Google Singkap Project Starline, Teknologi Video Call Masa Depan yang Amat Realistis

Sebagian besar dari kita mungkin sudah muak dengan yang namanya Zoom meeting. Jangankan kita, bahkan CEO Zoom sendiri pun juga merasakan hal serupa. Namun sesi panggilan video tidak selamanya akan semembosankan ini. Beberapa tahun dari sekarang, sesi video call mungkin dapat terasa seperti kita sedang bertemu dan bertatap muka secara langsung.

Kalau perlu bukti, coba tengok proyek ambisius Google yang dinamai Project Starline berikut ini. Dikembangkan selama lebih dari lima tahun, Starline pada dasarnya merupakan teknologi video call yang luar biasa canggih. Sistemnya melibatkan segudang kamera dan sensor untuk menangkap penampilan seseorang dari perspektif yang berbeda-beda, mengemasnya menjadi sebuah model 3D, lalu meneruskan informasinya secara real-time.

Lauren Goode, jurnalis Wired yang berkesempatan menjajal langsung teknologinya, mendeskripsikan Starline sebagai sebuah video booth dengan segudang hardware yang sepertinya berharga sangat mahal. Salah satu hardware mahal yang dimaksud adalah sebuah light field display berukuran 65 inci, display canggih yang dirancang untuk menampilkan objek secara tiga dimensi tanpa mengharuskan penggunanya mengenakan apa-apa.

Berbeda dari Microsoft Mesh yang mengharuskan kita untuk memakai headset HoloLens agar bisa melihat hologram, Starline mampu menyajikannya langsung di hadapan seseorang. Kalau melihat video demonstrasi singkatnya, hologramnya kelihatan begitu realistis, dengan pergerakan yang berlangsung secara real-time dan minim latensi — sistemnya bahkan bisa membaca pergerakan bayi yang kita tahu sulit untuk diprediksi. Selain visual yang memukau, pengalamannya kian disempurnakan oleh efek spatial audio.

Untuk sekarang, Project Starline baru tersedia di beberapa kantor Google saja, dan tim pengembangnya masih terus sibuk menguji serta menyempurnakan teknologinya. Google percaya bahwa ini merupakan arah yang tepat bagi pengembangan teknologi komunikasi ke depannya, dan mereka berniat untuk menjadikan teknologinya lebih terjangkau sekaligus lebih gampang diakses.

Selain menguji Project Starline secara internal, Google juga berniat untuk mengajak sejumlah mitranya dari bidang layanan kesehatan dan media guna menjajal Starline dan mendiskusikan potensi pengaplikasiannya. Ke depannya, Google juga akan menerapkan sejumlah teknologi di Project Starline ke produk-produk yang sudah kita gunakan sekarang. Bukan tidak mungkin seandainya dalam waktu Google Meet bakal kedatangan dukungan spatial audio.

Sumber: Google.

Google Dirumorkan Bakal Mengakuisisi Pionir Teknologi Light Field, Lytro

Google dirumorkan sedang dalam proses mengakuisisi Lytro. Kabar ini memang belum mendapat konfirmasi resmi, akan tetapi TechCrunch melaporkannya berdasarkan informasi dari beberapa sumber terpercaya.

Lytro, bagi yang tidak tahu, adalah salah satu pionir di bidang fotografi light field. Mereka sempat menjadi buah bibir di tahun 2012 lewat sebuah kamera berteknologi light field, yang memungkinkan pengguna untuk mengatur fokus pasca pemotretan.

Lalu di tahun 2014, pamornya kian naik berkat Lytro Illum, yang menawarkan teknologi serupa namun dalam kemasan ala kamera mirrorless. Kendati demikian, dua produk ini rupanya belum bisa menjadi fondasi bisnis yang menguntungkan.

Lytro Immerge / Lytro
Lytro Immerge / Lytro

Dari situ Lytro mulai memikirkan untuk pivot, dan menjelang akhir tahun 2015, mereka mulai mencoba mengimplementasikan teknologi light field pada ranah VR lewat sebuah kamera 360 derajat bernama Lytro Immerge. Sayangnya, perkembangan industri VR pun tidak sepesat yang mereka bayangkan.

Itulah yang pada akhirnya menjadi latar belakang atas berita akuisisi ini. Menurut salah satu sumber TechCrunch, deal-nya ini lebih pantas disebut sebagai penjualan aset, dengan mahar tidak lebih dari $40 juta, meski Lytro sendiri memiliki valuasi sekitar $360 juta di tahun 2017.

Aset yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada 59 hak paten seputar teknologi light field yang dipegang oleh Lytro. Pertanyaannya, mengapa Google tiba-tiba menginginkannya?

Eksperimen Google dengan teknologi light field / Google
Eksperimen Google dengan teknologi light field / Google

Sebenarnya bukan tiba-tiba, sebab belum lama ini Google sempat bereksperimen dengan teknologi light field, dengan tujuan untuk meningkatkan sensasi realistis yang ditawarkan konten VR. Buah eksperimen mereka adalah aplikasi Welcome to Light Fields, yang kompatibel dengan HTC Vive, Oculus Rift dan Windows Mixed Reality.

Asumsi saya, progress Google dalam bereksperimen dengan teknologi light field terhambat dikarenakan salah satu atau beberapa paten milik Lytro. Demi memuluskan inisiatif mereka, cara termudah adalah membelinya dari Lytro, apalagi kalau memang harganya ‘cuma’ $40 juta.

Di sisi lain, potensi light field sendiri sebenarnya tidak cuma terbatas di ranah VR saja. Google yang berkantong tebal semestinya merupakan pihak yang tepat untuk memaksimalkan potensi light field ketimbang perusahaan kecil yang kesulitan menghasilkan profit.

Sumber: TechCrunch.

Dengan HoloPlayer One, Anda Bisa Melihat dan Berinteraksi dengan Hologram Tanpa Headset Khusus

Film-film seperti Star Wars dan Iron Man mengimajinasikan teknologi masa depan di mana kita dapat berinteraksi dengan hologram. Sejauh ini, teknologi terdekat yang kita punya adalah HoloLens, akan tetapi temuan Microsoft itu masih mengharuskan kita mengenakan sebuah headset khusus untuk bisa melihat gambar hologram.

Lain halnya dengan HoloPlayer One. Perangkat ini diklaim dapat menyuguhkan hologram di hadapan mata telanjang. Lebih istimewa lagi, hologram yang tersaji tidak hanya bisa dilihat, tapi juga bisa diajak berinteraksi secara real-time.

HoloPlayer One

Rahasianya terletak pada penerapan teknologi light field, sama seperti yang digunakan Lytro pada deretan kameranya. Sederhananya, HoloPlayer One memanfaatkan teknologi light field untuk memproyeksikan gambar dari beberapa sudut sekaligus, hingga akhirnya kelihatan sebagai gambar 3D di mata pengguna.

Resolusinya memang bukan yang paling tajam, tapi masih cukup jelas untuk dilihat. Looking Glass Factory selaku pengembangnya bilang bahwa mereka sengaja tidak meningkatkan resolusinya supaya perangkat masih bisa dijangkau oleh banyak kreator. Seiring berjalannya waktu dan menurunnya harga komponen yang dibutuhkan, resolusi hologramnya pasti bisa ditingkatkan.

HoloPlayer One

Elemen interaksinya sendiri mengandalkan kamera 3D Intel RealSense SR300 untuk menangkap pergerakan tangan dan jari pengguna di hadapan hologram. Beragam gesture bakal diterjemahkan menjadi input kontrol, sehingga pengguna bahkan bisa melukis di udara dan melihat hasilnya secara tiga dimensi.

Dari sini sebenarnya bisa kita lihat bahwa, setidaknya untuk sekarang, kalangan kreator dan developer adalah yang menjadi target pasar HoloPlayer One. Looking Glass saat ini sudah menerima pre-order atas HoloPlayer One Development Edition seharga $750, dan konsumen dijadwalkan menerima pesanannya mulai April 2018.

Sumber: UploadVR dan Looking Glass Factory.

Avegant Kembangkan Prototipe Perangkat Mirip HoloLens dengan Teknologi Light Field

Meskipun belum dirilis untuk publik, Microsoft HoloLens telah menuai banyak pujian karena berhasil melebur objek-objek virtual dengan dunia nyata. Tidak hanya itu, kita pun dapat berinteraksi dengan objek-objek tersebut, seperti yang didemonstrasikan oleh Microsoft pada pertengahan tahun 2015 lalu.

Terlepas dari kecanggihannya, HoloLens masih menuai sejumlah kritik. Utamanya adalah field of view yang sempit serta hilangnya objek virtual saat pengguna berada terlalu dekat dengannya. Ini jelas bertolak belakang dengan cara kerja indera penglihatan kita.

Apakah versi final HoloLens nantinya masih mengalami kendala seperti ini? Tidak ada yang tahu, akan tetapi sekarang setidaknya sudah ada perusahaan lain yang mencoba mencarikan solusinya. Perusahaan itu adalah Avegant, yang sebelum ini sudah meluncurkan sebuah HMD (head-mounted display) unik bernama Glyph.

Setelah cukup sukses dengan Glyph, Avegant kini memutuskan untuk mengembangkan mixed reality headset-nya sendiri. Fungsi perangkat ini sejatinya sangat mirip seperti HoloLens, akan tetapi berdasarkan demonstrasi prototipenya, racikan Avegant ini lebih superior dalam hal visual.

Visual yang dimaksud bukan desain perangkat, melainkan konten yang disajikannya. Merujuk pada problem HoloLens tadi dimana objek akan sirna ketika pengguna berada terlalu dekat, masalah itu tidak berlaku pada prototipe Avegant. Rahasianya terletak pada penerapan teknologi light field.

Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant
Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant

Light field sederhananya mampu menyimulasikan mekanisme fokus indera penglihatan manusia secara realistis. Jadi ketika headset menampilkan konten berupa sistem tata surya, planet yang ada di kejauhan akan tampak kabur ketika kita menatap planet yang berada di dekat kita, demikian pula sebaliknya.

Menurut pendapat The Verge, grafik yang disuguhkan juga lebih tajam sekaligus realistis ketimbang HoloLens. Prototipe Avegant bahkan tidak menjumpai masalah ketika harus me-render sebuah objek di atas telapak tangan, dan penggunanya tetap bisa melihatnya secara jelas.

Kekurangannya? Prototipe Avegant Light Field ini harus disambungkan ke PC via kabel, tidak seperti HoloLens yang benar-benar wireless. Lebih lanjut, prototipe Avegant juga masih mengandalkan tracker eksternal seperti yang dilakukan HTC dengan Vive. Ke depannya, Avegant berharap produk finalnya bisa menyuguhkan sistem tracking terintegrasi seperti HoloLens.

Pengguna pun juga tidak dapat berinteraksi dengan objek virtual yang ditampilkan. Ini semua merupakan tantangan-tantangan terbesar yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh Avegant. Mereka berharap bisa menyajikan produk final paling tidak dalam 12 atau 18 bulan ke depan.

Sumber: The Verge dan ZDNet.

Kamera Lytro Cinema Sanggup Menangkap Foto 755 Megapixel dan Video 40K

Setelah merilis Lytro Immerge menjelang akhir tahun kemarin, produsen kamera berteknologi light field itu kembali menyasar para pembuat film profesional lewat inovasi terbarunya: Lytro Cinema.

Lytro Cinema pada dasarnya merupakan kamera dengan spesifikasi luar biasa canggih yang didukung oleh teknologi light field. Penjelasan singkat soal light field sendiri bisa Anda baca di artikel tentang Lytro Immerge sebelumnya.

Seberapa fenomenalkah kamera ini? Utamanya, ia sanggup menjepret foto berformat RAW dalam resolusi 755 megapixel dan video beresolusi 40K. Yup, bukannya typo, tapi memang benar 40K, dengan kecepatan hingga 300 fps. Begitu luar biasanya, satu detik hasil rekamannya saja bisa memakan kapasitas 400 gigabyte.

Namun berkat teknologi light field, jumlah data yang luar biasa besar itu bisa dimaksimalkan oleh para pembuat film pasca perekaman. Kalau memindah fokus pasca pemotretan sudah bisa dilakukan oleh kamera maupun smartphone yang ada sekarang, Lytro Cinema memungkinkan penggunanya untuk mengubah variabel lain seperti shutter speed, depth of field, dan bahkan sampai dynamic range sekalipun.

Lytro Cinema

Hal ini dimungkinkan berkat kemampuan Cinema dalam mengumpulkan informasi yang amat lengkap dari pancaran cahaya yang ditangkap. Setiap pixel yang tertangkap memiliki properti warna dan arah pergerakannya sendiri sampai letak persisnya di dalam ruangan secara tiga dimensi.

Dengan demikian, pembuat film benar-benar tak perlu ambil pusing soal parameter-parameter di atas selagi proses syuting berlangsung. Semuanya bisa diubah-suai selesai merekam, bahkan frame rate-nya pun bisa diganti saat tengah mengedit hasil rekaman.

Lebih istimewa lagi, Lytro Cinema dilengkapi dengan fitur bernama Depth Screen. Fitur ini sejatinya memungkinkan pembuat film untuk menciptakan suatu adegan dengan special effect tanpa menggunakan green screen sama sekali.

Seperti yang kita tahu, selama ini studio-studio Hollywood banyak mengandalkan layar hijau guna mengganti latar dengan grafik buatan komputer. Dengan Cinema, latar yang direkam dapat dengan mudah dihilangkan dan diganti dalam proses editing, selagi masih mempertahankan wujud sang aktor secara penuh.

Lytro Cinema

Tentunya diperlukan komputer yang amat perkasa dan server yang istimewa untuk bisa menyimpan dan mengolah semua data berukuran masif ini. Untuk itu, Lytro juga bakal membundel perlengkapan pendukungnya, mulai dari software sampai jaringan cloud.

Sejauh ini Lytro belum berencana memasarkan Cinema secara langsung. Awalnya mereka hanya akan menyewakan Cinema ke tangan pembuat film yang membutuhkan. Biaya sewanya sendiri dimulai di angka $125 ribu, sudah mencakup hardware dan software-nya.

Sumber: TechCrunch dan Lytro.

Lytro Immerge Didapuk Sebagai Kamera VR Pertama yang Andalkan Teknologi Light Field

Pernah mendengar nama Lytro? Kalau belum, ini merupakan perusahaan asal AS yang bergerak di bidang light field photography. Produk perdananya merupakan sebuah kamera berbentuk balok yang dirilis di tahun 2012. Keunggulannya? Anda bisa mengatur fokus pasca pemotretan.

Rahasianya terletak pada teknik light field photography itu sendiri. Sederhananya, sensor milik kamera Lytro tidak cuma menangkap intensitas cahaya yang masuk, tetapi juga ke arah mana masing-masing sorotan cahaya bergerak. Begitu fenomenalnya teknik ini, sang pencetus, Ren Ng, berhasil memenangkan gelar tesis terbaik di bidang ilmu komputer dari Stanford University.

Namun kiprah Lytro tidak berhenti sampai di situ saja. Tahun lalu, mereka meluncurkan Lytro Illum, yang pada dasarnya merupakan sebuah kamera light field namun dengan kelengkapan fitur ala DSLR. Usai merilis Illum, pamor Lytro terkesan hilang entah ke mana. Namun rupanya mereka tengah sibuk meramu formula terbaik untuk menyambut tren terbaru di dunia fotografi dan videografi, yakni virtual reality (VR).

Kini, Lytro siap memamerkan inovasinya di bidang VR. Mereka memperkenalkan Lytro Immerge, sebuah kamera VR pertama yang ditenagai oleh teknologi light field. Cara kerjanya sangat berbeda ketimbang kamera VR atau kamera 360 derajat tradisional, di sini Immerge akan menangkap gambar 360 derajat secara langsung, tanpa mengandalkan metode stitching sama sekali.

Lytro Immerge

Melihat wujudnya, Anda bisa melihat bahwa Lytro Immerge ini tersusun dari sejumlah ‘cincin’. Cincin-cincin tersebut diklaim mengemas hingga ratusan sensor gambar, membuat Immerge sanggup mengumpulkan data yang sangat melimpah. Begitu melimpahnya, kamera ini bahkan akan didampingi oleh sebuah portable server untuk menyimpan video berdurasi sekitar 1 jam – bayangkan betapa besarnya data yang dikumpulkan kalau satu server saja hanya mampu menyimpan video 1 jam.

Kelebihan Lytro Immerge adalah data akan dikumpulkan dari segala arah di lokasi manapun dan dalam volume yang diinginkan. Pada akhirnya, tampilan virtual bisa dihasilkan dari titik mana saja, menghadap ke mana saja dan dalam sudut pandang apa saja. Singkat cerita, kesan immersive yang diciptakan bisa setara dengan sebuah game VR.

Kalau Anda bingung dengan cara kerja Lytro Immerge, Anda tidak perlu khawatir, karena pada dasarnya akses terhadap kamera ini akan benar-benar eksklusif. Lytro berencana merilis prototipenya di kuartal pertama tahun depan, dan banderol harganya kemungkinan akan mencapai angka ratusan ribu dolar. Maka dari itu, akan lebih masuk akal kalau Lytro nantinya hanya akan menyewakan Lytro seharga beberapa ribu dolar per hari.

Kendati demikian, sebagai konsumen kita tetap bakal diuntungkan oleh kehadiran Lytro Immerge, dimana nantinya konten video VR yang bisa dinikmati akan semakin bertambah dan kualitasnya pun sangat bagus untuk membuat kita betah berlama-lama mengenakan Oculus Rift, HTC Vive dan lain sejenisnya.

Sumber: Lytro dan The Verge.