Katsuhiro Harada Protes Pemerintah Jepang Batasi Durasi Main Game Anak

Konsumsi game bagi anak sepertinya memang sedang menjadi satu perhatian tersendiri bagi pemerintah di beberapa negara. Salah satu negara yang pertama kali memunculkan perhatian ini adalah Tiongkok. Pada November 2019 lalu, pemerintah Tiongkok sudah mengeluarkan regulasi baru untuk meminimalisir dampak buruk bermain game. Regulasi tersebut termasuk membatasi durasi main game dan serta membuat jam malam untuk gamers usia muda.

Walhasil regulasi tersebut berdampak kepada beberapa game, seperti Epic Games yang batasi waktu main Fortnite di Tiongkok, sertai Arena of Valor yang menyiapkan fitur Face Recognition untuk mengetahui usia pemain. Tak hanya di Tiongkok, Jepang juga kini kabarnya sudah menerapkan regulasi serupa, lewat sebuah peraturan daerah.

Peraturan ini diberi nama Net Game Addiction Measure Ordinance, yang diterapkan di prefektur Kagawa, Shikoku, Jepang. Peraturan ini akan membatasi waktu main warga yang berusia di bawah 18 tahun jadi hanya satu jam per hari saja. Melihat regulasi ini, Katsuhiro Harada, produser dan direktur seri game Tekken, lalu memberikan tanggapan yang cukup keras.

Twit tersebut jika diterjemahkan secara kasar berarti. “Para orang tua yang tumbuh dewasa dengan tidak bijak menjadikan game sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan mereka untuk mendidik anak mereka secara bijak.” Mengutip Siliconera, peraturan daerah ini tidak hanya sekadar membatasi durasi main game anak-anak di bawah 18 tahun jadi 60 menit saja per hari (akhir pekan 90 menit), namun juga menerapkan jam malam yang melarang anak-anak untuk menggunakan telepon genggam di atas pukul 22:00.

Memang tidak seperti Tiongkok, yang memaksa pengembang untuk mengubah bagian dalam game untuk pembatasan durasi pemain, peraturan daerah yang diterapkan di Jepang ini bisa dibilang hanya bersifat sebagai arahan dari pemerintah kepada para orang tua dalam mengatur konsumsi game anak. Masih dari Siliconera, kebijakan ini sendiri sebenarnya masih menjadi perdebatan bagi kalangan umum di Jepang, karena cara menegakkan peraturannya yang masih jadi tanda tanya.

Lebih lanjut, Harada secara vokal menentang hal ini lewat beberapa seri twit lainnya. Ia mengatakan bahwa orang-orang yang membuat kebijakan ini adalah “orang orang dengan pikiran membosankan yang tidak dapat memberikan anak anak ide dan inspirasi.”

Terakhir, Harada kembali menegaskan bahwa bentuk perlawanan yang ia lakukan lewat opini pribadinya sendiri ini tidak ada hubungannya dengan penjualan game Tekken sendiri. Ia menjabarkan bahwa penjualan game Tekken 7 yang sudah mencapai jutaan unit, lebih banyak terjual di pasar barat (Eropa dan AS), ketimbang pasar Jepang yang hanya menyumbang 4 persen dari total penjualan dengan hanya 5 juta kopi saja terjual. “Jadi peraturan daerah ini tidak ada urusannya dengan penjualan Tekken 7. Namun, saya merasa ini akan memberikan dampak negatif kepada budaya gaming di Jepang.”. Ucap Harada.

Pada akhirnya, regulasi pembatasan waktu bermain game memang seakan menjadi pedang bermata dua bagi masyarakat. Pada satu sisi, pembatasan ini mungkin baik bagi tumbuh kembang anak, seraya memberi pedoman kepada orang tua terhadap cara konsumsi game terbaik bagi anak. Namun pada sisi lain, kebijakan seperti ini sedikit banyak juga akan mempengaruhi industri game itu sendiri. Walau mungkin tidak terasa untuk saat ini, pergeseran budaya seperti yang disebut Harada bisa jadi akan memberi dampak besar terhadap bisnis game di masa depan.

Sumber Header: Red Bull Esports

Strategi Tencent Menjadi Perusahaan Terbesar di Industri Game Dunia

Tencent kini menjadi publisher game terbesar di dunia. Padahal, game sebenarnya bukan bisnis utama Tencent. Konglomerasi asal Tiongkok itu memiliki bisnis di berbagai bidang, mulai dari hiburan — yang mencakup game, televisi, komik — media sosial, sampai e-commerce. Pada 2019, total pendapatan Tencent mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan mereka pada 2018. Pertanyaannya, bagaimana Tencent bisa menjadi publisher game paling besar di dunia?

Sejarah Tencent

Tencent didirikan oleh Ma Huateng — yang akrab dengan panggilan Pony Ma — bersama empat temannya pada 1998. Mereka meluncurkan produk pertama mereka pada 1999, berupa layanan instant messaging bernama OICQ, yang kemudian namanya diganti menjadi QQ. Satu tahun sejak diluncurkan, instant messaging buatan Tencent itu berhasil mendapatkan satu juta pengguna. Namun, ketika itu, Tencent masih belum mendapatkan untung. Mereka mendapatkan untung untuk pertama kalinya pada 2001, setelah peluncuran platform pengirim pesan Mobile QQ. Saat itu, mereka mendapatkan pemasukan sebesar US$5,9 juta dengna laba sebesar US$1,2 juta. Tiga tahun kemudian, pada 2004, Tencent menjadi perusahaan terbuka yang terdaftar di Hong Kong Stock Exchange.

Pada 2005, Tencent memperkenalkan Qzone, layanan jaringan sosial multimedia. Pony Ma memutuskan untuk mengizinkan developer lain untuk membuat aplikasi di Qzone. Lima tahun kemudian, pada 2010, Qzone menjadi platform jejaring sosial terbesar di Tiongkok dengan 492 juta pengguna aktif. Pada 2011, industri mobile mulai berkembang. Melihat ini sebagai kesempatan, Tencent meluncurkan WeChat. Pada awalnya, WeChat hanyalah aplikasi pengirim pesan, sama seperti WhatsApp atau LINE. Namun, Tencent terus menambahkan berbagai fitur baru ke aplikasi tersebut, mulai dari game sampai layanan pembayaran. Sekarang, WeChat menjadi aplikasi super yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari warga Tiongkok.

WeChat bahkan dilengkapi dengan game.
WeChat bahkan dilengkapi dengan game.

Valuasi Tencent sebagai perusahaan terus naik. Selama lima tahun, mulai 2011 sampai 2016, valuasi Tencent tumbuh 40 persen per tahun. Pada April 2017, mereka masuk ke dalam daftar 10 perusahaan yang paling bernilai di dunia, menurut laporan The Conversation.

Strategi Tencent di Industri Game

Tencent membuat divisi khusus gaming, Tencent Games, pada 2003. Satu tahun kemudian, mereka meluncurkan game untuk platform instant messaging mereka sendiri, QQ. Sejak saat itu, mereka meluncurkan sejumlah game lain untuk QQ, seperti Dungeon Fighter Online, sebuah game side-scrolling beat ’em up dan QQ Sanguo, game RPG yang mengambil setting waktu di Tiga Kerajaan di Tiongkok.

Selain membuat game sendiri, Tencent juga menjadi perusahaan yang menjembatani developer asing yang ingin masuk ke Tiongkok, negara dengan populasi terbesar. Misalnya, ketika Activision Blizzard (perusahaan asal Amerika Serikat) ingin meluncurkan game Call of Duty di Tiongkok, mereka harus menggandeng perusahaan lokal sebagai rekan. Inilah peran Tencent. Begitu juga ketika perusahaan kreator game lain — seperti Riot Games, EA, Sony, dan Ubisoft — ingin masuk ke pasar Tiongkok, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal Tiongkok. Biasanya, perusahaan tersebut adalah Tencent.

Usaha Tencent untuk mengembangkan bisnis game-nya tak berhenti sampai di situ. Mereka juga mulai melakukan akuisisi atau membeli saham dari sejumlah developer game ternama. Pada 2011, Tencent menghabiskan US$400 juta untuk membeli 93 persen saham dari Riot Games, developer League of Legends. Empat tahun kemudian, Tencent membeli 7 persen saham Riot yang tersisa. Dengan begitu, Riot Games sepenuhnya menjadi milik Tencent. Tidak heran jika Tencent membeli Riot, mengingat League of Legends adalah salah satu game PC terpopuler di dunia. Pada tahun 2019, 10 tahun setelah diluncurkan, League of Legends, masih bisa mendapatkan pemasukan sebesar US$1,5 miliar. Game MOBA tersebut juga merupakan salah satu game paling berpengaruh di ekosistem esports.

League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games via Rift Herald
League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games

Menurut laporan PC Gamer, meskipun saham Riot dikuasai penuh oleh Tencent, Riot mendapatkan kebebasan penuh atas pengembangan League of Legends. Meskipun begitu, hubungan antara Riot dan Tencent juga tak selamanya berjalan mulus. Pada 2015, Tencent meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Alasannya, karena ketika itu, mobile game tengah booming dan Tencent ingin memanfaatkan momentum tersebut. Riot menolak. Namun, Tencent tetap berkeras dan membuat mobile game MOBA bernama Honor of Kings. Inilah yang membuat hubungan mereka dengan Riot memburuk.

Ketika diluncurkan, game Honor of Kings hanya tersedia di Tiongkok. Pada 2017, Tencent meluncurkan Honor of Kings ke pasar internasional dengan nama Arena of Valor. Meskipun begitu, sekarang, Tencent tak lagi berusaha untuk memasarkan Arena of Valor di negara-negara Barat dan Riot telah setuju untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Dan sekarang, hubungan Tencent dan Riot sudah kembali membaik.

Developer-Developer Game yang Dibeli Tencent

Dalam dunia investasi, ada pepatah untuk tidak menaruh semua telur Anda di satu keranjang. Tencent memahami ini. Karena itu, mereka tidak hanya berinvestasi di Riot. Mereka juga membeli saham dari sejumlah developer dari game populer lainnya.

Pada Juni 2012, Tencent membeli 40 persen saham Epic Games, developer Fortnite, senilai US$300 juta. Tak hanya modal, Tencent juga berbagi insight mereka tentang mengoperasikan game online. Dari Tencent, CEO dan pendiri Epic Games, Tim Sweeney belajar tentang model bisnis game as a service. Epic lalu mulai membuat Paragon dan Fortnite: Save the World. Kedua game itu dianggap gagal. Meskipun begitu, ini justru membuka kesempatan bagi Epic untuk meluncurkan Fortnite, game battle royale yang kini menjadi salah satu game paling populer di dunia. Pada 2018, Fortnite menghasilkan US$2,4 miliar. Pendapatan Fortnite mengalami penurunan pada 2019 menjadi US$1,8miliar. Meskipun begitu, game tersebut masih menjadi game gratis dengan penghasilan terbesar.

Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.
Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.

Setelah mendapatkan investasi dari Tencent, Epic juga mengubah bisnis model mereka untuk Unreal Engine 4, game engine buatan mereka. Mereka tak lagi memungut biaya berlangganan bulanan untuk pemakaian game engine tersebut. Sebagai gantinya, Epic menggunakan sistem royalti. Jadi, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh developer yang menggunakan Unreal Engine tergantung dari kesuksesan game mereka. Memang, jika developer membuat game yang sukses, maka mereka harus membayar royalti yang lebih besar pada Epic. Namun, ini memudahkan developer indie untuk menggunakan Unreal Engine dalam mengembangkan game mereka. Selain itu, ini juga membuat persaingan antara Unreal dengan Unity — yang saat itu dianggap sebagai game engine terbaik untuk developer indie — menjadi semakin panas.

Fortnite bukan satu-satunya game battle royale yang sukses. Di Indonesia, para gamer lebih menyukai Player Unknown’s Battleground buatan Bluehole. Menariknya, meskipun Tencent sudah menjadi investor dari Epic, mereka juga menanamkan modal di Bluehole. Lucunya, di Tiongkok, Tencent menjadi publisher untuk Fortnite dan PUBG. Tencent membeli 1,5 persen saham Bluehole pada 2017. Kemudian, mereka membeli lebih banyak saham dari Bluehole. Diperkirakan, total saham Bluehole yang dimiliki oleh Tencent kini mencapai 11,5 persen.

Tencent juga menanamkan investasi sebesar US$8,6 miliar di Supercell, developer asal Finlandia yang terkenal berkat beberapa mobile game-nya, seperti Clash of Clans, Clash Royale, dan Brawl Stars. Menurut PC Gamer, investasi Tencent di Supercell merupakan salah satu investasi terbesar di sejarah industri game. Namun, mengingat 60 persen dari total pendapatan Tencent pada 2018 berasal dari mobile game, tidak heran jika Tencent rela mengeluarkan uang besar demi membeli saham Supercell. Pada Oktober 2019, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari konsorsium yang memiliki Supercell. Dengan begitu, Tencent memiliki kendali atas Supercell. Meskipun begitu, sama seperti Riot, Supercell juga tetap mendapatkan kebebasan dalam mengelola game buatan mereka.

Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin's Creed.
Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin’s Creed.

Selain itu, Tencent juga memiliki saham sebanyak lima persen di Ubisoft dan Activision Blizzard. Pada 2018, Vivendi ingin mengambil alih Ubisoft secara paksa (hostile takeover), yang berarti ribuan karyawan Ubisoft terancam dipecat. Ubisoft lalu membuat perjanjian dengan Vivendi untuk menjual saham mereka ke berbagai investor, termasuk Tencent. Namun, Tencent tidak bisa membeli saham kepemilikan atas Ubisoft. Selain mendapatkan saham minoritas di Ubisoft, Tencent juga mendapatkan hak untuk merilis game Ubisoft di Tiongkok.

Masih pada tahun 2018, Tencent membeli 80 persen saham dari Grinding Gear Games, developer yang membuat game Path of Exile. Ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Tencent akan mengimplementasikan sistem microtransaction yang lebih agresif. Untungnya, ketakutan itu tidak menjadi nyata. Sama seperti developer lain yang sahamnya dibeli oleh Tencent, Grinding Gear Games bebas untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan pada game buatannya.

Tencent juga memiliki saham di Platinum Games dan Yager, meski tidak diketahui berapa banyak saham yang dipegang oleh konglomerasi Tiongkok tersebut. Selain itu, Tencent memiliki 9 persen saham di Frontier Developments, developer dari Elite Dangerous dan Planet Zoo. Setelah kesuksesan Warhammer 2: Vermintide, Tencent juga tertarik untuk membeli 36 persen saham dari sang developer, Fatshark. Salah satu investasi terbaru Tencent adalah pada Funcom. Mereka membeli 29 persen saham dari developer Conan Exiles tersebut. Belum lama ini, mereka juga mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi Funcom sepenuhnya.

Tak hanya di  developer game, Tencent juga menanamkan saham di Kakao, perusahaan internet asal Korea Selatan. Tencent menguasai 13,5 persen saham dari Kakao, yang juga merupakan publisher PUBG di negara asalnya. Pada 2018, Discord mendapatkan kucuran dana sebesar US$158 juta. Tencent merupakan salah satu investor yang turut serta dalam pengumpulan dana itu. Sayangnya, tidak diketahui berapa banyak dana yang Tencent kucurkan.

Laporan Keuangan Terbaru Tencent

Dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia dari Forbes, Tencent duduk di peringkat 74 dengan kapitalisasi pasar (total nilai saham yang beredar) sebesar US$472,06 miliar. Sementara menurut Bloomberg, perusahaan Tiongkok itu memiliki lebih dari 62,8 ribu pekerja. Belum lama ini, Tencent juga mengeluarkan laporan keuangan mereka untuk Q4 2019. Pada Q4, Tencent mendapatkan pemasukan sebesar 105,8 miliar yuan (sekitar Rp240 triliun), naik 25 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara total pendapatan untuk tahun 2019 mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan pada 2018.

Peacekeeper Elite adalah
Peacekeeper Elite adalah PUBG Mobile yang telah di-rebrand untuk Tiongkok.

Divisi gaming Tencent menyumbangkan 30,3 miliar yuan (sekitar Rp68,7 triliun). Angka ini naik 25 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan tersebut didorong oleh kesuksesan mobile game, baik di pasar Tiongkok maupun di pasar internasional. Beberapa mobile game yang memberikan pemasukan paling besar antara lain Peacekeeper Elite, PUBG Mobile, dan juga game-game buatan Supercell. Sayangnya, pendapatan dari segmen game PC justru mengalami sedikit penurunan. Dalam laporan pada investornya, Tencent menjelaskan, tiga game yang membuat mereka sukses mengembangkan bisnis mereka di luar Tiongkok adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile dan Teamfight Tactics.

“Pendapatan kami dari pasar game internasional naik lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, memberikan kontribusi sebesar 23 persen pada total pendapatan untuk divisi game online untuk Q4 2019,” tulis Tencent, seperti dikutip dari The Esports Observer. Selain itu, Tencent juga membanggakan fakta bahwa 5 dari 10 game dengan jumlah pengguna aktif harian paling banyak merupakan game buatan mereka.

Bisnis Tencent yang Lain

Selain gaming, Tencent juga memiliki beberapa divisi lain, termasuk hiburan yang mencakup seri TV dan film bioskop, komik, serta musik. Pada Januari 2020, Tencent membeli 10 persen saham dari Universal Music. Namun, dalam laporan keuangannya, Tencent mengatakan bahwa bisnis hiburan mereka mengalami perlambatan karena perubahan regulasi oleh pemerintah.

Ini menyebabkan mereka harus menunda beberapa seri TV. Meskipun begitu, mereka mengaku bahwa mereka masih menjadi pemimpin di industri hiburan. Sementara itu, jumlah pengguna WeChat juga masih terus bertambah. Total pengguna WeChat naik 6 persen menjadi 1,16 miliar orang. Sebagai perbandingan, Facebook memiliki total pengguna mencapai 2,5 miliar orang per Desember 2019.

“Kami mengalami perlambatan pertumbuhan jumlah pelanggan dan pemasukan untuk layanan video langganan kami pada 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Penyebabnya adalah keterlambatan peluncuran sejumlah konten penting,” tulis Tencent dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Variety. “Namun, jumlah pelanggan berbayar Tencent Video kami mencapai 106 juta orang dan kami masih menjadi pemimpin industri berdasarkan kualitas konten, jumlah pengguna, dan dari segi finansial. Ini menekan kerugian operasional pada 2019 menjadi 3 mliiar yuan.”

Tencent juga tak diam saja melihat pertumbuhan Bytedance, yang dikenal berkat aplikasi video pendeknya, TikTok. Untuk menyaingi Bytedance, Tencent fokus untuk mengembangkan aplikasi video pendeknya, Weishi. Jumlah pengguna aktif harian dari aplikasi tersebut naik 80 persen sementara jumlah video yang diunggah naik 70 persen pada Q4 2019.

Kesimpulan

Tencent sukses menjadi publisher terbesar di dunia meskipun mereka bukanlah perusahaan yang fokus pada bisnis gaming. Sampai sekarang, Tencent dikenal sebagai perusahaan teknologi dengan WeChat sebagai salah satu produk utamanya. Namun, sejak didirikan pada 2003, Tencent Games berhasil untuk memberikan kontribusi yang signifikan pada total pendapatan konglomerasi ini. Berbeda dengan perusahaan seperti Nintendo yang berusaha untuk membangun franchise dari nol, Tencent lebih memilih untuk membeli saham atau mengakuisisi developer dari game yang sudah terbukti populer. Menariknya, Tencent biasanya tidak banyak ikut campur dalam operasional perusahaan game yang mereka akuisisi.

Sumber header: The Register

Mengurai Masalah Game Pay to Win: Definisi, Motivasi, dan Konsekuensi

Seiring dengan meningkatnya popularitas game free-to-play, muncul juga istilah game pay-to-win. Konsep pay-to-win sebenarnya sudah bisa ditemukan saat jaman-jaman keemasan MMO gratisan di PC saat awal-awal tahun 2000an. Namun, sayangnya, di platform mobile, game-game semacam ini seakan beranak pinak kian banyak.

Sebagian besar isi dari tulisan ini memang opini saya. Namun, sebagai justifkasi opini, saya telah mengeluarkan uang setidaknya puluhan juta di game-game free-to-play, yang kebanyakan pay-to-win. Saya juga sudah berkecimpung di industri game sejak 2008, termasuk bekerja di publisher game ataupun aplikasi yang memiliki micro transactions alias in-app purchases. Karena pekerjaan saya di industri ini juga, saya telah menamatkan setidaknya 2000 game single-player (yang biasanya premium) dan mencoba belasan ribu game-game free-to-play (baik di mobile ataupun PC).

Definisi game pay-to-win

Sebelum kita mengurai lebih jauh tentang masalah sistem bisnis ini, mungkin ada yang belum tahu apa itu game pay-to-win. Buat Anda yang sudah tahu, Anda tetap bisa membaca bagian ini untuk mendeteksi ‘gejalanya’ sebelum terlanjur basah merogoh kocek.

Game pay-to-win adalah game-game yang menjadikan advantage di game sebagai komoditas. Bentuk advantage tadi bisa berupa barang premium (baik itu equipment, karakter, item, pet, dan kawan-kawannya) yang fungsinya lebih baik dari barang gratisan ataupun yang berupa semacam ‘steroid’ untuk mempercepat progresi di game.

Mungkin memang sejumlah game terang-terangan menjual barang premium yang fungsinya lebih baik dari yang gratisan dan barang tersebut memang tak bisa didapatkan tanpa membayar. Namun, tidak sedikit juga publisher dan developer game gratisan sekarang yang kian pintar untuk tidak terang-terangan menjual barang-barang tersebut dan mengaburkan konsep pay-to-win. Inilah yang saya maksud dengan ‘steroid’ di paragraf sebelumnya.

Mungkin bisa jadi Anda tidak setuju dengan ini, namun bagi saya, istilah game ‘free-to-play‘ itu saat ini sudah bisa dibilang menyesatkan (bahasa gaulnya, misleading). Kenapa? Karena sebagian besar game-game free-to-play sekarang sudah membatasi jatah Anda bermain setiap harinya — dengan sistem stamina, energi, atau apapun istilahnya. Bahkan untuk bermain saja, Anda harus membayar jika ingin waktu yang lebih lama. Setidaknya, dulu di jaman game gratisan di PC, sebagian besar mengizinkan Anda grinding/farming 24 jam non-stop.

Credits: Dorkly via Cheezburger
Credits: Dorkly via Cheezburger

Sistem pembatasan waktu bermain dan menjual kesempatan untuk bisa bermain lebih lama, bagi saya, sudah masuk kategori pay-to-win. Inilah satu hal yang mungkin harus Anda sadari jika ingin menghindari game-game pay-to-win.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Setiap game gratisan (hampir) selalu ada sistem progresi (bisa berupa level, koleksi karakter, equipment rarity, dan lain sebagainya) yang membutuhkan berbagai macam resources (gold, exp, dkk.) termasuk waktu bermain. Jadi, semakin lama Anda bermain, semakin cepat Anda mengumpulkan resource tadi.

Misalnya saja seperti ini, jika Anda bermain gratis sepenuhnya, Anda hanya bisa bermain 10x sehari. Namun, buat yang bayar, mereka bisa bermain sampai 30x sehari. Kira-kira, pemain mana yang bisa mengumpulkan resource lebih banyak dalam sebulan?

Istilah yang sering digunakan para publisher atau developer untuk berkilah adalah “pay for convenience” karena semua barang-barang atau resource juga bisa didapatkan secara gratis. Namun, di game-game yang punya sistem progresi, biasanya juga ada yang istilahnya “snowball effect“.

Mari kita kembali ke pengandaian antara pemain yang bisa bermain 10x dan 30x sehari tadi. Untuk bisa sampai ke level 10 misalnya, kita butuh 300x main. Pemain gratisan memang bisa mencapai level 10 dalam waktu 30 hari. Namun dalam waktu 30 hari, pemain yang bermain 30x sehari mungkin sudah mencapai level 15-20. Semakin lama, jarak antara dua pemain tadi, akan semakin besar sampai ada batasan konten (level cap, misalnya) di game tersebut.

Credits: Cheer Up Emo Kid
Credits: Cheer Up Emo Kid

Jadi, silakan percaya saya atau tidak, jika ada yang bilang game-nya tidak pay-to-win namun menjadikan kesempatan bermain sebagai komoditas, Anda yang bermain gratis akan (hampir) selalu ketinggalan langkah dengan yang bayar.

Kenapa ada sistem pay-to-win?

Ada beberapa alasan dan tujuan kenapa sistem ini ada. Pertama adalah pendapatan atau profit yang lebih cepat untuk publisher/developer. Game-game yang tidak punya micro-transaction hanya punya 2x kesempatan untuk mendapatkan uang dari penggunanya. Pertama adalah saat game tersebut dirilis. Kedua adalah saat game tersebut mengeluarkan premium add-on atau DLC. Sedangkan membuat game ataupun merilis DLC baru juga tidak secepat mengimplementasikan item untuk dijadikan in-app purchase.

Sedangkan game-game yang punya micro-transaction, apalagi yang jualan stamina, energi, dan kawan-kawannya tadi, bisa mendapatkan uang setiap harinya selama game tersebut masih ada pemainnya. Tidak sedikit dari game-game gratisan yang dibuat hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Via: 9Gag
Via: 9Gag

Kedua, pergeseran tren konsep game sebagai produk retail jadi game as a service (GaaS). Dulu, game memang hanya bisa dijual layaknya produk retail alias jual putus. Setelah Anda beli game-nya, Anda bebas melakukan apapun dengan produk tersebut. Mau dimainkan, dibuang, dikasihkan, atau dipinjamkan ke orang juga silakan. Game-game yang diperlakukan layaknya produk retail ini (yang jual putus) sekarang juga masih ada tapi seringnya single-player atau mencari pemasukan dari penjualan DLC secara berkala (tidak setiap hari).

Sedangkan untuk GaaS, yang Anda bayarkan adalah akses/layanan ke game tersebut (atau fitur yang ada di dalamnya). Nah, karena yang dijual adalah layanan (service), tentunya butuh biaya juga untuk bisa terus mempertahankan layanan itu ada. Misalnya biaya untuk sewa server, biaya untuk membayar para pekerjanya, biaya untuk beriklan ataupun yang lain-lainnya.

Para pekerja untuk publisher yang produknya GaaS juga biasanya lebih banyak. Misalnya, salah satu publisher Indonesia yang dulu dikenal dengan MMO gratisannya bahkan bisa memperkerjakan ratusan orang hanya untuk sebagai Game Master (orang-orang yang mengawasi para pemain di dalam game) — belum termasuk untuk divisi-divisi lainnya.

Game-game single-player yang tidak punya micro-transaction (yang jual putus), biasanya, juga tidak punya anggaran iklan setiap bulan — hanya saat rilis game atau DLC baru. Sedangkan untuk GaaS, biaya marketing atau user acquisition bisa jadi pengeluaran terbesar mereka setiap bulannya.

Oh iya, berhubungan dengan GaaS ini, saya juga ingin mengingatkan Anda untuk tidak mudah terbuai atau memberikan penilaian terlalu cepat. Setiap yang namanya produk layanan, kebijakannya bisa berubah sewaktu-waktu. Misalnya, game-game gratisan yang tadinya mungkin tidak terlalu parah soal aspek jualannya (pay-to-win-nya) bisa jadi berubah setelah setahun kemudian.

d25

Kenapa bisa begitu? Saya tahu (meski saya tidak bisa sebut nama) memang ada yang strateginya seperti jual narkoba. Kasih gratis dulu, setelah kecanduan baru diperas habis-habisan.

Contohnya dari pengalaman saya saja dengan salah satu game. Awalnya, salah satu game yang saya mainkan dulu tidak menekankan pada sistem gacha (alias random chances atau RNG) sebagai cara utama mendapatkan keuntungan. Jujur saja, saya memang benci yang semacam itu karena saya tidak suka beli kucing dalam karung. Saya pun bermain selama setahun dan mengeluarkan biaya sampai sekitar Rp30 juta untuk game tersebut. Masuk tahun kedua, semuanya berubah. Barang-barang baru di tahun kedua hanya bisa didapatkan lewat sistem gacha.

Awalnya, saya jadi berat meninggalkan game tersebut karena saya merasa sudah investasi uang dan waktu yang tidak sedikit. Meski akhirnya saya pun merelakan dan mengingatnya sebagai bahan pembelajaran atas kebodohan saya. Setelah berbincang dengan beberapa orang di balik layar, ternyata strategi semacam itu memang sengaja digunakan.

Credits: Sandra and Woo
Credits: Sandra and Woo

Alasan terakhir kenapa sistem pay-to-win ada adalah, sama seperti setiap produk yang ada di muka bumi ini, karena ada pasarnya. Sistem pay-to-win memanfaatkan sifat dasar manusia yang memang lebih senang saat menang dan cenderung memilih jalan pintas. Sifat ini mungkin memang naluriah di setiap manusia. Saya sendiri juga tidak menafikkan kepuasan batin yang saya dapatkan saat bisa membantai para pemain gratisan dengan sangat mudah setelah mengeluarkan jutaan Rupiah di satu game.

Jika kita analogikan dengan olahraga, klub bola yang kaya raya rela mendatangkan pemain bintang yang mahal demi mendapatkan lebih banyak kemenangan. Namun, sayangnya, ada lebih banyak aturan di sepak bola untuk menjaga semangat fair-play. Jika sepak bola lebih terang-terangan menggunakan sistem pay-to-win, pemain yang bayar lebih mahal boleh lari lebih lama ketimbang yang tidak bayar sama sekali.

Di luar game, ada norma-norma (sosial, budaya, dan hukum) ataupun etika yang menjunjung tinggi nilai keadilan sosial sehingga mungkin jadi tak terlalu kelihatan. Sedangkan di game pay-to-win, sistem tersebut malah dijadikan komoditas dan fitur utama.

Jual-beli ijazah atau jasa pembuatan skripsi misalnya, meskipun mungkin memang ada, tidak diiklankan segamblang itu. Sedangkan in-app purchase bahkan ditunjukkan lewat pop-up di depan mata.

Apakah sistem pay-to-win memang yang terbaik untuk publisher/developer game?

Jika memang sistem pay-to-win bisa menghasilkan uang dengan cepat, tidak dilarang (setidaknya setahu saya belum ada aturannya seperti di sepak bola tadi), dan memang memanfaatkan sifat dasar manusia, apakah sistem ini memang yang terbaik buat publisher/developer game?

Well, tergantung tujuannya. Jika tujuannya adalah mengeruk uang sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, sistem ini memang terbukti efektif — saya tidak menyangkalnya. Namun jika tujuannya adalah membangun bisnis jangka panjang, menurut saya, sistem ini tidak bisa digunakan.

Kenapa?

Pertama, game-game yang terlalu berlebihan dalam menyodorkan sistem pay-to-win mungkin memang hampir selalu bisa menemukan segelintir pemain sultan (atau whales istilah bahasa Inggrisnya) yang mau merogoh koceknya dalam-dalam. Namun, sifat naluriah manusia jugalah yang nantinya akan jadi masalah. Meski kita memang suka dengan kemenangan mudah, kita juga suka mencari tantangan. Kita akan cepat bosan jika tidak menemukan tantangan baru. Namun di sisi lain, harapan jugalah yang membuat kita untuk terus berjalan. Memang sifat-sifat manusia itu seringnya kontradiksi satu dengan yang lainnya.

Ibaratnya, Messi atau Ronaldo pasti akan bosan bermain bola melawan Anda terus-terusan karena Anda tidak akan bisa memberikan tantangan yang berarti untuk pemain sekelas mereka. Anda juga pasti malas terus-terusan melawan mereka karena tahu tak ada harapan untuk bisa menang.

Hal itu jugalah yang terjadi di game-game pay-to-win yang sudah tutup usia. Pemain sultan lama-lama bosan mem-bully pemain gratisan. Sebaliknya, pemain gratisan juga malas di-bully terus-terusan. Menyeimbangkan antara tantangan dan harapan para pemainnya adalah kunci dari game-game gratisan yang berumur panjang.

Kedua, sepanjang karier saya dari 2008 tadi, tanggung jawab utama saya adalah mengurus user/pengguna (bagaimana memberikan konten yang berkesan dan bermanfaat, menyuguhkan pengalaman yang menyenangkan, menarik perhatian, dkk.). Jadi, saya tahu setiap pengguna itu akan bertambah pintar cepat atau lambat. Bedanya hanyalah ada yang bisa dibodohi 1x tapi ada juga yang bisa dibodohi berkali-kali wkakwkakwka… Demikian juga dengan game-game pay-to-win.

Cyberpunk 2077. Credits: CD Projekt
Cyberpunk 2077. Credits: CD Projekt

Buat yang menantikan rilisnya Cyberpunk 2077, saya yakin betul mereka pernah memainkan The Witcher. Demikian juga dengan mereka-mereka yang dulu menantikan RDR2, kemungkinan besar adalah para fans dari seri GTA. Maksudnya, para gamer itu juga tidak sebodoh itu. Kita tahu produk dari siapa saja yang memberikan kita kenangan manis untuk dikenang.

Game-game yang memberikan kesan positif yang di akhir permainan membuat para pemainnya menantikan produk-produk baru dari para pembuat game-game tersebut.

Sedangkan game-game pay-to-win, buat saya, lebih mengingatkan saya pada kebodohan diri saya sendiri dan bagaimana mereka berhasil membodohi saya. Jadinya, saya akan menghindari game-game dari rilisan publisher yang sama. Makanya, tidak sedikit juga publisher game pay-to-win yang mencoba mengaburkan/mengganti namanya karena sudah tahu banyak orang jera dengan produk mereka. Kalaupun ada yang masih menggunakan brand yang sama, popularitas game-game baru mereka sudah jauh berkurang dibanding yang sebelum-sebelumnya.

Penutup

Credits: Fabrik Brands
Credits: Fabrik Brands

Jadi apakah game-game pay-to-win masih akan terus ada? Menurut saya, iya. Hal ini sama saja dengan pertanyaan apakah kebanyakan media daring masih akan terus menggunakan click-bait dan trik-trik picisan lainnya untuk mencari perhatian. Faktanya, akan selalu ada para pelaku industri yang memilih uang atau hasil cepat ketimbang membangun brand loyalty untuk jangka panjang.

Namun demikian, Anda sebagai user/pengguna juga tentunya sudah mulai bisa lebih jeli dalam memilih produk seperti apa yang ingin Anda gunakan ataupun berikan dukungan. Apakah Anda lebih suka produk yang memanfaatkan kebodohan Anda? Atau Anda memilih produk yang memang bertujuan memberikan pengalaman yang terbaik? Jawabannya sepenuhnya di tangan Anda.

Feat image: via Pinterest

Perusahaan Induk TikTok Mau Buat Divisi Gaming, Siap Saingi Tencent?

Total pendapatan industri mobile game di Tiongkok akan mencapai hampir US$20 miliar pada 2020, menurut laporan Statista. Sementara menurut App Annie, pada tahun lalu, mobile game berkontribusi 72 persen dari total belanja konsumen di perangkat mobile. Ini menunjukkan betapa menggiurkannya pasar mobile game. Tidak heran jika ByteDance, perusahaan induk TikTok, dilaporkan berencana untuk membuat divisi game agar bisa masuk ke pasar mobile game.

Selama ini, pasar mobile game di Tiongkok dikuasai oleh Tencent, yang memiliki tiga game mobile multiplayer paling populer di dunia yaitu PUBG Mobile, Call of Duty: Mobile, dan Arena of Valor, yang di Tiongkok dikenal dengan nama Honour of Kings. Ketiga game ini memiliki model bisnis yang sama: game bisa dimainkan dengan gratis, tapi pemain juga bisa melakukan pembelian dalam game, yang terbukti memberikan pendapatan yang tidak kecil. ByteDance ingin melakukan hal yang sama.

Beberapa tahun belakangan, ByteDance memang telah mengeluarkan game-game kasual yang dipopulerkan melalui TikTok. Biasanya, pendapatan dari game kasual tersebut berasal dari iklan. Sekarang, ByteDance ingin menyelam lebih dalam ke pasar mobile game. Mereka tak lagi menargetkan gamer kasual, tapi hardcore gamer yang rela menghabiskan uang demi mendapatkan senjata, karakter, atau item kosmetik dalam game.

Selama ini, Tencent mendominasi pasar mobile gaming di Tiongkok. Namun, ByteDance berpotensi menggoyahkan status quo tersebut. Selain TikTok — yang di Tiongkok memiliki nama Douyin — ByteDance juga memiliki aplikasi agregator berita, Toutiao. Aplikasi tersebut merupakan salah satu channel utama yang digunakan oleh game publisher Tiongkok untuk mendapatkan pemain baru. Sebanyak 63 persen game publisher memasang iklan di aplikasi aggregator berita tersebut, menurut perusahaan riset asal Guangzhou, App Growing.

Pertumbuhan durasi waktu penggunaan TikTok. | Sumber: App Annie via Bloomberg
Pertumbuhan durasi waktu penggunaan TikTok. | Sumber: App Annie via Bloomberg

Popularitas TikTok juga terus naik. Pada 2019, total durasi waktu yang dihabiskan di TikTok naik tiga kali lipat menjadi 8,8 miliar jam. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendorong pertumbuhan durasi menonton di TikTok. Pertumbuhan durasi penggunaan TikTok di Indonesia mencapai lebih dari 500 persen. Selain itu, selama ini, ByteDance sukses untuk bertahan, mandiri dari pengaruh dua konglomerasi Tiongkok, Tencent dan Alibaba Group.

“ByteDance telah mendominasi pasar aplikasi video pendek dengan total pengguna lebih dari satu miliar orang. Sekarang, ByteDance berencana membuat studio game dengan mengakusisi talenta dan developer game berpengalaman,” kata Daniel Ahmad, analis dari perusahaan riset gaming yang fokus di Asia, Niko Partners, menurut laporan Bloomberg. “ByteDance memiliki audiens yang banyak di dunia dan mereka juga telah berinvestasi di industri gaming, dua hal ini memungkinkan ByteDance untuk mendisrupsi pasar gaming pada tahun ini.”

ByteDance memang tidak memiliki pengalaman dalam industri game. Karena itu, mereka membajak staf veteran dari pesaing mereka, ungkap narasumber Bloomberg yang tak mau disebutkan namanya karena rencana ini bersifat rahasia. Salah satu tim dari divisi gaming ByteDance dipimpin oleh Wang Kuiwu, yang pernah bekerja di Perfect World, developer game besar dan juga penyelenggara turnamen esports di Tiongkok. Sementara divisi gaming ini akan dibawahi oleh Chief Strategy and Investment ByteDance, Yan Shou. Divisi tersebut terpisah dari divisi yang membuat game kasual.

TikTok bisa jadi alat bagi ByteDance untuk mempromosikan game mereka. | Sumber: Hindustan Times
TikTok bisa jadi alat bagi ByteDance untuk mempromosikan game mereka. | Sumber: Hindustan Times

Selain menarik staf veteran dari para pesaingnya, ByteDance juga membuka lowongan pekerjaan untuk staf marketing dan publishing di luar Tiongkok. Dalam salah satu lowongan pekerjaan yang dibuat oleh ByteDance, mereka menyebutkan bahwa mereka mencari orang-orang yang dapat bekerja dengan influencer dan menggunakan platform internal untuk mempromosikan game. Mereka juga membuka belasan lowongan pekerjaan terkait game, mulai dari manajer produk sampai desainer karakter 3D dengan lokasi di Beijing, Shanghai, dan Shenzhen.

Tak berhenti sampai di situ, ByteDance juga mengakuisisi game studio secara langsung. Dalam satu tahun belakangan, dua studio yang telah mereka beli adalah Mokun Digital Technology dan Levelup.ai. Mereka juga berhasil menarik tim utama dari Pangu Game, yang ada di bawah NetEase, perusahaan gaming terbesar kedua di Tiongkok. Mereka melakukan itu setelah NetEase membatalkan proyek-proyek yang tengah dikembangkan Pangu Game.

Rencananya, dua game pertama dari ByteDance akan dirilis pada musim semi ini. Mereka tidak hanya menargetkan para pemain di Tiongkok, tapi juga di seluruh dunia. Game pertama ByteDance akan menjadi game multiplayer dengan genre fantasi khas Tiongkok. Memang, Pangu memiliki pengalaman dalam membuat game seperti itu. Pada 2017, Pangu merilis game RPG untuk PC bernama Revelation Online. Dalam game itu, pemain bermain harus mengalahkan berbagai hewan mitologi Tiongkok.

Revelation Online dari Pangu Games. | Sumber: Duniaku
Revelation Online dari Pangu Games. | Sumber: Duniaku

 

Gaming adalah industri strategis bagi perusahaan teknologi di Tiongkok karena game bisa memberikan pendapatan besar berkat pemain yang banyak,” kata Ahmad. “Namun, walau ByteDance mungkin dapat membuat game-game populer untuk pasar Tiongkok, kami percaya, mereka akan tetap kesulitan untuk menantang Tencent.”

Tencent tidak hanya memiliki tiga game mobile populer, mereka juga memiliki lebih dari satu miliar pengguna pada aplikasi WeChat mereka. Dalam aplikasi itu, mereka juga menyediakan alat pembayaran. Tak hanya itu, Tencent juga memiliki hubungan dekat dengan regulator di Tiongkok, yang pada 2018 mulai membatasi jumlah dan jenis game yang dirilis di negara tersebut dalam rangka untuk mengatasi kecanduan game.

Hanya saja, melalui TikTok/Douyin, ByteDance telah memenangkan hati para remaja. Mereka bisa menggunakan platform video pendek mereka untuk mendorong penggunanya memainkan game buatan mereka. Strategi ini serupa dengan yang Tencent lakukan belasan tahun lalu. Ketika itu, Tencent memanfaatkan luasnya jangkauan platform media sosial mereka untuk masuk ke pasar gaming. Namun, ByteDance masih harus membuktikan bahwa mereka bisa mengeksekusi strategi ini dengan sukses.

Sumber header: ByteDance via TechInAsia

Tahun Ini, Budget Iklan Industri Game Turun

Sama seperti perusahaan di industri lain, pelaku industri game juga memiliki budget tersendiri untuk iklan. Menurut data iSpot.tv, industri game diperkirakan menghabiskan US$319,6 juta untuk menayangkan iklan televisi sepanjang tahun 2019. Jika dibandingkan dengan budget tahun lalu, budget iklan industri game tahun ini mengalami penurunan sebesar 14,68 persen. Karena itu, waktu siaran iklan dan impresi iklan juga mengalami penurunan. Tiga entitas yang memiliki budget iklan terbesar adalah PlayStation, Xbox, dan Nintendo.

Dana yang PlayStation siapkan untuk iklan di televisi tahun ini turun hingga 45 persen, menjadi US$108,5 juta. Meskipun begitu, mereka tetap menjadi perusahaan game dengan budget iklan terbesar. Sementara itu, dana iklan yang Xbox keluarkan tahun ini justru meroket naik. Sepanjang 2019, mereka diperkirakan mengeluarkan US$100 juta untuk iklan, naik 232 persen dari tahun lalu. Sementara dari segi impresi iklan, Xbox mendapatkan impresi iklan terbanyak dengan 4,8 miliar impresi, naik 186 persen dari tahun lalu, lapor VentureBeat.

Nintendo menjadi perusahaan game dengan budget iklan televisi terbesar ketiga dengan dana sebesar US$46 juta. Menariknya, meskipun dana iklan perusahaan Jepang ini tidak mencapai setengah budget PlayStation dan Xbox, impresi iklan mereka mencapai 3,07 miliar. Ini menunjukkan bahwa budget dan impresi tak selalu berbanding lurus. Tampaknya, salah satu alasan Nintendo bisa menekan biaya iklan mereka adalah karena siaran yang mereka pilih untuk menayangkan iklan tak menghabiskan dana besar.

Program televisi favorit dari pelaku industri game. | Sumber: VentureBeat
Program televisi favorit dari pelaku industri game. | Sumber: VentureBeat

Umumnya, pelaku industri game memasang iklan pada siaran olahraga, seperti turnamen NFL (National Football League), NBA, dan pertandingan american football tingkat universitas. Siaran american football NFL menjadi program favorit bagi pelaku industri game untuk beriklan. Diperkirakan, dana iklan perusahaan game yang masuk ke NFL mencapai US$61,2 juta, naik 14 persen dari tahun lalu. Uniknya, Spongebob Squarepants menjadi salah satu program favorit untuk pelaku indusri game untuk beriklan. Nintendo menjadi pihak yang menghabiskan dana paling besar untuk memasang iklan di siaran kartun anak-anak itu dengan dana sebesar US$7,08 juta.

Dari semua iklan game tahun ini, iklan untuk Gears 5, yang diiringi oleh lagu Evanescence, merupakan iklan game yang paling sering ditonton. Faktanya, iklan dari Xbox tersebut menjadi satu-satunya iklan game yang ditonton lebih dari satu miliar orang. Memang, iklan ini juga memiliki budget terbesar. Diperkirakan, Xbox menghabiskan US$22,7 juta untuk 2.948 penayangan. Iklan Gears 5 itu paling sering ditayangkan dalam siaran SportsCenter dan MLB Tonight. Namun, program yang menyumbangkan impresi paling banyak justru NFL dengan 362 juta impresi dan pertandingan liga american football tingkat universitas dengan 100 juta impresi.

Sumber header: TechRadar

Ada 300 Juta Gamer Perempuan di Tiongkok

Sebagai negara dengan populasi terbanyak, Tiongkok selalu menjadi pasar yang diperhatikan banyak industri, termasuk gaming dan esports. Tahun ini, Tiongkok memiliki 640 juta gamer, menurut laporan China Gaming Industry Report 2019 yang dirilis oleh China Audio-video and Digital Publishing Association. Sebesar 46,2 persen dari total pemain game merupakan perempuan. Itu berarti, jumlah gamer perempuan di Tiongkok mencapai 300 juta orang, naik 3,5 persen dari tahun lalu, menurut laporan Xinhua.

Dari segi pendapatan, industri gaming di Tiongkok mencapai 231 miliar yuan (sekitar Rp461 triliun). Dari total pendapatan industri, gamer perempuan memberikan kontribusi sebesar 52,7 miliar yuan (sekitar Rp105 triliun) atau 22,8 persen dari total nilai industri. Menariknya, saat ini, kebanyakan game yang tersedia untuk perempuan adalah game kasual yang tidak menghabiskan banyak uang. Dalam laporan industri game Tiongkok, disebutkan bahwa para developer game sebaiknya mulai memerhatikan gamer perempuan. Selama ini game memang selalu diidentikkan dengan pria. Namun, sekarang, semakin banyak gamer perempuan yang bermunculan. Dan ini tidak hanya terjadi di Tiongkok.

Sumber: Google Play
Sumber: Google Play

Menurut survei Google Play bersama dengan Newzoo, 49 persen mobile gamer adalah perempuan. Padahal, saat ini, tidak banyak game yang dibuat khusus untuk para gamer perempuan. Mobile gamer perempuan ini juga cukup aktif dalam bermain. Sebesar 43 persen dari mobile gamer perempuan mengaku bahwa mereka bermain game mobile setidaknya lima kali dalam seminggu. Touchten, salah satu developer asal Indonesia, melihat hal ini sebagai kesempatan. Pada Oktober 2019, mereka mendapatkan kucuran dana segar. Dengan dana investasi ini, mereka berencana untuk membuat game yang memang ditujukan untuk gamer perempuan.

Di Tiongkok, salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah esports, menurut Xinhua. Diperkirakan, total pendapatan dari game esports mencapai 94,7 miliar yuan (sekitar Rp189 triliun), naik 13,5 persen dari tahun lalu. Dengan regulasi yang tepat dari pemerintah, ekosistem esports akan bisa berkembang. Ini akan memudahkan para pelaku esports untuk mencari talenta baru. Tak hanya itu, jika esports berhasil berkembang sebagai industri, ini juga akan membuka lowongan pekerjaan baru.

Selain esports, hal lain yang mendorong pertumbuhan industri game di Tiongkok adalah popularitas game virtual reality dan augmented reality yang mulai naik. Pendapatan dari game VR di Tiongkok mencapai 2,67 miliar yuan (sekitar Rp5,3 triliun), naik 49,3 persen dari tahun lalu.

Sumber header: BBC/Danny Vincent

Genre Game Populer di Industri Game Dalam 10 Tahun Terakhir

Dalam 10 tahun belakangan, industri game berkembang pesat. Gamer tak lagi dikaitkan dengan pecundang anti-sosial yang tak punya teman. Faktanya, berkat popularitas esports, tak sedikit gamer yang justru diusung sebagai pahlawan. Tim esports tak melulu membawa nama tim, tapi juga membawa nama negara, seperti saat tim-tim esports mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2019. Dalam 10 tahun belakangan, tren di dunia game juga telah berubah. Muncul beberapa genre game populer di industri game.

Pada tahun 2000-an, MMORPG menjadi salah satu genre favorit. Blizzard meluncurkan World of Warcraft pada 2004. Selama enam tahun ke depan, game tersebut diklaim sebagai “MMO King”. Namun, melewati tahun 2010, Blizzard mulai kesulitan untuk memberikan update konten yang tetap menarik bagi para pemain WoW. Studio game lain menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuat game MMORPG untuk menggantikan WoW. Karena itulah, pada awal 2010-an, muncul berbagai game MMORPG. Sebagian bahkan diklaim sebagai “WoW killer”. Dan memang, beberapa game tersebut sukses, seperti Star Wars: The Old Republic yang bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun begitu, WoW tetap bertahan, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Masih di awal 2010-an, sementara banyak studio game sibuk untuk membuat MMORPG, Defense of the Ancients — yang pada awalnya merupakan mod dari Warcraft 3 — mulai mendapatkan jumlah pemain yang cukup banyak. Sayangnya, DotA masih terikat dengan Blizzard karena menggunakan properti mereka. Para developer lalu tergerak untuk membuat game MOBA dengan desain serupa DotA. Hanya saja, kali ini, game itu tidak lagi menggunakan IP milik Blizzard. Lahirlah League of Legends pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Namun, Heroes of Newerth akhirnya kalah populer oleh Dota 2 yang dirilis oleh Valve pada 2013. Sampai sekarang, baik Dota 2 maupun League of Legends masih memiliki jumlah pengguna bulanan aktif yang cukup banyak.

Dota 2. | Sumber: Steam
Dota 2. | Sumber: Steam

Sejak saat itu, popularitas MOBA mulai menyaingi MMORPG. Sama seperti di era keemasan WoW, banyak developer yang juga membuat game MOBA, seperti Vainglory dan Heroes of the Storm. Meskipun begitu, League of Legends dan Dota 2 tetap merajai genre MOBA. Sekarang, keduanya juga menjadi game esports paling populer. Salah satu alasannya karena kedua game ini memang menuntut para pemainnya untuk berpikir strategis dan bekerja sama dengan anggota tim masing-masing. Pada saat yang sama, gameplay yang kompleks menjadi pisau bermata dua bagi dua game MOBA tersebut, karena ini membuat jumlah pemain mereka stagnan dan tidak kunjung bertambah. Jangan menjadi profesional, jika seorang pemain ingin bisa dianggap “jago” dalam bermain Dota 2 atau League of Legends, mereka harus bisa memperhatikan banyak detail sekaligus, mulai dari skill masing-masing karakter, sinergi antara satu karakter dengan karakter lain, penempatan wards, dan lain sebagainya. Seolah itu tidak cukup buruk, tak semua pemain Dota 2 atau League of Legends mau membantu para pemain baru. Tak sedikit pemain yang sedang belajar yang mendapatkan kecaman.

Meskipun begitu, game MOBA tetap hidup sepanjang 10 tahun belakangan. Bahkan ketika game mobile menjadi semakin populer, juga muncul berbagai game MOBA untuk pemain mobile. Sebut saja Mobile Legends yang menjadi salah satu game esports terpopuler di Tanah Air.

Munculnya beberapa genre baru

Sama seperti World of Warcraft yang tampaknya tak lagi bisa digoyahkan. Dota 2 dan League of Legends tampaknya akan tetap bertahan sebagai game MOBA populer. Namun, itu bukan berarti industri game stagnan begitu saja. Setelah MOBA, kini muncul genre battle royale. Genre ini dipopulerkan oleh PlayerUnknown’s Battleground. Melihat popularitas battle royale, developer lain dengan cepat membuat game bergenre serupa, seperti Fortnite dari Epic Games atau Apex Legends dari Electronic Arts.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa franchise game pun juga mendapatkan mode battle royale, seperti Fallout 76 dan Call of Duty: Black Ops 4. Bahkan Tetris sekalipun mendapatkan mode battle royale dengan kemunculan Tetris 99. Game racing seperti Forza Horizon 4 pun akan mendapatkan mode battle royale — yang saat ini disebut “The Eleminator” oleh Playground Games. Selama sebuah game memungkinkan puluhan pemain untuk bertemu dan bersaing dengan satu sama lain, maka game itu dapat dibuat menjadi battle royale. Tentu saja, tak semua game battle royale atau mode battle royale dalam sebuah game disambut dengan baik.

Tetris 99. | Sumber: Engadget
Tetris 99. | Sumber: Engadget

Battle royale bukan satu-satunya genre yang menjadi populer dalam satu dekade ini. Genre lain yang mulai diminati para developer adalah auto battlers. Dalam game auto battlers, pemain hanya akan diminta untuk memilih sejumlah karakter yang lalu akan melakukan battle secara otomatis. Pada akhir pertandingan, pemain yang masih memiliki karakter — atau memiliki karakter paling banyak — keluar sebagai pemenang. Saat ini, ada beberapa game auto battlers didasarkan pada IP dari game yang sudah ada, seperti Dota Underlords dari Dota 2 dan Teamfight Tactics buatan Riot Games.

Selain itu, loot shooter menjadi salah satu genre yang menjadi populer dalam 10 tahun belakangan. Genre ini muncul ketika Borderlands dirilis pada 2009. Ketika itu, Borderlands menawarkan jutaan senjata bagi para pemainnya. Borderlands terbukti sukses. Buktinya, belum lama ini, Borderlands 3 baru saja dirilis.

Namun, melakukan hal yang sama berulang kali bisa membosankan, tak peduli sebanyak apa item yang ditawarkan oleh developer. Salah satu kunci kesuksesan dari game loot shooter adalah membuat gameplay yang menarik, membuat pemain tak keberatan untuk melakukan hal yang sama — menembakkan senjata dan menjelajahi peta — berulang kali. Saat ini, game-game loot shooter menawarkan tema yang bervariasi, mulai dari tema high-fantasy sci-fi dalam Destiny 2 sampai dunia post-apocalyptic yang diusung dalam Tom Clancy’s The Division 2. Satu masalah dalam game loot shooter adalah pemain dituntut untuk bermain dalam waktu lama — sampai puluhan jam — untuk mendapatkan senjata atau perangkat terbaik. Ini bisa menyebabkan pemain merasa jenuh.

Tak semua genre yang muncul dan menjadi populer dalam 10 tahun belakangan adalah genre serius. Ialah clicker game, yang mulai populer ketika developer Orteil meluncurkan prototipe Cookie Clicker — kini menjadi salah satu game paling populer di Steam. Seperti namanya, dalam clicker game, Anda cukup mengklik satu tombol atau sejumlah tombol untuk mendapatkan reward. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk setiap klik yang Anda lakukan, reward yang Anda dapatkan dalam game bertambah. Reward ini bisa muncul dalam bentuk beragam, poin atau uang atau sesuatu yang lain. Reward yang telah Anda kumpulkan akan bisa Anda gunakan untuk melakukan upgrade. Sampai akhirnya, Anda tak lagi perlu melakukan klik terlalu sering.

Game clicker tersedia di PC dan mobile. Salah satu contoh clicker game buatan Indonesia adalah Tahu Bulat buatan Own Games. Dalam game ini, semakin sering Anda mengklik, semakin banyak pengunjung yang datang, yang berarti semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Setelah uang terkumpul, Anda bisa memperbaiki peralatan Anda — mulai dari speaker sampai mencari bumbu tahu bulat baru — sehingga Anda bisa mendapatkan uang lebih banyak per detiknya. Biasanya, clicker game cukup populer di kalangan mobile gamer, karena Anda bisa memulai dan berhenti bermain kapan saja.

Tahu Bulat. Sumber: DailySocial
Tahu Bulat. Sumber: DailySocial

Game gratis yang menghasilkan

Selain soal genre, dalam 10 tahun belakangan, satu tren lain yang mulai terlihat adalah perubahan model bisnis dari developer. Dulu, Anda harus membeli sebuah game sebelum dapat memainkannya. Sekarang, Anda bisa memainkan game dengan gratis. Namun, skin atau item kosmetik lainnya harus Anda beli. Selain itu, juga muncul game dengan model Pay-to-Win. Jadi, selama Anda bermain gratis, Anda tidak akan bisa mengalahkan pemain yang mengeluarkan uang ekstra.

League of Legends adalah salah satu contoh game gratis yang hanya menjual skin. Model bisnis ini terbukti menguntungkan. Pada 2018, Riot Games mendapatkan US$1,4 miliar dari League of Legends. Fortnite juga bisa dimainkan secara gratis. Epic hanya menjual battle pass dan skin. Dari sini, mereka berhasil mendapatkan US$2,4 miliar.

Selain model freemium, sistem lain yang kini mulai diadopsi oleh para developer game adalah early access. Menurut Polygon, orang pertama yang menggunakan sistem ini adalah Markus “Notch” Persson untuk membuat Minecraft. Satu keuntungan yang ditawarkan game early access adalah developer dapat mengumpulkan uang sambil berusaha menyelesaikan proses pengembangan game. Bagi sebagian developer, termasuk Persson, ini memungkinkan mereka untuk fokus sepenuhnya mengembangkan game, tanpa harus mengambil pekerjaan lain untuk menyokong hidup mereka.

Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget
Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget

Sistem early access juga bisa membantu developer untuk mengembangkan game sesuai ekspektasi gamer. Ketika game yang diluncurkan di bawah label early access memiliki masalah — ada bug, konten yang kurang menarik, dan lain sebagainya — developer memiliki kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Dan ada beberapa game AAA yang menjadi lebih baik setelah mendapatkan masukan dari para gamer, seperti Rainbow Six: Siege. Keuntungan lain yang didapatkan oleh developer dengan model early access adalah mereka dapat tetap memberikan update secara berkala, sehingga perhatian para pemain tetap tertuju pada game buatan mereka.

Hanya saja, terkadang, game yang telah diluncurkan dengan label early access tak pernah dirilis secara sempurna, yang akan membuat sebagian orang bingung dengan arti dari “early access”. Game seperti PlayerUnknown’s Battleground dan Minecraft resmi diluncurkan satu tahun setelah versi early access muncul. Sayangnya, tidak semua game seperti itu. DayZ, misalnya, resmi diluncurkan pada Desember 2018 setelah versi early access bisa dimainkan sejak Desember 2013. Contoh lainnya adalah Star Citizen.

Star Citizen bermula sebagai proyek Kickstarter. Developer game ini lalu mulai membuka donasi di situsnya sendiri. Game itu didesain sebagai game bertema luar angkasa yang memungkinkan para pemainnya untuk saling bertempur dan berdagang. Namun, konsep gameplay dari Star Citizen begitu kompleks sehingga proses pengembangannya pun memakan waktu yang sangat lama. Karena itu, sang developer merilis game ini meski belum selesai, agar para pemain bisa mencobanya. Versi pertama memungkinkan pemain untuk memodifikasi pesawat luar angkasa dan memarkir pesawat itu di dalam hangar. Setelah itu, sang developer terus menambahkan fitur untuk game tersebut. Star Citizen juga memiliki elemen first person shooter dan penjelajahan luar angkasa. Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada benang merah yang membuat semua elemen dalam game menyatu dan menjadikannya sebagai game menjadi koheren. Hingga sekarang, masih belum diketahui kapan game ini akan diluncurkan.

Star Citizen. | Sumber: PC Gamer
Star Citizen. | Sumber: PC Gamer

Kesimpulan

Satu hal yang pasti, selama satu dekade belakangan, tidak ada satu game atau developer pun yang berhasil memberikan game yang jauh lebih populer dari game-game lain. Walau PUBG menjadi game battle royale pertama, banyak pemain yang tertarik game battle royale lain ketika game itu dirilis. Uniknya, masing-masing game dan genre memiliki pemain setia tersendiri. Misalnya, meskipun Fortnite, Apex Legends, dan PUBG sama-sama merupakan game battle royale, mereka memiliki gamer setia yang berbeda-beda. Pemain Fortnite menyukai game itu karena Epic lebih menitikberatkan pada interaksi sosial. Sementara gamer Apex Legends lebih suka dengan pacing dari game tersebut. Dan PUBG disukai karena memaksa para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Karena semua developer bisa membuat game online dengan life cycle yang lama. Di sisi lain, semakin banyak game yang muncul, semakin ketat pula persaingan untuk mendapatkan pemain setia. Semua orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Dan tidak semua waktu tersebut bisa mereka gunakan untuk bermain. Jadi, sebuah game harus bisa memenangkan hati para pemainnya agar mereka rela menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game.

3 Hal Menarik dari Industri Game dan Esports untuk Investor

Game kini tak hanya dimainkan oleh segelintir orang. Seiring dengan semakin banyaknya orang yang bermain game, semakin besar pula industri game. Sayangnya, industri game terkadang di pandang sebelah mata, terutama oleh para investor dan venture capital. Hal inilah yang menyebabkan para developer game kesulitan mencari dana untuk mengembangkan perusahaannya. Sulitnya perusahaan game untuk mendapatkan akses ke pendanaan seri A dan B mendorong Ian Livingstone dan Luke Alvarez untuk membuat Hiro Capital, venture capital yang mengkhususkan diri untuk menyediakan dana bagi perusahaan game yang hendak mengembangkan diri.

Saat ini, industri game memang sudah cukup besar. Namun, industri itu terus berkembang. Inilah tiga tren di industri game dan esports saat ini, menurut EFT Trends.

1. Industri game lebih besar dari industri keamanan siber dan robotik

Pada Juni lalu, Newzoo membuat laporan yang menyebutkan, industri game pada tahun ini akan memiliki pendapatan lebih dari US$152,1 miliar. Sebagai perbandingan, industri robotik memiliki nilai US$89 miliar dan industri keamanan siber US$99 miliar, menurut laporan Bloomberg. Ini menunjukkan bahwa nilai industri game lebih besar dari kedua industri yang juga tengah berkembang tersebut. Total pendapatan industri game tak hanya besar, ia juga menunjukkan pertumbuhan yang stabil dari tahun ke tahun. Sejak 2015, pertumbuhan nilai industri game mencapai 13 persen setiap tahunnya. Diperkirakan, pada 2022, industri game akan memiliki nilai US$196 miliar.

2. Sumber pendapatan publisher game beragam

Dulu, pemasukan publisher utamanya berasal dari menjual game. Namun, sekarang, publisher game menggunakan bisnis model yang berbeda. Sekarang, cukup banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Pihak publisher bisa mendapatkan uang dengan menjual item dalam game, baik item yang hanya bersifat sebagai kosmetik atau item yang memang berpengaruh pada gameplay. Ada juga game yang menggunakan sistem loot box. Jadi, pemain bisa membeli loot box dan mendapatkan item secara random. Memang, model bisnis baru ini bisa menguntungkan publisher. Fortnite dari Epic Games, yang bisa dimainkan gratis, dikabarkan mendapatkan US$1,2 miliar hanya dalam waktu 10 bulan sejak ia dirilis. Namun, jika tak berhati-hati, model ini justru dapat merugikan konsumen.

Sumber pendapatan industri game | Sumber: EFT Trends
Sumber pendapatan industri game | Sumber: EFT Trends

Banyak gamer yang membenci sistem loot box karena sistem ini tak jauh berbeda dengan berjudi. Sebagai gamer, Anda tak bisa memilih item yang hendak Anda beli. Sebagai gantinya, Anda harus membeli loot box, yang belum tentu memberikan item yang Anda mau. Jika Anda ingin mendapatkan item tertentu, Anda mungkin harus menghabiskan uang banyak hingga akhirnya Anda mendapatkan loot box yang memberikan item tersebut.

Seiring dengan perkembangan teknologi, teknologi yang digunakan dalam game juga akan berkembang, seperti cloud gaming. Perusahaan raksasa seperti Google dan Microsoft pun menunjukkan ketertarikan dalam mengembangkan cloud gaming, yang dianggap sebagai masa depan industri gaming. Di Indonesia, Skyegrid menjadi penyedia cloud gaming lokal. Pada dasarnya, cloud gaming memungkinkan Anda untuk memainkan game apapun, tak peduli “seberat” apa spesifikasinya, di perangkat apapun — mulai dari PC, laptop, tablet, sampai smartphone — asalkan Anda memiliki jaringan internet yang memadai. Inilah yang mendorong Skyegrid untuk bekerja sama dengan MyRepublic di Indonesia.

3. Esports dan streaming akan dukung industri game

Jumlah penonton esports terus bertambah. Menurut laporan yang Newzoo rilis pada Februari tahun ini, penonton esports akan mencapai 454 juta orang dengan 201 juta orang masuk dalam kategori enthusiast dan 253 juta sisanya sebagai penonton kasual.

Sumber: Statista
Sumber: Statista

Tak hanya itu, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports, baik dengan kerja sama dengan liga atau tim esports ataupun dengan menjadi sponsor dari turnamen atau organisasi esports. Dengan semakin banyak merek besar masuk ke ranah esports, para pelaku esports juga semakin serius dalam memastikan data yang mereka berikan valid. Sejumlah perusahaan seperti Riot Games dan Activision Blizzard telah bekerja sama dengan Nielsen untuk memastikan bahwa data yang mereka berikan pada sponsor dan rekan mereka valid dan bisa dibandingkan dengan data penonton televisi.

Selain esports, industri game juga didukung dengan keberadaan streamer, yang bisa menarik fans hingga jutaan orang. Meskipun para streamer seperti Tyler “Ninja” Blevins bukanlah seorang pemain esports profesional, tapi dia tetap bisa menciptakan fanbase yang besar dan mendapatkan pemasukan yang juga tidak sedikit. Menurut laporan Business Insider, Ninja mendapatkan US$500 ribu setiap bulannya.

Semua ini menunjukkan bahwa industri game dan esports tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Ke depan, industri game dan esports juga diperkirakan masih akan tumbuh, terutama karena generasi milenial dan gen Z memang tertarik dengan dunia game dan esports.

Menakar Sentimen Positif dan Negatif dari Google Stadia

Google kembali menjadi pusat perhatian industri game dunia saat mereka mengumumkan Stadia di GDC 2019. Google Stadia adalah layanan game streaming yang mungkin punya tujuan mulia: memberikan akses gaming ke lebih banyak orang, kapan pun dan di mana pun mereka berada.

Sayangnya, ada sejumlah kontroversi tentang Stadia ini yang sudah diutarakan berbagai pemerhati dan pelaku industri game. Kali ini, saya ingin mencoba menjabarkan sejumlah kelebihan dan kekurangan dari Stadia menurut pandangan saya pribadi.

Keunggulan Google Stadia

Satu hal yang jadi ‘jualan’ Google tentang Stadia adalah mengijinkan lebih banyak orang untuk merasakan game berkualitas (AAA) di berbagai perangkat, mulai dari desktop, laptop, tablet, ponsel, ataupun TV (pakai Chromecast dongle).

Selain itu, berhubung game-game yang dijalankan akan menggunakan resource hardware dari data center Google, para penggunanya sudah tak perlu lagi merogoh kocek untuk membeli console ataupun mengalokasikan anggaran beberapa tahun sekali untuk mengupgrade hardware PC nya masing-masing.

Dari dua fitur tadi, sebenarnya ada solusi dari sejumlah masalah yang ditawarkan oleh Stadia.

1. Memungkinkan peningkatan kualitas game pada umumnya 

Pertama, Stadia memungkinkan para gamer mobile untuk merasakan game-game yang benar-benar dibuat untuk memuaskan para pemainnya; tidak seperti kebanyakan game-game mobile saat ini yang dibuat untuk menyedot uang dan perhatian para penggunanya sebanyak mungkin.

Saat dirilis, sudah ada sejumlah game AAA yang akan tersedia untuk Google Stadia. Berikut adalah daftar yang kami temukan dari video Stadia Connect tanggal 6 Juni 2019.

  • Assassin’s Creed: Odyssey
  • Baldur’s Gate 3
  • Borderlands 3
  • The Crew 2
  • Darksiders Genesis
  • Destiny 2
  • The Division 2
  • DOOM Eternal
  • Dragon Ball Xenoverse 2
  • The Elder Scrolls Online
  • Farming Simulator 19
  • Final Fantasy 15
  • Football Manager 2020
  • Get Packed
  • Ghost Recon Breakpoint
  • Grid
  • Gylt (Google Stadia exclusive)
  • Just Dance 2020
  • Metro Exodus
  • Mortal Kombat 11
  • NBA 2K
  • Power Rangers: Battle for the Grid
  • Rage 2
  • Samurai Showdown
  • Thumper
  • Tomb Raider Trilogy
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Dari daftar di atas, ada banyak gamegame berkualitas yang memang kastanya di atas game-game mobile saat ini, seperti Baldur’s Gate 3, Rage 2, Borderlands 3, Destiny 2, Division 2, dan masih banyak lagi (setidaknya menurut saya pribadi).

Kenapa akses lebih luas ke game-game berkualitas ini penting? Karena standar ekspektasi kebanyakan pengguna bisa meningkat, yang akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas buat para developer dan publisher (khususnya untuk platform mobile).

Tanpa Stadia, para gamer mobile mungkin masih harus menunggu lama sebelum mereka benar-benar bisa merasakan bagaimana sebuah game seharusnya diciptakan.

2. Menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming

Selain itu, buat gamer console ataupun PC, mereka bisa menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming mereka. Gamer console tak perlu lagi mengganti mesin gaming mereka setiap kali generasi baru keluar. Gamer PC pun tak perlu lagi mengganti jeroan setiap beberapa tahun sekali untuk memastikan game-nya tetap mampu berjalan minimal 60 fps.

Sayangnya, penghematan ini akan sangat relatif daya tariknya untuk masing-masing pengguna. Kenapa? Karena, meski kebutuhan atas komponen ataupun mesin gaming menurun, kebutuhan untuk koneksi internet yang sungguh dapat diandalkan (bukan yang hanya sekadar slogan) jadi meningkat drastis. Padahal ketersediaan produk komponen ataupun mesin gaming (console) di Indonesia jauh lebih baik ketimbang jaringan internet yang berkualitas.

Nanti kita akan bahas lebih detail lagi soal koneksi internet di bagian kelemahan dari Google Stadia.

Selain soal 2 hal tadi, berhubung kita tak lagi dapat mengakses file game nya, ada 2 keunggulan lagi yang bisa ditawarkan oleh Stadia. Absennya akses pengguna ke file game nya mungkin memang kedengarannya lebih menguntungkan untuk para publisher ataupun developer karena bisa menurunkan angka pembajakan dan meminimalisir penggunaan cheat.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Menekan angka pembajakan game

Mari kita bahas soal pembajakan lebih dahulu. Hal ini mungkin sekilas hanya menguntungkan para publisher ataupun developer. Namun jika para pembuat game berkualitas mampu meraup keuntungan yang lebih besar lagi, gamers juga yang pada akhirnya berbahagia karena mungkin kisah tragis developer legendaris (seperti BioWare) yang menjual dirinya tak akan lagi terulang untuk yang lainnya.

Plus, para publisher game pun mungkin tak perlu lagi memaksakan untuk menekankan sistem bisnis Game as a Service (GaaS) ke produk-produk mereka. Kenapa sistem bisnis GaaS itu tidak baik untuk konsumen (setidaknya menurut saya pribadi)? Silakan googling sendiri ya sistem bisnis tersebut karena akan terlalu panjang dijelaskan di sini.

4. Memberantas cheat?

Nah, keunggulan ini mungkin akan sangat relatif juga tergantung siapa gamer-nya. Buat saya pribadi, selama itu game singleplayer, Anda bebas menentukan bagaimana cara Anda memainkannya. Namun jika Anda bermain game multiplayer, Anda wajib bermain mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.

Kenapa Stadia bisa mengurangi cheat? Karena akses ke game file yang akan jauh lebih terbatas itu tadi. Penjelasan sederhananya, cheating adalah manipulasi sistem permainan demi kemenangan yang biasanya dilakukan dengan memodifikasi file-file yang digunakan (seringnya seperti .exe dan .dll, atau .apk kalau di platform Android) ataupun proses yang sedang berjalan. Sedangkan dengan Stadia, filefile tersebut harusnya tersimpan di data center milik Google; demikian juga dengan proses yang berjalan.

Menurunkan angka cheater mungkin memang tak akan jadi kelebihan yang berarti bagi gamer singleplayer. Namun, buat gamer multiplayer, bermain game yang tidak ada cheat-nya adalah sebuah utopia.

5. Sentimen positif terakhir dari Stadia adalah karena ia produk Google.

Satu aspek penting dari teknologi game streaming adalah lokasi server dan data center tempat memproses game yang dijalankan. Semakin jauh lokasi server dengan pengguna, semakin besar pula latency-nya. Padahal, latency tinggi adalah musuh utama para gamer untuk bermain online.

Jadi, memang hanya raksasa-raksasa teknologi dunia sekelas Google yang punya kapasitas menaruh server-server di berbagai belahan dunia. Meski begitu, Google sendiri juga punya serentetan produk gagal yang sudah tak lagi beroperasi, seperti Google Plus.

Itu tadi adalah salah satu kekurangan yang patut dicatat juga dari Stadia, yang akan kita bahas lebih lengkap di bagian selanjutnya.

Kelemahan Google Stadia

Meski Stadia punya peluang untuk meningkatkan kualitas game secara keseluruhan yang punya nilai positif penting; ada satu rintangan besar yang harus diselesaikan sebelum Stadia bisa meraih kesuksesan di Indonesia atau negara-negara lainnya.

Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google
Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google

1. Kebutuhan kualitas jaringan internet yang tak mudah dipenuhi

Tantangan besar pertama yang harus coba dijawab adalah soal latency dan bandwidth. Menurut Google, Stadia butuh koneksi sebesar 10Mbps untuk streaming game di resolusi 720p dan 20Mbps untuk 1080p. Padahal di Indonesia, kecepatan rata-rata internet kita ada di 10.4Mbps untuk mobile dan 17Mbps untuk broadband (menurut data dari Speedtest.net saat artikel ini ditulis).

Itu tadi masih soal bandwidth belum soal latencyLatency akan menjadi tantangan yang lebih berat juga ketimbang bandwidth karena game-game bertempo cepat semacam FPS dan fighting butuh response time serendah mungkin, bahkan di bawah genre RPG ataupun MOBA.

Dari pengalaman yang dirasakan oleh PC Gamer saat mencoba Stadia di GDC 2019 di San Fransisco, Amerika Serikat, mereka tak mampu bermain DOOM di latency yang optimal sehingga kesulitan bermain dengan nyaman. Itu cerita dari mereka yang menggunakan koneksi internet di sana. Saya sungguh tak berani membayangkan seperti apa ceritanya jika menggunakan koneksi internet di Indonesia.

Menurut pengujian yang dilakukan oleh Digital Foundry (videonya bisa Anda lihat di atas), Stadia punya latency sebesar 166ms; bandingkan dengan bermain di PC sendiri yang hanya menyentuh angka 79ms. Hal ini berarti Stadia punya response time 2x lebih lambat dibanding bermain di PC sendiri. Jangan lupakan juga, Digital Foundry menggunakan koneksi internet di UK (setahu saya), yang kemungkinan besar lebih baik dari koneksi di Indonesia.

Selain soal bandwidth dan latency, persoalan juga datang dari kuota data yang dibutuhkan. Jika requirements yang ditunjukkan oleh Google memang benar adanya, 20Mbps untuk 1080p dan 10Mbps untuk 720p, Anda berarti butuh kuota 9GB per jam untuk streaming game di 1080p dan 4,5GB per jam untuk 720p.

Buat yang tinggal di Jakarta dan punya akses ke provider internet kabel sekelas CBN, Biznet, My Republic, ataupun First Media, Anda memang tak perlu khawatir soal kuota karena memang benar-benar unlimited. Namun jika Anda tinggal di luar Jakarta dan (atau) hanya punya akses ke ISP yang jangkauannya paling luas di Indonesia (yang tak perlu lagi saya sebutkan namanya), istilah unlimited-nya ada tanda bintangnya alias tidak sepenuhnya jujur karena ada aturan FUP (Fair Usage Policy).

Kebutuhan internet ini mungkin sekilas lebih sederhana dan bisa jadi lebih murah ketimbang membeli seperangkat console ataupun PC gaming. Namun faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia tak bisa memilih provider internet (khususnya kabel) yang mereka inginkan.

Padahal, varian kartu grafis yang tersedia di Indonesia itu sangat beragam. Anda juga bisa mendapatkan Nintendo Switch ataupun PlayStation 4 dengan mudah di Indonesia. Jadi, kebutuhan atas mesin gaming yang ideal itu lebih mudah didapatkan karena hanya soal seberapa besar anggaran yang Anda miliki. Sedangkan koneksi internet yang ideal? Bisa jadi, berapapun jumlahnya, kekayaan Anda tetap tak bisa membeli koneksi internet yang ideal jika Anda bersikeras tinggal di satu lokasi.

2. Penghematan anggaran yang masih sebatas teori?

Untuk bisa bermain game di Stadia, Anda tetap harus membeli game-nya dan juga membayar biaya berlangganan. Hal ini mungkin sama juga sistemnya dengan console generasi sekarang (PS4, Switch, Xbox One) jika ingin mendapatkan fitur online-nya. Namun setidaknya, di console, Anda tetap bisa memilih untuk tidak menggunakan fitur tersebut.

Di PC, Anda bahkan tak perlu membayar biaya langganan apapun untuk bermain online meski mungkin PC bisa jadi lebih boros juga pengeluarannya dibanding console jika ingin mendapatkan mesin gaming yang ideal.

Selain masih harus membeli game-nya, jangan lupa dengan kecepatan koneksi rata-rata Indonesia yang masih di bawah 20Mpbs. Hal ini berarti Anda hanya bisa mendapatkan kualitas 720p 60fps dengan Google Stadia. Padahal PC gaming generasi sekarang (2019) yang mampu memberikan kualitas gaming 720p 60fps itu sudah sangat terjangkau. Jadi, membeli PC gaming tadi justru jadi solusi yang lebih ideal untuk bermain game di 720p 60fps dibandingkan Stadia yang masih punya problematika soal latency.

Penghematan anggaran memang akan jauh lebih terasa jika Anda ingin mengejar kualitas 4K gaming namun, mengingat kondisi jaringan internet di Indonesia, hal ini berarti Anda harus pindah tempat tinggal yang memiliki akses internet 35Mbps ke atas dengan harga terjangkau dan tanpa kuota sama sekali.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Berkurangnya taman bermain untuk para game modder

Absennya akses pengguna ke file game mungkin memang bisa menekan angka pembajakan dan cheater, namun kekurangannya juga tak bisa dipandang sebelah mata; setidaknya bagi saya pribadi yang memang suka bermain-main dengan game modding.

Dari namanya, game modding adalah modifikasi file game untuk berbagai tujuan. Aspek krusial yang membedakan modding dengan cheating adalah tujuannya karena tujuan modding bisa sangat beragam; sedangkan tujuan cheating hanya satu. Modding ini bisa berarti mengganti texture, model 3D, scripting, ataupun animasi tertentu di sebuah game.

Modding mungkin dipandang tidak penting buat kebanyakan gamer namun, faktanya, modding adalah faktor terbesar yang memungkinkan game-game singleplayer masih terus eksis dan dimainkan selama bertahun-tahun. Salah satu contohnya adalah Skyrim.

Buat yang paham sejarah, modding sendiri juga berperan besar atas perkembangan industri game ataupun esports sampai hari ini. Kenapa? Karena tanpa yang namanya modding, tidak ada yang namanya Counter Strike dan DotA. Cari sendiri soal sejarah Counter Strike dan DotA ya, kalau belum tahu.

4. Sentimen negatif terakhir dari Stadia juga karena ia adalah produk Google

Di satu sisi, mungkin memang hanya segelintir raksasa teknologi sekelas Google yang punya kapasitas untuk membuat layanan game streaming berhasil. Namun di sisi lain, bagi saya, Google pun punya rekam jejak negatif untuk sejumlah produk mereka.

Seperti yang saya tuliskan tadi di atas, Google punya sejumlah produk yang sudah masuk kuburan (seperti Google Plus, Google URL Shortener, dan masih banyak lagi yang bisa Anda temukan daftarnya di tautan ini). Nah berhubung gamegame yang Anda mainkan di Stadia semuanya tersimpan di data center, bukan tidak mungkin juga Anda akan kehilangan semuanya andaikan satu saat layanan ini tidak laku dan masuk peti.

Di sisi lainnya, jika berbicara soal Google, ada satu produk mereka yang mungkin memang populer tapi sangat tidak saya sukai; yaitu Google Play. Kenapa? Karena Google Play lebih mengandalkan mesin untuk memberikan rekomendasi. Padahal, game adalah sebuah karya kreatif yang membutuhkan kemampuan kognitif manusia untuk menilainya.

Google Play lebih mengutamakan jumlah download dan penilaian berbasis kuantitatif sebagai landasan penilaian mereka. Bagi saya pribadi, Anda tidak bisa melakukan hal tersebut atas sebuah hasil kreatifitas. Karena, jumlah download itu mudah dikejar jika punya anggaran iklan yang besar; tanpa memedulikan kualitas.

Popularitas itu juga malah biasanya berbanding terbalik dengan kualitas. Tak sedikit game-game yang populer di Google Play justru rendah nilai originalitasnya; entah soal aset-aset kreatif ataupun gameplay yang terang-terangan meniru yang lain.

Sebenarnya memang ada gamegame di Google Play yang istimewa kualitasnya namun sistem yang digunakan sekarang justru membuat mereka tenggelam, terhimpit oleh yang picisan. Seberapa banyak dari Anda yang tahu Battleheart Legacy, Implosion, Evoland 2, The Room, DEEMO, ataupun game-game underrated yang lainnya?

Tenggelamnya banyak game berkualitas itu juga saya kira disebabkan karena standar penilaian yang mungkin terlalu rendah untuk bisa masuk ke Google Play, sehingga terlalu banyak dan justru menyulitkan pengguna. Menemukan gamegame berkualitas di Google Play bahkan, bagi saya, seperti ibarat menemukan harta karun di antara timbunan sampah… 

Menurut data Statista, ada 3,5 juta aplikasi di Google Play di Desember 2017. Di sisi lain, Google sendiri yang mengumumkan bahwa mereka menemukan 700 ribu aplikasi yang menyalahi aturan main Google Play di 2017 juga. Hitung-hitungannya berarti 1 dari 5 aplikasi yang ada saat itu bermasalah. Memang Google Play juga sudah mencoba memperbaiki semua masalah yang ada di sini, termasuk mencoba memberikan kurasi game dan aplikasi yang berbasis penilaian manusia.

Namun, untuk sebuah produk yang jadi sumber utama sistem operasi mendapatkan aplikasi dan ada di semua produk Android, saya kira usaha Google masih jauh dari maksimal… Itu tadi Google Play yang dipakai oleh semua pengguna Android. Pertanyaannya, bagaimana dengan Stadia yang mungkin akan jauh lebih sulit untuk meraih popularitas? Andaikan nanti Stadia juga akan memiliki marketplace, suram saja membayangkan jika semua permasalahan Google Play juga ada di sana.

Penutup

Akhirnya, mungkin memang Stadia belum akan tersedia untuk kawasan Asia (termasuk Indonesia) saat dirilis nanti. Kita juga belum tahu apakah memang Google punya rencana membawa Stadia ke Indonesia di masa depan. Meski begitu, saya kira artikel ini menjadi penting karena dua hal.

Saya rasa teknologi game streaming memang cukup masuk akal untuk berjalan bersama ataupun malah menggantikan ekosistem dan industri gaming yang ada sekarang (asalkan infrastruktur jaringan internetnya sudah mumpuni) dan Google sendiri pun punya kapasitas untuk mendisrupsi status quo. Ditambah lagi, saya juga jadi bisa menyematkan banyak kritik di artikel ini… Nyahahaha…

Epic Games Store Tantang Steam untuk Terapkan Sistem Bagi Hasil yang Sama

Di titik ini, saya yakin hampir semua gamer PC sudah mendengar soal Epic Games Store, alternatif baru Steam yang menawarkan sederet game blockbuster secara eksklusif, macam The Division 2, Metro Exodus, maupun Borderlands 3. Epic Games tentunya bukan pemain baru di industri gaming, tapi itu bukan alasan utama mengapa mereka mampu memperoleh hak distribusi eksklusif dari developer.

Alasan utamanya tidak lain dari sistem bagi hasil yang jauh dari kata pelit: 88% developer, 12% Epic Games Store. Steam yang tadinya begitu mendominasi, sekarang jadi kehilangan beberapa klien prioritasnya. Dari sini mungkin banyak yang melihat Epic Games sebagai pihak antagonis, akan tetapi Epic justru memanfaatkan momen ini untuk menantang balik Steam.

Lewat Twitter, Tim Sweeney selaku pendiri sekaligus CEO Epic Games, menjelaskan bahwa apabila Steam berkomitmen mengganti sistem bagi hasil mereka menjadi sama seperti Epic Games Store tanpa syarat-syarat yang memberatkan, maka Epic akan segera mengabaikan hak distribusi eksklusif yang mereka peroleh (dengan catatan pihak developer memberi lampu hijau), sehingga game yang tadinya eksklusif untuk Epic Games Store juga bisa didistribusikan lewat Steam.

Dari sini sebenarnya bisa kita lihat bahwa strategi agresif yang diterapkan Epic Games Store bukanlah murni untuk mengejar hak distribusi eksklusif saja. Mereka juga punya visi jangka panjang untuk membenahi apa yang mereka anggap salah dari industri ini, yaitu sistem bagi hasil yang terlalu memberatkan developer, terutama developer kecil/indie.

Steam, seperti yang kita tahu, menerapkan sistem bagi hasil 70%:30%. Belum lama ini, mereka sempat mengubah kebijakannya agar rasio tersebut bisa naik menjadi 75%:25% atau bahkan 80%:20%, akan tetapi itu baru berlaku apabila total penjualan suatu game berhasil mencapai $10 juta dan $50 juta.

Inilah yang dimaksud Tim Sweeney sebagai “syarat yang memberatkan”, sebab realistisnya sulit bagi developer kecil/indie untuk menembus angka penjualan $10 juta, bahkan untuk game andalannya sekalipun. Sayangnya sejauh ini belum ada respon sama sekali dari Valve selaku penggagas Steam.

Epic Games Store merebut klien prioritas Steam mungkin terkesan antagonistis, namun seandainya Steam menyetujui ide yang digagaskan Epic, maka yang diuntungkan adalah semua pihak; developer bebas memasarkan karyanya di banyak platform dan mengambil keuntungan yang maksimal, dan di saat yang sama konsumen pun juga tidak harus terbelenggu oleh satu platform tertentu.

Sumber: Variety.