peritel dan warung. Saat pandemi ketika semua perusahaan kecil hingga menengah terpaksa untuk menggunakan teknologi dan mengalihkan usaha mereka secara digital menjadi momentum yang tepat bagi Shoplinks untuk meng-cater perusahaan FMCG, peritel, hingga warung.

“Kami siap untuk menyediakan tools yang tepat menyambut kesiapan para retailers saat ini untuk going digital. Saat ini kebanyakan dari mereka hanya fokus untuk menjual dan bukan personalisasi. Kami mencoba untuk me-leverage dan membuat platform untuk engagement kepada offline store,” kata Teresa.

Memanfaatkan teknologi yang sederhana namun sudah sangat familiar oleh masyarakat Indonesia yaitu WhatsApp Bot, semua kupon promosi hingga cashback bisa dibagikan oleh pemilik toko dan warung kepada anggota mereka masing-masing. Layanan tersebut juga bisa diciptakan membership yang menawarkan informasi hingga promosi yang relevan.

Selain itu, melalui platform analisis data yang dimiliki, Shoplinks juga mampu untuk memberikan promosi dan kupon yang relevan dan lebih personal, menyesuaikan kesukaan dan pembelian pelanggan tersebut sebelumnya.

“Kami membuat kupon cerdas yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan FMCG. Kita membuat semua proses lebih mudah dengan teknologi yang sudah familiar, sehingga tidak perlu membangun teknologi yang kompleks dan menjadi tidak relevan kepada pembeli dan pemilik warung,” kata Teresa.

Saat ini Shoplinks hanya fokus kepada kota tier 1 dan 2 saja. menurut Teresa kawasan tersebut dinilai sudah sangat familiar dengan kegiatan belanja online dan sudah terbiasa berbelanja di gerai seperti Indomaret dan Alfamart. Sehinga memudahkan tim Shoplinks untuk mengimplementasikan teknologi mereka.

“Sebagai retail software platform kami menyediakan teknologi untuk melakukan promosi dan engagement. Memanfaatkan algortima machine learning dan memberikan pengalaman yang lebih personal untuk pembeli,” kata Teresa.

Sekilas layanan yang ditawarkan oleh Shoplinks serupa dengan program loyalty, namun Teresa menegaskan, Shoplinks bukanlah platform atau teknologi yang menawarkan program loyalty. Namun lebih kepada platform yang memungkinkan personalisasi, dengan membangun end to end software, para peritel bisa terhubung dengan program loyalty yang dikembangkan sendiri, bukan oleh Shoplinks.

“Kami melihat Shoplinks sebagai mom and pop stores, yang memungkinkan, e-commerce atau peritel besar di seluruh Asia Tenggara dengan kemampuan untuk mempersonalisasi diskon dan penawaran kepada pembeli,” tutup Teresa.

Digital Marketing Platform Shoplinks Bags 12.8 Billion Rupiah Funding

Singapore-based FMCG marketing platform Shoplinks received seed funding worth of $900 thousand or around 12.8 billion Rupiah. The funding was led by venture capital firm Cocoon Capital with participation from the Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Recently, Cocoon Capital also invested in local logistics startup TransTRACK.id. Meanwhile, the Indonesia Women Empowerment Fund, jointly managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures, has announced its debut portfolio for Titik Pintar startup earlier this year.

In an official statement, Cocoon Capital’s Managing Partner and Shoplinks’ Director Michael Blakey said, “We believe this platform can accelerate the digital transformation of retailers in Southeast Asia.”

“We are impressed with the Shoplinks team and their ability to execute. Shoplinks solves the billion dollar problem that exists between FMCG promotions and consumers in Southeast Asia. This will significantly streamline FMCG marketing spending,” he added.

Shoplinks offers digital marketing services by simplifying coupon distribution and personalizing coupons for FMCG brands and retailers. The platform seeks to optimize brand promotion activities, therefore, consumers can get attractive offers, both online and offline.

It is due to Southeast Asia’s FMCG brands are considered difficult to distribute promotional activities to buyers. According to company data, Southeast Asia’s FMCG brands spend $28 billion on promotion every year, but 70% of this total budget is considered wasted because it is not right on target and lacks personalization.

Also, the impact of the Covid-19 pandemic which resulted in the loss of potential retailer income. Sharing shops and supermarket outlets is difficult to promote because the services are yet to be digitized.

Strengthen its position in Indonesia

Furthermore, Shoplinks’ Co-founder & CEO, Teresa Condicion said that she would use this funding to strengthen its position in Indonesia before expanding to other markets in the Southeast Asia region. She also plans to add more teams and expand the partnership networks, both retail companies and stalls, which currently account for 70% of total retail spending in Indonesia.

“We want to democratize Southeast Asia’s retail technology and create a win-win solution for brands, retailers and buyers. This industry is ripe for technological evolution, especially if you look at retailers in developed countries, such as the United States and Europe, which have grown rapidly thanks to technology,” Teresa said.

In general note, Shoplinks was founded by Teresa Condicion and JD Lee. Teresa is Snapcart’s Co-founder, and has served as CEO for four years. She has a strong background of 17 years at P&G. Meanwhile, JD is a techpreneur who is also the co-founder of venture builder Pulsar Ventures.

Was founded in 2020, Shoplinks has proceed thousands of monthly shopping coupons from major FMCG partners, such as Unilever, Johnshon & Johnson, and P&G. It is said to have doubled the use of coupons every month, where these FMCG brands have doubled the profit from its investment in promotions. In addition, Shoplinks said it had contributed to the growth of buyer transactions at the TipTop supermarket chain by up to 30%.

Marketing personalization

Digital transformation in the FMCG sector is taking place although it has not been fully realized at various levels. The world’s major retail brands are starting to focus on consumer data, using analytics to make strategic decisions

In its publication on marketing personalization, the McKinsey report states that advances in technology, data and analytics will greatly enable marketers to create personalized and more ‘human’ marketing across a wide variety of channels to shopping experiences.

Despite the great opportunity, most marketers feel they are not ready to provide such a personalized experience. A McKinsey survey of senior marketing leaders found only 15% of CMOs believe their company is on the right track with personalization. They believe this strategy is proven to drive revenue by 5%-15% and marketing budget efficiency by 10%-30%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Pemasaran Digital Shoplinks Memperoleh Pendanaan 12,8 Miliar Rupiah

Platform pemasaran FMCG asal Singapura Shoplinks memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $900 ribu atau sekitar 12,8 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh perusahaan modal ventura Cocoon Capital dan partisipasi dari Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Belum lama ini, Cocoon Capital juga berinvestasi ke startup logistik lokal TransTRACK.id. Sementara untuk Indonesia Women Empowerment Fund, yang dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures, juga sudah mengumumkan portofolio perdananya pada startup Titik Pintar di awal tahun ini.

Dalam keterangan resminya, Managing Partner Cocoon Capital sekaligus Dewan Direksi Shoplinks Michael Blakey mengatakan, pihaknya meyakini platform ini dapat mengakselerasi transformasi digital pada peritel di Asia Tenggara.

“Kami terkesan dengan tim Shoplinks dan kemampuan mereka untuk mengeksekusi. Shoplinks memecahkan masalah miliaran dolar yang terjadi antara promosi FMCG dan konsumen di Asia Tenggara. Ini akan mengefisiensikan pengeluaran pemasaran FMCG secara signifikan,” tambahnya.

Shoplinks menawarkan layanan pemasaran digital dengan menyederhanakan distribusi kupon dan membuat personalisasi kupon bagi brand dan peritel FMCG. Platform tersebut berupaya mengoptimalkan kegiatan promosi brand sehingga konsumen bisa mendapatkan penawaran menarik, baik online maupun offline.

Alasannya, brand FMCG di Asia Tenggara dinilai sulit untuk mendistribusikan kegiatan promosi kepada pembeli. Menurut data perusahaan, setiap tahunnya brand FMCG di Asia Tenggara menghabiskan $28 miliar untuk promosi, tetapi 70% dari total budget ini dinilai sia-sia karena tidak tepat sasaran dan kurang personalisasi.

Ditambah dampak dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan retailer. Berbagi toko dan gerai supermarket sulit untuk melakukan promosi karena layanannya belum terdigitalisasi.

Memperkuat posisi di Indonesia

Lebih lanjut, Co-founder & CEO Shoplink Teresa Condicion mengatakan akan menggunakan pendanaan ini untuk memperkuat posisinya di Indonesia sebelum ekspansi ke pasar lain di kawasan Asia Tenggara. Pihaknya juga berencana menambah jumlah tim dan memperluas jaringan mitra, baik perusahaan ritel maupun warung yang saat ini menyumbang sebanyak 70% terhadap total pengeluaran ritel di Indonesia.

“Kami ingin mendemokratisasikan teknologi ritel di Asia Tenggara dan menciptakan win-win untuk brand, retailer, dan pembeli. Industri ini sudah matang untuk berevolusi secara teknologi, apalagi jika melihat retailer di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, telah berkembang pesat berkat teknologi,” ujar Teresa.

Sebagai informasi, Shoplinks didirikan oleh Teresa Condicion dan JD Lee. Teresa adalah Co-founder Snapcart, dan pernah menduduki posisi CEO selama empat tahun. Ia memiliki latar belakang kuat selama 17 tahun di P&G. Sementara JD adalah techprenuer yang juga Co-founder dari venture builder Pulsar Ventures.

Sejak berdiri di 2020, Shoplinks telah memproses ribuan penggunaan kupon belanja per bulannya dari sejumlah mitra FMCG besar, seperti Unilever, Johnshon & Johnson, dan P&G. Pihaknya mengklaim telah mengantongi penggunaan kupon dua kali lipat setiap bulannya, di mana para brand FMCG ini telah melipatgandakan laba dari investasinya di promosi. Selain itu, Shoplinks menyebut telah berkontribusi terhadap pertumbuhan transaksi pembeli di jaringan supermarket TipTop hingga 30%.

Personalisasi pemasaran

Transformasi digital pada sektor FMCG tengah terjadi meski belum terealisasi sepenuhnya di berbagai level. Para brand retail besar dunia mulai fokus terhadap data konsumen, hingga memanfaatkan analitik untuk membuat keputusan strategis

Dalam publikasinya terkait personalisasi pemasaran, laporan McKinsey menyebutkan bahwa kemajuan teknologi, data, dan analitik akan sangat memungkinkan marketer untuk menciptakan pemasaran yang bersifat personal dan lebih ‘manusiawi’ di berbagai macam kanal hingga pengalaman berbelanja.

Ula Announces Series A Funding Round Worth of 282 Billion Rupiah

A technology startup for traditional retail digitization, Ula comes up with $20 million (over 282 billion Rupiah) Series A funding led by Quona Capital and B Capital Group. Participated also Sequoia Capital India and Lightspeed India as the previous investors.

The company aims to expand its team and location through this funding, therefore, more small retailers can be digitized through Ula technology. In addition, Ula will expand the product category to fashion and electronics, and reaching out to retailers selling FMCG and vegetable products.

Ula has closed $10 million in seed funding in June last year. This round involved SMDV, Quona Capital, Saison Capital, and Alter Global. Several angel investors also participated, including Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, and Rahul Mehta.

Quoting from TechCrunch, Quona Capital Managing Partner Ganesh Rengaswamy said, “If you look at the entire retail value chain, especially essential products, such as FMCG, staples and fresh products, it is very fragmented. In fact, the market has developed in terms of consolidation, demand, and supply in a more efficient way.”

He continued, “Ula is trying to repeat the retail distribution ecosystem with a significant technology overlay. Ula connects some of the biggest players on the supply side to the smallest retailers and consumers.”

Ula provides working capital for micro-retailers, who usually operate in small shops on their home page. This way, they don’t have to wait for payment by customers to restock. The company recognizes that this is a serious challenge for micro-retailers in Asia.

These micro-business owners generally have strong bonds with their customers, they often selling goods without upfront payment. Meanwhile, collecting these payments often takes longer than expected.

“Frictionless payments and offering credit to retailers for more efficient cash flow management is an essential component of modern digital commerce,” Rengaswamy said.

Ula was founded by former Indian Flipkart officials Nipun Mehra, and Derry Sakti, who started his career at P&G in Indonesia, in January 2020. Mehra said that most of the Indonesian retail market is unorganized, similar to India.

In the vegetable category, for example, farmers often sell to middlemen, then arrived in the market. “From the market, supplies go to small wholesalers and so on. There are many players in this chain,” he said.

Over the past year, the company is claimed to serve more than 20 thousand stores. Ula first operated in Surabaya and expanding its presence quickly throughout East Java and Semarang.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ula Kembali Umumkan Pendanaan Seri A 282 Miliar Rupiah

Ula, startup teknologi untuk modernisasi ritel tradisional, kembali mengumumkan pendanaan Seri A senilai $20 juta (lebih dari 282 miliar Rupiah) yang dipimpin Quona Capital dan B Capital Group. Sequoia Capital India dan Lightspeed India, yang merupakan investor sebelumnya turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Lewat pendanaan ini, perusahaan berambisi untuk perluas tim dan ekspansi lokasi agar semakin banyak pengecer kecil yang dapat terbantu lewat teknologi Ula. Di samping itu, Ula akan perluas kategori produk ke fesyen dan elektronik, dari saat ini menjangkau pengecer yang menjual produk FMCG dan sayur mayur.

Ula merampungkan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta tepat pada Juni tahun lalu. Jajaran investor yang terlibat dalam putaran ini ada SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Mengutip dari TechCrunch, Managing Partner Quona Capital Ganesh Rengaswamy mengatakan, “Jika Anda melihat keseluruhan retail value chain, terutama produk-produk esensial, seperti FMCG, bahan pokok, dan produk segar, sangat terfragmentasi. Padahal pasar telah bergerak dalam hal konsolidasi, permintaan, dan penawaran yang lebih efisien.”

Dia melanjutkan, “Ula mencoba untuk mengulang ekosistem distribusi ritel dengan overlay teknologi yang signifikan. Ula menghubungkan beberapa pemain terbesar di sisi supply ke pengecer dan konsumen terkecil.”

Ula menyediakan modal kerja untuk para pengecer mikro, yang biasanya beroperasi di toko-toko kecil di halaman rumah mereka. Dengan demikian, mereka tidak perlu menunggu dibayar oleh pelanggan untuk membeli stok baru. Perusahaan menyadari bahwa ini adalah tantangan serius yang dihadapi pengecer mikro di Asia.

Pemilik usaha mikro ini umumnya memiliki ikatan yang kuat dengan pelanggan, sering kali menjual barang tanpa di bayar di muka. Sementara, mengumpulkan pembayaran ini sering membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan.

Frictionless payment dan menawarkan kredit kepada pengecer sehingga mereka dapat mengelola arus kas dengan lebih efisien adalah komponen penting dari perdagangan digital modern,” tandas Rengaswamy.

Ula didirikan oleh eks petinggi Flipkart India Nipun Mehra, dan Derry Sakti, yang mengali kariernya di P&G di Indonesia, pada Januari 2020. Mehra menyebut, sebagian besar pasar ritel Indonesia tidak terorganisir, sama halnya dengan India.

Di kategori sayur mayur misalnya, banyak petani yang menjual ke tengkulak, lalu baru masuk ke pasar. “Dari pasar, persediaan masuk ke pedagang grosir kecil dan seterusnya. Ada banyak pemain di dalam rantai ini,” ucapnya.

Sepanjang tahun lalu, diklaim perusahaan telah melayani lebih dari 20 ribu toko. Ula pertama kali beroperasi di Surabaya, dengan cepat perluas kehadiran di seluruh Jawa Timur dan masuk ke Semarang.

Application Information Will Show Up Here

Potential Synergy of Startups and Retails to Realize “New Retail” in Indonesia

New retail is a term popularized by e-commerce giant Alibaba to describe the combination of online and offline retail through digitizing the trade process or what is called the retail value chain. The goal is to provide a better user experience (UX) for the benefit of merchants, consumers, as well as various partners involved in business processes.

Based on the CGAP study, the new retail concept democratizes several dimensions in the trading business, including (1) supply chain and distribution logistics, (2) value-added services for producers/retailers, (3) an integrated shopping experience for consumers.

With its financial resources and capabilities, Alibaba develops all these aspects independently. But what if we are faced with the opposite condition, when digital transformation met the legacy business processes, change cannot be done quickly – with various limited resources.

Potential synergy

The realization of new retail, especially in Indonesia, can be done with a synergy between technology startups and retail companies. This synergy may be started by identifying the most fundamental aspect of new retail itself, which is none other than building a data warehouse. The collected data will be used for various needs such as predictive analysis.

If we look deeper, there are several data that can be used in the retail business process to help the decision-making system, including payment/transaction data, product data, promotional data, and logistics/supply chain data.

new_retail_1

Not only the digitization process performed by many traditional retailers, but these data must also be integrated by each party to produce comprehensive insights. For example, between product data, transaction trends, and a logistics system to help retailers ensure the food stock always in prime condition.

Technically, there must be good connectivity between the point of sales applications that accept transactions from consumers, applications for available items in warehousing units, to supply chain applications that connect retailers with their partners.

new_retail_2

The use of digitization tools will significantly convert data settings that are produced or managed by retailers. The existing platforms are generally open, allowing integration with other digital services. For example, a financial recording application that can be integrated with a cashier system or digital wallet transaction dashboard via an API connection.

Research conducted by Accenture also shows a trend of accelerating digital transformation in the retail and FMCG sectors during the pandemic. There are ten aspects to be captured, from the willingness to decompose consumer data into knowledge, improving sales management, to improving the partner ecosystem.

DSResearch’s survey on FMCG/retail companies also shows roughly the same results. The transformation vision launched a breakthrough that opens the potential for new products/services and adapts to the trend of consumer needs.

Accenture

Collaboration form

Studying the form of digital transformation from the DSResearch report above, there are several models that retail companies can adopt when collaborating with startups. The first form is system adoption, simply put retailers only need to become premium customers of digital services provided by startups. Several platforms provide flexibility to customize needs at a limited level.

The second form is through strategic partnerships. In Indonesia, for retail companies or FMCG, this practice does not seem common, it’s just that some have done it. Companies with greater scale and capability can participate in startup development – generally through ownership, aka the company becomes a shareholder (either majority or minority). This model allows vision alignment between companies, therefore, they can synergize more closely.

The third is through sharing platforms, some startups are dependent on business partners in terms of product fulfillment. Especially for those who develop an online-to-offline based system.

New consumer experience

Through the omnichannel platform, retailers can enter the digital platform to serve more users. Stores that provide fresh ingredients, for example, could just enter the HappyFresh ecosystem, even some popular e-commerce services have also started to accommodate similar services. Apart from being delivered, the grocery application also has the option to be picked up at the store, so that an offline shopping experience is still possible.

When people shop, they will have three experiences, shopping preparation, shopping process, and after shopping. In the shopping preparation stage, several activities start from listing groceries, finding inspiration to buy new items, looking for/seeking promos, to selecting the retail store you want to visit.

While in a retail store, they are exposed to several activities. Starting from circling the shelves to find items to purchase. In this process, there are several innovations that might be developed, such as a store mapping application or as simple as a product information application – users can scan the code printed on a product to view various information, from price, content, to the distribution process (this will affect fresh produce such as vegetables). Continue with the payment process and claim a discount if there are certain promos.

new_retail_3

After returning home, there are still some experiences left. For example, allowing users to get points from loyalty programs or testimonials on certain items. The most important aspect is that it makes it easy for users to manage their shopping records and helps them perform expense analysis. At this stage, several local startups have tried to present innovations, one of which is Pomona, which allows users to earn points by scanning shopping receipts.

Retail industry to survive

A study suggests that direct shopping experience will still be relevant amid the development of e-commerce or online grocery services. There are four dimensions that are maintained, including sensory, emotional, psychosocial, and impression/meaning.

The sensory dimension relates to experience which refers to stimuli of form, color, touch, and so on. Meanwhile, the emotional dimension is related to the experience of using emotions to generate liking for a brand or product. The psychosocial dimension is people’s desire to pamper themselves such as going out while shopping. Meanwhile, the impression/meaning dimension is related to the experience of doing the activity itself.

What currently deserves to be a retailers’ priority is how to improve the above factors through cell phones that stay in the hand of every consumer. This is done while looking for innovations to bring new experiences that are more memorable, the aim of which is to increase sales/visits. Doing digital transformation is the answer. Forming a synergy with digital startups is an option.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com