Membuka Seluruh Potensi Fintech di Indonesia dengan Mencontoh Negara Sahabat

Tiongkok dan India adalah dua negara yang sering disandingkan dengan Indonesia ketika membahas perkembangan teknologi dan digital. Pasalnya ada beberapa kesamaan yang dimiliki, terutama dari segi populasi penduduknya.

Sebenarnya Indonesia sedang mengalami fase yang sebelumnya sudah dilalui oleh kedua negara tersebut bertahun-tahun lalu. Sehingga langkah apa saja yang sebelumnya mereka lakukan dapat menjadi acuan bagi Indonesia.

Dari hasil konferensi IFFC 2016, pada dasarnya ada lima karakteristik pasar Indonesia yang menawarkan peluang bagi perusahaan fintech. Mulai dari kondisi ekonomi yang mendukung, pasar besar sementara penetrasi keuangan masih rendah, konsumen yang antusias terhadap teknologi, startup yang inovatif dan profitabilitas industri yang menarik.

Bersamaan dengan peluang tersebut, menyimpan sejumlah tantangan yang harus Indonesia hadapi. Untuk lebih lengkapnya dapat diunduh di link ini.

Salah satu tantangannya adalah mendorong know your customer (KYC) digital. Proses KYC secara face-to-face sebenarnya jadi penghambat potensi solusi keuangan digital dan kini belum ada tools yang mampu mengatasinya, mengingat KYC digital memiliki risiko tersendiri.

Dalam mengatasi hal ini, mungkin Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Inggris. Mereka menetapkan bahwa lembaga keuangan bisa saling menggunakan data satu sama lainnya antara kelompok bisnis. Jadinya, nasabah yang sudah memiliki rekening di suatu bank dapat membuka rekening di bank lain tanpa proses KYC tatap muka.

Nasabah hanya diminta lakukan transfer dana sebesar US $1 dari rekening bank yang telah dimiliki untuk validasi dan menyatakan bahwa proses KYC telah dilakukan untuk pembukaan rekening baru atas nama nasabah yang sama.

India menghadirkan Aadhaar, sebuah infrastruktur ID digital pertama di dunia. Aadhaar menyediakan ID secara daring melalui PIN khusus. Proses otentikasi untuk transaksi keuangan dilakukan melalu berbagai cara (biometrik, demografis, dan one time password dari ponsel atau email yang telah terdaftar), disimpan di cloud, dapat dilakukan di mana pun di India.

Semua permintaannya akan disampaikan ke Central Identities Data Repository yang bertindak sebagai sumber tunggal kebenaran verifikasi. Aadhaar terbukti dapat membantu pelanggan mengunjungi toko kelontong di pedesaan dan menarik tunai dari rekening bank yang terhubung jaringan Aadhaar, atau mengunjungi Public Distribution Outlet (PDO) untuk memperoleh beras/gandum bersubsidi dari akun pangan yang terhubung dengan Aadhaar.

Tantangan berikutnya, mendorong eksperimen lewat regulatory sandbox. Sebenarnya di Indonesia, sudah ada regulatory sandbox yang dihadirkan dalam Bank Indonesia Fintech Office saat peluncurannya beberapa waktu lalu. Konsepnya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) saat membentuk regulatory sandbox.

MAS menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi fintech. Namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik, mematuhi kerangka regulasi yang ada.

Sejak diluncurkan di Juni 2016, wadah ini mendorong lembaga keuangan serta non keuangan untuk bereksperimen dengan solusi fintech. Ini memungkinkan perusahaan menawarkan produk kepada kelompok pelanggan spesifik selama periode tertentu, selama masih mengikuti batasan persyaratan yang ditetapkan MAS.

Setelah masa sandbox berakhir, perusahaan dapat menawarkan produk lebih luas jika MAS dan perusahaan puas dengan hasil pengujian yang diperoleh serta dapat memenuhi persyaratan hukum dan regulasi terkait.

Mungkin India adalah contoh ideal untuk fintech Indonesia

Bank Sentral India (Reserve Bank of India) melakukan banyak hal inovatif untuk mendukung pengembangan fintech di negaranya, dengan membentuk platform infrastruktur yang memadai untuk pembayaran efisien dan lintas operasional.

Mereka mendirikan Immediate Payment Service (IMPS) untuk menawarkan sistem transfer dana elektronik antar bank secara real-time 24/7. Kemudian, meluncurkan United Payments Interface (UPI). Yakni rancangan umum dan interface aplikasi standar untuk memfasilitasi transfer dana antar bank tanpa perlu meminta nomor rekening atau kode bank.

Semua pengguna Android yang memiliki rekening pada bank mitra UPI dapat mengunduh apliksi UPI untuk melakukan transaksi e-commerce secara person-to-person menggunakan alamat virtual seperti (nama)@bankname. UPI dibangun terpisah dari IMPS.

Bank Sentral juga meluncurkan Aadhaar Payment Bridg, untuk membantu kelancaran transfer pembayaran dana kesejahteraan kepada warga yang berhak menerima. Nasabah tidak perlu membuka rekening di bank berbeda untuk memperoleh subsidi dan tunjangan tersebut; mereka hanya perlu membuka satu rekening dan dihubungkkan ke nomor Aadhaar.

Pencairan dana subsidi akan secara otomatis dikirimkan ke rekening bank tanpa perlu menginformasikan detil rekening bank nasabah ke pemerintah.

Tak hanya itu, Bank Sentral menginisiasikan peluncuran Payment Bank di 2014. Payment Bank adalah kategori bank model baru dengan persyaratan KYC yang lebih longgar. Pembukaan rekening dapat dilakukan dengan satu dokumen saja yang membuktikan alamat nasabah. Dokumen ini bersifat permanen maupun lokal, yang dapat diverifikasi melalui surat registrasi/lewat telepon.

Hanya saja rekening tersebut dipersyaratkan memiliki maksimal setoran dan saldo tidak lebih dari US $1,500 sepanjang waktu. Penawaran pinjaman dan kartu kredit tidak berlaku untuk rekening tersebut, namun dapat menawarkan produk dan layanan seperti kartu ATM, debit, online, dan mobile banking.

Upaya Bank Sentral India harus diapresiasi. Sebab pada dasarnya, di seluruh dunia regulator memegang peranan lebih aktif dalam mendorong inovasi fintech dengan mengupayakan pencapaian keseimbangan tepat atas regulasi yang “terlalu rendah” vs “terlalu tinggi”.

Bagaimana regulator dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendorong para pemain baru, sekaligus terus berupaya menyeimbangkan risiko yang terikat pada inovasi-inovasi tersebut.

Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas

Di sela-sela acara Indonesia Fintech Festival & Conference (IFFC) 2016 hari pertama, Deloitte Consulting bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Indonesia merilis hasil Survei Fintech Indonesia 2016. Terungkap bahwa 61 persen startup fintech Indonesia menganggap regulasi Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan fintech. Temuan lainnya menyebutkan bahwa kolaborasi dan kemitraan strategis dianggap penting untuk mendorong inovasi keuangan digital.

Survei Fintech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan 70 perusahaan fintech Indonesia. Ditemukan bahwa saat ini fintech di Indonesia masih berusia muda dengan 76 persen perusahan fintech baru beroperasi selama dua tahun. Di samping itu, terungkap juga bahwa 24 persen perushaan fintech Indonesia bergerak di bidang P2P atau Online Lending dan 25 persen responden saat ini memiliki total 30-100 staf.

Penasihat untuk industri jasa keuangan Deloitte Consulting Erik Koenen menyampaikan bahwa dari hasil Survei Fintech Indonesia 2016 ada empat poin penting yang bisa diambil. Keempat poin tersebut berkaitan dengan regulasi, kolaborasi, talenta, dan financial literacy dan financial inclusion.

Dari sisi regulasi ditemukan bahwa 61 persen responden menganggap adaptasi regulasi di Indonesia terhadap perkembangan fintech tergolong lambat dan berada di area abu-abu. Setidaknya, ada lima area dalam fintech yang dirasa responden memiliki kebutuhan paling tinggi untuk kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%), e-money/e-wallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending (57%) dan digital signature (54%).

Dari sisi kolaborasi ditemukan bahwa 100% responden setuju kolaborasi merupakan poin penting dalam pengembangan bisnis fintech, baik itu dengan pemerintah dan institusi finansial atau dengan pelaku fintech lainnya. Ada 38% responden yang percaya bahwa peningkatan penerapan best practice adalah manfaat terbesar kolaborasi dan 25% lainnya percaya kolaborasi bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan data pasar.

Masalah kekurangan talenta juga tidak lepas dari sektor fintech, terutama kepada keahllian spesifik di bidang fintech itu sendiri. Erik menyampaikan ada banyak engineer dan developer di Indonesia, seharusnya tidak ada kekurangan bakat dari sudut pandang ini. Namun, menurutnya saat ini tidak ada banyak engineer atau sales person di Indonesia yang memahami teknologi di balik jasa keuangan.

Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa untuk perusahaan fintech yang berusia 0-2 tahun talenta di bidang data and analytics adalah permintaan tertinggi (83%). Perusahaan berusia 3 tahun butuh talenta di bidang back end programming (67%). Sedangkan perusahaan dengan usia 4 tahun ke atas kebutuhan talenta yang memahami risk management adalah yang paling dicari (90%).

Dari hasil survei juga ditemukan bahwa perusahaan fintech Indonesia hingga saat ini kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena rendahnya tingkat pendidikan keuangan.  Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra bahkan menyebutkan masalah ini tidak hanya terjadi di antara anggota masyarakat umum tetapi juga di antara pemain di industri keuangan konvensional.

Berdasarkan hasil survei, 36 persen reponden percaya bahwa collaborative training and communications efforts adalah cara terbaik untuk meningkatkan financial literacy dari konsumen yang dibidik.

Karaniya mengatakan, “Saat ini kita sedan berada di tengah era inovasi keuangan, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi. Melalui survei ini, kami ingin menyoroti bagaimana kolaborasi di antara pemain fintech dan regulator dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan keuangan, khususnya yang memanfaatkan teknologi.”

Erik menambahkan, “Berkembangnya penggunaan teknologi di sektor keuangan membuktikan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi besar dan ini perlu menjadi agenda penting pemerintah [sebagai regulator]. Kolaborasi antara perusahaan fintech atau dengan institusi keuangan juga merupakan faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Semarak “Indonesia Fintech Festival & Conference 2016” di Hari Pertama (UPDATED)

Hari ini (29/8), “Indonesia Fintech Festival & Conference 2016” (IFFC 2016) yang menjadi ajang terbesar bagi industri keuangan dan teknologi di Indonesia resmi dimulai. Festival akbar yang berlangsung selama dua hari ini terlaksana atas kerja sama antara OJK dan Kadin. IFFC 2016 sendiri diharapkan bisa menginspirasi anak muda Indonesia dengan passion di bidang keuangan dan teknologi untuk turun menjadi entrepreneur di industri fintech dan bersama-sama meningkatkan inklusi finansial Indonesia.

IFFC 2016 merupakan festival akbar pertama untuk industri fintech di Indonesia hasil kerja sama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Festival akbar ini digelar selama mulai dari 29-30 Agustus 2016 di Indonesia Convention & Exhibition (ICE), BSD Tangerang, Banten, dan menjadi wadah yang mepertemukan seluruh stakeholder industri keuangan Indonesia. Mulai dari regulator, institusi keuangan swasta, investor, startup, asosiasi industri, hingga kalangan akademis.

Ketua Kadin Rosan Roeslani ketika membuka IFFC 2016 / DailySocial
Ketua Kadin Rosan Roeslani ketika membuka IFFC 2016 / DailySocial

Di hari pertama, IFFC 2016 dibuka oleh Ketua Kadin Rolan Roeslani dan Ketua OJK Muliaman Hadad. Rosan menyampaikan bahwa objektif utama dari ajang ini adalah untuk mendukung fintech dalam meningkatkan efisiensi inklusi finansial di Indonesia. Selain menjadi ajang konferensi, IFFC 2016 juga menjadi ajang pameran berbagai layanan digital yang bergerak di bidang keuangan mulai dari perbankan hingga startup, kompetisi startup, hingga sesi speed dating startup.

Sementara itu Muliaman menyampaikan bahwa fintech dalam beberapa dekade ini telah berkembang dan berevolusi. Mulai dari hanya sekedar layanan kartu kredit dan ATM hingga kini yang sudah bersinggungan dengan mobile melalui perangkat smartphone yang memungkinkan kapitalisasi informasi sebagai asset strategis yang dapat dipertukarkan. Di fase inilah muncul banyaknya layanan jasa keuangan untuk masyarakat umum yang baru seperti crowdfunding dan juga P2P lending.

Muliaman mengatakan, “Saya ingin kita berlomba-lomba memanfaatkan momentum ini sebagik mungkin untuk mendorong kontribusi industri fintech untuk pengingkatan inklusi keuangan masyarakat dan juga mendorong lebih efisiennya layanan jasa keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat.”

“Besar harapan saya acara ini dapat menginsiparasi generasi muda kita yang memiliki passion besar di bidang teknologi informasi dan jasa keungan untuk terjun menjadi entrepreneur muda dan membangun startup fintech Indonesia yang tidak kalah dengan pemain-pemain internasional,” lanjutnya.

Pemanfaatan teknologi di industri jasa keuangan seharusnya dapat memberikan nilai tambah dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan keuangan yang lebih baik dan mudah. Keberadaan fintech sendiri akan jadi nilai tambah dalam meningkatkan akses keuangan dan kemandirian masyarakat terhadap finansial dan bisa menjadi langkah awal pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Suasana dalam ruang pameran IFFC 2016 / DailySocial
Suasana dalam ruang pameran IFFC 2016 / DailySocial

Bersamaan dengan digelarnya IFFC 2016 hari pertama, Investree yang merupakan startup fintech lokal juga melakukan penandatanganan kerja sama strategis dengan Bank Danamon. Kerja sama ini berupa fasilitas automatic payment dan automatic posting atau yang dikenal dengan host-to-host service. Kerja sama dengan pihak Danamon sendiri sebenarnya sudah disinggung oleh Investree sejak bulan Maret silam.

IFFC 2016 akan digelar selama dua hari. Di hari kedua, 30 Agustus 2016, acara akan dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo dan ditutup oleh Ratu Belanda Queen Maxima. Bila di hari pertama agenda IFFC 2016 diisi oleh Startup Competition, Startup Mentoring, dan Speed Dating, maka di hari kedua rangkaian acara akan diisi oleh konferensi dengan tema Fintech Empowering SME, Digital Currencies, dan Funding.

Update: Kami menambahkan informasi penandatanganan kerja sama antara Investree dan Bank Danamon


Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

OJK dan Kadin Siap Gelar “Indonesia Fintech Festival & Conference 2016”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Kamar Dagang & Industri (Kadin) siap menggelar rangkaian acara Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 (IFFC). Festival fintech terbesar pertama di Indonesia tersebut akan digelar pada 29-30 Agustus 2016 di Indonesia Convention & Exhibition (ICE), BSD Tangerang, Banten. Diharapkan, ke depannya festival fintech ini juga bisa menjadi ajang tahunan yang dapat melahirkan para startup baru di bidang fintech.

Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK Dumoly F. Pardede mengatakan, “Festival ini merupakan kegiatan OJK dan Kadin [untuk] menanggapi tuntutan dari masyarakat [terhadap fintech]. […] Oleh karena itu OJK bersama dengan Kadin mengambil peranan untuk mempromosikan fintech di Indonesia [melalui IFFC 2016].”

[Baca juga: Indonesia Fintech Festival and Conference 2016, Wadah Memajukan Potensi Industri Keuangan dan Teknologi]

Fintech di Indonesia akan menjadi suatu media atau instrumen baru yang akan berhadapan dengan tuntutan masyarakat, sehingga masyarakat bisa mengakses sektor keuangan lebih murah, mudah, hemat, dan cepat,” lanjutnya.

Selain konferensi, acara yang akan digelar selama dua hari ini juga akan menggelar Startup competition, Startup Mentoring, dan Speed Dating. Dumoli sendiri berharap ajang akbar fintech ini ke depannya bisa menjadi ajang tahunan dan bisa melahirkan banyak startup baru di bidang fintech.

[Baca juga: OJK akan Gandeng Pelaku Fintech untuk Susun Regulasi]

Di sisi lain, terlepas dari rangakain acara yang ada, festival ini juga bertujuan untuk menghasilkan white paper yang akan dijadikan sebagai acuan dalam menyusun draft regulasi untuk industri fintech yang rencananya akan diluncurkan pada akhir tahun 2016.

Kepala Badan Inovasi Teknologi Startup Kadin Patrick Walujo mengatakan, “Diharapkan dengan adanya kegiatan IFFC 2016 ini, di mana pihak regulator, pemodal, dan pemain startup baik pemula maupun yang lama, bisa berkumpul dan bertukar pikiran. Suatu saat kami berharap bisa melahirkan juara-juara baru di bidang fintech yang merupakan perusahaan Indonesia. Itu salah satu tujuan kami di IFFC 2016.”

[Baca juga: Startup Competition dan Speed Dating Jadi Bagian Rangkaian Indonesia Fintech Festival and Conference 2016]

IFFC 2016 akan digelar selama dua hari, mulai dari tanggal 29 Agustus 2016-30 Agustus 2016 di ICE BSD Tangerang, Banten. Agenda di hari pertama akan lebih menitikberatkan pada rangkaian acara Startup Competition, Startup Mentoring, dan Speed Dating. Sedangkan hari kedua IFFC 2016 akan diisi oleh konferensi dengan tema Fintech Empowering SME, Digital Currencies, dan Funding.

Presiden RI Joko Widodo dijadwalkan untuk memberikan opening remarks di hari kedua dan Ratu Belanda Queen Maksima dijadwalkan untuk memberikan closing remarks dalam IFFC 2016. Queen Maksima sendiri hadir sebagai perwakilan United Nation bagi Financial Inclusion.

Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival 2016