Menilik Peluang Digitalisasi Sektor Perdagangan Indonesia

Sektor perdagangan masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyumbang 13-14 % dari PDB negara. Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya di tahun 2019 juga menegaskan harapannya agar Indonesia bisa masuk dalam lima besar ekonomi terkuat dunia dengan tingkat kemiskinan mendekati 0 persen di 2045 mendatang.

Pertumbuhan sektor ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian negara dan UMKM. Selain itu, kehadiran banyak pemain teknologi yang mendorong transformasi digital semakin menopang pertumbuhan sektor ini. Indonesia perlu bebenah dan beradaptasi untuk bisa menjaga peluang dan mempercepat pertumbuhan.

Berdasarkan laporan Kearney bertajuk “Capturing the growth of Indonesia’s digital trade sector“, nilai barang dagangan bruto pasar perdagangan Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 3,4 persen CAGR—mencapai Rp2.357 triliun. Namun dibandingkan dengan negara sejenis, sektor ini dinilai bisa tumbuh hingga 7 persen.

Principal Kearney Ishan Nahar mengungkap empat permasalahan utama yang memengaruhi pertumbuhan sektor perdagangan di Indonesia, yaitu kurangnya akses pembiayaan, operasi bisnis yang tidak efektif, persaingan penjualan dan pemasaran yang ketat, serta adopsi transaksi nontunai yang masih terbilang rendah.

UMKM Indonesia disebut hanya menerima 18 persen dari total pinjaman bank dibandingkan dengan negara-negara panutan lainnya dengan rasio mencapai 40 hingga 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usaha kecil di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam mengakses pembiayaan.

Begitu pula dari sisi operasional bisnis, dari sekitar 60 juta UMKM di Indonesia, terdapat kurang dari 30 persen yang mengadopsi solusi digital untuk aktivitas bisnis mereka. Situasi ini menghalangi mereka untuk merasakan manfaat digitalisasi, seperti operasi bisnis yang lebih efektif, kemudian berdampak pada produktivitas yang kurang optimal.

Di luar persaingan serta operasional, satu hal yang juga jadi perhatian adalah adopsi pembayaran digital. Data menunjukkan bahwa rasio pembayaran nontunai saat ini berada di angka 47 persen, yang berarti kebanyakan transaksi ritel masih dilakukan dengan uang tunai. Situasi ini meningkatkan risiko operasi yang tidak efisien, seperti kesalahan pembukuan.

Isu-isu ini terkait dengan struktur sektor perdagangan Indonesia. Transformasi digital adalah jawaban yang jelas untuk membangun struktur tahan masa depan. Dengan transformasi digital, pelaku sektor perdagangan, khususnya UMKM, akan memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitasnya dengan operasional bisnis yang lebih efektif.

Transformasi digital juga menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan meningkatkan pengalaman berbelanja dan memberikan akses peritel tradisional ke pasar yang lebih besar sehingga mereka dapat memperluas operasinya.

Peluang percepatan transformasi digital

Sektor perdagangan Indonesia melibatkan ragam pemain, termasuk sekitar 70 persen UMKM. Peran UMKM sendiri sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dengan jumlahnya yang mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha, kontribusi UMKM terhadap PDB juga mencapai 60,5%.

Laporan dari Kearney ini membandingkan pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia dengan beberapa negara terkemuka (Amerika Serikat, China dan Jepang) serta tiga rekan regionalnya (India, Singapura, dan Malaysia). Terdapat empat inisiatif yang dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia secara digital.

Analisis terkait inisiatif digital untuk mempercepat pertumbuhan di sektor perdagangan Indonesia / Kearney

Pertama, mempercepat adopsi layanan digital yang mutakhir dalam operasional pemain sektor perdagangan utama. Hal ini dilakukan karena masih adanya gap yang cukup besar dari sisi adopsi digital di sektor perdagangan Indonesia.  Digitalisasi yang inklusif diprediksi akan menguntungkan bisnis ritel melalui efektivitas operasional dan peningkatan pengalaman berbelanja pelanggan.

Kedua, memperkuat fondasi industri digital dan meningkatkan kompetensi UMKM. Salah satunya dengan mengembangkan platform UMKM yang memiliki layanan beragam. Hal ini memungkinkan distribusi digitalisasi dan mendorong sinergi antar layanan yang dapat memperkuat fondasi digital UMKM. Fondasi yang kuat akan semakin melancarkan program peningkatan kompetensi digital.

Ketiga, memperluas jangkauan pasar pemain teknologi regional ke kota-kota tier-2 ke bawah. Perusahaan teknologi memiliki peluang besar untuk berekspansi ke kota-kota tier 2-4 untuk menawarkan akses ke pelanggan yang lebih luas dan menciptakan lebih banyak ruang untuk berkembang. Laporan Kearney bersama Alpha JWC juga mengungkap bahwa ekonomi digital di area tier 2 dan 3 diproyeksi tumbuh lima kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Terakhir, peningkatan tata kelola, pendanaan dan penciptaan regulasi yang kondusif. Lingkungan pendanaan pemain teknologi yang kompleks mengharuskan pemerintah untuk melihat dari dua sudut pandang: bagaimana mempermudah akses pemain teknologi ke investasi dan bagaimana menciptakan pasar yang menarik untuk menarik perhatian investor.

Ishan menambahkan, “Untuk mencapai Visi Indonesia 2045, Indonesia harus mengimplementasikan inisiatif nasional yang tepat untuk menyempurnakan struktur sektor perdagangan, terutama dalam meningkatkan UMKM dan layanan pelanggan, memperluas ekosistem sektor perdagangan, serta memperkuat tata kelola, pendanaan, dan lingkungan regulasi.”

Sumber pendanaan dan investasi yang memadai sangat penting untuk memacu transformasi digital di sektor perdagangan Indonesia. Pada tahun 2020, investasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sektor perdagangan dibatasi sebesar Rp5 triliun, dan perkiraan tahun 2030 hanya sebesar Rp15 triliun – atau setara dengan 0,03 hingga 0,04 persen dari PDB.

Sementara itu, investasi TIK rata-rata di negara-negara tetangga regional dan negara-negara terkemuka dengan transformasi digital yang efektif – seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang – adalah 0,25 persen dari PDB. Dengan memperluas investasi TIK untuk sektor perdagangan ke tingkat negara pembanding, pasar e-commerce Indonesia diperkirakan dapat tumbuh sekitar 20 persen CAGR—mencapai Rp 3.729 triliun hingga Rp 4.148 triliun selama dekade berikutnya.

Gambaran percepatan pertumbuhan perdagangan digital di Indonesia / Kearney

Ekosistem Digital di Indonesia

Di Indonesia sendiri, digitalisasi UMKM masih memiliki potensi yang sangat besar. Dari jumlah total UMKM yang mencapai 64 juta, baru sekitar 29 persen UMKM yang digitaly onboard. Masih ada sekitar 71 persen UMKM lainnya yang dapat digarap agar segera bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada di ruang digital.

Dari sisi pembiayaan, sudah banyak platform teknologi yang memungkinkan akses permodalan untuk segmen produktif seperti Akseleran, Modalku dan Koinworks. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sampai Februari penyaluran ke sektor produktif mencapai Rp 8,43 triliun atau 61,21% dari akumulasi penyaluran pembiayaan secara total.

Di samping itu, sektor e-commerce Indonesia merupakan salah satu pasar dengan pertumbuhan terpesat di dunia. Ekonomi digitalnya bernilai sekitar $77 miliar pada tahun ini menurut laporan e-Conomy 2022, dan diprediksi mencapai $130 miliar pada 2025 dengan dominasi dari sektor e-commerce. 

Salah satu yang menopang industri ini adalah hadirnya konsep awal e-commerce enabler untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Beberapa perusahaan yang menawarkan layanan ini termasuk aCommerce, SIRCLO, dan JetCommerce

Alih-alih hanya sebagai kanal transaksi, e-commerce enabler telah menjadi solusi end-to-end sampai ke proses distribusi. Beberapa platform akhirnya meluncur dengan layanan yang lebih spesifik, misalnya manajemen kendaraan logistik truk atau kapal seperti Kargo Tech, Logisly, Andalin dan Waresix yang juga menawarkan layanan manajemen warehouse.

Pentingnya Manajemen Talenta di Tengah Gejolak Industri Teknologi

Industri teknologi Indonesia sedang mengalami gejolak, terlihat dari pemberitaan layoff oleh sejumlah startup. Hal ini sering dikaitkan dengan proyeksi resesi global yang akan terjadi di tahun 2023. Perusahaan gencar melakukan efisiensi dan restrukturisasi demi menghindari dampak yang lebih besar serta memperpanjang runway.

Dalam tindak efisiensi ini, karyawan kerap menjadi salah satu yang paling terdampak. Sementara itu, people atau karyawan  sendiri merupakan aset,  bagian esensial dari operasional bisnis dari sebuah perusahaan. Manajemen karyawan yang baik dapat menentukan bagaimana karier perusahaan ke depannya.

Pada awal bulan ini, Alpha JWC Ventures, bekerja sama dengan Kearney dan GRIT, meluncurkan sebuah laporan bertajuk “ASEAN Growth & Scale Talent Playbook”. Survei dilakukan selama Agustus hingga September 2022, melibatkan lebih dari 600 karyawan di 34 perusahaan dari Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

Laporan ini bertujuan untuk mengedukasi dan membantu para founder atau manajemen startup digital dalam menarik, mengelola, dan mengembangkan sumber daya manusia secara efektif dan berkelanjutan. Dengan persaingan yang ketat, pergeseran mindset, serta tantangan ekonomi yang berlangsung, penting bagi para pemangku kepentingan untuk memahami lanskap SDM ini.

Salah satu temuan yang menarik dari riset ini adalah, 9 dari 10 perusahaan teknologi mengalami kesulitan dalam merekrut karyawan berkualitas terutama yang memiliki kemampuan teknis dan non-teknis. Sebaliknya, 91% karyawan mengaku  terbuka untuk meninggalkan perusahaan mereka bila ada kesempatan baru.

Tantangan yang dihadapi

Laporan ini juga memaparkan beberapa alasan karyawan ingin meninggalkan perusahaan untuk mencari kesempatan baru. Sebanyak 32% responden mengungkapkan bahwa kompensasi, termasuk gaji dan benefit sangat mempengaruhi keputusan mereka. Disebutkan bahwa rata-rata karyawan mempertimbangkan pergi demi 15%-30% kenaikan gaji.

Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi perusahaan rintisan, utamanya startup berskala kecil, jika harus bersaing dengan giant tech companies yang sudah melakukan ekspansi global dan menawarkan kompensasi yang sangat bersaing. Maka dari itu, perusahaan harus bisa menarik minat para talenta dengan hal lain, seperti kultur perusahaan.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Sebanyak 25% responden mempertimbangkan keluar dari perusahaan karena ketidaksamaan visi dan ketidakcocokan budaya. Maka dari itu, kultur atau budaya kerja dalam sebuah perusahaan menjadi esensial ketika dikaitkan dengan loyalitas karyawannya. Di sisi lain, fleksibilitas juga menjadi salah satu aspek yang juga memengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau pergi.

Selain itu, 24% responden merasa adanya kebutuhan akan kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam sebuah perusahaan. Tanpa hal itu, mereka akan merasa stagnan atau tidak berkembang, yang mendorong mereka untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar untuk mendukung pengembangan kemampuan mereka sendiri.

Manajemen talenta yang ideal

ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook ini diluncurkan sebagai buku panduan untuk membantu para startup dalam menghadapi isu di bidang manajemen tenaga kerja. Dalam laporan ini juga disebutkan enam pilar penting yang dapat digunakan perusahaan untuk menarik, membangun, dan mempertahankan tenaga kerja digital.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Partner & President Director Kearney Shirley Santoso mengungkapkan, “Mengembangkan sumber daya manusia yang solid adalah salah satu prioritas terpenting dan kunci utama bagi perusahaan agar visi digital mereka dapat berhasil. Tentunya hal ini baru dapat dicapai dengan adanya usaha bersama antara pimpinan perusahaan dan jajaran lainnya dalam upaya yang berkelanjutan, juga mencakup seluruh tingkat organisasi.”

Turut hadir dalam diskusi panel peluncuran laporan ini, Co-founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan. Ia mengungkapkan bahwa value perusahaan adalah sesuatu yang esensial untuk menjamin keberlangsungan bisnis. Di Bobobox sendiri, ada tiga value yang selalu dipegang erat, yaitu attitude, obsessive curiousity, serta overcommunicate. Menurutnya, tiga nilai ini  dapat menciptakan resistensi perusahaan terhadap berbagai pengaruh negatif yang mengancam.

Co-founder dan CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut ikut membagikan opininya. Ia mengaku masih berjibaku untuk bisa mendapatkan talenta berkualitas, bahkan ia harus merekrut teman atau relasi yang sudah dipercaya untuk membantu di masa awal perusahaan.

Tidak mudah menemukan orang yang memiliki visi yang sama dengan perusahaan yang menjual produk bercita rasa ‘sehat’ dengan harga yang relatif lebih mahal. Hingga kini, perusahaan telah memutuskan untuk mempertahankan jumlah yang relatif kecil sampai beberapa putaran pendanaan ke depan.

Dengan total karyawan sekitar 250 orang, strategi ini terbukti menguntungkan baik bagi perusahaan maupun karyawan. “Kami ingin menjaga agar jumlah kami tetap kecil sehingga setiap keuntungan atau apapun yang dihasilkan perusahaan, semuanya kembali ke sejumlah kecil orang dan kami dapat memberi [karyawan] lebih baik,” ujarnya.

Besarnya Minat Pemodal Ventura Lokal hingga Asing Berinvestasi di Startup Indonesia

Dalam paparan riset yang dilakukan oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney terungkap, masih banyak pemodal ventura lokal hingga asing yang berencana untuk berinvestasi kepada startup Indonesia.

Dalam salah satu rangkaian webinar #StartupUntukNegeri yang diinisiasi Amazon Web Services dan DailySocial, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, saat ini masih tersedia dana simpanan para VC yang telah dibukukan sejak tahun 2020. Namun yang membedakan kegiatan investasi saat pandemi adalah, proses due diligence dan kurasi yang makin ketat.

“Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi. Ke depannya saya melihat akan makin banyak venture capital yang lebih berhati-hati ketika ingin memberikan investasi kepada startup Indonesia.”

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak permodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier 2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

“Kemajuan teknologi juga dibantu dengan penetrasi internet di tanah air serta kemampuan belanja serta pembagunan infrastruktur di Indonesia, menjadi faktor yang kemudian menarik untuk dilirik oleh para investor. Ke depannya saya melihat akan bertambah lagi pertumbuhan digital di ekonomi digital Indonesia,” kata Jefrey.

Ditambahkan olehnya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk menjadi raksasa di regional. Saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk tumbuh, didukung dengan jumlah populasi yang besar, yang didominasi oleh usia produktif dan berbakat.

Edukasi dorong adopsi digital

Menurut Shirley Santoso selaku Partner & Presiden Direktur Kearney, meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi digital masih terkonsentrasi di kota tier 1 seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun melihat potensi yang ada kota di tier 2 seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Demikian juga dengan kota-kota di tier 3 seperti Magelang, Prabumulih, dan lainnya. Yang menjadi tantangan tentunya adalah kemauan dan inisiatif dari mereka untuk mulai mengadopsi teknologi.

“Kebanyakan dari mereka masih belum bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membeli paket data atau menggunakan smartphone. Mereka masih cukup nyaman menggunakan cara-cara tradisional.”

Untuk memicu lebih banyak lagi masyarakat di kota tier 2 dan 3 mengadopsi teknologi, kegiatan edukasi kemudian wajib untuk dilancarkan. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga startup hingga perusahaan teknologi yang ingin meng-cater kebutuhan mereka.

“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kota-kota di tier 2 dan 3, memiliki potensi besar bagi mereka untuk menjadi kontributor inti bagi digital ekonomi di Indonesia ke depannya,” kata Shirley.

Terkait dengan bisnis UMKM, saat ini sudah mulai banyak yang memanfaatkan teknologi untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih baik lagi. Namun kebanyakan dari mereka masih cukup pasif mengurus bisnis, dan hanya terbatas di penjualan, pembukuan, sourcing dan pengaturan inventori. Hanya sedikit di antara mereka yang kemudan menggunakan teknologi secara menyeluruh.

“Mayoritas masih melakukan kegiatan usaha secara tradisional, namun demikian awareness mereka akan produk digital cukup tinggi. Untuk itu penting diberikan edukasi solusi digital yang bisa membantu mereka,” kata Jefrey.

Jefrey menyimpulkan, teknologi dapat mengubah secara positif bagi bisnis UMKM, namun dibutuhkan kegiatan yang lebih untuk mendorong pertumbuhan tersebut yaitu melalui edukasi. Untuk itu bagi startup dan perusahaan teknologi yang ingin menyasar kepada pelaku UMKM, harus ada penawaran yang jelas dan solusi yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Gambar Header: Depositphotos.com

Alpha JWC: Kota Tier 2 dan 3 Menjadi Kunci Lompatan Ekonomi Digital di Indonesia

Alpha JWC Ventures bersama Kearney menerbitkan laporan terbaru terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan di Indonesia. Laporan berjudul “Unlocking the next wave of digital growth: beyond metropolitan Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi dengan Credit Suisse, Amazon Web Service (AWS), dan Xiaomi Indonesia.

Dalam paparannya, Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, pihaknya ingin memberikan pemahaman lebih dalam mengenai potensi pertumbuhan digital di kota-kota tier 2 dan 3 Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menarik minat investor global sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan digital di area tersebut.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) di berbagai industri yang tersebar di 13 kota tier 2 dan 3, serta hasil survei terhadap 2.100 responden consumer dan 1.100 retailer di 23 kota di Indonesia.

Investasi digital Indonesia di 2020

Sebagai pembuka, laporan ini mengungkap investasi digital di Indonesia naik dua kali lipat di 2020 dengan total nilai $4,4 miliar (Rp64,1 triliun) dari $2,1 miliar di 2019. Menariknya, meski total nilai investasi digital naik secara tahunan, jumlah kesepakatan (deal) tercatat turun dari 221 menjadi 173 deal.

“Pandemi Covid-19 membuat investasi startup di early stage hingga Pra Seri A menurun. Startup di later stage dan sudah punya traction bagus, mendapat alokasi pendanaan yang besar. Contoh, Ajaib menerima pendanaan Seri A yang saya pikir terbesar di Indonesia,” ujar Jefrey.

Menurut Jefrey, investor mengucurkan banyak investasi di Indonesia, tetapi masih menahan diri dan berhati-hati. Terlebih due diligence masih sulit dilakukan di situasi pandemi Covid-19. Kendati demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan 15 investor, sebanyak 80% mengaku optimistis investasi di sektor digital bakal kembali naik di Indonesia.

Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain meningkatnya pertumbuhan marko ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Potensi digital non-metropolitan

Salah satu temuan menarik yang turut disoroti dalam laporan ini adalah potensi dan proyeksi kontribusi kota-kota di tier 2 dan 3 terhadap ekonomi digital Indonesia. Untuk memberikan paparan mendalam, Nielsen turut berpartisipasi memetakan informasi yang diperoleh di lapangan.

Berdasarkan klasifikasi laporan ini, tier 1 (metropolitan) terdapat 15 kota, tier 2 (rising urbanites) ada 76 kota, tier 3 (slow adopter) ada 101 kota, dan tier 4 (rigid watchers) ada 322 kota di Indonesia. Periset menggunakan beberapa skor parameter untuk mengklasifikasikan kota, antara lain expenditure per capita (35%), ukuran populasi (25%), penetrasi internet (20%), GDP provinsi (10%), dan kepadatan penduduk (10%).

Secara umum, pertumbuhan ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan 3 diestimasi naik lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dari sejumlah wawancara dengan responden C-Level di startup SME, fintech, dan social commerce, konsumen di tier 2 dan 3 tumbuh signifikan sehingga ekspektasi pertumbuhan dalam 1-2 tahun ke depan diharapkan 50% datang dari luar Pulau Jawa.

Saat ini, metropolitan tercatat masih berkontribusi besar (24%) terhadap GDP nasional. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi di area non-metropolitan juga meningkat pesat. Apabila potensi digital di tier 2 dan 3 dapat dikembangkan secara signifikan, kontribusi GDP-nya dapat naik 3-5% di 2030, dan GDP Jakarta otomatis bakal menyusut 5-6%.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards). Karena dominasi laggards di tier 2 dan 3, sebanyak 50% responden mengaku tidak tahu (aware) dengan sejumlah aktivitas digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Laporan ini menemukan bahwa e-commerce (66%) merupakan aktivitas yang paling dikenali responden. Sementara, awareness untuk aktivitas digital lain tidak sampai 50%, antara lain ride hailing (47%), food delivery (41%), edtech (30%), payment (24%), lending (11%), dan healthtech (5%).

Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebanyak 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan, 44% responden menyebut faktor harga dan promosi, dan 41% terkait ketersediaan produk. Menariknya, beberapa aktivitas digital di kota tier 1 kurang dikenali responden, yaitu lending (15-20%), edtech (<10%), healthtech (<10%). Sementara, awareness ketiga kategori layanan tersebut di tier 2 tak sampai 5%.

Menurut laporan ini, saat ini kota tier 2 dan 3 baru di tahapan memulai adopsi digital dan tertinggal 4-5 tahun adopsinya dari kota tier 1. Namun dalam analisisnya, adopsi di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025 seiring dengan semakin familiar dan terbiasa konsumen menggunakan layanan digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Lebih spesifik lagi, kota tier 2 dinilai lebih siap mendongkrak pertumbuhan digital dibandingkan tier 3 dan 4. Hal ini karena semakin banyak pemain dan enabler yang fokus di area tersebut. Pemerintah juga dinilai mulai menyebarkan fokus pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya.

Yang perlu dipertimbangkan startup dan investor

Menurut Shirley Santoso, Partner dan Presiden Direktur Kearney, kunci untuk bisa melakukan leap frog ekonomi digital di Indonesia terletak pada area tier 2 dan 3. Terlebih dengan situasi pandemi, adopsi digital meningkat signifikan. “Hal ini memicu adopsi di tier 1 menjadi lebih matang dan ruang pertumbuhan mengecil. Ini membuat pelaku startup mulai ‘lari’ ke tier 2 dan 3,” tambah Shirley.

Laporan ini juga mengungkap temuan lainnya yang dapat menjadi pertimbangan startup dan investor dalam mengembangkan fokus bisnisnya ke depan. Responden di Jawa menilai ada tiga perhatian utama dalam  mengadopsi digital, yaitu (1) kemudahaan penggunaan, (2) promosi dan harga, serta (3) ketersediaan produk.

Sebaliknya, responden non-Jawa justru lebih memperhatikan aspek (1) keamanan, (2) kemudahan penggunaan, dan (3) pengiriman dalam menggunakan layanan digital.

Apabila para stakeholder dapat menyelesaikan berbagai concern di atas, termasuk peningkatan infrastruktur, porsi ekonomi digital di tier 2 dan 3 dapat meningkat di 2025. Jika dirinci, kontribusi e-commerce bisa naik dari 30% di 2020 menjadi 48% di 2025. Kontribusi payment dapat melesat dari 22% menjadi 41%, dan ride and delivery naik dari 21% ke 35%.

Secara potensi nilai, GMV e-commerce di tier 2 dan tier 3 diproyeksi naik lima kali lipat dari $9 miliar di 2020 menjadi $45 miliar di 2025, sedangkan GTV payment diestimasi tumbuh tujuh kali lipat menjadi $20 miliar di periode sama dari $3 miliar di 2020. Kemudian, porsi ride hailing and delivery diprediksi naik dari $2 miliar ke $5 miliar.

Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis
Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis

Sejumlah startup tier 1 sebetulnya sudah melakukan ekspansi besar-besaran ke tier 2 dan 3. Dalam catatannya, GrabKios mulai memperluas cakupan di 500 kota, Bukalapak mengklaim telah memiliki 5 juta mitra warung yang terpusat di tier 2 dan 3, serta Tokopedia yang mulai memperluas jangkauan hingga ke pedesaan .

“Krisis yang kita hadapi itu tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kesehatan. Situasi ini memacu kita bagaimana Indonesia dapat mengurus krisis kesehatan dan ekonomi at the same time. Indonesia sudah mulai melakukannya lewat protokol 5M, vaksinasi, dan lainnya. Ini penting untuk bisa melalui krisis dan mendorong kembali segmen travel dan transportasi,” ucap Shirley.