Samsung Umumkan Odyssey Neo G9, Monitor Gaming High-End dengan Panel Mini LED

Dengan bentang layar seluas 49 inci, resolusi Dual QHD, refresh rate 240 Hz, dan harga 25 juta rupiah, tidak salah apabila Odyssey G9 menyandang gelar monitor gaming paling high-end yang bisa kita beli dari Samsung saat ini. Namun rupanya tidak perlu waktu lama buat titel tersebut dioper ke monitor lain yang bahkan lebih high-end lagi. Perkenalkan, Samsung Odyssey Neo G9.

Kuncinya terdapat pada kata “Neo” yang tertera pada namanya. Sama seperti jajaran TV Neo QLED yang Samsung hadirkan belum lama ini, Odyssey Neo G9 juga mengunggulkan teknologi display Quantum Mini LED yang sama persis. Dibandingkan panel QLED standar yang terdapat pada Odyssey G9, panel Mini LED milik Odyssey Neo G9 menjanjikan kontras sekaligus reproduksi warna yang jauh lebih superior.

Sesuai namanya, Mini LED punya ukuran lebih kecil ketimbang LED tradisional, persisnya cuma 1/40-nya. Alhasil, jumlah yang ditanamkan pun bisa lebih banyak, sehingga pada akhirnya dapat dikelompokkan menjadi lebih banyak local dimming zone.

Sebagai perbandingan, Odyssey G9 punya 10 dimming zone, sedangkan Odyssey Neo G9 punya 2.048 dimming zone. Dipadukan dengan kontrol cahaya 12-bit, jumlah dimming zone yang bertambah drastis ini membuat area gelap di Neo G9 kelihatan lebih gelap, dan area terang kelihatan lebih terang. Lagi-lagi kalau mau dibandingkan, Odyssey G9 punya rasio kontras 2.500:1, sedangkan Odyssey Neo G9 punya 1.000.000:1.

Lebih lanjut, panel Mini LED milik Neo G9 juga sanggup menyala dua kali lebih terang daripada panel milik pendahulunya. Tingkat kecerahan maksimumnya mencapai angka 2.000 nit, dan ia pun juga sudah mengantongi sertifikat Quantum HDR 2000 dari VDE (Verband Deutscher Elektrotechniker).

Selebihnya, Odyssey Neo G9 cukup identik dengan pendahulunya. Luas layarnya sama-sama 49 inci, resolusinya tetap di angka 5120 x 1440 pixel, dan refresh rate maksimumnya pun masih 240 Hz, dengan waktu respon 1 milidetik (GTG). Kurvatur layarnya pun tidak berubah, masih 1000R dan setara lengkungan bola mata manusia.

Perihal konektivitas, Neo G9 hadir mengusung satu port DisplayPort 1.4 dan dua port HDMI 2.1, lengkap beserta kompatibilitas dengan Nvidia G-Sync maupun AMD FreeSync Premium Pro. Sistem pencahayaan di bagian belakangnya yang kelihatan begitu futuristis masih eksis, malahan kini warnanya dapat disinkronisasikan secara otomatis dengan apa yang sedang tampil di layar.

Samsung berencana memasarkan Odyssey Neo G9 mulai tanggal 9 Agustus mendatang seharga $2.500, atau kurang lebih setara 36 jutaan rupiah. Selisih harganya cukup jauh dari Odyssey G9, yang ketika pertama diluncurkan dibanderol $1.480.

Sumber: GSM Arena dan Samsung.

Xiaomi Umumkan Rangkaian Produk AIoT, Termasuk Monitor Gaming 27 Inci 165Hz

Xiaomi telah mengumumkan rangkaian produk AIoT terbarunya guna menghadirkan pengalaman cerdas dalam setiap aspek kehidupan para penggunanya. Meliputi monitor gaming Mi 2K 27 inci dengan refresh rate 165Hz, Mi Router AX9000, Redmi Buds 3 Pro, Mi Electric Scooter 3, dan Mi Smart Air Fryer 3.5L.

Mi 2K 27 Inci

Mari mulai dari monitor gaming, sesuai namanya perangkat ini mengusung panel IPS berukuran 27 inci dengan resolusi 2560×1440 piksel dalam rasio (16:9) dan punya sudut pandang luas 178 derajat. Hal yang menarik ialah monitor ini membawa label VESA DisplayHDR 400 yang berarti memiliki kecerahan puncak setidaknya 400 nits, lebih dari cukup bila digunakan di dalam ruangan.

Selain itu, Mi 2K juga mencakup color space 95% DCI-P3. Dengan panel 8-bit dan rasio kontras 1.000:1. Tentu saja, label monitor gaming diberikan karena mendukung refresh rate tinggi 165Hz dan Adaptive Sync. Juga memiliki response time 4ms (gray-to-gray) dan masih bisa ditingkatkan menjadi 1ms menggunakan fitur Intelligent Motion Blur Control.

Lebih lanjut, monitor Mi 2K dilengkapi DisplayPort 1.4, HDMI 2.0, port USB-A 3.0, dan jack 3.5 mm. Dalam paket penjualannya dilengkapi base, stand, dan aksesori untuk pemasangan ke dinding. Harga Xiaomi Mi 2K Gaming Monitor 27 Inci dibanderol €500 (Rp8,5 jutaan).

Mi Router AX9000

Ini merupakan router WiFi 6 tri-band pertama dari Xiaomi dan memiliki total 12 antena eksternal yang mencakup band 2.4GHz (dengan bandwidth hingga 1.148 Mbps) dan dua band 5GHz (4.804 Mbps + 2.402 Mbps). Menariknya salah satunya didedikasikan untuk bermain game, sehingga perangkat lain yang terhubung di jaringan tidak akan mengganggu permainan.

Selain itu, Mi Router AX9000 memiliki port WAN 2.5 GBps dan enam port LAN gigabit, ditambah satu port USB-A 3.0. Dapur pacunya ditenagai oleh chipset Qualcomm 14nm dengan CPU hexa-core Cortex-A53 yang berjalan pada 2.2GHz dan dual-core NPU pada 1.7GHz, berpadu RAM 1GB dan punya kipas internal untuk memastikan kinerjanya konsisten sepanjang waktu.

Selain punya 12 antena WiFi, router ini juga memiliki AIoT khusus yang memungkinkan router bertindak sebagai hub untuk smart home gadget yang kompatibel dengan Xiaomi. Harga dari Xiaomi Mi Router AX9000 dibanderol €300 (Rp5,1 jutaan).

Redmi Buds 3 Pro

Buds 3 Pro merupakan versi global dari Air Dots 3 Pro yang telah diumumkan minggu lalu dan dibanderol €70 (Rp1,1 jutaan) di Eropa. TWS buds ini memiliki fitur ANC (hingga 35 dB), Bluetooth 5.2 dengan dukungan multipoint, dan total masa pakai baterai 28 jam.

Mi Electric Scooter 3

Beralih ke Mi Electric Scooter 3, model ini memiliki baterai 275 Wh dengan jangkauan hingga 30 km. Motor listrik ini dapat beroperasi pada 300W secara terus menerus dengan peak power mencapai 600W. Kecepatan tertingginya dibatasi hingga 25 km/h dan dapat mengatasi tanjakan 16%.

Mi Electric Scooter 3 memiliki berat 13 kg dan beban maksimum yang bisa ditampung 100 kg. Xiaomi mendesain ulang mekanisme lipat dengan desain 3 langkah dan mengupgrade LCD.

Fitur lain termasuk sasis aerospace-grade aluminum, pneumatic tires, eABS di bagian depan dan rem cakram dual-pad di bagian belakang, dan lampu depan 2W. Harga Mi Electric Scooter 3 dibanderol €450 (Rp7,6 jutaan) dalam warna Onyx Black dan Gravity Grey.

Mi Smart Air Fryer 3.5L

Produk terakhir ialah Mi Smart Air Fryer 3.5L yang dapat dikontrol melalui aplikasi Mi Home dan menawarkan lebih dari 100 resep berbeda untuk dicoba. Dengan aplikasi Mi Home, pengguna dapat menjadwalkan memasak hingga 24 jam sebelumnya dan Anda dapat menggunakan perintah suara (mendukung (Google Assistant dan Amazon Alexa) untuk memulai atau menjeda proses memasak dan memeriksa sisa waktu memasak atau Anda bisa memeriksa info tersebut pada layar OLED di bagian depan.

Air fryer ini dapat memuat 3,5L dan dapat memasak pada suhu mulai dari 40ºC hingga 200ºC (104ºF-392ºF). Juga dapat digunakan untuk memanggang, mencairkan es, dan membuat yogurt. Harga Xiaomi Mi Smart Air Fryer 3.5L dijual €100 (Rp1,7 jutaan).

Sumber: GSMArena

Apa yang Menarik dari Sebuah Monitor? Wawancara dengan GTiD

Bagi yang mengikuti banyak channel teknologi di YouTube seperti saya, Anda pasti sadar bahwa setiap channel sebenarnya mempunyai spesialisasi atau niche-nya masing-masing. Sebagian besar mungkin menaruh fokus ekstra pada kategori seperti smartphone atau laptop, namun ada juga sebagian lain yang mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda dengan membahas topik spesifik yang mungkin tidak begitu populer karena kurang menarik untuk dibicarakan panjang lebar.

Di kalangan YouTuber lokal, salah satu channel yang masuk kategori tersebut adalah GTiD. Sepintas channel ini mungkin terdengar seperti channel gadget pada umumnya, tapi kalau Anda amati, mayoritas dari video-video yang diunggahnya membahas mengenai monitor. Tidak jarang pembahasannya malah cukup panjang dengan durasi di atas 10 menit. Padahal, buat sebagian orang, monitor mungkin tidak semenarik itu untuk dibahas sampai begitu mendalam.

Saya pun pada awalnya juga punya pandangan yang serupa. Namun pada kenyataannya, sampai artikel ini ditulis, GTiD sudah mempunyai hampir 70 ribu subscriber. GTiD juga sudah memiliki komunitas Discord-nya sendiri yang cukup aktif, dan semua ini menurut saya sudah bisa menggambarkan kalau di luar sana rupanya tidak sedikit yang tertarik dengan pembahasan in-depth mengenai monitor.

Berhubung masih penasaran, saya pun memutuskan untuk menghubungi host sekaligus penggagas channel GTiD, Eldwin, untuk bercakap-cakap secara singkat. Berikut adalah hasil perbincangan kami yang sebagian besar telah disunting agar lebih jelas penyampaiannya.

Kenapa niche monitor? Bisa diceritakan awalnya kenapa GTiD fokus membahas tentang monitor?

Awalnya sebatas iseng mencoba, dan ternyata ada pasarnya yang belum difokuskan di market YouTube, dan itu berlanjut sampai hari ini.

Tidak banyak tech YouTuber Indonesia yang secara spesifik membahas tentang monitor sampai sedetail GTiD. Apa sih sebenarnya yang menarik dari monitor?

Seperti yang saya bilang sebelumnya, justru karena tidak ada yang melakukannya, saya pun berusaha untuk mengisi kekosongan itu sebaik mungkin. Dan sama seperti statement di pertanyaan ini, awalnya saya sendiri juga merasa segmen monitor itu kurang menarik. Namun setelah saya dalami dan pelajari, ternyata ada satu hal yang bisa membuat monitor jadi semakin penting ke depannya untuk semua orang, yaitu kehadiran USB-C.

Saya percaya ke depannya kita cukup punya smartphone dan menghubungkannya ke monitor via USB-C, maka kita bisa memakainya layaknya personal computer kita selama ini. Di sisi lain, kita juga sudah merasakan pentingnya monitor ketika pandemi COVID-19 melanda dan kita harus WFH. Agar WFH bisa berjalan dengan nyaman, kita tentu butuh monitor.

Menurut Eldwin, kenapa konsumen perlu menyimak ulasan merinci tentang sebuah monitor?

Banyak tim marketing brand monitor yang tidak menjelaskan secara merinci plus dan minus monitor mereka. Sebagian mungkin bahkan tidak tahu, tapi sekalipun mereka tahu, mereka terikat dengan etika perusahaan, sehingga tidak mungkin juga mereka menunjukkan kelemahan produk mereka sendiri.

Belum lagi ditambah banyaknya persepsi yang salah mengenai monitor di pasaran. Di sinilah GTiD hadir untuk membantu penonton mendapatkan monitor terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Apa saja sebenarnya miskonsepsi seputar monitor yang umum beredar di kalangan konsumen?

  • Color gamut tinggi berarti warna yang dihasilkan akurat, padahal keduanya sebenarnya punya makna yang berbeda.
  • Motion blur yang diklaim oleh brand monitor dianggap sudah tepat, padahal kenyataannya semua itu cuma sebatas angka yang tidak bisa menggambarkan keadaan sebenarnya.
  • “Mata manusia cuma bisa melihat 60 Hz, nggak guna lebih tinggi dari itu”, atau “144 Hz dan 240 Hz tidak ada bedanya.” Penjelasan panjang lebarnya pernah saya sampaikan di video review monitor ASUS PG259QN.

Gimmick-gimmick monitor apa saja yang Eldwin kurang suka?

  • Yang saya lihat, brand senang mempromosikan bahwa seakan-akan label “Pantone validated” atau “Callman certified” adalah sesuatu yang luar biasa untuk sebuah monitor profesional. Pada kenyataannya, monitor-monitor tersebut mungkin tidak sesempurna itu. Terkadang hasil warnanya bahkan bisa dikalahkan oleh monitor gaming yang dijual dengan harga lebih murah.
  • Motion blur sebuah panel sering misleading cara penyampaiannya. 1 ms di panel TN berbeda dari 1 ms di panel VA, demikian pula dengan 1 ms di panel IPS. Terkadang malah tulisan angka itu tidak ada artinya sama sekali karena tidak menjelaskan apa-apa terkait kejadian sebenarnya.

Selain ukuran dan resolusi, atribut-atribut apa saja yang harus konsumen perhatikan dalam membeli monitor, baik untuk monitor gaming ataupun monitor profesional?

Untuk monitor gaming:

  • Tipe panel
  • Motion blur
  • Refresh rate

Untuk monitor profesional:

  • Panel bit-depth
  • Akurasi warna
  • Color gamut
  • Brightness
  • Contrast
  • White point

List-nya masih lebih panjang lagi untuk monitor profesional, tapi faktor-faktor berikutnya lebih condong ke preferensi masing-masing konsumen, seperti misalnya ada tidaknya VESA mount, port USB-C, factory-calibrated atau tidak, desain bodi, dan lain sebagainya.

Kriteria monitor yang ideal buat Eldwin itu bagaimana? Monitor gaming bagaimana? Monitor profesional bagaimana?

Kriteria di bawah ini sudah termasuk cukup, tapi tidak bisa dikatakan sempurna karena kalangan sultan sebenarnya bisa membeli yang lebih bagus lagi:

  • Untuk gamer kompetitif: 25 inci, FHD, 240/360 Hz
  • Untuk gamer casual yang sering bermain bersama teman-temannya: 27 inci, QHD, 144 Hz
  • Untuk gamer single-player atau kreator konten: 4K, 60 Hz
  • Untuk editor profesional: spesifikasi monitor mengikuti seberapa profesional masing-masing pengguna, dengan budget yang mungkin tidak terbatas, dimulai dari Apple Pro XDR
Selain monitor, Eldwin sesekali juga mengulas tentang gadget yang lebih umum seperti laptop, mouse, keyboard, dan lain sebagainya / Sumber foto: Dokumentasi pribadi GTiD

Selain tentu saja perbedaan jenis kartu grafis yang didukung, adakah perbedaan lain antara Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync?

Bagi saya, kedua teknologi tersebut punya tujuan yang sama, yakni untuk menghilangkan tearing saat bermain game. Pada deretan game casual yang umumnya lebih mementingkan kualitas gambar dengan preset grafik High, Ultra, dan sebagainya, fitur ini mungkin bisa membantu memaksimalkan keindahan itu. Kan tidak enak kalau misalnya kualitas grafik sudah bagus, tapi tiba-tiba ada satu frame yang seperti terpotong di sepanjang layar.

Di sisi lain, kalau konteks yang dibicarakan adalah pro player game PC, banyak dari mereka yang tidak menyarankan untuk menyalakan fitur ini karena ada resiko meningkatnya latensi mouse dan keyboard, yang pada akhirnya bisa membuat kita kalah satu langkah dibanding lawan. Dan lagi ketika bermain di fps (frame per second) yang sangat tinggi, tearing juga hampir tidak terasa.

Pendapat Eldwin tentang Nvidia Reflex? Apakah tren teknologinya berada di jalur yang benar?

Nvidia Reflex keren. Konsepnya jelas dan memang tujuannya adalah untuk membantu para gamer. Namun saya rasa belum begitu relevan untuk pasar Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia lebih butuh internet yang stabil dan latensi rendah dari provider internet, yang sejauh ini masih belum merata sama sekali di Indonesia.

Menurut Eldwin, kondisi pasar monitor di Indonesia sekarang bagaimana? Apakah ada satu atau dua brand yang mendominasi, atau persaingannya sudah cukup merata?

Jelas sekali tidak seketat di pasar smartphone. Persaingannya juga masih belum merata, dan banyak brand yang masih menjual dengan harga sangat tinggi, melebihi value dari produk itu sendiri, karena kurangnya persaingan.

Menurut Eldwin, apa alasan penamaan model-model monitor yang selalu terkesan ngawur?

Saya rasa mereka sebatas ingin jadi berbeda saja dibanding brand lainnya. Saking ingin berbedanya, kadang jadi terkesan sangat ngawur saat memberi kode. Salah satu contohnya, ViewSonic VX2705-2KP-MHD (27 inci, QHD, 144 Hz). Kalau melihat dari spesifikasinya, sebenarnya bisa saja dibuat lebih simpel, seperti misalnya VX2705-2K.

Bisa diceritakan seperti apa suka-duka menjadi seorang reviewer monitor?

Suka:

  • Banyak yang terbantu, dan saya mendapat banyak DM positif tentang mereka yang bisa membeli monitor terbaik yang mereka butuhkan.
  • Review-nya tidak seribet produk elektronik lainnya, karena fungsi monitor cuma satu, yakni sebagai display dari sesuatu yang disambungkan sebagai input.

Duka:

  • Terkadang jumlah view tidak sebanyak orang yang mengulas tentang smartphone.
  • Dan itu berimbas pada pemasukan dari YouTube yang tidak terlalu besar.

Jujur saya suka dengan gaya penyampaian Eldwin yang frontal. Selama ini apakah ada pihak yang sempat protes dengan gaya Eldwin?

Dari pihak brand, sempat ada yang datang ke tim kami dan menyampaikan secara langsung bahwa intinya tim kami sudah di-blacklist oleh mereka. Ada kemungkinan juga kami di-blacklist secara diam-diam oleh sejumlah brand yang tidak suka dengan gaya review kami.

Buat saya itu bukan masalah, sebab tujuan GTiD sendiri memang adalah supaya bisa independen tanpa bergantung pada brand tertentu. Saya tidak tahu apakah kami bisa mencapainya atau tidak, tapi yang pasti saya ingin terus memberikan value kepada penonton yang sudah setia memberikan dukungan dari awal.

Kepada para penonton baru, saya berharap bahwa setiap kali mereka menonton review GTiD, mereka bisa menganggap saya sebagai seorang teman yang peduli terhadap uang mereka. Pasalnya, barang-barang yang kami review bukan barang yang murah, dan mungkin ada orang di luar sana yang menabung dalam jangka waktu lama untuk bisa mendapatkan barang tersebut. Jika saya tidak jujur mengenai kekurangan-kekurangan produk tersebut, saya yakin mereka bakal kecewa berat.

Mungkin tidak banyak orang yang bisa terima dengan gaya review saya yang ekspresif. Namun saya tidak ingin mengubahnya karena itu memang adalah saya yang sesungguhnya di dunia nyata, dengan gaya yang sama persis ketika ada seorang teman yang meminta saran soal barang yang ingin mereka beli.

Samsung Luncurkan Sederet Monitor Gaming Baru, Kali Ini Tidak Ada yang Curved

Samsung punya sejumlah monitor gaming baru, menyusul deretan monitor gaming high-end yang diluncurkannya tahun lalu. Yang sedikit berbeda, penawarannya kali ini tidak ada yang bertipe curved, alias semuanya datar.

Model yang pertama adalah Odyssey G7 28″ (G70A), yang mengemas panel 28 inci dengan resolusi 4K dan refresh rate maksimum 144 Hz. Jenis panel yang digunakan adalah IPS, dengan waktu respon 1 milidetik (GTG). Tingkat kecerahan maksimumnya bisa mencapai angka 400 nit, dan perangkat juga telah mengantongi sertifikat HDR400.

Fitur lain yang tidak kalah penting adalah kompatibilitas dengan AMD FreeSync Premium Pro serta Nvidia G-Sync. Di samping DisplayPort 1.4, perangkat turut dibekali port HDMI 2.1, yang berarti ia juga bisa disambungkan ke PlayStation 5 atau Xbox Series X untuk menikmati permainan di resolusi 4K 120 fps.

Satu keunikan yang ditawarkan model ini adalah fitur Auto Source Switch+, yang dapat mendeteksi perangkat yang terhubung lalu mengganti mode input-nya secara otomatis. Dengan kata lain, pengguna hanya perlu menyalakan PC atau console, dan monitor pun akan langsung mengenalinya sekaligus mengaktifkan mode input yang tepat.

Monitor yang berikutnya adalah Odyssey G5 27″ (G50A), yang mengemas panel IPS 27 inci dengan resolusi QHD (2560 x 1440), refresh rate 165 Hz, dan waktu respon 1 milidetik (MPRT). Kompatibilitas dengan AMD FreeSync Premium dan Nvidia G-Sync juga tersedia, tapi sayangnya tidak untuk fitur-fitur seperti HDR400 maupun HDMI 2.1. Pun demikian, tingkat kecerahan maksimumnya terhitung lumayan tinggi di angka 350 nit.

Khusus untuk G70A dan G50A, Samsung turut membekali keduanya dengan sejumlah fitur untuk memudahkan multitasking, mulai dari fitur Picture-by-Picture (PBP), Picture-in-Picture (PIP), sampai Easy Setting Box untuk membagi-bagi porsi tampilan layar secara mudah.

Model yang terakhir adalah Odyssey G3 27″ dan 24″ (G30A), yang ditargetkan untuk kalangan mainstream yang masih bermain di resolusi 1080p alias FHD. Refresh rate maksimum yang didukung mencapai angka 144 Hz, dan waktu responnya juga tercatat berada di angka 1 milidetik (MPRT).

Model ini mempunyai tingkat kecerahan maksimum 250 nit, cukup standar mengingat memang tidak ada dukungan HDR. Rincian spesifikasinya hanya mencantumkan dukungan AMD FreeSync Premium, tanpa label G-Sync Compatible. Menariknya, monitor di kelas budget ini masih menawarkan ergonomic stand yang cukup lengkap (height-adjustable, tilt, swivel, pivot).

Samsung sejauh ini belum mengumumkan harga dan ketersediaan G70A dan G50A. Untuk G30A, informasi yang tercantum di Amazon menunjukkan banderol $250 untuk varian 27 inci dan $220 untuk varian 24 inci, dengan jadwal pemasaran mulai 1 Juli.

Sumber: Samsung dan Engadget.

Deretan Laptop Terbaru Acer Unggulkan Beragam Teknologi Display yang Mengesankan

Seperti tahun lalu, Acer kembali menggelar acara Next@Acer tahun ini secara virtual. Di ajang tersebut, seperti biasa Acer mengumumkan sederet produk anyar. Sebagian besar adalah laptop, tapi masing-masing memiliki keunikannya tersendiri yang pantas untuk disoroti.

Berikut adalah rangkuman produk-produk baru yang diumumkan di Next@Acer 2021.

Acer Aspire Vero

Acer membuka acara dengan memaparkan visinya terkait sustainability. Komitmen Acer adalah menjadi perusahaan yang sepenuhnya bergantung pada energi terbarukan mulai tahun 2035. Sebagai salah satu langkah kecil untuk mengawalinya, mereka juga mengumumkan Aspire Vero.

Vero sepintas kelihatan seperti laptop pada umumnya, dengan spesifikasi yang juga memenuhi standar laptop di tahun 2021. Yang unik dari Vero adalah material yang digunakan untuk rangka sekaligus keyboard-nya, yaitu plastik daur ulang. Bahkan packaging-nya pun juga dibuat dari kertas daur ulang, dengan grafik yang dicetak menggunakan tinta kedelai.

Sejauh ini belum banyak yang diketahui tentang Vero, dan Acer juga belum mengumumkan harga maupun jadwal pemasarannya. Anggap saja ia sebagai simbol dari komitmen Acer terhadap Bumi yang lebih hijau.

Acer Swift X

Sebagai bagian dari lini Swift, Swift X (SFX14-41G) tentu mengunggulkan wujud fisik yang tipis sekaligus ringan. Yang istimewa, desain ringkas tersebut kali ini dapat diwujudkan tanpa berkompromi soal performa.

Swift X tercatat memiliki tebal cuma 17,9 mm dan berat 1,39 kg, akan tetapi itu dapat diimbangi oleh spesifikasi yang cukup mengesankan. Pada konfigurasi termahalnya, Swift X mengemas prosesor AMD Ryzen 7 5800U, GPU Nvidia RTX 3050 Ti, RAM 16 GB, SSD 2 TB, dan baterai berkapasitas 59 Wh. Tipis dan ringan, tapi siap dipakai untuk mengedit video 4K maupun gaming.

Layarnya sendiri merupakan panel IPS 14 inci dengan resolusi 1080p. Di kawasan Amerika Utara, laptop ini akan segera dipasarkan dengan banderol mulai $900.

Acer Chromebook 317

Acer sebenarnya mengumumkan empat Chromebook baru, akan tetapi satu yang paling mencuri perhatian adalah Chromebook 317 (CB317-1H). Pasalnya, Anda akan kesulitan menemukan Chromebook lain yang layarnya sebesar ini, persisnya 17,3 inci dengan resolusi 1080p dan lapisan anti-glare.

Acer merancang perangkat ini untuk memenuhi kebutuhan bekerja maupun belajar dari rumah. Spesifikasinya mencakup prosesor Intel Celeron generasi terbaru, dan baterainya diklaim mampu bertahan sampai 10 jam pemakaian terlepas dari layarnya yang berukuran masif. Chromebook 317 kabarnya akan dijual dengan harga mulai $380.

Acer ConceptD SpatialLabs

Acer mengumumkan sejumlah model dari lini ConceptD yang telah menerima penyegaran spesifikasi. Dalam kesempatan yang sama, mereka turut menyingkap ConceptD SpatialLabs, sebuah prototipe laptop yang dibekali teknologi display 3D. Berhubung teknologi 3D-nya terintegrasi langsung ke perangkat, pengguna sama sekali tidak perlu menggunakan kacamata khusus.

Acer optimis teknologi SpatialLabs yang mereka kembangkan ini dapat membantu memuluskan workflow para desainer 3D, sebab mereka juga dapat berinteraksi langsung dengan model 3D yang dibuatnya secara real-time. Meski begitu, realisasinya sebagai produk yang dapat dibeli oleh konsumen secara luas masih tanda tanya. Untuk sekarang, Acer baru akan mengujinya bersama sejumlah kreator terpilih.

Acer Predator Triton 500 SE dan Predator Helios 500

Acer Predator Triton 500 SE / Acer

Beralih ke sektor gaming, Acer memperkenalkan dua laptop untuk segmen high-end. Yang pertama adalah Predator Triton 500 SE (PT516-51s), dengan penampilan yang kelihatan jauh lebih dewasa ketimbang Triton 500 biasa. Sebagai laptop gaming kelas atas, spesifikasinya jelas tidak mengecewakan: CPU Intel Core i9 generasi ke-11, GPU Nvidia GeForce RTX 3080, dan RAM 64 GB pada varian termahalnya.

Namun yang lebih spesial adalah layarnya, yang dapat dikonfigurasikan dengan panel Mini LED 16 inci beresolusi 2560 x 1600 pixel, dengan refresh rate 165 Hz dan tingkat kecerahan maksimum 1.250 nit. Ya, Mini LED adalah teknologi display anyar seperti yang terdapat pada iPad Pro generasi terbaru maupun lineup TV premium Samsung, dan sejauh ini masih sangat langka di kategori laptop.

Alternatifnya, konsumen juga dapat memilih varian yang dibekali panel IPS 240 Hz. Semua itu dikemas dalam sasis setebal 19,9 mm saja. Harganya sendiri dimulai di angka $1.750.

Acer Predator Helios 500 / Acer

Kalau penampilan yang sleek bukanlah suatu prioritas, ada versi baru Predator Helios 500 (PH517-52) yang mengemas layar 17,3 inci, juga dengan opsi panel Mini LED, tapi di resolusi 4K dan refresh rate 120 Hz. Kalau tidak butuh Mini LED, pilih saja varian yang mengemas panel 1080p 360 Hz.

Performanya pun tidak perlu diragukan, dengan varian termahal yang mencakup CPU Core i9 generasi ke-11, GPU RTX 3080, RAM 64 GB, sepasang SSD PCIe dalam konfigurasi RAID 0 dan satu HDD SATA. Laptop ini kabarnya akan dijual pada bulan Agustus dengan harga mulai $2.500.

Acer Predator CG437K S

Tiga buah monitor gaming Acer singkap di acara ini, tapi satu yang paling mencolok adalah Predator CG437K S dengan layarnya yang begitu masif: 42,5 inci dengan resolusi 4K, refresh rate 144 Hz, sertifikasi DisplayHDR 1000, dan kompatibilitas dengan Nvidia G-Sync.

Namun selain untuk gamer PC, monitor ini juga sangat cocok buat para pengguna console next-gen. Pasalnya, ia telah dilengkapi port HDMI 2.1, port yang dibutuhkan untuk menjalankan game PlayStation 5 maupun Xbox Series X di resolusi 4K 144 Hz. Harganya memang jauh dari kata murah, persisnya $1.800 saat dipasarkan mulai bulan November mendatang.

Sumber: Acer.

Cooler Master Umumkan Empat Monitor Gaming Baru, Semuanya dengan Resolusi QHD dan Refresh Rate Tinggi

Setahun yang lalu, Cooler Master memutuskan untuk memperluas portofolio produknya secara signifikan, salah satunya dengan memperkenalkan monitor gaming pertamanya. Tahun ini, mereka sudah menyiapkan empat monitor baru, dan keempatnya ditargetkan bagi mereka yang bermain di resolusi 1440p (QHD).

Monitor yang pertama adalah GM32-FQ yang berukuran 31,5 inci. Model ini menggunakan panel IPS dengan refresh rate maksimum 165 Hz, lengkap beserta sertifikasi AMD FreeSync Premium maupun Nvidia G-Sync Compatible. Rasio kontrasnya tercatat di angka 1200:1, dan ia memiliki waktu respon 5 milidetik (grey-to-grey).

Reproduksi warnanya cukup akurat berkat dukungan 95% spektrum DCI-P3, akan tetapi tingkat kecerahan maksimumnya cuma terbatas di angka 250 nit. Monitor ini rencananya akan dilepas ke pasaran seharga $499 mulai akhir bulan Maret mendatang.

Jika lebih suka dengan monitor curved, alternatifnya ada GM32-CQ yang mengemas panel VA 32,5 inci dengan tingkat kurvatur 1500R. Refresh rate maksimumnya sama-sama berada di angka 165 Hz, demikian pula waktu responnya di 5 milidetik. Selain berbeda bentuk, GM32-CQ juga sudah mengantongi sertifikasi HDR400. Harganya sendiri sama persis di angka $499.

Untuk monitor yang ketiga dan keempat, dua-duanya sama-sama memiliki ukuran 27 inci. Model GM27-FQ ARGB menggunakan panel Fast-IPS dengan refresh rate 180 Hz dan waktu respon 1 milidetik, serta mendukung 95% spektrum warna DCI-P3. Ia pun juga sudah mengantongi sertifikasi FreeSync Premium maupun G-Sync Compatible, tidak ketinggalan pula HDR400. Harganya dipatok $549 saat mulai dijual pada babak kedua tahun ini.

Monitor yang terakhir, yakni GM27-FF, mengusung panel VA dengan refresh rate 240 Hz dan waktu respon 1 milidetik. Jelas sekali bahwa model ini adalah yang ditargetkan ke kalangan gamer kompetitif, dan ia juga sudah mulai dijual sekarang juga dengan harga $349.

Memang tidak ada yang begitu istimewa dan menonjol dari kuartet monitor ini. Namun yang cukup menarik menurut saya adalah fakta bahwa tidak ada satu pun dari antaranya yang mengemas resolusi 1080p. Melihat begitu perkasanya deretan GPU terbaru dari Nvidia maupun AMD, tidak heran apabila mulai banyak yang meninggalkan resolusi FHD. Problemnya sekarang tinggal bagaimana stok dan harga kartu grafis bisa kembali normal sehingga konsumen dapat menikmati sesi bermainnya secara mulus di resolusi QHD.

Sumber: PC Gamer dan Display Specifications.

Monitor Gaming 360 Hz Bikinan Asus Siap Dijual Bulan September

Pada event CES Januari lalu, Asus sempat memamerkan sebuah monitor gaming dengan refresh rate 360 Hz. Sesuai janji, produk tersebut bakal segera siap dinikmati oleh publik mulai bulan September mendatang.

Monitor bernama lengkap ROG Swift PG259QN ini bakal menjadi monitor 360 Hz pertama di dunia. Baik Acer maupun Alienware memang juga sudah punya monitor dengan level kecanggihan yang setara, namun sejauh ini monitor 360 Hz milik kedua perusahaan itu masih belum dipasarkan secara luas.

Asus di sisi lain sudah merincikan spesifikasi lengkap dari monitor ini. Panel layar yang digunakan adalah panel IPS 24,5 inci dengan resolusi 1080p dan waktu respon 1 milidetik. Dukungan HDR10 tersedia sebagai standar, demikian pula kompatibilitas dengan teknologi Nvidia G-Sync.

Asus ROG Swift PG259QN

“Kok cuma 1080p?” Faktor ini mungkin bisa jadi penentu utama bagi sebagian besar konsumen, tapi kita juga harus ingat bahwa spesifikasi PC yang dipakai juga harus benar-benar kelas sultan agar bisa menjalankan game di 360 fps demi memaksimalkan kapabilitas sebenarnya dari monitor ini.

Di resolusi 1440p dan di game CS:GO misalnya, bahkan GPU sekelas Nvidia GeForce RTX 2080 Ti pun akan kesulitan mempertahankan 360 fps secara konsisten di segala kondisi. Hal ini pada dasarnya juga menjelaskan timing dari peluncuran monitor 360 Hz besutan Asus ini.

Asus ROG Swift PG259QN

Pada tanggal 31 Agustus nanti, Nvidia hampir bisa dipastikan bakal memperkenalkan GPU generasi barunya, dengan RTX 3090 sebagai model yang pertama sekaligus yang membawa lompatan performa yang amat signifikan. Monitor ini bisa dibilang bakal menjadi tandem yang ideal buat kartu grafis tersebut.

Terkait konektivitas, tidak mengejutkan apabila monitor high-end seperti ini hadir membawa konektivitas yang lengkap, mulai dari tiga port USB 3.0, port DisplayPort 1.4, sampai port HDMI 2.0. Di Amerika Serikat, Asus ROG Swift PG259QN rencananya akan dijual seharga $699.

Sumber: Tom’s Hardware dan PC Gamer.

Samsung Resmi Luncurkan Monitor Gaming Terunggulnya, Odyssey G9 dan G7, di Indonesia

Pertama kali diumumkan di event CES pada bulan Januari lalu, monitor curved Samsung Odyssey G9 dan Odyssey G7 kini sudah resmi masuk ke pasar tanah air. Kedatangannya tergolong cepat, dan ini menunjukkan bahwa pasar hardware PC gaming di Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata meski mobile masih menjadi platform yang paling populer.

Dengan banderol Rp 24.999.000, Odyssey G9 jelas bukan sembarang monitor. Samsung bahkan enggan mengategorikannya sebagai monitor curved biasa, sebab memang kurvaturnya begitu agresif di angka 1000R, atau kurang lebih sama melengkungnya seperti kontur bola mata manusia.

Sebelum ini sebenarnya sudah ada monitor curved 49 inci dengan format ultra-wide dari Samsung, namun tingkat kelengkungannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Odyssey G9, demikian pula spesifikasi lengkapnya.

Panel QLED 49 inci milik Odyssey G9 ini merupakan tipe VA dengan resolusi Dual QHD, atau persisnya 5120 x 1440 pixel (aspect ratio 32:9). Refresh rate maksimum yang didukungnya mencapai 240 Hz, dan ia memiliki waktu respon (gray-to-gray) 1 milidetik. Dukungan Nvidia G-Sync maupun AMD FreeSync Premium Pro merupakan fitur standar buat monitor ini.

Terkait reproduksi warna, G9 menawarkan coverage sRGB hingga 125%, dan DCI-P3 hingga 95%. Istimewanya, ia juga telah mengantongi sertifikasi HDR 1000, yang berarti tingkat kecerahan maksimumnya adalah 1.000 nit, dan konten dalam format HDR dipastikan tampak begitu menawan di monitor ini.

Dalam konferensi pers online yang saya ikuti, Samsung Indonesia mengajak pembalap sekaligus gamer Rifat Sungkar untuk mencoba langsung monitor ini. Pereli nasional itu menjajalnya dengan game Dirt 2, yang menurutnya selalu dia mainkan setiap hari selama pandemi.

Bentuk monitor yang begitu lebar dan tingkat kelengkungannya yang ekstrem memunculkan kesan seperti masuk ke dalam permainan. Lalu kalau dengan monitor biasa, efek blur akan cukup terasa, tapi di G9 detail-detail seperti daun yang bertebaran setelah dihempas laju mobil masih bisa terlihat dengan jelas, demikian pengakuannya.

Samsung memang tidak menyebut kartu grafis spesifik yang dibutuhkan supaya pengguna dapat memaksimalkan kapabilitas G9, tapi kalau melihat resolusi dan refresh rate setinggi itu, saya yakin Nvidia RTX 2080 Ti adalah pilihan yang paling tepat jika benar-benar ingin menikmati semua kelebihannya. Lagipula, kalau seorang gamer rela mengucurkan dana Rp 25 juta untuk sebuah monitor, saya yakin ia juga sebelumnya memang sudah mampu membeli kartu grafis di kisaran harga Rp 25 jutaan.

Seandainya Odyssey G9 terlalu overkill atau kelewat mahal, ada Odyssey G7 yang tidak kalah memikat. Perangkat ini hadir dalam ukuran 27 atau 32 inci, dengan resolusi 2560 x 1440 pixel. Selain beda ukuran dan resolusi, Odyssey G7 juga ‘cuma’ memiliki sertifikasi HDR 600. Selebihnya, G7 memakai panel QLED tipe VA yang sama persis, dengan kurvatur 1000R dan refresh rate maksimum 240 Hz.

Harganya jelas jauh lebih murah: Rp 13.499.000 untuk varian 32 inci, atau Rp 11.999.000 untuk varian 27 inci. Secara estetika, G7 sama-sama mengadopsi desain yang futuristis seperti G9, dan keduanya turut mengemas elemen-elemen desain yang cerdas, seperti salah satunya routing kabel yang dapat disembunyikan di dalam stand-nya.

Di Indonesia, Samsung Odyssey G9 dan G7 akan segera hadir mulai bulan Agustus. Khusus Odyssey G9, Samsung akan membuka pre-order dalam jumlah terbatas mulai tanggal 1 – 14 Agustus, dan konsumen yang memesan dalam periode tersebut bakal menerima bonus satu set gaming gear (mouse, keyboard, headset) senilai Rp 6 juta.

Gaming Gear, Atlet Esports, dan Sebuah Jalan untuk Jadi yang Terbaik

Sebagai industri yang berkembang bersama dengan teknologi, tidak heran jika industri game dekat dengan berbagai aksesori pelengkapnya, yang kini lebih dikenal dengan istilah gaming gear. The NPD Group dalam laporan jumlah belanja gamers Amerika Serikat Q1 2020, menjelaskan bahwa penjualan aksesori game mencapai angka 390 juta dollar AS (sekitar 5,7 triliun Rupiah). Angka tersebut merupakan penurunan, namun tetap dianggap sebagai jumlah penjualan tertinggi ketiga sepanjang masa.

Mungkin banyak yang bertanya. Apa yang membuat gaming gear begitu menarik dan penting? Memangnya, Anda jadi lebih jago kalau punya gaming gear? Akankah MMR Anda meningkat dari Herald ke Ancient dalam satu minggu di Dota 2 hanya karena membeli gaming gear? Sejauh ini sih jawabannya “tidak” ya. Tapi kalau Anda punya teman yang bisa naik rank hanya karena punya gaming gear baru, mungkin bisa diperkenalkan ke saya agar dapat saya wawancara… Hehe.

Saya sempat menyatakan opini singkat soal ini saat menulis tips aim di FPS PC. Pada artikel tersebut saya sengaja meletakkan soal tips memilih gear yang tepat di bagian akhir. Karena ibaratnya sepak bola, kalau kemampuan main bola Anda masih sekelas antar-kampung alias tarkam, sepatu Nike Mercurial tidak akan serta merta membuat Anda sejago Lionel Messi. Namun jika Anda sudah bisa dribble bola seperti Lionel Messi, Anda pasti membutuhkan perlengkapan terbaik, agar gerakan Anda lebih leluasa dan menghindari cidera.

Kalau begitu, apakah mouse bolong-bolong, monitor 144Hz, keyboard mekanikal, dan mouse pad RGB memang tidak ada gunanya? Jawabannya belum tentu. Pertanyaan berikutnya mungkin adalah kenapa gaming gear dibutuhkan dan gaming gear seperti apa yang punya pengaruh terhadap kemampuan gaming Anda?

Sebuah Pencarian untuk Menjadi yang Terbaik

Dalam esports, hanya yang terbaik dari yang terbaik, yang bisa berjaya duduk di tahta juara dunia. Tim OG dari skena Dota 2, butuh berkompetisi selama berbulan-bulan, mengalahkan semua lawan, dan bersaing setidaknya dengan 85 orang dari 17 tim lainnya di gelaran utama The International 2019 untuk menjadi juara dunia. Tak heran, menjadi yang terbaik selalu menjadi pencarian utama dari sebuah tim esports.

Untuk menjadi yang terbaik, banyak faktor yang perlu dipikirkan. Skill individu adalah perangkat wajib seorang pemain. Setelah skill individu, strategi serta rencana permainan akan membuat sebuah tim menjadi semakin kuat. Setelah strategi, kerja sama serta chemistry permainan menjadi perekat yang membuat sebuah kemampuan main tim esports jadi semakin solid.

Setelah tiga aspek tersebut, pencarian untuk menjadi yang terbaik sebenarnya masih belum selesai. Masih ada aspek lain yang bisa diperbaiki, agar sebuah tim bisa menjadi lebih baik lagi. Ada tim yang mencoba memperbaiki dari sisi psikologi, yang contohnya bisa terlihat dari peran kinerja sosok psikolog olahraga, Mia Stellberg, di balik kemenangan Astralis di CS:GO dan OG di Dota 2.

Tetapi kompetisi akan terus-menerus menjadi semakin berat. Jika setelah tiga aspek di atas sudah terpenuhi, lalu apa berikutnya? Aksesoris pelengkap seperti gaming gear jadi salah satu jawaban. Hal ini mungkin jadi alasan kenapa angka Refresh-Rate monitor terus meningkat selama beberapa tahun belakangan, mouse menjadi semakin ringan sampai dibuat dengan rancangan bolong-bolong, masing-masing brand terus mengembangkan switch keyboard mekanik paling responsif, dan membuat headset dengan kemampuan Surround Sound terbaik.

Semua orang dalam jalannya untuk menjadi yang terbaik, dan respon serta kecepatan menjadi salah satu yang terus berusaha dikejar. Tapi apakah benar respon adalah segalanya? Lalu apa benar gaming gear memberi dampak pada performa.

Jika kita melihat kepada olahraga tradisional seperti sepak bola, yang melibatkan lebih banyak pergerakan fisik, jawabannya mungkin iya. Sebuah artikel akademis berjudul “Current Soccer Footwear, Its Role in Injuries and Potential for Improvement” menjelaskan seluk beluk hal tersebut.

Jika saya menjelaskan secara terperinci apa yang dibahas dalam artikel ilmiah tersebut, pembahasan ini mungkin akan menjadi sangat panjang dan njelimet; apalgi jika saya menjelaskan sampai ke hitung-hitungan hukum fisika dari perancangan sebuah sepatu sepak bola. Namun yang pasti, dalam proses perancangan sebuah sepatu saja, ada banyak aspek yang perlu dipikirkan.

Mulai dari besaran momentum kaki menghantam bola harus dihitung, untuk menentukan tebal atau tipis bahan yang digunakan. Seberapa keras menghentak ke tanah saat berlari, untuk menentukan konstruksi sol sepatu. Seberapa besar beban pergelangan kaki saat berlari menggocek musuh, untuk menentukan apakah sebuah sepatu harus dirancang “High” atau “Low”. Semuanya dilakukan dengan memikirkan bagaimana agar sebuah sepatu bisa nyaman dan membantu sang pemain bola memberikan performa paling efisien.

Lalu bagaimana dengan esports? Riset mendalam terhadap performance gear sejauh ini mungkin baru dilakukan oleh “The Lab” milik Complexity Gaming dan We Are Nations, sebuah perusahaan esports merchandising asal Amerika Serikat. Dua perusahaan tersebut terinspirasi oleh Bill Bowerman, sosok co-founder Nike, yang begitu terobsesi memikirkan rancangan sepatu terbaik yang bisa membuat seorang pelari bisa berlari lebih cepat lagi.

Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider
Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider

Dalam sebuah wawancara dengan Esports Insider, Cam Kelly CMO Complexity Gaming mengatakan. “Selain dari kesehatan, nutrisi, dan kebugaran, apparel dan equipment adalah bagian penting dalam menciptakan performa yang lebih baik lagi entah itu dalam skala millisecond atau milimeter. Jika seseorang kepanasan sehingga dia tidak bisa melenturkan bagian tubuhnya ke arah yang biasanya ia lakukan, maka performa permainan orang tersebut akan berkurang.” Ucapnya

Pada kasus pemain kasual, perbedaan millisecond atau milimeter mungkin tidak berarti. Namun dalam hal esports dan kompetisi, beda respon sepersekian detik adalah penentu hidup atau mati. Tidak percaya? Sebagai intermezzo, Anda bisa tonton permainan terbaik dari pro player League of Legends, Lee-Sang Hyeok (Faker), yang menunjukkan betapa berartinya setiap millisecond serta milimeter pergerakan di dalam dunia esports; dan alasan kenapa dia jadi dijuluki Unkillable Demon King.

Lebih lanjut The Lab juga menjelaskan bagaimana proses mereka melakukan riset sebuah aksesori yang bisa membuat performa seorang atlet esports jadi lebih efisien. Awalnya kecepatan, reaksi, muscle memory, dan batasan-batasan atau inhibisi diuji dalam Cognitive Lab.

Setelahnya purwarupa aksesori akan masuk fasilitas bernama Herman Miller Innovation Lab untuk memberi feedback terhadap purwarupa dalam sesi pengujian privat. Terakhir produk masuk ke dalam Advanced Training Room. Di sana, pemain akan melalui stress test, bermain dalam lingkungan yang menyerupai pertandingan LAN, termasuk temperatur, suara, lighting, serta perlengkapannya.

Dari sini, kita melihat bagaimana The Lab bisa dibilang menjadi salah satu pionir yang sangat serius dalam meningkatkan performa seorang pemain di dalam esports. Bahkan mereka melihat gaming gear bukan hanya soal mouse dan keyboard, tapi juga aksesori pakaian dan lain sebagainya. Patrick Mahoney, CEO We Are Nation lalu menambahkan lebih lanjut tentang dampak aksesori khusus gaming terhadap performa.

“Untuk meningkatkan performa esports ke tingkat berikutnya, kita bisa belajar dari cara atlet olahraga jadi lebih baik berkat teknologi. Contohnya, selama 20 tahun terakhir kita melihat pergantian bahan pakaian dari awalnya menggunakan wol dan katun, menjadi kain sintetis. Pergantian bahan ini ternyata terbukti membuat atlet lari bisa berlari lebih cepat, dan membantu menjaga temperatur tubuh seorang pendaki gunung. Esports masih berada di fase yang sangat awal, jadi siapa yang tahu nantinya kami yang akan menjadi pionir akan hal ini. Namun kami mengerti pentingnya riset pada bidang ini, dan kami sangat bersemangat bisa menjadi bagian dari hal ini.” Ucapnya.

Sumber: We Are Nation
Sumber: We Are Nation

Jason Lake Founder Complexity malah mencetuskan gagasan yang ia sebut sebagai Esports 3.0. Menurut pandangannya, gagasan Esports 3.0 akan menjadi masa depan. Menurut Lake, arti filosofi ini adalah mengelola pemain secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan pemain dari segi nutrisi, kebugaran, mindfulness, work-life balance, dan kesejahteraan pemain secara keseluruhan.

Esports 3.0 pun bukan hanya soal kesejahteraan pemain saja, tetapi juga memberikan segala aksesori yang terbaik agar seorang pemain bisa menjadi juara. Soal gaming gear, Cam Kelly malah memberikan ide yang lebih gila lagi seperti menghubungkan audio dengan haptic (teknologi yang mensimulasikan sentuhan) sehingga menurutnya, teknologi tersebut secara potensial bisa membuat pemain merespon pergerakan musuh secara lebih cepat. “Itu mungkin belum seberapa. Coba bayangkan jika kita bisa membuat gaming gear seperti lensa kontak atau Google Glass berisi informasi tambahan yang mungkin akan menjadi keuntungan yang tidak adil.” Kelly menjelaskan angan-angan konsep gaming gear yang ada di kepalanya.

Apa yang Dicari Dari Gaming Gear Agar Permainan Anda Jadi Lebih Baik?

Menjadi terbaik dari yang terbaik bisa dibilang alasan kenapa gaming gear masih memiliki pasarnya tersendiri di dalam ekosistem gaming. Tim esports bisa menggunakannya untuk membuat performa pemain jadi lebih efisien. Sementara itu pemain kelas menengah bisa menggunakannya untuk jadi lebih baik lagi, atau mungkin sekadar agar bisa merasakan rasanya menjadi seperti seorang pro player. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dicari?

Soal mencari gear yang tepat, ada pembahasan menarik yang dilakukan oleh Keith Stuard dalam tulisannya di The Guardian. Ia mengupas topik tersebut secara satu per satu, mulai dari monitor, mouse, keyboard, sampai controller atau joystick.

Dalam pembahasan monitor, Keith meminta pendapat Nicolas Reetz (dev1ce) pemain profesional CS:GO tim Astralis. Menurutnya 240Hz adalah suatu keharusan. “Juga sebuah monitor harus memiliki response time serendah mungkin, serta fitur color control. Saya cenderung bermain dengan saturasi warna yang tinggi, ini jadi alasan kenapa monitor saya harus punya fitur kustomisasi tersebut. Ukuran layar juga tak kalah penting. Karena kebanyakan turnamen menggunakan monitor 24-inci, jadi saya memilih ukuran tersebut.” Ungkap Nicolas Reetz.

Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV
Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV

Beralih bicara soal mouse, Keith kali ini tidak mengutip pendapat dari pemain profesional, namun opini dari Alex Walker Editor Kotaku Australia cukup menarik. “Hal mendasar dalam mencari mouse adalah Anda harus melihat lebih dulu seberapa besar tangan Anda, dan bagaimana kebiasaan Anda memegang mouse. Build quality memang penting, tetapi jika bentuk mouse-nya tidak nyaman di tangan, maka Anda bisa jadi akan menyesal menggunakannya.” Ucap Alex.

Dalam artikel lain yang ditulis Vice, Rasmus Madsen selaku SteelSeries Industrial Lead Designer menjelaskan secara lebih lanjut. “Kami merancang sesuatu untuk kondisi yang sangat ekstrim. Kami tidak merancang sebuah produk untuk sekadar browsing internet. Ini (mouse gaming) bukanlah sesuatu yang akan Anda gunakan selama 45 menit saja.” ucapnya. “Kenyamanan selalu menjadi sesuatu yang dicari oleh pengguna. Tentunya mereka mencari produk yang tidak akan membuat tangan mereka keram setelah bermain game selama 6 sampai 8 jam.” Perjelas Rasmus.

Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech
Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech

Menariknya, walau memiliki filosofi perancangan demikian, SteelSeries ternyata bukan mouse yang dicari oleh para pemain profesional. Wccftech melakukan riset pasar gaming gear dengan mengambil data dari situs pengumpul data konfigurasi gear pemain profesional dari berbagai games, prosettings.net, pada Februari 2020 lalu. Hasilnya, SteelSeries ternyata hanya mengambil 4,23% saja dari keseluruhan mouse gaming yang digunakan berbagai pro player. Proporsi terbesar dipegang oleh Logitech, dengan 42,80%, dan kedua dipegang oleh Zowie dengan proporsi sebesar 28,50%.

“Selama ini kebanyakan keyboard mekanik menggunakan ‘switch’ dari perusahaan bernama Cherry MX. Mereka menggunakan kode warna untuk membedakan respon yang dihasilkan tuts keyboard ketika ditekan.” Perjelas Mike. Bagi Anda yang mungkin masih awam, ada 3 jenis Switch mechanical keyboard yang umum ada di pasaran: merah, coklat, biru. Untuk gaming, menurut opini saya pribadi Switch warna merah adalah yang paling cocok. Ini karena switch warna merah punya respon yang paling cepat dibanding dua jenis switch lainnya. Jadi, sebenarnya Anda tidak harus selalu membeli keyboard dengan embel-embel “gaming”. Asalkan keyboard tersebut bersifat mechanical, dan menggunakan Red Switch, maka keyboard tersebut sudah tepat untuk main game kompetitif.

Sumber: GamingGem
Infografis singkat soal pilihan Switch yang tepat bagi Anda. Sumber: GamingGem

Lalu bagaimana dengan controller atau joystick. Jawabannya paling awal mungkin tergantung game apa yang Anda mainkan. Hybrid sempat membahas soal ini dari perspektif fighting game. Dalam fighting game, pilihan yang kerap diperdebatkan adalah antara Gamepad vs Arcade Stick. Namun antara dua jenis controller ini, bisa dibilang salah satu tidak lebih dari yang lain dalam hal performa permainan. Gamepad dan Arcade Stick sama-sama presisi. Dua kubu tersebut tercipta hanya karena media bermain fighting game mengalami pergeseran, dari yang awalnya populer lewat Arcade (atau yang kadang kita sebut dengan dingdong), sampai akhirnya jadi terkenal lewat konsol rumahan.

Pemain Arcade seperti Daigo Umehara tentu akan memilih Arcade Stick, karena dia sudah main Street Fighter dari zaman Arcade, dan jenis controller tersebut adalah yang ternyaman baginya. Sementara pemain generasi baru seperti Victor Woodley (Punk) tentu akan memilih gamepad, karena baru mengenal fighting game pada zaman konsol. Aspek apa yang perlu diperhatikan dalam Gamepad atau Arcade Stick? Anda lebih baik membaca artikel kami yang secara lebih komprehensif membahas hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan headset? Dari opini saya pribadi, mungkin bisa dibilang kualitas output suara dari headphone dan input suara dari mic, serta kenyamanan build-quality jadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Anda bahkan sebenarnya tidak selalu harus membeli headset dengan embel-embel “gaming”. Karena jika bicara kualitas output suara, brand spesialis bidang audio seperti Sennheiser, atau Audio Technica tentu lebih terpercaya jika dibandingkan dengan brand gaming.

Beberapa tahun ke belakang, brand audio tersebut terbilang cukup jarang merilis produk headset. Namun, kini brand spesialis audio tersebut juga turut terjun ke ranah gaming, seperti Sennheiser yang punya brand Sennheiser Gaming yang bekerja sama dengan EPOS, atau Audio Technica yang punya seri PG dan PDG.

Aspek apa yang perlu dicari dalam sebuah headset? Sebenarnya ada banyak. Ada tipe Closed-Back atau Open-Back, yang menentukan apakah headset Anda kedap suara atau tidak. Ada tipe On-ear atau Over-ear, yang menentukan di mana busa earpad duduk di telinga Anda. Fitur tambahan selain dari itu mungkin bisa terbilang gimmick, yang terbilang tidak esensial, dan cenderung hanya untuk bahasa marketing saja. Untuk pembahasan soal tipe-tipe headset, Anda bisa membaca artikel Headphone.com yang secara lugas membahas soal hal tersebut.

Jadi apakah gaming gear benar-benar bisa membuat Anda lebih jago? Jawabannya paling valid baru bisa kita dapatkan setelah melakukan penelitian dengan pendekatan ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh The Lab milik Compelxity Gaming. Tapi kalau menurut opini saya, gear yang tepat, nyaman, dan canggih, penting untuk digunakan, apalagi jika Anda adalah gamers kompetitif kelas berat, yang akan main game selama berjam-jam dalam satu hari, entah untuk menjadi atlet esports ataupun streamer. Jika Anda nyaman menggunakannya, Anda bisa lebih lama berlatih. Sedangkan jam terbang Anda berlatih akan berbanding lurus dengan kemampuan bermain Anda juga.

Apakah peralatan Anda harus selalu punya embel-embel gaming? Tentu saja tidak, karena tidak selamanya brand gaming peripherals tahu dan bisa membuat peralatan yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Jika Anda membaca artikel ini sampai habis, saya ucapkan “terima kasih”. Semoga artikel pembahasan saya ini bisa menjadi semacam catatan singkat bagi Anda yang sedang galau dalam memilih gaming gear.

Samsung Odyssey G7 Diklaim Sebagai Monitor Gaming yang Paling Melengkung

Apa yang Anda cari dari suatu monitor gaming? Resolusinya? Refresh rate-nya? Kelengkungannya? Fitur pendukungnya (adaptive sync)? Atau malah semuanya? Kalau budget memang bukan masalah, semestinya gamer tak akan berkompromi dalam memilih salah satu periferal terpenting ini.

Salah satu opsi terbaru yang bisa didapatkan adalah Samsung Odyssey G7. Diperkenalkan pertama kali pada ajang CES Januari lalu, G7 memenuhi hampir semua kriteria monitor gaming idaman. Kita mulai dari bentuknya terlebih dulu.

Samsung Odyssey G7

G7 merupakan sebuah monitor curved, dan ia diklaim sebagai monitor gaming yang paling melengkung yang ada saat ini, dengan radius kelengkungan mencapai 1000R (semakin kecil angkanya, semakin melengkung layarnya). Samsung sejak lama percaya bahwa ini bisa membantu menumbuhkan kesan immersive secara signifikan, dan menurut mereka, radius 1000R ini sama melengkungnya seperti mata manusia.

Panel melengkung itu masuk kategori panel QLED, dengan resolusi 2560 x 1440 pixel, baik pada varian 27 inci maupun 32 incinya. Istimewanya, refresh rate maksimumnya tercatat di angka 240 Hz, dengan waktu respon (GTG) 1 milidetik serta dukungan atas Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync Premium Pro sekaligus.

Samsung Odyssey G7

G7 datang membawa sertifikasi HDR 600, yang berarti tingkat kecerahan maksimumnya bisa mencapai angka 600 nit. Konektivitasnya cukup melimpah dan mencakup port HDMI 2.0, 2x DisplayPort 1.4, 3x USB 3.0, serta headphone jack. Buat yang peduli dengan tampilan sebuah monitor, kebetulan G7 cukup manis di mata berkat desain futuristisnya.

Samsung berniat memasarkan Odyssey G7 secara global mulai bulan Juni ini juga. Banderol harganya belum disebutkan, akan tetapi Amazon mencantumkan banderol $700 untuk varian 27 inci, dan $800 untuk varian 32 inci.

Sumber: Samsung.