Qualcomm Pamerkan Headset VR ‘Reference’ Snapdragon 845

Sebagai system-on-chip varian high-end Qualcomm saat ini, perusahaan semikonduktor Amerika itu membenamkan beragam teknologi paling canggih ke dalam Snapdragon 845 yang memungkinkan pengguna perangkat mobile  melakukan banyak hal. Hampir semua hal jadi perhatian: fotografi, pengolahan grafis, keamanan, konektivitas, baterai, hingga kecerdasan buatan.

Satu aspek yang dihadirkan oleh Snapdragon 845 ialah image signal processing Qualcomm Spectra 280. Berkat Spectra 280, SoC sanggup menyajikan fitur-fitur fotografi premium dan dukungan fungsi extended reality. Dan dalam menunjukkan kesiapan Snapdragon 845 menyambut tren baru di ranah virtual reality, Qualcomm menyingkap headset Snapdragon 845 Mobile VR yang diramu sebagai referensi desain sebelum ajang MWC 2018 dimulai.

Headset VR reference Qualcomm ini mempunyai penampilan familier, dengan visor dan strap dua bagian, serta touchpad untuk melengkapi fungsi navigasi konten. Ia dibekali empat kamera, sepasang berada di sisi dalam buat melacak arah mata pengguna (mengingatkan saya pada Tobii EyeX), dan dua unit berada di luar. Rangkaian kamera itu berguna untuk mendeteksi gerakan kepala serta memetakan posisi user secara real-time.

Headset VR 'reference' Qualcomm Snapdragon 845 2

Sistem eye-tracking di sana dimanfaatkan buat mengimplementasikan teknologi bernama Adreno Foveation. Ia memungkinkan headset mengetahui ke mana mata Anda fokus, untuk kemudian menurunkan resolusi di area lain. Dengannya, zona fokus bisa di-render di resolusi lebih tinggi, meningkatkan kinerja perangkat, sembari menghemat konsumsi daya. Headset Snapdragon 845 mampu menangani dua layar berukuran 1024×1152-pixel di 120-frame/detik.

Headset VR 'reference' Qualcomm Snapdragon 845 1

Qualcomm cukup percaya diri pada kapabilitas GPU Adreno 630 di Mobile Platform barunya. Dibanding unit proses visual di Snapdragon 835, Adreno 630 menjanjikan performa grafis 30 persen lebih gesit, 30 persen lebih hemat energi, dan mampu menampilkan konten di display berukuran dua kali lipat lebih besar. Saat dikombinasikan bersama CPU Kryo 385, DSP Hexagon dedicated, dan ISP Spectra 280,  headset dklaim sanggup menyajikan empat juta pixel per mata, serta siap mendukung audio 3D.

“Qualcomm akan terus menghadirkan terobosan teknologi baru untuk konsumen kami, demi membantu mereka menyongsong tren VR standalone yang tengah berkembang ataupun dalam menyuguhkan virtual reality lewat smartphone,” tutur Hugo Swart selaku Head of Virtual & Augmented Reality Business Group Qualcomm via rilis pers.

Buat saya, bagian paling menarik di headset ini adalah sistem rendering foveated-nya. Secara teori, teknologi ini bisa mendongkrak kualitas output tanpa terlalu membebani hardware dan mengonsumsi daya. Ia akan sangat esensial bagi headset VR standalone.

Sumber tambahan dan gambar: The Verge.

Setelah Dikembangkan Selama Bertahun-Tahun, Headset AR Magic Leap One Resmi Disingkap

Proyek pengembangan perangkat augmented reality sudah dimulai oleh Magic Leap bertahun-tahun silam. Setelah didirikan di 2010, startup ini akhirnya merilis hasil rekaman device-nya di 2015, sukses meyakinkan Google dan Alibaba untuk jadi investor, serta sempat bermitra dengan Lucasfilm. Dan di penghujung 2017, Magic Leap akhirnya resmi memperkenalkan Magic Leap One.

Magic Leap One ialah headset augmented reality dengan visi untuk menyulam dunia nyata dan alam virtual. Ketika wearable sejenis biasanya belum ditunjang resolusi tinggi serta masih belum sempurna dalam mengintegrasikan kedua tipe objek, One diklaim mampu menciptakan objek digital senyata mungkin. Cara kerjanya sendiri mirip Microsoft HoloLens, namun desain dan teknologi di belakangnya cukup berbeda.

Magic Leap One 1

Ketika HoloLens terlihat seperti visor sci-fi tahun 80-an, headset ‘Lightwear’ Magic Leap One mempunyai penampilan ala kacamata cyberpunk, dengan dua lensa bundar serta rangakaian kamera sebagai bagian dari teknologi pemetaan lingkungan dan pelacakan. HMD tersambung ke unit komputer Lightpack mungil yang menyimpan otak dari perangkat ini, serta controller motion ber-touchpad.

Magic Leap One 2

Fitur bernama Digital Lightfield merupakan jantung dari Magic Leap One. Ia adalah teknologi yang bertanggung jawab mencampur cahaya natural ke objek digital sehingga seolah-olah mereka merupakan bagian dari alam yang sama. Dengan memastikan otak kita memproses objek virtual layaknya benda sungguhan, One jadi lebih nyaman digunakan di waktu lama. Sistem pemetaan di One juga sangat canggih, sanggup menciptakan replika lingkungan serta mampu mendeteksi lokasi dinding pembatas secara tepat.

Magic Leap One 3

Cara kerjanya seperti ini: bayangkan Anda menaruh televisi virtual di ruang keluarga, lalu pergi ke kamar tamu. Saat Anda kembali ke ruang itu, TV tersebut tetap ada di sana – posisinya tidak berubah ataupun bergeser. Kabarnya, chip yang ada di dalam Lightpack sangat bertenaga, setara laptop high-end. Prosesor tersebut siap menunjang pembuatan model 3D hingga menangani permainan shooter.

Magic Leap juga tak lupa membekali One dengan sistem audio mutakhir yang sanggup mensimulasikan suara di dunia nyata, termasuk aspek arah dan jarak dari sumber bunyi.

Magic Leap One yang produsen perkenalkan merupakan versi development buat para kreator. Untuk mendukungnya, Magic Leap juga akan menyediakan platform ‘Creator Portal’ tahun depan – berisi SDK, dokumentasi dan panduan. Untuk sekarang, produsen masih belum menginformasikan kapan tepatnya One akan tersedia dan berapa harganya.

Via The Verge. Sumber: Magic Leap.

Cinego Adalah Sinema 4K Dalam Wujud Head-Mounted Display

Jauh sebelum headset virtual reality sepopuler sekarang, Sony telah lebih dulu menawarkan konsumen keluarga perangkat wearable yang memungkinkan mereka memperoleh pengalaman sinematik secara personal. Namun sayang, lineup  produk bernama HMZ itu akhirnya ditiadakan karena sang raksasa elektronik asal Tokyo ingin fokus ke bidang penyajian VR.

Memasuki tahun kedua momen ‘lahirnya’ virtual reality, konsep bioskop portable ternyata belum punah. Metode penyampaian konten hiburan ini diadopsi oleh tim Goovis di dalam perangkat bernama Cinego, yaitu bioskop wearable berwujud head-mounted display. Dan berbeda dari Sony HMZ, Cinego juga sudah siap menghidangkan konten-konten 4K.

Goovis Cinego 2

Cinego memiliki wujud menyerupai visor milik karakter Cyclops di film X-Men. Ukurannya tergolong mungil jika dibandingkan dengan headset VR yang ada di pasar sekarang. Bobotnya sangat ringan (cuma 200-gram), dan karena Cinego tidak dirancang untuk digunakan sambil berjalan, perangkat bisa disematkan ke kepala dengan satu strap saja. Saat ingin berhenti sejenak dari aktivitas menonton, Anda tinggal menarik visor-nya ke atas.

Di dalam, Anda disuguhkan sepasang layar M-OLED seluas 0,7-inci, masing-masing memiliki resolusi 1920×1080 dan kepadatan 3.147ppi. Spesifikasi ini diklaim tujuh kali lebih padat dibanding perangkat berpanel M-OLED lain semisal iPhone X. Komponen display tersebut kabarnya mampu menyajikan gambar yang detail serta mulus – 3 kali lebih jernih dari bioskop dan 20 kali dibanding TV.

Goovis Cinego 1

Keunggulan lain dari Cinego ialah konektivitasnya. Headset ini dibekali port USB sehingga Anda bisa menyambungkannya ke PC, speaker ataupun controller game. Headset turut ditopang Wi-Fi dan Bluetooth, membuatnya siap men-stream konten Netflix, Hulu, Amazon serta YouTube. Dan berkat kehadiran HDMI, head-mounted display ini dapat terhubung ke console game semisal Xbox One, PlayStation 4 atau Nintendo Switch.

Goovis Cinego 3

Cinego juga ditunjang baterai yang sanggup menjaganya aktif selama 4,5 jam tanpa perlu tersambung ke sumber listrik. Itu artinya Anda tak perlu cemas terjerat kabel dan bisa menggunakannya saat bepergian. Baterai tersebut diletakkan di unit remote agar bobot headset bisa diminimalkan.

Dan uniknya lagi, Cinego dapat dinikmati tanpa perlu mengenakan kacamata. Output-nya bisa disesuaikan dengan ukuran mata, dari minus delapan sampai plus dua, memastikan gambarnya tetap jelas di mata Anda.

Selama periode pengumpulan dana di Indie Gogo masih berlangsung, Goovis Cinego bisa Anda pesan sekarang seharga cuma US$ 500. Pengiriman rencananya akan dilangsungkan di bulan Februari 2018.

DJI Goggles RE Bantu Anda Rasakan Pengalaman Balap Drone dari Sudut Pandang Orang Pertama

Masih ingat dengan DJI Goggles, perangkat mirip VR headset yang memungkinkan penggunanya untuk mengendalikan drone hanya dengan menggerak-gerakkan kepalanya sekaligus melihat apapun yang ditangkap kamera drone dari sudut pandang orang pertama? DJI baru saja merilis varian barunya yang bernama DJI Goggles RE (Racing Edition).

Seperti yang sudah bisa diduga, perangkat ini dimaksudkan bagi para penggemar balap drone. Desainnya sama persis, hanya saja balutan warna putihnya telah diganti dengan hitam matte, diikuti oleh bantalan kulit berwarna merah yang mengitari kepala pengguna.

Hampir semua fitur DJI Goggles versi standar masih dipertahankan, dan versi ini juga kompatibel dengan banyak model sekaligus, tepatnya Spark, Mavic Pro, Phantom 4 dan Inspire 2. Lebih menarik lagi, Goggles RE rupanya juga kompatibel dengan sejumlah racing drone dengan memanfaatkan sambungan ke controller-nya.

DJI Goggles RE (Racing Edition)

Tidak cuma drone, Anda bahkan bisa menggunakannya bersama mobil R/C kalau mau. Rahasianya terletak pada dua modul pelengkap Goggles RE, yakni DJI OcuSync Air Unit dan OcuSync Camera, yang dapat dipasangkan ke mobil R/C, maupun beragam kendaraan lain yang dikendalikan dengan remote control.

OcuSync Air Unit pada dasarnya merupakan modul pemancar sinyal yang memanfaatkan frekuensi 2,4 atau 5,8 GHz untuk meneruskan video dari drone atau mobil R/C ke Goggles RE, dengan latency yang sangat rendah di kisaran 50 ms. Kalau pengguna memilih resolusi preview video 480p, OcuSync Air Unit bahkan bisa menyuguhkan koneksi yang stabil hingga sejauh 7 kilometer.

OcuSync Camera di sisi lain mengandalkan sensor berukuran 1/3 inci untuk merekam video beresolusi maksimum 1280 x 960 pixel. Lensanya memiliki sudut pandang yang cukup luas di angka 148 derajat, dan yang lebih menarik lagi, modul kamera ini mengandalkan global shutter agar efek rolling shutter yang kerap muncul dalam aksi-aksi cepat bisa tereliminasi.

DJI Goggles RE (Racing Edition)

Selebihnya, fitur yang ditawarkan Goggles RE identik dengan Goggles versi standar. Baterainya diperkirakan bisa bertahan selama enam jam sebelum perlu diisi ulang.

DJI bakal memasarkan Goggles RE mulai akhir November ini seharga $549. OcuSync Air Unit dan OcuSync Camera dibundel bersama Goggles RE, dan dibanderol seharga $859.

Sumber: DJI.

Headset VR Oculus Go Bisa Beroperasi Tanpa Dukungan PC atau Smartphone

Konten virtual reality memang idealnya dinikmati tanpa membuat pengguna tertambat di satu tempat. Hal ini memotivasi produsen hardware untuk menciptakan PC berwujud tas punggung, dan juga mendorong pengembangan headset VR standalone. Kita tahu HTC sedang mencurahkan perhatian mereka pada versi mandiri Vive, dan tentu saja Oculus tak mau ketinggalan.

Dalam keynote Oculus Connect 4 hari Rabu kemarin, CEO Facebook Mark Zuckerberg mengabarkan bahwa Oculus VR saat ini sedang menggarap head-mounted display virtual reality standalone yang mereka namai Oculus Go. Seperti perangkat anyar buatan HTC, Oculus Go bisa bekerja tanpa perlu tersambung ke komputer ataupun harus ditunjang oleh smartphone. Seluruh hardware esensial ada di dalamnya.

Oculus Go 1

Berdasarkan gambar yang dipublikasikan oleh Oculus VR, penampilan Oculus Go terlihat seperti campuran antara Daydream View baru dengan Rift. Bagian HMD-nya terlihat minimalis, tampaknya menggunakan struktur plastik, dilengkapi bantalan berlapis kain yang empuk dan mendukung sirkulasi udara. Bagian headband terbentang ke belakang kepala user, ditambah satu strap lagi di atas agar headset tak mudah terlepas.

Oculus Go 2

Oculus Go disiapkan untuk menangani bermacam-macam konten VR, dari mulai ‘pengalaman visual 360 derajat’, aplikasi sosial, dan game. Device juga bisa dimanfaatkan sebagai teater portable pribadi, buat menikmati film dan serial TV favorit.

Oculus Go 4

Untuk sekarang, Facebook belum mengungkap detail spesifikasi Oculus Go secara rinci. Dalam presentasinya, Hugo Barra selaku head of VR Facebook menyampaikan bahwa timnya merancang Oculus Go buat mengisi celah di antara headset VR high-end dengan device berbasis perangkat mobile. Produsen kabarnya memanfaatkan layar LCD ‘fast-switch‘ 2560x1440p, telah mengoptimalkan hardware-nya agar mampu menghidangkan konten 3D secara maksimal, serta membubuhkan dukungan sistem audio spasial.

Oculus Go 3

Oculus VR turut membekali Oculus Go dengan unit motion controller. Meskipun tak sebesar Oculus Touch, desainnya lebih ergonomis dari controller Daydream View, lalu ia juga mempunyai touchpad ala controller Vive. Selain itu, saya melihat ada tombol trigger, satu tombol back dan satu lagi tombol berlogo Oculus. Controller diamankan oleh tali yang bisa Anda sematkan di tangan.

Produsen berjanji, Oculus Go dapat mengakses lebih dari 1.000 konten virtual reality. Uniknya lagi, ekosistem Go juga tersambung ke Samsung Gear VR, sehingga app-app Android yang telah Anda beli buat Gear VR bisa diakses dari Oculus Go.

Oculus Go akan mulai dipasarkan di awal tahun 2018. Perangkat HMD VR tersebut dijajakan seharga mulai dari US$ 200.

Headset VR Standalone HTC Kemungkinan Akan Punya Nama Baru: Vive Focus

Babak selanjutnya dalam kompetisi pengembangan virtual reality ialah mencari cara agar penggunaannya natural, intuitif serta tidak membuat pengguna tertambat di satu tempat saja. Sejak beberapa tahun lalu, PC berkonsep ransel pendukung headset VR mulai bermunculan; tapi upaya menciptakan head-mounted display standalone juga telah lama dilakukan.

Salah satu penjelmaan terkini dari gagasan tersebut sudah selesai digarap oleh HTC, namun sayang, ia baru diperkenalkan di kawasan Tiongkok. Sejauh ini, detail teknis mengenainya masih sangat minim. Produsen perangkat elektronik konsumen Taiwan itu juga hanya menyebutnya Vive standalone. Tapi sepertinya, HTC telah menyiapkan nama resmi buatnya. Hal ini boleh jadi menandai rencana perusahaan buat memasarkannya di luar China.

Situs berbahasa Belanda Lets Go Digital menemukan setidaknya dua kali pengajuan nama untuk untuk perangkat head mounted display baru itu, satu pada European Union Intellectual Property Office dan satu lagi di United States Patent And Trademark Office, dilakukan hampir bersamaan minggu lalu. Mengingat HTC saat ini sedang mencurahkan perhatiannya pada headset Vive standalone, maka kemungkinan besar nama tersebut akan diberikan untuknya.

Vive Focus adalah nama baru dari HMD virtual reality anyar HTC. Device beroperasi di atas platform mobile Google Daydream, dan rencananya, segala informasi mengenainya akan diungkap dalam konferensi pers di awal bulan Oktober besok. Selain virtual reality, Google sepertinya juga akan membahas augmented reality dan perangkat penunjangnya.

Dari diskusi bersama rekan saya Glenn, ada peluang HMD Vive standalone yang sudah diluncurkan di Tiongkok dan Vive Focus mempunyai desain bahkan spesifikasi serupa. Perbedaan keduanya terletak pada dukungan Google Daydream serta teknologi WorldSense yang memungkinkan headset melacak posisi objek secara presisi. WorldSense menjanjikan kebebasan bergerak dan berinteraksi, mempersilakan Anda memiringkan kepala, jongkok atau melakukan gerakan mengintip.

Tak seperti headset VR mobile biasa, Vive standalone (atau Vive Focus) tidak memerlukan smartphone buat mengolah serta menyajikan konten. Headset telah menyimpan system-on-chip  Qualcomm Snapdragon 835 on-board. Saat digunakan buat mengotaki device, chip top-end 10nm itu memberikan perangkat kemampuan untuk mendeteksi ruang 3D serta kesiapan menunjang sistem motion tracking 6DoF (degrees of freedom).

Rincian mengenai HTC Vive Focus akan disingkap lebih lengkap dalam acara di tanggal 4 Oktober 2017 nanti.

Via UploadVR.

Berbekal Display 5K, Cinera Ibarat Bioskop IMAX untuk Wajah Anda

Head-mounted display (HMD) mengubah anggapan kita akan istilah home theater. Dengan HMD, layar besar yang berharga mahal bisa digantikan oleh layar yang berada tepat di depan wajah pengguna, meningkatkan kesan immersive secara drastis. Bagaimana dengan bioskop IMAX yang layarnya berukuran masif? Well, sekarang ada HMD yang percaya diri bisa menyuguhkan pengalaman menonton setara IMAX.

Perangkat itu bernama Cinera. Wujudnya sepintas mirip VR headset, tapi pengembangnya secara spesifik merancang perangkat ini untuk menjadi alternatif home theater atau bahkan bioskop itu sendiri. Untuk itu, letak keunggulan utamanya haruslah pada display-nya.

Tidak tanggung-tanggung, Cinera dibekali oleh dua display yang masing-masing beresolusi 2560 x 1440 pixel, yang diyakini menawarkan resolusi 3x lebih tinggi ketimbang bioskop standar. Sepasang display ini menawarkan sudut pandang seluas 66 derajat, dan inilah yang membuat pengembangnya yakin Cinera bisa menawarkan pengalaman menonton setara IMAX.

Cinera

Selama ini kita mengukur display berdasarkan seberapa banyak pixel di setiap incinya (PPI). Namun pengembang Cinera percaya ada satuan yang lebih bisa menggambarkan kualitas sebuah display, yakni pixel per degree (PPD), yang sederhananya bisa diterjemahkan menjadi seberapa banyak pixel di setiap derajat sudut pandang mata manusia.

Dengan memakai hitungan PPD ini, Cinera ternyata mencatatkan angka 39 PPD, jauh di atas HTC Vive yang cuma 9,8, atau Oculus Rift yang hanya 11,5. Lebih lanjut, kehadiran sepasang display memungkinkan Cinera untuk menampilkan konten 3D yang lebih sempurna ketimbang bioskop standar.

Cinera

Cinera datang bersama semacam monopod fleksibel sehingga pengguna tidak perlu terus memeganginya selama film berlangsung. Pengembangnya percaya ini jauh lebih nyaman ketimbang head strap, meski strap ini juga tersedia sebagai aksesori terpisah yang memungkinkan Cinera untuk dipakai untuk mengendalikan drone.

Cinera bisa beroperasi secara mandiri berkat sistem operasi Android 6.0, memutar konten dari layanan seperti Netflix atau YouTube. Sumber video lain, seperti kartu microSD, atau bahkan Blu-ray player dan komputer juga bisa dimanfaatkan dengan bantuan kabel HDMI.

Tanpa skenario penggunaan VR, Cinera jelas tergolong lebih niche ketimbang Rift maupun Vive. Terlepas dari itu, konsumen yang tertarik bisa memesannya melalui Kickstarter seharga $399 selama masa early bird.

Bersama Lenovo, Disney Kembangkan Headset AR Buat Sajikan Pengalaman Petualangan Star Wars

Video game punya peran besar dalam menerjemahkan petualangan seru di jagat Star Wars menjadi pengalaman yang bisa dirasakan fans. Kontennya juga pelan-pelan diadaptasi ke virtual reality seiring bertambah populernya teknologi ini. Anda mungkin sempat menjajal Jakku Spy atau Trials on Tatooine. Disney sendiri punya agenda buat menggarap device dan konten yang ‘lebih serius’.

Di acara D23 Expo Los Angeles minggu lalu, Disney mengumumkan telah memulai pengembangan perangkat head-mounted display augmented reality yang dikhususkan untuk menyajikan pengalaman Star Wars. Mereka tidak melakukannya sendirian, proyek tersebut dikerjakan bersama raksasa teknologi asal Beijing, Lenovo. Informasi dari Disney memang masih sangat minim, namun mereka sempat memamerkan satu konten menarik.

Dalam panel Level Up, Disney mengungkap Star Wars: Jedi Challenges, sebuah koleksi mini-game yang mempersilakan kita bermain holochess serta menggunakan lightsaber. Disney men-tease cara menikmatinya melalui video singkat berdurasi 28 detik, yang diiringi satu kalimat narasi: “Awaken your inner Jedi.” Belum bisa dipastikan apakah mereka juga akan menyediakan lightsaber-nya atau tidak.

Jika produk retail-nya sesuai dengan unit sample di video, maka kita akan memperoleh perangkat augmented reality berbasis mobile dipadu visor transparan. Setidaknya, device ditunjang oleh satu unit kamera buat melacak gerakan lightsaber, lalu ia memanfaatkan layar smartphone dipadu rangkaian lensa. Di sana, Disney juga menyampaikan bahwa headset ini perlu ‘didukung perangkat-perangkat bergerak yang kompatibel’.

Jedi Challenges 1

Demo augmented reality tersebut kabarnya akan dipamerkan di gerai Best Buy dalam waktu dekat, tapi belum diketahui kapan tepatnya Jedi Challenges dapat dijajal dan apakah penampilan headset betul-betul menyerupai unit di teaser.

Jedi Challenges 2

Selain augmented reality, Disney juga punya rencana untuk menghidangkan pengalaman Star Wars yang lebih menyeluruh. Metodenya lebih simpel, meskipun kita bisa membayangkan banyaknya teknologi, aset dan modal yang mesti Disney siapkan. Disney berniat mendirikan hotel Star Wars, di mana tiap pengunjung akan diberikan ‘jalan ceritanya’ sendiri.

Hotel tersebut bukan hanya dirancang dengan latar belakang ala struktur/lokasi di Star Wars saja, namun seluruh staf juga akan mendalami peran mereka sebagai tokoh di sana. Berdasarkan info dari Disney, hotel tersebut di-setting agar menyerupai pesawat luar angkasa; dan jika melihat ke luar jendela, Anda akan melihat angkasa penuh bintang dan planet. Untuk sementara, ‘hotel Star Wars’ baru akan disiapkan di Disney World Florida.

Via Gamespot & TechCrunch.

Samsung Kabarnya Kembangkan Headset VR Baru, Kali Ini Dibekali Layar 2.000PPI

Lewat kerja sama dengan  Oculus untuk menggarap Gear VR, Samsung menjadi pionir di ranah penyajian virtual reality berbasis perangkat bergerak. Dan di bulan April kemarin, raksasa elektronik asal Korea Selatan itu meluncurkan versi refresh dari headset mereka. Device memperoleh sedikit update pada desain dan memperoleh dudukung controller dedicated.

Namun sepertinya Samsung masih belum puas dalam menggarap headset VR portable yang betul-betul ideal. Berdasarkan laporan dari narasumber PocketNow, sang produsen kabarnya telah menetapkan target baru. Mereka mencoba mengembangkan device next-gen dengan layar beresolusi super-tinggi – lebih tajam lagi dibanding panel yang dimiliki handset flagship Samsung. Jika informasi ini akurat, maka HTC dan Oculus VR akan punya kompetitor baru.

Perangkat tersebut dikabarkan mengusung layar OLED build-in dengan resolusi ‘ultra-high‘ dan menyuguhkan kepadatan 2.000-pixel per inch. Itu berarti, level PPI-nya hampir empat kali Galaxy S8 (di 570PPI), dan jauh melampaui Vive dan Rift di kurang lebih 460PPI. Device mampu bekerja secara mandiri, tak lagi memerlukan dukungan handset. Tentu saja pertanyaan terbesarnya adalah, di mana Samsung meletakkan unit prosesornya? Apakah ada di dalam atau terpisah dari headset?

Angka-angka di atas memang terdengar fantastis, tetapi sebetulnya Samsung sudah pernah memperkenalkan teknologi layar berspesifikasi hampir serupa. Di acara Society for Information Display 2017 yang diadakan di Los Angeles bulan Mei kemarin, perusahaan memamerkan panel LCD 1,96-inci buat menunjang kebutuhan virtual reality, agumented reality serta hologram. Display tersebut mempunyai resolusi 3.840×2.160-pixel berkepadatan 2.250ppi.

Selain itu, Samsung juga sempat menyingkap display OLED 5.09-inci ‘glass-free‘ untuk virtual reality, game-game 3D dan buku-buku pop-up AR; lalu ada pula layar OLED fleksibel selebar 9,1-inci yang dapat dikembangkan seperti balon dan bisa kembali ke kondisi semula.

Di tahun 2016, kepala divisi riset dan pengembangan Samsung Injong Rhee sempat mengonfirmasi bahwa timnya sedang mengerjakan head-mounted display mobile VR berkonsep stand-alone. Perangkat tersebut dipisahkan dari keluarga Gear VR, dimasukkan dalam kategori brand Odyssey. Brand ini cukup unik karena juga merangkul perangkat notebookgaming ready bersenjata prosesor Intel Core i7 Kaby Lake dan GPU GeForce GTX 10 Series.

Jika memang benar headset virtual reality baru itu jadi anggota keluarga Odyssey, maka ada probabilitas HMD tersebut dirancang agar kompatibel dengan laptop gaming.

Dengan DJI Goggles, Anda Bisa Mengendalikan Drone Menggunakan Kepala

DJI akhirnya resmi memasarkan DJI Goggles, sebuah head-mounted display (HMD) yang diumumkan bersamaan dengan drone Mavic Pro tahun lalu. Perangkat ini bukan cuma sekadar menempatkan penggunanya pada sudut pandang pertama drone, tapi juga memberikan cara baru dalam mengendalikan drone.

Desainnya sepintas mengingatkan saya pada PlayStation VR. Headband yang mengitari kepala pengguna telah ditanami sejumlah antena, memastikan koneksi yang tetap stabil meskipun drone sedang terbang di belakang Anda. Koneksi antara Goggles dan drone juga tanpa perantara, sehingga latency-nya diklaim tidak lebih dari 110 milidetik.

DJI membekali Goggles dengan sepasang layar full-HD, masing-masing dengan sudut pandang seluas 85 derajat – kalau menurut DJI, pengalamannya mirip seperti menonton TV seukuran 216 inci dari jarak 3 meter. Video dari drone akan di-stream secara real-time dalam resolusi 1080p 30 fps (kalau jaraknya dekat), sedangkan sisanya dalam resolusi 720p 60 fps.

Bagian layarnya ini juga dapat didongakkan ke atas supaya pengguna bisa melihat kondisi di sekitarnya maupun di mana drone yang ia kendalikan berada. Cara ini tentu saja jauh lebih praktis ketimbang melepas Goggles secara menyeluruh.

Sisi kanan DJI Goggles dibekali touchpad supaya pengguna dapat langsung mengakses fitur-fitur drone seperti ActiveTrack atau TapFly / DJI
Sisi kanan DJI Goggles dibekali touchpad supaya pengguna dapat langsung mengakses fitur-fitur drone seperti ActiveTrack atau TapFly / DJI

Akan tetapi hal yang paling menarik dari DJI Goggles adalah bagaimana pengguna dapat mengendalikan drone menggunakan kepalanya, tanpa bantuan controller sama sekali. Jadi ketika Anda menoleh ke kiri, drone juga akan membelok ke kiri. Kalau menghadap ke depan, ya drone juga akan bergerak lurus.

Lebih lanjut, cara yang sama juga bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan pandangan kamera drone. Skenario ini menurut saya adalah yang paling ideal: pengguna mengendalikan pergerakan drone menggunakan controller, lalu kameranya menyesuaikan dengan pandangan pengguna.

Dalam konteks profesional, satu drone bahkan bisa dihubungkan dengan dua Goggles sekaligus. Jadi satu orang bisa mengendalikan pergerakan drone, sedangkan satu lagi bisa berfokus pada pandangan kameranya – semuanya tanpa menggunakan controller bawaan drone.

Satu orang dapat mengendalikan drone menggunakan controller, dan satu lagi mengontrol pandangan kamera dengan DJI Goggles dan kepalanya / DJI
Satu orang dapat mengendalikan drone menggunakan controller, dan satu lagi mengontrol pandangan kamera dengan DJI Goggles dan kepalanya / DJI

Di sisi kanan perangkat, terdapat touchpad untuk menavigasikan menu dan mengaktifkan sejumlah fitur drone macam ActiveTrack, TapFly, Terrain Follow, Cinematic Mode maupun Tripod Mode secara langsung. Soal baterai, Goggles diklaim bisa bertahan selama 6 jam dalam satu kali charge.

Sebagai bonus, Goggles juga dilengkapi input HDMI sehingga pengguna dapat memakainya untuk sekadar menonton video atau bermain video game. Goggles bahkan mengemas speaker untuk menyajikan audio, atau pengguna juga dapat menyambungkan headphone lewat jack 3,5 mm.

DJI Goggles akan tersedia mulai 20 Mei mendatang. Banderol harganya tidak murah, tepatnya $449, hampir separuh harga Mavic Pro itu sendiri. Selain Mavic, perangkat ini juga kompatibel dengan seri Phantom 4 dan Inspire 2.

Sumber: New Atlas dan DJI.