Paylater Jadi Metode Pembayaran Harian, Penggunaan Kian Meluas

Hasil riset Kredivo dan Katadata Insight Center menyebut paylater menjadi stimulus daya beli masyarakat dalam berbelanja online. Persentasenya mencapai 16,2%, lebih unggul dibanding metode transfer bank (10,2%) yang berada di urutan keempat. Urutan pertama ditempati oleh e-wallet (46,8%), disusul tunai/cash on delivery (22,6%).

“Sekarang orang pakai paylater untuk belanja online. Mulai ada kenyamanan. Dulu kan cuma untuk kebutuhan mendesak,” ujar Direktur Katadata Insight Center Adek Roza, seperti dikutip dari Tempo.

Dalam riset tahunan bertajuk “Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia”, menyoroti persentase pengguna layanan paylater dalam platform e-commerce naik signifikan, dari 28,2% di 2022 menjadi 45,9% di 2023. Sementara itu, sebanyak 60,9% responden yang telah menggunakan paylater menyebutkan bahwa platform tersebut merupakan kredit pertama yang mereka dapatkan, terutama bagi socio-economic status (SES) C.

Seiring dengan edukasi terkait paylater, pengguna pun mulai beralih menjadi metode pembayaran kebutuhan harian. Di antaranya untuk belanja barang (87,1%), tagihan bulanan (51,8%), serta pulsa dan paket internet (48,9%).

Adapun kategori barang yang paling banyak dibeli menggunakan paylater adalah fesyen (66,4%), perlengkapan rumah tangga (52,2%), elektronik (41,1%), gadget/komputer (34,5%), dan perawatan tubuh dan kecantikan (32,9%).

Temuan ini menarik karena kini konsumen membeli tidak hanya produk mahal, tetapi juga produk untuk kebutuhan sehari-hari. Meningkatnya aktivitas di luar rumah membuat masyarakat semakin memperhatikan penampilan diri sehingga kebutuhan terhadap produk fesyen semakin meningkat.

Selain itu, pola penggunaan paylater telah berubah menjadi lebih banyak digunakan untuk berbelanja kebutuhan bulanan dengan cicilan tenor pendek (56,8%), alih-alih untuk kebutuhan mendadak (52,1%). Perubahan ini terjadi seiring semakin tingginya tingkat pengetahuan pengguna mengenai paylater yang kini berada di angka 32,0 (level tinggi) dibanding tahun sebelumnya di angka 26,0 (level sedang).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyampaikan kehadiran paylater perlu diakui cukup memberikan manfaat ketersediaan akses kredit yang aman, terjangkau, dan mudah bagi hampir seluruh lapisan masyarakat. Studi ini juga menguatkan bahwa paylater tidak hanya digunakan untuk kebutuhan mendesak, tapi sebagai metode pembayaran yang efisien untuk bertransaksi sehari-hari.

“Ke depannya, seiring penggunaan paylater yang meningkat, maka akan semakin meningkatkan multiplier effect atau dampak turunan panjang bagi industri ekonomi digital ini, mulai dari percepatan pembangunan infrastruktur hingga penyerapan tenaga kerja yang akan berdampak pada perputaran roda perekonomian,” terang Bhima.

Sebagai catatan, riset ini memanfaatkan 22 juta sampel transaksi yang berasal dari 2,2 juta sampel pengguna Kredivo di 34 provinsi dan di enam platform e-commerce di Indonesia pada periode Januari hingga Desember 2022.

Hasil temuan perilaku belanja online lainnya

  1. Konsistensi peningkatan transaksi di kota tier 2 dan 3, dengan kenaikan sebesar 33% di 2020, 36% di 2021, dan 43% di 2022, meskipun nilai transaksi masih didominasi oleh kota tier 1 yaitu sebanyak 57%. Hal ini menandakan daya beli masyarakat di kota tier 2 dan 3 yang terjaga memasuki masa pasca pandemi dan pangsa e-commerce yang semakin luas ke daerah.
  2. Konsumen lebih tua semakin adaptif dengan penggunaan e-commerce dengan kenaikan konsisten dalam 3 tahun terakhir yaitu kelompok umur 36-45 dari 19% (2020) menjadi 24% (2022), dan kelompok umur 46-55 tahun dari 4% (2020) menjadi 6% (2022). Penetrasi e-commerce yang sudah mencapai satu dekade berdampak pada daya beli konsumen lebih tua di e-commerce yang juga terus bertumbuh.
  3. Memasuki masa pasca-pandemi, terjadi pergeseran pola belanja masyarakat dengan perilaku belanja kombinasi online dan offline menjadi tren. Sebanyak 79,1% konsumen memilih menggunakan metode belanja kombinasi online dan offline, dengan 21% dari total presentasi tersebut lebih banyak melakukan pembelian secara offline dan 58,1% lebih banyak melakukan pembelian secara online. Sementara itu, tren belanja online tanpa kombinasi secara offline mengalami penurunan dari yang sebelumnya 28% menjadi 18,7%.
  4. Tren pergeseran juga terlihat dari transaksi per kategori produk, dengan turunnya nilai transaksi gadget di 2022 sebelumnya 37% menjadi 33,7% yoy. Sementara terjadi kenaikan nilai transaksi di produk fashion dari 12,9% menjadi 15,6% yoy. Tren ini sejalan dengan mulai kembalinya aktivitas offline masyarakat di masa transisi pandemi 2022.
  5. Tren preferensi belanja yang beragam berdasarkan kelompok umur, status perkawinan, dan jumlah anak. Pulsa dan voucher menjadi kebutuhan paling diminati oleh konsumen berdasarkan kelompok umur, sementara konsumen lajang paling banyak bertransaksi untuk gadget, dan konsumen dengan 1-2 anak paling banyak membeli produk kategori anak dan bayi sedangkan konsumen dengan 3-5 anak cenderung lebih fokus pada peralatan rumah tangga dan makanan.
  6. Meskipun secara keseluruhan transaksi 2022 meningkat dibanding 2021, terdapat penurunan di kuartal IV 2022 akibat isu resesi dan gejolak ekonomi global, dengan nilai transaksi Q4 sebesar 38,6% menjadi 33,3% yoy.

Survei Literasi Digital 2022: “Digital Culture” Meningkat, Namun “Digital Safety” Masih Rendah

Kementerian Kominfo bersama Katadata Insight Center meluncurkan Hasil Survei Status Literasi Digital 2022. Dalam laporan tersebut terungkap beberapa fakta menarik, di antaranya Indeks Literasi Digital Nasional mendapatkan skor 3,54. Pilar Digital Culture secara umum mendapatkan skor indeks tertinggi (3,84), sedangkan pilar Digital Safety mendapatkan skor indeks terendah (3,12).

Pengukuran Indeks Literasi Digital dilakukan melalui survei tatap muka yang dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2022. Survei Status Literasi Digital Indonesia melibatkan 10.000 di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota responden dengan metode multistage random sampling.

Menurut Direktur Pemberdayaan Informatika Bonifasius W. Pudjianto, hasil survei ini yang menghasilkan data berupa indeks, menjadi acuan bagi pemerintah untuk melihat kesuksesan kinerja dan melakukan perbaikan di area yang masih kurang. Dengan demikian bisa meningkatkan kolaborasi dengan kementrian lainnya hingga pihak terkait untuk meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia.

“Indeks ini penting untuk mengukur apa yang sudah kita hasilkan selama beberapa tahun terakhir. Literasi digital sebagai program nasional yang kita lancarkan sampai tahun 2024 mendatang, kami memiliki target bisa menjangkau sekitar 50 juta masyarakat Indonesia diberikan literasi digital. Dan semua bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan semua pihak terkait.”

Pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2022 mengacu kepada kerangka kerja dalam Road Map Literasi Digital 2020-2024. Kerangka kerja ini digunakan sebagai basis untuk merancang program dan kurikulum Program Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia 2020-2024.

Akses penggunaan internet

Dalam laporan tersebut terungkap, kebanyakan responden (85%) mengakses internet melalui handphone, sehingga mereka bisa mengakses internet di mana saja. Responden paling sering mengakses internet pada waktu petang di pukul 19.01 s/d 21.00 waktu setempat setelah mereka melakukan aktivitas sehari-hari. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas penggunaan internet cenderung menurun, khususnya setelah pukul 07.00.

Tercatat Gen-Y dan Z cenderung mengakses internet lebih lama dibandingkan kelompok usia lainnya. Pada kelompok muda ini, lebih banyak responden yang mengakses internet lebih dari 6 jam per harinya, sedangkan kebanyakan GEN-X dan Boomers mengakses selama 1 s/d 4 jam.

Dalam laporan juga terungkap media sosial merupakan sumber informasi terbesar bagi 72,6% responden. Begitu juga dengan televisi dan berita online yang secara konsisten menempati posisi sumber informasi kedua dan ketiga, dengan persentase 60% dan 27,5% di tahun ini.

Media sosial secara konsisten menjadi sumber informasi terpercaya kedua selama tiga tahun terakhir. Persentase responden yang mempercayai media ini secara signifikan meningkat. WhatsApp, Facebook, dan YouTube adalah tiga media sosial yang digunakan oleh lebih dari 70% responden selama tiga tahun terakhir.

Menurut Ketua Umum Siberkreasi Donny Budi Utoyo, besarnya kepercayaan masyarakat Indonesia kepada media sosial dalam hal pencarian informasi patut dicermati secara khusus. Hal ini memungkinkan besarnya penyebaran berita yang tidak benar atau disinformasi, dilihat dari cara kerja media sosial yang bukan hanya memberikan informasi yang benar namun juga berita yang tidak benar atau Hoax.

“Media sosial menjadi sumber informasi yang dipercaya nomor dua setelah televisi patut diperhatikan. Hal ini tentunya menjadi tidak masalah jika informasi yang dicari adalah benar atau konten positif, namun akan berbahaya jika berita tersebut adalah hoax,” kata Donny.

Menurut Donny penting bagi instansi pemerintah hingga pihak terkait seperti pemberitaan televisi lainnya memperhatikan hasil laporan ini. Meskipun ada kecenderungan penurunan jumlah responden yang mempercayai televisi sebagai sumber informasi di tahun 2022, namun media ini masih menjadi media yang paling banyak diakses oleh 43% responden.

Pentingnya digital safety

Hal menarik yang kemudian terungkap dalam laporan tersebut adalah, Digital Safety merupakan salah satu pilar yang mengalami kenaikan paling sedikit. Pada
pilar ini, sebagian besar dikontribusikan pada indikator terbiasa membuat password yang aman dengan kombinasi angka, huruf, dan tanda baca. Sedangkan indikator kemampuan membedakan e-mail berisi spam/virus/malware berkontribusi paling kecil.

Persoalan tentang data pribadi juga menjadi salah satu poin yang dibahas dalam laporan tersebut. Makin maraknya kasus kebocoran data-data pribadi yang terjadi saat ini, menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan terhadap data pribadi mereka. UU No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada Oktober 2022 diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kebocoran dan penyalahgunaan data dan risiko kejahatan siber lainnya.

Survei terhadap 10.000 responden secara nasional ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk tidak mengunggah data pribadi ke media sosial sudah relatif baik. Namun masyarakat masih perlu lebih berhati-hati agar terhindar dari berbagai kemungkinan serangan siber.

Menurut Donny menjadi penting bagi pihak terkait untuk memberikan dukungan dan panduan secara hands-on atau secara langsung kepada masyarakat Indonesia terkait dengan perlindungan data dan membagikannya secara online. Dengan demikian bisa meningkatkan kesadaran mereka terkait dengan pentinganya digital safety.

“Penerapan digital safety harus hands-on. Artinya akan lihat bagaimana menyesuaikan program yang terkait dengan digital security, bukan sekadar cara menggunakan Zoom saja, tapi untuk praktik harus hands-on, mulai dari cara install terkait dengan digital safety,” kata Donny.

EV-DCI 2022: Daya Saing Digital Antarprovinsi Makin Merata

Laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2022 menunjukkan tren positif untuk daya saing digital antarprovinsi di Indonesia yang semakin merata. Provinsi di luar Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Lampung, Aceh, NTT, dan Kalimantan Tengah, memiliki pertumbuhan skor lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa.

Laporan ini disusun East Ventures, Katadata Insight Center, dan PwC Indonesia. Tim EV-DCI mengukur perbandingan daya saing digital 34 provinsi dan kota/kabupaten di Indonesia dalam bentuk indeks, yang terdiri dari tiga aspek utama atau sub-indeks, yaitu input, output, dan penunjang.

Sub-indeks input dari pilar pembentuk, Sumber Daya Manusia (SDM), penggunaan TIK, dan pengeluaran untuk TIK. Untuk sub-indeks output dibentuk dari pilar perekonomian, kewirausahaan, dan produktivitas dan ketenagakerjaan. Sementara sub-indeks Penunjang dengan pilar infrastruktur, keuangan, serta regulasi dan kapasitas pemerintah daerah.

Hasil kajian tersebut menunjukkan, skor median indeks secara nasional pada 2022 mendapat skor 35,2 dari 32,1 di 2021 (skala 0-100). Angka ini menunjukkan daya saing digital di Indonesia semakin membaik, terlihat dari spread ekor EV-DCI antarprovinsi selama tiga tahun berturut-turut semakin mengecil.

Pada 2020 dan 2021 spread masing-masing 61,9 dan 55,6. Tahun ini hanya 48,3. Nilai spread, atau selisih antara skor provinsi tertinggi, adalah DKI Jakarta 73,2 dan terendah Papua 24,9.

“Semakin kecil nilai spread ini menunjukkan peningkatan daya saing digital dari provinsi-provinsi di urutan menengah dan bawah,” ucap Panel Expert Katadata Insight Center Mulya Amri saat konferensi pers digital, Senin (7/3).

Masih sama halnya dengan tahun lalu, posisi atas daya saing digital antar provinsi di Indonesia masih cenderung didominasi provinsi di Pulau Jawa. Di posisi tengah disusul provinsi yang umumnya berasal dari Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara posisi terbawah masih didominasi provinsi yang umumnya berada di kawasan Timur. Kondisi ini masih terlihat konsisten selama tiga tahun berturut-turut.

Peta Sebaran Skor EV-DCI 2022 di 34 Provinsi di Indonesia / EV-DCI 2022

Skor EV-DCI 2022 tertinggi masih dipegang oleh DKI Jakarta dengan skor 73,2. Sementara itu, di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Jawa Barat dan DI Yogyakarta dengan skor 58,5 dan 49,2. Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi di luar Pulau Jawa yang berhasil masuk ke 10 besar di peringkat 7 dengan kenaikan skor 4,5, dengan skor EV-DCI 2022 sebesar 44,0.

Selain Kalimantan Timur, beberapa provinsi di luar Jawa mengalami peningkatan daya saing digital yang cukup baik. Contohnya, Bengkulu yang mengalami peningkatan skor EV-DCI 2022 tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 7,8 poin menjadi 39,1. Kenaikan skor tersebut membuat Bengkulu naik tujuh peringkat, menjadi 12. Papua Barat dan Lampung juga menunjukkan peningkatan daya saing digital yang signifikan; masing-masing naik 11 peringkat ke posisi 19 dan enam peringkat ke posisi 20.

Penurunan signifikan terjadi pada provinsi Jawa Tengah dan Jambi. Jawa Tengah turun enam peringkat ke posisi 14 dengan skor 38,0 dari skor 42,6 di 2021. Sementara Jambi turun 10 peringkat dari posisi 20 ke 30 dengan skor 31,9 walaupun skornya pada 2022 (31.9) lebih tinggi daripada pada 2021 (30.9).

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Jambi mengalami peningkatan skor, namun provinsi lainnya meningkat dengan lebih baik dibandingkan Jambi dan berhasil mendapatkan peringkat yang lebih tinggi. Secara umum, meskipun terjadi penurunan peringkat pada beberapa daerah, namun skor indeks pada sebagian besar daerah terutama kelompok daerah menengah dan bawah mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi digital daerah di Indonesia.

Operating Partner East Ventures David F. Audy menambahkan, menurunnya peringkat di provinsi bukan menunjukkan terjadi penurunan. Ambil contoh, satu provinsi pertumbuhan ekonominya 5%, tapi ada provinsi lain yang tumbuh lebih tinggi dari itu dan berada peringkat di atas. Provinsi yang tadinya tertinggal, terus mengejar. Sementara provinsi yang besar semakin besar pertumbuhannya pasti makin melambat angka pertumbuhannya.

“Seperti Papua Barat yang sekarang naik 11 peringkat, tapi skornya masih jauh dari DKI Jakarta. Tapi sekarang mediannya makin sempit. Jadi artinya ini makin bagus karena semakin merata, sekarang tinggal menyelesaikan bagaimana bisa lebih cepat lagi adopsi digitalnya,” ucap David.

Pilar infrastruktur yang menjadi pilar tertinggi di tahun sebelumnya juga masih mengalami peningkatan skor pada EV-DCI 2022. Pada EV-DCI 2022, pilar ini meningkat 10,5 poin menjadi 64,8. Spread pada pilar infrastruktur juga mengecil 8,3 poin atau mencapai 79,0 di tahun ini, dibandingkan tahun sebelumnya spread pilar ini sebesar 87,3.

Penurunan kesenjangan daya saing digital di daerah-daerah ini ditunjukkan juga dengan peningkatan skor pada pilar kewirausahaan dan produktivitas. Pilar ini meningkat 10,1 poin menjadi skor 23,6 pada EV-DCI 2022. Selain itu, Pilar regulasi dan kapasitas pemda juga mengalami peningkatan 19,1 poin menjadi 54,6 tahun ini.

EV-DCI 2022
EV-DCI 2022

Riset Kredivo: Opsi Paylater Makin Dipertimbangkan untuk Bayar Belanja Online

Riset Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan sebanyak 27% dari 3560 responden memanfaatkan metode pembayaran paylater saat berbelanja di platform e-commerce selama setahun lalu. Kendati, opsi pembayaran dengan dompet digital masih jadi pilihan utama responden.

Direktur Riset KIC Mulya Amri menjelaskan, dompet digital masih menjadi pilihan utama responden selama setahun terakhir. Namun jumlah pengguna paylater di platform e-commerce mulai meningkat. “Lebih dari 50% pengguna baru menggunakan paylater di e-commerce setahun terakhir atau saat pandemi corona,” ucapnya saat konferensi pers virtual, Rabu (9/6).

Ini adalah tahun kedua KIC dan Kredivo berkolaborasi membuat riset. Pada edisi kali ini “Perilaku Konsumen E-Commerce Indonesia 2021”, juga menganalisis perilaku pembayaran konsumen dan penggunaan paylater di tengah pandemi. KIC memanfaatkan data primer lebih dari 10 juta sampel transaksi dari enam pemain e-commerce terbesar Indonesia sepanjang 2020 dan hampir satu juta sampel pengguna Kredivo dari seluruh Indonesia yang dikumpulkan langsung oleh Kredivo.

Lebih lanjut, dari riset ini mayoritas responden menilai bahwa paylater merupakan alternatif kredit, namun dengan proses yang mudah. Berikut rinciannya:

Selain itu, dalam survei juga turut menanyakan sejauh mana pengetahuan responden terhadap produk paylater. Sebanyak 86% orang menyatakan sudah mengetahui dengan tingkat pengetahuan sedang. Bisa dikatakan, bahwa orang-orang sudah mulai tahu dengan konsep paylater, meski belum memanfaatkan produknya secara langsung. Ini bisa menjadi peluang yang bisa digarap para pemain paylater ke depannya.

Mulya turut menambahkan, hampir seluruh responden (71%) yang menggunakan paylater akan terus menggunakannya. Bahkan sebanyak 49% menyatakan akan meningkatkan penggunaannya.

Hasil riset ini dilakukan dengan melakukan survei online selama 26-30 Maret 2021. Responden mayoritas perempuan (64%), laki-laki (36%). Dari segi usia, sebanyak 68% responden adalah kelompok milenial atau 23-38 tahun. Kemudian, generasi Z (13-22 tahun) 16%, generasi X (39-54 tahun) 15%, dan baby boomer (55-70 tahun) 1%.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, sebanyak 36% responden memiliki pengeluaran Rp2 juta-Rp4 juta, 30% kurang dari Rp2 juta, 21% lebih dari Rp6 juta, dan 13% antara Rp4 juta-Rp6 juta.

Dari data primer Kredivo, KIC menganalisis mengenai Perilaku Konsumen E-Commerce Indonesia 2021. Ditemukan sejumlah temuan bahwa:

  1. Terjadi peningkatan rata-rata nilai transaksi secara konsisten di hampir semua kategori produk yang disebabkan oleh konsumen yang bergeser ke pembelanjaan secara online. Hal ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap transaksi digital, walaupun distribusi belum merata di beberapa wilayah.
  1. Konsumen yang berusia lebih tua semakin nyaman berbelanja online. Di tengah dominasi gen Z dan milenial, generasi X (kelompok usia 36-45) mengalami peningkatan jumlah transaksi berbelanja online dari 13% pada 2019 menjadi 19% pada 2020.
  1. Pandemi ubah preferensi belanja konsumen saat bertransaksi online. Karena konsumen lebih banyak beraktivitas dari rumah, pandemi mendorong konsumen untuk membeli produk yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi belanja produk non-pokok. Ini terlihat dari penurunan volume transaksi produk fashion (30% di tahun 2019 menjadi 22% di tahun 2020) sedangkan terjadi peningkatan signifikan di kategori produk seperti peralatan rumah tangga, isi ulang pulsa dan voucher, serta makanan.
  1. Promosi dan festival belanja online masih efektif tarik konsumen untuk berbelanja. Hari Belanja Online Nasional (12.12) dan festival belanja tanggal kembar seperti 9.9 dan 11.11 terbukti masih efektif dalam menarik konsumen untuk berbelanja. Jumlah rata-rata transaksi pada tanggal 11.11 dan 12.12 tahun 2020 meningkat hingga 3 kali rata-rata transaksi harian tahun 2020.

“Riset yang dilakukan Kredivo bersama Katadata Insight Center tahun ini memperkuat kesimpulan kami bahwa adopsi e-commerce akan terus meningkat tiap tahunnya. Di samping meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap e-commerce, pandemi juga mendorong masyarakat untuk berpindah ke transaksi digital [..],” tandas VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari.

Application Information Will Show Up Here

Riset Kredivo: Tren Positif E-commerce Masih Berlanjut Sampai Masa Pandemi

E-commerce menjadi salah satu sektor digital yang menguat selama era pandemi ini. Platform kredit online Kredivo yang fokus di transaksi e-commerce turut mendapat pengaruh baik itu. Namun disampaikan oleh perwakilan perusahaan, pengaruh baik itu juga tak lepas dari capaian mereka di sepanjang 2019.

Untuk mendalami tren yang ada, Kredivo bekerja sama dengan Katadata Insight Center melakukan analisis data primer dari 10 juta lebih transaksi dari 1 juta pengguna Kredivo di enam e-commerce meliputi Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, Blibli, dan JD.ID sepanjang 2019.

Ada beberapa poin penting yang dikemukakan riset ini. Namun yang menjadi fokus utama dari riset ini adalah transaksi selama 2019 yang cukup kuat. Salah satu indikatornya adalah peningkatan transaksi hingga 22% dibanding rata-rata jumlah transaksi bulanan.

Direktur Riset Katadata Insight Center Mulya Amri menjelaskan bahwa dalam kurun setahun pengguna Kredivo menimbulkan pola belanja tertentu di e-commerce tiap bulan. Januari dan Februari menunjukkan transaksi mereka jauh di bawah rata-rata. Baru pada Mei kenaikan transaksi yang signifikan mulai terlihat.

Mulya menyebut hal itu tak lepas dari faktor hari raya Idulfitri, nilai transaksi pengguna di e-commerce naik signifikan. Turun di Juni, jumlah transaksi stabil naik dari Juli dan memuncak di Desember dengan yang mencapai 22% di atas rata-rata. Program Harbolnas 12.12 tahun lalu misalnya berhasil mendongkrak jumlah transaksi harian hingga lima kali lipat.

Perbandingan nilai transaksi e-commerce dalam momen-momen tertentu / Kredivo
Perbandingan nilai transaksi e-commerce dalam momen-momen tertentu / Kredivo

Temuan-temuan menarik perilaku konsumen e-commerce

Riset ini juga berhasil merekam temuan-temuan menarik terkait perilaku konsumen e-commerce yang menggunakan layanan Kredivo. Mulai dari temuan kelompok umur Generasi Z (18-25 tahun) dan Milenial (26-35 tahun) menghabiskan uang paling banyak dari pendapatannya untuk berbelanja di e-commerce masing-masing dengan rasio 4,7% dan 5,1%. Temuan ini berbanding lurus dengan literasi layanan digital yang lebih mapan di dua kelompok usia tersebut.

Dari aspek perilaku, riset ini mendapati pola-pola tertentu konsumen Kredivo berbelanja. Contohnya adalah jam tersibuk mereka untuk belanja adalah di sepanjang hari kerja dengan pengecualian Senin. Lalu jika dilihat lebih rinci lagi, jam makan siang dan jam makan malam hingga jelang tidur sebagai waktu paling ramai terjadinya transaksi di e-commerce. Sementara secara nilai transaksi, orang-orang lebih banyak mengeluarkan uang dalam satu transaksi pada akhir pekan.

Riset ini juga menemukan bahwa perempuan punya kecenderungan lebih sering belanja di e-commerce dalam setahun yang rata-rata bisa mencapai 26 kali. Namun laki-laki ternyata lebih murah hati merogoh koceknya saat berbelanja karena rata-rata nilai transaksi mereka lebih besar dari konsumen perempuan dengan Rp227.526 per transaksi.

Perbandingan jumlah transaksi e-commerce pengguna pria dan wanita / Kredivo
Perbandingan jumlah transaksi e-commerce pengguna laki-laki dan perempuan / Kredivo

Sementara dari sisi produk, kategori fesyen, kosmetik, dan gadget masih jadi primadona di kalangan pengguna Kredivo yang berbelanja di e-commerce. Produk fesyen dan kecantikan mendominasi secara jumlah transaksi yang mencapai 30% dan 16%, sementara produk gadget dan aksesorisnya mendominasi dengan angka 33% secara nilai transaksi.

General Manager Kredivo Lily Suriani mengatakan, pihaknya berniat memperluas tren positif di sejumlah kategori tersebut dengan memperluas jangkauannya yang saat ini sudah menggandeng lebih dari 300 merchant online khususnya di kategori fesyen. “Ada beberapa yang kita sedang tahap integrasi dengan pemain-pemain fashion besar. Tidak menutup kemungkinan juga dengan kategori lain yang punya nilai transaksi tinggi seperti gadget dan elektronik,” jelas Lily.

Ada sedikit pergeseran

Lily menyebut Kredivo memiliki hampir 2 juta pengguna saat ini. Ia mengklaim jumlah pengguna baru dan yang mengajukan kredit terus meningkat tak hanya di tahun lalu tapi juga hingga sekarang. Menurut Lily hal itu tak lepas dari penetrasi internet yang terus membaik di Indonesia serta kepercayaan konsumen dalam bertransaksi online yang terus meningkat baik dari frekuensinya maupun nilainya.

Head of Marketing & Alliances Kredivo Indina Andamari mengklaim capaian positif di tahun lalu itu masih terlihat setidaknya di satu semester 2020. Dari aspek perilaku konsumen menurut Indina hal itu masih terjaga. Namun ia juga mengakui bahwa ada pergeseran terutama dari besaran nominal yang dibelanjakan konsumen mengingat pandemi mengharuskan banyak orang memperketat bujetnya.

“Tapi memang ada pergeseran juga di pengeluaran mereka dengan kondisi ekonomi seperti sekarang yang banyak mengalami kesulitan ekonomi jadi secara nilai rata-rata agak menurun sedikit,” imbuh Indina.

Application Information Will Show Up Here