Facebook akan Mulai Coba Pasang Iklan di dalam Game Oculus

Salah satu perangkat virtual reality atau VR Oculus mengumumkan bahwa mereka akan mulai mencoba memasangkan iklan di dalam game-game mereka. Hal ini diumumkan lewat postingan blog resminya.

Iklan-iklan yang nantinya akan muncul merupakan iklan yang sudah disesuaikan lewat profil Facebook para pemain. Oculus memang telah dimiliki oleh Facebook sejak 2014. Dan sebelumnya mereka telah membuat para pengguna Oculus untuk login menggunakan akun Facebook mereka.

Pengembangan yang kini dipegang oleh Facebook Reality Labs (FRL) ini bertujuan untuk mengajak lebih banyak orang ke dalam VR. Pemasangan iklan dalam game ini diklaim merupakan bagian penting agar mereka dapat menciptakan platform yang mandiri.

Oculus Quest (image credit: Oculus)

Facebook awalnya sudah menguji coba iklan ini pada aplikasi mobile Oculus bulan lalu. Sistemnya adalah Oculus menarik data dari aktivitas Facebook pemain dan akan menampilkan iklan yang relevan di slot-slot spesifik dalam game-nya.

Data pengguna ini juga termasuk apa saja yang mereka lakukan di dalam Oculus, seperti aplikasi apa saja yang mereka lihat dan instal. Namun Facebook menjamin kerahasiaan hal-hal sensitif seperti percakapan pribadi baik tulisan maupun pembicaraan — termasuk informasi tinggi, berat badan, dan juga gender dari pemainnya.

Pemain nantinya akan dapat mengklik ikan yang dilihat dan bisa memilih untuk membukanya atau menyimpan tautan iklannya untuk nanti. Pemain juga memiliki kemampuan untuk melaporkan iklan atau menyembunyikannya. Meskipun tidak diketahui apakah ada pilihan atau cara untuk menon-aktifkan iklan tersebut secara penuh.

Pemain bisa menyembunyikan iklan atau bahkan melaporkannya (image credit: oculus)

Berita baiknya adalah dari setiap iklan yang diklik para pemain di dalam game, maka para pengembang game tersebut juga mendapatkan bagian. Meskipun sayangnya tidak dijelaskan berapa persentase yang bisa didapatkan oleh para pengembang ini dari iklan real-time di dalam game-nya.

Pada percobaannya, game yang akan digunakan adalah Blaston buatan Resolution Games. Ke depannya, dikatakan bahwa telah ada beberapa pengembang lain yang akan mengadaptasi fitur ads ini di dalam game-nya. Sayangnya tidak ada informasi game apa sajakah yang dimaksud.

Oculus Rift S Resmi Di-discontinue

Dibandingkan HTC Vive, lineup produk virtual reality yang Oculus tawarkan terkesan sangat sederhana. Dalam waktu dekat, portofolio produknya bahkan bakal jauh lebih simpel lagi dengan dihentikannya produksi Oculus Rift S, penerus Oculus Rift orisinal yang diperkenalkan di tahun 2019.

Kalau kita cek di situs resmi Oculus, terpampang status Rift S yang sedang kosong. Kepada UploadVR, Oculus sendiri juga telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak berniat menambah stok Rift S, dan ini sejalan dengan rencana awal mereka ketika meluncurkan VR headset baru tahun lalu, yakni Oculus Quest 2. Kala itu, Oculus sempat bilang bahwa Rift S bakal segera di-discontinue.

Keputusan Oculus untuk berfokus pada Quest 2 saja sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Dibanding Rift S, headset tersebut memang menawarkan banyak kelebihan, utamanya adalah kemudahan penggunaan tanpa harus tersambung ke PC. Di saat yang sama, Quest 2 tetap dapat dihubungkan ke PC via kabel seandainya diperlukan (untuk memainkan gamegame yang lebih berat, yang membutuhkan kinerja kartu grafis milik PC).

Oculus Quest 2 / Oculus
Oculus Quest 2 / Oculus

Tidak heran apabila Quest 2 pada akhirnya menjadi produk terlaris Oculus meski baru dipasarkan selama kurang dari enam bulan. Jumlah persis unit yang terjual memang tidak disebutkan, tapi yang pasti lebih banyak ketimbang penjualan headsetheadset lain Oculus digabungkan (Rift, Go, Rift S, dan Quest generasi pertama). Harga yang cukup terjangkau — $299 — tentu turut berkontribusi terhadap kesuksesan Quest 2 di pasaran.

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, apakah ke depannya Oculus masih akan melanjutkan seri Rift? Pertanyaan ini cukup tricky karena Oculus sendiri sebenarnya sudah pernah mengembangkan Rift 2. Sayangnya produk tersebut tidak pernah terealisasi karena Oculus membatalkan pengembangannya di tahun 2018, padahal tahap produksinya tinggal selangkah lagi kalau kata Palmer Luckey, founder Oculus sekaligus inventor Rift orisinal.

Sebagai gantinya, di tahun 2019 diluncurkanlah Rift S yang merupakan hasil kolaborasi Oculus bersama Lenovo. Dibanding pendahulunya, Rift S menghadirkan penyempurnaan dalam bentuk peningkatan resolusi sekaligus implementasi inside-out tracking, tidak ketinggalan pula banderol harga yang lebih terjangkau di angka $399.

Sumber: UploadVR.

Oculus Quest 2 Disingkap, Bawa Display 90 Hz dan Performa yang Lebih Kencang

Setelah beberapa kali dirumorkan, virtual reality headset Oculus Quest 2 akhirnya resmi menyapa dunia. Melanjutkan jejak pendahulunya sebagai VR headset bertipe standalone, Quest 2 hadir dengan sederet pembaruan yang cukup signifikan.

Kita mulai dari display-nya, yang kini menawarkan resolusi 1832 x 1920 pixel per mata, atau sekitar 50% lebih tinggi daripada milik Quest generasi pertama. Tidak kalah penting dari resolusi adalah refresh rate, dan di sini lagi-lagi Quest 2 juga membawa peningkatan, dari 72 Hz menjadi 90 Hz.

Guna mengakomodasi hardware yang semakin canggih, tentunya dibutuhkan otak yang lebih cerdas lagi. Quest 2 mengandalkan Snapdragon XR2, chipset anyar yang baru Qualcomm perkenalkan menjelang akhir tahun lalu, yang memang dirancang secara khusus untuk VR headset maupun AR headset. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 6 GB dan pilihan storage internal antara 64 GB atau 256 GB.

Komponen-komponen tersebut dikemas dalam rangka baru yang sedikit lebih kecil sekaligus lebih ringan (503 gram). Seperti yang sudah kita pelajari dari bocoran gambarnya, desainnya sepintas kelihatan kalah premium dari pendahulunya karena tidak ada lagi bahan kain yang melapisi panel plastiknya. Namun itu semestinya tidak perlu menjadi masalah seandainya perangkat bisa terasa lebih nyaman di kepala.

Sebelum ini, sempat muncul kekhawatiran bahwa Quest 2 tidak dilengkapi kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan alias IPD (interpupillary distance). Memang benar kenopnya sirna, tapi untungnya Quest 2 masih menawarkan mekanisme untuk menyesuaikan IPD, yakni dengan menggeser kedua lensanya secara manual. Jeleknya, ini berarti pengguna harus melepas perangkat dulu agar bisa melakukan pengaturan.

Oculus tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional untuk Quest 2. Jadi seandainya pengguna tidak suka dengan strap yang luwes seperti yang terdapat dalam paket penjualan aslinya, mereka bisa membeli strap model lain yang kaku, atau yang di belakangnya dilengkapi modul baterai tambahan, yang juga berguna untuk semakin menyeimbangkan distribusi berat.

Juga ikut direvisi desainnya adalah controller Oculus Touch, yang diyakini lebih nyaman dalam genggaman ketimbang versi sebelumnya. Kinerja tracking-nya pun telah dioptimalkan agar lebih irit daya – sampai 4x lebih irit kalau kata Oculus sendiri. Bicara soal baterai, Quest 2 sendiri diklaim punya daya tahan yang sama seperti pendahulunya, yakni sekitar 2 – 3 jam dalam sekali charge.

Satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana kehadiran Quest 2 memicu Oculus untuk menyetop pengembangan seri Rift. Mereka berdalih Quest 2 lebih superior ketimbang Rift S di segala aspek, dan seandainya pengguna ingin memakai Quest 2 untuk bermain game VR di PC macam Half-Life: Alyx, mereka bisa menyambungkan Quest 2 ke PC menggunakan kabel Oculus Link – yang sayangnya harus ditebus secara terpisah.

Kabar baiknya, Oculus Quest 2 dibanderol cukup terjangkau: mulai $299, alias lebih murah $100 daripada harga pendahulunya saat diluncurkan. Pemasarannya dijadwalkan akan berlangsung mulai 13 Oktober mendatang.

Sumber: Oculus.

Bocoran Gambar Tunjukkan Perubahan Desain yang Diusung Penerus Oculus Quest

Kehadiran virtual reality headset baru dari Oculus sepertinya sudah semakin dekat. Setelah rumor mengenai penerus Oculus Quest mulai beredar pada bulan Mei lalu, Oculus belum lama ini juga dikabarkan bakal memproduksinya secara massal mulai akhir Juli ini – plus mereka pun juga sudah menghentikan produksi Oculus Go.

Sekarang, bocoran gambar suksesor Quest itu juga sudah mulai bermunculan di jagat maya. Semuanya berawal dari unggahan seorang pengguna Twitter bernama WalkingCat (@h0x0d), yang sendirinya merupakan sosok leaker yang cukup terkenal dan punya reputasi yang bagus, hingga akhirnya foto unitnya disebar di Reddit.

Meski sepintas perangkat ini tampak identik seperti Oculus Quest generasi pertama, ada beberapa poin yang bisa kita pelajari yang ternyata sesuai dengan rumor sebelumnya. Yang pertama, kalau melihat foto tampak atasnya, kelihatan bahwa perangkat ini sedikit lebih tipis dibanding Quest generasi pertama, dan ini tentu saja berpengaruh langsung terhadap bobot perangkat secara keseluruhan.

Oculus juga tidak sebatas mengganti warnanya saja. Sejalan dengan rumornya, bagian samping yang tadinya berlapis kain sekarang cuma plastik. Kesan premiumnya jelas berkurang, akan tetapi perubahan material ini semestinya dapat menekan harga jualnya, serta memangkas bobotnya lebih signifikan lagi.

Perubahan lain yang mungkin bakal kurang disukai konsumen adalah hilangnya kenop IPD (interpupillary distance), alias kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan supaya bisa disesuaikan dengan posisi mata masing-masing pengguna yang tentu berbeda satu sama lain. Pada Quest generasi pertama, kenop ini diposisikan di sisi bawah, sedangkan di bocoran gambar suksesornya ini kenopnya sama sekali tidak kelihatan di sisi manapun.

Ini bukan pertama kalinya Oculus mengeliminasi kenop IPD dari perangkat buatannya. Sebelum ini, Oculus Rift S sudah lebih dulu hadir tanpa kenop IPD, dan penyesuainnya cuma bisa dilakukan via software. Mungkin saja ini juga berkaitan dengan misi Oculus untuk mengurangi bobot perangkat sekaligus menjadikan penerus Quest lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Andai sang leaker bisa kembali dipercaya kali ini, kita bakal melihat penerus Oculus Quest ini diluncurkan pada tanggal 15 September mendatang.

Sumber: The Verge.

Sony Dikabarkan Bakal Genjot Produksi PlayStation 5

Pada April 2020, Sony dikabarkan mengurangi jumlah produksi dari PlayStation 5 menjadi enam juta unit. Ketika itu, alasan Sony menurunkan jumlah produksi PS5 adalah karena sebagian besar proses produksi PS5 dilakukan di Tiongkok dan virus corona tengah mewabah. Sekarang, wabah mulai mereda dan Sony memutuskan untuk meningkatkan produksi PlayStation 5.

Menurut Bloomberg, Sony akan menaikkan jumlah produksi PlayStation 5 menjadi 10 juta unit pada akhir tahun. Sementara Nikkei Asian Review memperkirakan, total produksi PS5 hanya mencapai sembilan juta unit. Alasan Sony meningkatkan produksi PlayStation 5 adalah karena mereka percaya, permintaan akan PS5 akan naik ketika gelombang kedua dari corona melanda, lapor GamesIndutry.

produksi PS5 naik
Produksi dari controller PS5 juga akan naik.

Sony telah memberitahukan rekan penyuplai dan perakitan mereka bahwa mereka ingin menaikkan jumlah produksi PS5. Namun, tidak diketahui apakah stok ekstra dari PlayStation 5 tersebut sudah akan tersedia pada musim liburan di akhir tahun ini. Untuk mengimbangi naiknya produksi PS5, Sony juga meningkatkan produksi dari controller DualSense.

Menurut laporan Bloomberg, PlayStation 5 mulai diproduksi secara massal pada bulan Juni. Dengan rencana Sony saat ini, mereka akan memiliki stok PS5 sebanyak lima juta unit pada akhir September. Dan lima juta unit PS5 akan tersedia pada sekitar Oktober dan Desember.

Selain Sony, Facebook juga dikabarkan meningkatkan jumlah produksi dari headset virtual reality mereka, Oculus. Perusahaan media sosial itu menaikkan produksi Oculus sampai 2 juta unit, 50 persen lebih banyak dari stok tahun lalu. Versi terbaru dari Oculus dikabarkan akan mulai diproduksi secara massal pada akhir bulan ini.

Sama seperti Sony, alasan Facebook menaikkan produksi Oculus adalah karena pandemi corona. Di tengah pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain game, termasuk game VR.

Sony memperkenalkan PlayStation 5 pada pertengahan Juni lalu. Saat itu, mereka juga menampilkan game-game yang akan bisa dimainkan pada konsol barunya. Tak mau kalah, pada tahun ini, Microsoft juga akan meluncurkan konsol baru mereka, Xbox Series X, yang akan menjadi pesaing PlayStation 5. Namun, bahkan sebelum kedua konsol itu tersedia di pasar, analis memperkirakan, PlayStation 5 akan lebih laku dari Xbox Series X.

Sumber header: Twitter

Facebook Andalkan Teknologi Hologram untuk Ciptakan Prototipe VR Glasses yang Amat Ringkas

Sebagai salah satu pemimpin industri virtual reality, Facebook dan Oculus tentu punya ambisi menciptakan VR headset yang jauh lebih ringkas ketimbang yang sudah ada sekarang. Mereka tidak segan memamerkan sejauh apa progres mereka di bidang miniaturisasi teknologi VR ini, dan rumor yang beredar mengindikasikan eksistensi penerus Oculus Quest yang berukuran lebih kecil.

Sekarang, lewat sebuah publikasi ilmiah berjudul “Holographic Optics for Thin and Lightweight Virtual Reality”, divisi Facebook Reality Labs ingin menjabarkan pencapaian terbaru mereka, yakni struktur optik baru yang dapat disematkan ke perangkat sekecil kacamata biasa. Ketimbang memakai lensa refraktif seperti pada VR headset tradisional, struktur optik baru ini melibatkan lensa hologram dan teknologi optical folding berbasis polarisasi sehingga tebal keseluruhannya bahkan bisa kurang dari 9 mm.

Bukan cuma lebih tipis, komponen optik baru ini turut menjanjikan spektrum warna yang lebih luas berkat penerapan teknologi iluminasi LCD berbasis laser. Pun begitu, klaim tersebut belum bisa sepenuhnya dibuktikan, sebab prototipenya sejauh ini hanya bisa menampilkan satu warna (hijau) saja – Facebook punya prototipe lain yang dapat menampilkan warna, tapi bentuknya bukan kacamata.

Facebook holographic optics for VR headset

Prototipe kacamatanya sendiri disebut mempunyai resolusi 1200 x 1600 pixel per mata, dengan field-of-view seluas 93 derajat – setara Oculus Quest dan lebih luas daripada Microsoft HoloLens 2 maupun Magic Leap One yang juga sama-sama memanfaatkan teknologi hologram. Bobot prototipenya disebut berkisar 10 gram, tapi ini dengan satu panel display saja, dan itu juga belum termasuk komponen-komponen esensial lain macam sistem tracking, baterai maupun elektronik lainnya.

Facebook tidak lupa menekankan bahwa semua ini baru sebatas riset dan realisasinya masih cukup jauh. Facebook juga bukan satu-satunya pihak yang ingin mewujudkan visinya perihal miniaturisasi VR. Beberapa bulan lalu, Panasonic sempat memamerkan prototipe VR glasses besutannya, meski teknologi yang digunakan berbeda (micro OLED, bukan hologram). Huawei malah sudah memasarkan perangkat serupa di Tiongkok.

Sumber: 1, 2, 3.

VR Headset Oculus Go Resmi Dipensiunkan

Diumumkan sekitar tiga tahun lalu, Oculus Go merupakan salah satu pelopor kategori virtual reality headset bertipe standalone atau all-in-one. Harganya memang lebih mahal daripada VR headset macam Samsung Gear VR, akan tetapi penggunaannya jelas lebih praktis karena perangkat dapat beroperasi tanpa perlu diselipi smartphone atau tersambung ke komputer.

Namun kalau dibandingkan dengan headset non-portable macam Oculus Rift, Oculus Go jelas terkesan amat terbatas kemampuannya. Yang paling utama, Go cuma mendukung tracking 3DoF, bukan 6DoF. Ini berarti Go tidak bisa memonitor pergerakan kepala secara menyeluruh; perangkat tidak akan mengenali perpindahan posisi kepala (naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan).

Maka dari itu ketika Oculus Quest diperkenalkan setahun setelahnya, pamor Go pun langsung redup. Quest sama-sama berwujud standalone dan dapat beroperasi secara mandiri, tapi di saat yang sama ia menawarkan kapabilitas tracking 6DoF sehingga menjadikannya sangat cocok untuk keperluan gaming.

Singkat cerita, tracking 6DoF ibarat syarat wajib yang harus dipenuhi VR headset, terutama jika gaming merupakan ranah yang dituju, dan Oculus beserta Facebook menyadari hal itu. Mereka memutuskan untuk berhenti menjual Go tahun ini juga, dan mereka memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada lagi VR headset baru dari mereka yang cuma menawarkan tracking 3DoF seperti Go.

Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus
Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus

Meski sudah di-discontinue, Oculus Go dipastikan tetap bisa dipakai seperti biasa. Oculus tetap akan merilis sejumlah perbaikan via software sampai tahun 2022, namun jangan mengharapkan adanya fitur baru buat Go. Menjelang akhir tahun nanti, Oculus Go juga tidak akan lagi kedatangan aplikasi baru maupun update terhadap yang sudah ada.

Dipensiunkannya Go ini berarti Oculus bisa mengerahkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengembangkan Quest beserta Rift. Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan suksesor Quest yang lebih ergonomis sekaligus lebih canggih. Namun sebelum itu terealisasi, Oculus akan lebih dulu menyempurnakan Quest yang ada sekarang.

Caranya adalah dengan mempermudah proses distribusi konten. Memasuki awal tahun depan, aplikasi untuk Quest tak hanya bisa didapat dari Oculus Store saja, tapi bisa juga dari developer-nya langsung dan tanpa melibatkan proses sideloading yang rumit. Mekanisme baru ini tentunya lebih memudahkan pihak developer mengingat mereka tak lagi perlu menunggu aplikasinya disetujui di Oculus Store, dan Oculus berharap ini bisa memicu gelombang baru konten berkualitas buat seluruh konsumen Quest.

Sumber: Upload VR dan Oculus.

Penerus Oculus Quest Rumornya Lebih Ringkas dan Punya Display Lebih Mumpuni

Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru, demikian laporan yang diberitakan Bloomberg berdasarkan informasi dari sejumlah sumber internal. Perangkat ini dimaksudkan menjadi penerus Oculus Quest, VR headset yang dapat beroperasi secara mandiri, tanpa harus tersambung ke PC maupun smartphone.

Beberapa prototipe standalone VR headset yang tengah diuji disebut 10% – 15% lebih ringkas ketimbang Quest. Bobotnya pun juga lebih ringan di kisaran 450 gram. Bandingkan dengan Oculus Quest yang berbobot sekitar 566 gram, yang mungkin terlalu berat untuk sejumlah orang, apalagi setelah digunakan cukup lama.

Salah satu cara yang sedang dipertimbangkan untuk memangkas bobot perangkat adalah dengan mengganti bahan kain di bagian samping menjadi plastik. Lebih lanjut, Oculus juga berniat mengganti material karet dan velcro pada bagian strap dengan bahan yang lebih elastis. Harapannya tentu supaya perangkat jadi lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Selain lebih ringkas dan lebih ergonomis, VR headset baru ini juga bakal menawarkan display dengan refresh rate 90 Hz agar konten bisa tersaji secara lebih mulus. Mengapa tidak 120 Hz sekalian? Oculus juga sedang sibuk mengujinya, namun 90 Hz sepertinya bakal menjadi pilihan demi memperpanjang daya tahan baterai.

Sebagai perbandingan, display Oculus Quest memiliki refresh rate 72 Hz, sedangkan Oculus Rift S yang lebih powerful menawarkan refresh rate 80 Hz. Belum diketahui seberapa tinggi resolusinya maupun jenis panelnya, namun semestinya tidak mungkin lebih rendah dari 1440 x 1600 pixel (resolusi display OLED milik Oculus Quest).

Oculus Quest

Pembaruan lain yang Oculus terapkan ada pada controller-nya. Berkat rancangan baru, controller-nya jadi lebih nyaman digunakan sekaligus tidak lagi terkendala penutup baterai yang mudah lepas. Kabar baiknya, controller anyar ini juga akan kompatibel dengan Oculus Quest.

Perihal tracking, perangkat ini masih akan menawarkan tracking 6DoF seperti Oculus Quest. Jadi menggunakan empat kamera bawaannya, perangkat bisa memonitor pergerakan kepala sekaligus tubuh pengguna tanpa harus dibantu oleh sensor eksternal.

Fitur-fitur lain yang masih akan dipertahankan mencakup tuas fisik untuk mengatur jarak antar display supaya pas dengan posisi mata, serta dukungan terhadap Oculus Link, yang memungkinkan perangkat untuk disambungkan ke PC (via kabel) demi meningkatkan performa secara signifikan.

Awalnya Oculus berniat meluncurkan perangkat ini menjelang akhir tahun 2020. Namun berhubung pandemi melanda, perilisannya tak akan berlangsung hingga setidaknya tahun depan. Belum diketahui pula apakah perangkat ini bakal menggantikan Oculus Quest sepenuhnya, atau malah dijual sebagai model yang berbeda.

Sumber: Bloomberg.

Menatap Masa Depan Nasib Gaming VR dan AR Tahun 2020

Virtual Reality dan Augmented Reality, dua teknologi baru yang sampai saat ini perkembangannya masih seringkali dipertanyakan. Ada yang menganggap bahwa VR tidak akan menjadi masa depan karena satu dan lain hal, ada juga yang menganggap bahwa VR/AR punya fungsi menarik yang akan mengubah gaya hidup umat manusia layaknya smartphone juga mengubah kita.

Namun demikian, dalam hal gaming, ternyata tren penggunaan VR dan AR cenderung masih positif selama tahun 2019 kemarin. Mengutip hasil riset SuperData Year-in Review, ternyata pendapatan gaming VR dan AR sepanjang tahun 2019 ini masih menunjukkan peningkatan jika dibanding tahun 2018 lalu.

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Secara total, penjualan game VR dan AR berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,2 miliar (sekitar Rp30 triliun) selama tahun 2019. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar US$300 juta (sekitar Rp4,1 miliar) dibanding dengan tahun 2018 lalu yang hanya mendapatkan US$1,9 miliar (sekitar Rp26 triliun). Sektor AR jadi penyumbang terbesar, mencapai US$1,7 miliar (sekitar Rp23 triliun), salah satunya berkat Pokemon GO. Walau games VR tidak menyumbang banyak pemasukan, namun penjualan headset VR juga cukup besar di tahun 2019 ini, mencapai US$5,7 miliar (sekitar Rp79,2 triliun).

Ada beberapa faktor atas hal ini. Dalam urusan games AR, sejak rilis Juli 2016 lalu, Pokemon GO memang sudah menjadi perhatian para gamers, terutama penggemar Pokemon. Menurut catatan Hybrid dari data SensorTower, Pokemon GO bahkan sudah mengumpulkan Rp42 triliun sepanjang masa hidupnya. Ditambah lagi, tahun 2019 juga jadi tahunnya game-game AR menyerbu. Ada beberapa judul yang muncul seperti Harry Potter: Wizard Unite, ataupun Minecraft Earth yang disebut SuperData sebagai calon pesaing Pokemon GO.

Untuk kasus VR, SuperData mengatakan, bahwa salah satu faktor pendapatan penjualan headset VR di tahun 2019 adalah dari Oculus Quest. Headset VR tersebut berhasil mendobrak teknologi VR, yang selama ini selalu bergantung kepada PC Gaming high-end ataupun konsol. Oculus Quest hadir secara berbeda, menjadi headset VR bersifat stand-alone yang bisa digunakan tanpa harus bergantung kepada PC high-end ataupun konsol gaming.

Dalam sesi #SelasaStartup kolaborasi Hybrid dengan DailysSocial bulan Agustus lalu, Nico Alyus dari Omni VR juga sempat mengatakan prediksinya tersendiri terhadap VR di masa depan. “Di masa depan, VR akan jadi medium apapun. Namun, itu baru bisa terjadi ketika VR sudah diadopsi oleh masyarakat secara umum.” Oculus Quest bisa menjadi alat untuk memberi akses VR ke masyarakat secara umum, karena sifatnya stand-alone VR yang membuatnya jadi lebih ekonomis.

Potensinya sebagai esports

Tanda tanya terhadap industri VR dan AR tidak hanya terjadi secara umum, tapi juga dari segi esports. Mengingat dua teknologi ini bisa memberikan pengalaman bermain yang lebih penuh, akankah VR ataupun AR punya potensi untuk menjadi esports?

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Mengingat adaptasi dua teknologi ini yang masih sangat minim, cukup wajar jika potensinya sebagai esports juga masih terbilang kecil. Namun demikian, ini tidak menghentikan pemangku kepentingan di esports untuk melakukan sedikit percobaan. ESL Contohnya. Perusahaan esports asal Jerman tersebut sempat bekerja sama dengan Oculus untuk menyelenggarakan VR League. Mempertandingkan empat game yang juga butuh ketangkasan fisik, VR League bahkan memperebutkan total hadiah sebesar Rp3,5 miliar!

Pokemon GO - Piala Presiden Esports 2019
Kemeriahan komunitas Pokemon GO di Piala Presiden Esports 2019 | Sumber: Dokumentasi Pokemon GO Indonesia

Lalu bagaimana dengan AR? Mengingat entry-barrier AR yang lebih rendah dibanding VR, tak heran jika AR punya potensi yang lebih besar sebagai esports atau game kompetitif. Tak hanya terjadi di barat saja, Indonesia bahkan juga sudah pernah menghadirkan pertandingan Pokemon GO. Bahkan Indonesia sempat memecahkan rekor jumlah peserta terbanyak lewat gelaran bertajuk Rainbow Cup di Summarecon Mall Serpong pada bulan Juni 2019 lalu, yang diikuti oleh 445 peserta.

Bagaimana dengan tahun 2020? Sebagai teknologi yang masih baru dan punya entry-barrier cukup tinggi, tak heran jika tingkat penetrasi dua teknologi ini terbilang cukup rendah. Namun demikian melihat perkembangannya selama 2019 yang terus positif, bukan tidak mungkin jika VR dan AR akan diadaptasi oleh lebih banyak orang di masa depan nanti. Tahun 2020 mungkin belum akan jadi zamannya, tapi siapa yang tahu, mungkin beberapa tahun lagi VR dan AR akan menjadi fenomena budaya berikutnya layaknya smartphone di zaman sekarang.

 

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.