Pengguna Kamera DSLR dan Mirrorless Canon Dapat Backup Otomatis Hasil Foto ke Google Photos

Saat melakukan pemotretan, kadang kita membutuhkan preview yang instan untuk ditujukan ke klien. Kebanyakan kamera digital terbaru juga sudah dibekali dengan konektivitas nirkabel yang memudahkan mentransfer hasil foto ke smartphone.

Kamera Canon misalnya dan yang menarik ialah hasil foto yang kita terima di smartphone juga bisa secara otomatis diunggah atau melakukan backup ke layanan Google Photos. Baru-baru ini Canon bekerja sama dengan Google telah merilis fitur integrasi baru untuk Google Photos dan aplikasi Canon image.canon untuk Android dan iOS.

image_canon

Lewat aplikasi image.canon, kita dapat menghubungkan akun Google dan mendukung Google Drive serta YouTube. Namun hanya untuk kamera DSLR atau mirrorless yang kompatibel, seperti kamera mirrorless full frame EOS R, sejumlah DSLR Canon, dan mirrorless APS-C yaitu EOS M5, EOS M6, EOS M6 Mark II, EOS M50, EOS M100, dan EOS M200.

Canon

Selain itu, sayangnya integrasi ini tidak gratis. Untuk memungkinkan mengunggah hasil foto secara otomatis ke Google Photos, kita harus memiliki langganan Google One dan untungnya harga paketnya tidak terlalu mahal. Misalnya untuk kapasitas penyimpanan 100GB harganya hanya Rp26.900 atau Rp269.000 per tahun.

Sumber: DPreview

Cara Menjadikan Kamera Mirrorless Sony Sebagai Webcam

Hampir semua merek kamera, terutama untuk beberapa model terbaru, kini bisa dijadikan sebagai webcam. Sejak pandemi covid-19 dan sekarang menuju era new normal, kebutuhan webcam untuk aktivitas video conference, webinar, dan komunikasi berbasis video lainnya terbilang tinggi.

Canon menjadi produsen kamera pertama yang memungkinkan mengubah beberapa kamera DSLR dan mirrorless tertentu menjadi webcam. Kemudian disusul Fujifilm, Panasonic, Olympus, dan sekarang Sony.

cara-menjadikan-kamera-mirrorless-sony-sebagai-webcam-1

Meski agak terlambat dibandingkan para kompetitornya tapi dalam peluncuran perdananya, daftar kamera yang didukung mencapai 35 model. Untuk kamera mirrorless full frame Sony di antaranya A9 II, A9, A7R IV, A7R III, A7R II, A7S III, A7S II, A7S, A7 III, dan A7 II.

Sementara untuk pengguna Sony APS-C ada A5100, A6100, A6300, A6400, A6500, dan A6600. Lalu untuk kamera compact, ada RX100 VII, RX100 VI, RX100 V, RX100 IV, RX10 IV, RX0 II, RX0, ZV-1 dan lainnya.

Hal yang cukup menarik ialah kamera entry-level A5100 masih masuk dalam daftar. Sayangnya, A6000 yang menurut saya lebih populer dibanding A5100 justru malah tidak didukung oleh Sony. Semoga saja, kedepannya Sony menambahkan A6000 agar bisa digunakan sebagai webcam.

Imaging Edge Webcam

Aplikasi desktop yang Sony luncurkan bernama Imaging Edge Webcam yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan live streaming, video conference, dan lainnya dengan satu langkah mudah. Sambil memanfaatkan kecanggihan teknologi gambar dari kamera Sony, seperti autofocus dan kualitas gambar yang tinggi.

Kami akan terus beradaptasi dan berevolusi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pendapat mereka sangatlah penting untuk semua hal yang kami kembangkan di industri ini. Mengingat semakin bertambahnya permintaan untuk live streaming dan komunikasi video, kami pun amat senang dapat membagikan aplikasi terbaru kami,” ujar Kazuteru Makiyama, Presiden Direktur Sony Indonesia.

Dengan demikian, akan ada banyak pelanggan loyal Sony yang dapat dengan cepat dan mudah mengubah kamera mereka menjadi sebuah webcam berefektivitas tinggi untuk live streaming, video call, dan banyak lagi,” tambahnya.

Lalu, bagaimana caranya untuk memungkinkan mengubah kamera digital Sony menjadi webcam? Langkah pertama download aplikasi desktop Imaging Edge Webcam di tautan ini dan pilih tipe kamera yang Anda punya. Kemudian install ke desktop PC atau laptop berbasis Windows 10 Anda.

Dalam tutorial kali ini, saya menggunakan Sony ZV-1 dan sebelum kita menghubungkan kamera ke laptop, kita harus menonaktifkan fitur Ctrl w/ Smartphone dan mengaktifkan Remote PC Function. Caranya tekan tombol ‘menu’ pada kamera untuk menuju pengaturan, lalu geser ke tab network, pilih Ctrl w/ Smartphone dan atur menjadi off.

cara-menjadikan-kamera-mirrorless-sony-sebagai-webcam-2 cara-menjadikan-kamera-mirrorless-sony-sebagai-webcam-3

Selanjutnya, masih pada tab network pilih PC Remote Function dan atur menjadi on. Sekarang sambungkan kamera ke laptop lewat koneksi USB, bisa menggunakan kabel data microUSB bawaan menggunakan port multi pada kamera.

Untuk memastikannya bekerja, misalnya saya membuka aplikasi Zoom versi desktop. Lalu, pergi ke pengaturan, pilih video, dan ubah kamera menjadi Sony Camera (Imaging Edge).

Pada Sony ZV-1 ini kita bebas mengatur mode kamera, baik itu manual atau pun mode auto. Fitur andalan Sony ZV-1 seperti Background Defocus dan Product Showcase juga bisa digunakan yang sangat berguna saat Anda presentasi atau menjadi pembicara webinar.

Adapun salah satu keuntungan menggunakan kamera digital dibanding webcam bawaan atau eksternal ialah kualitas gambarnya pasti lebih bagus, terutama di dalam ruangan dengan pencahayaan sekedar lampu. Namun pastikan lensa yang digunakan cukup lebar, setidaknya setara 28mm di full frame, 24mm, 20mm, atau yang lebih lebar dan rekomendasi saya lensa fix karena memiliki aperture yang besar.

Zhiyun Umumkan Gimbal Crane 2S, Lebih Cepat dan Presisi

Penggunaan gimbal sangat membantu dalam produksi video, baik bagi filmmaker, videografer, maupun video content creator. Harga perangkat gimbal makin terjangkau dan juga semakin mudah digunakan, Zhiyun salah satu nama yang tak diragukan lagi kualitasnya.

Baru-baru ini Zhiyun telah mengumumkan handheld gimbal terbarunya, Crane 2S. Bila dibandingkan dengan pendahulunya (Crane 2), Crane 2S membawa banyak peningkatan termasuk motor gimbal yang lebih kuat dan kapasitas beban lebih banyak. Alhasil, Crane 2S dapat menangani setup kamera video lengkap dengan rig-nya seperti Black Magic BMPCC 6K, Panasonic S1H, Sony A9, Nikon D850, dan Canon EOS 1DX Mark II.

Untuk memberikan kinerja gimbal yang lebih cepat dan mulus, versi terbaru Algoritma Instune pada Crane 2S telah ditingkatkan. Zhiyun juga melengkapi Crane 2S dengan sistem FlexMount baru yang menyederhanakan proses setup sekaligus memastikan bahwa perlengkapan yang digunakan aman.

Sistem FlexMount ini menggabungkan mekanisme keamanan ganda dan memiliki kunci pengaman yang dapat disesuaikan oleh penggunanya. Bila ingin merekam video secara vertikal untuk kebutuhan media sosial, Crane 2S dilengkapi dengan quick release mount vertikal dan kenop pengamanan tambahan.

BMPCC-2x

Fitur lain dari desain gimbal termasuk mekanisme penguncian sumbu yang turut ditingkatkan, disebut Axis Locking Mechanism 2.0 yang juga memberi kemudahan dalam penyimpanan. Untuk menjaga agar bodi Crane 2S tetap ringan tapi kuat, pengangannya kini terbuat dari carbon fiber.

Terdapat enam mode gimbal pada Crane 2S, mencakup Pan Following, Locking, Following, Full-Range POV, Vortex, dan Go mode. Zhiyun juga menyertakan sejumlah fitur untuk membantu pembuatan video panorama, timelapse, motionlapse, dan long exposure timelapse. Crane 2S mendukung kontrol fokus digital dan manual melalui roda fokus bawaan pada gimbal itu sendiri, kecepatan dan presisinya juga telah ditingkatkan. Daftar lengkap kamera dan lensa yang kompatibel dapat dilihat di tautan ini.

Selain itu Crane 2S memiliki layar OLED 0,96 inci baru yang menampilkan pengaturan penting dan navigasi menu yang sederhana. Bila ingin menggunakan layar yang lebih besar, Crane 2S menyertakan slot khusus untuk memasang image transmitter. Juga ada Zhiyun TransMount Image Transmission System yang memungkinkan memasang monitor untuk live monitoring dan penggunaan berbagai aksesori seperti quick setup kits, monopod, servo zoom, focus motor, dan lainnya. Crane 2S menggunakan 3 baterai Li-ion (2600 mAh) yang dapat dilepas dan menyuguhkan waktu pengoperasion hingga 12 jam. Harganya untuk paket standar dibanderol US$599 atau sekitar Rp8,8 juta.

Sumber: DPreview

[Review] Sony ZV-1, Kamera Compact Spesialis Video

Kalau kamu lagi mencari perangkat yang praktis buat bikin konten video, kamera terbaru Sony ZV-1 patut dipertimbangkan. Ia adalah kamera compact dengan sensor 1 inci sama seperti RX100 series, tetapi telah dioptimalkan untuk pengambilan video.

Beberapa modifikasi penting antara lain layar vari-angle yang sangat berguna untuk nge-vlog, pengambilan video vertikal, dan memudahkan mengambil footage low-angle atau high-angle. Kualitas mikrofon internal-nya di atas rata-rata dengan directional 3-capsule microphone dan dapat menangkap suara yang datang dari depan kamera dengan cukup baik.

Dalam paket penjualannya turut disertakan dead cat yang menempel melalui hot shoe, berguna untuk meredam suara tidak jelas akibat semburan angin. Bagian terbaiknya, Sony tetap menyediakan port mikrofon 3,5mm dan hot shoe. Mikrofon bawaannya memang cukup dapat diandalkan di kondisi darurat, tapi untuk mendapatkan kualitas audio yang lebih proper sebaiknya menggunakan mikrofon eksternal.

Meski dibekali fitur video yang berlimpah, sebagai kamera compact dengan bodi mungil, Sony ZV-1 tentu punya batas kemampuan. Lalu, cocoknya buat siapa? Berikut review Sony ZV-1 selengkapnya.

Fitur-fitur Video

review-sony-zv-1-2
Desain Sony ZV-1 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Selain layar vari-angle dan mikrofon internal yang mengesankan. Sony ZV-1 juga dibekali sistem autofocus yang kencang dengan Real-time Eye AF dan Real-time Tracking, serta sejumlah fitur video baru seperti Background Defocus dan Product Showcase.

Background Defocus bukan rekayasa software, hanya mempercepat proses untuk mendapatkan foto maupun video dengan background bokeh secara otomatis. Singkatnya kita tidak perlu repot-repot mengatur aperture secara manual dan kemudian mengimbanginya dengan shutter speed dan ISO.

Walaupun aperture-nya besar F1.8-2.8, namun karena sensor Sony ZV-1 relatif kecil yaitu 1 inci. Maka jangan berharap mendapatkan hasil bokeh yang dramatis seperti yang dihasilkan sensor APS-C apalagi full frame.

Beralih Product Showcase, fitur ini akan memastikan produk yang kita tampilkan ke depan kamera mendapatkan fokus. Mungkin terdengar sepele, tapi pasti berguna bagi para tech reviewer gadget misalnya.

Saat fitur Product Showcase dinyalakan, kamera akan menonaktifkan Face Priority di pengaturan fokus. Sehingga objek yang lebih dekat dengan kamera akan terfokus meski wajah kita berada di dalam frame. Karena sistem autofocus Sony ZV-1 memang cepat, perpindahan fokusnya terasa halus.

Selain itu, mode video Intelligent Auto memungkinkan kita membuat konten video tanpa perlu memikirkan aspek teknis seperti mengatur shutter speed, aparture, ISO, white balance, dan lainnya. Layaknya menggunakan kamera smartphone, kita cukup tekan tombol recording.

Posisi Sony ZV-1

review-sony-zv-1-3

Barangkali masih ada yang bingung, di mana posisi Sony ZV-1 sebenarnya? Menurut saya, Sony ZV-1 mengisi celah antara smartphone dan kamera mirrorless, juga merupakan alternatif dari action camera.

Kualitas rekaman video dari kamera smartphone memang sudah lumayan bagus, tetapi kurang dapat diandalkan di kondisi minim cahaya. Jelas bahwa smartphone bukan perangkat yang optimal untuk produksi video rutin.

Saya pikir untuk urusan video, kamera mirrorless pilihan yang lebih tepat. Namun karena ukuran kamera mirrorless relatif cukup besar, beberapa orang merasa kurang nyaman dalam menggunakannya.

Sementara, kalau dibanding action camera, kamera compact tentu lebih fungsional. Sony mengatakan bahwa ZV-1 dirancang untuk pengambilan video kasual durasi pendek atau panjang, momen sehari-hari dan membagikannya ke media sosial atau membuat konten video YouTube. Hasil rekamannya bisa dengan mudah ditransfer ke smartphone dan diedit menggunakan aplikasi Imaging Edge Mobile. Hasil foto Sony ZV-1 sebagai berikut:

Kamera ini memang ditujukan untuk para content creator dan kalian bisa menggunakan Sony ZV-1 sebagai satu-satunya kamera, tetapi saya merekomendasikan sebagai kamera sekunder. Untuk YouTuber bisa menggunakan ZV-1 untuk solusi multi-camera dan memudahkan bikin video di tempat umum. Juga merupakan alat yang powerful bagi influencer dan selebgram, untuk menciptakan konten lebih baik dari yang dihasilkan smartphone.

Lalu, apa bedanya dengan RX100 series? Kamera ini dirancang untuk mereka yang berpengalaman di bidang fotografi. Sony menjejalkan teknologi canggih pada kamera mirrorless mereka ke dalam bodi point-and-shoot.

Sony ZV-1 ini dibanderol Rp9.999.000 dan fakta yang menarik adalah kamera mirrorless Sony A6100 dengan lensa kit dan ultra-compact camera Sony RX0 II juga dijual dengan harga yang sama. Ketiga kamera tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar pembuatan video dengan cara yang berbeda tergantung kebutuhan.

Modifikasi RX100 Series

review-sony-zv-1-4
Lensa Sony ZV-1 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Untuk mendeskripsikan Sony ZV-1, kita harus membandingkannya dengan RX100 series. Ia mengemas sensor CMOS bertipe stacked 1 inci beresolusi 20MP, dilengkapi chip DRAM, dan prosesor BIONZ X generasi terbaru dengan LSI front-end.

Sony ZV-1 mengemas lensa zoom setara 24-70mm F1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T* seperti yang terdapat pada RX100 V (A), lengkap dengan ND filter untuk menekan shutter speed saat syuting di luar ruangan. Sayangnya bukan lensa 24-200mm F2.8–4.5 ZEISS Vario-Sonnar T* seperti yang ditemukan pada RX100 VII.

Pada focal length 24mm kita bisa menggunakan aperture f1.8, bila menggunakan fitur electronic stabilization SteadyShot standar, dan menggunakan tripod mini, bidang pandangnya masih lumayan luas. Pundak masih terlihat sedikit dan masih ada ruang untuk menampilkan background.

Masalah muncul bila menggunakan SteadyShot active, karena crop-nya mencapai 25 persen. Bidang pandangnya menjadi lebih sempit dan frame dipenuhi wajah, tidak banyak ruang kosong yang tersisa. Solusinya kita dapat menggunakan tripod mini yang bisa dipanjangkan, Sony juga menjual shooting grip yang cocok untuk ZV-1 yaitu GP-VPT1 yang dijual seharga Rp1.599.000.

Menurut Sony, SteadyShot active 11x lebih baik daripada stabilisasi standar, kinerja lumayan untuk mengkompensasi goyangan saat nge-vlog. Kalau ingin gerakan yang mulus, tetap harus investasi gimbal dan sudah ada gimbal yang ukurannya kecil seperti Zhiyun Tech Crane M2.

Bagaimana dengan desainnya? Sony merancang ulang desain dan tombol fisik kontrolnya. Mulai dari layar vari-angle, mengorbankan pop-up EVF untuk hot shoe, dan pop-up flash diganti untuk mikrofon directional 3-capsule.

Masih dibagian atas, mode dial fisik untuk mode kamera diganti tombol biasa, bersama tombol perekam video, tombol shutter dengan tuas untuk zoom, tombol untuk Background Defocus, dan tombol on/off.

Cincin kontrol pada lensa juga dipangkas dan bagi penggemar tali kamera mungkin akan sedikit kecewa. Sebab ZV-1 hanya menyediakan pengait tali di sebelah kanan saja, tetapi bisa dimaklumi karena akan mengganggu layar saat diputar bila ada pengait tali di sebelah kiri.

Satu-satunya roda kontrol ada di bagian depan dan multi fungsi, baik untuk mengatur shutter speed, aperture, ISO, manual focus, dan navigasi menu. Seperti kebanyakan kamera Sony, layar sentuh 3 inci beresolusi 921.600 titiknya fungsinya terbatas untuk touch focus dan aspek rasionya 3:2 daripada rasio 16:9 yang digunakan untuk video.

Port mikrofon dan HDMI berada di sebelah kanan. Sayangnya untuk pengisian daya masih menggunakan port jenis lawas microUSB, jadi pastikan membawa kabel data microUSB saat bepergian. Kita tidak bisa menggunakan charger smartphone karena kebanyakan sudah pakai USB Type-C.

Sony ZV-1 menggunakan baterai tipe NP-BX1 yang sama seperti RX100 series. Kapasitasnya kecil, hanya menyediakan 260 jepretan atau 45 menit perekaman video. Biar tidak was-was kehabisan baterai tiap bepergian, sebaiknya membeli satu atau dua baterai. Kabar baiknya, batera tipe ini bisa dengan mudah ditemukan dan seharga cukup terjangkau sekitar Rp400 ribuan.

Shot on Sony ZV-1
Shot on Sony ZV-1
Shot on Sony ZV-1
Shot on Sony ZV-1

Kemampuan Video

review-sony-zv-1-11
Kemampuan video Sony ZV-1 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sony ZV-1 dapat merekam video UHD 4K 24p/30p full pixel readout tanpa pixel binning pada format XAVC S, secara default durasi perekaman video 4K-nya dibatasi 5 menit. Untuk menghapus batasan tersebut, kita harus mengubah pengaturan ‘auto power off temp‘ dari standar menjadi high.

Sony mengklaim, ZV-1 dapat merekam video 4K lebih dari 30 menit dan mendukung SteadyShot active. Hal ini memang cukup menarik, tetapi bukan berarti bodi Sony ZV-1 tidak kepanasan karena bodinya kecil sebelum 30 menit sudah muncul peringatan overheat.

Sementara pada resolusi 1080p, Sony ZV-1 mendukung 24 fps, 30 fps, 60 fps, dan 120 fps. Fitur favorit saya ialah mode high frame rate yang diambil pada resolusi rendah dan di-upscale menjadi 1080p. Pada frame rate 240 fps hasilnya cukup bagus, tapi pada 480 fps dan 960 fps sudah mulai muncul noise.

Perekam videonya didukung picture profile seperti S-Log2, S-Log3, HLG, dan lainnya. Fitur yang cukup mewah yang memberikan fleksibilitas saat post-production, meskipun output videonya masih 8-bit.

Verdict

review-sony-zv-1-12
Sony ZV-1 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Menurut saya, Sony ZV-1 merupakan perpanjangan tangan dari kamera smartphone. Batas kemampuan smartphone dalam mengambil video sangat jelas, begitu pula dengan Sony ZV-1. Sebagai kamera compact, kemampuannya tidak lebih luas dibanding kamera mirrorless.

Formula utamanya diambil dari RX100 series, kemudian dirancang ulang. Sony membuat beberapa perubahan penting, sebut saja layar vari-angle, mikrofon internal berkualitas, dan sebagainya, yang secara fundamental mengubah kamera foto menjadi kamera video berfitur komplet.

Saya juga ingin menekankan ukurannya, sangat ringkas tidak butuh banyak ruang untuk menyimpannya sehingga nyaman dibawa bepergian berdampingan dengan smartphone. Juga tentunya tidak terlalu mencolok saat digunakan di tempat umum.

Sparks

  • Layar vari-angle yang memudahkan membuat konten
  • Mikrofon internal cukup berkualitas
  • Tetap tersedia hot shoe dan port mikrofon
  • Sensor 1 inci dan sistem autofocus dengan face/eye tracking seperti RX100 series
  • Video 4K dan dibekali banyak fitur video

Slacks

  • Lensa 24mm tidak cukup lebar bila stabilisasi SteadyShot active digunakan 
  • Daya tahan baterai tidak lama
  • Masih menggunakan port micro USB

[Tips] Eksplorasi Kamera Fujifilm dengan Custom Setting

Daya tarik utama kamera Fujifilm adalah sensor X-Trans dan film simulation-nya. Kombinasinya sanggup menghasilkan foto yang sangat unik dengan nada warna yang ‘kuat’.

Bicara soal warna, itu relatif karena selera orang berbeda-beda alias cocok-cocokkan dan saya termasuk yang sangat menikmati suguhan warna Fujifilm. Namun kesukaan saya terhadap film simulation tidak terjadi secara instan, sebelumnya saya mengulas Fujifilm X-T30, X-A7, dan X-Pro3.

Saya belajar banyak hal saat review X-Pro3 dan akhirnya memutuskan meminang X100F di awal tahun 2020. Kenapa memilih X100F? Saya pikir kamera ini paling mendekati pengalaman seri X-Pro, saya butuh yang ringkas, dan tidak memikirkan gonta-ganti lensa. Saya dapat X100F second yang masih bergaransi, harganya sangat anjlok dari harga barunya.

Membuat Custom Setting

2e2e705b4dd306cdcca90f3b945fe279_PSX_20200129_182755

Awal tahun 2020 saya makin rajin street hunting bersama Fujifilm X100F dan mencoba berbagai mode film simulation-nya. Hasil foto format JPEG-nya luar biasa, tapi saya selalu menyimpan dalam JPEG dan Raw untuk jaga-jaga bila perlu diedit lebih serius.

Film simulation ini baru awal kesenangan, karena pada kamera Fujifilm kita bisa berbuat lebih jauh dengan membuat pengaturan khusus atau custom setting. Caranya klik tombol menu, pada image quality setting pilih opsi edit/save custom setting.

Pada Fujifilm X100F tersedia 7 slot custom setting yang bisa disesuaikan sesuai preferensi. Pengaturan ini akan berpengaruh pada foto JPEG saja, mulai dari dynamic range, film simulation, grain effect, white balance, highlight tone, shadow tone, color, sharpness, dan noise reduction. Resepnya sudah banyak bertebaran di internet dan favorit saya untuk street photography pengaturannya sebagai berikut:

  • Classic Chrome
  • Dynamic range DR200
  • Grain effect strong
  • White Balance R:2 B:-5
  • Highlight tone -2
  • Shadow tone +2
  • Color -2
  • Sharpness +1
  • Noise reduction -4

Classic Chrome merupakan salah satu film simulation paling populer dan banyak digunakan untuk street photography atau dokumentary guna memperoleh shadow yang lebih kontras dan warna vintage yang nostalgia. Untuk mempertahankan detail pada area shadow dan highlight saya menggunakan dynamic range DR200 yang mana ISO dasar yang dibutuhkan ialah 400. Hasil fotonya sebagai berikut.

Resep lain yang sedang saya coba ialah Acros + R dari Fujixweekly, selama pandemi dan memotret di sekitar lingkungan rumah. Dalam percobaan pengaturannya sudah saya sesuaikan lagi, khusus yang satu ini saya selalu menggunakan jendela bidik dan manual fokus.

Mengambil komposisi lewat layar dan autofocus membuat pemotretan terasa sangat cepat. Penggunaan jendela bidik dan manual fokus adalah cara saya agar bisa menikmati proses pengambilan karya foto, saya pikir kenapa harus selalu tergesa-gesa. Contohnya sebagai berikut:

  • Acros + R
  • Dynamic Range: DR200
  • Highlight: +4
  • Shadow: +3
  • B&W Toning: 0
  • Noise Reduction: -4
  • Sharpening: -4
  • Clarity: +5
  • Grain Effect: Strong, Large
  • Color Chrome Effect: Off
  • Color Chrome Effect Blue: Off
  • White Balance: 2750K, -5 Red & +9 Blue
  • ISO: Auto, hingga ISO 6400

Project berikutnya, saya sedang mencoba resep berikut. Dari Fujixweekly juga untuk mendatangkan film Kodak Ektar 100. Untuk mendapatkan foto dengan warna yang cerah, kontras tinggi, dan grain yang halus.

  • Astia
  • Dynamic Range: DR-Auto
  • Highlight: +1
  • Shadow: +3
  • Color: +4
  • Noise Reduction: -3
  • Sharpening: +1
  • Grain Effect: Off
  • White Balance: Auto, +3 Red & -2 Blue
  • ISO: Auto up to ISO 6400
  • Exposure Compensation: 0 to +1/3

Masih banyak lagi resep custom setting yang ingin saya coba, biasanya saya akan fokus mencoba satu per satu sampai mendapatkan cukup banyak stok sambil otak-atik lagi pengaturannya. Tujuan resep ini ialah untuk mendapatkan foto JPEG yang mengesankan, hanya butuh sedikit sentuhan editing kecil tapi sebaiknya tetap menyimpan format Raw juga.

Laowa OOOM 25-100mm T2.9 Adalah Lensa Zoom Cinema Pertama Venus Optics

Venus Optics mengumumkan ketersediaan lensa zoom cinema pertamanya, Laowa OOOM 25-100mm T2.9. OOOM ini singkatan dari “Out of our minds” dan dibanderol dengan harga US$5000 atau sekitar Rp74 juta dengan dudukan Sony E-mount atau Canon EF-mount.

Laowa OOOM 25-100mm T2.9 ini memiliki aperture konstan dan mencakup sensor berukuran Super 35+. Artinya lensa dipastikan kompatibel dengan kamera cinema kelas atas seperti 8K Red Helium dan Arri Alexa Mini.

Karena dirancang dari awal untuk kebutuhan sinematografi, lensa ini pun menjanjikan focus breathing yang sangat rendah. Guna memberikan solusi lengkap bagi para filmmaker. Spesifikasinya Laowa OOOM 25-100mm T2.9 sebagai berikut:

  • 9 bilah aperture blade
  • Kompabilitas dengan format Super 35+
  • Kontruksinya terdiri dari 20 elemen dalam 16 grup
  • minimum focus 60cm
  • Ukuran filter 95mm
  • Dimensi 102x240mm dan berat 2.5kg
  • Tersedia untuk mount Sony/Arri/Canon

Laowa menjanjikan akan memproduksi teleconverter 1.4x dalam tiga bulan ke depan yang akan memperpanjang focal length dari 25-100mm menjadi 35-140mm. Kemudian pada bulan Oktober mendatang, akan tersedia adaptor anamorphic 1.33x sehingga memberikan bidang pandang super lebar dengan rasio 2.35:1.

Sumber: Digitalcameraworld

Olympus Juga Umumkan Kehadiran Lensa Zoom Super Telephoto M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS

Selain memperkenalkan kamera mirrorless OM-D terbarunya, E-M10 Mark IV. Olympus juga mengumumkan kehadiran lensa zoom super telephoto M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS.

Mengingat crop factor sensor Micro Four Thirds dengan full frame sebanyak 2x, maka 100-400mm ekuivalen dengan 200-800mm. Lensa ini juga kompatibel dengan teleconventer MC-14 1.4x dan MC-20 2.0x sehingga bisa zoom lebih jauh lagi, ideal untuk memotret subjek yang sulit didekati seperti burung dan satwa liar.

Misalnya bila menggunakan teleconventer MC-20 2x, artinya 100-400mm menjadi 200-800mm yang setara dengan 400-1.600mm. Bila menggunakan bodi kamera Olympus terbaru, lensa ini mendukung focus stacking dan punya image stabilization bawaan hingga tiga stop.

Lensa M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS ini tahan debu dan cipratan air dengan berat 1.120 gram. Jarak fokus minimum adalah 1,3 meter di seluruh rentang zoom dan memiliki filter berdiameter 72mm menggunakan lapisan ZERO (Zuiko Extra-low Reflection Optical) untuk mengurangi flare dan ghosting.

Untuk ketersediaannya, Olympus M.Zuiko Digital ED 100-400mm F5.0-6.3 IS dijadwalnya akan dikirim pada 8 September 2020. Harganya dijual US$1.500 atau sekitar Rp21,8 jutaan.

Sumber: DPreview

Olympus Umumkan Kamera Mirrorless E-M10 Mark IV dengan Sensor MFT 20MP

Bagi yang tertarik ingin mencoba kamera buatan Olympus, mereka memiliki lini mirrorless entry-level yaitu OM-D E-M10 series. Saat ini, E-M10 II (body only) dijual dengan harga Rp6.799.000 dan Rp10.999.000 untuk E-M10 III (body only) di Indonesia.

Kini Olympus telah memperkenalkan generasi keempatnya, yaitu OM-D E-M10 Mark IV. Perubahan penting yang berada di dalam antara lain sensor Micro Four Thirds baru beresolusi 20MP (generasi sebelumnya 16,1MP) dengan prosesor TruePic VIII.

Dari luar, kamera mirrorless bergaya SLR ini kini dibekali layar yang bisa di flip ke bawah untuk memudahkan aktivitas nge-vlog dan selfie. Olympus turut memperbarui sistem autofocus continuous agar fokus tidak berkeliaran ke subjek lain dan menambah dukungan pengisian daya lewat port USB.

Selain itu, E-M10 IV juga mewarisi fitur unggulan dari generasi sebelumnya. Sebut saja, 5-axis image stabilization, electronic viewfinder OLED 2,36 juta titik, dibekali sejumlah scene mode dan Art Filter, serta perekaman video 4K pada 30 fps.

Olympus OM-D E-M10 Mark IV akan tersedia dalam pilihan warna black dan silver. Untuk body only dibanderol US$699 atau sekitar Rp10 jutaan dan US$799 atau Rp11,6 jutaan dengan lensa kit 14-42mm F3.5-5.6 EZ.

Sumber: DPreview

Laowa Bawa Lensa Macro dan Ultra-Wide ke Sistem L-Mount

Venus Optics telah mengumumkan akan membawa enam lensa Laowa untuk sistem L-Mount. Selain Leica, saat ini L-Mount juga digunakan oleh Panasonic dan Sigma, mereka tergabung dalam L-Mount Alliance yang dibentuk pada tahun 2018.

Dari Leica, ada Leica SL, Leica TL2 dan Leica CL. Panasonic dengan Lumix S series yaitu Lumix S1, S1R, dan S1H. Serta, Sigma adalah Sigma FP. Lensa besutan ketiganya, tidak hanya 100 persen compatible tapi juga menjadi lensa native.

Laowa-1

Kehadiran Laowa pun menambah variasi dan terutama soal harga yang relatif lebih terjangkau. Enam lensa Laowa tersebut terdiri dari tiga lensa ultra wide seperti Laowa 10-18mm f/4.5-5.6, Laowa 12mm f/2.8 Zero-D, dan Laowa 15mm f/2 Zero-D yang ideal untuk foto landscape maupun travel karena dimensinya ringkas.

Serta, tiga lensa yang akan memanjakan para fotografer macro yaitu Laowa 15mm f/4 Wide Angle Macro, Laowa 65mm f/2.8 2X Ultra-Macro, dan Laowa 100mm f/2.8 2X Ultra Macro APO. Keenam lensa full frame ini juga beberapa tersedia untuk sistem Sony FE, Canon RF, dan juga Nikon Z.

Dimensi dan bobotnya lensa Laowa ini tidak akan jauh berbeda dengan sistem lain. Pun demikian dengan spesifikasinya dan harganya, informasi lengkapnya bisa kunjungi situs web Venus Opctics.

Sumber: DPreview

Sony Umumkan A7S III, Tawarkan 4K 120p dan 1080p 240p 10-bit 4:2:2

Setelah berselang lima tahun, Sony akhirnya mengumumkan kamera mirrorless full frame video-centric penerus A7S II yang dirilis tahun 2015 silam. Adalah Sony A7S III yang seluruhnya dirancang ulang, termasuk sensor dan prosesor gambar baru.

Sensor baru ini tetap beresolusi 12,1MP, tapi dengan struktur back-illuminated. Kenapa resolusinya hanya 12,1MP? Tujuannya ialah untuk menghasilkan ukuran per piksel yang besar.

sony-umumkan-a7s-iii-2

Semakin besar pikselnya, maka semakin banyak cahaya yang masuk sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap cahaya dan minim noise saat menggunakan ISO tinggi. Sebagai informasi, tambahan ‘S’ sendiri punya dua arti yaitu sensitivity dan speed.

Selain itu, penggunaan struktur back-illuminated juga meningkatkan kecepatan pembacaan data 2x. Dengan kombinasi prosesor gambar baru Bionz XR yang terdiri dari dua gabungan prosesor, membuat kinerja pemrosesan meningkat hingga 8x lebih tinggi dibandingkan dengan sistem konvensional.

Kemampuan Perekam Video

Sony A7S III dapat merekam video 4K hingga 120 fps dan Full HD 240 fps dengan full-pixel readout tanpa pixel binning dan mendukung ISO sampai 409.600. Dengan S-Log3 yang menawarkan dynamic range 15+ stop dan punya ISO minimum 160 sehingga lebih fleksibel saat pengambilan gambar maupun saat post-production.

Sony menambah kemampuan perekaman video All-Intra 10-bit depth yang memiliki gradasi 4x lebih kaya dibandingkan dengan 8-bit. Serta, 4:2:2 color sampling pada semua format dan frame rate, baik resolusi 4K maupun Full HD langsung ke SD card. Video dapat disimpan dalam format H.264 atau format baru XAVC HS dengan codec H.265 HEVC yang menawarkan kompresi 2x lebih tinggi.

sony-umumkan-a7s-iii-5

Sistem fast hybrid AF-nya memiliki  759 point phase-detection, mencakup 92 persen area sensor, dan dapat bekerja di semua mode termasuk saat merekam video 4K 120p. Punya real-time tracking dan real-time Eye AF berbasis AI yang performanya diklaim meningkat 30 persen.

Untuk pertama kalinya, Sony A7S III kini mendukung perekaman video Raw pada 4K 60p menggunakan external recorder lewat port HDMI. Sony juga berhasil mengurangi efek rolling shutter tiga kali lebih baik dibanding A7S II.

Sementara, bagi yang butuh workflow cepat, A7S III dapat merekam video 10-bit HLG (HDR). Juga tersedia creative look, ada 10 jenis preset yang bisa digunakan untuk foto maupun film.

sony-umumkan-a7s-iii-3

Fitur lainnya, Sony A7S III memiliki 5-axis image stabilization dengan Active Mode yang sangat membantu saat syuting secara handheld. Bahkan ketika menggunakan lensa wide angle native dari Sony, maka hasilnya sangat halus dan stabil seperti pakai gimbal.

Video berkualitas tinggi, tentu menggunakan banyak data dan panas pun tidak bisa dihindari. Untuk itu, Sony mengembangkan mekanisme pembuangan panas baru yang memungkinkan merekam video 4K 60p 10-bit 4:2:2 lebih dari satu jam hingga baterai habis.

Fitur yang dinantikan lain, A7S III punya memiliki layar vari-angle yang berarti dapat berputar ke samping dan memberikan kebebasan saat syuting. Sistem menu pada kamera ini juga didesain ulang sepenuhnya dan dapat dioperasikan melalui layar sentuh. Ketika mode video dipilih, menu akan berubah dan menampilkan konfigurasi khusus video.

sony-umumkan-a7s-iii-4

Selain untuk videografi, A7S III juga andal untuk fotografi minim cahaya. Dengan ISO dari 80-102.400 yang bisa diekspansi 40 ke 409.600. Yang juga istimewa ialah electronic viewfinder-nya yang punya resolusi sangat tinggi 9,44 juta titik yang pertama di dunia.

Untuk menampung file, kamera ini punya dual slot untuk UHS-II SD card dan CFexpress Type-A. Lalu, berapa harga Sony A7S III dan kapan tersedia? Rencananya Sony A7S akan mulai tersedia pada akhir bulan Septermber 2020 mendatang dengan harga mulai dari US$3499 atau sekitar Rp51 jutaan.