Venture Builder “Starventure” Mengumumkan Kehadiran

Perusahaan venture builder Starventure mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Starventure didirikan oleh pendiri Ideosource Edward Chamdani dan Jeremy Michael Sutandy.

Dalam keterangan resmi, Starventure fokus pada penciptaan dan peluncuran bisnis atau startup baru secara sistematis. Caranya melalui memberikan dukungan bagi pelaku bisnis yang baru mulai atau startup yang berada di tahap awal. Starventure menyediakan sumber daya dan keahlian untuk mereka menuju kesuksesan dan menjadi pemain global.

Co-founder Starventure Jeremia Michael Sutandy menuturkan, pihaknya ingin terlibat lebih awal karena untuk mengidentifikasi ide bisnis yang memiliki potensi untuk menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan dampak yang besar, sehingga memiliki peluang investasi. Perusahaan secara proaktif mengakselerasi pengembangan ide-ide bisnis yang inovatif, untuk kemudian divalidasi.

Pada tahapan ini, validasi ide bisnis merupakan langkah yang sangat penting sebelum dieksekusi menjadi produk dan jasa. Untuk melakukan analisa dan verifikasi, Starventure melibatkan pelaku bisnis yang sudah mapan dari industri yang sejenis dengan startup tersebut sebagai mentor.

“Starventure mempertemukan para pelaku bisnis, investor, dan mentor berpengalaman dalam sebuah ekosistem yang sehat dan saling mendukung. Ekosistem ini menyediakan kerangka terstruktur dan sumber daya bersama sehingga Starventure dapat mengakselerasi perkembangan ide menjadi produk atau jasa, lalu meluncurkannya ke pasar dengan lebih cepat,” terang Jeremy.

Kehadiran Starventure di Indonesia tak hanya untuk membuka jalan para pelaku bisnis bisa naik kelas dan meraih kesuksesan. Lebih dari itu, Starventure juga memiliki misi untuk mengembangkan ekosistem startup dan semangat kewirausahaan di Indonesia dengan membina talenta baru, mendorong inovasi, dan menarik lebih banyak investasi.

“Kami percaya bahwa dukungan dan bimbingan sejak awal dapat membuat bisnis menjadi lebih kuat dengan pertumbuhan yang lebih cepat, sehingga bisnis menjadi scalable dan investable,” ucapnya.

Diklaim, dengan bimbingan yang komprehensif ini, ditargetkan setidaknya bisnis atau startup dapat mengalami pertumbuhan antara 5%-20% setiap bulannya.

Pihaknya juga tidak memberi batasan hanya bisnis di bidang tertentu, karena yang diutamakan adalah skalabilitasnya. Fokus dari Starventure adalah bisnis yang dapat memberi manfaat dan memberi nilai tambah bagi bisnis lainnya. Dengan demikian akan terbentuk ekosistem yang berkelanjutan di mana para pelaku bisnis dapat saling menopang antar berbagai kepentingan bisnis.

Kehadiran Starventure meramaikan pemain venture builder yang sudah hadir di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Ecoxyztem, UMG IdeaLab, Terratai, Antler, WGSHub, dan Wright Partners.

Ekosistem VC Menantikan Langkah Lanjutan Pemerintah untuk Dorong Modal Ventura

Menyusul diterbitkannya POJK No 25 Tahun 2023, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) merilis peta jalan pengembangan perusahaan modal ventura (PMV) di Indonesia. Regulasi soal permodalan dan perizinan yang selama ini diketahui menjadi benturan venture capital (VC) di Indonesia menjadi strategi kunci yang akan didorong oleh asosiasi.

Peta jalan ini berupaya memberikan gambaran perkembangan PMV saat ini beserta tantangannya, sebagaimana dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan. Misalnya, tantangan mengenai sumber pendanaan pemodal ventura, terutama yang melakukan kegiatan usaha penyertaan modal.

Saat ini, mayoritas sumber pendanaan PMV berasal dari pinjaman. Sekitar 32% aset modal ventura didanai dari pinjaman. Adapun, dana ventura dapat menjadi salah satu opsi dalam perluasan sumber pendanaan PMV.

Selain itu, AMVESINDO mendapati tak banyak pemodal ventura yang fokus pada penyertaan modal. Dari total 54 PMV, sekitar 74% PMV memiliki penyertaan modal kurang dari 51% dari total pendanaan yang disalurkan. Hal ini karena sebagian besar kegiatan usahanya adalah pembiayaan kepada pasangan usaha. Hanya 12 PMV yang porsi penyertaan modalnya lebih dari 85%.

Begitu roadmap ini rampung pada 2028, AMVESINDO menargetkan 67% penyaluran VCC dapat difokuskan pada penyertaan modal dan 67% dari aset VDC untuk pembiayaan pasangan usaha. Sebagai tambahan, per November 2023, total aset PMV tercatat mencapai Rp26,56 triliun atau tumbuh 80% (YoY), yang terdiri dari PMV konvensional (Rp25,59 triliun) dan aset PMVS (Rp0,96 triliun).

Ekosistem modal ventura di Indonesia

Sementara, POJK 25/2023 baru mengangkat ketentuan pokok terkait pengkategorian perusahaan modal ventura  (PMV) dan perusahaan modal ventura syariah (PMVS) saja. Sejumlah VC yang kami tanyai enggan berkomentar banyak terkait aturan baru ini. Namun, mereka mengaku menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku industri VC di Indonesia.

“Menurut saya, POJK ini sudah mendekati best practice di negara-negara yang telah memiliki ekosistem modal ventura yang baku (terstandardisasi). Masalahnya, apakah POJK ini sudah menarik bagi VC? Di Singapura, misalnya, aturan dan ekosistemnya sudah jelas,” tutur Managing Partner Ideosource Edward Chamdani saat dihubungi DailySocial.id.

Ia juga menilai bahwa ketentuan model disetor cukup memberatkan pemodal ventura. Pasalnya, dalam ketentuan POJK 25/2023, persyaratan modal minimum yang diwajibkan tergantung pada jenis PMV. Untuk kategori venture capital corporation (VCC), minimum ekuitasnya sebesar Rp50 miliar. Kemudian, venture debt corporation (VDC) diwajibkan memiliki ekuitas minimum Rp25 miliar, sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) minimum Rp10 miliar.

Menurut laporan AMVESINDO, 12 PMV dari total 54 PMV baru memiliki ekuitas di bawah Rp25 miliar, sedangkan hanya 28 PMV yang ekuitasnya di bawah Rp50 miliar. Rendahnya ekuitas ini dinilai dapat memengaruhi kemampuan PMV untuk memperluas skala usaha termasuk menyerap risiko yang berpotensi mengakibatkan kegagalan usaha.

Kendati begitu, Pihak AMVESINDO diketahui telah banyak berdiskusi dengan OJK untuk mengakomodasi isu terkait modal hingga perpajakan sebagaimana telah banyak disuarakan oleh PMV yang aktif berinvestasi di Indonesia, tetapi legalitas usahanya terdaftar di luar negeri. Saat ini, jumlah PMV di Indonesia berjumlah 54 dengan mayoritas berkantor pusat di DKI Jakarta, di mana lima di antaranya adalah PMV Syariah.

Ketua AMVESINDO Eddi Danusaputro sempat mengutarakan rencana diskusi lanjutan dengan OJK dan instansi terkait untuk membahas perihal perpajakan pada akhir bulan ini. “Soal pajak kan ada di ranah Kementerian Keuangan, jadi ini tinggal berkoordinasi dengan lintas kementerian saja,” tutur Eddi beberapa waktu lalu.

Model ekosistem ideal yang ditargetkan oleh AMVESINDO

Edward yang juga menjabat di AMVESINDO menambahkan bahwa diskusi mengenai modal, pajak, dan turunannya dengan OJK bukan lagi pembahasan awal, tetapi sudah bicara observasi dengan model di negara-negara lain. Menurutnya, dengan memiliki ekosistem yang lengkap, ini dapat memengaruhi pertumbuhan bisnis pemodal ventura ke depan.

Startup Web3 “Artopologi” Raih Pendanaan Pra-Awal dari Ideosource

Startup web3 Artopologi mengumumkan perolehan pendanaan pra-awal yang dipimpin Ideosource. Tidak disebutkan nominal yang diterima di putaran tersebut.

Undisclosed [untuk] pre-seed dan sedang raise di seed round saat ini,” ucap Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani saat dihubungi DailySocial.id.

Artopologi adalah pasar seni terkurasi yang terintegrasi dengan blockchain. Mereka memindahkan karya fisik, seperti lukisan, patung, dan instalasi seni, yang dipamerkan dan diperjualbelikan di platform Artopologi disertai dengan sertifikat keaslian digital yang terdaftar di blockchain.

Startup ini baru dirilis pada awal tahun 2022 dan dipimpin Intan Wibisono. Sebelumnya, ia lama melintang di dunia kehumasan untuk berbagai perusahaan, salah satunya Bukalapak.

Berbeda dengan kebanyakan pemain web3 lainnya, Artopologi ingin meregenerasi kolektor seni dan menghubungkan ekosistem seni di Indonesia, sehingga platform ini dilengkapi dengan berbagai fitur, produk, dan layanan yang sesuai untuk pecinta seni.

“Artopologi memberikan solusi atas distribusi penjualan karya yang selama ini punya masalah. Jejak karya itu penting karena selalu ada perselisihan kepemilikan, perselisihan autentisitas, dan perselisihan nilai. Kami sebagai fasilitator akan mendaftarkan karya fisik ke dalam blockchain dalam bentuk smart contract,” ujar Co-Founder dan CEO Artopologi Intan Wibisono, dalam media workshop yang digelar di Jakarta, kemarin (27/10).

Sebagai diferensiasi lainnya, Artopologi akan memverifikasi dan mengurasi setiap seniman, karya, galeri, museum, dan pelaku seni yang bergabung. Alhasil, setiap karya yang ada di platform diklaim benar-benar berkualitas dan tidak sporadis.

Nilai unik lainnya adalah fokus pada karya seni fisik, bukan karya seni digital. Artopologi bukan NFT marketplace, NFT project, ataupun launchpad; melainkan merekam jejak karya dan karier seniman. Setiap karya yang ditampilkan dijamin keasliannya dengan underlying karya fisik dan bisa dibuktikan dengan sertifikat yang terdaftar di blockchain, sehingga tidak bisa diubah dan bersifat kekal.

Artopologi juga terintegrasi dengan jaringan blockchain. Marketplace ini dapat mendaftarkan sertifikat keaslian dengan otomatis dan mudah, tanpa memerlukan mata uang kripto. Meskipun demikian, seniman tetap perlu memiliki crypto wallet untuk bisa menerima dan mentransfer sertifikat.

Artopologi ingin memanjakan para kreator dan seniman agar tetap melindungi karya-karyanya dengan cara yang lebih baik. Juga untuk kolektor dalam menikmati hasil-hasil karya seni.

“Artopologi ini punya kemiripan dengan yang lain, tapi melengkapi yang sudah ada sebelumnya. Industri ini akan jauh lebih bagus bila ada cara-cara yang baik, salah satunya lokapasar yang terkurasi, sebelumnya kayak gado-gado bercampur. Itu yang diresahkan oleh para kreator,” tambah Rain Rusidi, kurator seni rupa dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia.

Platform Artopologi sendiri akan diresmikan untuk umum pada hari ini (28/10) ditandai dengan diselenggarakannya pameran bertajuk “Rekam Masa” di Museum Nasional, Jakarta berlangsung hingga 6 November 2022. Makna dari tema tersebut menandai kehidupan pada masa/zaman seseorang, ditandai dengan stempel waktu yang dimiliki teknologi blockchain.

Setiap karya seni dalam pameran ini terintegrasi ke blockhain yang dinyatakan oleh kode kriptografi sebagai sebuah pernyataan autentisitas atas setiap karya yang diinput.

Pameran dan platform akan memajang lukisan, patung, instalasi seni, pertunjukan dan karya mode dari seniman senior, seperti Teguh Ostenrik, Galam Zulkifli, Dipo Andy, Mang Moel, FJ Kunting, Rinaldy Yunardi, Didi Budiardjo, Ghea Panggabean, Joshua Irwandi, dan banyak artis pendatang baru Indonesia lainnya.

Setiap karya seni yang ditampilkan akan didaftarkan di blockchain agar keaslian dan asalnya diakui. Hal ini memberikan potensi royalti dan peluang kepemilikan fraksional. “Harga ditentukan oleh seniman, tentu ada pembagian hasil dengan kami. Tapi ini sifatnya diskusi langsung dengan masing-masing seniman dan case by case,” tutup Intan.

Bisnis “Quick Commerce” Global Terguncang, Bagaimana Nasib Pemain Lokal?

Kabar kurang sedap datang dari startup quick commerce di berbagai negara. Pengurangan staf secara masif, penutupan dark store (infrastruktur pemenuhan dan distribusi), penghentian bisnis di wilayah tertentu, sampai dengan berhentinya startup terkait menjadi sorotan banyak media. Startup terdampak termasuk mereka yang telah memiliki nama besar, sebut saja Gopuff, Zapp, Yango Deli, Gorillas, Geitr, Deliveroo, dan beberapa lainnya.

Di Indonesia sendiri, era quick commerce justru baru saja dimulai. Semua pemain yang ada baru memasuki tahun pertamanya. Kendati demikian, dari sisi industri sambutannya luar biasa. Lihat saja, Astro yang baru berdiri September 2021 lalu baru-baru ini membukukan pendanaan seri B, membuat dana ekuitas yang dikumpulkan perusahaan telah mencapai $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah.

Pelaku industri lokal masih optimis

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li untuk membicarakan hipotesisnya dalam berinvestasi ke startup quick commerce. Di Indonesia, AC Ventures adalah pendukung awal dan utama Astro.

Mereka mengidentifikasi model quick commerce ini sebagai gelombang disrupsi lanjutan dari industri ritel konsumen di Indonesia, khususnya di kota-kota tier-1 dengan populasi kepadatan tinggi.

Mengawali perbincangan, Adrian mengulas kembali tentang industri. Sebelumnya layanan e-commerce horizontal seperti Shopee, Tokopedia, hingga Blibli berhasil merajalela. Lalu, kemunculan model hybrid omnichannel seperti perusahaan ride-hailing yang bekerja sama dengan pengecer offline untuk menawarkan model Instacart/Flipkart, mengaktifkan saluran penjualan offline dan online.

Pada akhirnya kemunculan quick commerce sebagai gelombang terbaru telah diadopsi dengan cepat oleh konsumen yang turut diakselerasi oleh pandemi Covid-19.

“Dibandingkan dengan model ritel yang ada, konsep quick commerce menunjukkan peningkatan dari segi hasil penjualan serta pemanfaatan aset juga efisiensi biaya yang signifikan. Toko grosir memiliki keunggulan dalam hal pemanfaatan ruang dan pemenuhan pengiriman di sisi produktivitas penjualan. Dengan fokus pada layanan pengiriman, quick commerce juga memperluas cakupan area ke pelanggan dalam jarak 2-3 km yang kemudian berkontribusi pada peningkatan kinerja penjualan aset tetap bersama dengan produktivitas kurir,” jelas Adrian.

Dari faktor penjualan dan penghematan biaya di atas, pihaknya sangat yakin bahwa quick commerce akan menjadi game-changer dalam bisnis ritel konsumen di Indonesia.

Pandemi jadi momentum pertumbuhan quick commerce

Salah satu narasumber kami dari kalangan investor mengatakan, firmanya tidak begitu tertarik untuk ikut andil ke dalam hingar-bingar quick commerce, karena menurutnya ini adalah model bisnis yang relevan saat adanya pembatasan ketat beberapa waktu lalu.

Saat pandemi dimulai pertengahan 2020, pembatasan ketat dilakukan di mana-mana. Masyarakat mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan online marketplace dan e-grocery yang sebelumnya ada pun ramai diserbu pembeli.

Misalnya Sayurbox, menurut data internal mereka, sepanjang H2 2021 nilai perdagangan atau GMV produk premium meningkat sampai 53%. Pemain lain, Happyfresh sepanjang tahun 2020 juga mengalami peningkatan trafik transaksi sampai 10-20x lipat.

Melihat kesuksesan pemain legacy, quick commerce berusaha hadir menawarkan solusi yang lebih andal. 10-15 menit, ini adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan para quick commerce untuk memproses dan mengantarkan pesanan kebutuhan pokok yang dipesan lewat aplikasinya. Kategori produknya pun cukup lengkap, mulai dari sayur-mayur, kebutuhan pokok (minyak, gula, dll), makanan ringan, bahkan sampai dengan daging.

Tentu di tengah pembatasan aktivitas yang digalakkan masyarakat, kecepatan dan pemenuhan ini menjadi penting, karena barang-barang tersebut terkadang dibutuhkan secara mendesak di waktu tertentu. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Covid-19 bisa dikatakan telah terkendali — di tengah vaksinasi yang semakin meluas, 97% untuk dosis pertama. Masyarakat pun mulai merasa bebas untuk beraktivitas di luar.

Kebiasaan dan tren baru masyarakat yang sempat terbentuk ketika pandemi lambat-laun mulai berubah, kembali ke masa sebelum pandemi. Salah satunya dikatakan oleh Nur, seorang rekan yang tinggal di Jabodetabek. Layanan e-grocery sangat ia andalkan ketika PPKM ditegakkan pemerintah. Namun sekarang ia memilih kembali datang ke supermarket, “Mencium langsung aroma bahan makanan dan pengalaman jalan-jalan berbelanja itu yang selama ini hilang. Dan kami senang bisa melakukannya kembali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Managing Partner Gayo Capital Edward Chamdani. Ia melihat bahwa pertumbuhan di sektor quick commerce  sangat tergantung dari perubahan kebiasaan para pelanggan.

“Saat ini layanannya sendiri masih menyasar kota-kota tier-1, jika mereka bisa terus rutin menggunakan layanan ini dan model bisnisnya terbukti ‘sticky’ maka sektor ini akan terus bertumbuh.” ujarnya.

Analisis persaingan horizontal

Selain tidak bisa menawarkan pengalaman yang dibawakan ritel tradisional (dan modern) — untuk beberapa orang pengalaman ini lebih dari sekadar kecepatan berbelanja—platform quick commerce sebenarnya juga bersaing dengan beberapa pemain sekaligus. Sebut saja dengan minimarket yang saat ini bisa dijumpai di berbagai titik strategis (plus dilengkapi aplikasi pesan-antar), toko kelontong, tukang sayur keliling, sampai layanan digital yang sudah ada sebelumnya.

Peta persaingan penyedia produk kebutuhan harian / DailySocial.id

Produk FMCG dan makanan segar memang menjadi komoditas yang dikonsumsi semua kalangan, di manapun mereka berada. Sementara yang hendak digarap oleh quick commerce adalah konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan bisnis ini, terutama mereka yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

Mereka belum menyasar segmen lain yang biasa berbelanja produk terkait, contohnya ke orang-orang yang mengandalkan asisten rumah tangga. Pun demikian penetrasi di luar metro, masih belum dilakukan. Ada satu pemain yang bermain di tier-2, yakni Radius, namun dari informasi sumber yang kami dapat, penetrasi layanannya belum mendapatkan traksi yang berarti membuat mereka masih bermanuver dalam “stealh mode”.

Hal ini juga sebenarnya menjadi antisipasi yang dilakukan startup e-grocery Titipku. Sebelumnya mereka fokus memulai bisnis dari daerah Yogyakarta, namun karena untuk mengejar pertumbuhan mereka menutup layanan yang di daerah, lalu fokus ke Jabodetabek.

Venture Capitalist Eddi Danusaputro berpendapat, sebenarnya infrastruktur e-grocery modern justru dibutuhkan di kota lapis dua.

“Menurut saya, bisnisnya [quick commerce] akan feasible tapi harus diubah sedikit. Kalau di tier 1, mungkin supply dan demand-nya sudah kuat. Hal ini belum tentu berlaku di tier 2 dan tier 3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah path to profitability, dari masing-masing tier berbeda tapi harus tetap ada. Ini akan menentukan waktu yang tepat untuk ekspansi.”

Secara global, menurut laporan Research and Market, ukuran pasar untuk quick commerce ini telah mencapai $25 miliar di tahun 2020 dan akan bertumbuh sampai dengan $72 miliar di tahun 2025. Di sisi lain, berdasarkan laporan Euromonitor, ukuran pasar yang mencakup sembako, toko serba ada, supermarket, dan pasar induk di Indonesia dilaporkan mencapai $97 miliar pada tahun 2020. Di sisi lain,  kota tingkat 1 mewakili setidaknya seperempat pasar.

Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra mengklaim, ruang pertumbuhan layanan quick commerce di kota besar masih sangat luas. Terlebih penetrasi e-grocery dinilainya baru sekitar 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Artinya, ini menjadi sebuah momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

Optimisme senada disampaikan Co-Founder & CEO Bananas Mario Gaw. Ia mengatakan, “Layanan quick commerce masih terbilang baru di Indonesia. Namun, kami melihat adanya peluang sangat besar pada groceries market ini terutama mengingat besarnya populasi masyarakat Indonesia dan besarnya pasar untuk barang kebutuhan sehari-hari yang belum tergarap. Sejak awal berdiri, kami ingin menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi konsumen kami dan terus melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka”

Arah perkembangan quick commerce di Indonesia

Tidak hanya Astro, kini pasar quick commerce turut diramaikan sejumlah pemain lainnya, termasuk Bananas, AlloFresh (bentukan Bukalapak dan CT Corp), hingga Radius yang fokus di pasar luar Jakarta. Sementara pemain legasi juga mulai mendirikan unit yang sama, seperti Sayurbox lewat SayurKilat, Tokopedia dengan Tokopedia Now, sampai Grab via GrabMart Kilat.

Startup Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Investor
Astro Seri B $90 juta Accel, Tiger Global AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, Sequoia Capital India, dll.
AlloFresh Corporate Joint Venture $70 juta PT Trans Retail Indonesia (bagian dari CT Corp), Bukalapak, dan Growtheum Capital Partners
Bananas Pendanaan Awal ~$1,5 juta East Ventures, SMDV, Arise, Y Combinator, dll.
Radius Pra-Awal ~500 ribu Y Combinator

Mengambil salah satu studi kasus bisnis quick commerce di Indonesia dalam mengoperasikan layanannya. Untuk menghadirkan proses pengiriman cepat, Bananas mengandalkan hub mikro berbasis teknologi (dark stores) dalam menjalankan bisnisnya. Dark stores ditempatkan di berbagai lokasi strategis mendekati area pemukiman yang memungkinkan mitra pengemudi untuk mengantarkan produk pesanan kepada pelanggan secara instan.

Selain itu, mereka juga berkolaborasi langsung dengan berbagai brand principal untuk menghadirkan berbagai pilihan produk. Fokus terhadap penggunaan data menjadi salah satu kekuatan yang dihadirkan penyedia quick commerce untuk menghadirkan value untuk mitra penyedia produknya tersebut. Data ini penting untuk mempelajari perilaku serta kebutuhan konsumen demi menjaga akurasi level stok produk.

Kondisi tersebut membuat pada startup quick commerce membutuhkan modal tidak sedikit untuk debut dan mengakselerasi bisnisnya. Seperti yang disampaikan Bananas, bahwa pendanaan awal yang didapat akan difokuskan untuk mendorong perkembangan bisnis dan membangun lebih banyak dark stores yang akan menyediakan berbagai macam pilihan produk.

Disrupsi ritel FMCG

Cerita menarik lainnya datang dari Astro. Disampaikan hingga Mei 2022, pertumbuhan yang dicatatkan perusahaan telah mencapai 10x lipat dengan efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Mereka telah mengoperasikan dark stores di 50 titik di Jabodetabek dengan 1.500 SKU produk, mempekerjakan lebih dari 200 staf.

Melalui aplikasinya, selain menyuguhkan UI/UX yang sangat sederhana, Astro juga berusaha memberikan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi. Bahkan jika ada item yang tidak sesuai pesanan, fitur pelaporan di aplikasi juga disediakan untuk melakukan penggantian produk dalam waktu maksimal 15 menit.

Hal lain yang juga menarik adalah, kini Astro mulai mengembangkan produk private label. Mereka memulai dengan produk minuman dan makanan siap santap, di antaranya aneka kopi dan roti. Ini menarik, karena ritel modern juga melakukan hal serupa untuk pemenuhan barang konsumsi sekali pakai — contohnya Indomaret juga memproduksi air mineral sampai tisu dengan brand milik mereka sendiri. Diyakini juga bahwa strategi ini dapat menghadirkan unit ekonomi yang signifikan.

Produk makanan dan minuman yang diproduksi in-house dengan brand Astro / Astro

Pengalaman akan kecepatan yang ditawarkan oleh quick commerce jelas menjadi proposisi nilai tersendiri. Selain itu, dengan perputaran produk yang cepat dan akuisisi kanal pembelian masyarakat memungkinkan bisnis ini mendapatkan keuntungan potensial dari setiap penjualannya. Faktanya, di kancah global selama pandemi quick commerce mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 50%.

Tantangan bagi pelaku quick commerce di Indonesia adalah menyeimbangkan pertumbuhan dan cash burn dalam proses merumuskan resep yang tepat untuk skalabilitas. Oleh karena itu, model bisnis memerlukan perhatian yang mendetail pada sisi logistik operasi dan pengadaan, pembangunan merek, dan kontrol kualitas.

Tanggapan pelaku e-grocery

Dalam sebuah kesempatan temu media, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini memberikan komentar terkait quick commerce yang mulai menjadi tren pasar dan terkesan segera menggantikan peran platform e-grocery.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen e-grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja,” ujarnya.

Sebagai antisipasi, HappyFresh mengembangkan layanan Supermarket Online agar bisa menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark stores quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan e-grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peluang ekspansi di luar kota metro

Sementara pasar e-grocery Indonesia bertumbuh pesat disokong oleh pandemi, potensi ini belum tergarap sepenuhnya mengingat masih banyak area di luar kota metropolitan yang masih belum merasakan dampak dari kemudahan dan kecepatan pengiriman yang ditawarkan layanan quick commerce.

Dalam upaya penetrasinya sendiri, tantangan hadir dari berbagai sisi, di mana timbul kelangkaan penyedia online, lalu melambungkan biaya layanan serta proses pengiriman yang memakan waktu berhari-hari. Pada akhirnya, keterbatasan ini memaksa pelanggan untuk memilih yang “lebih efisien”, yaitu supermarket offline.

Tentunya tidak mudah menggambarkan potensi yang dimiliki ketika solusi ini bahkan belum menjangkau bagian masyarakat yang lebih besar. Prediksi pertumbuhan layanan quick commerce saat ini masih sangat bergantung pada inklusivitas dari perkembangan digitalisasi yang terjadi di Indonesia.

Meskipun begitu, digitalisasi ritel tradisional di Indonesia tetap berlangsung. Pasar grosir di Indonesia disebut telah bertumbuh hingga $207 miliar. Sekitar 70% dari total tersebut datang dari area pedesaan. Fakta ini menciptakan optimisme di sektor ini untuk bisa berkembang bahkan 5x lipat dalam lima tahun ke depan.

Sementara kota tingkat 1 akan menjadi ranah pertumbuhan layanan quick commerce, Adrian mengungkapkan proyeksinya terkait ekspansi layanan ini, “Kami percaya bahwa distribusi berbasis agen atau B2B2C model akan menjadi solusi yang tepat untuk kota tingkat 2-3 karena mereka menjembatani kesenjangan antara kesiapan teknologi dan biaya logistik jarak jauh yang akan diperjuangkan oleh perdagangan cepat menguntungkan khususnya di daerah yang kurang padat.”

Masa depan layanan quick commerce ini sendiri terkait erat dengan demokratisasi pertumbuhan ekonomi yang telah dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin meningkat oleh pergerakan modal politik negara. Tidak hanya redistribusi ekonomi namun penetrasi layanan ini ke area pedesaan juga bisa menciptakan redistribusi talenta, dengan lebih banyak pekerja kerah biru dan talenta teknologi tidak lagi harus mencari peluang kerja berkualitas di kota-kota tingkat 1.

Kristin Siagian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

NextICorn International Summit Kembali Digelar, Angkat Tema Web3 Sebagai Masa Depan Industri

Setelah dua tahun hiatus karena pandemi, ajang pertemuan startup Indonesia dengan investor global, NextICorn International Summit (atau NXC) akan kembali diselenggarakan di Bali pada tanggal 31 Agustus – 2 September 2022. Kegiatan kali ini akan lebih fokus untuk memberi sosialisasi serta edukasi terkait web3 (web 3.0) yang digadang menjadi masa depan industri teknologi.

Dalam 4 tahun terakhir, NextICorn telah berhasil menarik investor dari lebih dari 20 negara dan telah menjadi pusat ide, kreativitas, dan gerakan budaya digital. Mengemban misi yang konsisten, gelaran ini diharapkan bisa membuka peluang startup potensial di Indonesia untuk menemukan investor dalam pendanaan tingkat lanjut.

Akselerasi teknologi di kala pandemi berdampak pada jumlah unicorn yang ada di Tanah Air. Dalam jangka waktu kurang dari dua tahun, Indonesia berhasil mencetak hampir dua kali lipat lebih banyak unicorn dari periode 2016-2020. Sebuah fakta yang tidak bisa dianggap sebelah mata dan patut diapresiasi. Apa yang berhasil diwujudkan semua pihak yang terlibat di industri ini.

Jika pada gelaran sebelumnya hanya berlangsung selama dua hari, NextICorn kali ini rencananya akan dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama akan menjadi ruang untuk partisipan yang lebih umum bisa membangun koneksi dan belajar banyak hal terkait berbagai kemajuan di ekosistem startup teknologi tanah air.

Sementara hari kedua dan ketiga akan menjadi momen yang lebih eksklusif bagi para founder dan investor. Seperti pada gelaran NextICorn sebelumnya, startup-startup terpilih juga mendapat kesempatan yang sama untuk pitching bisnis mereka di depan para investor.

Acara ini akan menargetkan partisipasi lebih dari 160 startups dari seluruh penjuru negeri, serta lebih dari 125 investor baik lokal maupun global. Berkaca dari statistik sebelumnya, diperkirakan akan ada lebih dari 6000 meeting terlaksana dalam gelaran NextICorn International Summit 2022 ini.

Edward Chamdani, CEO NXC 2022, mengungkapkan, “Salah satu hal yang membedakan gelaran tahun ini dengan yang sebelumnya adalah NextIcorn kali ini akan fokus tidak hanya pada startup atau perusahaan dengan layanan mainstream, tetapi juga para pemain yang bergerak di sektor yang tengah berkembang. Selain itu, acara ini juga diharapkan bisa menyalurkan perspektif korporasi dalam geliat industri teknologi,”

Web3 bukan sekadar hype

Sebagai salah satu perusahaan konsultan ternama dan juga mitra dari NextIcorn, Ernst & Young Indonesia menemukan fakta yang cukup fundamental terkait industri startup dan ekonomi digital. Para investor kini semakin tertarik untuk berinvestasi pada teknologi terkini yang sekarang disebut web3.

Web3 membuka jalan bagi masa depan di mana orang dan mesin yang berbeda dapat berinteraksi dengan data, nilai, dan rekanan lainnya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Kemampuan ini berkat substansi jaringan peer-to-peer. Produk akhirnya adalah struktur komputer modular, berpusat pada manusia, dan menjaga privasi untuk gelombang web berikutnya.

Dewasa ini, semakin banyak sektor yang mulai melihat peluang untuk mengadaptasi teknologi teranyar ini. Ekonomi metaverse secara global juga bertumbuh secara eksponensial mencapai $350 miliar di tahun 2021. Hal ini patut menjadi perhatian dan alasan untuk semakin jauh melihat seperti apa proyeksi pertumbuhan industri ini kedepannya.

NextICorn International Summit 2022 ini akan banyak membahas tentang seluk beluk ekosistem web3. Terdapat area khusus yang disebut Experience Area, didedikasikan untuk para partisipan agar bisa merasakan pengalaman langsung dengan teknologi web3. Selain itu, NextICorn juga akan menghadirkan para penggiat web3 ternama global termasuk para pemimpin pasar untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Chairman NextICorn Rudiantara mengatakan “Di era sebelumnya, kita masih fokus pada pengembangan teknologi di ranah web 2.0. Melalui NextICorn kali ini, kita akan lebih fokus untuk memberikan sosialisasi serta edukasi yang lebih mendalam terkait masa depan di industri ini yaitu web3.”

Non-Fungible Token (NFT) 101: Accelerating Adoption in Indonesia

The global non-fungible token (NFT) fever which occurred since early this year has opened up opportunities for local players to offer easy ownership of (digital) art objects that have been absent for collectors. This year alone, there are at least four NFT marketplace platforms available in Indonesia. Those are TokoMall, Kolektibel, ChickenKingNFT (owned by KFC), and Paras Digital, offering its own unique value.

According to Wette.de data, the global NFT has $43.08 billion market cap and a trading volume of around $3.6 billion. Meanwhile, according to DappRadar, NFT sales volume jumped to $10.7 billion in Q3 2021, rises over eight times from the previous quarter.

The world’s largest NFT marketplace, OpenSea, recorded sales volumes of up to $3.4 billion in August 2021. The activities remained strong through September when global stock markets faltered. Rising cryptocurrency prices during the COVID-19 pandemic is often said to drive the growth of the NFT market — as people use cryptocurrencies to buy NFTs — but analysts say crypto assets have value, regardless of market conditions.

As of October, Beeple still ranks first on the list of top NFT artists with a $145.03 million total artwork value. According to Cryptoart.io, he has sold 1346 artworks so far with an average sale of $107,752. The second-ranked artist, Pak, following at a farther distance with a total value of $56.41 million.

NFT 101

From various literatures, NFT is most easily understood as a unique digital asset. The asset exists in various industries, from digital art, virtual real estate, to collectibles, games, and more. Basically, any type of media can be printed or tokenized and converted into NFT: art, trading cards, memes, gifs, video clips, audio clips, tweets, this article — you name it. Once tokenized, these assets can be bought, sold and traded using cryptocurrencies.

Why is the world flocking to NFT? The US’ serial entrepreneur, Gary Vaynerchuck (or “GaryVee”) said, there are three added values ​​NFT offers, utility, access, and social currency. If you understand the concepts behind membership cards, credit card rewards, tickets to special events for VIP members, then you understand NFT.

“If you’ve ever purchased skins or other virtual items for your video games, you understand NFTs. The reason you wanted that item was to be a utility in a world that you cared about, or to have the clout and bragging rights amongst your friends and others. NFTs are going to extend that same utility and “flex” of social currency to everything else,” Vaynerchuck explained.

He continued, the reasons people buy NFT are the same reasons people wear designer-made products, drive luxury cars, or hang pictures of important figures on the wall. It’s the same reason people care about blue ticks on Instagram.

“Years down the line, I believe that we will all be checking out each other’s digital wallets and bonding over the mutual interests in our NFT purchases. Everyone will have some kind of NFT project, the same way everyone has a social media account.”

On one hand, NFT will help ordinary people realize their true destiny as artists. This method is similar to social media platforms that transforms people to influencers. NFT will open the door for so many people with artistic inclinations to explore avenues they never thought possible.

There’s another point, NFT is revolutionizing IP ownership. The fact that artists will continue to earn royalties from reselling their digital work will empower content creators in a never-seen-before way. Each popular NFT marketplace has its own rules and preferences for regulating and paying royalties.

On Rarible, an artist can tokenize and manage its own NFT sales. For example, while making a listing on Rarible, one can set the royalty percentage to earn on each (re)sale on the secondary market.

In the first stage, after minting a digital art product for the first time, the artist gets all the sales share after deducting the platform commission.

On the subsequent sales, the artist will earn a 20% commission on each sale, even if they are no longer directly involved in the sale. Unfortunately, when the goods are transferred to another NFT platform, such as OpenSea, the royalty scheme is no longer valid and cannot be transferred.

Ideosource’s Co-founder and Managing Partner, Edward Chamdani explained, royalties are the most important thing for every creator. He took an example in the music industry. Previously, the medium used for listening to music was through vinyls, cassettes, and CDs. Over time, platforms like iTunes and Spotify arrived and helped the supply chain to the end consumer.

However, its existence shuts down the previously established supply chain as musicians can no longer print cassettes to CDs. In the end, music labels were affected and eventually went out of business. In fact, the musicians’ biggest income comes from selling physical goods as the source of royalties.

“Musicians were not really preserved since the beginning, from royalties through CD sales, to the presence of digital platforms which means they no longer produce CDs. The royalties obtained from the digital platform are considered to be in long term, compared to the CD sales with bigger up front revenue,” Edward said.

Royalty is considered to be the reason for many artists intrigued to enter the NFT scheme. Apart from Rarible and OpenSea, there are many marketplace options offer unique propositions. These include Axie Marketplace, CryptoPunks, NBA Top Shot Marketplace, SuperRare, KnownOrigin, Foundation, Nifty Gateway, Solanart, and Hic Et Nunc.

The last platform, based on DailySocial’s observation, is a favorite destination for local artists to sell their work. One of the musicians, Souljah, has used NFT to market the artwork for the song entitled “Keep On Moving”. Souljah released a limited number of NFTs and stop releasing on September 30, 2021 through its own website and selling digital merchandise through Hic Et Nunc.

NFT in local wisdom

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

Despite the risks, many global marketplace platforms are not very friendly for Indonesians with limited insights to the NFT scheme. In order to make purchases on NFT platform, collectors need a wallet that is compatible with the NFT-enabled blockchain network in their preferred marketplace.

If you plan to buy and sell NFT via an Ethereum-based blockchain platform, a compatible wallet is required. For example, OpenSea is compatible with Metamask, Bitski, Fortmatic, WalletConnect and other wallets. It’s similar to put money in a wallet, you need to fill the wallet with a certain amount of crypto assets before buying, registering, or printing NFTs. In addition, it is necessary to find out what crypto assets are used by the marketplace you want to use.

Finally, create an account on the marketplace. In most marketplaces, the process of registering, creating NFT, selling, and buying on the platform incurs a blockchain network fee with an amount depends on which blockchain-based system is used.

The majority of NFT marketplaces only accept payments with Etherium coins. There are others that accept fiat currency and more standard payment methods, such as PayPal, but this is quite rare. Due to such conditions, NFT transactions considered to be expensive in ETH. As of November 10, 2021, 1 ETH costs IDR 67.6 million ($4,808).

Kolektibel is a new NFT marketplace player that further explored this market, it was designed as friendly as possible, therefore, NFT could be quickly adopted. Kolelktible adopted NBA Top Shot to Indonesia by utilizing fiat currency through payment gateways for their NFT transactions.

Kolektibel’s CEO, Pungkas Riandika explained that every NFT transaction is carried out with fiat currency and the payment is integrated with popular digital payment instruments, such as GoPay, OVO, Virtual Account, debit/credit cards, therefore, you can make payment via Alfamart and Indomaret.

Kolektibel is different from other NFT marketplaces as it stands on the Vexanium public blockchain network for recording NFT ownership. Vexanium is said to be the only Indonesian based public blockchain with a legal entity in the form of a foundation (Vexanium Technology Nusantara Foundation) created by Danny Baskara.

Vexanium does not charge any fees. Unlike other public blockchain networks that charge gas fees per NFT transaction. This strategy is possible because Vexanium uses the DPOS (delegated proof of stake) mechanism. This is a variant that provides operational benefits with very efficient energy and environmentally friendly.

“Furthermore, as Vexanium has the ability to approach block producers (decision maker) in the Vexanium DAO entity. Such decision as cost determination (resources fees) associated with NFT. These things cannot be found in other public blockchains,” he told DailySocial.

Pungkas said, this is expected to be a breakthrough for Indonesians as they can directly collect NFT in an easy way. “If you pay attention to transaction using crypto in DeFi, it requires a long process, one of which is to own a wallet, including a gas fee, and so on. It makes NFT adoption difficult.”

Kolektibel’s approach differs from its peers in terms of payment methods. TokoMall only provides TKO crypto assets for NFT exchange, Paras Digital uses NEAR, and ChickenKingNFT uses ETH. All three are utilizing the integration with MetaMask wallet to transact.

TokoMall Kolektibel Paras Digital ChickenKing NFT
Blockchain network Binance Smart Chain (BSC) Vexanium NEAR Protocol Ethereum (OpenSea)
Coin/ Payment methods TKO Fiat/IDR, through payment gateway NEAR ETH
Wallet MetaMask, WalletConnect None MetaMask anyting compatible with OpenSea
NFT asset focus Digital arts by artists and creative community IP brand owners of such categories, sports, creative, legendary moments and culture Digital collectible, including games, comics, toys and arts Characterized KFC chicken mascot

Market differentiation

Each NFT marketplace has its own target market to popularize NFT in Indonesia. TokoMall, for example, targets local creators, consisting of artists, digital artists, and creative communities with good reputations to enter NFT. To date, there are 40 partners who have joined, including Nevertoolavish, MaximallFootwear, DAMN! I Love Indonesia, Banyan Core, Si Juki, ONIC E-Sports, Afternoon, Mr. Kinur, Karya Karsa, Jakarta Metaverse, and Museum of Toys.

This way, each creator with a fan base can easily attract the mass market to know more about NFT. TokoMall allows collectors to exchange their collected NFT for physical merchandise from merchant partners at TokoMall through the company’s newly released TokoSurprise feature.

“The difference with other platforms is that we are trying to push digital meets reality, so these collectors have the opportunity to exchange NFTs for real goods. Therefore, it’s not just a digital collection,” Tokocrypto’s VP Marketing, Adytia Raflein told DailySocial.

TokoSurprise

Raflein also mentioned that TokoMall is expected to encourage artists and brands to be creative in the NFT world with a local platform at much friendlier costs, rather than having to use a global platform.

With TokoSuprise mechanism, creators who release a limited number of NFT works are marketed through TokoMall. Every collector who buys the work has the right to exchange it for physical merchandise to TokoMall. In the future, TokoMall will collaborate with more creators from various business verticals, such as consumer companies to the e-sports industry, thererfore, NFT can become more mainstream in Indonesia.

Since two and a half months since TokoMall was launched, it already has more than 8,500 collectors, with over 5 thousand NFT works produced by 40 official partners. In terms of sales, over 250 NFTs have reported being sold with a transaction value of Rp200 billion.

Meanwhile, in its early days, Kolektibel entered the basketball segment through its inaugural partnership with the Indonesian Basketball League (IBL). For IBL, this innovation is a way to bring basketball and IBL fans closer together with their athletes. IBL prepares video documentation of matches, carefully curated based on golden moments in the match.

The shortlist of moments is visually repackaged and registered into the smart contract blockchain, which makes each asset record its ownership history. This strategy opens new revenue channels for athletes and clubs through the NFT sales.

After IBL, Kolektibel will target other IP owners with assets in various categories, such as sports, creative, legendary moments, and culture. Through its derivatives, there will be more NFT assets to collect. “Sport is quite dynamics and closer to the community. Therefore, this category is our step to further understand how the future development of NFT will be,” Pungkas said.

Paras Digital, on the other hand, has ambitions to be a pioneer in the digital transformation of collectibles, including games, comics, toys, and digital arts through smart contract capabilities and blockchain technology. Therefore, the platform targets pop-culture enthusiast, such as fandoms and gamers focusing on China and Southeast Asia.

Eventually, ChickenKingNFT leverages the existing KFC’s solid brand to attract new collectors. Through its website, ChickenKing offers 4,848 uniquely generated limited edition NFTs. The story of the Chicken King, refers to 6 chickens from 6 different backgrounds and characteristics, competing with each other to prove which one stands as the best chicken in the universe.

KFC offers every member the opportunity to receive discounts on physical merchandise and partner stores, attend exclusive community gatherings, and others. Currently, ChickenKingNFT can be purchased through OpenSea.

First step to go mainstream

The presence of these local marketplace platforms paved the way for more NFT use cases. Globally, many IP owners from various industry verticals have entered NFT, such as gaming, fashion, music, logistics, real estate, identification and documentation, and many other things. It seems that is just a matter of time until all of this happens in Indonesia.

“This technology [NFT] soon to be mainstream when it’s due,” Edward added.

Vaynerchuck believes that NFT is a representative of major cultural change. History teaches humanity that through change, comes skepticism and mass confusion. Many who scoff at the NFT’s idea or viability are simply do not understand the larger implications. Like the concept of online dating in the ’90s or have a trip with strangers (Uber and Lyft), every idea is “crazy” to the point where it’s deemed not.

NFT will continue to be seen as “fad” by those who haven’t changed their mindset to embrace where the world is going.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Non-Fungible Token (NFT), Mempercepat Adopsi di Indonesia

Demam non-fungible token (NFT) global yang terjadi sejak awal tahun ini membuka kesempatan bagi pemain lokal menawarkan kemudahan kepemilikan benda seni (digital) yang selama ini absen untuk para kolektor. Terhitung tahun ini setidaknya ada empat platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia. Mereka adalah TokoMall, Kolektibel, ChickenKingNFT (milik KFC), dan Paras Digital yang masing-masing menawarkan nilai uniknya.

Menurut data Wette.de, pasar NFT global memiliki kapitalisasi pasar sebesar $43,08 miliar dan volume perdagangan sekitar $3,6 miliar. Sementara menurut DappRadar, volume penjualan NFT melonjak menjadi $10,7 miliar pada Q3 2021, naik lebih dari delapan kali lipat dari kuartal sebelumnya.

Marketplace NFT terbesar di dunia, OpenSea, mencatat volume penjualan hingga $3,4 miliar pada Agustus 2021. Aktivitas tetap kuat bahkan pada September ketika pasar saham global goyah. Kenaikan harga mata uang kripto selama pandemi COVID-19 sering disebut sebagai pendorong di balik pertumbuhan pasar NFT — karena orang menggunakan mata uang kripto untuk membeli NFT — tetapi para pengamat mengatakan bahwa aset kripto memiliki nilai, terlepas dari kondisi pasar.

Hingga Oktober, Beeple masih menempati urutan pertama dalam daftar seniman NFT teratas dengan total nilai karya seni sebesar $145,03 juta. Menurut Cryptoart.io, sejauh ini dia telah menjual 1346 karya seni dengan penjualan rata-rata bernilai $107.752. Seniman peringkat kedua, Pak, mengikuti dari jarak yang cukup jauh dengan nilai total $56,41 juta.

Memahami NFT

Dari berbagai literatur, NFT paling mudah dipahami sebagai aset digital unik. Aset ini ada di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT: seni, kartu perdagangan, meme, gif, klip video, klip audio, tweet, artikel ini — apa saja. Setelah diberi token, aset ini dapat dibeli, dijual, dan diperdagangkan menggunakan mata uang kripto.

Mengapa dunia berbondong-bondong terjun ke NFT? Menurut serial entrepreneur Amerika Serikat Gary Vaynerchuck (atau “GaryVee”) , ada tiga nilai tambah yang ditawarkan NFT, yakni utilitas, akses, dan mata uang sosial. Jika Anda memahami konsep di balik kartu keanggotaan, rewards kartu kredit, tiket ke acara khusus untuk anggota VIP, artinya Anda paham NFT.

“Jika Anda pernah membeli skin atau item virtual lainnya untuk gim video Anda, Anda memahami NFT. Alasan Anda menginginkan item itu adalah untuk menjadi utilitas di dunia yang Anda pedulikan, atau untuk memiliki pengaruh dan hak membual di antara teman-teman Anda dan orang lain. NFT akan memperluas utilitas yang sama dan ‘melenturkan’ mata uang sosial ke segala hal lainnya,” terang Vaynerchuck.

Dia melanjutkan, alasan orang membeli NFT adalah alasan yang sama dengan orang yang memakai pakaian berlogo desainer, mengendarai mobil mewah, atau menggantung gambar di dinding dengan orang penting. Itu alasan yang sama orang peduli dengan centang biru di Instagram.

“Bertahun-tahun ke depan, saya percaya bahwa kita semua akan memeriksa dompet digital satu sama lain dan terikat pada kepentingan bersama dalam pembelian NFT kita. Setiap orang akan memiliki semacam proyek NFT, dengan cara yang sama setiap orang memiliki akun media sosial.”

Di satu sisi, NFT akan membantu orang biasa menyadari takdir mereka yang sebenarnya sebagai seniman. Cara ini mirip dengan platform media sosial yang membawa orang menjadi influencer. NFT akan membuka pintu bagi begitu banyak orang dengan kecenderungan artistik untuk menjelajahi jalan yang tidak pernah mereka pikirkan.

Hal berikutnya yang menarik adalah NFT merevolusi kepemilikan IP. Fakta bahwa seniman akan terus mendapatkan royalti dari penjualan kembali karya digital mereka, akan memberdayakan pembuat konten dengan cara yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setiap marketplace NFT populer memiliki aturan dan pilihannya sendiri dalam mengatur dan pembayaran royalti.

Di Rarible, seorang seniman dapat mentokenisasi dan mengatur penjualan NFT sendiri. Sebagai contoh, ketika membuat listing di Rarible, ia bisa mengatur berapa persentase royalti yang ingin diperoleh di setiap penjualan kembali di secondary market.

Di tahap pertama, setelah minting sebuah produk seni digital pertama kalinya, seniman tersebut mendapatkan semua bagian penjualan setelah dipotong komisi platform.

Di penjualan berikutnya, seniman tersebut akan mendapatkan komisi 20% dari setiap penjualan, meskipun dia tidak lagi terlibat langsung di penjualan itu. Sayangnya, ketika barang dipindah ke platform NFT lain, misalnya OpenSea, skema royalti itu tidak lagi berlaku dan tidak bisa ditransfer.

Co-founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, royalti adalah hal terpenting bagi setiap kreator. Dia mencontohkan di industri musik, dulu untuk mendengarkan musik dari musisi kesayangan itu mediumnya melalui piringan hitam, kaset, dan CD. Seiring berjalannya waktu, mulai hadir iTunes hingga Spotify yang sebenarnya membantu rantai pasok ke konsumen akhir.

Namun, keberadaannya mematikan rantai pasok yang sebelumnya sudah terbentuk karena musisi tidak bisa lagi mencetak kaset hingga CD. Akhirnya label musik pun ikut terdampak sampai akhirnya gulung tikar. Padahal, pendapatan terbesar musisi itu datang dari penjualan barang fisik karena disitulah sumber royaltinya.

“Musisi itu tidak terproteksi dari zaman dulu, dari awalnya dapat royalti dari setiap penjualan keping CD, sekarang kehadiran platform digital jadi tidak bisa produksi CD. Royalti yang didapat dari platform digital kalau dihitung-hitung lebih untuk long term, sebab kalau dibandingkan dengan penjualan CD revenue di depan lebih besar,” terang Edward.

Kehadiran royalti disinyalir menjadi pendorong mengapa banyak seniman tertarik untuk masuk ke dunia NFT. Selain Rarible dan OpenSea, banyak pilihan marketplace dengan proposisi unik yang mereka tawarkan. Termasuk di antaranya adalah Axie Marketplace, CryptoPunks, NBA Top Shot Marketplace, SuperRare, KnownOrigin, Foundation, Nifty Gateway, Solanart, dan Hic Et Nunc.

Platform terakhir ini, menurut pantauan DailySocial, menjadi favorit destinasi para seniman lokal untuk menjual hasil karyanya. Salah satunya adalah band Souljah yang memanfaatkan NFT untuk memasarkan karya seni lagu berjudul “Keep On Moving”. Souljah merilis NFT dalam jumlah terbatas dan tidak pernah dirilis lagi pada 30 September 2021 melalui situs sendiri dan menjual merchandise digital melalui Hic Et Nunc.

NFT dengan kearifan lokal

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Di balik risiko tersebut, banyak platform marketplace global yang kurang ramah bagi orang Indonesia yang masih awam dengan dunia NFT.  Untuk membeli sebuah karya di platform NFT, kolektor memerlukan wallet (dompet) yang kompatibel dengan jaringan blockchain yang mendukung NFT yang hendak dibeli melalui marketplace pilihan.

Jika berencana jual beli NFT melalui platform blockchain berbasis Ethereum, diperlukan dompet yang kompatibel. Sebagai contoh, OpenSea kompatibel dengan dompet Metamask, Bitski, Fortmatic, WalletConnect, dan lainnya. Selayaknya mengisi uang di dompet, Anda perlu mengisi dompet dengan beberapa aset kripto dengan jumlah tertentu sebelum membeli, mendaftar, atau mencetak NFT. Selain itu, perlu mencari tahu aset kripto apa yang digunakan oleh marketplace yang ingin digunakan.

Terakhir, membuat akun di marketplace. Pada sebagian besar marketplace, proses mendaftar, membuat NFT, menjual, hingga membeli di platform tersebut menimbulkan biaya jaringan blockchain yang besarannya tergantung pada sistem berbasis blockchain mana yang digunakan.

Mayoritas marketplace NFT hanya menerima pembayaran dengan koin Etherium. Ada beberapa lainnya yang menerima mata uang fiat dan metode pembayaran yang lebih standar, misalnya PayPal, namun hal ini masih jarang terjadi. Karena kondisi demikian, transaksi NFT bisa dikatakan cenderung mahal bila menggunakan ETH. Per tanggal 10 November 2021, 1 ETH seharga Rp67,6 juta ($4.808).

Celah ini kemudian dimanfaatkan Kolektibel sebagai pemain marketplace NFT baru yang mendesain platform-nya seramah mungkin agar dapat NFT dapat diadopsi secara cepat. Kolektibel mengadopsi NBA Top Shot ke Indonesia dengan memanfaatkan mata uang fiat melalui payment gateway untuk transaksi NFT-nya.

CEO Kolektibel Pungkas Riandika menjelaskan, setiap transaksi NFT dilakukan dengan mata uang fiat dan pembayarannya sudah terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja GoPay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat membayar melalui Alfamart dan Indomaret.

Kolektibel berbeda dengan marketplace NFT lainnya karena berdiri di atas jaringan public blockchain Vexanium untuk pencatatan kepemilikan NFT. Vexanium disebut merupakan satu-satunya public blockchain asli Indonesia dengan entitas legal berbentuk yayasan (Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara) besutan Danny Baskara.

Vexanium tidak membebankan biaya sama sekali. Berbeda dengan jaringan publik blockchain lainnya yang membebankan gas fee saat bertransaksi NFT. Strategi ini mampu dijalankan karena Vexanium menggunakan mekanisme DPOS (delegated proof of stake). Ini adalah salah satu varian dari proof of stake yang memberi manfaat operasional yang sangat hemat energi dan ramah lingkungan.

“Berikutnya, karena Vexanium memiliki kemampuan untuk approaching para pengambil keputusan (block producer) di entitas DAO Vexanium. Keputusan-keputusan seperti penentuan biaya (resources fee) yang terkait dengan NFT. Hal-hal tersebut tidak dapat ditemui di public blockchain lainnya,” ucapnya kepada DailySocial.

Menurut Pungkas, langkah ini diharapkan akan menjadi breakthrough bagi orang Indonesia karena mereka dapat langsung mengoleksi NFT dengan cara yang mudah. “Kalau diperhatikan, di DeFi untuk bertransaksi pakai kripto itu perlu proses yang panjang, salah satunya harus punya wallet, ada gas fee, dan sebagainya. Itu mempersulit adopsi NFT.”

Pendekatan Kolektibel berbeda dengan rekan sejawatnya dalam hal metode pembayaran. TokoMall hanya menyediakan aset kripto TKO untuk penukaran NFT, Paras Digital yang memanfaatkan NEAR, dan ChickenKingNFT yang menggunakan ETH. Ketiganya memanfaatkan integrasi dengan dompet MetaMask untuk bertransaksi.

TokoMall Kolektibel Paras Digital ChickenKing NFT
Jaringan blockchain Binance Smart Chain (BSC) Vexanium NEAR Protocol Ethereum (OpenSea)
Koin/Metode pembayaran TKO Fiat/IDR, melalui payment gateway NEAR ETH
Dompet MetaMask, WalletConnect Tidak ada MetaMask Apapun yang kompatibel dengan OpenSea
Fokus aset NFT Karya seni digital dari seniman, digital artist, dan komunitas kreatif Brand pemilik IP dari berbagai kategori, olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya Digital collectible, termasuk game, komik, mainan, dan karya Maskot ayam KFC berkarakter

Diferensiasi pasar

Masing-masing marketplace NFT ini memiliki target pasar masing-masing untuk memopulerkan NFT di Indonesia. TokoMall, misalnya, menyasar kreator lokal, yang terdiri dari seniman, digital artist, dan komunitas kreatif bereputasi baik untuk terjun ke NFT. Sejauh ini ada 40 mitra yang sudah bekerja sama, termasuk Nevertoolavish, MaximallFootwear, DAMN! I Love Indonesia, Banyan Core, Si Juki, ONIC E-Sports, SoreSore, Mr. Kinur, Karya Karsa, Jakarta Metaverse, dan Museum of Toys.

Dengan cara ini, masing-masing kreator yang sudah memiliki basis penggemar dapat lebih mudah menarik massa untuk mengenal lebih jauh soal NFT.  TokoMall juga memungkinkan kolektor menukarkan NFT yang dikoleksi dengan merchandise fisik dari merchant partner di TokoMall melalui fitur TokoSurprise yang baru dirilis perusahaan.

“Pembeda dengan platform lainnya karena yang kita dorong adalah digital meets reality, jadi para kolektor ini berkesempatan untuk menukarkan NFT ke barang asli, jadi enggak sebatas koleksi digital saja,” kata VP Marketing Tokocrypto Adytia Raflein kepada DailySocial.

TokoSurprise

Raflein juga menuturkan, kehadiran TokoMall diharapkan dapat mendorong seniman dan brand untuk berkreasi di dunia NFT dengan platform lokal dan biaya yang jauh lebih bersahabat, daripada harus menggunakan platform global.

Dalam mekanisme TokoSuprise, kreator yang merilis karya NFT dengan jumlah terbatas dipasarkan melalui TokoMall. Setiap kolektor yang membeli karya tersebut berhak untuk menukarkannya ke merchandise fisik ke pihak TokoMall. Ke depannya, TokoMall akan menggandeng lebih banyak kreator dari berbagai vertikal bisnis, seperti perusahaan konsumer hingga industri e-sports agar NFT dapat semakin mainstream di Indonesia.

Sejak dua setengah bulan TokoMall diluncurkan, saat ini telah memiliki lebih dari 8.500 kolektor, lebih dari 5 ribu karya NFT yang diproduksi oleh 40 mitra official. Dari sisi penjualan, tercatat sudah lebih dari 250 NFT terjual dengan nilai transaksi Rp200 miliar.

Sementara itu, pada tahap kemunculan Kolektibel, pihaknya masuk ke segmen olahraga basket lewat kemitraan perdana dengan Indonesian Basketball League (IBL). Bagi IBL, inovasi ini adalah cara untuk mendekatkan penggemar basket dan IBL beserta para atletnya. IBL menyiapkan video dokumentasi pertandingan, dikurasi secara cermat berdasarkan momentum penting dalam pertandingan.

Shortlist momen tersebut dikemas ulang secara visual dan didaftarkan ke dalam blockchain smart contract, yang membuat tiap aset tersebut tercatat data sejarah kepemilikannya. Kesempatan ini juga membuka penambahan pendapatan baru untuk para atlet dan klub lewat penjualan NFT.

Setelah IBL, Kolektibel akan menyasar pemilik IP lainnya yang memiliki berbagai aset dengan kategorisasi di olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya. Bila dilihat secara turunannya, akan semakin banyak aset NFT yang bisa koleksi oleh para kolektor. “Olahraga itu punya dinamika yang cepat dan dekat dengan masyarakat. Makanya, kategori ini jadi langkah kami untuk memahami lebih jauh bagaimana pengembangan NFT ke depannya seperti apa,” tambah Pungkas.

Adapun Paras Digital berambisi ingin menjadi pelopor transformasi pada digital collectible, termasuk game, komik, mainan, dan karya digital lewat kemampuan smart contract dan teknologi blockchain. Oleh karenanya, target penggunanya adalah pop-culture enthusiast, seperti fandom dan gamers dengan fokus pasar Tiongkok dan Asia Tenggara.

Terakhir, ChickenKingNFT memanfaatkan brand KFC yang sudah kuat untuk menarik kolektor baru. Lewat situsnya, ChickenKing menawarkan 4.848 NFT edisi terbatas yang dihasilkan secara unik. Kisah Raja Ayam, mengacu pada 6 ayam yang berasal dari 6 latar belakang dan karakteristik yang berbeda, yang saling bersaing untuk membuktikan siapa di antara mereka yang berdiri sebagai ayam terbaik di alam semesta.

KFC menawarkan setiap pemegang kartu anggota berkesempatan dapat diskon merchandise fisik dan toko mitra, menghadiri pertemuan komunitas eksklusif, dan penawaran lainnya. Saat ini, ChickenKingNFT dapat dibeli melalui OpenSea.

Langkah awal menuju mainstream

Kehadiran para platform marketplace lokal ini membuka jalan menuju lebih banyak use case NFT lainnya. Di kancah global, sudah banyak pemilik IP dari beragam vertikal industri yang masuk ke NFT, seperti gaming, fesyen, musik, logistik, real estate, identifikasi dan dokumentasi, dan banyak hal lainnya. Artinya, ini semua tinggal tunggu waktu saja sampai terjadi di Indonesia.

“Teknologi ini [NFT] akan masuk ke mainstream karena sudah waktunya,” tambah Edward.

Vaynerchuck percaya bahwa NFT adalah perwakilan dari perubahan budaya besar. Sejarah mengajarkan pada manusia dengan perubahan muncul skeptisisme dan kebingungan masal. Banyak yang mencemooh gagasan atau kelangsungan hidup NFT sama sekali belum memahami implikasi yang lebih besar. Seperti konsep kencan online di tahun 90-an atau naik mobil dengan orang asing (Uber dan Lyft), setiap ide “gila” sampai dianggap tidak.

NFT akan terus dilihat sebagai “keisengan” oleh mereka yang belum mengubah pola pikir untuk merangkul ke mana arah dunia.

GoCement Terima Pendanaan Tahap Awal, Digitalkan Industri Konstruksi Melalui Marketplace B2B

Startup marketplace B2B khusus konstruksi “GoCement” berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Tidak disebutkan nominal dana yang didapat dalam putaran ini. Perusahaan memastikan dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform-nya, termasuk memanfaatkan jaringan Arise di perusahaan konstruksi pelat merah.

GoCement didirikan pada 2020 di tengah pandemi oleh Djonny Suwanto dan Asanga Abhayawardhana yang berpengalaman lebih dari 30 tahun di industri konstruksi karena keduanya berasal dari latar belakang pabrikan dan distributor. Dengan pengalaman matang di industri perdagangan bahan bangunan, menjadi bekal yang baik untuk mendorong tingkat pertumbuhan teknologi konstruksi.

Layanan tersebut berusaha mendigitalkan industri konstruksi yang ada dengan menciptakan pasar yang memanfaatkan distribusi bahan bangunan terdesentralisasi melalui manufaktur cloud. Model ini dicapai dengan mengarahkan produsen, distributor, membangun toko ritel, kontraktor, dan konsumen individu lainnya ke dalam satu platform. Dengan memanfaatkan manufaktur cloud, GoCement akan memberdayakan produsen UKM lokal untuk meningkatkan load cell mereka agar dapat menjaring klien yang lebih besar.

Kebutuhan dramatis untuk transformasi digital telah diperkuat melalui pandemi, pertumbuhan pasar B2B melonjak 16% selama beberapa tahun terakhir. Alasan ledakan teknologi konstruksi terutama berkisar pada tantangan yang dihadapinya dengan fragmentasi yang tinggi, komunikasi yang buruk, dan kurangnya transparansi data. GoCement memberikan solusi inovatif untuk menjawab tantangan yang ada di pasar tersebut.

CEO & Founder GoCement Djonny Suwanto menuturkan, konstruksi adalah industri yang masif, ekosistem yang kompleks dari pemilik proyek, pengembang, arsitek, kontraktor umum, subkontraktor hingga tukang (mandor/tukang), dan banyak lagi. Ia bahkan menyebut industri ini sebagai dinosaurus terakhir yang siap untuk disrupsi teknologi.

Selama bertahun-tahun, ia mengamati beberapa masalah signifikan dalam industri konstruksi, terutama didorong oleh pengadaan material yang tidak efisien dan pengangkutan barang-barang berukuran besar yang bernilai rendah. Masalahnya nyata. Kontraktor harus dapat menghemat waktu dan kerumitan untuk menghasilkan produktivitas.

“GoCement hadir untuk merevolusi industri dengan menghadirkan transparansi dan pengadaan bahan bangunan serta perekrutan peralatan yang efisien melalui inovasi & teknologinya,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (18/10).

Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, industri konstruksi Indonesia mirip dengan India karena didominasi oleh beberapa pemain besar. Kesempatan tersebut memungkinkan pemain seperti Infra.Market untuk membangun jaringan yang membantu produsen kecil mengembangkan bisnis mereka dan bersaing dengan perusahaan yang lebih mapan. Infra.Market adalah startup sejenis asal India yang memiliki pangsa pasar besar di negara tersebut.

Semangat tersebut membentuk visi yang sama bagi GoCement untuk mengurangi kelebihan kapasitas di industri ini melalui digitalisasi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia.

“Kami memiliki keyakinan penuh bahwa Djonny dan Asanga, mengingat latar belakang mereka yang sangat kompatibel, bergabung dengan sumber daya dan jaringan kami yang kuat dalam ledakan konstruksi nasional untuk menjadi ujung tombak keberhasilan GoCement,” terangnya.

Partner Ideosource Edward Chamdani menambahkan, ”Kami percaya bahwa GoCement akan menjadi hal besar berikutnya dalam industri ConTech (construction tech) melalui digitalisasi rantai pasokan; sehingga kehadiran GoCement akan memungkinkan pengguna akhir untuk mengakses produk berkualitas tinggi namun terjangkau dan mengirimkannya ke daerah yang kurang dapat diakses bahkan.”

Pangsa pasar marketplace B2B

Dalam unggahannya, Arise menjelaskan dengan meningkatnya adopsi digital yang didorong oleh pandemi secara global, marketplace B2C telah menjadi salah satu yang paling diuntungkan. Namun di Asia, segmen ini menyumbang hampir 80% dari penjualan transaksi B2B global, mencapai $6,1 triliun. “Angka tersebut menunjukkan peluang signifikan yang belum dimanfaatkan di sisi lain, yang menarik perhatian kami di Arise,” tulis perusahaan.

Tidak seperti marketplace B2C, sektor marketplace B2B menghadapi batasan yang signifikan karena sifat industri yang berbeda – membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dan khusus. Tren serupa juga muncul di Asia Tenggara yang mengambil jalan berbeda tentang aturan main marketplace B2C.

Alih-alih “pemenang mengambil semua” (winner takes all) menjadi “berbagai pemenang di setiap vertikal” seperti: agrikultur, ritel F&B, consumer goods, perlengkapan konstruksi, manufaktur, perlengkapan kantor, dan lainnya.

12 Tahun Beroperasi, Apa Kabar Dinomarket?

Seleksi alam di industri e-commerce sangat pelik dan sengit, sebab pilihannya hanya hidup atau mati. Dari sekian banyak, ada yang tutup, baru mulai mencoba, ada yang makin lama mendominasi pasar. Tokopedia dan Bukalapak termasuk angkatan perusahaan e-commerce tahun 2010-an, setelah Bhinneka dan Forum Jual Beli Kaskus di era awal 2000-an dan sebelumnya.

Satu pemain yang jarang “tampil” ke publik adalah Dinomarket. Perusahaan ini dipimpin Victor Wiguna sejak awal operasionalnya pada 2008. Saat peluncurannya, Dinomarket memosisikan diri sebagai situs e-commerce yang memberikan layanan premium untuk konsumen, meliputi keaslian produk, layanan konsumen, dan bebas risiko.

Produk yang dihadirkan memang sedari awal sudah mencakup gadget dan elektronik yang menjadi kekuatan Dinomarket hingga sekarang, selain peralatan rumah tangga, kebutuhan bayi, hingga perawatan diri. Gadget dan elektronik merupakan kategori andalan di sebagian besar layanan e-commerce karena memiliki basket size yang besar untuk per transaksinya.

Brand Dinomarket tidak sekuat rekan seangkatannya, baik dari dulu maupun sekarang. Hal ini tercermin dari data similarweb, total traffic Dinomarket dari Maret-Agustus 2021 stabil di angka 115 ribu kunjungan. Dibandingkan dengan Bhinneka, total kunjungan jauh lebih tinggi sekitar 4,67 juta kunjungan dalam periode yang sama. Berikut grafiknya:

Total traffic Dinomarket / Similarweb

DailySocial pun mencoba cari tahu perspektif umum brand Dinomarket di telinga sebagian orang melalui mini survei dari polling Twitter yang diikuti 112 responden. Meski tidak bisa menjadi acuan, namun kita bisa melihat sedikit gambaran bahwa sebanyak 70,5% responden mengatakan mereka tidak tahu Dinomarket. Sisanya 29,5% menjawab tahu apa itu Dinomarket dan pernah mencoba layanannya.

CEO Dinomarket Victor Wiguna mengakui bahwa konsumennya tidak sebanyak pemain e-commerce yang lain, tetapi diklaim jumlahnya terus tumbuh secara organik. Sehingga, meski tumbuh lambat, pelanggan lebih sticky terhadap layanan Dinomarket. Tidak disebutkan dalam angka seberapa banyak pengguna Dinomarket.

Ia hanya mengungkapkan, konsumen terbesar Dinomarket adalah pembeli produk gadget dan barang elektronik dengan basket size sekitar Rp2 juta per transaksi.

“Dengan jaminan layanan yang memuaskan dan jaminan produk yang asli bergaransi resmi. Konsep online retail memungkinkan kami bisa mengontrol dan menjamin kualitas produk. Hal ini juga yang menjadikan Dinomarket menjadi kepercayaan bagi bank-bank besar untuk melayani nasabah mereka,” kata dia kepada DailySocial.

Oleh karenanya, sambung Victor, brand awareness yang paling melekat dengan Dinomarket adalah kepercayaan yang selalu ditekankan sejak awal perusahaan beroperasi. “Dinomarket dikenal sebagai e-commerce belanja online bebas risiko. Kami menjamin 100% kepuasan berbelanja dari sisi layanan dan kualitas barang. Jaminan produk asli dan bergaransi adalah komitmen penting kami.”

Berkat landasan tersebut, Dinomarket dipercaya oleh banyak bank untuk melayani nasabah-nasabahnya melalui program loyalitas Dinopoin. Target konsumen Dinomarket justru kuat di B2B untuk penopang separuh pendapatan bisnisnya, tidak hanya B2C.

Sejumlah bank yang telah bermitra adalah Bank Mandiri, CIMB Niaga, Bank BNI, Panin Bank, Maybank, Bank BTN, OCBC NISP, dan Telkomsel. Dinopoin ini menjadi mitra penukaran poin yang berhasil dikumpulkan nasabah bank dengan berbagai penawaran. Mulai dari emas, gadget dan accessories, elektronik, dan produk kecantikan.

“Bisnis Dinomarket 50% melayani loyality program untuk puluhan juta nasabah dari berbagai bank-bank besar melalui Dinopoin.”

Sumber: Dinomarket

Menurutnya, bisnis B2B ini mampu membuat Dinomarket tetap bertahan, menjadi perusahaan yang unik, dan mampu membangun pertumbuhan yang sehat sejak awal. Bahkan, diklaim juga bahwa posisi perusahaan sudah profitable dan scalable, mampu untuk berinovasi.

Bagi dia, ketahanan startup — tumbuh sehat dan sustainable, menjadi tantangan utama bagi seorang founder. Oleh karena itu, startup dituntut untuk fokus pada produk dan inovasi agar menjadi perusahaan yang scalable dan mandiri, baik ketika belum memiliki atau sudah memiliki investor.

“Tetapi untuk mengejar pertumbuhan yang signifikan tentu tidak mudah tanpa modal baru yang besar. Kami yakin sudah berada di titik yang benar, yaitu profitable dan scalable. Kami selalu welcome untuk investor yang masih memiliki keyakinan bahwa 270 juta penduduk Indonesia masih membutuhkan e-commerce yang mampu bersaing di masa depan.”

Dinomarket juga tertutup soal pendanaan eksternal yang sudah diperoleh perusahaan. Satu-satunya pendanaan yang diumumkan adalah perolehan dana Seri A sebesar $6 juta dari Tiger Global Management, VC asal Amerika Serikat dengan portofolio Alibaba, Apple, dan Amazon, pada 2011 silam.

Saksi perkembangan industri e-commerce

Di tengah persaingan yang sengit, semua perusahaan dituntut untuk selalu berinovasi agar tetap relevan dengan konsumen. Sebagai saksi dari pertumbuhan e-commerce sejak masa dini, Victor menceritakan Dinomarket telah menyaksikan perkembangan yang begitu pesat selama 10 tahun terakhir, baik dari sisi jumlah platform yang tersedia, hingga jumlah pengguna.

Sejak awal, lanjutnya, memang sudah ada pertumbuhan pada solusi e-commerce tapi belum dapat melesat secara signifikan sampai di satu titik. Yang mana fasilitas pendukung, seperti sistem pembayaran dan logistik masuk serentak dan menjadi faktor krusial pertumbuhan industri e-commerce dapat melesat seperti roket.

“Sebagai pionir, Dinomarket boleh dikatakan mengalami semua fase. Di masa awal mengedukasi masyarakat tentang e-commerce dan mengajak agar mau melakukan transaksi. Saat itu pembayaran hanya ada bank transfer dan pengiriman hanya ada JNE. Semua serba terbatas, namun tetap ada hasil yang kita dapatkan yaitu customer-customer yang mulai mencoba berbelanja online.”

Selang beberapa tahun kemudian, mulai bermunculan pemain e-commerce lain. Banyak investor dari luar negeri mulai menjajaki, berinvestasi, dan membuat bisnis e-commerce semakin bergairah. Momentum ekosistem e-commerce untuk bertumbuh semakin melesat hingga sekarang ini.

Menurut estimasi e-Conomy SEA 2020, pasar e-commerce naik 54% menjadi $32 miliar pada 2020, dari $21 miliar pada 2019. Industri ini akan terus menjadi kekuatan utama ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan momentum e-commerce pada 2020 juga tercermin dari peningkatan lima kali lipat jumlah supplier lokal yang mencoba berjualan online karena pandemi.

Tidak banyak diketahui seperti apa inovasi yang sudah dilakukan Dinomarket sejak 12 tahun operasionalnya. Namun perusahaan juga melakukan banyak penyesuaian bisnis seiring tumbuhnya ekosistem pendukung e-commerce. Salah satunya adalah memanfaatkan layanan logistik yang ada agar lebih efisien.

“Dulu saat awal kita membangun sendiri sistem logistik dan delivery. Namun sejak adanya tawaran dari layanan-layanan logistik, kami memilih bekerja sama saja agar lebih efisien.”

Dinomarket baru saja merambah secondhand marketplace yang dinamai SEKO. Dalam rencana besarnya, SEKO akan muncul di laman Dinomarket sebagai pusat sirkulasi barang gadget dan elektronik. Selain itu, ada fitur trade-in (tukar tambah) gadget dan elektronik kerja sama antara SEKO, Dinomarket, brand prinsipal, dan bank.

“Peran Dinomarket di sini [untuk SEKO] sebagai supporter sisi penggarapan teknis [layanan] e-commerce dan tentunya support fund,” terang dia.

Solusi ini bukan barang baru. Sebelumnya sudah muncul Jagofon dan Laku6 sebagai salah satu pemain e-commerce yang spesifik menjual gadget bekas. Bersama Tokopedia, Laku6 menyediakan fitur Tukar Tambah yang dapat dipilih konsumen saat ingin tukar-tambah dengan gadget yang dijual di Tokopedia.

Tidak ada pemain dominan dari era 2000-an

Bisa dikatakan tidak ada pemain e-commerce era 2000-an yang menjadi pemain dominan di pasar, terutama di B2C. Satu-satunya pemain yang sering diasosiasikan dengan produk elektronik lainnya adalah Bhinneka.com. Namun target utama mereka adalah B2B dan B2G.

Menurut Treasurer Amvesindo Edward Chamdani, strategi untuk mendominasi pasar harus didukung penuh oleh mindset dari founder itu sendiri. Apabila mindset dan strategi growth hacking kurang kuat, ditambah pula dengan sudah ada pemain yang mendominasi pasar, akan sulit untuk mengubah posisi suatu perusahaan di pasar tersebut.

Dia memberi contoh yang paling nyata adalah kehadiran Shopee. Perusahaan tersebut hadir di saat sudah ada Tokopedia dan Bukalapak yang mendominasi pasar. Akan tetapi, dengan tim yang tepat dengan eksekusi growth hacking yang rapi, kini mereka bisa memenangi di segmen yang berbeda sedikit dengan Tokopedia. Bahkan baik Shopee dan Tokopedia kini sering disandingkan satu sama lain karena gencarnya strategi growth hacking yang dilakukan oleh masing-masing tim.

Mindset itu memegang peranan yang sangat penting. Strategi growth hacking juga harus di pimpin oleh orang-orang yang mendukung,” terangnya.

Edward yang juga merupakan Managing Partner Ideosource, salah satu investor awal dari Bhinneka sejak 2015, menambahkan sosok kepemimpinan yang kuat juga turut memengaruhi sebuah perusahaan dapat bersaing atau tidak di industri. Sebab dari hal ini dapat menjadi gerbang awal dari founder dalam merealisasikan visi dan misinya dapat lebih tepat sasaran dibandingkan kompetitor.

Dia kembali mencontohkan kondisi di lapangan, kali ini melihat gaya kepemimpinan Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. Wiliam sedari awal konsisten dengan misinya yang ingin menciptakan pemerataan ekonomi secara digital dan secara terus menerus disampaikan di lapangan. Misi tersebut berhasil diterjemahkan ke dalam beragam fitur yang dirilis Tokopedia untuk para penggunanya.

“Mereka membuat fitur yang mempermudah ekosistem, merchant dimanjakan dengan fitur-fitur, tidak hanya konsumen. Jadi budget marketing mereka digunakan dengan tepat dan menjawab kebutuhan ekosistem.”

Edward melanjutkan, “Ada kemungkinan besar di permukaan, penerjemahan visi founder di lapangan yang konsisten itu adalah pemenang. Kompetitor mungkin melakukan hal yang sama, tapi kita sebagai konsumen tidak melihat fitur yang jelas. Sehingga saat mereka campaign di lapangan, kita tidak bisa melihat konsistensi tersebut.”

Khusus di Bhinneka sendiri, penerjemahan perusahaan sebagai e-commerce khusus produk IT dan elektronik untuk B2B sudah berhasil menjadi top of mind dan branding yang kuat di semua orang Indonesia. Hal tersebut bumerang bagi Bhinneka sendiri, jika mereka ingin bersaing di B2C akan sulit bersaing dengan platform yang dominan di kolam yang sama.

“Bagi konsumen B2B sudah tahu bahwa mereka bisa mengandalkan after sales di Bhinneka bila ada keluhan. Tapi bagi konsumen B2C belum tentu, walau SKU-nya sama, tapi dari kacamata konsumen ada banyak pemain yang lebih kompetitif dari segi harga daripada Bhinneka,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

The Way SPAC and Dual Class Shares Drive Unicorns to Go-Public

The Indonesia Stock Exchange (IDX) has been improved since earlier this year to welcome three unicorns. Some relaxation has been prepared, one of which is allowing them to go public using SPAC (Special Purpose Acquisition Company) and dual class shares. These are currently being discussed in the internal unit.

DailySocial received a statement that IDX’s Company Assessment Director,  I Gede Nyoman Yetna Setia said SPAC and dual-class shares (DCS) are currently in internal review, discussing with authorities and stakeholders regarding the potential for implementation and regulation in Indonesia.

He said, in every process of regulation drafting, his team will first make comparisons with several other stock exchanges in other countries to determine the best practices in Indonesia.

“Indeed, by considering several things such as corporate governance, protection of public investors, and compliance with applicable laws and regulations,” he said.

Separately, quoting from Bisnis.com, Nyoman said that the IDX is currently studying the potential for implementing DCS with a multiple voting share (MVS) structure. MVS is a type of share with more than one vote for each share.

MVS implementation in several countries usually regulates the maximum ratio between shares with voting rights is 1:10 or 1 share has 10 voting rights. This is different from ordinary shares, with only one voting right for each share, which is called the ordinary share.

“In terms of best practice in several global exchanges, DCS with MVS classification usually can only be held by founders who also involve as company management or key parties who can ensure the sustainability of the company’s vision or innovation in the long term.”

Pros and Cons

Essentially, SPAC and DCS are trends in the United States which is the hub for all tech companies. Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani observed whether SPAC can be implemented in Indonesia, it will be quite similar to the practice of reverse listing but with a guarantee of a much cheaper cost and process.

“In reverse listing, there is a risk that the company’s shell suddenly has a tax or legal problem. Meanwhile, the SPAC is guaranteed to be clean as it is new. Of all the companies intend to merge with SPAC, the sponsor is flexible, as long as it can provide sufficient value and funds,”  Edward said to DailySocial.

The downside also applies to founders, because they have to sell a percentage of shares and at a lower value than the market price.

The DCS practice is capturing lots of attention in the United States. Around 26 of the 134 companies that went public in 2018, 25 of 112 new companies registered in 2019, and 32 of the 165 companies that were newly registered in 2020 adopted DCS.

This fact has motivated stock exchanges in other countries such as Hong Kong, Singapore and Shanghai to create relaxation to regulations expecting markets to be more attractive, especially for tech companies. Moreover, Hong Kong had previously lost as Alibaba and other big companies turned around and go public in New York.

Edward explained that his team would really appreciate the IDX’s steps if DCS practice could be implemented in Indonesia because this will be a new breakthrough. For investors, DCS is not a strange concept as it is similar to preferred stock when investors signed the shareholder agreement issued by the company during the rights issue.

The preferred shareholders have higher voting rights than common shareholders, although this practice is less common in Indonesia.

The DCS existence is essential for tech startup founders because in  startup journey they are likely to make various series of funding which causes their shares diminished.

When it becomes a public company, DSC serves to convince investors that the company can achieve a certain vision and mission in the long term under its control. Although the founder has technically less shares, the voting rights are greater than the common stock.

“If the stock exchange can implement this, it will be a positive thing because most of tech companies are driven by a founder figure.”

When go public, company benchmarks are usually valued from the financial statements and good corporate governance (GCG). Disruptive and innovative technology companies are strongly influenced by the founder figure to strengthen the company’s abstract vision and mission.

Edward also expects that from the investor’s point of view, he will be more familiar in the future with the characteristics of technology companies which benchmarks are invisible from EBITDA, enterprise value (EV), or price to earnings ratio (PE). Therefore, even though they still around negative profit and loss (P&L), in the next 10-20 years, by understanding the disruptive roadmap of these companies, it will become a valuable company.

“The closest example is when Amazon go public, every income is always converted into assets, therefore, they do not pay dividends to shareholders. With such knowledge, investors can think long term, not just quarterly.”

Behind the glittering promises of DCS, there is always a negative vibe as the capitalist system eliminates democratic elements. One share is no longer valued as one vote. Google even has three types of shares, Class A, B, and C. Each Class B share has 10 voting rights filled by Google insiders. Meanwhile Class A common stock sold to the public is worth only one vote and Class C does not have voting rights.

Academics from Queen Mary University of London, Min Yan said that another debate is about a shift to how to contain governance-related risks. Such steps as termination and restrictions on voting differences are designed to withhold control over several classes of shares by voting and provide mandatory protection for shareholders with lower votes. However, this action, intentional or not, jeopardizes the value of the different voting rights.

Such action is like a double-edged sword, not only helping to reduce governance risk but also undermining the isolation of controllers from external investors and market influence.

The lack of enthusiasm for technology companies to go public on the Hong Kong, Singapore and Shanghai exchanges reflects the diminishing attractiveness of the DCS structure when safeguards are tight. This situation is the opposite of what happened in the United States, because there are no such compulsory precautions there.

Yan also highlighted the key safeguards, including final provisions, maximum vote differentials, and improved corporate governance standards, as ex ante strategies. Given the objective of such action is to prevent potential managerial unaccountability and opportunism by restricting the ability of controlling shareholders to exercise some of their voting rights.

Because the strict ex ante strategy, with too much restriction of controlling power and jeopardizing the benefits of weighted voting rights under dual class shares, the action to make ex post as an alternative needs to be reconsidered.

He said, no financial authority in Asia has an effective and strong ex post regime. DCS’s true success lies in its market acceptance. Whether a few or no companies intend to go public with that kind of structure, allowing two-class listing will be futile.

“Therefore, I suggest exploring more ex post mechanisms, such as aggregate litigation through a representative process that provides solutions to disadvantaged shareholders when the problem of lack of managerial accountability occurs, to reduce dependence on ex ante constraints as mandatory safeguards,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Foto header: Depositphotos.com