LoL Worlds 2020 Tetap Diselenggarakan, Hadir Bulan Oktober

Gelaran League of Legends World Championship (LoL Worlds) bisa dibilang sebagai satu momen monumental lain bagi ekosistem esports internasional. Kalau Dota 2 The International menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar, LoL Worlds mungkin bisa dibilang menjadi turnamen termegah dan paling menarik perhatian di dunia. Ini terbukti dari gelaran LoL Worlds 2019 yang dikatakan sudah ditonton 21,8 juta orang di dunia.

Tahun 2020, pandemi COVID-19 menyeruak. Beberapa gelaran esports ditunda, bahkan termasuk turnamen internasional League of Legends tengah musim, Mid-Season Invitational. Namun demikian, gelaran LoL Worlds 2020 ternyata tidak dibatalkan, mengutip dari Invenglobal.

Walau akan digelar Oktober 2020 mendatang, namun ini tetap menjadi keputusan yang mengejutkan mengingat keadaan yang masih belum pasti karena pandemi COVID-19. Informasi ini diungkap pada 11 Mei 2020 kemarin lewat konfrensi pers yang dilakukan oleh China Digital Entertainment Expo & Conference atau dikenal dengan ChinaJoy.

Dalam konfrensi pers tersebut, Wei Huang Wakil Direktur Shanghai Pudong District Propaganda mengumumkan bahwa LoL Worlds 2020 tidak akan ditunda, apalagi dibatakan, dan akan diselenggarakan di distrik Shanghai Pudong pada Oktober 2020.

Riot Games pertama kali mengumumkan soal lokasi acara Worlds 2020 pada 10 November 2019. Lewat sebuah video promosi, Riot Games mengungkap Shanghai, salah satu kota terbesar di Tiongkok, sebagai tuan rumah dari Worlds 2020. Namun, belum ada pengumuman soal bulan, apalagi tanggal penyelenggaraan Worlds 2020 ketika itu.

Tahun lalu, LoL Worlds diselenggarakan di 3 negara di Eropa dengan babak Play-In dan Grup di Berlin, Jerman, Semi-Final di Madrid, Spanyol, dan babak Grand Final di Paris, Perancis. Selain menjadi salah satu gelaran esports yang paling banyak ditonton, ajang pembukaan LoL Worlds 2019 yang megah dan berteknologi tinggi juga menjadi pencapaian lain dari Riot Games di ekosistem esports internasional.

Masa pandemi juga berdampak kepada esports, terutama dalam penyelenggaraan turnamen internasional yang biasanya diadakan secara offline. League of Legends mungkin cukup beruntung dan ambisius untuk tetap bisa menjalankan LoL Worlds 2020 di Shanghai pada bulan Oktober.

Namun dari sisi lain ada Valve yang bisa dibilang kurang beruntung, yang terpaksa membatalkan Dota 2 The International 2020 karena kekhawatiran akan pandemi, dan waktu penyelenggaraan yang biasanya diadakan pada bulan Agustus.

LoL Worlds 2020 menjadi gelaran esports lain yang cukup ambisius tetap mengadakan turnamennya di tahun ini. Sebelumnya ada juga CEO 2020, turnamen fighting game yang ambisius untuk tetap mengadakan gelarannya pada Desember 2020 mendatang.

Riot Adakan League of Legends Mid-Season Cup, Tawarkan Hadiah Rp9 Miliar

Riot Games Korea akan menyelenggarakan turnamen Mid-Season Cup (MSC) sebagai pengganti dari Mid-Season Invitational yang harus dibatalkan akibat pandemi virus corona. Kompetisi tersebut akan diadakan selama 4 hari, dimulai pada 28 Mei 2020 sampai 31 Mei 2020. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$600 ribu (sekitar Rp9 miliar).

MSC akan mempertemukan 4 tim terbaik di League of Legends Champions Korea dengan 4 tim teratas di League of Legends Pro League di Tiongkok. Empat tim yang mewakili Korea Selatan adalah T1, Gen.G, DragonX, dan DAMWON Gaming. Sementara 4 tim asal Tiongkok adalah JD Gaming, yang baru saja keluar sebagai juara dari LPL, Top Esports, Invictus Gaming, dan FunPlus Phoenix, yang memenangkan League of Legends World Championship pada tahun lalu.

Mid-season cup
T1 menjadi salah satu perwakilan Korea Selatan di Mid-Season Cup. | Sumber: Inven Global

Mengingat pandemi virus corona masih belum berakhir, MSC akan diadakan dengan format online. Turnamen akan diselnggarakan di server Korea. Riot akan mengusahakan agar ping dari server tidak lebih dari 30-40 m/s. Untuk mencapai hal ini, mereka menggunakan tool dari pihak ketiga.

Riot Games Korea telah memberikan tool yang diperlukan untuk tim-tim Korea Selatan yang akan berlaga di MSC. Tujuannya, agar para pemain bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ping 30-40 m/s karena biasanya, mereka bertanding dengan ping yang lebih rendah. Selain masalah teknis, Riot Games juga berusaha untuk mengantisipasi masalah lain yang muncul, seperti kecurangan. Riot mengatakan, mereka akan memastikan tidak ada pemain yang berbuat curang untuk menjaga integritas pertandingan dalam MSC.

“MSC adalah kompetisi penting yang mempertaruhkan hadiah dalam jumlah besar. Kami akan berusaha keras untuk menjaga integritas dari kompetisi tersebut,” kata perwakilan dari Riot Games pada Inven Global. “Karena kami menaikkan ping server secara artifisial, tidak tertutup kemungkinan akan ada masalah yang muncul pada server. Jika ada masalah yang muncul, kemungkinan, penyelenggaraan turnamen akan terhambat. Dalam kasus terburuk, turnamen akan dibatalkan. Namun, kami akan bekerja keras untuk memastikan para fans esports League of Legends bisa menonton pertandingan yang menarik. Karena itu, kini kami melakukan berbagai tes untuk menguji MSC.”

JD Gaming Jadi Juara League of Legends Pro League

JD Gaming berhasil menjadi juara League of Legends Pro League (LPL) setelah mengalahkan Top Esports pada babak final dengan skor 3-2. Baik JD Gaming dan Top Esports baru didirikan pada 2017. Meskipun begitu, keduanya berhasil mengalahkan tim-tim yang pernah memenangkan League of Legends World Championship, yaitu Invictus Gaming dan Funplus Phoenix, di babak semifinal.

Dari lima pertandingan di babak final, JD Gaming berhasil memenangkan pertandingan pertama sebelum kalah pada dua babak berikutnya. Saat itu, Top Esports diperkirakan akan memenangkan LPL dengan skor 3-1. Tapi, JD Gaming berhasil membalikkan keadaan dan meraih gelar juara. Pertandingan terakhir antara JD Gaming dan Top Esports berlangsung dengan ketat. Pada pertengahan game, JD Gaming berhasil memenangkan teamfight melawan Top Esports. Ini memungkinkan mereka mendapatkan gold lebih banyak dan membeli item yang lebih baik.

Pemain support JD Gaming, Zuo “LvMao” Ming-Hao mendapatkan gelar Most Valuable Player di babak final berkat permainannya yang stabil menggunakan empat champion yang berbeda, menurut laporan Dot Esports.

Pada tahun lalu, performa JD Gaming tidak terlalu memuaskan. Di Spring Split, mereka menduduki posisi ke-8. Sementara pada Summer Split, posisi mereka merosot ke peringkat 10. Keputusan mereka untuk mengakuisisi pemain ADC asal Korea Selatan, Lee “LoKeN” Dong-wook berbuah manis. Dengan cepat, LoKeN dapat menyesuaikan diri dengan tim. Ini memungkinkan JD Gaming untuk mengalahkan tim-tim di tier bawah dan memberikan perlawanan yang baik ketika menghadapi tim-tim tier atas di LPL.

Memang, pada awal musim, performa JD Gaming tidak maksimal. Mereka bahkan sempat kalah dalam beberapa pertandingan ketika mereka bermain bersama top laner cadangan mereka. Untungnya, performa mereka membaik ketika mereka kembali bermain bersama top laner utama mereka, Zhang “Zoom” Xing-ran.

Persaingan di LPL tahun ini memang sangat ketat. Hal ini terlihat dari kegagalan Invictus Gaming dan FunPlus Phoenix — dua tim yang pernah memenangkan World Championship — untuk masuk ke babak final. Ini membuat tim-tim asal Tiongkok menjadi tim yang diwaspadai dalam turnamen tingkat internasional. Memang, dua tahun belakangan, World Championship dimenangkan oleh tim asal Tiongkok.

Sayangnya, turnamen Mid-Season Invitational tahun ini harus dibatalkan. Jadi, jika fans ingin melihat pertandingan antara tim-tim League of Legends terbaik, mereka harus menunggu World Championship diselenggarakan.

Q1 2020, League of Legends Masih Jadi Game Paling Berpengaruh di Ekosistem Esports

Pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game PC dengan dampak paling besar pada ekosistem esports, menurut PC Games Impact Index buatan The Esport Observer. Dengan ini, League of Legends duduk di peringkat satu selama satu tahun berturut-turut.

Salah satu alasan mengapa game buatan Riot Games ini bisa bertahan di peringkat satu adalah karena jumlah pemainnya yang lebih banyak dari game-game esports PC lain. Jumlah pemain League of Legends hampir tiga kali lipat dari Counter-Strike: Global Offensive, yang duduk di peringkat 2. Tak hanya itu, League of Legends juga menjadi game yang paling sering ditonton di Twitch. Kebanyakan liga regional League of Legends dimulai pada pertengahan Januari. Memang, sejumlah liga sempat tertunda karena pandemik virus corona. Namun, empat liga besar — di Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok — berhasil kembali diselenggarakan dengan format online.

Sementara itu, CS:GO masih menduduki peringkat kedua berkat musim turnamen yang dimulai pada awal tahun. BLAST Premier Spring Series mulai diadakan pada 31 Desember 2019. Dalam turnamen yang diadakan di London tersebut, FaZe Clan, Natus Vincere, dan G2 Esports lolos babak kualifikasi untuk berlaga di Spring Finals yang diadakan di Moscow. Sayangnya, turnamen tersebut harus dibatalkan karena COVID-19. Turnamen CS:GO lain yang terpengaruh pandemik adalah Intel Extreme Masters Katowice, yang harus diadakan tanpa penonton. Kabar baiknya, tiga siaran dari IEM Katowice 2020 berhasil mendapatkan concurrent viewer sebanyak 745,6 ribu orang.

game pc paling berpengaruh
Daftar 15 game paling berpengaruh dalam ekosistem esports. | Sumber: The Esports Observer

Posisi ketiga diisi oleh Dota 2. DreamLeague Season 13: The Leipzig Major, salah satu dari lima turnamen Major untuk 2020, telah diadakan pada Januari. Turnamen tersebut dimenangkan oleh Team Secret, yang membawa pulang hadiah sebesar US$1 juta.

Di channel Twitch berbahasa Inggris, Leipzig Major mendapatkan viewership sebanyak 4,88 juta. Sementara channel berbahasa Rusia mendapatkan 5,48 juta jam. Jika dibandingkan dengan League of Legends, CS:GO, dan Rainbow Six — yang ada di peringkat 4 — Dota 2 memiliki jumlah pemain yang paling sedikit. Meskipun begitu, game dari Valve ini bisa duduk di peringkat 3 karena berkat banyaknya orang yang menonton serta besarnya total hadiah turnamen. Sayangnya, karena pandemik virus corona, ada turnamen Dota 2 yang harus dibatalkan, yaitu ESL One Los Angeles dan EPICENTER Major 2020 di Moscow.

Rainbow Six Siege kini ada di peringkat 4, naik dari peringkat 8 pada Q4 2019. Six Invitational 2020, yang diadakan di Montreal, menawarkan total hadiah sebesar US$3 juta. Ini menjadikan Rainbow Six Siege sebagai game esports dengan hadiah turnamen terbesar sepanjang Q1 2020. Beberapa tahun belakangan, popularitas Rainbow Six Siege sebagai game esports memang terus naik. Pada 2019, jumlah viewership Six Invitational naik 300 persen. Selain itu, viewership dari Six Invitational 2020 juga naik pesat dari tahun lalu. Jumlah total durasi video ditonton naik menjadi 5,37 juta jam dari 3,01 juta jam. Tak hanya itu, jumlah pemain Rainbow Six Siege juga terus bertambah. Kini, game itu memiliki 55 juta orang pemain.

game pc paling berpengaruh
faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan daftar game pc paling berpengaruh. | Sumber: The Esports Observer

Fortnite dari Epic Games dapat mempertahankan posisinya di peringkat 5. Memang, pada Q1 2020, tidak ada turnamen besar dari game battle royale tersebut. Meskipun begitu, game itu tetap relevan karena memiliki jumlah pemain dan penonton yang cukup banyak. Sementara posisi ke-6 diduduki oleh Call of Duty: Modern Warfare. Pertandingan pertama dari Call of Duty League digelar pada 24 Januari 2020 lalu. Jumlah pemain menjadi salah satu faktor mengapa game ini bisa naik ke peringkat 6. Dari 15 game yang masuk dalam daftar game-game PC paling berpengaruh. Modern Warfare menjadi game ke-4 dengan jumlah pemain terbanyak.

Di bawah Modern Warfare, Player Unknown’s Battleground duduk di peringkat 7, turun 3 peringkat dari kuartal lalu. Sepanjang Q1 2020, PUBG memang mengadakan sejumlah turnamen regional. Sayangnya, tidak ada kompetisi di tingkat global.

Rocket League masuk ke peringkat 8 berkat viewership dan total hadiah yang ditawarkan oleh Rocket League Championship Series Season 9 serat Rocket League Spring Series. Sementara Hearthstone, yang ada di peringkat 9, hanya mengadakan satu turnamen Major, yaitu Masters Tour di Arlington. Walau popularitas StarCraft II mulai memudar, game ini tetap masuk ke dalam 10 besar berkat ekosistemnya yang memang besar. World Championship dari StarCraft II, yang diadakan di Intel Extreme Masters, mendapatkan total jam ditonton selama 1,14 juta jam. Sementara turnamen terbesar dari Magic: The Gathering Arena, Magic World Championship, mendapatkan 1,49 total jam ditonton.

FIFA 20 masuk ke dalam daftar game PC paling berdampak pada Q4 2019. Ketika itu, game buatan EA ini duduk di peringkat 12. Kali ini, FIFA 20 berhasil mempertahankan posisinya. Salah satu alasannya adalah jumlah viewership dari game tersebut. Selain itu, program esports EA — seperti FIFA eClub World Cup 2020 dan FUT 20 Champions Cup Stage — juga terbilang sukses. Overwatch kini harus puas dengan peringkat 13, turun dari peringkat 10. Tidak heran, mengingat musim Overwatch League memang belum dimulai pada Q1. Jadi, jumlah penonton dari game ini juga tidak banyak. Terakhir, posisi ke-14 dan ke-15 diisi oleh game buatan Activision Blizzard, yaitu Warcraft III dan World of Warcraft.

Rahasia Di Balik Kesuksesan Riot Games dengan League of Legends

Kebanyakan developer besar biasanya memiliki beberapa game atau bahkan beberapa franchise, seperti Ubisoft dengan Assassin’s Creed atau Electronic Arts dengan FIFA. Namun, tidak begitu dengan Riot Games. Selama bertahun-tahun, Riot hanya memiliki satu game, yaitu League of Legends. Menariknya, game tersebut masih dimainkan oleh jutaan orang, bahkan 10 tahun sejak diluncurkan. Tidak berhenti sampai di situ, Riot juga sukses dalam mengembangkan ekosistem esports dari League of Legends.

Tentu saja, kesuksesan Riot tidak dicapai dalam waktu singkat. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Bagaimana perjalanan Riot sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang?

Sejarah Riot

Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.

“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”

Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.

Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.
Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.

“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.

Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat gameGame pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.

“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.

Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot
Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot

Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.

“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”

Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.

Peluncuran League of Legends

Pada 2008, Riot meluncurkan versi pre-alpha dari game mereka, yang ketika itu dinamai League of Legends: Clash of Fates. Di tahun yang sama, mereka juga menandatangani kerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok. Tidak banyak developer yang langsung bekerja sama dengan publisher asing ketika mereka belum lama berdiri. Namun, Beck dan Merrill memang mengincar pasar internasional dengan League of Legends. Tencent tampaknya mengerti ambisi Riot tersebut. Beck mengungkap, Tencent memiliki filosofi yang sama dengan Riot.

Seiring dengan bertumbuhnya Riot, Merrill dan Beck terus mencari pekerja baru. Saat mencari pekerja baru, keduanya lebih mementingkan passion daripada pengalaman kerja. Para pekerja Riot — yang disebut Rioters oleh Merrill dan Beck — terus mengembangkan League of Legends. Pada pertengahan 2008, mereka menemui masalah. Mereka ingin mengganti platform backend yang telah gunakan selama bertahun-tahun. Merrill bercerita, Riot mau tidak mau membuat platform baru dengan cepat agar mereka bisa meluncurkan game mereka sesuai target, yaitu pada musim gugur 2009. Proses pembuatan platform yang terburu-buru ini akan menyebabkan lebih banyak masalah untuk Riot di masa depan.

Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus
Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus

Sebelum meluncurkan League of Legends, Riot memutuskan untuk menghapus subtitle “Clash of Fates”. Pada awalnya, mereka ingin menggunakan subtitle untuk menggambarkan isi update konten di masa depan. Namun, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan subtitle sama sekali.

Beck mengaku, Riot tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak gamer yang tertarik untuk memainkan League of Legends. Alasannya, game tersebut sulit untuk dikuasai. “Seorang pemain harus sangat berdedikasi agar bisa menguasai dan menikmati game kami,” ujar Beck. “Fakta bahwa ada banyak orang yang tertarik untuk memainkan game itu, kami sama sekali tidak menduganya.” Dalam waktu dua bulan sejak diluncurkan, League of Legends meraih pencapaian pertama mereka, yaitu dimainkan oleh 100 ribu pemain secara bersamaan. Para Rioters merayakan hal ini, walau mereka tetap bekerja keras untuk memastikan bahwa game dan server berjalan dengan lancar. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemain League of Legends terus bertambah.

Riot pun harus menambah karyawannya. Pada 2009, Riot kembali mencari investor. Salah satu perusahaan yang menjadi investor mereka adalah Tencent. Uang yang mereka dapat dari investor lalu digunakan untuk mempekerjakan pegawai baru, memperbaiki bug dan masalah teknis pada game lainnya, serta membuat konten baru.

Setelah League of Legends diluncurkan, Riot sadar bahwa mereka akan harus memberikan update konten secara berkala. Mereka sempat bingung akan konten baru apa yang para pemain inginkan: apakah mereka harus membuat mode single-player ataukah mereka harus menyediakan peta dan mode baru? Pada akhirnya, Riot sadar bahwa para pemain hanya ingin pendalaman dari core gameplay yang telah ada.

Pada 2010 dan 2011, Riot fokus untuk menemukan ritme dalam menyediakan konten baru. Saat ini, mereka juga mulai menyadari bahwa para gamer League of Legends tidak hanya senang untuk bermain, mereka juga senang menonton orang lain memainkan game tersebut.

Kemunculan Esports League of Legends

Selama bertahun-tahun, Merrill dan Beck bermain StarCraft. Jadi, mereka tidak heran dengan keberadaan turnamen untuk game seperti StarCraft. Sebelum mendirikan Riot, keduanya bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuat liga esports sendiri, yang akan dinamai Ultimate Gaming League (UGL). Hanya saja, pada 2011, ekosistem esports belum berkembang sepesat sekarang. Saat Riot pertama kali meluncurkan League of Legends, mereka juga tidak berencana untuk mengadakan turnamen sendiri.

Turnamen League of Legends dimulai oleh para fans. Pada musim panas 2010, ekosistem esports League of Legends telah berkembang sedemikian rupa sehingga Riot tak bisa mengacuhkannya begitu saja. Mereka lalu mengumumkan turnamen League of Legends pertama yang disebut “Season One“. Ketika itu, Season One Championship merupakan bagian dari DreamHack Summer 2011, kegiatan esports yang menyertakan kompetisi Counter-Strike: Global Offensive dan StarCraft 2.

Turnamen pertama League of Legends adalah League of Legends Season One pada 2011. | Sumber: Game Life
Turnamen pertama League of Legends adalah Season One. | Sumber: Game Life

“Saya ingat, kami hanya menyediakan 20 kursi lipat. Kami memutuskan untuk menyiarkan pertandingan walau kami tidak tahu apakah akan ada orang yang tertarik untuk menonton,” kenang Beck tentang Season One Championship. “Kami mendapatkan 100 ribu concurrent viewers, yang sangat mengejutkan bagi kami. Saat itulah kami sadar bahwa para pemain League of Legends senang menonton pertandingan esports dan kami mulai memikirkan esports dengan lebih serius.”

Beck, Merrill, dan tim Riot lalu memutuskan untuk mengadakan turnamen sendiri daripada meminta bantuan pihak ketiga. Itu berarti, mereka harus membuat jadwal turnamen selama setahun dan menyiarkan video pertandingan secara rutin. Untuk mengembangkan ekosistem esports League of Legends, mereka sadar bahwa mereka harus menyiapkan dana besar dan siap dalam menghadapi berbagai tantangan.

Satu tahun kemudian, pada Oktober 2012, Riot mengadakan Season Two World Championship. Mereka memutuskan untuk mengadakan pertandingan group stage di ruang terbuka karena dianggap unik. Selain itu, ini juga bisa menarik orang-orang untuk menonton jalannya pertandingan. Terbukti, cukup banyak orang yang menonton turnamen tersebut. Namun, muncul satu masalah tak terduga. Di tengah pertandingan antara Team WE dari Tiongkok dengan Counter Logic Gaming dari Eropa, koneksi internet terputus.

“Kami tidak menggunakan server lokal,” kata Beck menjelaskan. “Ketika itu, kami belum punya server yang bisa kami bawa kemana pun kami pergi.” Mau tak mau, pertandingan pun harus diulang. Sayangnya, hal serupa kembali terjadi. Pada akhirnya, Riot menyerah dan meminta para penonton untuk pulang tanpa menyelesaikan pertandingan. “Rasa bersalah yang kami rasakan — kami benar-benar merasa bersalah pada semua pemain yang turut serta,” ujarnya. Dari sini, Riot belajar bahwa mereka harus selalu menyiapkan rencana cadangan, menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi.

Kerja keras Riot berbuah manis. Saat ini, League of Legends adalah salah satu game esports paling populer di dunia. Game tersebut juga dianggap sebagai salah satu game paling berpengaruh ke ekosistem esports. Bahkan sekarang (setidaknya sampai artikel ini ditulis), League of Legends memiliki liga di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Asia Pasifik, dan lain sebagainya.

League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald
League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald

Beberapa liga League of Legends — seperti di Amerika Utara dan Tiongkok — telah menggunakan model franchise. Belum lama ini, Roit mengumumkan rencana mereka untuk menerapkan sistem franchise di League of Legends Champions Korea. Salah satu organisasi esports populer di Korea Selatan, Gen.G, telah memastikan bahwa mereka tertarik untuk ikut dalam liga tersebut.

Apakah ini berarti model franchise akan menjadi masa depan dari esports League of Legends? Dalam email kepada Hybrid.co.id, Chris Tran, Head of Esports, Riot Games, Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, “Penggunaan model franchise memungkinkan tim-tim yang ikut serta, liga, dan rekan untuk bekerja sama mengejar tujuan yang sama, memberikan pengalaman yang memuaskan pada fans, dan memberikan kepastian pada para tim dan pemain. Agar model franchise bisa digunakan, sebuah liga esports harus sudah memiliki ekosistem dan infrastruktur yang memadai, dan mengembangkan dua hal ini memakan waktu yang tidak sebentar.

“Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports League of Legends di kawasan lain, tidak terutup kemungkinan, kami akan menggunakan model franchise di kawasan tersebut,” ujar Chris. “Kami ingin membuat esports menjadi olahraga yang bisa bertahan selama beberapa generasi. Menggunakan model franchise adalah salah satu cara yang memungkinkan kami mencapai tujuan tersebut.” Dia mengungkap, model franchise bukanlah sistem baru. Model serupa telah digunakan di olahraga tradisional, termasuk sepak bola.

Game-Game Baru Riot

Oke, Riot memang sukses dengan League of Legends. Namun, selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.

Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.

“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”

Riot baru merilis Teamfight Tactics pada tahun lalu. | Sumber: ONE Esports
Riot baru merilis Teamfight Tactics tahun lalu. | Sumber: ONE Esports

Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.

Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.

“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.

Ekosistem Esports dari Game Baru Riot

Mellihat kesuksesan scene esports dari League of Legends, tidak heran jika Riot juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka yang lain. Belum lama ini, mereka mengungkap skema kompetisi global Teamfight Tactics. Dinamai Teamfight Tactics: Galaxies Championship, kompetisi tersebut akan diikuti oleh 16 pemain dari 8 regional dengan total hadiah Rp3,1 miliar.

Tidak hanya itu, Riot juga telah membahas rencana mereka terkait ekosistem esports dari Valorant. Padahal, game tersebut bahkan belum resmi diluncurkan. Riot mengungkap, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant, lain halnya dengan League of Legends. Menariknya, beberapa organisasi esports profesional bahkan telah mengadakan turnamen sendiri, seperti 100 Thieves dan T1.

Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.
Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.

“Semua developer punya mimpi untuk melihat ekosistem esports dari game mereka mencapai tingkat internasional. Namun, kami juga sadar bahwa esports harus melibatkan komunitas agar ia bisa tumbuh dengan saran dan masukan dari para pemain,” ujar Chris. “Kami tidak mau mendikte para pemain dan organisasi esports profesional tentang apa arti esports. Kami ingin memberikan kesempatan pada mereka, yang merupakan rekan kami, untuk mendefinisikan esports. Kami akan belajar dari pengalaman mereka memainkan game kami dan mencari tahu apa yang mereka butuhkan.”

Chris tidak membantah bahwa Riot memang ingin mengembangkan ekosistem esports Valorant. Namun, mereka juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia mengungkap, hype akan scene esports Valorant jauh lebih tinggi dari saat mereka mencoba membangun ekosistem esports untuk League of Legends. Karena itu, mereka ingin dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. “Pada akhirnya, kami ingin memberikan esports scene terbaik untuk para pemain kami. Dan kami sedang melihat apakah bekerja sama dengan pihak ketiga memang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Chris.

Keuangan Riot

Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.

“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.

Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.

Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.
Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.

Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.

Riot di Asia Tenggara

League of Legends mungkin menjadi salah satu game terpopuler di dunia. Meskipun begitu, game tersebut tidak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia. Pada sekitar 2015-2016, Riot Games sempat membuka lowongan untuk posisi Country Manager di Indonesia. Meskipun begitu, tidak ada informasi lanjut tentang keputusan Riot untuk berbisnis di Indonesia. Terkait hal ini, Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, pada awalnya, Riot memang berencana untuk mencari Country Manager untuk setiap negara di Asia Tenggara. Meskipun begitu, Riot akhirnya memutuskan untuk mengubah strategi mereka dan mengonsolidasi tim mereka di satu tempat.

“Indonesia adalah pasar penting bagi kami. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berencana untuk menanamkan investasi dan menumbuhkan bisnis kami di sini, serta memberikan pengalaman bermain game terbaik pada para pemain Indonesia,” ujar Justin. “Sayangnya, itu bukan berarti kami harus membuat tim besar di negara tersebut.”

Justin mengaku, Riot punya rencana yang “ambisius” untuk kawasan Asia Tenggara. Dan saat ini, telah ada banyak Rioters dari seluruh dunia yang mendukung bisnis mereka di SEA, baik dalam bentuk player support, finansial, esports, maupun marketing. “Salah satu fokus utama kami saat ini adalah untuk memberikan game PC dan mobile terbaik untuk gamer Indonesia. Legends of Runeterra adalah salah satu game terbaru kami yang akan diluncurkan pada 1 Mei 2020. Kami harap, para pemain Indonesia akan menyukai game ini,” ujar Justin.

Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, esports League of Legends juga tidak terlalu populer. Ketika ditanya tentang hal ini, Chris Tran menjelaskan bahwa membangun ekosistem esports memakan waktu yang tidak sebentar. Salah satu bukti komitmen Riot dalam mengembangkan scene esports League of Legends di Asia adalah keberadaan Pacific Championship Series (PCS). Turnamen tersebut merupakan gabungan dari liga League of Legends di kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta liga di kawasan Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. “Turnamen ini akan menciptakan infrastruktur esports yang berkelanjutan, membuat persaingan antar tim menjadi semkain ketat dan memberikan kestabilan finansial yang lebih baik,” ujar Chris.

Lebih lanjut, Chris menjelaskan, salah satu cara yang Riot lakukan untuk mempopulerkan game mereka adalah dengan menggandeng perusahaan lokal agar para gamer di satu negara dapat mengakses game mereka dengan lebih mudah. Dia berkata, “Misalnya, kami bekerja sama dengan Redd+E untuk mendistribusikan hak siar PCS di seluruh Asia Tenggara.” Dia juga menyebutkan, ada beberapa turnamen League of Legends yang diadakan di kawasan Asia. Misalnya, Mid-Seasonal Invitational 2019 yang diadakan pada Taiwan, Hyperplay pada 2018 di Singapura, serta eksibisi esports League of Legends pada Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta.

Kesimpulan

Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.

Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game. Apakah mereka masih bisa menanganinya sebaik mereka mengembangkan LoL? Kita tunggu saja…

Gandeng Collegiate StarLeague, TikTok Buat TikTok Cup

TikTok bekerja sama dengan Collegiate StarLeague (CSL) untuk mengadakan TikTok Cup, turnamen esports bagi mahasiswa. Memang, CSL adalah penyelenggara turnamen esports yang mengkhususkan diri pada tingkat universitas. Ada empat game yang akan diadu dalam TikTok Cup, yaitu Fortnite, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, dan Rocket League.

Total hadiah dari TikTok Cup mencapai US$60 ribu (sekitar Rp931 juta). Namun, total hadiah tersebut tidak dibagi rata untuk empat game. Masing-masing game memiliki jumlah hadiah yang berbeda-beda. Kompetisi ini terbuka untuk semua orang yang masih terdaftar sebagai mahasiswa dari universitas di Amerika Serikat.

Selain kompetisi esports, TikTok juga menyelenggarakan kompetisi untuk membuat video tentang TikTok Cup. Tentu saja, video tersebut harus dibagikan di platform TikTok. Untuk ikut serta dalam kompetisi ini, seseorang hanya perlu menggunakan tagar TikTokCupContest, lapor Neowin. Pemenang dari kontes video TikTok Cup akan mendapatkan US$2.500 (sekitar Rp38,8 juta).

“Collegiate StarLeague sangat senang karena bisa bekerja sama dengan tim TikTok untuk memberikan kesempatan pada mahasiswa gamer dalam membuat konten yang menggabungkan esports, game, dan video TikTok,” kata Wim Stocks, CEO dari World Gaming Network dan Collegiate StarLeague, seperti dikutip dari Gamasutra. “Kami tidak sabar untuk melihat video seperti apa yang akan dibuat oleh para peserta. Kami berterima kasih pada TikTok atas kerja samanya.”

Ini bukan kali pertama, TikTok menyasar komunitas gamer. Pada Januari 2020, TikTok bekerja sama dengan Fortnite untuk mengadakan event #EmoteRoyaleContest. Dalam kontes ini, para peserta diminta untuk mengunggah video singkat dari tarian mereka. Tarian dari pemenang akan dijadikan sebagai salah satu emote dalam Fortnite.

Masih pada bulan Januari, ByteDance, perusahaan induk TikTok, juga dikabarkan tertarik untuk memasuki industri mobile game. Memang, sebelum ini, mereka juga telah menargetkan para gamer kasual. Namun, nantinya, mereka juga berencana untuk menyasar para hardcore gamer.

Sumber header: The Esports Observer

T1 Juara LCK Spring Playoff 2020, Libas Gen.G 3-0

Akhir pekan lalu adalah puncak dari gelaran League of Legends Champions Korea (LCK) Spring Season 2020. Pada Grand Final babak Playoff, T1 melibas pemuncak klasemen babak Regular Season, Gen.G, 3-0 dengan cukup mudah.

Kemenangan ini menjadi kemenangan ke sembilan kali bagi sosok midlaner senior yang sudah bersama tim ini sejak masih bernama SKT, Lee Sang-Hyeok (Faker). Memang roster T1 musim ini tampil dengan sangat solid, menunjukkan permainan tanpa celah yang membuat Gen.G kelabakan. Bukti dari ini adalah sang Jungler, Moon Woo-chan (Cuzz) yang mendapat gelar MVP berkat rotasi serta permainan apik yang ia tunjukkan.

Tak hanya dari segi permainan, T1 juga menunjukkan drating yang solid sepnajang seri pertandingan. Kim Jeong-soo, pelatih Damwon Gaming yang diambil oleh T1 pada masa off-season menunjukkan pola drafting yang sangat lihai sehingga Gen.G jadi kesulitan.

Sumber: Invenglobal
T1 saat diwawancara oleh awak media setelah memenangkan LCK Spring Playoff 2020. Sumber: Invenglobal

Game pertama diselesaikan oleh T1 dalam durasi 45 menit. First blood didapatkan T1 setelah Cuzz berhasil menangkap Azir milik Gwak Bo-seong (bdd) dari tim Bdd di sungai. Selama fase awal, Sylas dari Kim Chang-dong (Canna) babak belur, namun duet botlane T1 ternyata berhasil mendominasi.

T1 mungkin tidak memimpin perolehan net-worth, tetapi mereka berhasil mengendalikan area objektif dengan sangat baik. Walau Gen.G berhasil bertahan dengan tiga Dragon yang ia dapatkan, tapi gap sudah terlalu jauh membuat mereka terpaksa kalah di game 1.

Game kedua, Gen.G mencoba untuk mengalahkan T1 dengan melakukan ban pada 3 Champion Jungle. Graves masuk daftar karena sangat mengganggu ketika dimainkan oleh Cuzz pada game pertama. T1 menggunakan komposisi hampir mirip, kali ini mengambil Varus untuk melawan Ezreal dari Gen.G.

Sylas dari Canna lagi-lagi dihabisi oleh Ornn milik toplaner tim Gen.G, Kim Kwang-hee (Rascal). Ini segera dimanfaatkan oleh Gen.G untuk menekan bot-lane sehingga berhasil membuuh Varus dan Karma. Sementara dua side-lane dimenangkan, Gen.G lengah membiarkan Corki dari Faker memimpin 3 ribu gold melawan Zilean dari bdd.

Akhirnya dari sini keadaan menjadi seperti bola salju. Gen.G mulai luluh lantah. T1 mengambil Baron membuat mereka bisa amankan lebih banyak kill. Sampai pada akhirnya damage dari Corki dan Varus terlalu besar hingga tak terbendung lagi oleh Nexus tim Gen.G.

Masuk game 3, T1 pindah ke sisi biru. Pertarungan antara Canna melawan Rascal di top-lane kini berbalik. Jayce dari Rascall berkali-kali terbunuh oleh Ornn dari Canna. Walau ada gank dari Sejuani yang dimainkan Kim Tae-min (Clid), namun Gen.G tetap kesulitan untuk mengalahkan dominasi Canna, membuat Jayce semakin ketinggalan.

Zilean dari bdd jadi harapan terakhir bagi Gen.G, tapi sayang harapan itu pupus lagi di hadapan Faker. Pada akhirnya setelah mendapatkan Baron, T1 segera menyerang markas Gen.G, dan memenangkan gelar LCK 2020 Spring Championship.

Soal kemenangannya Faker berkata kepada Invenglobal. “Saya masih tidak percaya bisa memenangkan kejuaraan ini sebanyak 8 kali. Ini rasanya sangat luar biasa bagi kami bisa memenangkan sangat banyak kejuaraan.”

Selamat bagi kemenangan T1. Pada akhirnya Faker masih menunjukkan taringnya sebagai pemain terkuat di skena League of Legends Korea. Akankah Korea Selatan bisa kembali mendominasi skena internasional di musim ini?

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

Riot Batalkan League of Legends MSI karena Corona

Riot Games memutuskan untuk membatalkan Mid-Season Invitational (MSI), turnamen League of Legends internasional yang biasanya diadakan pada pertengahan tahun, karena virus corona. Biasanya, MSI diadakan pada bulan Mei. Riot sempat menunda penyelenggaraan turnamen tersebut menjadi Juli sebelum akhirnya membatalkannya sama sekali. Sekarang, mereka akan fokus pada League of Legends World Championship, yang akan diadakan di Tiongkok. Tahun ini akan menjadi tahun ke-10 diselenggarakannya LWC. Karena itu, Riot berencana untuk mengadakan perayaan besar-besaran.

Salah satu fungsi MSI adalah untuk menentukan tim yang melaju ke LWC, menurut The Esports Observer. Dengan adanya Pacific Championship Series dan dibatalkannya MSI maka Riot menetapkan peraturan baru tentang tim-tim yang masuk ke LWC. Dari liga di Tiongkok dan Eropa, akan dipilih empat tim dari masing-masing liga. Sementara untuk liga di Korea Selatan dan Amerika Utara, akan terpilih tiga tim per liga. Dua tim akan dipilih dari liga di Asia Tenggara dan Vietnam. Sementara dari liga di Brasil, Turki, Jepang, Amerika Latin, Oceania, dan CIS (Commonwealth of Independent States), akan terpilih satu tim per liga.

Di tengah pandemik virus corona, banyak kegiatan olahraga yang harus dibatalkan, seperti balapan, liga basket, serta liga sepak bola. Untungnya, pertandingan esports masih bisa diadakan, walau hanya secara online. Riot meyakinkan, keputusan mereka untuk membatalkan MSI bukan berarti mereka tidak akan menyelenggarakan turnamen League of Legends lain dalam waktu dekat.

MSI batal
Riot batalkan MSI 2020 agar bisa fokus pada LWC. | Sumber: The Esports Observer

“Kami tengah berdiskusi dengan tim lain di Riot untuk mempertimbangkan acara dan kegiatan alternatif yang bisa menggantikan MSI,” kata John Needham, Global Head of League of Legends Esports, Riot, menurut laporan Polygon. “Kami berharap, kami akan bisa membuat rencana yang cukup matang sehingga kami bisa mengumumkannya dalam waktu beberapa minggu ke depan.”

Untuk menggantikan MSI, kemungkinan, Riot akan mengadakan turnamen esports regional. Dengan begitu, diharapkan tidak ada kendali terkait jaringan internet. Dalam pertandingan online, jika dua tim yang berlaga ada di region yang berbeda, kemungkinan besar, ping akan menjadi sangat tinggi. Ini tidak hanya akan membuat frustasi para pemain, tapi juga para penonton.

Dalam beberapa minggu belakangan, liga regional League of Legends masih bisa berjalan. Setelah sempat tertunda, liga League of Legends di Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok akhirnya kembali diselenggarakan. Mengingat pertandingan diadakan secara online, Riot mengambil sejumlah tindakan untuk memastikan bahwa tidak ada pemain yang berbuat curang sepanjang pertandingan.

Sumber header: ESTNN

Gaet 5 Organisasi Esports, BMW Bakal Fokuskan Marketing ke Esports

BMW menandatangani kontrak kerja sama dengan lima organisasi esports ternama, yaitu Cloud9, Fnatic, FunPlus Phoenix, G2 Esports, dan T1 Entertainment & Sports. Melalui kerja sama ini, perusahaan pembuat mobil asal Jerman itu akan menyediakan kendaraan untuk mengantarkan tim dari dan ke tempat pertandingan. Mobil-mobil ini akan menampilkan logo dari masing-masing tim.

Sementara itu, logo BMW akan disematkan di jersey anggota tim esports. Bersama dengan lima organisasi esports ini, BMW juga akan membuat kampanye di media sosial. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kerja sama antara BMW dengan lima organsiasi esports tersebut. Menurut perkiraan Forbes, kerja sama BMW dengan masing-masing tim bisa mencapai jutaan dollar.

Cloud9, Fnatic, FunPlus Phoneix, G2 Esports, dan T1, kelimanya memiliki tim yang berlaga di berbagai game, seperti Dota 2, Hearthstone, Super Smash Bros, dan League of Legends. Menariknya, kelima organisasi esports ini merupakan rival di League of Legends, walau kelimanya bertanding di kawasan yang berbeda-beda. T1 berlaga di liga Korea Selatan, sementara Cloud9 di Amerika Utara, dan Fnatic serta G2 merupakan tim asal Eropa, lapor The Esports Observer.

bmw esports
BMW akan menyediakan mobil untuk tim yang menjadi rekan mereka. | Sumber: BMW

“Kami tidak akan bekerja sama,” kata CEO dan Co-owner G2 Esports, Carlos “Ocelote” Rodriguez, seperti yang dikutip dari Forbes. “Kami justru  akan melawan satu sama lain.” Memang, dalam kampanye marketing yang BMW lakukan dengan lima organisasi esports ini, mereka akan menggunakan tagar #UnitedinRivalry.

Ini bukan kali pertama BMW masuk ke dunia esports. Mereka pertama kali menjadi sponsor esports pada 2017. Ketika itu, mereka menjadi sponsor dari babak final liga League of Legends Eropa. Selain itu, mereka juga pernah menjadi title sponsor dari turnamen balapan virtual BMW SIM LIVE pada 2019. Meskipun begitu, keputusan BMW untuk bekerja sama dengan lima organisasi esports sekaligus menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam dunia competitive gaming.

“Dalam jangka panjang, esports akan menjadi prioritas utama kami,” kata Stefan Ponikva, Head of BMW Brand Experience Shows & Events, menurut laporan Forbes. Dia menjelaskan, pada akhirnya, dana yang BMW alokasikan untuk esports akan melebihi biaya sponsorship untuk olahraga tradisional, seperti golf dan balapan. “Sebagai generasi digital, anak-anak muda jarang menonton TV dan tidak terlalu peduli pada model marketing tradisional. Esports akan menjadi alat kami untuk mendekatkan diri dengan mereka.”

BMW Esports
T1 menjadi rekan BMW di Korea Selatan. | Sumber: T1 Entertainment & Sports

Memang, esports kini tengah naik daun, terutama di tengah pandemik virus corona. Newzoo memperkirakan, jumlah penonton esports mencapai 454 juta orang. Dalam waktu tiga tahun, jumlah itu akan bertambah 190 juta orang lagi. Sementara dari segi bisnis, industri esports diperkirakan akan bernilai US$1 miliar pada 2020. Selain jumlah penonton yang banyak dan terus bertambah, hal lain yang membuat esports menarik adalah fakta bahwa sebagian besar dari penonton esports merupakan generasi milenial atau gen Z. Audiens esports biasanya lebih sering menonton siaran langsung di platform streaming seperti YouTube dan Twitch daripada televisi.

Ponikva juga mengungkap, dana yang BMW gunakan dalam kerja sama dengan lima organisasi esports ini tidak diambil dari biaya marketing lainnya. Sebagai gantinya, BMW berencana untuk mengurangi biaya yang mereka keluarkan untuk mengadakan kegiatan offline seperti trade show. Meskipun begitu, Ponikva sadar, audiens esports tidak akan membeli mobil dalam waktu dekat. Karena itu, dia mengaku, investasi BMW di esports ini mungkin tidak akan berbuah manis dalam waktu dekat.

“Saat waktunya tiba, kami akan tahu bahwa kami telah membuat para fans esports mencintai BMW,” ujar Ponikva. “Dan kami akan menjadi merek mobil pertama yang mereka ingat.”