Mouse Gaming HP Omen Vector Wireless Unggulkan Baterai yang Awet Sekaligus Charging yang Sangat Cepat

Dalam konteks mouse wireless dengan baterai yang rechargeable, tipe konektor kabel yang digunakan mungkin bukanlah sebuah faktor yang diprioritaskan oleh konsumen. Kalau memang sudah USB-C, ya syukurlah. Kalau belum dan masih micro USB, ya sudah tidak masalah, toh perangkatnya juga tidak perlu di-charge setiap hari.

Singkat cerita, sebagian besar konsumen mouse wireless mungkin menganggap USB-C hanya sebagai bonus. Namun nyatanya ada juga mouse wireless yang menjadikan USB-C sebagai nilai jual utamanya. Salah satunya adalah mouse gaming wireless terbaru dari HP berikut ini, Omen Vector Wireless.

Pada mouse ini, USB-C punya andil besar dalam mewujudkan kecepatan pengisian daya yang melebihi rata-rata. Secepat apa memangnya? Well, charging selama 30 detik saja disebut sudah cukup untuk memberi daya yang setara dengan 1 jam pemakaian. Ya, setengah menit untuk satu jam, bukan salah ketik.

Kalau dibiarkan sampai 15 menit, maka daya yang terisi cukup untuk penggunaan selama 30 jam. Untuk mengisi sampai penuh, Vector Wireless hanya butuh total 90 menit, dan dalam kondisi terisi penuh, baterainya mampu bertahan sampai 180 jam nonstop.

Jadi tanpa menyoroti kecepatan pengisiannya pun, daya tahan baterai mouse ini sudah tergolong mengesankan. Sebagai perbandingan, Logitech G703 yang dihargai sama persis cuma bisa tahan sampai 60 jam per charge.

Selagi di-charge dalam waktu yang sangat singkat itu, Vector Wireless masih bisa digunakan seperti biasa. Malahan, kalau menggunakan kabel USB-C bawaannya, HP mengklaim polling rate-nya bisa ditekan sampai serendah 1 milidetik.

Sensor yang dipakai sendiri adalah sensor PixArt PAW3335 dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan tracking speed 400 IPS. Di balik tombol kiri dan kanannya yang cekung, ada switch Omron dengan ketahanan hingga 50 juta klik. Di atas kertas, performanya boleh dibilang sudah cukup mumpuni untuk kelas mouse gaming.

Saat ini, HP Omen Vector Wireless sudah dipasarkan seharga $100 di Amerika Serikat. Semoga saja HP bisa membawanya ke Indonesia dengan cepat.

Sumber: The Verge.

Glorious Model O Wireless Diklaim Punya Click Latency Paling Rendah di Antara Mouse Gaming Lain

Saat mencari referensi di internet mengenai mouse gaming berbobot ringan terbaik yang ada di pasaran saat ini, nama Glorious Model O mungkin adalah salah satu yang paling sering disebut. Selain memang performanya terbukti bagus, mouse ambidextrous dengan desain honeycomb alias bolong-bolong ini juga luar biasa ringan di angka 67 gram.

Kalau ternyata masih kurang ringan, ada Glorious Model O- dengan bobot 59 gram dan dimensi yang lebih kecil. Sayang keduanya masih mengandalkan kabel, tidak seperti penawaran serupa dari Razer yang punya versi standar, versi mini, sekaligus versi wireless.

Well, Glorious tahu ada demand yang lumayan terhadap mouse gaming wireless yang enteng, dan itulah mengapa mereka sudah menyiapkan Model O Wireless. Sesuai namanya, ini merupakan versi nirkabel dari Model O standar. Di angka 69 gram, bobotnya memang tidak identik dengan versi standarnya, akan tetapi masih lebih ringan ketimbang Razer Viper Ultimate yang sama-sama wireless.

Glorious Model O Wireless

Wujudnya boleh sama, akan tetapi jeroan Model O Wireless rupanya cukup berbeda. Sensor yang digunakan bukan lagi sensor Pixart 3360 dengan sensitivitas maksimum 12.000 DPI, melainkan sensor baru yang sensitivitasnya bisa mencapai angka 19.000 DPI, serta menawarkan kecepatan tracking 400 IPS.

Sebagai perbandingan, Razer Viper Ultimate mengusung sensor Focus+ dengan sensitivitas 20.000 DPI dan tracking speed 650 IPS. Namun Model O Wireless rupanya masih punya satu senjata tambahan: click latency-nya diklaim cuma 2,08 milidetik, alias paling rendah dibandingkan mouse gaming lain kalau berdasarkan hasil pengujian Glorious sendiri – dan yang bisa kita buktikan sendiri nantinya menggunakan Nvidia Reflex.

Tanpa harus terkejut, pencahayaan RGB di bagian samping mouse dan scroll wheel tetap dipertahankan oleh Model O Wireless. Namun kalau lampu warna-warni ini dimatikan, perangkat diklaim bisa beroperasi sampai 71 jam nonstop sebelum baterainya perlu diisi ulang.

Rencananya, Glorious Model O Wireless akan dipasarkan mulai 23 September seharga $80. Selisihnya cukup jauh jika dibandingkan dengan Razer Viper Ultimate yang dibanderol $130.

Sumber: PC Gamer.

Razer Naga Pro Adalah Mouse Wireless dengan Panel Modular untuk Semua Jenis Gamer

Setelah lama menjadi salah satu mouse kepercayaan para pemain MMORPG, sekitar tiga tahun lalu Razer Naga berevolusi menjadi mouse multi-fungsi untuk semua jenis gamer. Sekarang, mouse tersebut telah disempurnakan lebih lanjut menjadi sebuah mouse wireless yang sangat adaptif.

Dijuluki Razer Naga Pro, ia kembali hadir dengan panel samping yang modular. Seperti halnya Naga Trinity, ada tiga buah panel yang dapat dilepas-pasang secara magnetis. Panel yang pertama dilengkapi 12 tombol dengan layout ala kalkulator, didesain spesifik untuk mengakomodasi kebutuhan para penggemar game MMO maupun RTS.

Panel yang kedua adalah yang paling berbeda dari sebelumnya. Ketimbang mengemas 7 tombol dengan formasi melingkar, panel keduanya memiliki enam tombol yang dibagi menjadi dua baris, cocok untuk permainan MOBA maupun battle royale. Di bawah keenam tombol tersebut, ada lapisan karet untuk membantu memantapkan genggaman.

Terakhir, ada panel berisikan dua tombol besar layaknya milik Razer DeathAdder. Kalau ditotal, jumlah tombol yang programmable pada Naga Pro bisa mencapai 20 buah jika memakai panel pertamanya. Bahkan scroll wheel-nya pun bisa merangkap peran sebagai tiga tombol yang berbeda layaknya Razer Basilisk V2.

Selain penyempurnaan dari segi desain, jeroannya juga sudah dirombak total kalau dibandingkan sebelumnya. Teknologi HyperSpeed Wireless tentu sudah Razer sematkan pada Naga Pro, mewujudkan koneksi nirkabel yang minim latency sekaligus lebih irit daya daripada biasanya.

Dalam sekali pengisian, baterai Naga Pro diprediksi bisa tahan sampai 100 jam pemakaian kalau tersambung via dongle 2,4 GHz, atau sampai 150 jam kalau terhubung via Bluetooth. Selagi di-charge, Naga Pro tetap bisa digunakan seperti biasa, dan Razer cukup berbaik hati untuk menyertakan kabel SpeedFlex yang sangat lentur pada paket penjualannya.

Perihal akurasi, Naga Pro telah dibekali sensor Focus+, sensor terunggul Razer sejauh ini yang punya sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Razer pun tidak lupa menanamkan optical switch pada Naga Pro, yang tak cuma menawarkan peningkatan responsivitas, tapi juga ketahanan sampai 70 juta kali klik. Kehadiran dua komponen ini sejatinya membuat Naga Pro selevel dengan Razer Viper Ultimate maupun Basilisk Ultimate yang sama-sama wireless.

Razer Naga Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $150, persis di tengah-tengah banderol Viper Ultimate dan Basilisk Ultimate.

Sumber: Razer.

Gaming Gear, Atlet Esports, dan Sebuah Jalan untuk Jadi yang Terbaik

Sebagai industri yang berkembang bersama dengan teknologi, tidak heran jika industri game dekat dengan berbagai aksesori pelengkapnya, yang kini lebih dikenal dengan istilah gaming gear. The NPD Group dalam laporan jumlah belanja gamers Amerika Serikat Q1 2020, menjelaskan bahwa penjualan aksesori game mencapai angka 390 juta dollar AS (sekitar 5,7 triliun Rupiah). Angka tersebut merupakan penurunan, namun tetap dianggap sebagai jumlah penjualan tertinggi ketiga sepanjang masa.

Mungkin banyak yang bertanya. Apa yang membuat gaming gear begitu menarik dan penting? Memangnya, Anda jadi lebih jago kalau punya gaming gear? Akankah MMR Anda meningkat dari Herald ke Ancient dalam satu minggu di Dota 2 hanya karena membeli gaming gear? Sejauh ini sih jawabannya “tidak” ya. Tapi kalau Anda punya teman yang bisa naik rank hanya karena punya gaming gear baru, mungkin bisa diperkenalkan ke saya agar dapat saya wawancara… Hehe.

Saya sempat menyatakan opini singkat soal ini saat menulis tips aim di FPS PC. Pada artikel tersebut saya sengaja meletakkan soal tips memilih gear yang tepat di bagian akhir. Karena ibaratnya sepak bola, kalau kemampuan main bola Anda masih sekelas antar-kampung alias tarkam, sepatu Nike Mercurial tidak akan serta merta membuat Anda sejago Lionel Messi. Namun jika Anda sudah bisa dribble bola seperti Lionel Messi, Anda pasti membutuhkan perlengkapan terbaik, agar gerakan Anda lebih leluasa dan menghindari cidera.

Kalau begitu, apakah mouse bolong-bolong, monitor 144Hz, keyboard mekanikal, dan mouse pad RGB memang tidak ada gunanya? Jawabannya belum tentu. Pertanyaan berikutnya mungkin adalah kenapa gaming gear dibutuhkan dan gaming gear seperti apa yang punya pengaruh terhadap kemampuan gaming Anda?

Sebuah Pencarian untuk Menjadi yang Terbaik

Dalam esports, hanya yang terbaik dari yang terbaik, yang bisa berjaya duduk di tahta juara dunia. Tim OG dari skena Dota 2, butuh berkompetisi selama berbulan-bulan, mengalahkan semua lawan, dan bersaing setidaknya dengan 85 orang dari 17 tim lainnya di gelaran utama The International 2019 untuk menjadi juara dunia. Tak heran, menjadi yang terbaik selalu menjadi pencarian utama dari sebuah tim esports.

Untuk menjadi yang terbaik, banyak faktor yang perlu dipikirkan. Skill individu adalah perangkat wajib seorang pemain. Setelah skill individu, strategi serta rencana permainan akan membuat sebuah tim menjadi semakin kuat. Setelah strategi, kerja sama serta chemistry permainan menjadi perekat yang membuat sebuah kemampuan main tim esports jadi semakin solid.

Setelah tiga aspek tersebut, pencarian untuk menjadi yang terbaik sebenarnya masih belum selesai. Masih ada aspek lain yang bisa diperbaiki, agar sebuah tim bisa menjadi lebih baik lagi. Ada tim yang mencoba memperbaiki dari sisi psikologi, yang contohnya bisa terlihat dari peran kinerja sosok psikolog olahraga, Mia Stellberg, di balik kemenangan Astralis di CS:GO dan OG di Dota 2.

Tetapi kompetisi akan terus-menerus menjadi semakin berat. Jika setelah tiga aspek di atas sudah terpenuhi, lalu apa berikutnya? Aksesoris pelengkap seperti gaming gear jadi salah satu jawaban. Hal ini mungkin jadi alasan kenapa angka Refresh-Rate monitor terus meningkat selama beberapa tahun belakangan, mouse menjadi semakin ringan sampai dibuat dengan rancangan bolong-bolong, masing-masing brand terus mengembangkan switch keyboard mekanik paling responsif, dan membuat headset dengan kemampuan Surround Sound terbaik.

Semua orang dalam jalannya untuk menjadi yang terbaik, dan respon serta kecepatan menjadi salah satu yang terus berusaha dikejar. Tapi apakah benar respon adalah segalanya? Lalu apa benar gaming gear memberi dampak pada performa.

Jika kita melihat kepada olahraga tradisional seperti sepak bola, yang melibatkan lebih banyak pergerakan fisik, jawabannya mungkin iya. Sebuah artikel akademis berjudul “Current Soccer Footwear, Its Role in Injuries and Potential for Improvement” menjelaskan seluk beluk hal tersebut.

Jika saya menjelaskan secara terperinci apa yang dibahas dalam artikel ilmiah tersebut, pembahasan ini mungkin akan menjadi sangat panjang dan njelimet; apalgi jika saya menjelaskan sampai ke hitung-hitungan hukum fisika dari perancangan sebuah sepatu sepak bola. Namun yang pasti, dalam proses perancangan sebuah sepatu saja, ada banyak aspek yang perlu dipikirkan.

Mulai dari besaran momentum kaki menghantam bola harus dihitung, untuk menentukan tebal atau tipis bahan yang digunakan. Seberapa keras menghentak ke tanah saat berlari, untuk menentukan konstruksi sol sepatu. Seberapa besar beban pergelangan kaki saat berlari menggocek musuh, untuk menentukan apakah sebuah sepatu harus dirancang “High” atau “Low”. Semuanya dilakukan dengan memikirkan bagaimana agar sebuah sepatu bisa nyaman dan membantu sang pemain bola memberikan performa paling efisien.

Lalu bagaimana dengan esports? Riset mendalam terhadap performance gear sejauh ini mungkin baru dilakukan oleh “The Lab” milik Complexity Gaming dan We Are Nations, sebuah perusahaan esports merchandising asal Amerika Serikat. Dua perusahaan tersebut terinspirasi oleh Bill Bowerman, sosok co-founder Nike, yang begitu terobsesi memikirkan rancangan sepatu terbaik yang bisa membuat seorang pelari bisa berlari lebih cepat lagi.

Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider
Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider

Dalam sebuah wawancara dengan Esports Insider, Cam Kelly CMO Complexity Gaming mengatakan. “Selain dari kesehatan, nutrisi, dan kebugaran, apparel dan equipment adalah bagian penting dalam menciptakan performa yang lebih baik lagi entah itu dalam skala millisecond atau milimeter. Jika seseorang kepanasan sehingga dia tidak bisa melenturkan bagian tubuhnya ke arah yang biasanya ia lakukan, maka performa permainan orang tersebut akan berkurang.” Ucapnya

Pada kasus pemain kasual, perbedaan millisecond atau milimeter mungkin tidak berarti. Namun dalam hal esports dan kompetisi, beda respon sepersekian detik adalah penentu hidup atau mati. Tidak percaya? Sebagai intermezzo, Anda bisa tonton permainan terbaik dari pro player League of Legends, Lee-Sang Hyeok (Faker), yang menunjukkan betapa berartinya setiap millisecond serta milimeter pergerakan di dalam dunia esports; dan alasan kenapa dia jadi dijuluki Unkillable Demon King.

Lebih lanjut The Lab juga menjelaskan bagaimana proses mereka melakukan riset sebuah aksesori yang bisa membuat performa seorang atlet esports jadi lebih efisien. Awalnya kecepatan, reaksi, muscle memory, dan batasan-batasan atau inhibisi diuji dalam Cognitive Lab.

Setelahnya purwarupa aksesori akan masuk fasilitas bernama Herman Miller Innovation Lab untuk memberi feedback terhadap purwarupa dalam sesi pengujian privat. Terakhir produk masuk ke dalam Advanced Training Room. Di sana, pemain akan melalui stress test, bermain dalam lingkungan yang menyerupai pertandingan LAN, termasuk temperatur, suara, lighting, serta perlengkapannya.

Dari sini, kita melihat bagaimana The Lab bisa dibilang menjadi salah satu pionir yang sangat serius dalam meningkatkan performa seorang pemain di dalam esports. Bahkan mereka melihat gaming gear bukan hanya soal mouse dan keyboard, tapi juga aksesori pakaian dan lain sebagainya. Patrick Mahoney, CEO We Are Nation lalu menambahkan lebih lanjut tentang dampak aksesori khusus gaming terhadap performa.

“Untuk meningkatkan performa esports ke tingkat berikutnya, kita bisa belajar dari cara atlet olahraga jadi lebih baik berkat teknologi. Contohnya, selama 20 tahun terakhir kita melihat pergantian bahan pakaian dari awalnya menggunakan wol dan katun, menjadi kain sintetis. Pergantian bahan ini ternyata terbukti membuat atlet lari bisa berlari lebih cepat, dan membantu menjaga temperatur tubuh seorang pendaki gunung. Esports masih berada di fase yang sangat awal, jadi siapa yang tahu nantinya kami yang akan menjadi pionir akan hal ini. Namun kami mengerti pentingnya riset pada bidang ini, dan kami sangat bersemangat bisa menjadi bagian dari hal ini.” Ucapnya.

Sumber: We Are Nation
Sumber: We Are Nation

Jason Lake Founder Complexity malah mencetuskan gagasan yang ia sebut sebagai Esports 3.0. Menurut pandangannya, gagasan Esports 3.0 akan menjadi masa depan. Menurut Lake, arti filosofi ini adalah mengelola pemain secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan pemain dari segi nutrisi, kebugaran, mindfulness, work-life balance, dan kesejahteraan pemain secara keseluruhan.

Esports 3.0 pun bukan hanya soal kesejahteraan pemain saja, tetapi juga memberikan segala aksesori yang terbaik agar seorang pemain bisa menjadi juara. Soal gaming gear, Cam Kelly malah memberikan ide yang lebih gila lagi seperti menghubungkan audio dengan haptic (teknologi yang mensimulasikan sentuhan) sehingga menurutnya, teknologi tersebut secara potensial bisa membuat pemain merespon pergerakan musuh secara lebih cepat. “Itu mungkin belum seberapa. Coba bayangkan jika kita bisa membuat gaming gear seperti lensa kontak atau Google Glass berisi informasi tambahan yang mungkin akan menjadi keuntungan yang tidak adil.” Kelly menjelaskan angan-angan konsep gaming gear yang ada di kepalanya.

Apa yang Dicari Dari Gaming Gear Agar Permainan Anda Jadi Lebih Baik?

Menjadi terbaik dari yang terbaik bisa dibilang alasan kenapa gaming gear masih memiliki pasarnya tersendiri di dalam ekosistem gaming. Tim esports bisa menggunakannya untuk membuat performa pemain jadi lebih efisien. Sementara itu pemain kelas menengah bisa menggunakannya untuk jadi lebih baik lagi, atau mungkin sekadar agar bisa merasakan rasanya menjadi seperti seorang pro player. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dicari?

Soal mencari gear yang tepat, ada pembahasan menarik yang dilakukan oleh Keith Stuard dalam tulisannya di The Guardian. Ia mengupas topik tersebut secara satu per satu, mulai dari monitor, mouse, keyboard, sampai controller atau joystick.

Dalam pembahasan monitor, Keith meminta pendapat Nicolas Reetz (dev1ce) pemain profesional CS:GO tim Astralis. Menurutnya 240Hz adalah suatu keharusan. “Juga sebuah monitor harus memiliki response time serendah mungkin, serta fitur color control. Saya cenderung bermain dengan saturasi warna yang tinggi, ini jadi alasan kenapa monitor saya harus punya fitur kustomisasi tersebut. Ukuran layar juga tak kalah penting. Karena kebanyakan turnamen menggunakan monitor 24-inci, jadi saya memilih ukuran tersebut.” Ungkap Nicolas Reetz.

Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV
Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV

Beralih bicara soal mouse, Keith kali ini tidak mengutip pendapat dari pemain profesional, namun opini dari Alex Walker Editor Kotaku Australia cukup menarik. “Hal mendasar dalam mencari mouse adalah Anda harus melihat lebih dulu seberapa besar tangan Anda, dan bagaimana kebiasaan Anda memegang mouse. Build quality memang penting, tetapi jika bentuk mouse-nya tidak nyaman di tangan, maka Anda bisa jadi akan menyesal menggunakannya.” Ucap Alex.

Dalam artikel lain yang ditulis Vice, Rasmus Madsen selaku SteelSeries Industrial Lead Designer menjelaskan secara lebih lanjut. “Kami merancang sesuatu untuk kondisi yang sangat ekstrim. Kami tidak merancang sebuah produk untuk sekadar browsing internet. Ini (mouse gaming) bukanlah sesuatu yang akan Anda gunakan selama 45 menit saja.” ucapnya. “Kenyamanan selalu menjadi sesuatu yang dicari oleh pengguna. Tentunya mereka mencari produk yang tidak akan membuat tangan mereka keram setelah bermain game selama 6 sampai 8 jam.” Perjelas Rasmus.

Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech
Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech

Menariknya, walau memiliki filosofi perancangan demikian, SteelSeries ternyata bukan mouse yang dicari oleh para pemain profesional. Wccftech melakukan riset pasar gaming gear dengan mengambil data dari situs pengumpul data konfigurasi gear pemain profesional dari berbagai games, prosettings.net, pada Februari 2020 lalu. Hasilnya, SteelSeries ternyata hanya mengambil 4,23% saja dari keseluruhan mouse gaming yang digunakan berbagai pro player. Proporsi terbesar dipegang oleh Logitech, dengan 42,80%, dan kedua dipegang oleh Zowie dengan proporsi sebesar 28,50%.

“Selama ini kebanyakan keyboard mekanik menggunakan ‘switch’ dari perusahaan bernama Cherry MX. Mereka menggunakan kode warna untuk membedakan respon yang dihasilkan tuts keyboard ketika ditekan.” Perjelas Mike. Bagi Anda yang mungkin masih awam, ada 3 jenis Switch mechanical keyboard yang umum ada di pasaran: merah, coklat, biru. Untuk gaming, menurut opini saya pribadi Switch warna merah adalah yang paling cocok. Ini karena switch warna merah punya respon yang paling cepat dibanding dua jenis switch lainnya. Jadi, sebenarnya Anda tidak harus selalu membeli keyboard dengan embel-embel “gaming”. Asalkan keyboard tersebut bersifat mechanical, dan menggunakan Red Switch, maka keyboard tersebut sudah tepat untuk main game kompetitif.

Sumber: GamingGem
Infografis singkat soal pilihan Switch yang tepat bagi Anda. Sumber: GamingGem

Lalu bagaimana dengan controller atau joystick. Jawabannya paling awal mungkin tergantung game apa yang Anda mainkan. Hybrid sempat membahas soal ini dari perspektif fighting game. Dalam fighting game, pilihan yang kerap diperdebatkan adalah antara Gamepad vs Arcade Stick. Namun antara dua jenis controller ini, bisa dibilang salah satu tidak lebih dari yang lain dalam hal performa permainan. Gamepad dan Arcade Stick sama-sama presisi. Dua kubu tersebut tercipta hanya karena media bermain fighting game mengalami pergeseran, dari yang awalnya populer lewat Arcade (atau yang kadang kita sebut dengan dingdong), sampai akhirnya jadi terkenal lewat konsol rumahan.

Pemain Arcade seperti Daigo Umehara tentu akan memilih Arcade Stick, karena dia sudah main Street Fighter dari zaman Arcade, dan jenis controller tersebut adalah yang ternyaman baginya. Sementara pemain generasi baru seperti Victor Woodley (Punk) tentu akan memilih gamepad, karena baru mengenal fighting game pada zaman konsol. Aspek apa yang perlu diperhatikan dalam Gamepad atau Arcade Stick? Anda lebih baik membaca artikel kami yang secara lebih komprehensif membahas hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan headset? Dari opini saya pribadi, mungkin bisa dibilang kualitas output suara dari headphone dan input suara dari mic, serta kenyamanan build-quality jadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Anda bahkan sebenarnya tidak selalu harus membeli headset dengan embel-embel “gaming”. Karena jika bicara kualitas output suara, brand spesialis bidang audio seperti Sennheiser, atau Audio Technica tentu lebih terpercaya jika dibandingkan dengan brand gaming.

Beberapa tahun ke belakang, brand audio tersebut terbilang cukup jarang merilis produk headset. Namun, kini brand spesialis audio tersebut juga turut terjun ke ranah gaming, seperti Sennheiser yang punya brand Sennheiser Gaming yang bekerja sama dengan EPOS, atau Audio Technica yang punya seri PG dan PDG.

Aspek apa yang perlu dicari dalam sebuah headset? Sebenarnya ada banyak. Ada tipe Closed-Back atau Open-Back, yang menentukan apakah headset Anda kedap suara atau tidak. Ada tipe On-ear atau Over-ear, yang menentukan di mana busa earpad duduk di telinga Anda. Fitur tambahan selain dari itu mungkin bisa terbilang gimmick, yang terbilang tidak esensial, dan cenderung hanya untuk bahasa marketing saja. Untuk pembahasan soal tipe-tipe headset, Anda bisa membaca artikel Headphone.com yang secara lugas membahas soal hal tersebut.

Jadi apakah gaming gear benar-benar bisa membuat Anda lebih jago? Jawabannya paling valid baru bisa kita dapatkan setelah melakukan penelitian dengan pendekatan ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh The Lab milik Compelxity Gaming. Tapi kalau menurut opini saya, gear yang tepat, nyaman, dan canggih, penting untuk digunakan, apalagi jika Anda adalah gamers kompetitif kelas berat, yang akan main game selama berjam-jam dalam satu hari, entah untuk menjadi atlet esports ataupun streamer. Jika Anda nyaman menggunakannya, Anda bisa lebih lama berlatih. Sedangkan jam terbang Anda berlatih akan berbanding lurus dengan kemampuan bermain Anda juga.

Apakah peralatan Anda harus selalu punya embel-embel gaming? Tentu saja tidak, karena tidak selamanya brand gaming peripherals tahu dan bisa membuat peralatan yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Jika Anda membaca artikel ini sampai habis, saya ucapkan “terima kasih”. Semoga artikel pembahasan saya ini bisa menjadi semacam catatan singkat bagi Anda yang sedang galau dalam memilih gaming gear.

Razer DeathAdder V2 Mini Ramaikan Pasar Mouse Gaming Super-Ringan

Salah satu tren terbaru di industri gaming peripheral adalah mouse yang masuk kategori ultra-lightweight alias lebih ringan dari biasanya. Sejumlah pabrikan memenuhi demand di kategori ini dengan mengadopsi desain bolong-bolong alias honeycomb. Buat Razer, arahan yang mereka ambil rupanya cukup berbeda.

Ketimbang ikut latah menciptakan mouse berdesain honeycomb, Razer memilih untuk menciutkan sejumlah mouse besutannya yang memang sudah mendapat respon positif dari konsumen. Hasil eksekusi idenya pertama kali melahirkan Razer Viper Mini, dan sekarang giliran salah satu mouse terlarisnya yang dibuat mengecil, yakni Razer DeathAdder.

Dinamai DeathAdder V2 Mini, ia merupakan versi yang lebih ringkas dari DeathAdder V2 yang dirilis di bulan Januari lalu. Wujud ergonomisnya sama sekali tidak berubah, demikian pula layout tombolnya yang sederhana. Yang berbeda hanyalah ukurannya; panjangnya menyusut menjadi 114,2 mm, lebarnya 65,4 mm, dan tingginya 38,5 mm, menjadikannya lebih cocok untuk konsumen yang bertangan kecil, atau yang terbiasa menggenggam dengan teknik claw grip.

Bobotnya pun otomatis turun menjadi 62 gram (belum termasuk bobot kabel), atau sekitar 3/4 bobot versi standarnya. Satu hal yang juga perlu dicatat adalah, tombol di bawah scroll wheel-nya (yang secara default berfungsi untuk mengganti DPI) cuma satu seperti DeathAdder versi lawas, bukan dua. Total ada 6 tombol di mouse ini yang semuanya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Bicara soal DPI, sensor optik milik DeathAdder V2 Mini menawarkan sensitivitas maksimum 8.500 DPI, bukan 20.000 DPI seperti versi standarnya, dan kecepatan tracking-nya juga lebih lamban di angka 300 IPS. Beruntung Razer tetap menyematkan switch optiknya di sini, switch yang sama persis seperti milik DeathAdder V2 maupun Basilisk V2.

Juga ikut diwariskan adalah kabel braided yang fleksibel (Speedflex), serta mouse feet dari bahan PTFE murni guna memastikan pergerakan mouse yang mulus. Untuk semakin memantapkan genggaman, Razer turut menyertakan semacam stiker bertekstur dalam paket penjualannya, yang dapat konsumen tempelkan pada sisi kiri dan kanan mouse, serta pada kedua tombol utamanya.

Di Amerika Serikat, Razer DeathAdder V2 Mini sekarang telah dipasarkan seharga $50, selisih $20 dari versi standarnya. Semoga saja ia bisa segera masuk ke pasar Indonesia, sebab sebagai eks pengguna DeathAdder Chroma yang merasa mouse itu agak kebesaran, saya tidak sabar untuk bisa mencoba versi mungil dari mouse paling nyaman buat saya ini.

Sumber: The Verge.

Bukan Cuma Bolong-Bolong, Mouse Gaming Ini Juga Dilengkapi Kipas Pendingin Terintegrasi

Belakangan ini mouse gaming bolong-bolong tampaknya sedang ngetren. Premisnya sederhana: berkat desain yang unik itu, bobot mouse bisa berkurang secara signifikan selagi masih menjaga ketahanan fisiknya. Banyaknya lubang juga berarti udara dapat bersikulasi dengan lebih maksimal, yang pada akhirnya berujung pada berkurangnya keringat di telapak tangan.

Terkait sirkulasi udara, sebenarnya cara paling mudah sekaligus murah untuk mengatasi problem ini adalah dengan mengganti cara kita menggenggam mouse menjadi claw grip, meski harus saya akui tidak semua orang nyaman dengan grip style seperti itu. Cara lainnya bisa dengan memanfaatkan perpaduan ventilasi udara dan kipas pendingin, seperti yang ditawarkan mouse unik bernama Zephyr berikut ini.

Penampilannya sepintas tidak berbeda jauh dari Cooler Master MM710 maupun mouse gaming berdesain honeycomb lain yang ada di pasaran. Namun senjata rahasia Zephyr terletak pada sebuah kipas pendingin di balik rangka luarnya. Fungsi kipas tersebut tidak lain dari menyemburkan angin segar langsung ke arah telapak tangan penggunanya, dengan sudut kemiringan 45°.

Zephyr gaming mouse

Kecepatan putaran kipasnya pun dapat diatur antara 4.000 – 10.000 RPM. Kipasnya ini juga bisa dimatikan sepenuhnya, meski jujur saya heran kenapa Anda harus membeli mouse ini kalau memang tidak akan memanfaatkan fitur unggulannya tersebut.

Pengembang Zephyr tak lupa menekankan bahwa kipas pendinginnya itu menerima suplai daya melalui kabel USB yang sama seperti mouse-nya sendiri, dan kemungkinan besar ini menyinggung mouse keluaran Thermaltake di tahun 2012 yang kipas eksternalnya perlu dicolokkan ke port micro USB di sebelah kabelnya.

Meski dilengkapi sebuah kipas pendingin, bobot Zephyr secara keseluruhan rupanya tetap cukup ringan di angka 68 gram. Performanya ditunjang oleh sensor optik PixArt PMW 3389, sensor yang sama persis seperti yang terdapat pada Cooler Master MM710 dan sejumlah mouse gaming lain, dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI. Tentu saja Zephyr juga dilengkapi tombol untuk mengganti DPI secara cepat.

Zephyr gaming mouse

Lebih lanjut soal desainnya, Zephyr menganut bentuk ambidextrous yang simetris, akan tetapi tombol ekstranya cuma ada dua di sisi kiri saja, sehingga ia akan lebih cocok untuk pengguna tangan kanan. Tombol utamanya sendiri memakai switch bikinan Omron dengan klaim ketahanan hingga 50 juta klik.

Saya tidak menemukan kata-kata “programmable buttons” pada situs Zephyr, yang ada malah cuma “programmable RGB tech“. Meski begitu, kecil kemungkinan ada sebuah mouse gaming di tahun 2020 yang hadir tanpa software pendamping untuk mengatur berbagai aspek kustomisasi, termasuk untuk memprogram tombol-tombolnya.

Rencananya, Zephyr akan ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter mulai 22 Juli mendatang. Untuk sekarang, konsumen yang tertarik bisa mendaftarkan email di situsnya guna mendapatkan harga spesial sebesar $79, atau 50% lebih murah daripada estimasi harga retailnya.

Sumber: PC Gamer.

Logitech Luncurkan Mouse Gaming Kelas Budget dengan RGB, G203 Lightsync

Logitech punya mouse gaming baru untuk gamer dengan budget terbatas, khususnya mereka yang mewajibkan ketersediaan pencahayaan RGB. Namanya Logitech G203 Lightsync, dan ia merupakan penerus dari G203 Prodigy yang dirilis empat tahun silam.

Apa saja yang berubah? Dari luar, hampir tidak ada. G203 Lightsync tetap mengadopsi wujud ambidextrous dan layout 6 tombol yang sama persis seperti sebelumnya. Perbedaan fisiknya tidak lebih dari pencahayaan warna-warni yang telah menggantikan lampu biru milik pendahulunya, dan tentu saja pattern-nya bisa dikustomisasi via software.

Namun RGB tentu bukan satu-satunya perubahan yang disuguhkan. Logitech telah memperbarui jeroannya; G203 Lightsync mengemas sensor optik dengan sensitivitas maksimum hingga 8.000 DPI. Seperti pendahulunya, mouse ini turut mengunggulkan polling rate sebesar 1.000 Hz demi memberikan respon yang lebih instan dari biasanya. Belum lama ini, Corsair juga membanggakan mouse gaming barunya yang mempunyai polling rate di atas normal.

Logitech G203 Lightsync

Memori onboard tetap dipertahankan oleh G203 Lightsync, memungkinkan pengguna untuk menyimpan sampai lima preset sensitivitas langsung pada perangkat. Di atas kertas, fitur yang ditawarkan cukup melimpah untuk mouse gaming kelas budget.

Semurah apa memangnya? $40 saja saat mulai dipasarkan pada bulan Mei mendatang, $10 lebih murah daripada harga pendahulunya di hari peluncuran. Selain warna hitam, Logitech G203 Lightsync juga tersedia dalam balutan warna putih.

Sumber: Logitech.

Lenovo Luncurkan Lebih dari Selusin Gaming PC Plus Periferal Baru

Terlepas dari penundaan serta pembatalan beragam perhelatan bertema teknologi, banyak perusahaan berupaya agar agenda mereka tidak terlalu terpengaruh pandemi virus corona. Mendekati pertengahan tahun, sejumlah produsen PC tetap mengenalkan dan meluncurkan produk baru, meski daya beli konsumen boleh dikatakan sedang menurun. Langkah ini tentu saja didorong oleh ketersediaan komponen-komponen anyar.

Minggu ini, Lenovo memperkenalkan deretan produk gaming baru lewat rilis pers super-panjang. Jumlahnya sangat banyak – ada lebih dari selusin – terdiri dari varian desktop, laptop serta aksesori-aksesori menarik. Beberapa dari mereka adalah versi refresh, tapi ada pula yang merupakan produk baru. Satu perangkat yang mencuri perhatian saya ialah external GPU dock/enclosure buat mendongkrak performa grafis notebook ultra-thin.

Lenovo membekali PC-PC tersebut dengan prosesor mobile Intel anyar (Comet Lake-H) dan AMD Ryzen 4000, namun sepertinya Intel jadi prioritas. Beberapa unit disediakan secara global, tetapi ada pula yang dihadirkan di kawasan tertentu saja. Mayoritas dari produk ini akan mulai dipasarkan di bulan Mei 2020 dan sisanya akan menyusul nanti.

Berikut adalah daftar model PC dan harganya (huruf ‘i menandai pemakaian prosesor Intel):

  • Legion Y740Si – mulai US$ 2.000, Mei 2020
  • Legion 7i 15-inci – mulai US$ 1.600, Mei 2020
  • Legion 5Pi 15-inci – tidak dijual di AS
  • Legion 5Pi 17-inci – tidak dijual di AS
  • Legion 5i 15-inci – mulai US$ 830, Mei 2020
  • Legion 5i 17-inci – mulai US$ 1.130, Mei 2020
  • Legion 5 (AMD) 15-inci – mulai US$ 850, Mei 2020
  • Legion Tower 5i – mulai US$ 800, Mei 2020
  • Legion Tower 5 (AMD) – tiba tahun ini
  • IdeaPad Gaming 3i 15-inci – mulai US$ 730, Mei 2020
  • IdeaPad Gaming 3 (AMD) 15-inci – tiba tahun ini
  • IdeaCentre Gaming 5i – tidak dijual di AS
  • IdeaCentre Gaming 5 (AMD) – tidak dijual di AS

Sempat disinggung sebelumnya, Lenovo juga merilis rentetan periferal pendukung gaming:

  • Legion Y25-25 Gaming Monitor – mulai US$ 320, Juni 2020
  • Legion M600 Gaming Mouse (wireless) – mulai US$ 80, April 2020
  • Legion M300 Gaming Mouse (RGB) – mulai US$ 30, April 2020
  • Legion K300 Gaming Keyboard (RGB) – mulai US$ 50, Mei 2020
  • Lenovo Legion BoostStation eGPU – untuk Legion Y740Si, mulai US$ 250, tersedia opsi GeForce RTX 2060 6GB atau Radeon RX 5700 XT 8GB

Lewat perangkat-perangkat ini, Lenovo menghadirkan sejumlah teknologi mutakhir semisal keyboard Legion TrueStrike, sistem termal Coldfront 2.0, Hybrid Mode, Nvidia Advanced Optimus dan Rapid Charge Pro buat memperpanjang daya tahan baterai, serta pernak-pernik seperti Dolby Vision, OverDrive dan opsi panel 240Hz serta waktu respons 1-milidetik. Untuk kartu grafis, Lenovo menyediakan pilihan GPU GeForce GTX 1650 Ti hingga RTX 2080 Super dengan desain Max-Q.

Mouse Wireless Corsair Dark Core RGB Pro Diklaim Lebih Responsif Daripada Mouse Berkabel

Problem utama mouse wireless biasanya adalah seputar latency. Untuk penggunaan secara umum, efeknya mungkin tidak begitu terasa, tapi kalau untuk gaming, peran latency sangatlah vital. Di game kompetitif, latency tinggi bisa berujung pada kekalahan karena mouse terlambat merespon reaksi pemain.

Singkat cerita, mouse berkabel masih merupakan pilihan terbaik untuk urusan latency. Namun ternyata Corsair menolak anggapan tersebut. Mereka mengklaim mouse wireless terbarunya, Dark Core RGB Pro, punya latency yang lebih rendah daripada mouse berkabel.

Corsair Dark Core RGB Pro

Prestasi tersebut dicapai menggunakan kombinasi dua hal. Yang pertama adalah teknologi transmisi sinyal Slipstream Wireless bikinan Corsair sendiri. Yang kedua adalah teknologi hyper-polling, dengan polling rate sebesar 2.000 Hz. Keduanya ditandemkan untuk mewujudkan latency yang amat rendah kalau kata Corsair.

Memangnya mouse berkabel masih kurang instan responnya? Buat saya sih tidak, tapi saya juga bukan seorang gamer kompetitif, alih-alih atlet esport. Buat konsumen seperti saya, mouse ini mungkin cuma terasa sama responsifnya seperti mouse berkabel, dan itu sebenarnya sudah merupakan hal yang positif.

Lebih lanjut mengenai performanya, Dark Core RGB Pro mengemas sensor optik PixArt PAW3392 yang menawarkan sensitivitas maksimum 18.000 DPI, dan yang bisa disesuaikan per 1 DPI. Kalau diperlukan, mouse ini juga dapat dipakai via sambungan Bluetooth ataupun kabel USB-C.

Corsair Dark Core RGB Pro

Secara desain, mouse ini nyaris sama seperti pendahulunya, dengan sisi kanan yang bisa dilepas-pasang untuk menyesuaikan dengan preferensi bentuk yang disukai masing-masing pengguna. Jumlah tombolnya ada 8, dan semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan.

Dalam satu kali pengisian, baterai perangkat ini bisa tahan sampai sekitar 50 jam pemakaian. Buat yang mendambakan kenyamanan ekstra, ada varian Dark Core RGB Pro SE yang dibekali dukungan Qi wireless charging, yang juga kompatibel dengan wireless charging mousepad.

Di Amerika Serikat, Corsair Dark Core RGB Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $80, sedangkan varian Dark Core RGB Pro SE seharga $90.

Sumber: Corsair.

Razer Luncurkan Mouse Gaming Teramping dan Teringan

Dengan begitu banyaknya pilihan, menentukan gaming gear yang tepat kadang bisa jadi membingungkan. Saat ini masing-masing brand punya penawaran menarik. Dan itu artinya ada banyak hal perlu dipertimbangkan sebelum membeli: anggaran, genre permainan favorit, hingga kebiasaan kita menggunakan periferal gaming. Setelah menemukan sejumlah kandidat, Anda disarankan untuk pergi ke toko dan mencobanya langsung.

Khusus bagi mereka yang memiliki ukuran tangan tak terlalu besar dan membutuhkan mouse gaming berbobot ringan, Razer sudah menyiapkan solusinya. Perusahaan asal Irvine, Kalifornia itu baru saja meluncurkan versi mungil dari Razer Viper. Mereka menamainya Viper Mini. Produsen mendeskripsikannya sebagai mouse paling enteng dan paling ramping yang pernah mereka produksi. Desainnya dimaksudkan agar tiap tombol bisa mudah dijangkau jari.

Dibanding tipe standar, Viper Mini memiliki tubuh yang lebih pendek dan langsing sehingga mudah digenggam. Razer bilang, Viper Mini cocok bagi mereka yang biasa memakai mouse dengan postur claw dan fingertip grip. Perangkat punya panjang 118,3mm, lebar 53,5mm dan tinggi 38,3mm. Desainnya terlihat simetris seperti mouse ambidextrous, namun karena thumb button hanya ada di sisi kiri, Viper Mini baru betul-betul optimal jika digunakan di tangan kanan.

IMG_05032020_105745_(1000_x_650_pixel)

Kabarnya dalam merancang Viper Mini, Razer berkolaborasi bersama sejumlah atlet esports dan gamer hardcore. Konstruksi tubuhnya terbuat dari plastik, memungkinkan produsen memangkas berat mouse – hanya 61-gram tanpa menghitung kabel USB Speenflex braided-nya. Di aspek estetika, Razer tak lupa menghias Viper Mini dengan LED RGB pada logo di bagian punggung dan ‘underglow‘ di bawah.

Razer membekali Viper Mini dengan sensor optik 8.500DPI, kabarnya juga mampu membaca gerakan di kecepatan hingga 300-inci per detik. Fungsi keenam tombol di sana bisa diprogram ulang via software Razer Synapse 3 dan hasil konfigurasinya akan disimpan di memori on-board dan dapat diakses kapan pun Anda butuhkan.

IMG_05032020_105716_(1000_x_650_pixel)

Selain desain, aspek paling unik dari Viper Mini terletak di tombolnya. Mouse  kembali mengusung switch optik, memanfaatkan cahaya inframerah dalam meregistrasi tiap tekanan pada tombol. Dengan menggunakan inframerah, mouse tidak memerlukan kontak fisik dalam menyampaikan input. Itu artinya, Viper Mini mempunyai komponen bergerak lebih sedikit, membuatnya lebih awet sekaligus mampu merespons input secara sangat singkat – di kecepatan 0,2-milidetik.

IMG_05032020_110305_(1000_x_650_pixel)

Saat ini Viper Mini sudah mulai dipasarkan. Razer membanderolnya di harga yang cukup kompetitif, yaitu US$ 40. Selain Viper dan Viper Mini, tersedia pula varian Viper Ultimate yang dilengkapi konektivitas wireless serta sensor lebih canggih.