Predicting The Logic Behind Go-Jek’s Acquisition Rumor on Two Payment Services

Go-Jek, Indonesian unicorn startup, became the headline of the acquisition-related rumors of two payment services (for some reason the name would not be mentioned in this article). Perhaps most people still wonder why two payment services (also why two, not just one) are subjected to the acquisition of an on-demand service departing from an easy-booking service.

It can’t be confirmed that the rumors were true, because we did not get an official confirmation. Nevertheless, some reliable sources has mentioned that there are indications to that, even an agreement might already occurred.

It’s time for Go-Pay to “shine”

Speaking about payment can’t be parted from Go-Pay as Go-Jek payment service. Go-Pay is a phenomenon that becomes part of user’s everyday life and as it has been sounded by Co-Founder and CEO of Nadiem Makarim, Go-Pay is ready to get out of the Go-Jek ecosystem and purely becomes digital payment tools.

In order to get out of its own ecosystem, Go-Pay needs “vehicles” to speed up its adoption across platforms. There are not many B2B payment gateway platforms that dominate the Indonesian market and with Doku being  acquired by EMTEK, only one online payment platform becomes a serious candidate as Go-Pay partner. Looking at the sites, they have already offered Go-Pay as a supported payment tool.

If one platform has been acquired, is it necessary to acquire another payment company? We must notice the strengths and weaknesses of each payment company and Go-Jek’s ambition with Go-Pay.

One is strong enough with online payment services, but has no presence in offline payment services (primarily related with EDC). The other is strong in offline payment services and has an extensive network with thousands of leading retailers.

If Go-Jek acquires both, they will create new synergy to encourage enormous use of Go-Pay. Not only for online transactions, but also offline transactions. Imagine shopping at local grocery store or fancy outlets in the mall using Go-Pay.

QR Code technology has become the “bridge” between the two worlds (offline and online), as already indicated in China which became the mecca of Indonesian startup development. It will simply integrate Go-Pay with QR Code and voila Go-Pay can be WeChat Pay or Alipay of Indonesia.

Synergy to win the payment platform game

There is a different sentiment felt when a local synergy do a head-to-head fighting at the same level with global player. Go-Jek currently leads Indonesian market against Grab and Uber in on-demand market and competition between the three already extends to the payment platform.

Grab took Kudo and Lippo Group, while Uber is in partnership with Tokopedia. Go-Jek certainly can not just sit still. The acquisition of these two payment platforms will strengthen Go-Jek’s position in digital payment area. Dominate the payment system, as we have seen in China, and it will not be difficult to make a profit.

Still, is there any confusion among crowd on how Go-Jek retaining the income?


Original article is written in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Menerka Logika Di Balik Rumor Akuisisi Go-Jek Terhadap Dua Layanan Pembayaran

Dua kali Go-Jek, startup unicorn Indonesia, menjadi headline terkait rumor akuisisi terhadap dua layanan pembayaran (karena alasan tertentu keduanya tidak kami sebutkan namanya di artikel ini). Mungkin banyak kalangan awam yang bertanya-tanya mengapa dua layanan pembayaran (juga kenapa dua, tidak cuma satu) menjadi sasaran akuisisi sebuah layanan on-demand yang berangkat dari kemudahan pemesanan layanan ojek.

Kami tidak bisa mengatakan bahwa rumor itu benar, karena kami tidak mendapatkan konfirmasi resmi. Meskipun demikian beberapa sumber terpercaya memang menyebutkan bahwa ada indikasi ke arah sana ataupun bahkan kesepakatan sudah terjadi.

Momen utama Go-Pay untuk “tampil”

Menyebutkan soal pembayaran tidak bisa lepas dari Go-Pay sebagai layanan pembayaran Go-Jek. Go-Pay adalah fenomena yang menjadi bagian keseharian konsumen Go-Jek dan seperti yang telah beberapa kali digaungkan Co-Founder dan CEO Nadiem Makarim, Go-Pay sudah siap untuk keluar dari ekosistem Go-Jek dan murni menjadi alat pembayaran digital.

Untuk keluar dari ekosistemnya sendiri, Go-Pay butuh “kendaraan” untuk mempercepat adopsinya di berbagai platform. Bisa dibilang tidak banyak platform payment gateway B2B yang menguasai pasar Indonesia dan dengan Doku telah diakuisisi EMTEK, platform pembayaran online yang satu lagi menjadi kandidat serius sebagai mitra Go-Pay. Pun kalau kita melihat ke situsnya, mereka sudah menggandeng Go-Pay sebagai alat pembayaran yang didukung.

Jika satu platform sudah diakuisisi, kenapa harus mengakusisi sebuah perusahaan pembayaran lagi? Tentu saja kita harus melihat di mana kekuatan dan kelemahan masing-masing perusahaan pembayaran dan bagaimana ambisi Go-Jek dengan Go-Pay-nya.

[Baca juga:  Survei layanan on-demand di Indonesia tahun 2017]

Yang satu kuat dengan layanan pembayaran online, tetapi tidak memiliki kehadiran di layanan pembayaran offline (EDC yang menjadi poin pembayaran berbasis kartu). Yang satunya lagi kuat di layanan pembayaran offline dan memiliki jaringan luas dengan ribuan ritel terkemuka.

Jika Go-Jek benar mengakuisisi keduanya, mereka akan menciptakan sinergi baru untuk mendorong pemanfaatan Go-Pay yang luar biasa. Tak cuma untuk transaksi online, tetapi juga transaksi offline. Bayangkan kalau kita berbelanja di toko kelontong atau gerai-gerai mewah di mall menggunakan Go-Pay.

Teknologi QR Code sudah jamak menjadi “jembatan” antara dua dunia (offline dan online) ini, sebagaimana sudah ditunjukkan di Tiongkok yang menjadi kiblat perkembangan startup Indonesia. Tinggal mengintegrasikan Go-Pay dengan QR Code dan voila Go-Pay bisa menjadi WeChat Pay atau Alipay-nya Indonesia.

Sinergi untuk pemenangan platform pembayaran

Ada sentimen tersendiri yang dirasakan ketika sebuah sinergi lokal bertarung head-to-head di level yang sama dengan pemain global. Go-Jek saat ini memimpin di pasar Indonesia melawan Grab dan Uber di pasar on-demand dan kini persaingan antara ketiganya sudah meluas ke platform pembayaran.

Grab menggandeng Kudo dan Lippo Group, sementara Uber kini menjalin kemitraan dengan Tokopedia. Go-Jek tentu saja tidak bisa tinggal diam. Akuisisi terhadap dua platform pembayaran tersebut bakal mengukuhkan posisi Go-Jek di percaturan pembayaran digital. Jika sudah mendominasi sistem pembayaran, sebagaimana kita lihat di Tiongkok, tidak sulit untuk menangguk keuntungan.

Kini, masih ada yang bingung bagaimana Go-Jek mencari pendapatan?

[Baca juga:  Survei layanan on-demand di Indonesia tahun 2017]

Application Information Will Show Up Here

Algoritma Akan Adakan Talkshow Bahas Data Science di Industri Finansial

Seiring dengan perkembangan teknologi, data di berbagai industri juga semakin bertambah, terlebih di lini industri kritis seperti finansial. Ada banyak sekali jenis data yang berkembang dalam industri finansial, misalnya transaksi pelanggan, pertimbangan risiko keuangan, perhitungan biaya institusi, dan lain-lain. Bayangkan kalau jenis data yang berbeda-data ini dikalikan dengan jumlah pelanggan di sebuah perusahaan yang menggunakan fasilitas teknologi finansial, betapa banyaknya data yang ada untuk sekelompok orang saja.

Sebagai contoh, seseorang membeli baju dari salah satu platform e-commerce. Untuk melakukan pembayaran, ia memilih pembayaran melalui kartu kredit dari sebuah bank. Data transaksi ini tentu saja harus direkam oleh platform e-commerce yang bersangkutan untuk kepentingan pelaporan transaksi, hingga pengambilan keputusan dalam rangka optimalisasi sistem pembayaran.

Semua data para pelanggan yang mempunyai pengalaman transaksi di satu perusahaan tertentu pasti bermanfaat bagi industri tersebut. Namun data tersebut akan bernilai guna jika data bisa dikumpulkan dengan baik dan diolah secara tepat sesuai dengan tujuan penggunaan data.

Untuk mempelajari kiat mengoptimalkan potensi dari data tersebut, Algoritma bersama dengan Midtrans dan Julo akan mengadakan talkshow bertemakan “Data Science in the Financial Industry”.

Pembicara dalam talkshow ini terdiri dari Monalisa Gosumolo (Head of Data Science di Midtrans) dan Martijn Wieriks (Head of Analytics di Julo). Keduanya akan membahas perkembangan data science dalam industri finansial, aplikasi data dan analisis dalam industri finansial, hingga kesempatan yang mungkin bisa kamu pelajari untuk meniti karier di bidang data science.

Acara ini akan digelar pada 20 September 2017, di Spacemob, Gama Tower lantai 33, Jakarta Selatan. Acara ini terbatas hanya untuk 50 peserta dan berasal dari kalangan mana pun, mulai dari mahasiswa, karyawan, dan startup. Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut dapat diakses melalui tautan berikut: https://goo.gl/AgdQGB.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara Data Science oleh Algoritma.

Aplikasi Prism Diintegrasikan dengan LINE@, Mudahkan Pemilik Merchant Atur Transaksi Melalui Chat

Platform chat-to-buy Prism baru-baru ini mengumumkan sebuah integrasi aplikasi yang memudahkan pengguna LINE@ (dalam hal ini merchant) untuk memproses transaksi menggunakan kolom chatting. Menggunakan aplikasi Prism yang dapat diunduh oleh pemilik merchant di perangkatnya, pengguna akan dipermudah untuk mengelola komunikasi sekaligus transaksi pembelian melalui dashboard tunggal.

Saat ditemui di kantornya di Yogyakarta, Chief of Operations Prism Fachry Bafadal menyampaikan:

“Jadi dari berbagai macam channel yang ada (untuk penjualan online), kita ingin mencoba menghadirkan sebuah single-dashboard di mana mereka bisa melakukan komunikasi hingga melakukan check-out (memproses transaksi).”

Sebelumnya Prism dihadirkan untuk melengkapi website e-commerce melalui sebuah chat-widget. Dengan integrasi LINE@ ini, artinya layanan Prism tidak lagi mengharuskan merchant untuk memiliki website. Ketika mereka memiliki “lapak” di LINE@ transaksi kepada pelanggan dapat dikelola melalui aplikasi.

“…dari merchant yang kita punya tadinya kita require mereka untuk memiliki website, dengan membukan opportunity di mobile ini, merchant tidak lagi perlu punya website. Mereka cukup punya LINE@ Account dan sudah aktif berjualan di LINE sebelumnya, dan Prism menyajikan powerful tools yang membantu mereka untuk mempercepat transaksi melalui perangkatnya,” ujar Fachry.

Tidak hanya transaksi saja, namun dalam aplikasi Prism juga dibubuhkan sebuah analytics tools yang membantu pengguna memahami laju transaksi dan conversion rate pada merchant yang dikelola. Untuk saat ini aplikasi Prism sudah tersedia di Google Play dan App Store, hanya saja belum dibuka untuk publik, baru diujicobakan melalui private invitation.

Sembari mendemokan integrasi aplikasi Prism dan LINE@ kepada DailySocial, VP of Engineering Prism Fauzan Erich Emmerling menjelaskan cara kerja integrasi tersebut:

“Nantinya pemilik merchant akan memiliki akun Prism untuk login ke dalam aplikasi. Ketika ada penawaran melalui LINE@, maka akan terhubung (mendapatkan notifikasi) ke dalam aplikasi Prism untuk berkomunikasi dan memprosesnya transaksi … Saat ini baru LINE, tapi kita expect untuk mengembangkan di channel yang lain.”

Salah satu keuntungan yang ingin ditawarkan oleh Prism adalah aplikasi ini terhubung langsung dengan payment gateway. Sehingga semua transaksi benar-benar bisa langsung dikelola melalui chat, dan pemilik merchant dapat memberikan opsi pembayaran yang lebih lengkap, mulai bank transfer hingga virtual account.

Layanan Prism sendiri disajikan dalam bentuk SaaS (Software as a Services), merchant dapat berlangganan untuk memanfaatkan berbagai kelebihan yang terdapat pada aplikasi.

“Melihat traksi pengguna dari versi Prism sebelumnya, sangat bagus, mereka melihat bahwa behaviour konsumen di Indonesia lebih suka dilayani melalui conversation dibanding hanya melalui shopping cart,” imbuh Fachry.

Sebagai informasi tambahan, Prism adalah startup yang bernaung di bawah PT Koneksi Integrasi, bagian dari grup perusahaan Midtrans. Berdirinya Prism diinisiasi oleh bergabungnya startup Coral dan OneBit.

Fintech Startup dan Tugasnya Membawa Perubahan

Game changer adalah istilah dalam bahasa Inggris yang mengacu pada situasi atau ide yang mendobrak dan mengubah cara berpikir masyarakat akan sebuah tatanan. Mereka yang masuk kategori game changer biasanya bukan cuma mendapat eureka moment saja, tetapi juga sadar bahwa inovasinya akan membawa perubahan bagi orang banyak dan juga dapat membumikannya. Mengingat banyak tokoh inventor yang ada di dalamnya, dunia teknologi tampaknya sudah tidak asing lagi dengan istilah game changer, apalagi bila meninjau geliat startup yang unjuk gigi di industri.

Di pasar mancanegara, perusahaan-perusahaan teknologi game changer hadir di berbagai ranah, termasuk yang cukup signifikan untuk disoroti adalah lingkup financial technology (fintech). Mengapa? Sebab, keuangan adalah denyut nadi dari sebuah sistem organisasi, entah itu dalam skala keluarga, komunitas, korporasi, maupun pemerintahan.

PayPal, Alipay, dan Paytm adalah tiga dari sekian banyak bisnis fintech internasional yang menghantam dinding budaya masyarakat terkait cara bertransaksi dan mengelola keuangan, dengan model bisnisnya masing-masing. Ryu Kawano, CEO Midtrans, menceritakan bagaimana ketiga perusahaan ini begitu menginspirasi.

“PayPal didirikan pada tahun 1998, bermula dari sistem pembayaran default di eBay, kini menjadi payment method yang mengubah cara berpikir orang-orang dalam melakukan pembayaran,” ujar Ryu.

Alipay juga memiliki caranya sendiri dalam menjalankan bisnisnya di Tiongkok. Platform pembayaran online yang didirikan pada tahun 2004 ini melihat adanya trust issue antara penjual dan pembeli. “Maka, Alipay membuat escrow service, dan membuat rasio NPL (non-performing low) Tiongkok menurun tajam, yang awalnya berada di angka lebih dari 25%,” kisah Ryu.

Lain lagi dengan Paytm yang juga dikagumi Ryu. Awal terciptanya e-wallet asal Negeri Barata ini adalah dari kesadaran bahwa, di India, mesin ATM tidak dapat digunakan untuk membeli pulsa. Padahal di sisi lain, rider Uber mulai bermunculan. Akhirnya, Paytm memberikan solusi tersebut, khususnya bagi rider Uber India yang tidak memiliki kartu kredit.

“Kesamaan dari setiap perusahaan tadi adalah solusi yang mereka tawarkan di masing-masing tempat mereka berada,” ujar Ryu. Ya, tiga perusahaan fintech tadi telah membawa solusi dan gebrakan di daerahnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Ryu, yang perlu difokuskan adalah masalah yang terjadi di Indonesia, bukan terlalu terpaku pada fitur yang dimiliki PayPal, Paytm, atau Alipay. Berpegangan pada prinsip tersebut, Ryu mengawali bisnis payment gateway-nya dengan perusahaan bernama Veritrans yang membantu masyarakat Indonesia dalam pembayaran online pada tahun 2011. “Kami memproses transaksi yang bernilai miliaran rupiah setiap hari,” aku Ryu.

Seiring dengan pertumbuhan volume transaksi, ternyata Ryu dan timnya tidak hanya menghadapi permasalahan cara pembayaran online saja; mereka juga mendapati pola fraud yang semakin hari semakin rumit dan dapat menghilangkan ribuan dolar hanya dalam hitungan menit.

Ryu kemudian mengubah Veritrans menjadi Midtrans. Bagi Ryu, hal ini tentu bukan hanya soal perubahan nama, namun Midtrans hadir untuk bertransformasi menjadi solusi untuk menjangkau perubahan pasar yang cepat melalui inovasinya yang lebih dari payment gateway, salah satunya adalah Aegis.

“Aegis awalnya dikembangkan untuk mengisi kebutuhan terhadap Fraud Detection System yang melonjak,” kisah Ryu. Pertama-tama, Midtrans mengembangkan Rule Engine-based Fraud Detection System, yang mana ternyata fraud di ranah e-commerce berkembang semakin kompleks saja seiring waktu. “Contohnya, konsumen yang ingin menyalahgunakan promotional discount seringkali memperlihatkan gerak-gerik yang sama dengan konsumen yang memang betul-betul secara identitas jelas,” tambah Ryu.

Midtrans lantas menambahkan kemampuan dari Aegis seperti scoring, augmented intelligence, dan visualisasi untuk mendeteksi pola-pola canggih dari para fraudster.

Melalui Aegis, Midtrans berupaya menjawab keresahan dari para pelaku industri jual-beli elektronik. Cerita sukses PayPal, Alipay, dan Paytm tadi terbukti mendorong Midtrans untuk terus membawa solusi di masyarakat, hingga disadari atau tidak, mereka pun menjadi game changer dalam ekosistem fintech Indonesia. “Yang menarik dari inovasi mereka adalah bukan tentang mengubah sistem pembayaran, namun memperbaikinya,” tutur Ryu mengacu pada keberhasilan tiga perusahaan tersebut.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Midtrans.

Coral Pivot Jadi Prism, Hadirkan Fitur Chat-to-Buy untuk E-Commerce

Model layanan yang mengedepankan kecerdasan buatan yang menyajikan otomatisasi terus gencar dilahirkan oleh racikan tangan pengembang lokal. Baru-baru ini hadir sebuah layanan bernama Prism, sebuah sistem chat yang mampu terintegrasi dengan layanan e-commerce dan memudahkan customer service membantu pelanggan memenuhi kebutuhan transaksinya. Layanan ini digagas oleh tim pengembang Coral. Prism menjadi bentuk pivot dari Coral.

Co-Founder dan CEO Prism Batista Harap memberikan komentar:

“Yes, kita mengambil pelajaran-pelajaran yang kami terima di Coral untuk meningkatkan Conversion Rate di seluruh merchant kami.”

Segepok fitur telah disematkan pada layanan Chat-to-Buy ini, dengan pembagian kategori fitur berupa Conversation, Transaction dan Power Tools. Di kategori Conversation berbagai fitur yang mendukung percakapan diadakan, termasuk kemampuan kustomisasi widget, integrasi dengan email, autoresponder dan sistem persona agen.

Di kategori layanan Transaction, fitur belanja online tersematkan ke dalam sistem chat yang diintegrasikan dengan layanan e-commerce, sehingga memudahkan pengguna yang dibantu oleh sistem bantuan pelanggan memenuhi kebutuhan transaksi. Karena melalui sistem ini pengguna pun dapat melakukan pembayaran, misal menggunakan kartu kredit, tanpa harus meninggalkan chat. Sedangkan di kategori Power Tools berbagai kebutuhan untuk memudahkan pelanggan dan promosi dihadirkan. Termasuk kemampuannya untuk diakses dalam mode desktop ataupun mobile.

Saat ini layanan Prism dapat dilanggan dengan dua pilihan paket, yakni Startup E-Commerce dan Enterprise E-Commerce. Perbedaannya adalah kapabilitas dan kekayaan fitur. Dalam penerapannya pun sudah tersedia API integrasi yang siap pasang. Cukup baru memang untuk sebuah sistem e-commerce di Indonesia, namun bisa jadi ini membuka tren baru di dunia belanja online, terlebih sistem berbasis messaging sudah sangat akrab digunakan oleh pengguna smartphone di Indonesia.

Teknologi di balik kecerdasan layanan Prism

Dewasa ini pendekatan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Natural Language Processing (NLP), Machine Learning hingga Big Data memang sedang gencar untuk melakukan pengelolaan dan otomatisasi pada kumpulan data dan layanan. Namun dalam pengembangannya Prism mencoba untuk melakukan pendekatan lain di tengah maraknya pengembangan layanan berbasis AI.

“Kami optimis terhadap AI, tapi dengan data dan kemajuan NLP di Bahasa Indonesia sekarang, kami rasa belum prime-time, please prove us wrong. Oleh karena itu kami memilih untuk design Prism dengan prinsip Augmented Intelligence,” ujar Tista.

Dalam pengembangannya, tim Prism mengaku bahwa seluruh pemilihan teknologi, user experience dan sistem komunikasi semua terpusat pada efisiensi pengguna, dengan menyajikan layanan yang pintar dan upsell friendly.

“Jika sebelumnya seorang chat-agent dapat menangani sekitar 100 chat/hari, kami ingin meningkatkan efisiensinya menjadi paling tidak sampai 1000 chat/minggu, di mana conversion rate sama atau bahkan lebih dengan aplikasi Coral sebelumnya,” lanjut Tista.

Untuk menunjang peningkatan conversion rate, Pirsm turut mengembangkan White Label Chat App dan Mobile SDK untuk Prism yang diberikan gratis kepada merchant. Menurutnya semakin dekat mediumnya dengan customer, semakin tinggi conversion rate yang dapat dihasilkan.

“Lalu integrasi dengan situs-situs e-commerce kami buat lebih mudah lagi dengan menyediakan plugin di Magento, WooCommerce dan Prestashop. Ke depannya kami ingin membuat lebih banyak plugin lagi untuk lebih banyak e-commerce platform. Dengan plugin, hanya butuh beberapa klik untuk integrasi Prism,” ujar Tista.

Melayani transaksi pembayaran, Prism juga meyakinkan bahwa apa yang ditawarkan melalui rangkaian kategori fitur Transaction dapat berjalan secara aman. Sebagai bagian dari Midtrans, pihaknya menggunakan Midtrans Core API yang telah digunakan oleh mayoritas situs e-commerce di Indonesia.

“Khususnya untuk pembayaran kartu kredit, kami tidak pernah menyimpan data kartu kredit customer […] Kami melakukan charging on behalf of merchant lalu payment notification akan diteruskan langsung ke API merchant. Untuk merchant yang sebelumnya menggunakan VT-Web, kami juga support payment method tersebut. Ke depannya kami juga mengintegrasikan SNAP ke Prism,” jelas Tista menerangkan proses eksekusi transaksi di Prism.

Chat-to-Buy, strategi peningkatan conversion rate e-commerce

Ide yang mendasari pengembangan Prism masih seputar keinginan tim untuk meningkatkan porsi transakasi layanan e-commerce. Awalnya Tista, Andreas Fendri dan Dharma S. Utomo ingin membuktikan dua hal, yakni metode bank transfer di Indonesia bukanlah masalah e-commerce dan checkout flow yang sekarang biasa digunakan di e-commerce pada umumnya tidak dibuat untuk behavior orang Indonesia. Muncullah Chat-to-Buy. Kedua hal tersebut dibuktikan dengan Coral.

Conversion rate yang dihasilkan dari Coral mencapai angka 13% dengan UX yang kita funnel semua ke tombol Chat-to-Buy. Lalu untuk Bank Transfer, kami membuktikan bahwa semua chat yang sampai ke tahap invoice, 93% settled,” ujar Tista.

Dari persentase yang didapat tersebut, tim Prism meyakini bahwa conversion rate dipengaruhi oleh Chat-to-Buy. Fakta ini sebelum direalisasikan menjadi Prism juga telah didiskusikan dengan pemain e-commerce, salah satunya Tees.co.id. Obrolan tersebut memusatkan pada keinginan bersama untuk melakukan investasi waktu dan tenaga dalam mencari langkah meningkatkan conversion rate. PolkaBeauty.com dan Tees.co.id menjadi 2 situs pertama yang mengimplementasi Prism di front-end mereka.

Cita-cita utama Prism adalah ingin menjadi pengalaman bertransaksi e-commerce menjadi lebih personal dan nyaman. Untuk mewujudkan hal tersebut, tim Prism saat ini terus membuka umpan balik dari para merchant untuk dapat bisa adaptif terhadap berbagai proses bisnis.

“Setiap minggu kami release sesuatu yang baru, sprint cycle kita selalu 1 minggu. Kami menyadari agar dapat bergerak cepat, kami mesti membuat keputusan-keputusan produk yang tepat berdasarkan feedback dan lebih sedikit asumsi. Oleh karena sifat Prism sebagai platform, kunci sukses kami adalah membuat platform tersebut adaptive, simple, fast to integrate and deliver value. Long term kami melihat dunia di mana e-commerce cukup disebut commerce, pengalaman membeli menjadi personal,” pungkas Tista.

Semangat Baru Veritrans yang Kini Menjadi Midtrans

Ada yang baru dari Veritrans, salah satu perusahaan fintech Indonesia di sektor payment gateway. Di ulang tahun keempat mereka yang jatuh pada bulan Oktober, Veritrans memutuskan untuk berganti nama menjadi Midtrans. Perubahan ini juga sekaligus membawa tiga area fokus baru Midtrans di ranah pembayaran digital, yaitu Payment Service, Risk Management, dan Chat Commerce.

VP of Community Management Midtrans Diera Yosefina Hartono mengatakan bahwa perubahan nama dan fokus baru dari Midtrans merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk dunia e-commerce yang dinamis dan berubah cepat. Jika di awal niatnya hanya memecahkan masalah pembayaran, kini dengan masalah yang bertambah, solusi yang ditawarkan pun coba diperluas.

Sementara itu President Direktur Midtrans Ryu Kawano melalui keterangan media menyampaikan, “Sejak tahun lalu kami sudah memposisikan diri untuk tidak hanya sekedar payment gateway. […] Tahun ini, kami telah mengambil beberapa langkah lebih maju lagi dengan merilis tiga produk di tiga bidang berbeda, payment services, risk management, dan chat commerce.”

Di sisi payment service, Midtrans akan fokus pada bidang pembayaran dengan merilis tools versi paling baru bernama Snap yang dilengkapi fitur pop-up window dan memungkinkan alur transaksi menjadi lebih cepat dan sederhana bagi konsumen. Diklaim, terdapat 16 metode pembayaran yang dapat diintegrasikan pada Snap, mulai dari card payments, direct debit, hingga transfer bank. Lebih jauh, di Q1 2017 mendatang Midtrans juga berencana merilis fitur baru yang memungkinkan merchant untuk menyalurkan pembayaran kepada mitra dan rekan mereka.

Di sisi risk management, Midtrans fokus pada produk pattern detection system Aegis yang telah dirilis tahun lalu untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Dalam Aegis sendiri saat ini disematkan beberapa fitu baru seperti algorithmic fraud scoring, transaction relationship visualization, dan fraud pattern analytics reporting.

Logo Midtrans / Midtrans
Logo Midtrans / Midtrans

Di sisi chat commerce, Midtrans akan fokus pada tools yang bernama Prism yang memungkinkan merchant untuk menambahkan chat sebagai metode checkout pada situs e-commerce mereka. Prism ini lahir dari pengamatan Midtrans terhadap kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar melakukan chatting.

Berdasarkan hasil riset internal Midtrans, konsumen yang berinteraksi di chat window dengan petugas customer service disebutkan memiliki conversion rate hingga 12-15 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumen yang hanya mengunjungi situs e-commerce tanpa interaksi apapun yang hanya memiliki conversion rate sebesar 1-3 persen.

Perubahan nama dan juga logo perusahaan ini juga menurut Diera tidak membawa dampak signifikan terhadap operasinal dan decision making di tubuh perusahaan.

Sejak awal berdiri, Veritrans (sebelum berganti nama) memang telah mendaftarkan nama PT mereka dengan nama Midtrans. Di samping itu, Veritrans Jepang yang merupakan investor awal pun disebutkan Diera hanya memiliki saham minoritas di tubuh perusahaan.

“Jadi, perubahan ini memang lebih ke arah marketing, […] tidak ada perubahan apapun di sisi para stakeholder. […] Dengan nama baru ini kami juga berharap tidak lagi selalu diasosiasikan dengan hanya payment saja [karena produknya sudah meluas].” ujar Diera.

Midtrans yang berdiri pada tahun 2012 saat ini telah bermitra dengan pemain-pemain e-commerce besar di tanah air seperti Tokopedia, MatahariMall, BukaLapak, dan juga Traveloka. Di samping itu, Garuda Indonesia dan Cinemaxx juga telah menjadi rekan Midtrans. Dengan perubahan ini, ke depannya, Midtrans juga diharapkan untuk dapat menjangkau klien-klien baru yang lebih luas lagi.

Veritrans Indonesia to Officially Launch Online Payment Gateway Service

Another player in the payment gateway service and could mean a better prospect for e-commerce business in Indonesia. PT Midtrans, operating as Veritrans Indonesia, announced to officially begin operations as new online payment gateway for Indonesia market. During the soft launch, the service has served Sribu last August and will commence with KrazyMarket, Qeon Interactive and BerryBenka in September.  PT. Midtrans is a joint venture between VeriTrans Inc., Japan’s largest payment processor, netprice.com, a leading Japanese e-commerce company, and PT. Mitratama Grahaguna, an Indonesia-based investment arm of Midplaza Holdings.

Continue reading Veritrans Indonesia to Officially Launch Online Payment Gateway Service