Startup Investasi Budidaya Sebagai Usaha Pemberdayaan Petani dan Bisnis Pertanian

Pak Gondrong, seorang petani yang tinggal di kawasan Gadog, Jawa Barat, kepada DailySocial mengatakan selama ini banyak petani yang mengawali kegiatannya secara otodidak. Walhasil pengetahuannya soal bercocok tanam sangat terbatas. Suatu ketika ia dan kawan-kawan mengenal Crowde, sebuah platform investasi budidaya. Ia menyebutkan kini banyak mendapatkan pendampingan dari tim lapangan Crowde untuk memastikan hasil pertaniannya optimal.

“Alhamdullilah dari Crowde ada yang sering ke kebun, kebetulan dari IPB orangnya,” cerita Pak Gondrong.

[Baca juga: Platform Investasi Bidang Agrikultur Crowde Permudah Petani Dapatkan Modal]

Contoh di atas merupakan salah satu perwujudan kenapa startup di sektor pertanian dan peternakan, selanjutnya kita sebut agtech (agriculture technology), bisa memberikan dampak sosial ekonomi luar biasa bagi masyarakat.

Sebagai negara agraris, penerapan teknologi di sektor ini memang lumayan tertinggal dibanding sektor produktif lainnya di Indonesia. Dikutip dari Kompas, saat ini yang menjadi tiga permasalahan utama di sektor pertanian meliputi produksi, distribusi, dan keterjangkauan harga.

Rantai distribusi yang panjang dan dominasi pemain-pemain besar membuat perjalanan hasil pertanian terlalu panjang dan berpengaruh terhadap harga hasil pertanian di pasaran.

Menyelesaikan masalah di lapangan

Tanaman Cabai Pak Gondrong

Crowde yang dikembangkan Yohanes Sugihtononugroho dan BantuTernak yang dikembangkan Ray Rezky Ananda adalah contoh startup yang mencoba membantu mengatasi masalah-masalah ini.

Latar belakang pendidikan di bidang peternakan membuat Ray, yang berkuliah di UGM, mempunyai wawasan untuk memetakan masalah-masalah peternak ini.

“Jadi kalo ke pasar hewan mungkin peternaknya sedikit, kebanyakan belantik. Belantik ini membeli sapi dari peternak dengan harga murah. Tetapi peternak tetap senang, karena diberikan fasilitas hutang kepada peternak. Ini salah satu dari banyaknya cerita yang ironi tentang peternak desa. Semoga tahun ini nilai investasi Bantuternak bisa melakukan ekspansi ke daerah lain selain di Bantul. Kami ingin kebermanfaatan Bantuternak bisa dirasakan oleh peternak di seluruh Indonesia,” cerita Ray.

Kendati belum lama beroperasi, BantuTernak mengklaim telah mendapat sambutan positif dari peternak, utamanya mereka yang kesulitan modal dan belum terlalu paham sentuhan teknologi.

Secara umum, permodalan menjadi isu yang sangat fundamental. Startup lain mencoba menjembatani permasalahan tersebut dengan cara yang sedikit berbeda. seperti yang dilakukan startup Yogyakarta Angon.

[Baca juga: Sepak Terjang Angon Digitalkan Proses Beternak di Indonesia]

Apa yang dilakukan Angon ialah memberdayakan petani sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin berinvestasi dalam dunia peternakan tapi tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk merealisasikannya. Investor dapat melakukan pemesanan ternak, kemudian ternak tersebut dipelihara dan dibesarkan. Biaya perawatan akan dialokasikan untuk operasional peternak di sentra peternakan rakyat, sedangkan keuntungan yang didapat akan didistribusikan dengan mekanisme bagi hasil.

Implementasi teknologi tidak sepenuhnya mudah

Salah satu peternakan BantuTernak

Nyatanya tidak semudah yang dibayangkan membawakan solusi digital ke sektor pertanian. Untuk Crowde, Yohannes menceritakan bahwa ada beberapa permasalahan saat praktik mengimplementasikan solusi di lapangan, salah satunya dalam hal pembukuan oleh petani. Meski sederhana, hal ini penting untuk membantu pelaporan di sistem masing-masing. Sayangnya sejauh ini masih banyak yang belum melakukannya dengan baik.

“Yang menjadi tantangan adalah dari sisi petani. Masalah banyak petani yang belum begitu mengerti dalam melakukan pembukuan laporan keuangan. sehingga kami perlu melakukan kegiatan ekstra untuk memberikan edukasi dan membimbing mereka. Hal ini penting, karena kami sangat berfokus pada transparansi antara investor dan petani.”

[Baca juga: Daftar Startup Indonesia di Bidang Pertanian, Perikanan, dan Peternakan]

Pun demikian, dari sisi investor, Yohanes menganggap tantangannya adalah mengenai metode pembayaran yang paling efisien dan efektif. Pada dasarnya, saat ini sudah sangat banyak perusahaan yang telah menyediakan jasa pembayaran digital, tapi masih banyak masyarakat Indonesia yang masih belum begitu familiar, khususnya mereka yang tertarik di investasi budidaya.

Perlu terobosan menyeluruh

Mata rantai pertanian dan peternakan yang tidak sehat menjadi kecemasan banyak pelaku di industri ini. Di luar investasi budidaya, masalah seperti akses ke pasar, komoditas benih, hingga optimalisasi lahan masih menjadi peluang emas bagi startup untuk bermanuver.

Founder dan CEO 8Villages Sanny Gaddafi, yang dengan beberapa produknya aktif membantu petani meningkatkan produktivitasnya, mengatakan, “Transparansi proses dan akses informasi, keduanya sangat bisa diselesaikan dengan solusi digital. Solusi digital adalah jawaban dari kedua masalah tersebut. [Meskipun demikian]  investasi [budidaya] hanya bagian kecil dari keseluruhan value chain yang bisa dikembangkan lagi, seperti market dan rantai logistik.”


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Program Inkubasi BNVLabs Gandeng 8 Startup Mitra (UPDATED)

Program inkubasi Bank Bukopin dan Kibar, BNVLabs, mengumumkan delapan startup mitra yang beberapa di antaranya akan mengikuti mentoring selama tiga bulan. Mereka berpeluang menjadi mitra bisnis bank dalam jangka panjang. Delapan startup tersebut adalah eFishery, 8Villages, Iwak, Riliv, Jojonomic, Reblood, Olride, dan Pasienia.

Selama masa inkubasi, peserta dapat bekerja di coworking space BNVLabs dan menerima berbagai bentuk dukungan dari Bank Bukopin. Bentuk dukungan berupa bantuan jaringan dari mitra-mitra bank.

Dalam sesi mentoring, peserta akan dibantu Agent of Change untuk memperkenalkan kepada mereka mengenai regulasi seputar perbankan yang kemungkinan besar bakal bersentuhan dengan model bisnis mereka. Agent of Change adalah tim khusus yang dipilih dari berbagai divisi Bank Bukopin, bertugas menjembatani dunia perbankan dengan startup mitra agar tetap sinkron.

Sebelum pemilihan startup, tim BNVLabs melakukan roadshow ke beberapa kota di antaranya Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya selama dua bulan.

Bila diperhatikan, startup mitra ini belum terfokus di segmen fintech, menyesuaikan bisnis Bank Bukopin itu sendiri. Mereka bergerak di segmen pertanian, pariwisata, kesehatan dan pendidikan, serta sistem pembayaran.

“Keempat segmen startup ini untuk sementara akan jadi fokus BNVLabs. Kami menilai seluruh startup ini memiliki potensi besar untuk dorong bisnis Bukopin dengan memberikan nilai lebih kepada nasabah kami,” terang Direktur Pengembangan Bisnis dan TI Bank Bukopin Adhi Brahmantya, Kamis (20/7).

CEO Pasienia Fadli Wilihandarwo mengatakan bergabungnya Pasienia sebagai mitra BNVLabs menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk menjaring mitra bisnis yang kuat, sekaligus upaya Pasienia dalam menjalankan startup yang berkesinambungan.

“Mencari mitra adalah hal yang penting untuk dilakukan saat ingin berbisnis startup. Bermitra dengan Bukopin adalah nilai lebih yang bisa kami dapatkan karena banyak peluang yang bisa dilakukan. Tentunya ini juga bernilai dibandingkan hanya memberi suntikan dana saja,” ucapnya.

Pasienia adalah aplikasi yang menghubungkan antar pasien yang tengah menjalankan proses pengobatan. Mereka dapat berbagi informasi terkait penyakit yang diderita berdasarkan pengalaman masing-masing dan menghubungi dokter untuk berkonsultasi. Diklaim saat ini Pasienia sudah menjaring 8 ribu pengguna.

Menurut Fadli, salah satu bentuk kolaborasi dengan Bank Bukopin yang kemungkinan terjadi adalah menghadirkan layanan dompet elektronik. Fitur tersebut selama ini belum ada di dalam aplikasi dan diharapkan akan membantu bisnis Pasienia ke depannya.

Platform Investasi Budidaya Lele IWAK Alami Kelebihan Investor

Perusahaan startup berkonsep budidaya makhluk hidup kini makin menunjukkan geliatnya di Tanah Air dengan berbagai macam variasinya. Kini muncul IWAK, sebuah platform digital yang menghubungkan investor dengan keluarga pembudidaya ikan lele. Kondisi terkini IWAK, sedang mengalami kelebihan investor. Calon investor pun kini diharuskan rela mengantre di daftar tunggu.

Dalam laman IWAK diumumkan pendaftaran investor baru ditutup untuk sementara tertanggal 5 Juli – 15 September 2016. Investor yang ingin masuk ke daftar tunggu diwajibkan untuk mengisi data diri dalam link yang disediakan.

Seperti dikutip dari portal berita Kedaulatan Rakyat, Rushan Faizal, pendiri IWAK, menceritakan sudah ada 50 investor yang sudah terdaftar dalam waiting list. Alasan pihaknya menutup sementara dikarenakan IWAK tengah melakukan pengembangan sistem dan manajemen.

Terhitung, per tahun lalu jumlah investor yang sudah bergabung mencapai 279 orang. Hasilnya 68 kolam ikan telah terpasang dan 15 keluarga petani hidup sejahtera. Secara nilai investasinya, pada Maret 2016 telah mencapai 500 juta Rupiah. Sementara itu, per Juli 2016 nilainya telah mencapai 900 juta Rupiah.

IWAK menargetkan sampai akhir tahun ini pihaknya bisa membangun 100 kolam dan mengelola dana investor sebesar 1,5 miliar Rupiah. Ditambah, ingin mengembangkan diri untuk budidaya ikan jenis lain di luar lele.

Kondisi ini terbalik bila dibandingkan saat IWAK baru pertama kali digagas oleh Rushan dan Hestyriani Anisa bersama tiga temannya mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) sekitar setahun lalu. Pada saat itu, dia mengaku sulit sekali menemukan investor mengingat statusnya masih sebagai mahasiswa.

Konsep awal yang ia tawarkan ke calon investor adalah sharing economy, menghubungkan orang yang punya lahan dengan investor, namun banyak menemui kebuntuan. Akhirnya mereka mulai menjaring investor dari kalangan keluarga sendiri dan tim IWAK hingga terkumpullah modal awal 30 juta Rupiah.

Rushan menjelaskan, komitmen yang diberikan kepada investornya adalah transparansi. Setiap hari dikirimkan SMS mengenai waktu pemberian makan, kondisi ikan, persediannya, dan lain-lain. Kemudian, tim IWAK juga menawarkan teman-temannya sebagai investor baik lewat jalur media sosial tapi hasilnya belum memuaskan.

Cara lain akhirnya ditempuh dengan cara door to door. Berbagai tanggapan pun diterima, ada yang hanya memuji, curiga takut dikira ingin menipu. Dari pengalaman tersebut, akhirnya IWAK bisa memilah investor yang potensial.

“Investor IWAK rata-rata adalah anak muda yang baru mulai bekerja dan ingin investasi. Mereka tertarik berinvestasi di kami karena minimal investasinya hanya 150 ribu Rupiah. Selain itu, mereka juga tertarik karena visi misi kami bukan semata mencari uang tapi karena ada keluarga yang harus dibantu,” ujar Anisa.

Dia menjelaskan, sistem bisnis IWAK adalah bagi hasil antara investor, petani dan IWAK sebagai pengelola. Persentasenya 50% untuk petani, 40% untuk investor, dan 10% untuk IWAK.

Untuk menjaga kredibilitas IWAK dimata investor, IWAK menyediakan laporan harian secara real time tentang kolam mereka masing-masing, keluarga petani, operator, besaran investasi, kondisi kolam, dan laporan keuangan secara transparan. Seluruh informasi bisa diakses melalu situs IWAK.

Ide awal IWAK

Ide awal mendirikan IWAK, sambung Rushan, terjadi saat dia sedang berkunjung ke rumah pamannya di Nganjuk, Jawa Timur. Di sana banyak sekali lahan kosong yang tidak dimanfaatkan. Sedangkan, segi kesejahteraan masyarakatnya sangat kurang. Dari situ, muncullah ide untuk membuat usaha rintisan berupa kolam portbale ikan lele. “Ikan lele dipilih karena mudah perawatannya dan cepat panennya,” kata Rushan.

Dengan ilmu yang ia dapat dari bangku kuliah jurusan Ilmu Komputer UGM, ia ingin melakukan hal yang tak sekedar bisnis saja tapi juga memiliki manfaat untuk orang yang membutuhkan. Terciptalah sensor yang bisa mengukur suhu kolam, Ph, hingga pemberian pakan secara otomatis.

Selain IWAK, di Indonesia juga ada perusahaan startup serupa berkonsep budidaya, yaitu iGrow. iGrow memiliki misi mengembangkan pertanian secara organik secara global. Platform ini memungkinkan orang-orang dapat bertani tanpa harus memiliki lahan atau keahlian bercocok tanam.

[Baca Juga: Platform Pembangun Pertanian Organik iGrow Bukukan Pendanaan Awal dari East Ventures dan 500 Startups dan iGrow Mudahkan Masyarakat Berinvestasi di Pertanian]

iGrow bekerja langsung dengan petani dan pemilik lahan. Pengguna mendaftar, memilih lahan dan pohon, lalu menginvestasikan sejumlah uang untuk proses pertanian. Kemudian, lahan digarap dan saat panen tiba dijual hasil produksinya. Hasil penjualan dibagi dengan persentase 40% untuk pengguna layanan, 40% untuk rekanan pengelola kebun, dan 20% untuk iGrow.

Kini sudah lebih dari 800 pengguna yang berinvestasi di iGrow dengan empat lahan luas di Jawa dan Bali.