Ricoh Dirikan Perusahaan Baru Khusus Kamera 360 Derajat

Jauh sebelum GoPro punya kamera 360 derajat, Ricoh sudah lebih dulu menekuni segmen ini lewat lini Theta. Sejak 2013, mereka sudah melahirkan enam model Theta yang berbeda, dan sekarang Ricoh malah memutuskan untuk mendirikan perusahaan baru demi lebih berfokus di bidang tersebut.

Perusahaan baru itu dinamai Vecnos, dan akan beroperasi sebagai anak perusahaan Ricoh; cukup rasional mengingat Ricoh lebih dikenal sebagai brand yang memproduksi printer, mesin fotokopi, maupun perlengkapan kantor lainnya. Individu yang ditunjuk untuk memimpin Vecnos adalah Shu Ubukata, salah satu sosok yang berkontribusi besar atas lahirnya seri Ricoh Theta selama ini.

Vecnos 360 camera

Gambar di atas adalah produk pertama Vecnos. Kamera 360 derajat itu belum bernama, dan spesifikasi lengkapnya juga belum dirincikan. Dimensinya sangat ringkas, kurang lebih seukuran spidol besar alias board marker, dengan sepasang tombol pengoperasian di badannya. Ia mengemas total empat buah lensa; tiga di sisi samping, dan satu di sisi atas.

Sepintas, kamera ini kelihatan jauh lebih simpel ketimbang mayoritas kamera 360 derajat yang sudah ada di pasaran. Tujuan Vecnos memang demikian. Mereka ingin menciptakan kamera 360 derajat yang mudah digunakan sekaligus elegan, dan target pasar mereka adalah kalangan Gen Z.

Vecnos 360 camera

Seperti halnya kamera 360 derajat lain, kamera bikinan Vecnos ini bakal hadir bersama sebuah aplikasi pendamping. Aplikasi itu disebut bakal memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) guna membantu pengguna menciptakan video pendek yang siap dibagikan ke platform seperti Instagram atau TikTok.

Rencananya, Vecnos akan memperkenalkan kamera 360 derajat perdananya ini pada musim panas mendatang. Lalu bagaimana nasib Ricoh Theta ke depannya? Kabarnya Ricoh masih akan terus memproduksi kamera 360 derajatnya sendiri, dan ini membuat saya berasumsi bahwa kamera buatan Vecnos bakal duduk di segmen yang agak berbeda.

Sumber: Wired.

Olympus OM-D E-M1 Mark III Unggulkan Image Stabilizer yang Sangat Advanced

Olympus baru saja memperkenalkan OM-D E-M1 Mark III, suksesor dari OM-D E-M1 Mark II dan OM-D E-M1X sekaligus. Premis yang diangkat di sini adalah menghadirkan hampir semua keunggulan E-M1X – macam fitur Live ND misalnya – dalam wujud yang jauh lebih ringkas (tanpa vertical grip), serta tentu saja menyuguhkan sejumlah pembaruan.

Seperti yang bisa kita lihat, fisik kamera ini nyaris identik dengan E-M1 Mark II, dengan pengecualian pada joystick 8 arah dan sejumlah tombol lain. Juga semakin disempurnakan lagi adalah intensitas weather sealing-nya; kamera ini secara resmi telah mengantongi sertifikasi IPX1.

Olympus OM-D E-M1 Mark III

Untuk sensornya, E-M1 Mark III masih menggunakan sensor Four Thirds beresolusi 20,4 megapixel yang sama seperti sebelumnya. Kendati demikian, Olympus telah menyematkan image processor generasi terbarunya, TruePic IX, dan sistem stabilizer-nya turut di-upgrade sehingga mampu mengompensasi getaran sampai 7 stop exposure.

Perpaduan prosesor dan stabilizer baru ini juga mewujudkan fitur bernama 50MP Handheld High Res Shot. Sesuai namanya, pengguna dapat mengambil foto beresolusi luar biasa tinggi (hasil penggabungan beberapa foto sekaligus) tanpa harus mengandalkan tripod. Kalau ada tripod, resolusinya malah bisa ditingkatkan lagi menjadi 80 megapixel.

Olympus OM-D E-M1 Mark III

Perihal autofocus, E-M1 Mark III masih mengandalkan sistem yang sama yang terdiri dari 121 titik phase-detection berjenis cross-type. Yang berbeda, kamera ini mengemas satu fitur unik bernama Starry Sky AF, yang dirancang supaya penggiat astrofotografi tidak harus mengandalkan teknik focusing secara manual dalam berkarya.

Selebihnya, E-M1 Mark III masih merupakan kamera yang sama kapabelnya seperti pendahulunya, baik dari segi performa (burst shooting 18 fps dengan AF tracking) maupun videografi (4K dengan stabilizer 5-axis). Juga sangat berguna adalah kompatibilitas kamera ini dengan power bank USB-C PD (Power Delivery).

Di Amerika Serikat, Olympus OM-D E-M1 Mark III rencananya akan dipasarkan mulai 24 Februari mendatang seharga $1.800 (body only). Bundel bersama lensa M.Zuiko 12-40mm F2.8 Pro ditawarkan seharga $2.500, sedangkan yang bersama lensa M.Zuiko 12-100mm F4 Pro seharga $2.900.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X100V Usung Sensor dan Lensa Baru, Plus Touchscreen

Fujifilm meluncurkan kamera compact premium terbarunya, X100V. Iterasi kelima seri X100 ini hadir membawa sejumlah pembaruan yang cukup signifikan selagi masih mempertahankan elemen-elemen khas yang membuatnya populer selama ini.

Yang pertama, X100V mengemas sensor APS-C X-Trans CMOS 4 beresolusi 26 megapixel, sensor yang sama seperti yang tertanam pada Fujifilm X-T3 maupun X-Pro3. Sensor berdesain backside-illuminated tersebut turut didampingi oleh X-Processor 4 yang menjanjikan dongkrakan performa, tidak terkecuali untuk urusan autofocus dan face/eye detection.

Sudah menjadi ciri khas seri X100 sejak generasi pertamanya dan tidak pernah diubah adalah lensa fixed 23 mm f/2. Di X100V pun masih demikian, akan tetapi Fujifilm telah membenahi rancangan optiknya supaya lebih cekatan mengunci fokus dari jarak dekat, serta dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam di bagian ujung frame.

Fujifilm X100V

Selanjutnya, X100V rupanya tidak luput dari tren yang dijalani Fujifilm belakangan ini, yakni memperbaiki kapabilitas video secara drastis. Benar saja, X100V mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps untuk efek slow-motion. Fuji bahkan tak lupa menyematkan mode F-log sehingga videografer bisa menerapkan color grading secara manual selama menyunting.

Elemen khas lain seri X100 adalah hybrid viewfinder (optik dan elektronik). X100V tentu masih mempertahankannya, akan tetapi juga menyempurnakan viewfinder elektroniknya lewat panel OLED beresolusi 3,69 juta dot, bukan lagi panel LCD seperti sebelumnya. Di bawahnya, ada LCD yang kini sudah merupakan touchscreen dan bisa di-tilt dua arah.

Fujifilm X100V

Lucunya, Fujifilm mengklaim bodi retro X100V weather resistant, tapi hanya ketika dipasangi adapter ring AR-X100 dan protection filter PRF-49. Keduanya merupakan aksesori opsional, jadi bisa dibilang weather resistance-nya pun opsional, sebab lensanya masih membutuhkan proteksi ekstra.

Fujifilm X100V rencananya bakal mulai dipasarkan pada akhir Februari mendatang seharga $1.400. Naik $100 dari iterasi sebelumnya (X100F), tapi peningkatannya juga signifikan mengingat selisih umurnya tiga tahun.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-T200 Lebih Ringkas, Lebih Kencang, dan Lebih Kapabel Dibanding Pendahulunya

Fujifilm baru saja meluncurkan X-T200. Kamera mirrorless kelas entry ini hadir membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya, X-T100, dan di saat yang sama turut menghadirkan beberapa inovasi milik sepupunya, X-A7.

X-T200 mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang sama seperti sebelumnya, akan tetapi Fujifilm telah menyempurnakan sistem perkabelannya sehingga ia dapat memproses data 3,5 kali lebih cepat. Jumlah titik phase-detection autofocus (PDAF) yang tersebar di penampang sensor juga bertambah drastis dari 91 menjadi 425.

Fujifilm X-T200

Secara keseluruhan, X-T200 menjanjikan kinerja yang lebih baik, termasuk performa sistem eye detection yang lebih baik, maupun peningkatan kecepatan burst shooting dari 6 fps menjadi 8 fps. Lebih lanjut, X-T200 juga jauh lebih kapabel soal perekaman video.

Resolusi maksimum yang didukung adalah 4K 30 fps, bukan lagi 15 fps seperti pada X-T100. Mode slow-motion 1080p 120 fps turut tersedia, tidak ketinggalan pula mode Electronic Stabilization untuk membantu menstabilkan video via gyroscope, serta mode HDR Video.

Fujifilm X-T200

Secara fisik, X-T200 masih mempertahankan desain ala DSLR, akan tetapi ergonominya bisa ditingkatkan lagi berkat hand grip yang tak lagi berwujud aksesori opsional seperti sebelumnya. Meski mengemas hand grip yang cukup gemuk, bobotnya ternyata 80 gram lebih ringan ketimbang X-T100 di angka 370 gram.

Viewfinder elektroniknya tentu masih ada, dan masih dengan spesifikasi yang sama. Yang berubah justru adalah layar sentuhnya, yang kini memelar ukurannya menjadi 3,5 inci dan tak lagi menyisakan ruang untuk tombol empat arah. Sebagai gantinya, ada joystick kecil di sisi kanan layar fully-articulated ini, persis seperti X-A7.

Fujifilm X-T200

Fujifilm X-T200 rencananya akan dilepas ke pasaran mulai akhir Februari mendatang seharga $700 (body only), atau $800 bersama lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6. Pilihan warna yang tersedia masih sama seperti sebelumnya, yakni Silver, Dark Silver, dan Champagne Gold.

Sumber: DPReview.

[Review] Canon EOS M6 Mark II, Pertama dengan Resolusi 32.5MP

Bentrokan kamera mirrorless full frame di segmen profesional dari sederet produsen kamera papan atas seperti Sony, Canon, Nikon, dan Panasonic menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan pada tahun 2019.

Namun, persaingan kamera mirrorless dengan sensor berukuran APS-C juga tak kalah menarik. Tercatat pada tahun lalu, Sony meluncurkan trio A6100, A6400, dan A6600. Fujifilm dengan X-T30, X-A7, dan X-Pro 3. Serta, Canon dengan EOS M200 dan EOS M6 Mark II.

Jajaran mirrorless APS-C ini kini punya kemampuan perekaman video yang sangat baik, kinerja autofocus cepat, dan menawarkan resolusi lebih tinggi. Canon EOS M6 Mark II misalnya, ia mengusung sensor CMOS baru APS-C beresolusi mencapai 32.5MP, lengkap dengan sistem Dual Pixel autofocus yang cekatan, dan perekaman video 4K/30p tanpa crop.

Saya telah memotret dan syuting menggunakan kamera yang dibanderol Rp12.650.000 untuk body only ini selama beberapa pekan. Berikut kesan dan review Canon EOS M6 Mark II selengkapnya.

Desain

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Datascrip selaku distributor produk Canon di Indonesia yang telah meminjamkan Canon EOS M6 Mark II. Unit yang saya review berwarna silver yang berpadu dengan warna hitam, tampil klasik dalam desain modern.

Seperti pendahulunya, EOS M6 II tidak memiliki viewfinder bawaan. Bila membutuhkan jendela bidik, kita bisa memasang aksesori viewfinder opsional yakni Canon EVF-DC2 pada dudukan hot shoe. Sayang tak disertakan dalam paket penjualan dan bila membelinya sendiri harganya cukup mahal.

LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah. Membuatnya ideal sebagai kamera vlogging untuk para solo content creator yang berjuang membuat konten seorang diri.

Perlu dicatat, posisi hot shoe di tengah akan membuat layar tertutup oleh mikrofon eksternal. Salah satu solusinya bisa menggunakan aksesori cold shoe relocation plate, L plate, atau rig plate yang mungkin nanti bakal tersedia di pasaran.

Soal kontruksi body-nya cukup solid, terbuat dari paduan metal, serta plastik dan lapisan karet di beberapa bagian. Saat berpasangan dengan lensa kit EF-M 15-45mm, dimensi kamera ini terbilang compact. Namun, tetap nyaman saat digunakan berkat ukuran grip-nya yang agak besar.

Dalam pengujian, saya turut menggunakan lensa EF 50mm F1.4 USM (harga baru lensa ini sekitar Rp5 jutaan) dengan mount adapter Canon EF-EOS M ke EOS EF/EF-S. Hasil fotonya benar-benar sangat mengesankan, warnanya cantik dengan background bokeh yang creamy.

Meski begitu, bunyi suara autofocus lensa EF 50mm memang agak kasar dan bakal membuat kamera lebih bongsor. Terus terang saya jadi penasaran, bagaimana hasilnya bila dipasangkan dengan lensa ring merah Canon.

Karena sudah dibekali konektivitas WiFi dan Bluetooth, hasil tangkapan foto mapupun videonya bisa langsung dikirim secara instan ke smartphone melalui aplikasi Canon Camera Connect.

Mengenai daya tahan, baterai LP-E17 yang digunakan mampu melepaskan 305 jepretan sekali charge. Untuk pengisian daya, kita harus melepas baterai dari body kamera dan menggunakan adapter charger khusus. Meski kamera ini sudah dibekali port USB Type-C, tapi saya tidak bisa mengisi daya langsung ke kamera menggunakan charger smartphone.

Sistem Kontrol

Sistem kontrol kamera pada EOS M6 II sangat ramah bagi penggunanya, tombol kontrol fisik lengkap dan sangat intuitif. Untuk mengatur exposure secara manual, di sisi atas terdapat dua roda kontrol untuk menyesuaikan shutter speed dan aperture.

Lalu, kita bisa set roda kontrol navagasi yang berada di depan untuk ISO. Dengan kontrol segitiga exposure ini, bakal sangat memudahkan para penggunanya untuk mengontrol kamera dengan cepat dan tepat.

Selain itu, user interface layar sentuhnya juga mudah dimengerti. Canon melengkapinya dengan quick control yang bisa diakses di pojok kanan atas layar atau tombol kontrol Q Set. Di mana kita bisa dengan mudah mengakses fitur-fitur penting seperti mode autofocus, kualitas gambar, aspek rasio, resolusi video, white balance, hingga picture style.

Satu hal lagi yang sangat saya suka dari kamera Canon ialah mode foto dan videonya memiliki pengaturan terpisah. Bakal sangat berguna bagi yang sering membuat video sekaligus mengambil foto, sebab pengaturan kedua mode tersebut memang berbeda. Misalnya di mode video, saat kondisi cahaya kurang bersahabat kita tidak bisa menekan shutter speed lebih rendah – sebaliknya kita harus meningkatkan ISO untuk mendapatkan exposure yang pas.

Kemampuan Foto

Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Canon EOS M6 Mark II dapat mengambil gambar dengan resolusi maksimal 32MP (6960×4640 piksel) dalam pilihan aspek rasio 3:2, 4:3, 16:9, dan 1:1. File foto bisa disimpan dalam format JPEG, Raw, dan CRaw. Sensor tersebut tetap menggunakan low pass filter yang lebih aman dari efek moire.

Dari banyak foto yang telah saya ambil, satu foto 32MP dalam format JPEG – paling kecil memakan ruang 4MB dan 12MB paling besar. Sementara dalam format Raw, paling kecil memakan ruang 21MB dan 41MB paling besar.

Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Ditenagai prosesor DIGIC 8, kamera ini dapat memotret beruntun 14fps, 30 fps dengan crop pada lebarnya menjadi 88 persen, dan mode Raw burst 30fps hingga 70 frame dengan crop 75 persen yang menghasilkan foto 18MP.

Sejauh ini, sistem Dual Pixel autofocus bekerja cepat meskipun bukan yang tercepat di kelasnya. Ada empat mode area fokus otomatis yang dapat dipilih, Face + Tracking, Spot AF, 1-point AF, dan Zone AF. Fitur face detection dan eye detection juga bekerja cukup baik, terutama untuk foto portrait.

Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Untuk pilian lensanya, jajaran lensa native EF-M dari Canon memang jumlahnya tidak banyak. Meski sebetulnya sudah cukup lengkap, dari yang terbaru berikut daftarnya:

  • 32mm F1.4 STM
  • 18-150mm F3.5-6.3 IS STM
  • 28mm F3.5 Macro IS STM
  • 15-45mm F3.5-6.3 IS STM
  • 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM
  • 11-22mm f/4-5.6 IS STM
  • 18-55mm f/3.5-5.6 IS STM
  • 22mm f/2 STM

Dengan mount adapter Canon EF-EOS M, kita bisa memasangkannya dengan lensa Conon EF/EF-S yang tak hanya variasinya banyak tapi juga dari sisi kualitas optiknya. Opsi lain datang dari Sigma, lensa fix buatannya dari 16mm, 30mm, dan 56mm F1.4 juga tersedia di sistem EOS-M dan harganya cukup terjangkau. Berikut hasil foto dari Canon EOS M6 Mark II:

Perekam Video

Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Selain resolusi kameranya yang meningkat, aspek perekaman video juga mendapatkan update signifikan. Kamera ini mampu merekam video hingga 4K/30p (3840×2160 piksel) full tanpa crop dan sistem Dual Pixel autofocus-nya juga masih bekerja.

Kita memiliki pilihan mode area AF yang sama seperti mode foto dan saat merekam video, kita bisa mengganti titik fokus dengan menyentuh layar dan ada juga opsi untuk beralih dari autofocus ke manual focus atau sebaliknya. Lalu, ada dua opsi electronic image stabilization dua tingkat, tentunya dengan sedikit crop sebagai gantinya.

Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Hal menarik lainnya ialah ketersediaan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Saat ini belum tersedia 1080p pada 24fps tapi dari yang saya baca-baca bakal tersedia dalam update firmware mendatang.

Fitur video penting lainnya ialah ketersediaan port mikrofon eksternal dan mode HDR video yang sepenuhnya otomatis. Sayangnya dibanding para kompetitor direntang harga yang sama, kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading dan tidak memiliki fitur peringatan zebra.

Verdict

Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Menurut saya, persaingan kamera mirrorless APS-C pada rentang harga Rp10-20 juta tak kalah panas dengan mirrorless full frame di segmen atas. Sebab, full frame masih bukan untuk semua kalangan karena harga body kamera dan lensanya relatif sangat mahal.

Melihat fitur dan harganya, Canon EOS M6 Mark II bakal bertempur secara kompetitif melawan Sony A6400, Fujifilm X-T30, dan Panasonic Lumix G95 dengan sensor MFT. Meski dalam hal kemampuan perekaman video dan sistem autofocus bukan yang terbaik, tapi unggul pada resolusi sensornya yang mencapai 32.5MP – di mana para pesaingnya masih menawarkan 24MP.

Sparks

  • Kamera mirrorless APS-C Canon pertama dengan 32.5MP
  • Fitur dan harga sangat kompetitif dengan kompetitornya
  • Punya LCD 3 inci touchscreen 180 derajat dan port microphone eksternal yang idal untuk content creator
  • Sistem kontrol fisik intuitif dan lengkap
  • Mampu merekam 4K 30fps tanpa crop dan sistem Dual Pixel AF tetap bekerja
  • Punya mode high frame rate 1080p 120fps

Slacks

  • Tanpa dukungan picture profile
  • Tanpa port headphone untuk memonitor audio
  • Belum punya IBIS
  • Isi daya baterai harus menggunakan adapter khusus

 

Insta360 One R Adalah Action Cam dengan Lensa Lepas-Pasang Layaknya Kamera Mirrorless

Kamera 360 derajat bukan untuk semua orang. Itulah mengapa belakangan produsen seperti GoPro dan Insta360 turut menyertakan fitur untuk mengekstrak atau merekam video standar pada kamera 360 derajatnya.

Namun kalau menurut Insta360, video standar hasil reframing dari video 360 derajat ini kualitasnya masih kalah jika dibandingkan dengan rekaman kamera biasa. Berkaca pada kesimpulan tersebut, mereka merancang Insta360 One R, sebuah action cam yang dideskripsikan mampu beradaptasi sesuai kebutuhan.

Insta360 One R

Untuk mewujudkannya, Insta360 mengambil rute modular. Satu unit One R terdiri dari tiga jenis modul yang berbeda: Battery Base, Core yang memuat layar sentuh dan bisa dihadapkan ke sisi pengguna atau sebaliknya, dan Lens Mod yang dapat diganti-ganti layaknya sebuah kamera mirrorless. Lens Mod inilah yang menjadi daya tarik utama One R.

Saat pengguna hendak merekam video 360 derajat, mereka dapat memasangkan Dual-Lens 360 Mod yang dapat merekam sisi depan dan belakang sekaligus, sebelum akhirnya digabungkan secara otomatis menjadi satu video 360 derajat beresolusi 5,7K. Kalau ingin merekam video biasa, tinggal lepas dan ganti dengan 4K Wide Angle Mod yang mendukung perekaman dalam resolusi 4K 60 fps serta slow-motion sampai 8x kecepatan asli.

Insta360 One R

Terakhir, ada 1-Inch Wide Angle Mod yang mengemas sensor 1 inci dan komponen optik hasil kolaborasi Insta360 dengan Leica. Mod ini sejatinya adalah versi lebih mumpuni dari 4K Wide Angle Mod, sanggup merekam video 5,3K maupun memotret foto 19 megapixel, dan berhubung ukuran sensornya besar, performanya di kondisi low-light bisa diandalkan.

Ketiga modul lensa ini turut mendukung fitur-fitur seperti sistem stabilization FlowState yang sangat efektif meredam guncangan, mode perekaman HDR maupun Night Shot untuk di pencahayaan minim ala ponsel-ponsel terkini. Satu fitur khusus untuk Dual-Lens 360 Mod yang menarik adalah Auto Frame, yang dirancang untuk memudahkan proses penyuntingan dengan merekomendasikan sejumlah subjek yang teridentifikasi dari keseluruhan video.

Insta360 One R

Secara fisik, dimensi One R tidak jauh berbeda dari action cam standar macam GoPro Hero8 Black. Sertifikasi IPX8 memastikan ia tahan air sampai kedalaman 5 meter tanpa bantuan casing tambahan, dan jika diperlukan, ada aksesori Dive Case yang siap membawanya sampai 60 meter di bawah air.

Urusan audio, One R dibekali dengan sepasang mic internal, namun pengguna dapat dengan mudah menyambungkan mikrofon eksternal via port USB-C, lalu menempatkannya di atas kamera dengan bantuan Accessory Shoe. One R juga mendukung pengoperasian via perintah suara, cocok untuk skenario seperti ketika kamera dipasangkan di atas helm.

Insta360 One R

Insta360 saat ini sudah memasarkan One R dalam tiga bundel yang berbeda, berikut rinciannya:

Ke depannya, Insta360 juga akan memasarkan bundel yang lebih ekstrem, yakni Insta360 One R Aerial Edition yang mencakup sistem mounting khusus supaya kamera bisa dipasangkan pada sejumlah drone. Di luar itu, konsumen juga dipersilakan membeli modul pendukung, seperti misalnya modul Boosted Battery Base yang memiliki kapasitas baterai dua kali lebih besar.

Sumber: Insta360.

Setahun Setelah Diungkap, Kamera Mirrorless Zenit M Akhirnya Tersedia Secara Global

Ajang Photokina tahun lalu menjadi saksi atas munculnya kembali brand kamera legendaris asal Rusia, Zenit. Kala itu, mereka mengumumkan Zenit M, kamera pertamanya sejak berhenti memproduksi di tahun 2005. Setelah sebelumnya lebih dulu dipasarkan di dataran Eropa, Zenit M kini sudah siap go international.

Bagi yang ketinggalan berita, Zenit M pada dasarnya merupakan kamera mirrorless yang identik dengan Leica M (Typ 240). Perbedaannya hanya tampak dari sejumlah elemen desain, serta penggunaan software bikinan Zenit. Juga berbeda adalah dudukan lensanya, yang hanya bisa menerima segelintir lensa buatan Zenit sendiri.

Zenit M

Memasangkan lensa Leica sebenarnya bisa saja, akan tetapi fitur koreksi otomatisnya jadi tidak berjalan. Itulah mengapa Zenit M dibundel bersama lensa Zenitar 35mm f/1.0. Tidak seperti bodi kameranya yang dibuat di Jerman, lensanya ini murni dirancang dan dirakit sendiri oleh Zenit. Dua lensa lain yang tersedia secara terpisah adalah 50mm f/1.0 dan 21mm f/2.8.

Selebihnya, spesifikasi Zenit M sama persis seperti Leica M (Typ 240), mulai dari sensor full-frame 24 megapixel-nya, sampai LCD 3 inci di belakangnya. Ini berarti Zenit M juga hanya bisa merekam video dalam resolusi maksimum 1080p saja. Kendati demikian, saya pribadi belum pernah berjumpa dengan pengguna Leica yang memakai kameranya untuk merekam video.

Zenit M

Berhubung basisnya Leica, tidak mengherankan apabila Zenit M dibanderol mahal: $6.995, dan itu sudah dengan status “sale” di situsnya. Konsumen yang tertarik sepertinya harus cepat memesan mengingat Zenit hanya akan memproduksinya sebanyak 500 unit saja. Meski begitu, mereka rupanya masih harus menunggu apabila mengincar varian yang berwarna serba hitam.

Sumber: DPReview dan Leica Rumors.

Firmware Update Sempurnakan Kompatibilitas Fujifilm X-T3 dengan Gimbal dan Drone

Reputasi Fujifilm di ranah kamera mirrorless tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun di saat pabrikan-pabrikan lain sudah sejak lama menawarkan kombinasi yang pas antara kapabilitas fotografi dan videografi, Fujifilm baru memulai tren tersebut tahun lalu, tepatnya ketika Fujifilm X-H1 dirilis.

Fujifilm X-T3 yang diluncurkan beberapa bulan setelahnya terus mempertahankan tren tersebut. Selain sangat cekatan dalam memotret, kemampuan merekam videonya pun turut menuai banyak pujian. Ya, kamera mirrorless Fujifilm akhirnya mulai dilirik kalangan videografer, dan sejumlah profesional di bidang ini bahkan tidak segan memakainya untuk kebutuhan komersial dengan bantuan sebuah gimbal.

Masalahnya, saat X-T3 dipasangkan ke gimbal seperti DJI Ronin S atau Ronin SC, skema kontrol via USB-nya jadi amat terbatas. Beruntung Fujifilm merupakan salah satu pabrikan yang paling peduli terhadap suara konsumen, dan mereka baru saja merilis firmware update untuk membenahi masalah tersebut.

DJI Ronin SC / DJI
DJI Ronin SC / DJI

Berkat firmware versi 3.10 ini, pengguna jadi bisa mengoperasikan lebih banyak fungsi selagi kamera tersambung ke gimbal atau drone via USB. Kalau sebelumnya mereka hanya bisa mengaktifkan tombol shutter, sekarang mereka akhirnya dapat memulai dan menghentikan perekaman video, tidak ketinggalan juga mengatur fokus secara manual.

Pengaturan parameter exposure untuk perekaman video juga dapat disesuaikan lewat kontrol pada gimbal atau drone. Jadi tanpa harus menyentuh kamera secara langsung, pengguna sudah bisa mengganti shutter speed, aperture, ISO maupun exposure compensation-nya. Singkat cerita, update ini bakal semakin memudahkan penggunaan X-T3 bersama gimbal atau drone.

Sumber: Cinema5D dan Fujifilm.

Ricoh Theta SC2 Adalah Upgrade Signifikan Terhadap Kamera 360 Kelas Entry-Level

Segmen kamera 360 derajat belakangan kembali ramai dibicarakan berkat kehadiran Insta360 One X dan GoPro Max. Sebagai salah satu pelopor di bidang ini, Ricoh turut memanfaatkan momentum tersebut untuk memperkenalkan produk baru, yaitu Theta SC2, penerus langsung Theta SC yang dirilis tiga tahun silam.

Theta SC2 masih mempertahankan gaya desain yang sudah menjadi ciri khas seri Ricoh Theta selama ini. Seperti halnya Theta SC, ia diposisikan di kelas entry-level. Kendati demikian, peningkatan yang diusungnya terkesan amat signifikan jika dibandingkan pendahulunya.

Sepasang sensor yang Theta SC2 usung adalah sensor 1 inci yang sama seperti milik Theta V, yang sendirinya duduk di kelas yang lebih tinggi ketimbang Theta SC. Didampingi oleh image processing engine baru, Theta SC2 siap menjepret foto spherical dalam resolusi 14 megapixel, serta merekam video 360 dalam resolusi 4K 30 fps.

Ricoh Theta SC2

Sesuai dengan target pasarnya, yakni para pelancong yang tidak mau diribetkan dengan beragam jenis pengaturan kamera selama berwisata, Theta SC2 hadir membawa sejumlah mode otomatis. Mode “Face” misalnya, akan mendeteksi wajah manusia dan otomatis menerapkan skin smoothing. Contoh lainnya adalah mode “Night View”, yang siap menghasilkan gambar yang lebih jernih di kondisi pencahayaan yang kurang ideal.

Satu pembeda fisik antara Theta SC2 dan pendahulunya adalah kehadiran layar OLED kecil di Theta SC2 yang berfungsi untuk menampilkan sejumlah indikator. Tidak ketinggalan juga adalah satu tombol terpisah yang berfungsi untuk mengaktifkan mode self-timer demi semakin memudahkan pengoperasiannya.

Ricoh Theta SC2 rencananya akan segera dipasarkan mulai 29 November mendatang seharga $299. Pilihan warna yang tersedia ada empat seperti yang bisa kita lihat pada gambar.

Sumber: 1, 2, 3.

Fujifilm X-Pro3 Sembunyikan LCD-nya Demi Menghindarkan Pengguna dari Pengalih Perhatian

Fujifilm baru saja meluncurkan X-Pro3, hampir empat tahun sejak X-Pro2 dirilis. Melanjutkan tradisi seri ini, X-Pro3 kembali mengawinkan kecanggihan teknologi digital dengan elemen unik kamera analog. Pada X-Pro3, elemen unik yang dimaksud adalah pengalaman memotret tanpa ‘gangguan’ LCD.

Konsumen awam bakal dibuat kaget setelah melihat panel belakang X-Pro3. Bagian yang biasanya dihuni oleh LCD berukuran 3 inci justru ditempati oleh layar dengan dimensi jauh lebih kecil. Secara default, fungsi layar kecil itu juga amat terbatas, yakni menampilkan mode Film Simulation yang terpilih, ISO serta white balance.

Fujifilm X-Pro3

X-Pro3 pada dasarnya ingin mendorong penggunanya untuk lebih berfokus pada pengaturan komposisi via viewfinder ketimbang teralihkan perhatiannya. Viewfinder-nya sendiri masih mengadopsi model hybrid seperti sebelumnya, akan tetapi mode elektroniknya sudah di-upgrade menjadi panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.

Saat dibutuhkan, layar kecil itu bisa dilipat ke bawah, dan barulah kita akan disambut oleh layar sentuh besar di baliknya. Terkesan aneh memang, namun seri X-Pro sejak dulu memang tergolong sangat niche, dan kalangan mainstream akan merasa lebih cocok dengan seri X-T.

Fujifilm X-Pro3

Soal spesifikasi, X-Pro3 bisa dibilang identik dengan X-T3. Sensor yang digunakan adalah X-Trans 4, model X-Trans pertama yang menganut desain backside-illuminated. Ukurannya sendiri masih setara sensor APS-C, dan resolusinya tercatat di angka 26 megapixel. Performanya pun semakin mumpuni berkat dampingan chip X-Processor 4 yang berinti empat.

Yang agak berbeda adalah kapabilitas videonya. Resolusi maksimum yang didukung X-Pro3 adalah 4K 30 fps, sedangkan X-T3 dilengkapi opsi untuk merekam video 4K 60 fps. Meski demikian, saya yakin ini bukan masalah besar bagi para peminat X-Pro3 yang hampir semuanya hanya mementingkan fotografi ketimbang videografi.

Fujifilm X-Pro3

Terkait fisiknya, X-Pro3 tidak kelihatan berbeda jauh dari pendahulunya. Desainnya masih terkesan retro seperti sebelumnya, akan tetapi pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium ketimbang magnesium. X-Pro3 bahkan juga tersedia dalam varian dengan finish Duratect, teknologi surface-hardening yang dikembangkan oleh produsen jam tangan Citizen.

Fitur lain X-Pro3 mencakup dua mode Film Simulation baru (Classic Neg. dan Monochromatic), dua slot SD card (UHS-II), konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth, serta port USB-C yang mendukung charging. X-Pro3 bakal segera dipasarkan seharga $1.800, atau $2.000 untuk varian Duratect-nya. Semuanya merupakan harga untuk bodinya saja, tidak termasuk satu pun lensa.

Sumber: DPReview.