Lionsgate Play Is to Launch in Indonesia in Q1 2021

Recently arrived in India, Lionsgate Play, an on-demand video platform owned by US based colossal studio, The Lionsgate Motion Picture Group, is scheduled to be launched in Indonesia in the first quarter of 2021.

Guntur S. Siboro, who currently serves as the representative of Lionsgate Play in Indonesia, delivered the news to DailySocial. Disney+ Hotstar also offered similar concept in mid-2020.

“Indonesia will be the first country in Southeast Asia to welcome the Lionsgate Play platform. The similar market of India and Indonesia becomes the reason for Lionsgate Play to launch in Indonesia after India,” Guntur said.

Outside the Asian countries, Lionsgate Play is known as STARZPLAY, as well as in its home country of the United States, Lionsgate Play was chosen for countries in Asia, because Star was the name previously owned by a well-known company in Asia which is also a leading media company.

“However, the difference in name does not change the content we present in Asia and other countries. Lionsgate is not a big studio like Disney for example, but we have various Hollywood films, tv series, to indie films that have the best quality,” said Guntur.

Lionsgate Play pricelist and content

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

About the payment options for Lionsgate Play in Indonesia, Guntur avoids to reveal any further. However, he is open to the possibility with affordable and relevant prices to be given to target its customers in Indonesia.

Whether Lionsgate Play will partner with a local telco operator, as Disney+ Hotstar previously done with Telkomsel, is not further stated. Precisely, Guntur emphasized that even though the competition is getting fierce, with the existing content choices, it can be an option for Indonesian customers.

“I see that when Lionsgate Play finally arrived in Indonesia, it will not immediately turn off Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, and Amazon, which was prior to offer its services. Each of those has unique content with loyal customers,” Guntur said.

The strategic move taken by major studios such as Disney and The Lionsgate Motion Picture Group, has become an activity that many other major studios in the United States have aimed to compete with services such as Netflix, Amazon and Hulu, which mostly buy film production licenses. belong to each of these major studios.

“When I was at Hooq, I saw the steps taken by the major studio to stop licensing and launch its own OTT service, a trend that has proven successful and will be seen more in the future,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lionsgate Play akan Meluncur di Indonesia pada Q1 2021

Setelah sudah lebih dulu hadir di India, Lionsgate Play yang merupakan platform video on-demand milik studio besar asal Amerika Serikat, The Lionsgate Motion Picture Group, rencananya akan segera hadir di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mendatang.

Kepada DailySocial. Guntur S. Siboro yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Lionsgate Play di Indonesia menyampaikan kabar tersebut. Konsep serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Disney+ Hotstar pertengahan tahun 2020 lalu.

“Indonesia nantinya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi pilihan dari Lionsgate Play. Pasar India dan Indonesia terbilang serupa, hal tersebut yang kemudian menjadikan Lionsgate Play akan meluncur di Indonesia setelah India,” kata Guntur.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat, Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama Star sebelumnya telah dimiliki terlebih dahulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

“Namun perbedaan nama tersebut tidak mengubah konten yang kami sajikan di Asia dan negara lainnya. Lionsgate memang bukan studio besar seperti Disney misalnya, namun kami memiliki film Hollywood yang beragam, tv seri, hingga film indie yang memiliki kualitas terbaik,” kata Guntur

Harga dan konten Lionsgate Play

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

Disinggung seperti pilihan pembayaran yang akan ditetapkan oleh Lionsgate Play di Indonesia, Guntur enggan mengungkapkan lebih jauh. Meskipun demikian Guntur tidak menutup kemungkinan harga terjangkau dan relevan akan diberikan kepada target pelanggan di Indonesia.

Apakah nantinya Lionsgate Play akan menggandeng perusahaan operator telekomunikasi lokal seperti yang dilakukan oleh Disney+ Hotstar bersama dengan Telkomsel, tidak disebutkan lebih lanjut. Yang pasti Guntur menegaskan meskipun persaingan makin sengit, namun dengan pilihan konten yang ada, bisa menjadi pilihan bagi pelanggan di Indonesia.

“Saya melihat jika nantinya Lionsgate Play hadir di Indonesia tidak akan langsung mematikan Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, dan Amazon yang sebelumnya sudah hadir di Indonesia. Masing-masing memiliki konten yang unik dengan pelanggan setia yang hanya dimiliki oleh setiap platform,” kata Guntur.

Langkah strategis yang dilakukan oleh studio besar seperti Disney dan The Lionsgate Motion Picture Group, telah menjadi kegiatan yang juga banyak dilakukan oleh studio besar lainnya di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menjadi pesaing layanan seperti Netflix hingga Amazon dan Hulu, yang kebanyakan membeli lisensi film produksi milik masing-masing studio besar tersebut.

“Saat saya di Hooq sudah terlihat langkah yang kemudian diambil oleh studio besar tersebut untuk menghentikan lisensi dan meluncurkan layanan OTT sendiri, menjadi tren yang terbukti sukses dan akan makin banyak terlihat ke depannya,” kata Guntur.

South Korea’s E-commerce Giant Coupang Acquires Hooq’s Digital Asset

South Korea’s e-commerce giant, Coupang Corp. is reportedly has acquired Hooq video streaming platform assets. This news was first released by Bloomberg, citing sources close to the agreement.

There is no further details were given regarding the acquisition value. What is clear, Hooq digital assets will be used as fuel Coupang in competing in the local OTT market. Previously, Netflix (the most popular) also had a streaming video service there.

In South Korea, Coupang is a key player in the e-commerce sector. The startup, which is backed by SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, and some other investors has reached valuation of around US$ 9 billion. This year, the company founded by Bom Kim has entered its 10 years old.

In Southeast Asia, Hooq has shut down its service as of April 2020. Because of its major shareholders who filed for liquidation wanting to focus on the core business. They considered the video streaming business model to be insignificant in its results.

Hooq’s coverage focuses on local film and television series content. Including to allow users streaming television shows through the application. An original content approach has also been attempted, but what the market power does not welcome.

Hooq also presents Hollywood and Asian films, this might also be one of the complementary assets that Coupang can use to start video streaming services, in addition to technology/software owned by Hooq itself.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Raksasa E-commerce Korea Selatan “Coupang” Akuisisi Aset Digital Hooq

Coupang Corp. selaku raksasa e-commerce Korea Selatan dikabarkan telah membeli aset platform video streaming Hooq. Kabar ini pertama kali dirilis Bloomberg, mengutip dari narasumber yang dekat dengan kesepakatan.

Tidak disampaikan detail mengenai nilai akuisisi. Yang jelas, aset digital Hooq akan dijadikan bahan bakar Coupang dalam berkompetisi di pasar OTT setempat. Sebelumnya Netflix (jadi yang terpopuler saat ini) juga sudah terlebih dulu hadirkan layanan video streaming di sana.

Di Korea Selatan, Coupang menjadi pemain kunci di sektor e-commerce. Startup yang didukung SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, dan sejumlah investor ini telah membukukan valuasi sekitar US$9 miliar. Tahun ini, perusahaan yang didirikan Bom Kim ini menginjak usia 10 tahun.

Di Asia Tenggara, Hooq menyudahi layanannya per April 2020 lalu. Disebabkan para pemegang saham mayoritas yang mengajukan likuidasi dengan dalih ingin fokus ke bisnis utama. Mereka menilai model bisnis video streaming yang dijalankan Hooq kurang signifikan hasilnya.

Cakupan Hooq fokus pada konten film dan serial televisi lokal. Termasuk memungkinkan pengguna untuk melakukan streaming tayangan televisi melalui aplikasi. Pendekatan konten orisinal juga sudah diupayakan, namun apa daya pasar kurang menyambut baik.

Hooq juga sajikan film Hollywood dan Asia, ini mungkin juga bisa jadi salah satu aset komplementer yang bisa dimanfaatkan Coupang untuk memulai layanan video streaming-nya, selain teknologi/perangkat lunak yang dimiliki Hooq itu sendiri.

Daftar Startup Indonesia yang Kolaps di Paruh Pertama Tahun 2020

Pandemi Covid-19 “sukses” meluluhlantakkan startup yang industrinya bersinggungan langsung dengannya, seperti pariwisata, ritel offline, juga industri pendukung lainnya yang beririsan.

Proses adaptasi harus dilakukan dengan cepat agar untuk bertahan. Mulai dari pengurangan jumlah karyawan, pivot bisnis, dan mengurangi jumlah gerai (bila bisnis ritel) harus ditempuh. Pengurangan karyawan dan pivot bisnis mulai mewarnai sejak awal karantina diumumkan.

Khusus pivot, kebanyakan dari mereka beralih ke segmen yang ramai diminati selama pandemi, seperti menjelma jadi layanan commerce untuk bahan baku sehari-hari, produk kesehatan, atau pesan antar makanan sehari-hari. Sementara untuk pengurangan karyawan, kondisi ini tidak hanya terjadi di startup yang bisnisnya masih skala kecil saja, sekaliber unicorn bahkan tidak luput dari ancaman ini.

Kenyataan terakhir adalah gulung tikar. Ini adalah keputusan paling akhir, sekaligus terberat yang diambil setelah beragam upaya penyelamatan sudah dilakukan, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

Sejauh ini, DailySocial mencatat ada tujuh startup yang harus gulung tikar hingga paruh pertama tahun ini. Berikut daftarnya:

1. Eatsy Indonesia

Startup asal Singapura ini baru hadir di Indonesia pada November tahun lalu, namun mereka resmi tutup pada 1 April 2020.

Eatsy memberikan kemudahan untuk antrean dan pemesanan makanan di restoran. Di negara asalnya, sebelum pandemi, solusi ini diklaim berhasil mendongkrak penjualan mitra restoran hingga 1,5 kali lipat. Kesuksesan tersebut membuat mereka percaya diri untuk ekspansi ke Indonesia, pasca mengantongi pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Di keterangan resminya, penutupan diambil karena masifnya penyebaran Covid-19. Akibatnya semakin banyak pebisnis kuliner yang menutup usahanya untuk mengurangi penyebaran virus.

2. QRIM Express

Di sektor logistik, umur QRIM Express juga baru seumur jagung. Mereka beroperasi di medio tahun lalu dan resmi tutup pada 1 April 2020.

QRIM Express, yang dulu dikenal dengan Red Carpet Logistics (RCL), adalah perusahaan logistik milik Sumitomo dan Lippo Group. Mereka punya semangat untuk merambah segmen C2C, sebelumnya diklaim kuat di B2B dan B2C.

Mereka ingin bersaing dengan layanan logistik last mile lainnya, seperti JNE, TIKI, GrabExpress, GoSend, Ninja Express, SiCepat, Paxel untuk memenuhi kebutuhan pengiriman konsumen ritel atau pengusaha online.

Berbicara soal aset, diklaim mereka memiliki 54 hub yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Ada 515 kendaraan dan 423 kurir yang tergabung. Pendapatan mereka disebutkan tembus di atas Rp1,3 triliun pada awal tahun lalu.

3. Hooq

Hooq resmi tutup pada 30 April 2020, setelah lima tahun beroperasi. Penutupannya tidak hanya untuk operasional di Indonesia, tapi juga di regional Asia Tenggara.

Pandemi menjadi salah satu faktor pemicu secara tidak langsung di balik tutupnya layanan ini. Mereka dianggap kurang suntikan modal sehingga tidak mampu bersaing dengan para pesaingnya, padahal pemegang saham Hooq adalah konglomerasi media tersohor, seperti SingTel, Warner Media, dan Sony Pictures Television.

Bisnis OTT sendiri membutuhkan perjalanan panjang untuk memberikan laporan keuangan yang hijau. Asia Tenggara adalah lahan perang yang unik buat bisnis OTT karena beragam tantangannya.

4. Stoqo

Kali ini datang dari platform b2b yang mensuplai bahan baku untuk pebisnis kuliner. Stoqo resmi tutup menjelang akhir Mei 2020.

Sebelum pandemi, prospek bisnis ini terbilang cukup cemerlang karena pebisnis tidak perlu repot untuk menyuplai bahan baku sebelum toko dibuka. Sasaran penggunanya adalah pebisnis kuliner, mulai restoran, kafe, catering, warung makanan, dan usaha minuman.

Setelah setahun beroperasi, tepatnya pada akhir 2018, mereka berhasil mengantongi pendanaan Seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners. Juga berkesempatan mengikuti rogram akselerasi Alibaba eFounders Fellowship di Hangzhou, Tiongkok.

Ketika karantina diberlakukan, bisnis makanan, terutama restoran, turun drastis. Hal ini berdampak pada bisnis Stoqo yang terus terpukul sehingga keputusan untuk gulung tikar diambil.

5. Airy

Startup ini resmi tutup permanen setelah lima tahun beroperasi pada 31 Mei 2020. Kabar ini cukup disesalkan, namun bisa dianggap keputusan paling rasional yang diambil manajemen.

Sebelum mengambil keputusan tersebut, perusahaan mengklaim telah mengambil berbagai upaya untuk memastikan perusahaan tetap bertahan. Situasi pandemi yang tidak dapat diprediksi akhirnya menggiring pada penutupan Airy.

Startup yang terafiliasi dengan Traveloka ini diklaim memiliki 30 ribu kamar yang tersebar di 100 kota. Layanannya tidak hanya menyewakan kamar budget, tapi juga tiket pesawat, kereta api, dan layanan pemesanan untuk korporat.

6. Wowbid

Wowbid tutup
Wowbid tutup

Wowbid baru beroperasi pada awal tahun lalu, menawarkan konsep marketplace lelang secara live yang dipandu host. Tepat pada 30 Juni 2020, mereka tutup karena penjualan yang anjlok.

Wowbid menjual barang-barang tersier, sementara masyarakat saat ini kebanyakan mengalokasikan dana untuk belanja kebutuhan pokok dan kesehatan. Sebelum pandemi, mereka mengklaim telah memiliki 720 ribu pengguna terdaftar, dengan 180 ribu di antaranya adalah pengguna aktif bulanan. Bahkan mereka sudah mengantongi pendanaan pra-Seri A sebesar $5 juta dari PT Envy.

Sebelum resmi tutup, perusahaan sudah membuat sejumlah pertimbangan, misalnya tutup sementara dan beroperasi lagi setelah pandemi. Ide ini diurungkan, karena untuk masuk ke posisi top five marketplace di Indonesia bisa dibilang susah. Pelanggan Wowbid memiliki irisan dengan pelanggan platform e-commerce lain yang sudah tersohor.

7. Freenternet

Freenternet adalah startup penyedia koneksi internet gratis berbasis mobile wifi. Startup ini baru dirilis pada awal tahun ini, tapi memutuskan untuk tutup per 30 Juni 2020 kemarin.

Konsep yang ditawarkan sebenarnya menarik, karena mereka bertindak sebagai penyedia akses internet (IAP), bukan penyedia layanan internet (ISP). Untuk sumber monetisasi, Freenternet menggunakan iklan.

Dikutip dari Gizmologi, bisa jadi karena pengaruh pandemi, pengeluaran budget iklan perusahaan harus ditekan seefisien mungkin. Hal ini berdampak pada bisnis Freenternet. Dengan basis pengguna yang bisa dikatakan belum banyak, tidak mudah untuk menawarkan iklan ke klien.

GoPlay and Hooq Optimism with Video on Demand Service in Indonesia

With the rise of Video on Demand (VOD) apps in Indonesia, none of them positioned as the key player. The changing characteristic has forced the VOD service to run without any stable formula.

On this matter, DailySocial through #Selasastartup session trying to dig through the challenges the local and global VOD service players currently facing. The speakers are from GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo and Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur S. Siboro.

Indonesian unique habit

Goplay and Hooq

During its operation in Indonesia for the past 4 years, Hooq noted the unique habits of the Indonesian people. Starting from the use of internet data quota on smartphones that are very concerned to use the wifi to access various needs on the internet. This, according to Hooq, makes it difficult for them to be able to present services that rely solely on applications.

For this reason, Hooq then formed a strategic partnership with telecommunications operators, broadband services, to the super apps platform. The goal is simple, it’s for Hooq that can be accessed anywhere and anytime.

“The difference that we felt in the past (2016) since Hooq launched until now is, the payment options are still very limited. It’s only available through credit cards like those launched by Netflix. However, with the presence of GoPay, Ovo and other digital wallets make it easier for users to make a purchase,” Guntur said.

From the side of GoPlay, which all businesses are supported by the Gojek ecosystem, this is precisely their strength. With the bundling concept packaged in the form of vouchers, GoPlay tries to take advantage of broad access to Gojek’s complete channel distribution.

These strengths later became attractive offers for content creators to Indonesian filmmakers, to focus on content and entrust other aspects to GoPlay.

“In terms of GoPlay, it is included in the Gojek ecosystem and supports the existing business. One of them is offering related service vouchers, bundling with GoFood to GoSend aiming to invite more people to access local content while promoting content to more users,” Edy added .

Though many Indonesian users prefer content for free but there are some that willing to subscribe and pay, in order to get quality content.

Original content and big data management

data analytics to improve services
data analytics to improve services

One thing that later became a same objective of the two VOD services was to encourage the best works of Indonesian creators and filmmakers. In this case, each of them established a strategic partnership with studios to Indonesian production houses, in order to create interesting original content for users.

GoPlay claims such market condition is what behind their goals as a bridge for viewers for easier access to the local films.

“At least the existence of GoPlay can give filmmakers in Indonesia the option to channel their work using digital services owned by GoPlay. In accordance with Gojek’s commitment to eliminate friction in daily life,” Edy said.

Hooq has introduced the production of 19 new original content consisting of series and films in the four countries in which they operate at the end of 2019. Of the 19 new titles, the largest Hooq original content comes from Indonesia with 14 titles consisting of series, films and stand-up comedy events.

It is not surprising to have a large number of new content slots in Indonesia because the majority of the Hooq market in Southeast Asia comes from Indonesia. That was justified by Thunder.

As a platform that fully utilizes smartphones for accessing content, GoPlay claims to have succeeded in gathering big data which is then processed and can be utilized by partners to filmmakers. By utilizing this data, filmmakers can see what kind of content is a favorite, the ideal duration and what genre or category of film is in demand by various groups. Technology and data analytics processing are the strengths of GoPlay.

Meanwhile, Hooq, which available not only on smartphones but also on broadband and home cable services spreading throughout Indonesia, claims that engagement actually occurs more through the channel. However, in terms of downloads and users, Hooq noted recorded more interaction in the application.

Regarding big data and data analytics, Hooq will also apply it to improve services, Guntur said the plan was included in the company’s roadmap. After proposing the liquidation at the end of last month, currently,  Hooq Indonesia is still waiting for the company’s decision to continue or stop its services in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

 

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ajukan Opsi Likuidasi, Layanan Hooq Indonesia Masih Berjalan

Meluncur sejak tahun 2016 lalu, layanan video on-demand Hooq yang didirikan oleh Singtel, Sony Pictures Television, dan Warner Bros mengajukan opsi likuidasi dengan alasan lambatnya pertumbuhan dan persaingan yang cukup sengit terhadap pemain serupa.

Platform ini dalam beberapa bulan terakhir mulai menunjukkan pertumbuhan yang lambat dengan mulai berkurangnya beberapa konten dan channel unggulan.

Kepada DailySocial, Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro mengungkapkan, sesuai dengan keputusan yang diambil Singtel akhir pekan lalu, saat ini Singtel telah menunjuk likuidator. Jika dalam waktu dua minggu tidak ada solusi terhadap kelanjutan perusahaan di Indonesia, layanannya akan dihentikan.

Disinggung tentang kelanjutan masa depan tim lokal, Guntur menegaskan,bisnis masih berjalan seperti biasa dan enggan menyebutkan nasib pegawai selanjutnya.

“Belum ada keputusan final jadi belum ada PHK. Saat ini Hooq Indonesia masih beroperasi seperti biasa, sampai ada keputusan likuidator,” kata Guntur.

Menurut sirkulasi informasi yang diperoleh DailySocial, setidaknya 94 pegawai Hooq terdampak likuidasi ini dengan 17 pegawai di antaranya merupakan pegawai Hooq Indonesia. Detail ini mulai diinfokan secara luas untuk membantu mereka memperoleh pekerjaan baru.

Persaingan ketat di industri

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Di awal kehadirannya fokus Hooq adalah menayangkan berbagai konten film dan serial TV dari Hollywood. Dalam setahun terakhir, Hooq Indonesia menghadirkan konten original, pilihan berlangganan konten freemium, dan Live TV di platform mereka.

Hooq Indonesia menjalin kemitraan dengan sejumlah rumah produksi, sehingga setiap film yang didukung akan tersedia secara eksklusif tidak lebih dari 120 hari setelah penayangan di bioskop.

Melihat opsi likuidasi yang harus diambil, bisa dibilang persaingan di industri ini sangat ketat, termasuk dengan para pemain global, seperti Netflix dan Amazon Prime Video. Selain di Indonesia, Hooq juga tersedia di Singapura, Filipina, Thailand, dan India.

Application Information Will Show Up Here

Cara Download Film di HOOQ, Ternyata Gampang!

Kalau kemarin kita sudah membahas cara membuat akun di aplikasi HOOQ, kali ini saya berasumsi Anda sudah membeli paket berlangganan atau paling nggak sudah punya niat untuk jadi pelanggan, maka tips berikutnya yang harus dibahas adalah cara download film di HOOQ.

Continue reading Cara Download Film di HOOQ, Ternyata Gampang!