Jepang Punya SMA Esports, Capcom Cup 2021 Dibatalkan Karena COVID-19

Minggu lalu, Capcom dengan berat hati mengumumkan bahwa mereka akan membatalkan Capcom Cup 2021. Sementara itu, Riot Games mengungkap rencana mereka tentang skena esports dari Wild Rift pada tahun 2022. Pada minggu lalu, G2 Esports juga meluncurkan sebuah lagu, yang menjadi tandari masuknya mereka ke industri musik. Dan Team Vitality mendapatkan investasi, yang akan digunakan untuk mengembangkan bakat para pemain esports.

Jepang Buat SMA Esports Pertama

Jepang bakal punya sekolah yang mengkhususkan diri untuk mengajarkan esports. Dinamai Esports Koutou Gakuin alias “SMA Esports”, sekolah itu akan mulai beroperasi pada April 2022. Menurut laporan Kotaku, sekolah tersebut berlokasi di Shibuya, Tokyo, Jepang. SMA Esports ini didanai oleh divisi esports dari perusahaan telekomunikasi Jepang, NTT dan Tokyo Verdy Esports, organisasi esports milik tim sepak bola profesional Jepang.

Para murid yang mendaftarkan diri di SMA Esports akan mendapatkan akses ke 40 gaming PC, yaitu Galleria XA7C-R37, yang menggunakan Intel Core i7-11700 dan NVIDIA GeForce RTX 3070. Siswa dari SMA Esports akan mengasah kemampuan mereka dalam memainkan game-game esports dari berbagai genre, seperti FPS, third-person shooter, strategi, atau MOBA. Walau dinamai SMA Esports, sekolah itu juga tetap mengajarkan kurikulum standar SMA di Jepang.

Capcom Cup 2021 Diganti oleh Acara Season Final

Sepanjang 2021, Capcom mengadakan kompetisi esports secara online. Meskipun begitu, mereka tetap memutuskan untuk membatalkan Capcom Cup 2021, yang rencananya bakal diadakan pada Februari 2022. Alasannya adalah karena munculnya varian Omicron. Untuk menggantikan Capcom Cup 2021, Capcom akan menggelar acara season final. Kompetisi itu akan diikuti oleh para pemain yang telah lolos kualifikasi untuk bermain di Capcom Cup VIII.

Menurut laporan Dot Esports, kali ini adalah kedua kalinya Capcom Cup dibatalkan karena COVID-19. Kemungkinan, turnamen pengganti dari Capcom Cup akan memiliki format regional seperti Capcom Pro Tour Season Final 2020, yang menjadi pengganti dari Capcom Cup 2020.

Tahun Ini, Riot Bakal Gelar 8 Liga Regional dan 1 Turnamen Global untuk Wild Rift

Minggu lalu, Riot Games mengumumkan rencana mereka terkait skena esports dari Wild Rift untuk tahun ini. Sepanjang 2022, Riot akan mengadakan delapan liga regional untuk Wild Rift. Selain itu, mereka juga akan menggelar turnamen Wild Rift global pertama. Kompetisi global itu akan diadakan di Eropa pada musim panas 2022. Turnamen yang dinamai Wild Rift Icons Global Championship itu akan mengadu 24 tim Wild Rift terbaik dari seluruh dunia, lapor Esports Insider.

Sementara itu, delapan liga regional untuk Wild Rift yang akan Riot adakan antara lain:

  • Wild Rift Champions Korea
  • Wild Rift League China
  • Wild Rift Champions SEA
  • Wild Rift Cup Japan
  • Wild Rift Championship EMEA
  • Wild Rift North America Series
  • Wild Rift Latinoamerica Open
  • Wild Tour Brasil

Rilis Lagu, G2 Esports Masuki Industri Musik

Organisasi esports asal Eropa, G2 Esports, resmi memasuki industri musik dengan meluncurkan lagu pertamanya, “Our Way”. Lagu ber-genre power metal itu akan diluncurkan di bawah label rekaman baru G2. Pendiri dan CEO G2, Carlos “ocelote” Rodriguez juga ikut turun tangan dalam pembuatan lagu tersebut. G2 mengatakan, dalam beberapa tahun ke depan, mereka akan meluncurkan banyak lagu lain.

G2 baru saja merilis single baru.

“Epic Power Metal adalah genre favorit saya,” kata Rodriguez, seperti dikutip dari Esports Insider. “Saya tidak peduli apakah genre itu sesuai dengan selera market atau tidak. Sama seperti hal-hal lain yang kami lakukan, kami membuat lagu ini sesuai hati kami. 20G2 akan jadi tahun kami.”

Team Vitality Dapat Investasi EUR50 Juta, Digunakan untuk Buat Tim Super

Organisasi asal Prancis, Team Vitality mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan dana investasi sebesar EUR50 juta dari esports venture fund, Rewired.gg. Modal itu akan dikucurkan secara bertahap selama tiga tahun ke depan, seperti yang disebutkan oleh Esports Insider. Vitality menyebutkan, dana yang mereka dapatkan tersebut akan mereka gunakan untuk membangun tim yang tangguh. Memang, Vitality punya rencana untuk membuat “tim Eropa super”.

Sebagai bagian dari investasi ini, Vitality telah menandatangani kontrak dengan tiga mantan pemain Counter-Strike: Global Offensive dari Astralis, yaitu Peter ‘dupreeh’ Rasmussen and Emil ‘magisk’ Reif dan pelatih Danny ‘zonic’ Sørensen. Sebelum ini, Vitality juga telah mengungkap roster tim League of Legends mereka. Dua di antaranya adalah mid-laner dari Cloud9, Luka ‘Perkz’ Perković dan mantan pemain MAD Lions, Matyáš ‘Carzzy’ Orság.

Bagaimana Perkembangan Industri Mobile Game di Asia?

Jika Anda adalah penggemar sepak bola, Anda pasti sudah terbiasa melihat fans dari satu klub sepak bola meledek fans dari klub sepak bola yang lain. Di dunia game, hal ini juga sering terjadi. Misalnya, gamer PlayStation yang saling ledek dengan gamer Xbox, membanggakan bahwa konsol favorit mereka lebih superior dari konsol lain. Kemudian ada pula golongan PC Master Race, yang seperti namanya, percaya bahwa bermain di PC memberikan pengalaman bermain game yang paling baik.

Satu kesamaan yang biasanya dimiliki oleh gamer konsol dan PC adalah biasanya mereka memandang sebelah mata para mobile gamer. Pasalnya, tidak sedikit mobile game yang menggunakan model bisnis pay-to-win. Jadi, seseorang bisa mendominasi di sebuah mobile game bukan karena dia memang jago, tapi karena dia rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli semua item power-up yang ada. Selain itu, mobile game juga biasanya relatif lebih sederhana.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri mobile game kini telah berkembang pesat. Tidak hanya dari segi kompleksitas game, tapi juga dari perputaran uang di industri tersebut. Menurut Newzoo, 48% dari total pemasukan industri game pada 2020 akan berasal dari mobile game. Diperkirakan, industri game pada 2020 akan bernilai US$159,3 miliar. Mobile game diperkirakan menyumbang US$77,2 miliar, lebih besar dari segmen game PC (US$36,9 miliar) ataupun segmen game konsol (US$44,2 miliar).

Asia, khususnya Asia Tenggara, menjadi salah satu kawasan yang menjadi ladang subur bagi pelaku industri mobile game. Berikut penjelasan terperincinya.

 

Asia Tenggara

Semua negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile-first, yang berarti masyarakatnya pertama kali mengenal internet melalui smartphone. Pada 2019, jumlah pengguna internet di Asia Tenggara mencapai 360 juta orang. Sebanyak 90% — sekitar 323 juta orang — mengakses internet melalui smartphone. Jadi, tidak heran jika mobile merupakan platform favorit bagi para gamer di Asia Tenggara.

Menurut laporan Newzoo, 80% gamer di Asia Tenggara memainkan mobile game. Namun, hal itu bukan berarti game PC dan konsol tak populer. Faktanya, sekitar 69% gamer di Asia Tenggara memainkan game di PC dan 57% di konsol. Sementara itu, dari segi ekonomi, mobile game memberikan kontribusi 70% — sekitar US$3,1 miliar — pada total pemasukan industri game di Asia Tenggara, yang mencapai US$4,4 miliar.

Segmentasi gamer di perkotaan di Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo
Segmentasi gamer di perkotaan di Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo

Kabar baiknya, pengguna internet di Asia Tenggara memiliki tingkat engagement tinggi. Hanya saja, Asia Tenggara terdiri dari negara-negara yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Developer yang ingin memenangkan hati gamer di Asia Tenggara harus mengerti dan menghargai budaya di masing-masing negara. Buktinya, dalam lima tahun belakangan, gamer di Asia Tenggara lebih menyukai game buatan developer Asia, yang lebih mau untuk menyesuaikan pendekatan mereka. Misalnya, di Vietnam, Moonton membuat kegiatan Tahun Baru Tet, yang merupakan salah satu perayaan paling penting di negara tersebut.

Menggandeng artis lokal juga bisa menjadi salah satu cara bagi publisher untuk mempopulerkan game mereka di Asia Tenggara. Contohnya, untuk mempromosikan Free Fire di Indonesia, Garena bekerja sama dengan Joe Taslim untuk mempromosikan Free Fire di Indonesia sementara Gravity Interactive dengan Lisa dari Blackpink untuk mempromosikan Ragnarok M: Eternal Love di Thailand.

Jika dibandingkan dengan region lain, Asia Tenggara juga masih menjunjung tinggi nilai agama. Jadi, developer harus mempertimbangkan konten dari game yang mereka buat dengan lebih hati-hati, untuk memastikan agar tidak ada konten yang menyinggung penganut agama tertentu. Di sisi lain, publisher juga bisa memanfaatkan momen keagamaan untuk mengadakan acara atau kegiatan dalam game mereka. Misalnya, Tencent menggunakan tagar #KetupatDinner saat Ramadan. Tak hanya itu, mereka juga membuat posko PUBG Mudik menjelang Idul Fitri.

Salah satu karakteristik gamer di Asia Tenggara adalah mereka senang memainkan game multiplayer. Menurut survei yang dilakukan oleh GameStart pada 2019, 60% gamer di Asia Tenggara bermain game bersama temannya. Karakteristik inilah yang lalu memunculkan berbagai komunitas gamer, yang mendorong pertumbuhan esports di Asia Tenggara.

Konten terkait game yang ditonton netizen Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo
Konten terkait game yang ditonton netizen Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo

Pada akhir 2019, jumlah penonton esports di Asia Tenggara diperkirakan mencapai 30 juta orang, naik 22% dari tahun sebelumnya. Mengingat mobile menjadi platform favorit di Asia Tenggara, tentu saja game esports yang populer juga merupakan mobile game. Berdasarkan data dari Newzoo, game esports terpopuler di Asia Tenggara adalah PUBG Mobile, yang ditonton oleh sekitar 40% audiens esports di ASEAN. Game terpopuler kedua adalah Mobile Legends, yang ditonton oleh 33% esports audiens di Asia Tenggara.

Selain maraknya komunitas gamer, alasan lain mengapa esports bisa tumbuh di Asia Tenggara adalah dukungan pemerintah. Memang, pemerintah di Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand cukup suportif akan industri esports. Buktinya, esports disertakan sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 dan menjadi cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019. Pada SEA Games 2021, esports juga akan kembali menjadi cabang olahraga bermedali. Sementara di Indonesia, pemerintah tak hanya mengadakan turnamen esports seperti Piala Presiden, tapi juga menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi.

Hype esports di Asia Tenggara bisa dimanfaatkan publisher untuk membuat game mereka semakin populer. Salah satu publisher yang melakukan hal ini adalah Moonton, yang menyelenggarakan Mobile Legends Professional League. Sepanjang musim ke-5, jumlah view dari setiap pertandingan MPL hampir tak pernah kurang dari 1 juta view. Sementara pada puncaknya, jumlah concurrent viewers dari babak final MPL S5 mencapai 1,1 juta orang.

 

Tiongkok

Membahas industri mobile game di Asia tentu tak lepas dari industri mobile game di Tiongkok, yang merupakan pasar mobile game terbesar di Asia. Menurut laporan Niko Partners, Tiongkok memiliki lebih dari 657 juta mobile gamers dengan pemasukan mencapai US$18,5 miliar, hampir setengah dari total pemasukan mobile gaming di Asia.

Tiga mobile game yang paling populer di Tiongkok pada 2019 adalah Honor of Kings — yang dirilis dengan nama Arena of Valor secara global — Peacekeeper Elite — versi Tiongkok dari PUBG Mobile — dan Romance of the Three Kingdoms: Strategy Edition. Berdasarkan laporan Niko, memang, game MMORPG (Massively Multiple Online Role-Playing Games) sempat sangat populer di Tiongkok. Namun, popularitas dari game-game itu kemudian dikalahkan oleh game esports seperti Honor of Kings dan Peacekeeper Elite.

Peacekeeper Elite merupakan versi Tiongkok dari PUBG Mobile.
Peacekeeper Elite merupakan versi Tiongkok dari PUBG Mobile.

Berbeda dengan pasar Asia Tenggara, yang merupakan mobile first, di Tiongkok, game PC pada awalnya mendominasi pasar. Sampai 2018, industri game PC masih memberikan kontribusi paling besar pada total pemasukan industri game. Seiring dengan berjalannya waktu, mobile game menjadi semakin populer. Tak hanya itu, semakin banyak developer Tiongkok yang tertarik untuk membuat mobile game. Menariknya, developer Tiongkok menjadi developer pertama yang mengadaptasi game PC ke mobile.

Fantasy Westward Journey, Perfect World, dan Peacekeeper Elite adalah game PC yang populer di Tiongkok. Popularitas dari tiga game itu semakin meroket ketika versi mobile dari game-game tersebut diluncurkan. Pasalnya, mobile game tersebut tak hanya menarik para pemain PC yang telah mengenal game tersebut, tapi juga gamer baru. Streamer ternama di Tiongkok juga biasanya tidak segan-segan untuk mempromosikan mobile game baru, walau mereka tetap membaut konten dari Dota 2 dan League of Legends, dua game terpopuler di Tiongkok.

Tiongkok merupakan negara yang bangga akan budayanya. Biasanya, game-game yang populer di kalangan gamer Tiongkok memiliki art style dan cerita khas Tiongkok. Per Mei 2020, 4 dari 10 game terpopuler di Tiongkok merupakan game yang didasarkan pada sejarah Tiga Kerajaan. Namun, game buatan developer Jepang juga digemari oleh gamer Tiongkok. Satu per tiga dari game yang Tiongkok impor merupakan game buatan developer Jepang.

 

Jepang

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, seperti Tiongkok, India, dan bahkan Indonesia, populasi Jepang memang jauh lebih sedikit. Pada 2020, jumlah penduduk Jepang diperkirakan hanya mencapai 126 juta orang. Namun, Jepang berhasil menjadi pasar mobile game terbesar kedua setelah Tiongkok di Asia. Dari total pemasukan industri mobile game, Jepang memberikan kontribusi sebesar US$11,6 miliar.

Pasar mobile game Jepang didominasi oleh developer lokal. Daftar 10 mobile game terpopuler di Jepang selalu diisi oleh game-game buatan developer lokal. Sejak 2016 sampai sekarang, hanya ada tiga game buatan developer asing yang dapat masuk ke dalam daftar tersebut, yaitu Pokemon GO (Amerika Serikat), Lineage II Revolution (Korea Selatan), dan Knives Out (Tiongkok).

Fire Emblem Heroes memberikan kontribusi besar pada pemasukan divisi mobile game Nintendo.
Fire Emblem Heroes memberikan kontribusi besar pada pemasukan divisi mobile game Nintendo.

Sementara itu, genre terpopuler di kalangan mobile gamer Jepang adalah RPG. Bagi developer, genre RPG juga cukup mudah untuk dimonetisasi. Mereka bisa menawarkan game gratis dan mendapatkan pemasukan dengan menjual item atau menggunakan sistem gacha. Faktanya, Nintendo sukses mendapatkan US$1 miliar dari mobile game berkat Fire Emblem Heroes, sebuah game gacha. Karakteristik lain dari mobile game yang populer di Jepang adalah game tersebut biasanya didasarkan pada franchise game PC atau konsol yang sudah populer. Misalnya, Square Enix meluncurkan Final Fantasy Digital Card Game dan War of the Visions: Final Fantasy Brave Exvius pada tahun lalu.

 

Korea Selatan

Dengan kontribusi sebesar US$5,34 miliar, Korea Selatan menjadi pasar mobile game terbesar ketiga di Asia. Salah satu faktor yang membuat industri mobile game berkembang pesat di Korea Selatan adalah penggunaan teknologi 5G. Pemerintah Korea Selatan juga cukup peduli akan industri game lokal. Mereka bahkan punya rencana untuk mengembangkan industri game lokal dalam waktu lima tahun ke depan.

Budaya gaming di Korea Selatan juga sangat kental. Buktinya, warnet atau gaming center — yang disebut PC bang — menjamur di negara tersebut. Adopsi 5G dan budaya gaming yang kuat membuat mobile game kompetitif menjadi sangat populer di Korea Selatan. Faktanya, 10 mobile game terpopuler di Korea Selatah merupakan game kompetitif.

Sama seperti Jepang, mobile game yang populer di Korea Selatan merupakan mobile game buatan developer lokal. Tujuh dari 10 mobile game terpopuler di semester pertama 2020 merupakan buatan developer asal Korea Selatan.

 

India

Dengan jumlah pengguna smartphone mencapai 400 juta orang, India menjadi negara dengan pengguna smartphone terbesar kedua di Asia. Sama seperti Indonesia, segmen gaming yang berkembang di India adalah mobile game. Pada awalnya, mobile game yang populer di India adalah game hyper-casual. Namun, belakangan, para mobile gamer di India jadi lebih  menyukai game-game kompetitif, seperti PUBG Mobile dan Free Fire. Dua game tersebut merupakan game terpopuler di India, setidaknya sebelum PUBG Mobile diblokir oleh pemerintah India.

Di India, mobile game yang populer adalah yang tidak memerlukan spesifikasi tinggi.
Di India, mobile game yang populer adalah yang tidak memerlukan spesifikasi tinggi.

Sayangnya, kebanyakan gamer di India menggunakan smartphone kentang. Karena itu, mobile game yang populer di sana biasanya tidak membutuhkan spesifikasi yang terlalu tinggi, seperti Free Fire atau versi “lite” dari PUBG Mobile. Sebaliknya, game hanya bisa dimainkan di smartphone mahal seperti Fortnite, justru tak terlalu populer. Menariknya, popularitas PUBG Mobile juga mendongkrak popularitas game-game shooter lain, seperti Free Fire dan Call of Duty: Mobile.

Berbeda dengan Tiongkok, Jepang, atau Korea Selatan, industri game di India justru didominasi oleh game buatan developer dari luar India. Sejak tahun 2016, kebanyakan game terpopuler di India merupakan game buatan developer asing. Pada semester pertama 2020, hanya 2 dari 10 mobile game terpopuler di India dibuat oleh developer lokal.

Meskipun begitu, belakangan, pemerintah India mulai memblokir aplikasi dan game dari Tiongkok. Hal ini membuka kesempatan bagi para developer lokal untuk memenangkan hati para gamer di sana. Perdana Menteri India, Narendra Modi juga telah menyatakan dukungannya akan game-game buatan developer lokal. Dia mendorong agar para developer India membuat game didasarkan pada dongeng dan budaya di India.

Di India, game esports juga populer, yang mendorong perkembangan ekosistem esports di sana. Hal ini membuat sejumlah organisasi esports global tertarik untuk melakukan ekspansi ke India. Misalnya, pada tahun lalu, Fnatic mengakuisisi tim PUBG Mobile. Organisasi esports asal Prancis, Vitality, juga belum lama ini mengumumkan rencana mereka untuk melakukan ekspansi ke India.

 

Penutup

Sebagian gamer PC dan konsol mungkin tak tertarik untuk memainkan mobile game. Tidak hanya mereka harus bermain di layar yang lebih kecil, mekanisme mobile game juga biasanya lebih sederhana dari game PC atau konsol karena keterbatasan input pada smartphone. Namun, tidak semua orang bisa memiliki konsol atau PC gaming.

Bagi orang-orang yang hanya dapat membeli smartphone, mobile game menjadi berkah karena mereka tak perlu membeli perangkat khusus untuk bermain game. Selain itu, kebanyakan mobile game juga bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini sangat memudahkan mereka untuk mengakses mobile game.

Sementara itu, dari segi developer, mereka bisa meluncurkan mobile game gratis, dan mendapatkan pemasukan dengan menjual item, menawarkan subscription, atau menggunakan sistem gacha/lootbox. Jadi, jangan heran jika industri mobile game masih akan terus tumbuh di masa depan, khususnya di negara-negara mobile-first, seperti Indonesia.

Sumber: The Esports Observer, Niko Partners, Newzoo

Sasar Gen Z dan Gen Alpha, F1 Gelar F1 Mobile Racing Esports Series

Formula 1 memasuki ranah esports pada 2017. Ketika itu, mereka mulai mengadakan turnamen F1 Esports. Pada Senin, 7 September 2020, F1 meluncurkan turnamen esports baru, yaitu F1 Mobile Racing Esports Series. Kali ini, kompetisi balapan virtual tersebut akan ditujukan khusus untuk para mobile gamer. Game yang akan diadu dalam turnamen tersebut adalah F1 Mobile Racing, game F1 resmi buatan Codemasters.

“Gen Z dan Gen Alpha kini menghabiskan semakin banyak waktu untuk bermain game dan menggunakan smartphone mereka. Hal ini mendorong pertumbuhan industri mobile esports,” kata Julia Tan, Head of Digital Business Initiaves and Esports, Formula 1, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami melihat potensi besar untuk masuk ke ranah mobile esports. Tujuan kami adalah untuk menjangkau generasi yang lebih muda dengan menyediakan kompetisi Formula 1 baru.”

F1 Mobile Racing Esports Series
Game yang diadu dalam F1 Mobile Racing Esports Series adalah F1 Mobile Racing.

F1 Mobile Racing Esports Series akan dimulai pada September 2020. Babak kualifikasi akan diadakan dalam 3 bulan ke depan. Peserta yang menang dalam masing-masing babak kualifikasi akan melaju ke babak final, yang akan diadakan pada Desember 2020. Turnamen final tersebut akan berlangsung selama 9 hari. Selain mengadakan kompetisi mobile esports, F1 juga akan kembali menyelenggarakan F1 Esports Series. Turnamen yang didukung oleh Aramco itu kini akan memasuki musim ke-4.

“Mengadakan turnamen mobile esports merupakan bagian dari strategi F1 untuk merangkul fans kami melalui game dan esports,” kata Tan. Dia mengungkap game F1 Mobile Racing bisa diunduh secara gratis di Play Store dan App Store. Dia juga mengatakan, F1 Mobile Racing Esports Series bisa diikuti oleh semua orang. “Kami tak sabar untuk menemukan F1 Mobile Racing Champion 2020!”

Bulan lalu, F1 juga mengumumkan bahwa mereka akan menyelenggarakan F1 Esports Pro Series. Kompetisi tersebut menawarkan hadiah sebesar US$750 ribu (sekitar Rp11,2 miliar). Sejak pandemi melanda, industri esports, khususnya esports balapan, memang tengah berkembang pesat. Tidak aneh, mengingat banyak pertandingan balapan yang digantikan oleh turnamen esports akibat pandemi. Pada Maret 2020, F1 juga menyelenggarakan Virtual Grand Prix demi menggantikan Grand Prix yang terpaksa dibatalkan.

Pemasukan Industri Esports Asia Tembus Rp7,6 Triliun

Total pemasukan industri esports di Asia mencapai US$519 juta (sekitar Rp7,6 triliun), menurut laporan dari perusahaan riset pasar, Niko Partners. Hal itu berarti, Asia menyumbangkan 50 persen dari total pemasukan industri esports global. Menurut Niko Partners, pemasukan industri esports mencakup sponsorship, lisensi dan franchise turnamen esports, penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya.

Sementara itu, pada 2019, pemasukan dari game-game mobile esports di Asia mencapai US$13,3 miliar (sekitar Rp194 triliun) atau sekitar 68 persen dari total pemasukan game mobile esports dunia. Sayangnya, pandemi COVID-19 akan menghambat laju pertumbuhan industri esports karena pandemi membuat berbagai turnamen esports harus diadakan secara online atau bahkan dibatalkan. Meskipun begitu, Niko memperkirakan, industri esports di Asia masih akan tumbuh.

Memang, selama pandemi, jumlah penonton dan waktu yang dihabiskan untuk menonton konten esports mengalami kenaikan. Secara keseluruhan, viewership konten esports di Asia mengalami kenaikan sekitar 75 persen sampai 100 persen. Dan sekitar 50-75 persen gamer menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game selama pandemi.

industri esports asia
Total pemasukan industri esports Asia dan jumlah fans esports di Asia. | Sumber: Niko Partners via VentureBeat

Di kawasan Asia, Niko memperkirakan, ada 1,2 miliar mobile gamer. Sementara jumlah gamer perempuan pada 2019 mencapai 500 juta orang, naik 18,8 persen. Diperkirakan, jumlah gamer perempuan akan naik 15 persen pada 2020. Bertambahnya jumlah gamer perempuan mendorong munculnya berbagai tim dan turnamen esports khusus perempuan. Faktanya, mobile esports yang juga diminati oleh pemain perempuan mendapatkan lebih banyak penonton perempuan serta fans perempuan. Dan hal ini akan membuat game tersebut semakin menarik bagi sponsor.

Tiongkok masih menjadi pasar esports terbesar, baik dari segi jumlah fans maupun total pendapatan. Negara tersebut juga merupakan negara dengan infrastruktur esports paling mumpuni. Sementara Korea Selatan menjadi tempat kelahiran esports. Di sanalah game-game seperti StarCraft menjadi populer. Selama lebih dari 10 tahun, Korea Selatan menjadi salah satu pendorong perkembangan industri esports. Sampai sekarang, mereka masih menjadi salah satu pasar esports terbesar.

Sementara itu, di Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, mobile esports tumbuh pesat. Beberapa mobile game yang ekosistem esports-nya mulai berkembang antara lain Mobile Legends, Free Fire, Arena of Valor, Hearthstone, StarCraft 2, dan Clash Royale.

Sumber: VentureBeat, The Esports Observer

Sumber header: Facebook

Industri Mobile Esports di Asia Masih akan Terus Tumbuh

Dalam beberapa tahun belakangan, mobile gaming dan mobile esports di Asia tumbuh dengan pesat, menurut studi yang dilakukan oleh perusahaan riset pasar Niko Partners bersama dengan Google. Dalam beberapa tahun ke depan, mobile esports di Asia masih akan tumbuh.

Pada 2019, total pendapatan dari mobile game esports mencapai US$19,5 miliar. Dari total pendapatan itu, Asia menyumbangkan US$13,3 miliar atau sekitar 68 persen. Sementara itu, total pendapatan dari mobile game — termasuk game non-esports — mencapai US$28 miliar di Tiongkok dan Asia Tenggara.

Di Tiongkok, pemasukan mobile game esports pada 2019 menembus US$7,2 miliar, naik 10 persen dari 2018. Untuk kawasanAsia Tenggara, pendapatan mobile game esports adalah US$1,9 juta, dengan tingkat laju pertumbuhan majemuk (CAGR) 21,1 persen selama 5 tahun. Angka CAGR dari negara-negara di Asia Tenggara berbeda-beda. Vietnam memiliki CAGR paling tinggi dengan laju pertumbuhan mencapai 28 persen.

Bertambahnya jumlah pengguna smartphone menjadi salah satu alasan mengapa industri mobile game di Asia masih akan terus bertumbuh di masa depan. Selain itu, alasan lain industri mobile game masih akan berkembang di Asia adalah karena hardware smartphone yang menjadi semakin mumpuni dan akses internet yang meluas, lapor The Esports Observer.

mobile esports di Asia
Dampak pandemi pada mobile esports di Asia. | Sumber: Niko Partners

Tak hanya soal pendapatan, pada 2020, waktu yang gamer Asia habiskan untuk bermain mobile game juga naik hingga 50-75 persen. Sementara viewership untuk mobile game esports naik sekitar 75-100 persen dari tahun lalu karena pandemi virus corona, yang menyebabkan masyarakat harus dikarantina.

Hadiah dari turnamen esports yang digelar di Asia Tenggara pada 2019 juga mengalami kenaikan 24 persen dari tahun 2018. Di kawasan Asia, mobile game esports paling populer adalah game MOBA. Honor of Kings alias Arena of Valor sangat populer di TIongkok. Sementara di kawasan Asia Tenggara, Mobile Legends juga menuai popularitas serupa. Baik Arena of Valor dan Mobile Legends juga sudah memiliki ekosistem esports yang stabil.

Selama tiga tahun, Arena of Valor dan Mobile Legends menjadi mobile game dengan pemasukan paling besar di kawasan Asia. Hanya saja, pada 2019, popularitas kedua game MOBA itu tergeser oleh game battle royale, seperti PUBG Mobile, Fortnite Mobile, dan Garena Free Fire.

Secara global, game battle royale seperti PUBG Mobile, Fortnite, dan Free Fire memang lebih populer dari game MOBA. Namun, di Asia, baik Mobile Legends maupun Arena of Valor memiliki fans yang setia. Di satu sisi, hal ini adalah kabar baik untuk Riot Games yang hendak meluncurkan League of Legends: Wild Rift. Di sisi lain, hal ini berarti, mereka harus siap menghadapi persaingan ketat.

Industri Gaming dan Esports Asia Tenggara Tetap Menggeliat di Tengah Situasi Pandemi

Terlepas situasi sulit yang disebabkan pandemi COVID-19, secara umum industri gaming dan esports di regon Asia Tenggara mengalami pertumbuhan yang positif. Berlawanan dengan banyaknya aktivitas ekonomi yang terganggu, industri gaming dan esport tetap bisa bergulir dengan gelaran turnamen dan aktivitas lainnya yang dilakukan secara online.

Menurut data yang dilansir oleh World Economic Forum, pembatasan fisik yang membuat masyrakat tetap tinggal di rumah telah memberikan peningkatan aktivitas online. Interaksi dan aktivitas sosial yang berpindah secara online menjadi salah satu jawaban ketika tidak mungkin bertemu dan bersosialisasi secara langsung. Angka yang meningkat juga dipengaruhi jumlah casual gamers yang turut mengambil bagian dalam tren ini.

via: Newzoo
via: Newzoo

Menelisik lebih jauh, tentunya ada beberapa alasan yang mendukung fenomena perkembangan industri gaming dan esports di region Asia tenggara. Kini muncul tren di industri gaming dan esports sudah mengganti model bisnisnya dengan merilis  free to play game dan kemudian memberlakukan in app purchase.

Hal itu berlawanan dengan tren satu dekade yang lalu di mana membeli sebuah game memerlukan uang yang tidak sedikit. Kemudahan transaksi online melalui layanan produk fintech membuat gamers lebih mudah melakukan transaksi untuk mendukung kegiatan gamingnya.

Selanjutnya, faktor jumlah pengguna smartphone di region Asia Tenggara mempengaruhi pesatnya perkembangan industri gaming dan esports  dari platform mobile di masa pandemi. Dengan berbekal smartphone midle-end Anda sudah bisa menikmati casual game maupun kompetitif dengan jaringan internet yang kecepatannya sedikit di bawah rata-rata regional.

via: Newzoo
via: Newzoo

Keterhubungan dengan internet adalah faktor penting dari berkembangnya industri gaming dan esports di negara-negara Asia Tenggara. Perlahan namun pasti kualitas internet di region Asia Tenggara meningkat dan menjadi semakin terjangkau dari sisi harga. Sejalan dengan kegiatan gaming dan esports yang sangat bergantung terhadap koneksi internet, perbaikan dan peningkatan kualitas layanan internet akan berdampak positif tidak hanya untuk industri gaming dan esports, tetapi juga ekonomi dalam jangka panjang.

Terakhir, esports di kawasan Asia Tenggara kini perlahan bisa diterima masyarakat luas. Banyaknya turnamen dan tim esports asal Asia Tenggara yang bisa bersaing di kancah global perlahan membuka wawasan masyarakat untuk menjadi lebih memahami esports. Mengingat masih berlakunya pembatasan fisik menjadikan esports sebagai aktivitas olahraga dan hiburan alternatif  yang banyak ditonton di tengah masa pandemi.

Strategi ESPL Dalam Buat Turnamen Esports Amatir

Menjadi atlet esports kini bukan sekadar mimpi di siang bolong. Meskipun begitu, tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menjadi pemain profesional. Menyadari hal ini, Esports Players League (ESPL) ingin menyediakan platform untuk menyelenggarakan turnamen esports bagi gamer amatir.

Dalam wawancara eksklusif dengan Hybrid.co.id, Lau Kin Wai, Co-founder dan President ESPL menjelaskan bahwa dia percaya, semua gamer seharusnya memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam turnamen esports. “Seorang gamer seharusnya bisa membuat tim bersama teman-temannya dan ikut dalam turnamen esports online, membuka jalan bagi mereka untuk menjadi pemain profesional,” ujarnya.

Berbeda dengan kebanyakan penyelenggara turnamen esports, ESPL ingin fokus pada penyelenggaraan turnamen esports secara online. “Esports adalah kegiatan digital, tapi banyak turnamen esports yang menggunakan model bisnis offline,” aku Lau. Memang, belakangan, beberapa turnamen esports mengadopsi model bisnis yang digunakan di olahraga tradisional. Misalnya, Overwatch League dan Call of Duty League yang menetapkan sistem kandang-tandang. Harapannya, tim yang menjadi tuan rumah akan bisa mendapatkan pemasukan ekstra dari penjualan tiket.

CEO ESPL Michael Broada (kiri) serta Co-founder dan President ESPL Lau Kin Wai (kanan).
CEO ESPL Michael Broada (kiri) serta Co-founder dan President ESPL Lau Kin Wai (kanan).

Meskipun begitu, model franchise yang digunakan oleh Activision Blizzard dalam OWL dan CODL juga memiliki kelemahan tersendiri. Salah satunya, tidak semua orang bisa ikut serta dalam turnamen tersebut. Sebaliknya, ESPL ingin mengadakan turnamen esports terbuka yang bisa diikuti oleh para pemain amatir. Dengan begitu, gamer amatir ini diharapkan akan bisa menjadi pemain profesional.

Lau bercerita, salah satu tantangan ESPL pada awal mereka beroperasi adalah mendorong para pemain amatir untuk membentuk tim. “Kami juga harus memberanikan mereka agar tim bisa bertahan cukup lama. Sebagian tim amatir, mereka membubarkan diri dalam waktu singkat,” katanya. Dia mengaku, ada banyak pihak yang tertarik untuk mengikut turnamen esports amatir. Sayangnya, manajemen tim amatir tidak serapi tim profesional. “Kami mencoba untuk melakukan bootcamp, edukasi online, tentang bagaimana mereka bisa mengatur tim,” dia menjelaskan.

Hanya saja, menyelenggarakan turnamen esports online juga memiliki masalah tersendiri. Misalnya, koneksi internet. Terutama karena ESPL menyasar pasar negara berkembang di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin. Terkait hal ini, Lau berkata, “Jaringan internet, khususnya di kota-kota besar, berkembang pesat. Mereka bisa langsung menggunakan jaringan 5G.” Lebih lanjut dia menjelaskan, mobile game kini juga didesain untuk tidak menggunakan bandwidth besar. Dia juga percaya, infrastruktur internet di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin akan terus membaik.

Asia Tenggara dan Amerika Latin menjadi target pasar ESPL. Alasannya adalah karena keduanya merupakan pasar game dengan pertumbuhan paling cepat selain Tiongkok. Selain itu, kebanyakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin juga merupakan negara mobile-first. Perangkat mobile menjadi alat utama bagi gamer untuk bermain game. Selain Amerika Latin dan Asia Tenggara, belum lama ini, ESPL juga memasuki pasar India melalui kerja samanya dengan Paytm.

Lau sangat optimistis akan masa depan esports. Dia berkata, “Kami percaya, esports akan menjadi olahraga paling besar dengan jumlah penonton paling banyak.”

Kenapa Free Fire Sukses di Negara Berkembang?

Saat ini, industri esports masih didominasi oleh game esports untuk PC. Meskipun begitu, mobile esports berkembang pesat. Menurut Newzoo, mobile game memberikan kontribusi sebesar 47,4 persen dari total pasar game dunia pada 2020. Sementara menurut App Annie, pengguna smartphone menghabiskan 55 persen waktunya untuk bermain game non-kasual. Bukti lain pertumbuhan mobile esports adalah kesuksesan Free Fire dari Garena. Pada puncaknya, Free Fire World Series Rio berhasil mendapatkan jumlah penonton concurrent sebanyak lebih dari dua juta, menjadikannya sebagai salah satu turnamen esports paling populer pada 2019.

Tak hanya itu, menurut Daniel Ahmad, Senior Analyst di Niko Partners, Free fire merupakan game dengan pendapatan terbesar di Asia Tenggara dan Amerika Latin pada Q3 2019. Asia Tenggara dan Amerika Latin memang merupakan pasar utama Free Fire. Salah satu alasannya adalah karena kebanyakan masyarakat di kawasan tersebut menggunakan smartphone kelas menengah atau bawah. Jika spesifikasi smartphone Anda tidak mumpuni, maka Anda tidak akan bisa memainkan game battle royale yang berat seperti PUBG Mobile atau Fortnite.

“Garena paham ini,” kata Rosen Sharma, CEO dari Game.TV, platform turnamen mobile game dan mantan Senior Vice President serta CTO Intel, pada The Esports Observer. “Jika Anda melihat negara yang warganya banyak memainkan Free Fire, dan Anda melihat persentase harga smartphone yang digunakan, Anda akan melihat hubungan antara keduanya.”

free fire negara berkembang
Free Fire dapat dimainkan di smartphone dengan spesifikasi relatif rendah.

“Free Fire milik Garena mengisi kekosongan di negara-negara berkembang,” kata Akshat Rathee, Managing Director, NODWIN Gaming, perusahaan esports asal India. Menurutnya, kesuksesan Fortnite memang akan membuka kesempatan bagi game serupa untuk menjadi populer. Saat ini, tantangan yang harus dihadapi oleh Garena adalah untuk meningkatkan kualitas game mereka sehingga para pengguna smartphone premium juga tertarik untuk bermain Free Fire. Terkait hal ini, Garena dikabarkan tengah mempersiapkan versi “Max” dari Free Fire. Langkah yang mereka ambil berkebalikan dengan apa yang PUBG Corp lakukan dengan PUBG Mobile. Mereka justru menyiapkan versi Lite dari game battle royale mereka.

Lain lagi dengan strategi Epic Games terkait Fortnite. Mereka menggunakan strategi cross-platform. Jadi, para pemain mobile bisa bermain bersama dengan gamer konsol dan PC. Namun, Rathee menyebutkan, fitur cross-platform bisa menjadi senjata makan tuan jika tidak dieksekusi dengan baik. “Saya pikir, lebih mudah untuk bertahan di satu platform tapi berusaha untuk menjangkau lebih banyak gamer,” katanya.

Salah satu masalah dari strategi cross-platform adalah menyeimbangkan gameplay. Bahkan jika sebuah game hanya tersedia untuk platform mobile, developer harus mempertimbangkan kecepatan prosesor smartphone pengguna agar semua pemain memiliki kesempatan menang yang sama. Hal lain yang harus dipertimbangkan developer adalah semakin maraknya aksesori mobile gaming, seperti controller. “Ini tidak ada di negara-negara Barat, tapi di Tiongkok, ponsel khusus gaming memiliki aksesori seperti Switch. Dan beberapa aksesori tersebut memberikan performa sangat baik,” ungkap Rathee.

Satu hal yang pasti, dengan semakin populernya mobile esports di negara berkembang seperti India, Brasil, Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, ini membuat organisasi esports besar seperti Team Liquid dan Fnatic tertarik untuk membuat divisi khusus mobile game. Dalam beberapa kasus, mereka memilih untuk bekerja sama dengan tim mobile esports lokal yang sudah terbentuk.

Skillz: 10 Atlet Mobile Esports Terbaik Menangkan Rp480 Miliar Dalam 10 Tahun Terakhir

Di Amerika Serikat, mobile esports masih dipandang sebelah mata. Skillz berusaha untuk mengubah pandangan ini dengan menyediakan platform yang memungkinkan para mobile gamer untuk saling bertanding dengan satu sama lain dalan kompetisi kasual. Dengan platform Skillz, para developer game bisa membuat turnamen dari game buatannya. Mereka dapat menentukan format turnamen, jumlah peserta, dan bahkan hadiah dari turnamen itu sendiri. Dan tampaknya, Skillz cukup sukses dalam menggaet para gamer kasual. Hal ini terlihat dari besarnya total hadiah yang telah dimenangkan oleh para pengguna Skillz.

Menurut data Skillz, dalam waktu 10 tahun, total hadiah yang dimenangkan oleh 10 atlet mobile esports terbaik di platform-nya telah mencapai US$33 juta (sekitar Rp480 miliar). Sementara itu, pemain yang berhasil mengumpulkan total hadiah paling besar di platform-nya adalah Jennifer Tu, yang juga dikenal dengan nama HestiaX. Pada 2019, HestiaX berhasil mengumpulkan total hadiah sebesar US$3,96 juta (sekitar Rp57,6 miliar). Sementara dalam waktu 10 tahun, dia telah mengumpulkan hadiah sebesar US$5,33 juta (sekitar Rp77,5 miliar). Skillz juga menyebutkan, 7 dari 10 pemain terbaik di platform mereka adalah perempuan. Ini menarik mengingat dunia esports identik sebagai dunia laki-laki dimana pemain perempuan masih mengalami masalah diskriminasi.

Sumber: VentureBeat
Sumber: VentureBeat

“Saya tidak pernah membayangkan saya akan menjadi salah satu mobile gamer terbaik di dunia,” kata Jennifer “HestiaX” Tu, dikutip dari VentureBeat. “Skillz memungkinkan saya untuk meningkatkan kemampuan saya dalam bermain dan bertanding dengan jutaan mobile gamer di dunia.” Peringkat dari para pengguna Skillz ditentukan berdasarkan dari total hadiah yang telah dimenangkan oleh masing-masing pemain, tanpa menghitung uang pendaftaran untuk ikut serta dalam turnamen tersebut.

“Pertumbuhan dari total hadiah turnamen esports mencerminkan era digital dimana miliaran orang memainkan mobile game,” kata CEO dan pendiri Skillz, Andrew Paradise. “Total pendapatan 10 atlet mobile esports terbaik naik lebih dari 3 kali lipat, dari US$8 juta (sekitar Rp116,3 miliar) pada 2018 menjadi US$24 juta (sekitar Rp348,8 miliar) pada 2019. Ini merupakan bukti dari pertumbuhan Skillz dan esports secara keseluruhan.”

Memang, pada 2019, total hadiah turnamen esports mengalami kenaikan 32 persen jika dibandingkan dengan total hadiah pada 2018. Atlet esports seperti Kyle “Bugha” Giersdorfpemenang kategori solo dalam Fortnite World Cup — mendapatkan hadiah sebesar US$3 juta (sekitar Rp48 miliar), lebih banyak dari hadiah yang didapatkan oleh Tiger Woods dalam 2019 Masters.