Kiat Scale Up Bisnis Beserta Tipsnya, Ronald: Tidak Perlu Tergoda Ikutan Trend, Instant Itu Cenderung Rentan

Istilah scale up mungkin sudah tidak asing lagi bagi Anda pelaku bisnis. Setiap bisnis pasti berharap untuk bisa melakukan scale up. Namun, nyatanya, tidak semua bisa mengeksekusinya dengan baik. Lalu, sebenarnya bagaimana cara untuk melakukan scale up bisnis dengan baik?

Ronald Sipahutar, Country Manager Borong Indonesia, membagikan beberapa tips dan cara melakukan scale up untuk bisnis dari berbagai skala, baik UMKM maupun skala besar sekalipun. Tapi, sebelum itu, simak terlebih dahulu pengertian dari istilah scale up menurut Ronald.

Apa Itu Scale Up?

Secara umum, kata atau istilah scale up ini artinya adalah berkembang. Namun, dalam bisnis, scale up memiliki arti berkembang dalam berbagai bentuk, seperti memperluas cakupan layanan, memperbesar volume produksi, dan menambah jenis layanan. Ronald juga memberikan contoh untuk masing-masing bentuk perkembangan tersebut.

“Memperluas cakupan layanan, misalnya dari penjualan hanya sekitar rumah, sekarang berkembang sekelurahan atau sekecamatan. Memperbesar volume produksi, misalnya selama ini hanya produksi PO based, kemudian kuota per 1000 pack. Menambah jenis layanan, sebelumnya hanya melayani pembelian retail satuan, kemudian mulai menyediakan layanan B2B atau catering untuk F&B,” tuturnya.

Dalam kata lain, scale up dalam bisnis merupakan sebuah strategi untuk mengembangkan bisnis, baik dari segi penjualan, produksi, atau layanan.

Kapan Sebuah Bisnis Harus Melakukan Scale Up?

Ronald mengatakan bahwa terdapat satu hal yang bisa menjadi tanda sebuah bisnis perlu melakukan scale up, yakni ketika growth sales mulai mengalami stagnan.

“Saat market yang mereka layani saat ini sudah mulai masuk tahap mature, yang biasanya ditandai dengan growth penjualan yang mulai mengecil dan cenderung stagnan. Dimana ini artinya frekuensi pembelian sudah mendekati maksimal atau maximum wallet share customer sudah mentok,” ujarnya.

Jadi, ketika jumlah penjualan menurun atau bertahan di angka yang sama, di situlah sebuah bisnis perlu melakukan scale up dari segi penjualan, produksi, atau layanan agar bisa meningkatkan pertumbuhan penjualan atau setidaknya bertahan di market yang sudah ada.

Tahapan Persiapan Scale Up untuk Bisnis

Di atas telah disebutkan bahwa dalam tidak sedikit bisnis yang gagal dalam melakukan scale up. Hal itu mungkin dikarenakan kurangnya persiapan matang sebelum proses eksekusi scale up.

Menurut Ronald, sebelum melakukan scale up, terdapat beberapa aspek yang perlu di-assess sebagai persiapan. Beberapa aspek tersebut kemudian ia bagi menjadi dua, yaitu aspek internal dan eksternal.

Asesmen Aspek Internal

Aspek internal merupakan aspek yang terdapat di dalam bisnis. Melakukan asesmen terhadap aspek internal akan membantu suatu bisnis untuk bisa menilai apakah bisnis tersebut sudah siap atau belum untuk melakukan scale up.

Ronald menyebutkan aspek internal yang perlu dinilai oleh suatu bisnis sebelum melakukan scale up adalah kemampuan atas 3C, capital, capacity, dan capability.

Pertama adalah capital atau modal. Perhitungan modal sangat penting untuk dilakukan oleh bisnis sebelum memutuskan untuk melakukan scale up. Hal ini dikarenakan scale up juga memiliki resiko gagal.

“Apakah kita punya “nafas” untuk membuka market baru misalnya. Karena ingat, langkah ini pasti punya resiko yang artinya bisa jadi failed. Untuk itu mesti dilakukan kalkulasi, untuk tau kapan mesti stop atau lanjut,” kata Ronald.

Kedua, capacity. Capacity ini mencakup kemampuan produksi, jaringan supply chain yang dimiliki, hingga supporting system. Melakukan scale up berarti adanya harapan akan peningkatan penjualan yang mana juga berarti peningkatan jumlah barang keluar. Untuk itu, sangat penting bagi bisnis dapat memastikan bahwa ia bisa memenuhi stok yang diminta.

“Ini tidak hanya soal kemampuan produksi, namun juga keberlangsungan supply dari vendor kita serta jaringan supply chain yang kita miliki. Biasanya ini suka terlupakan sehingga tak jarang saat scale up dimulai tiba-tiba nggak ada stok. Termasuk apakah kita didukung oleh teknologi atau system yang bisa support perkembangan kita. Tanpa itu, cost of growth kita bisa tidak terkontrol.”

Ketiga, capabillity. Asesmen capability ini merujuk kepada penilaian kemampuan atau kesanggupan SDM untuk mengimplementasikan rencana untuk scale up. Scale up bukan berarti hanya menjangkau market baru, tapi juga mempertahankan market yang ada saat ini.

“Apakah kita punya people yang bisa lead dan implementasi ini? Karena scale up artinya current market mesti tetap terjaga saat kita masuk ke market baru,” ujar Ronald.

Asesmen Aspek Eksternal

Pada aspek eksternal, sebuah bisnis perlu melakukan asesmen terhadap Total Available Market (TAM) dan Service Available Market (SAM).

Total Available Market (TAM) merupakan istilah yang merujuk kepada besaran total market potensial. Dengan begitu, sebuah bisnis bisa mengetahui potensi growth yang dapat dijangkau dengan scale up.

Setelah mengetahui Total Available Market, selanjutnya perlu dilakukan penilaian mengenai seberapa besar Service Available Market. Service Available Market (SAM) adalah besaran market yang bisa kita ambil pertama kali dengan melihat kemampuan 3C yang dimilki. Pastikan besaran SAM dapat mendukung basic fundamental growth agar memudahkan proses menjangkau TAM yang tersisa.

Lakukan Pilot Project

Pilot project merupakan proyek percontohan yang biasanya dilakukan sebagai pengujian atau trial. Dalam strategi scale up bisnis, istilah ini merujuk kepada uji coba scale up sebelum nantinya mengeluarkan full effort. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.

“Pastikan kedua hal tersebut (TAM dan SAM) diukur dengan data. Sangat recommend untuk lakukan pilot project sebelum full blown effort dikeluarkan,” kata Ronald.

Tips Melakukan Scale Up untuk UMKM

Scale up tidak hanya bisa dilakukan untuk bisnis dengan skala besar, tapi juga untuk skala kecil dan menengah selama bisnis tersebut siap dengan memperhatikan beberapa aspek yang telah dijelaskan di atas.

Namun, untuk UMKM, Ronald memberikan tips untuk selalu melakukan scale up secara bertahap. Hal ini dapat menjadi cara untuk mengurangi resiko.

“Tips untuk scale up adalah biasakan menggunakan milestone alias bertahap. Ini untuk managing resiko dan memastikan bahwa setiap kali kita scale up, kita benar benar menguasai market-nya. Jangan hanya sekedar ada karena akan jadi sasaran empuk kompetitor,” jelasnya.

Ronald juga memberikan contoh scale up secara bertahap untuk UMKM. Misalnya saat ini penjualannya hanya berfokus di lingkungan komplek, selanjutnya lebarkan sayap untuk menargetkan ke satu kelurahan, kemudian satu kecamatan, hingga dapat mudah menjangkau se-Indonesia.

Apakah Scale Up Membutuhkan Modal Besar?

Jika berbicara tentang rencana mengembangkan bisnis, beberapa dari Anda mungkin langsung bertanya-tanya berapakah modal yang diperlukan? Apakah membutuhkan modal yang besar?

Asumsi scale up membutuhkan modal besar memang telah menjadi asumsi umum. Namun, Ronald berpendapat bahwa scale up tidak selalu membutuhkan modal besar. Semua tergantung pada jenis scale up yang akan dilakukan.

“Tergantung keputusan dari scale up. Biasanya yang butuh modal cukup besar jika scale up menyangkut capacity, karena ini selalu impact dengan pembelian aset.”

Selain itu, melakukan scale up secara bertahap juga bisa menjadi solusi agar modal yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Dengan menggunakan milestone, biaya yang dikeluarkan juga akan naik secara bertahap.

Sebaliknya, jika langsung melakukan scale up besar-besaran, maka biaya yang dibutuhkan juga akan langsung besar dengan resiko yang sama besarnya.

“Tidak perlu tergoda untuk ikut trend tiba tiba besar, karena instant itu cenderung rentan akibat tidak memiliki fundamental yang kuat untuk mendukung size yang cenderung besar,” ujar Ronald.

Itu dia kiat-kiat melakukan scale up bisnis ala Ronald. Kesempatan scale up ini terbuka untuk siapa saja, baik untuk bisnis kecil, menengah, maupun besar. Hal yang terpenting adalah selalu melakukan persiapan matang sebelum mengimplementasikannya, serta lakukan secara bertahap. Dengan begitu, resiko dapat diminimalisir dan beban modal tidak terlalu besar.

Jangan lupa juga untuk selalu memanfaatkan teknologi digital untuk memudahkan proses scale up di era digital seperti sekarang.

Blue Ocean Strategy: Pengertian, Contoh, Langkah, serta Kelebihan dan Kekurangan

Ketika belajar mengenai manajemen stratejik, kamu akan sering bertemu dengan istilah blue ocean strategy. Tidak hanya itu, dewasa ini kamu mungkin akan sering bertemu dengan istilah blue ocean strategy atau strategi blue ocean. Hal tersebut terjadi karena blue ocean strategy banyak digunakan oleh perusahaan rintisan atau startup. Kita pun dapat melihat bahwa sampai saat ini banyak sekali bermunculan startup dan banyak startup yang pendanaannya difasilitasi secara masif oleh investor.

Istilah strategi bisnis ini memang cukup unik. Sisi berlawanan dari blue ocean strategy adalah red ocean strategy. Kalau dari namanya mungkin kamu akan berpikir, “lho, memang apa kaitan dari laut (ocean) dengan bisnis?” Apa sebenarnya pengertian blue ocean strategy ini? Berikut ini adalah pengertian, contoh perusahaan, langkah untuk membuat, serta kelebihan dan kekurangan dari blue ocean strategy

Apa Itu Blue Ocean Strategy?

Ilustrasi blue ocean strategy: pengertian, contoh, kelebihan. dan kekurangan | Unsplash

Menurut Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2014), blue ocean strategy adalah salah satu strategi bisnis yang mana perusahaan tidak berusaha untuk bersaing dengan kompetitor usaha lain, akan tetapi perusahaan berusaha membuat industri baru atau segmen pasar yang unik. Dengan industri atau segmen pasar baru tersebut, permintaan baru dari masyarakat akan muncul dan karena perusahaan yang menerapkan blue ocean adalah perusahaan satu-satunya di market, mereka yang akan memperoleh keuntungan besar dari permintaan masyarakat yang bermunculan.

Gamble, J., Thompson Jr, A., & Peteraf, M. (2019) menjelaskan bahwa blue ocean strategy merupakan salah satu strategi ofensif dalam bisnis yang unik. Strategi blue ocean strategy ini merupakan salah satu upaya mendapatkan pangsa pasar yang menguntungkan, akan tetapi tidak dengan bergerak mengeliminasi kompetitor bisnis, melainkan membuat pasar atau industri baru. Strategi ofensif dalam bisnis sendiri dapat diartikan sebagai strategi di mana perusahaan melihat peluang untuk mendapat pangsa pasar besar dengan jalan berusaha untuk menyingkirkan pesaing atau mengurangi keunggulan kompetitif dari kompetitor. 

Konsep Blue Ocean Strategy

Ilustrasi blue ocean strategy dalam bisnis | Unsplash

Blue ocean strategy merupakan salah satu istilah yang cukup baru dalam lingkup bisnis. Strategi ini dikenalkan pertama kali di tahun 2005 oleh Kim, W. C., dan Mauborgne, R. yang mana memiliki konsep bahwa suatu lingkungan bisnis memiliki dua jenis pasar (market) yaitu red ocean market dan blue ocean market. Salah satu pasar merupakan pasar yang terdefinisi dengan baik, memiliki aturan yang dimengerti semua anggotanya, dan perusahaan berusaha mengungguli rival dengan cara melawan keberhasilan kompetitor. Pasar inilah yang dinamakan sebagai red ocean market

Sementara itu, pasar satunya adalah “blue ocean” di mana industri belum terdefinisi sempurna dan tidak memiliki persaingan. Pasar blue ocean akan membuka peluang lebar atas keuntungan dan perkembangan bisnis apabila dapat dapat memunculkan permintaan pasar yang baru. Frasa blue ocean merupakan analogi bahwa pasar ini memiliki potensi dan peluang yang sangat luas untuk dieksplorasi lebih jauh seperti halnya lautan biru.

Menurut Gamble, J., Thompson Jr, A., dan Peteraf, M. (2019), blue ocean strategy akan memberikan perusahaan peluang yang sangat bagus dalam jangka pendek. Blue ocean strategy tidak memberikan jaminan bahwa perusahaan akan memperoleh kesuksesan dalam jangka waktu panjang, terlebih ketika sudah ada pesaing baru yang masuk ke pasar.

Contoh Perusahaan Blue Ocean Strategy

Setelah mengetahui tentang pengertian dari Blue Ocean Strategy, kamu mungkin memerlukan contoh kasus nyata untuk membuat pengertianmu terhadap topik ini semakin mantap. Berikut ini contoh penerapan strategi blue ocean pada perusahaan Gojek dan Netflix. 

Blue Ocean Strategy pada Gojek

Gojek sebagai perusahaan yang menerapkan blue ocean strategy | gojek.com

Salah satu contoh dari perusahaan yang menerapkan strategi bisnis blue ocean ini adalah Gojek. Gojek atau yang sebelumnya ditulis sebagai GO-JEK merupakan perusahaan pertama yang menghadirkan aplikasi ojek online pertama di Indonesia sebelum akhirnya muncul pesaing-pesaing baru. Perusahaan ini pertama kali dirintis pada tahun 2011, namun kepopuleran transportasi online baru merebak di tahun 2015.

Gojek menawarkan suatu aplikasi ojek online pertama kali di Indonesia, sehingga mereka dapat membuat suatu permintaan masyarakat yang baru yakni kemudahan transportasi online. Dengan kemudahan serta tarif yang terjangkau menjadikan Gojek sukses dengan strateginya. Jika dilakukan analisis, ketika awal rilis, bisnis Gojek tidak memiliki industri yang khusus, bahkan pemegang kuasa mungkin bingung akan memasukkan Gojek ke industri teknologi atau transportasi.

Pada saat itu, Gojek pun belum memiliki kompetitor sama sekali di Indonesia sampai akhirnya masuk Grab serta Uber. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik blue ocean strategy yang mana mereka membuat industri dengan target market baru dan pasar yang ada belum memiliki kompetitor sama sekali. Blue ocean strategy tidak dapat menjamin kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang.

Seperti contohnya pada Gojek, setelah masuknya kompetitor, industri transportasi online tidak lagi industri yang tidak memiliki kompetisi. Dengan begitu, perusahaan tidak lagi berada dalam blue ocean market melainkan red ocean. Dengan adanya kompetitor, pangsa pasar perusahaan akan terbagi.

Tidak ada jaminan apakah Gojek akan terus bertahan, bahkan ada kompetitornya yang telah meninggalkan pasar karena gempuran persaingan bisnis. Uber –perusahaan layanan transportasi online asal Amerika Serikat– harus meninggalkan pasar Indonesia di tahun 2018. Seluruh mitra pengemudi Uber akhirnya pindah ke platform Grab, pun ada yang pindah ke Gojek. 

Blue Ocean Strategy pada Netflix

Netflix sebagai perusahaan yang menerapkan blue ocean strategy | Unsplash

Netflix merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan strategi bisnis blue ocean. Perusahaan layanan penyedia film dan series ini tidak berusaha untuk menjalankan kompetisi dengan toko-toko rental film. Namun, Netflix memilih untuk memberikan model layanan terbaru. Awal bisnis Netflix, perusahaan ini memberi layanan sewa film menggunakan mail, kemudian baru mereka menjadi platform pertama yang mengenalkan layanan streaming film maupun video berbayar dengan sistem user subscription. Seperti halnya Gojek yang pada akhirnya memiliki pesaing bisnis, Netflix sekarang memiliki banyak kompetitor seperti Disney Plus+, Vidio, IQIYI, dan lain sebagainya.

Langkah untuk Menerapkan Blue Ocean Strategy

Kim, W. C., dan Mauborgne, R. (2014) menjelaskan beberapa langkah yang bisa perusahaan terapkan jika ingin menggunakan blue ocean strategy. Simak apa saja langkahnya berikut ini.

  1. Start the Process; Dimana seseorang atau perusahaan yang ingin menerapkan blue ocean strategy memilih titik awal dan membuat tim yang tepat untuk mengeksekusi bisnis mereka.
  2. Understand where you are now; Proses di mana perusahaan melakukan identifikasi akan kondisi tim dan perusahaan secara keseluruhan termasuk [ada kelebihan dan kekurangan mereka. 
  3. Imagine where you could be; Tentukan sekiranya ada halangan yang dapat mengancam bisnis dan identifikasikan stakeholder –semua pihak yang memiliki kepentingan dalam perusahaan– mana saja yang akan dijangkau.
  4. Find how you get there; Cari pilihan-pilihan alternatif yang mungkin dapat dilakukan jika suatu rencana tidak berjalan baik, perusahaan juga perlu untuk mengatur market boundaries.
  5. Make your move; Resmikan model besar dari proses-proses sebelumnya, ujikan, dan realisasikan strategi bisnis ocean blue

Kelebihan dan Kekurangan Blue Ocean Strategy

Ilustrasi blue ocean strategy memiliki kelebihan dan kekurangan | Unsplash

Suatu pilihan dalam hidup mungkin hampir semuanya memiliki kelebihan kekurangan. Sama halnya dengan blue ocean strategy ini. Apa saja kelebihan dan kekurangan blue ocean strategy? Simak berikut ini penjelasannya.

Kelebihan Blue Ocean Strategy

Manfaat atau kelebihan yang dimiliki oleh pelaku bisnis yang melakukan blue ocean strategy kurang lebih sama halnya dengan kelebihan ketika suatu bisnis merupakan first mover (penggerak pertama dalam industri). Gamble, J., Thompson Jr, A., & Peteraf, M. (2019) menjelaskan bahwa beberapa kelebihan dari perusahaan yang menjadi first mover adalah sebagai berikut.

  1. Menjadi perusahaan perintis dalam suatu industri akan membangun citra dan reputasi perusahaan. Pada misalnya ketika Gojek berdiri ia selalu digadang-gadang memiliki image sebagai pendiri pertama dari industri transportasi online di Indonesia.
  2. Perusahaan yang menjadi perintis biasanya telah memiliki channel distribusi, inovasi teknologi, dan aset-aset penting lainnya sehingga dapat menjadi suatu keuntungan untuk mengungguli rival (yang mungkin akan datang). Perusahaan pesaing mungkin saja masih mencari-cari bahkan mungkin memiliki pengeluaran yang begitu besar untuk modal mereka. Saat itulah, perusahaan rintisan dapat dengan mudah mengatur harga pasar. 
  3. Konsumen dari perusahaan rintisan akan cenderung loyal pada perusahaan dan akan melakukan pembelian kembali.
  4. Menjadi perintis merupakan suatu tindak ofensif pendahuluan, sehingga perusahaan mampu membuat produk yang tidak mudah diimitasi atau bahkan tidak mungkin ditiru.

Kekurangan Blue Ocean Strategy

Kekurangan yang dimiliki oleh pelaku bisnis yang melakukan blue ocean strategy secara umum terjadi ketika perusahaan memiliki produk maupun aksi yang mudah disalin atau ditiru oleh perusahaan lain. Ketika perusahaan ditiru oleh kompetitor, dalam waktu singkat, perusahaan perintis dapat dengan mudah disingkirkan oleh pesaing. Dengan begitu, perusahaan yang menerapkan blue ocean strategy perlu untuk mengamankan competitive advantage-nya untuk tetap dapat bertahan pada industri.

Blue ocean strategy merupakan strategi yang cukup sulit dilakukan karena pelaku bisnis perlu melihat peluang dari adanya target pasar baru. Perusahaan yang menerapkan blue ocean strategy memiliki risiko yang cukup tinggi juga karena perusahaan akan menjadi perusahaan first mover di mana mereka menjadi penggerak pertama. Walaupun begitu, blue ocean strategy akan memiliki potensi yang sangat besar karena dalam industri belum ada kompetisi yang berarti. Nah, apakah kamu tertarik mengembangkan strategi ini dalam bisnis kamu?

Referensi:

Gamble, J., Thompson Jr, A., & Peteraf, M. (2019). Essentials of Strategic Management: The Quest for Competitive Advantage, 6e.

Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2014). Blue ocean strategy, expanded edition: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard business review Press.

Sumber gambar header: Unsplash

Seni Menjual Harus Dimiliki Setiap Founder Startup

Salah satu DNA dalam proses bisnis adalah “seni menjual”. Mulai dari bisnis tersebut dimulai atau membangun inti dari dalam, hingga memastikan produk sampai ke tangan konsumen dengan tepat. Sangat mustahil bisnis akan berjalan tanpa adanya pemahaman tentang cara untuk menjual tersebut.

Dimulai dari menjual visi untuk lingkup internal

Ketika sebuah ide dicetuskan, seorang founder perlu meramu susunan yang tepat untuk memastikan roda bisnis berputar dengan baik. Apa yang perlu ia lakukan? Tak lain menjual visi, baik kepada orang lain sebagai mitranya maupun kepada investor untuk dapat mengakselerasi bisnisnya.

Menjual visi ini menjadi hal yang sangat krusial, pada dasarnya membangun bisnis juga membutuhkan chemistry –sebuah keinginan dan semangat yang sama untuk membawa apa yang telah dirintis ke suatu titik.

Kendati demikian ada cara pragmatis yang dapat dipilih oleh founder. Namun dapat dijadikan pertimbangan, bahwa cara pragmatis akan mengantarkan rekanan yang dipilih pada titik pengguguran kewajiban. Artinya seorang tersebut hanya akan berjalan bagaikan robot, mereka bekerja dengan apa yang diperintahkan. Kecil kemungkinan aktif memberikan sumbangsih untuk improvisasi bisnis yang dibangun.

[Baca juga: 5 Cara Menjadi Orang yang Berpengaruh]

Menjual visi adalah untuk memberikan sebuah kepercayaan. Terlebih bagi startup, umumnya di fase awal tidak ada yang bisa dipamerkan, selain visi tadi. Visi yang dijual adalah sesuatu yang ingin dilihat oleh founder startup tentang bisnisnya di masa mendatang.

Dilanjutkan membawakan produk ke tangan konsumen

Ketika seseorang mulai melangkah dengan bisnisnya, hal yang akan ditemui di lapangan adalah tidak ada orang yang akrab dengan produk yang dikembangkan. Mengapa ini penting untuk menjadi penegasan, karena sering kali pengusaha gagal mengingat ini karena mereka menghabiskan sepanjang hari setiap hari memikirkan produk mereka, dan bagi mereka itu mudah dipahami.

Kenyataannya ketika menunjukkan produk kepada orang lain untuk pertama kali tidaklah mudah. Meskipun mereka dapat melihat bahwa itu baru dan mengesankan, mereka tidak tahu apa yang mereka lihat. Di sini tantangan muncul, lagi-lagi tentang menjual. Solusinya hanya dua, membuat apa yang disampaikan mudah dimengerti atau membuatnya menjadi sangat menarik.

[Baca juga: 8 Strategi Pemasaran Produk untuk Generasi Z]

Seni menjual yang sangat umum adalah dengan melempar ide dan latar belakang tentang solusi yang ditawarkan. Membuat sebuah garis besar masalah yang mungkin dihadapi konsumen dengan cara yang paling ringan. Menceritakan sebuah cerita masih menjadi cara yang efektif untuk menarik perhatian audiens, dan lebih mudah untuk dihubungkan daripada daftar fakta dan gambar.

Semakin penuh warna, bermakna dan sederhana membuat penjelasan, semakin mudah diresapi. Pastikan untuk menjaga agar tetap singkat dan relevan, menguraikan setiap ciri khas produk hingga menyulut kegembiraan pengguna. Dan pada akhirnya, harus ada dorongan penjualan atau komitmen. Beberapa orang sering kali terlihat tertarik pada sebuah produk, namun tidak memiliki minat untuk membeli.

Seni menjual ini sangat dinamis, bahkan bisa dikatakan tidak ada teori tentang bagaimana memenangkan orang atau konsumen dengan strategi yang pasti. Semuanya serba tambal-sulam, dengan maksud sangat bergantung dengan kejelian “sang penjual” dalam membaca keadaan, memberikan penjelasan dan menekankan penawaran.

Menemukan Pola Pengguna Produk Startup

Target pengguna biasanya ditentukan di awal merumuskan bisnis. Rumusan tersebut umumnya juga digunakan untuk memastikan produk memenjawab kebutuhan dan dapat diterima di pasar. Namun langkah untuk mengenali penggunya harusnya tidak berhenti di situ. Selanjutnya diperlukan beberapa usaha untuk menemukan pola dan karakteristik pengguna. Salah satunya dengan menggali data pengguna dengan mengkategorikan atau memfilter karakter-karakter pengguna.

Founder and Managing Partner Greg Sands dalam laman resmi Medium milik Costanoa Venture Capital memaparkan beberapa pertanyaan yang diperlukan dalam menggali data untuk menemukan pola agar memperjelas kategori pengguna seperti apa yang cocok dengan sebuah produk.

Beberapa pertanyaan tersebut antara lain meliputi demografi perusahaan, jabatan kerja, waktu penjualan, adakah hubungan antara teknologi yang digunakan dengan keputusan pengguna menggunakan produk, apakah produk menjadi alternatif atau solusi utama dari pengguna, berapa dana yang disiapkan pengguna untuk produk, dan beberapa kategori lainnya.

Greg dalam tulisannya menyebutkan bahwa praktik terbaik untuk mengetahui pola pengguna dari sebuah produk adalah dengan menambahkan beberapa pertanyaan untuk mengeksplorasi hipotesis yang muncul. Seringnya beberapa pola akan muncul dan biasanya hanya sebatas pola-pola umum. Sampai tahap ini berarti harus ada beberapa pertanyaan lanjutan yang lebih spesifik mengenai apa yang sebenarnya diinginkan pengguna dan lainnya.

Pada intinya mengetahui lebih lanjut karakteristik berguna untuk mengantisipasi false alarm dari banyaknya penjualan di awal. Harus ada sesuatu yang mengikat mereka, sesuatu yang mempelajarinya untuk menyediakan yang benar-benar mereka butuhkan. Mengantisipasi pengguna yang coba-coba harus ada yang mengenali dan mengetahui kebutuhan mereka lebih lanjut.

Greg dalam akhir tulisannya menyebutkan bahwa memiliki pengetahuan yang mendalam tentang pola pelanggan dapat menjamin sebuah bisnis berada dalam fokus yang benar untuk membangun bisnis jangka panjang.

[Startup Wednesday] Cara Menentukan “Market” yang Potensial

Saya Suzuki dari CyberAgent Ventures (CAV) Indonesia. Kali ini saya mau berbagi tentang bagaimana CAV menentukan market yang potensial, yaitu market yang harus dipilih oleh para entrepreneurs. Untuk hal ini, baik B2C service maupun B2B service, yang paling penting untuk diingat adalah berdiri di sudut pandang user lalu berpikirlah: Apakah market di kategori itu ada?

Continue reading [Startup Wednesday] Cara Menentukan “Market” yang Potensial

Ekosistem Adalah Kunci Dalam Industri Mobile dan Nokia Memiliki Elemen Yang Tepat Untuk Mengambil Peran

Kamis kemarin saya menghabiskan sebagian besar waktu saya dengan beberapa manajer produk serta agen humas untuk Nokia Indonesia bersamaan dengan peluncuran ponsel qwerty + touchscreen andalan Nokia, Asha 303. Ponsel yang saya pikir akan menjadi pesaing yang cukup kuat di pasar ponsel seperti Indonesia. Ponsel ini mengusung sistem operasi S40 tetapi menawarkan kemampuan populer yang dicari dari smartphone yang memiliki harga lebih mahal. Saya dan pihak Nokia membahas banyak poin tentang posisi Nokia di Indonesia maupun di antara para pesaing.

Ya, Nokia telah jatuh pada masa-masa sulit, pencipta kategori produk smartphone ini sedang dirundung berbagai masalah. Penjualan menyusut, pangsa pasar menukik tajam, keuntungan raib, sahamnya tidak lagi diperdagangkan di banyak pasar saham terbesar di dunia.

Continue reading Ekosistem Adalah Kunci Dalam Industri Mobile dan Nokia Memiliki Elemen Yang Tepat Untuk Mengambil Peran

Ecosystem is Key in Mobile Industry and Nokia has the Right Pieces to Play

I spent most of Thursday with product managers and PR agents for Nokia Indonesia as the company locally launched its flagship qwerty+touchscreen phone, the Asha 303. The phone, which I think is going to be a pretty strong contender in a mobile market like Indonesia, carries the S40 operating system but offers capabilities popularly sought from more expensive smartphones. We discussed on a lot of points regarding Nokia’s position in the country as well as among competitors.

Yes, Nokia has fallen on hard times, the once mighty creator of the smartphone product category is down in the dumps. Sales dwindled, market share took a nosedive, profits flew the coop, its shares are no longer traded on many of the world’s largest stock markets.

In my hand was my N9 which was just brought back from a coma. We spoke about Nokia’s music strategy and the mobile market in Indonesia. I had been using Nokia Music in my N9 and figured I could give them some of my thoughts about the service directly.

Continue reading Ecosystem is Key in Mobile Industry and Nokia has the Right Pieces to Play

Event Mobile Development Day dan Sedikit Cerita Tentang Pasar Internet/Mobile di Medan

Hari Sabtu kemaren, tidak hanya di Jogja, tetapi kota Medan juga diramaikan dengan berbagai event yang berhubungan dengan dunia teknologi dan internet secara keseluruhan, setidaknya ada 3 event yang saya ketahui, Medan Mobile Game Development Day yang disponsori Nokia, Android event dan acara roadshow idbloglicious yang di selenggarakan idBlognetwork.

Sayangnya untuk acara berkaitan dengan Android saya tidak memiliki info dan tidak hadir di acara tersebut, sedangkan untuk dua acara lain, saya berkesempatan mampir dan berbincang dengan penyelenggara.

Untuk event Mobile Development Day, acara diadakan selenggarakan oleh panitia lokal dari WebMedia, sebuah penyedia jasa pelatihan komputer, website development dan IT solution, acara dihadiri 400 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, SMK, praktisi dan kalangan umum. Acara yang diadakan di Hotel Madani, Gelora Ballroom, Jl. Sisingamangaraja no. 1 ini menghadirkan 5 pembicara antara lain Narenda Wicaksono – Developer Manager of Nokia Development, Kresna Dewantara – Chief Technical Officer of Armanovus Indonesia, Yuandra I. dan Paramitha H. – Winner of Mobile Game DevWar Bandung, Firstman M – President of NICE, Shieny Aprillia – COO Agate Studio dan Erick Kurniawan – Co-founder NICE.

Continue reading Event Mobile Development Day dan Sedikit Cerita Tentang Pasar Internet/Mobile di Medan

Apakah Area Rural di Indonesia Merupakan Pasar Internet/Mobile Yang Potensial?

Dewasa ini, kebanyakan startup Indonesia hanya berfokus pada Jakarta dan mungkin 2 kota besar lain dalam meluncurkan layanan mereka. Beberapa pilihan kota yang menjadi sasaran utama antara lain Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya dan Bali, sedangkan kota lainnya terlupakan. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa area selain kota besar memiliki tingkat adopsi internet yang rendah, meskipun demikian ada fakta bahwa sebagian besar pendapatan mobile dihasilkan dari daerah di luar Jakarta.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Marketeers, menunjukkan fakta yang menarik tentang daerah pedesaan (non-kota besar) dan hubungannya dengan internet. Mereka merilis sebuah grafik yang menunjukkan betapa pentingnya media bagi orang di kota-kota tertentu. Mereka mewawancarai 2100 orang dari 10 kota di seluruh Indonesia, 14-35 tahun dari SES A, B dan C. Dan hasilnya cukup mengejutkan!

Continue reading Apakah Area Rural di Indonesia Merupakan Pasar Internet/Mobile Yang Potensial?

Are Indonesia’s Rural Cities A Potential Internet/Mobile Market?

Most Indonesian startups launched these days only focuses on Jakarta and maybe 2 other big cities as their main target audience. It would be Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, and Bali, and the rest of the cities in Indonesia is forgotten. Most would argue the lack of internet adoption, although one could argue with the fact that most of mobile revenue is generated from areas outside of Jakarta.

A recent research conducted by Marketeers, shows an interesting fact about the rural areas and its relationship with the internet. They published a chart that shows how important a media is to people in specific cities. They’re interviewing 2100 people from 10 cities around Indonesia, 14-35 years old from A,B,C SES – class. And the result is quite surprising!

Continue reading Are Indonesia’s Rural Cities A Potential Internet/Mobile Market?