Ekonomi Karya Baru untuk Indonesia

COVID-19. Sesuatu yang sedang menghantui benak semua orang di dunia.

Pada akhir cerita War Of The Worlds, pasukan pesawat dan mesin perang Mars yang digdaya akhirnya lumpuh karena mahluk Mars tidak tahan pada mikroba Bumi, dan akhirnya serangan Mars dapat ditekukkan. Padahal ya kenyataannya, umat manusia pun tidak rentan terhadap serangan mikroorganisme, terutama yang belum pernah menyerang manusia sebelumnya seperti novel coronavirus.

Tentunya, dampak dari penanganan COVID-19 ini adalah terimbasnya penghasilan berbagai sektor industri, terutama yang memiliki akar di dunia “nyata”. Dari toko, bioskop, pabrik sampai hiburan. Demi mencegah penyebaran yang lebih luas, di berbagai penjuru dunia masyarakat telah dikarantina, lockdown, sampai versi Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sebuah krisis kemanusiaan sedang berlangsung untuk banyak orang akibat COVID-19, baik yang tertular secara langsung maupun yang terkena dampak akibat tidak dapat bekerja seperti biasa lagi. Tidak ada yang luput dari imbasnya, dan tentunya kita bertanya, sampai kapan?

Banyak pihak yang sudah mengangkat, “apa yang hendak kamu lakukan setelah COVID-19?”. Tapi menurut saya, kondisi ini tidak akan cepat kembali ke keadaan seperti sebelumnya. Terlepas dari penanganan COVID-19, keadaan ini telah memaksa kita untuk memiliki kerangka berpikir baru terhadap hidup dan berkarya sebagai manusia. Bukan hanya beradaptasi terhadap kondisi, namun justru menyiapkan diri menapaki era yang sama sekali baru.

The New Normal

Karena KaryaKarsa banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan pekarya, di sekitar kami terdengar jelas pergeseran dari, misalnya, musisi yang penghasilan utamanya berasal dari manggung, lantas tidak bisa manggung sama sekali. Penghasilan mereka pun hilang. Beruntung bila masih ada penghasilan dari sumber lain, namun yang bisa melakukannya hanya segelintir. Wajar apabila para pekarya ini bertanya, kapan kondisi ini berakhir?

Kami di KaryaKarsa, yang tentunya terimbas juga, ingin memajukan kerangka berpikir lain. Pergeseran yang terjadi karena “keterpaksaan” ini dapat kita olah jadi kesempatan untuk membangun Ekonomi Karya Baru. Sebuah ekonomi dengan ketahanan lebih tinggi, karena diperkuat oleh pola pikir berwiraswasta dan dibantu oleh infrastruktur digital. Kita sebagai manusia abad 21, toh, sudah hidup secara bersamaan pada dunia “nyata” dan padang digital.

Sebelumnya, Ekonomi Karya itu banyak terdoktrin wujud atau kehadiran fisik, yang merupakan respons terhadap persepsi bahwa barang digital itu “gratis” dan tidak bernilai. Pelan-pelan ini sudah bergeser dengan hadirnya layanan-layanan berbayar yang orang sudah rela mengeluarkan uang untuk berlangganan, meskipun masih untuk sebagian kecil masyarakat Indonesia. Mendadak, kini semua harus berperan aktif dalam ekonomi digital. Mengutip meme yang tengah beredar, yang memicu transformasi digital di semua perusahaan bukanlah CEO maupun jajaran komisarisnya, melainkan COVID-19.

Ekonomi Karya yang Baru

Dalam Ekonomi Karya Baru, kreator dapat berkarya dan berpenghasilan dari kegiatan dalam ruang fisik maupun maya, dengan efektivitas yang sama. Baik kreator maupun audience sudah terbiasa dengan menonton konser secara langsung, maupun secara live streaming dari rumah (atau nonton bareng dari tempat yang jauh dari tempat acara). Kreator maupun audience sudah terbiasa menjadikan ruang fisik dan maya sebagai bagian dari rencana berkarya, tanpa membeda-bedakan – karena toh yang utama untuk audience itu konten, bukan medium. Tentunya medium memiliki peran kuat dalam konten, tapi menjadi fungsi kontekstual, bukan utama.

Bagaimana bentuk Ekonomi Karya Baru ini?

Ekosistem Baru Kreator Konten
Ekosistem Baru Kreator Konten

Dalam Ekonomi Karya Baru, wujud dan medium karya merupakan konsekuensi dari strategi, bukan tujuan akhir – karena sebenarnya berdasar pada pendekatan bisnis yang terfokus pada Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property, IP). Sebagai contoh, sebuah lagu tidak harus hanya berwujud sebuah pementasan langsung, tapi juga dapat diwujudkan sebagai merchandise interaktif, konser live streaming, bahkan proses di balik layar pembuatannya. Karyanya sama, tapi perwujudan dan penyampaiannya disesuaikan dengan medium dan target audience.

Model pembiayaan kegiatan berkarya pun memiliki berbagai pilihan. Selain model-model yang sudah lebih dulu berlangsung, seperti melalui iklan, sponsor endorsement, kerja sama dengan pemilik modal dan keahlian (misalnya, music label) dan lisensi karya, dapat juga mendapatkan pendanaan kegiatan langsung dari audience (seperti via KaryaKarsa). Dan dengan dibantu akses digital, daya jangkau pendanaan langsung ini tidak terbatas pada hadirnya audience di sebuah acara, namun bisa dikonsumsi di mana saja asal terdapat koneksi internet.

Dalam Ekonomi Karya Baru, ada sebuah harapan. Tapi tentunya ada pekerjaan rumah juga untuk semua pelaku industri. Sebuah pergeseran kerangka berpikir dari yang berfokus pada wujud karya, ke yang berfokus pada HKI. Tentunya tidak mudah, karena seringkali karya tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Dan tidak semua kegiatan karya dapat mudah diterjemahkan ke dalam wujud lain, apalagi digital. Belum lagi kefasihan pelaku-pelaku industri kreatif dalam dunia digital masih sangat bervariasi.

Yang jelas dalam Ekonomi Karya Baru ini, para pemainnya tak lagi terbatas pada pekarya-pekarya yang lazimnya dianggap berkarya, seperti musisi, seniman, penulis, pembuat komik dan sebagainya. Di KaryaKarsa saja sudah ada pelatih yoga, pelatih olahraga, edukasi soal marketing, pembahasan tentang personal branding, bahkan sampai pembaca kartu tarot.

Tapi ya balik lagi, ini pekerjaan rumah masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa dengan pola pikir Ekonomi Karya Baru, ekonomi kreatif Indonesia dapat adaptif untuk terus tumbuh, bertahan, dan berkembang.

Semangat yuk, karena kita pasti bisa. Mari berbenah dan ikut membentuk The New Normal ini demi membangun Ekonomi Karya Baru. Agar kita kembali menjadi umat manusia yang menang berkat virus, seperti dalam film War Of The Worlds.


Disclosure: artikel tamu ini dibuat oleh Ario Tamat.

Ario adalah CEO Karyakarsa, platform apreasi kreator. Ia bisa dikontak via Twitter @barijoe

Platform Apresiasi Kreator Mudahkan Perhitungan Konversi Kampanye

Sebagai seorang marketer, tentu saya ingin agar campaign yang saya jalankan meraih semua objective yang ditentukan, supaya sepadan dengan besaran investasi yang dikeluarkan. Biasanya, hitung-hitungan keberhasilan sebuah campaign berpedoman pada ROI. Namun di era digital, ukuran ini semakin rumit karena terdiri dari banyak komponen yang relatif antara satu dengan lainnya. Saking rumitnya perhitungan ini, beberapa perusahaan pun membuat ukuran lain dan menyebutnya dengan RoAS, alias Return on Ad Spend. Nah, salah satu komponen yang biasa dijalankan pada digital campaign adalah influencer marketing.

Sebagai seorang communication strategist, tentu saya ingin agar campaign yang klien percayakan pada agency tempat saya bekerja bisa berhasil melampaui KPI yang ditentukan. Ukuran keberhasilan untuk aset-aset yang dikelola sebagai Owned Media dan Paid Media relatif lebih bisa di-manage. Yang agak susah adalah Earned Media. Selain karena kontrol pembicaraan bukan sepenuhnya di kita, influencer marketing memegang peranan cukup penting. Masalahnya menemukan influencer yang tepat untuk campaign kita itu seperti memilih jodoh. Belum tentu efektif, apalagi mendatangkan ROI bagi klien.

Sebagai seorang influencer, tentu saya ingin agar platform yang saya gunakan bisa menjangkau lebih banyak orang, agar lebih banyak brand tertarik menggunakan jasa saya dalam campaign mereka. Namun jujur saja, karena belum ada standarnya, rate card saya sesuka hati dengan mengedepankan jumlah follower yang saya miliki. Bila ditanya bagaimana mengukur keberhasilan, tak sedikit rekan influencer yang kebingungan. Jangankan conversion rate, hanya segelintir yang bisa menjanjikan engagement rate.

Sebagai seseorang yang berpengalaman di ketiga industri tersebut (empat bila dihitung dengan industri media), saya bisa merasakan sendiri problematika pengukuran efektivitas influencer marketing ini. Si A mahal karena follower banyak tapi engagement kecil sekali. Si B murah dan engagement besar, tapi reach kecil. Mana sih yang seharusnya lebih mahal? Si A atau si B? Lantas, mana yang lebih efektif? Itu baru dua influencer, belum bicara kuantitas. Intinya, bikin pusing, lah! Maka, ketika ada platform yang bisa membantu para influencer yang juga pengembang konten kreatif untuk mengonversikan apresiasi follower mereka dalam bentuk tip atau uang langganan seperti KaryaKarsa, saya pun tertarik untuk mengulik konsepnya dan bekerja di sana.

KaryaKarsa memiliki konsep serupa dengan Patreon yang sudah berhasil membantu 100 ribu kreator terhubung dengan para penggemarnya. Esensi mereka adalah memudahkan penikmat karya berkontribusi dalam bentuk uang sehingga bisa membantu penghasilan kreator yang mereka gemari. Ini artinya influencer, yang juga content creator, akhirnya mampu mengukur berapa banyak penghasilan yang mereka dapat langsung dari follower melalui konten yang mereka buat.

Sejak muncul pada Oktober 2019 hingga pertengahan Maret 2020 ini, KaryaKarsa sendiri telah menampung lebih dari 1.300 kreator dan menyalurkan lebih dari 1 miliar rupiah per bulan ke para kreator! Sebuah angka yang bisa dibilang fantastis untuk sebuah perusahaan rintisan yang baru berusia 5 bulan.

Lantas apa artinya ini bagi marketer dan digital agency? Dengan platform KaryaKarsa, tidak menutup kemungkinan sebuah brand membuat campaign yang berkolaborasi dengan para pengembang konten kreatif dan benar-benar menghasilkan keuntungan dari sana. Bagi influencer sendiri, akhirnya ada platform di mana mereka bisa mengukur nilai jual konten mereka, mengetahui daya beli follower, dan benar-benar mendapatkan uang. Sebuah tambahan penghasilan yang menarik, selain dari sponsorship, endorsement, dan adsense.

Memang, tidak semua influencer adalah content creator. Beberapa campaign juga masih memanfaatkan jasa mereka untuk awareness, reach, dan impression. Namun paling tidak, kini ada platform alternatif yang bisa sedikit mengurangi kepusingan menyusun laporan efektivitas dan ROI sebuah campaign.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Pribadi Prananta (Pipu). Ia adalah seorang marketer, creative communication strategist, dan content creator yang bekerja di KaryaKarsa. Terhubung dengan Pipu di Twitter @pipis dan Instagram @pipu.

Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Mereka yang Merintis Platform Monetisasi untuk Kreator

Tidak sedikit startup yang ada di Indonesia berkiblat ke startup yang cukup sukses di Amerika. Konsep kemudian di bawa masuk ke pasar Indonesia tentunya dengan penyesuaian yang ada. KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe, adalah beberapa di antaranya. Ketiganya mengambi konsep yang serupa dengan Patreon untuk dibawa ke pasar Indonesia.

Di luar sana Patreon terkenal sebagai salah satu platform yang mewadahi para kreator untuk berkarya. Solusi yang disediakan berupa platform yang bisa menghubungkan langsung para kreator dengan para fans, dengan demikian kreator bisa membuat konten eksklusif untuk para penggemarnya, tentunya ada transaksi di dalamnya.

Di Indonesia KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe mereplikasinya. Para kreator atau pekerja seni bisa mendapat penghasilan dari karya yang mereka buat. Mengingat di Indonesia angka pembajakan dan klaim karya orang lain (bisa disebut pencurian konten) yang masih tinggi, ketiganya bisa jadi alternatif solusi.

Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi tantangan. Iklim dukungan di Indonesia dan kebiasaan membayar untuk menikmati karya masih tergolong kecil. Masih banyak mereka yang lebih memilih menikmati karya secara gratis, meskipun itu ilegal. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan ketiga platform di atas menjadi besar di Indonesia. Ada potensi ketiganya mengambil peran sebagai jembatan untuk menikmati karya secara legal.

Perjuangan masih di tahap awal

KaryaKarsa mulai diperkenalkan pada Oktober tahun lalu. Startup yang digawangi Ario Tamat ini disebut sudah memilki 1000 kreator yang sudah melalui proses kurasi. Di awal kemunculannya, KaryaKarsa memulai dengan para comic artist/ilustrator.

“Pada awal tahun 2020 kami sudah berhasil mencapai Rp 100 juta total pemasukan terkumpul atas nama kreator, yang biasanya kami bagikan ke kreator seperti gajian melalui #gajiandiKaryaKarsa,” terang Ario.

Hampir di saat yang bersamaan, Miftah Mizwar, Rizki Lizuardi, dan Budi Satria Wijaya mulai memperkenalkan Trakteer. Dirilis pada tanggal 17 Agustus 2019 pihak Trakteer mengklaim sudah memiliki 3000 kreator dan 17.000 pendukung.

“Pada tahun 2020, selain kami fokus untuk bisa berkolaborasi dengan konten kreator di Indonesia, kami juga berusaha untuk terus mengembangkan platform ini menuju versi final dan pengembangan aplikasi mobile. Hingga nantinya bisa benar benar memudahkan kreator dalam membuat karya, juga bersahabat bagi supporter untuk mendukung dan menikmati konten di Trakteer,” terang Miftah.

Sedikit berbeda, SociaBuzz Tribe bukanlah sebuah platform khusus dukungan karya, tetapi merupakan sebuah fitur yang tergabung dengan platform SociaBuzz, sebuah marketplace jasa kreatif dan influencer marketing.

Di bawah kepemimpinan Rade Tampubolon, SociaBuzz saat ini sudah memiliki 39.000 talenta dan kreator konten. Fitur SocioBuzz Tribe sendiri sudah masuk ke dalam roadmap pengembangan sejak tahun 2017 silam. Hingga akhirnya mulai diperkenalkan tahun ini.

Saat ini semuanya masih dalam tahap awal. Masih ada pekerjaan yang harus dibenahi sambil membuktikan bahwa sistem dan model bisnis bekerja dengan baik.

Membantu kreator hidup dari karyanya

Mereplikasi konsep Patreon untuk dibawa ke Indonesia tentunya memiliki risiko, salah satunya pasar Indonesia yang cukup berbeda. Memastikan kreator yang bergabung mendapatkan pendapatan dan mengajak penikmat karya bergabung adalah salah satunya.

Bagi Ario, tantangan terbesar yang dihadapi KaryaKarsa adalah membuat kreator mendapat penghasilan yang berkesinambungan dan bagi para penggemar bisa mendapatkan karya yang mereka inginkan. Kini KaryaKarsa juga tengah menjajaki kerja sama dengan kelompok atau organisasi yang memiliki massa.

“Jumlah kreator kami yang mendapatkan dukungan semakin tinggi, tapi PR-nya adalah bagaimana kreator-kreator lain juga dapat menemukan formula yang pas antara kreator dan penikmat karya supaya kreator dapat berpenghasilan dan penikmat karya mendapat karya yang mereka inginkan secara berkesinambungan. Apakah orang mau membayar untuk konten sudah bukan pertanyaan lagi, tapi bagaimana kami dapat memberdayakan kreator supaya dapat ‘Hidup Dari Karya’,” terang Ario. .

Hal senada dilontarkan Miftah. Menurutnya, sekarang masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa dengan dunia digital. Masalah pembayaran juga mulai hilang berangsur dengan hadirnya pilihan uang elektronik yang beragam. Ini adalah satu hal penting yang bisa jadi awal berkembangnya layanan seperti Trakteer.

“Intinya sih kebutuhan dan kemudahan dalam transaksi membantu model bisnis ini bisa diterima di masyarakat. Kami kira sudah ada model bisnis serupa yang mulai digunakan dan diterima di masyarakat, seperti berlangganan/tip pada aplikasi komik, streaming, hingga konten dalam bentuk tulisan. PR-nya adalah tentang bagaimana kita mengedukasi pengguna agar mengerti terkait sistem dan layanan yang ditawarkan,” lanjut Miftah.

Karyakarsa Creator Appreciation Platform to Target 1000 Creators in a Years

Karyakarsa creator appreciation platform is finally launched to the public. After three-month preparation, the new startup claims to have 100 creators joined the platform.

After being introduced in June 2019, Karyakarsa starts the engine by having a discussion with the creators on Friday (9/13). As the Founder and CEO, Ario Tamat and the Advisor, Pandji Pragiwaksono and Aria Rajasa also participated in the event.

It has come to the conclusion that there’s an alternative income for the creators from their fans. Karyakarsa has adopted the Patreon concept for the local market, they tried to fill up the blank on the platform which can connect creators with their fans.

“Imagine if the 1,000 people willing to give Rp10,000, it’ll make Rp10 million,” Ario explained.

Indonesian creator is said to have difficulty for alternative income besides sponsor, endorsement, or merchandise using basic support as fans. On the other side, Karyakarsa, on its research, found 36 million people willing to pay for their favorite creators.

Fanbase becomes essential in this business model. The more fans, the bigger amount will get into the creator’s pocket. The fundraising method is ‘pay as you go’, means the fans can give as many they want anytime they will. Meanwhile, the subscription option is still on progress.

Karyakarsa to take 10 percent of each transaction made on the platform. “It includes the transaction fee and others,” he added.

To date, Gopay is still the only payment method on Karyakarsa, Ovo is soon available. He also mentioned that they’ve tried adding bank transfer method for the bigger amount.

From the 100 registered creators, the other hundred is going to register soon. Ario has in mind to target 1,000 creators within a year.

In addition to acquiring creators, as a bootstrap business, he currently looking for investors to expand Karyakarsa. He also said this platform is to grow bigger, considering the big market and healthy competition.

“It means validation, a big potential, and our belief in fans that willing to pay, it doesn’t matter who’s the winner,” he said.

Karyakarsa is currently accessible through the website. From all creators who joined the platform, some are popular names, such as Pandji Pragiwaksono, Sunny Gho the comic, Ditta Sarasvati the illustrator, and Bena Kribo the content creator.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Apresiasi Kreator Karyakarsa Targetkan Gandeng 1000 Kreator dalam Setahun

Platform apresiasi kreator Karyakarsa akhirnya memperkenalkan diri ke publik. Tiga bulan mempersiapkan diri, startup baru ini mengklaim 100 kreator sudah bergabung ke dalam platform tersebut.

Memperkenalkan diri sejak Juni 2019, Karyakarsa langsung tancap gas dengan mengadakan diskusi dengan para kreator pada Jumat (13/9) lalu. Dalam kesempatan itu hadir CEO dan Founder Karyakarsa Ario Tamat dan Advisor Pandji Pragiwaksono dan Aria Rajasa.

Diskusi itu menyepakati bahwa ada alternatif pemasukan yang dapat dinikmati para kreator dari penikmat karya mereka. Karyakarsa, mengadopsi konsep Patreon untuk pasar lokal, menyadari hal itu dan berusaha mengisi kekosongan platform yang dapat menjembatani kreator dan penikmat karyanya.

“Coba bayangin aja dari 1.000 orang masing-masing kasih Rp10.000, sudah dapat Rp10 juta,” ujar Ario memberi contoh.

Kreator di Indonesia selama ini dianggap memiliki kesulitan dalam memperoleh arus pemasukan alternatif di samping sponsor, endorsement, atau merchandise dengan memanfaatkan dukungan basis penikmat karya. Di sisi lain, Karyakarsa, dalam risetnya, menemukan ada 36 juta orang yang rela mengeluarkan uangnya untuk menikmati karya kreator idolanya.

Fanbase menjadi penting dalam model bisnis urun dana Karyakarsa ini. Semakin besar jumlah penikmat karya, kemungkinan pemasukan yang masuk ke pundi-pundi kreator pun akan lebih besar. Metode urun dana yang dipakai Karyakarsa masih pay as you go, artinya penikmat karya dapat memberikan uang kapan pun dan berapa pun yang mereka kehendaki. Sementara untuk opsi berlangganan yang pada peluncuran lalu diumumkan masih menunggu waktu untuk diberlakukan.

Karyakarsa sendiri akan mengutip 10 persen dari setiap transaksi yang terjadi dalam platform mereka. “Itu sudah termasuk biaya transaksi dan lainnya,” imbuh Ario.

Sejauh ini Gopay masih menjadi satu-satunya metode pembayaran yang dapat dipakai di Karyakarsa–yang segera disusul Ovo dalam waktu dekat. Ario menambahkan, pihaknya juga mengupayakan metode transfer bank untuk mengakomodasi nominal yang lebih besar.

Dari 100 kreator yang sudah terdaftar, ada 100 kreator lainnya yang segera bergabung dengan Karyakarsa. Menurut Ario, jumlah kreator yang ditargetkan bergabung sebanyak 1.000 dalam satu tahun ini.

Selain fokus menjaring lebih banyak kreator untuk bergabung, Ario mengaku masih mencari investor untuk membesarkan Karyakarsa yang masih bersifat bootstrap ini. Ia meyakini platform apresiasi untuk kreator ini dapat berkembang lebih jauh mengingat potensi pasarnya yang besar plus kompetisi yang sehat.

“Itu berarti ada validasi, potensinya benar, dan kepercayaan kita bahwa fan mau bayar karya itu benar, tinggal siapa yang menang itu masalah lain,” pungkas Ario.

Karyakarsa saat ini hanya dapat diakses melalui situs web. Dari sekian banyak kreator yang sudah bergabung, beberapa di antaranya sudah punya nama besar seperti komika Pandji Pragiwaksono, komikus Sunny Gho, ilustrator Ditta Sarasvati, hingga konten kreator Bena Kribo.

Platform KaryaKarsa dan Upaya Memberdayakan Pekerja Kreatif

Menjadi tempat bagi para penggemar untuk mengapresiasi karya para kreator, demikian platform KaryaKarsa diperkenalkan. Diprakarsai oleh Ario Tamat, orang yang juga berada di balik Ohdio dan Wooz.in, platform tersebut mengusung semangat “berdaya untuk berkarya”. Cita-citanya, membantu para pengembang konten kreatif untuk tetap berkarya dari apresiasi penggemar dalam bentuk tip atau berlangganan.

KaryaKarsa memiliki konsep yang serupa dengan Patreon, yang sudah berhasil membantu 70 ribu kreator terhubung dengan para penggemarnya. Esensi mereka adalah memudahkan penikmat karya berkontribusi dalam bentuk uang sehingga bisa membantu penghasilan kreator yang mereka gemari.

“Ide mengenai KaryaKarsa sendiri sudah berputar-putar dalam kepala sejak 2 tahun lalu, salah satu ide yang menurut saya perlu dicoba untuk industri musik. Titik awalnya memang mencari cara supaya musisi indie bisa mendapatkan pemasukan tambahan yang bukan sponsor endorsement, manggung atau jual merchandise,” jelas Ario.

KaryaKarsa akan memfasilitasi kreativitas di bidang musik, video, audio, ilustrasi, animasi, hingga pakar di bidang tertentu. Ke depannya Ario berharap bisa mendukung sebanyak mungkin karya, yang terpenting konsisten berproduksi dan memiliki basis penggemar.

“Target penggunanya tentunya adalah kreator dengan basis fans, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk kreator yang baru akan membangun basis fans. Kami ingin memberikan cara alternatif untuk kreator untuk menghasilkan uang. Pain points yang ingin kami sasar: kemudahan transaksi yang tidak bergantung pada ‘produksi’ sebuah karya, tapi lebih kepada mendukung hidup yang berkarya. Membentuk sebuah aliran penghasilan yang lebih mudah diprediksi untuk kreator,” jelas Ario.

Kontribusi pendanaan via e-money

KaryaKarsa paham betul teknologi mampu menjadi solusi untuk fondasi inisiatif ini. Platform tersebut memungkinkan kreator untuk membuat akun yang nantinya menjadi jembatan penghubung dengan para penggemarnya. Beberapa fitur yang ditawarkan antara lain keleluasaan mengatur tingkatan pendanaan yang bisa diberikan.

Untuk menjaga interaksi, kreator juga bisa menawarkan konten eksklusif yang hanya bisa diakses melalui KaryaKarsa pada tingkat pendanaan tertentu. Atau bisa menawarkan kegiatan lain seperti jumpa penggemar, mini konser dan interaksi lainnya. Untuk memudahkan proses pendanaan KaryaKarsa memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh e-money, seperti Go-Pay dan Ovo.

“Dengan kontribusi melalui tingkatan-tingkatan pendanaan yang diatur oleh kreator, fans dapat menikmati apa pun yang sudah diatur oleh kreator untuk tiap tingkatan tersebut. Menimbang bahwa interaksi antara fans dan kreator itu rentang, jenis dan dinamikanya luas sekali, kami memilih untuk memfokuskan untuk memudahkan transaksi antara fans dan kreator dulu.”

Masih dalam tahap pengembangan

Untuk membangun KaryaKarsa, Ario dibantu oleh Pandji Pragiwaksono dan Aria Rajasa sebagai advisor. Platformnya sendiri saat ini masih dalam tahap riset dan pengembangan dan terus menanti masukan dan usulan dari banyak pihak.

“Untuk saat ini kami ingin fokus riset data dan membangun sistemnya, untuk dapat meluncur di tahun 2019 dengan beberapa kreator. Kami ingin memastikan dengan benar bahwa konsep ini akan sehat, berkembang dan berkesinambungan,” tutup Ario.