Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Esports ke Olimpiade, Seberapa Perlu?

Diikuti oleh lebih dari 200 negara, Olimpiade adalah salah satu kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, minat masyarakat untuk menonton Olimpiade semakin menurun. Seolah itu tidak cukup buruk, umur rata-rata dari penonton Olimpiade pun menunjukkan tren yang semakin tua. Esports — yang digandrungi oleh generasi Milenial dan Gen Z — bisa memecahkan masalah ini. Hanya saja, memasukkan esports ke Olimpiade bukanlah masalah gampang.

 

Jumlah Penonton Olimpiade yang Terus Turun

Di Amerika Serikat, Olimpiade Musim Dingin 2018 disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Menurut data dari Sports Media Watch, jumlah rata-rata penonton Olimpiade pada prime time hanya mencapai 22,2 juta, turun 6% jika dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton dari Olimpiade Musim Dingin 2014. Sementara itu, jumlah rata-rata penonton Olimpiade Musim Dingin 2018 justru lebih rendah, hanya 19,9 juta orang, yang merupakan rekor jumlah rata-rata penonton paling rendah sejak 1992, menurut laporan Forbes.

Memang, beberapa tahun belakangan, rating siaran pertandingan Olimpiade terus turun, membuktikan bahwa jumlah orang-orang yang tertarik menonton kompetisi olahraga itu terus berkurang. Sebaliknya, umur rata-rata penonton Olimpiade terus naik, menurut survei yang diadakan oleh Nielsen pada 24 televisi olahraga. Pada 2000, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 45 tahun. Angka ini naik menjadi 50 tahun pada 2006 dan menjadi 53 tahun pada 2016. Seiring dengan turunnya jumlah penonton Olimpiade, begitu juga dengan daya tarik siaran Olimpiade di mata pengiklan atau sponsor.

Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk
Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk

Sebenarnya, umur rata-rata penonton yang terus naik, hal ini juga terjadi di semua kompetisi olahraga tradisional. Sepak bola, salah satu olahraga terpopuler di dunia, pun mengalami masalah ini. Satu-satunya olahraga yang umur rata-rata penontonnya justru turun dalam 10 tahun terakhir adalah tennis perempuan, menurut laporan TechCrunch. Meskipun begitu, umur rata-rata penonton pertandingan tennis di Amerika Serikat tetap tinggi, yaitu 55 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Hal ini menunjukkan bagaimana generasi muda lebih suka untuk menonton esports daripada olahraga tradisional.

Seorang artis bisa menjadi figur publik karena dia punya banyak fans. Olimpiade menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi karena ada banyak orang yang menonton kompetisi tersebut. Jika tidak ada lagi orang yang menonton Olimpiade, maka prestise dari kompetisi itu pun akan hilang. Dan tanpa prestise, siapa yang akan tertarik untuk menyiarkan pertandingan Olimpiade? Atau menjadi sponsor dari acara olahraga tersebut?

Untungnya, International Olympic Comittee (IOC) menyadari masalah ini. Mereka juga telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan menambahkan beberapa olahraga baru yang dianggap disukai anak muda, seperti sport climbing, surfing, skateboarding, karate, dan baseball. Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional lainnya — seperti anggar, lempar lembing, atau loncat indah — olahraga-olahraga ini mungkin memang lebih populer di kalangan generasi muda. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pertandingan esports, seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive, pertandingan esports masih menang jauh.

 

Bagaimana Esports Bisa Membantu

Pada 2018, ada 737 kompetisi esports besar yang diadakan dengan total penjualan tiket mencapai US$54,7 juta. Sementara itu, pada 2019, jumlah penonton esports mencapai 443 juta orang, menurut Newzoo dan mencapai 454 juta, berdasarkan Statista. Dan seperti yang dapat Anda lihat pada gambar di bawah, jumlah penonton esports menunjukkan tren naik dari tahun ke tahun.

 

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

 

Selain itu, penonton esports biasanya datang dari kalangan Milenial dan Gen Z. Mari kita berkaca ke Tiongkok, salah satu negara yang ekosistem esports-nya berkembang pesat. Tiongkok tidak hanya menelurkan banyak atlet esports di berbagai game — mulai dari mobile game seperti Clash Royale sampai League of Legends — pemerintah di Beijing pun sudah mulai mengakui atlet esports sebagai profesi resmi.

Berdasarkan data dari Statista tentang demografi penonton esports di Tiongkok pada 2019, penonton esports paling banyak ada di rentang usia 18-24 tahun. Sekitar 26,2% penonton esports di Tiongkok ada di rentang umur tersebut. Sementara itu, sekitar 21,9% audiens esports memiliki usia di bawah 18 tahun, 23,8% ada di rentang umur 24-30 tahun, 18,6% penonton di rentang umur 30-35 tahun, dan 9,5% ada di rentang umur di atas umur 35 tahun.

Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk
Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk

Jika esports masuk dalam Olimpiade, hal ini akan menarik perhatian para penonton muda. Semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton Olimpiade, maka semakin menarik ajang olahraga itu di mata sponsor. Namun, yang paling penting, memenangkan hati penonton muda berarti Olimpiade akan tetap relevan di masa depan. Sayangnya, menjadikan esports sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade tidak semudah membalikkan telapak tangan.

 

Kenapa Esports Tidak Masuk Olimpiade?

Sebelum sebuah olahraga menjadi bagian dari Olimpiade, maka olahraga itu harus dipatikan memiliki nilai-nilai yang sama dengan Olimpiade, yaitu Excellence, Respect, dan Friendship. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku esports jika mereka ingin menjadikan esports sebagai bagian dari Olimpiade.

Dalam wawancara menjelang Asian Games 2018 di Jakarta, Thomas Bach, Presiden dari IOC mengungkap, salah satu alasan mengapa esports tidak masuk dalam Olimpiade adalah karena game esports mendukung kekerasan dan diskriminasi, yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Olimpiade. Memang, ada game esports yang tidak menampilkan kekerasan, seperti FIFA atau PES, yang merupakan game sepak bola. Namun, game esports yang populer biasanya memiliki aspek kekerasan, sebut saja Dota 2, CS:GO, dan Mobile Legends.

Meskipun begitu, hal itu bukan berarti esports tidak punya kesempatan sama sekali untuk masuk Olimpiade. Pasalnya, di Olimpiade, ada beberapa olahraga yang mengandung kekerasan, seperti menembak, panahan, tinju, dan taekwondo. Terkait hal ini, Presiden IOC, Bach menjelaskan, olahraga-olahraga itu memang didasarkan pada pertarungan yang nyata. Tapi, semua olahraga tersebut telah diregulasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi “civilized expression” dari pertarungan antar manusia. Jadi, selama pertarungan dalam game esports bisa dibuat agar tidak terlihat seperti senseless killing, maka esports tidak akan melanggar nilai Olimpiade.

Presiden IOC, Thomas Bach.
Presiden IOC, Thomas Bach.

Namun, ada alasan lain mengapa esports tidak bisa masuk ke Olimpiade, setidaknya saat ini, yaitu karena game merupakan produk komersil. Padahal, Olympic Charter dengan tegas melarang untuk menjadikan olahraga atau atlet sebagai alat demi kepentingan politik dan komersil. Memang, ada olahraga yang memiliki nilai komersil tinggi, seperti sepak bola dan basket. Namun, berbeda dengan game, sebuah olahraga tidak memiliki “pemilik”. Sementara dalam esportsgame yang menjadi media pertandingan merupakan produk komersil. Pembuatan, pengoperasian, dan peraturan bermain dari sebuah game sepenuhnya ada di tangan developer dan publisher.

Sama seperti olahraga tradisional kebanyakan, esports memang punya badan organisasi internasional sendiri. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF), yang didirikan di Korea Selatan pada 2008. Selain itu, juga ada Global Esports Federation (GEF) yang didirikan pada 2019 dengan sokongan dari Tencent. Dan IeSF bisa menghubungi pihak developer terkait game mereka, tapi badan esports itu tidak punya hak untuk mengubah peraturan dalam pertandingan game esports.

Esports juga sudah punya kompetisi sendiri. Dan hal ini bisa menyebabkan tabrakan jadwal. Hal ini terjadi ketika League of Legends menjadi salah satu cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018. Pertandingan Asian Games ketika itu berbarengan dengan babak final dari League of Legends World Championship. Memang, IOC bisa saja mendiskusikan masalah ini dengan pihak developer. Toh masalah ini juga terjadi di sepak bola dan bisa diselesaikan. Satu hal yang harus diingat, setiap game esports biasanya punya developer yang berbeda. Dengan kata lain, jika ada tiga game esports yang masuk Olimpiade, IOC harus membahas masalah ini dengan tiga developer yang berbeda.

Alasan terakhir mengapa esports tak bisa masuk Olimpiade adalah terkait umur hidup sebuah game esports. Berdasarkan regulasi IOC, proses untuk memasukkan cabang olahraga baru akan memakan waktu tiga tahun. Sementara skena esports berubah dengan cepat. Game esports yang tengah populer saat ini mungkin tak lagi populer beberapa tahun ke depan.

Berikut grafik dari popularitas PUBG, CS:GO, dan Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Tiga grafik di atas menunjukkan bagaimana popularitas sebuah game bisa meningkat atau menurun secara drastis dalam waktu singkat. Karena itu, menentukan game esports yang pantas masuk Olimpiade akan jadi hal yang sangat sulit.

Yohannes Siagian, Wakil Ketua Bidang Atlet, Prestasi, dan IT, Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) memiliki pendapat yang sama. “Game esports belum tentu akan bertahan selama lebih dari 1-2 masa Olimpiade, yang memiliki siklus 4 tahunan. Sehingga sulit untuk membangun konsistensi jangka panjang sebagai event,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini ketika dihubungi oleh Hybrid.

“Komunitas esports kadang terlalu sibuk mencari pengakuan dari pihak yang dianggap lebih berwenang atau berwibawa, seperti Olimpiade, sehingga tidak sadar bahwa esports sudah memiliki status yang cukup untuk membuat event sendiri,” jelas Joey lebih lanjut. “Misalnya, Olimpiade ada Olimpiade Musim Panas, Musim Dingin, dan seterusnya. Jika esports memang merasa harus menggandeng Olimpiade, mereka bisa membuat Olimpiade versi esports saja, tidak perlu digabung dengan cabang-cabang lain.” Namun, dia menekankan, jika kegiatan Olimpiade untuk esports digelar, maka pihak penyelenggara harus menentukan regulasi terkait gelar, persyaratan, dan lain sebagainya dengan sangat hati-hati.

Jadi…

 

Perlukah Esports ke Olimpiade?

“Ini perdebatan yang berjalan intens di berbagai tingkat dunia esports. Kalau menurut saya pribadi, tidak penting bagi esports untuk masuk ke SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade,” jawab Joey. “Kalau memang masuk, ya bagus. Nilai-nilai dasar Olimpiade memang berlaku di esports, tapi di sisi lain, ada hal-hal fundamental dari esports yang terlalu berbeda.” Salah satunya adalah fakta bahwa game esports merupakan intellectual property dari developer.

Soal penonton, esports telah berhasil mengumpulkan ratusan juta audiens tanpa menjadi bagian dari Olimpiade. Dan ke depan, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan naik. Pandemi virus corona tahun ini juga membuat esports menjadi booming. Sementara jumlah penonton Olimpiade terus turun. Namun, bukan berarti tidak ada keuntungan yang didapat oleh industri esports jika competitive gaming menjadi cabang olahraga di Olimpiade.

Salah satu keuntungan yang akan didapatkan oleh esports jika ia masuk ke dalam Olimpiade adalah publikasi. Misalnya, ketika tim League of Legends Tiongkok memenangkan medali emas di Asian Games 2018, kabar ini disiarkan oleh stasiun televisi nasional, mengenalkan esports pada masyarakat yang sebelumnya tak pernah mendengar tentang competitive gaming. Di Indonesia, pencarian akan esports di Google juga melunjak ketika esports menjadi bagian dari Piala Presiden.

Tak hanya itu, masuknya esports dalam Olimpiade atau ajang olahraga bergengsi lainnya akan memberikan citra positif pada esports. Memang, esports kini sudah jadi industri yang besar. Tapi, tak bisa dipungkiri, stigma negatif yang melekat pada esports dan gaming secara umum pun susah hilang. Jika esports menjadi bagian dari Olimpiade, hal ini akan membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas, khususnya oleh orang-orang yang lebih berumur alias generasi Boomers dan Gen X.

Joey setuju dengan hal ini: masuknya esports ke Olimpiade bisa membuat esports diakui oleh generasi Boomers dan Gen X. Hanya saja, dia mengingatkan, saat ini, sebagian besar masyarakat sudah sangat dekat dengan dunia digital. “Orang-orang sudah terbiasa mendengar esports jadi acara khusus, yang jika diiringi dengan promosi dan marketing yang benar, maka akan menjadi acara yang sukses,” ujarnya. “Apalagi, tim esports dan perusahaan/brand yang masuk ke esports sudah sangat ahli dalam marketing dan promosi terkait esports. Pastinya, mereka akan membuat event esports menjadi acara yang besar.”

 

Kesimpulan

Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan. Ada orang yang cerdas secara akademis, tapi tidak kuat dalam berolahraga. Atau, ada orang yang memiliki bakat seni, tapi sulit paham pelajaran eksakta. Namun, hal ini tidak menghentikan sebagian orang untuk bisa menguasai semua hal. Saya merasa, esports seperti itu.

Esports telah berhasil menciptakan ekosistemnya sendiri. Saat ini, ada ratusan turnamen esports yang diadakan setiap tahunnya, sementara jumlah penonton esports di global telah mencapai ratusan juta orang. Namun, hal itu tidak menghentikan pelaku esports untuk mencoba masuk ke ajang olahraga campuran, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.

Memang, masuknya esports ke SEA Games dan Asian Games membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas. Walaupun begitu, jia esports tak masuk Olimpiade, hal ini tidak akan mematikan esports. Seperti yang disebutkan oleh Joey, tidak semua atlet esports menginginkan kehormatan untuk membawa pulang medali di Olimpiade. Sama seperti tim sepak bola yang lebih ingin memenangkan Liga Champions atau Piala Dunia, tim Dota 2 mungkin lebih ingin memenangkan The International daripada Olimpiade.

Sumber: Forbes, TechCrunch, The Possibility Analysis of Esports Becoming an Olympic Sport, Hybrid, Round Hill Investment

Hanya Game Esports Olahraga yang Berpotensi Masuk Olimpiade

Esports tidak hanya berkembang sebagai industri, competitive gaming juga kini menjadi semakin diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, Indonesia sebagai tuan rumah Asia Games menggelar eksibisi pertandingan esports. Sementara pada tahun ini, esports menjadi salah satu cabang olahraga bermedali. Esports bahkan menyumbangkan dua medali perak untuk Indonesia. Pada tahun depan, pertandingan esports dari Street Fighter dan Rocket League akan menjadi acara pembuka Olimpiade 2020. Karena itu, tidak heran jika sebagian orang percaya, hanya masalah waktu sebelum esports menjadi bagian dari Olimpiade.

Terkait hal ini, International Olympic Committee (IOC) mengatakan, mereka siap untuk memasukkan game-game yang merupakan simulasi dari olahraga di dunia nyata, seperti sepak bola atau basket. Itu berarti, pertandingan dari game-game FIFA, MLB The Show, dan NBA 2K memiliki potensi untuk menjadi bagian dari Olimpiade, mengingat ketiga game itu merupakan game yang didasarkan pada olahraga asli, yaitu sepak bola, baseball, dan bola basket. Sayangnya, game-game olahraga biasanya tak terlalu populer di kalangan penggemar esports.

David L. | Sumber: Talk Esport

David Lappartient. | Sumber: Talk Esport

Salah satu game esports paling populer adalah Dota 2. Selain itu, Counter-Strike: Global Offensive juga cukup populer. Meskipun keduanya memiliki genre yang berbeda, dua game itu memiliki satu kesamaan. Dalam dua game tersebut, tim yang ingin menang harus bisa membunuh tim lawan. Dan inilah yang membuat IOC enggan untuk memasukkan Dota 2, CS:GO, atau game serupa ke Olimpiade. Karena game yang memiliki unsur pembunuhan dianggap bertentangan dengan nilai dalam Olimpiade itu sendiri.

International Cycling Union (UCI) President, David Lappartient, yang juga merupakan chairman dari grup esports IOC berkata, “Tentang game elektronik yang didasarkan pada olahraga, Summit melihat potensi besar untuk bekerja sama dan mengintegrasikan game itu pada kegiatan olahraga.” Sayangnya, game esports yang tidak memiliki nilai olahraga di dunia nyata tampaknya tidak akan menjadi bagian dari Olimpiade dalam waktu dekat.

IOC mengatakan, saat ini, mereka harusnya fokus pada para pemain juga gamer dan bukannya pada game esports tertentu. “Dengan fokus pada atlet, ini akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam olahraga sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari gaya hidup yang sehat,” ujar Lappartient, menurut laporan Talk Esports. Memang, menjadi atlet esports tidak semudah kelihatannya. Karena itu, organisasi esports biasanya cukup memerhatikan kesehatan fisik dan mental para pemainnya.

Pandangan Komite Olimpiade Soal Esports

Esports tidak hanya terus tumbuh sebagai industri, competitive gaming juga semakin diterima oleh masyarakat sebagai olahraga. Pada tahun lalu, esports menjadi olahraga eksibisi dalam Asian Games. Sementara pada tahun ini, esports telah menjadi cabang olahraga dengan medali. Indonesia berhasil memenangkan dua medali perak dalam game Mobile Legends dan Arena of Valor. Pada 2020, pertandingan esports Street Fighter dan Rocket League juga masuk ke sebagai kegiatan pre-event Olimpiade 2020. Tyler “Ninja” Blevins, salah satu streamer paling populer saat ini, bahkan mengatakan bahwa hanya masalah waktu sebelum esports masuk ke dalam Olimpiade.

Setelah mengadakan Olympic Summit ke-8, International Olympics Committee (IOC) mengungkap pandangan mereka tetang esports. Sebelum ini, IOC menganggap bahwa esports bisa dianggap sebagai kegiatan olahraga. Ketika itu, mereka juga meyebutkan bahwa keberadaan esports bisa membuat generasi muda lebih tertarik dengan Olimpade. Memang, sebagian besar penonton esports adalah generasi milenial dan gen Z.

Meskipun begitu, sekarang, IOC mengatakan, mereka ingin fokus pada game yang didasarkan pada olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Memang, sebelum ini, IOC pernah menyatakan kekhawatiran mereka tentang game esports yang menampilkan kekerasan secara eksplisit atau mengandung konten yang melanggar nilai Olimpiade. Mengingat anggota IOC berasal dari berbagai negara, game shooting yang bertema militer bisa menjadi masalah sensitif bagi sebagian anggotanya.

Anggota IOC dalam Summit ke-8. | Sumber: Business Insider

“Tentang game elektronik yang didasarkan pada olahraga, Summit melihat potensi besar untuk bekerja sama dan mengintegrasikan game itu pada kegiatan olahraga,” kata IOC dalam pernyataan resmi, dikutip dari Business Insider. “Banyak simulasi olahraga yang membuat para pemainnya bergerak berkat teknologi Virtual dan Augmented Reality, membuatnya semakin menyerupai olahraga tradisional. Sementara game elektronik yang lain, Summit memutuskan, sekarang, acara olahraga harusnya fokus pada pemain dan gamer daripada pada game tertentu.”

Itu artinya, IOC ingin mendorong para pemain dan gamer untuk ikut serta dalam olahraga tradisional dan mengubah gaya hidup mereka agar menjadi lebih sehat. Memang, pemain profesional bisa menghabiskan waktu setidaknya delapan jam untuk berlatih setiap harinya. Mereka juga menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tidak diketahui oleh masyarakat umum. Para gamer profesional juga mendapatkan tekanan mental layaknya atlet olahraga tradisional. Karena itu, organisasi esports biasanya menyediakan psikolog dan tak melulu mendorong pemainnya untuk bermain game untuk berlatih. Mereka juga berusaha mendorong para pemainnya untuk hidup dengan lebih sehat. Organisasi esports Gen.G bahkan memulai kampanye hidup sehat yang disebut Player Wellness Campaign.

Sumber header: The Drum

GEF: Esports dan Olimpiade Harus Saling Belajar dari Satu Sama Lain

Perjuangan para pegiat esports dunia untuk membawa bidang kompetisi ini ke ranah Olimpiade masih belum berakhir, namun saat ini sedang berada di kondisi yang kurang menguntungkan. Pasalnya, ketua Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah menyatakan bahwa esports sulit masuk ke Olimpiade karena di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang tidak selaras dengan nilai-nilai Olimpiade. IOC juga telah sepakat bahwa esports tidak akan muncul di Olimpiade Paris 2024. Perjuangan esports untuk diakui masih panjang, setidaknya hingga lima tahun ke depan.

Baru-baru ini, ESL dan The Esports Observer menggelar pertemuan di Katowice, Polandia, untuk mendiskusikan isu-isu esports lebih lanjut. Pertemuan tersebut bernama Global Esports Forum (GEF), dan dihadiri oleh beberapa petinggi esports dunia seperti Michal Blicharz (Vice President of Pro Gaming, ESL), Nicolas Besombes (penasehat Global Association of International Sports Federation), dan lain-lain. Salah satu panel diskusi dalam forum tersebut membahas topik tentang kemungkinan kerja sama antara esports dengan Olimpiade, dan apakah kerja sama itu perlu perlu terwujud.

Esports tidak harus jadi cabang Olimpiade

Menurut Blicharz, sebetulnya esports dan Olimpiade tidak saling membutuhkan bila tujuannya hanya untuk bertahan hidup. Tapi ada banyak aspek di mana dua bidang ini bisa saling membantu. Salah satunya yaitu untuk mengubah paradigma masyarakat banyak, utamanya para orang tua, terhadap video game kompetitif.

“Memiliki keterkaitan dengan Olimpiade adalah sebuah tanda pengakuan. Ini bisa membuka mata banyak orang terhadap esports. Seluruh dunia tahu tentang Olimpiade. Bila esports masuk ke dalam Olimpiade, maka para orang tua atau kakek-nenek akan lebih mudah menerima video game ketika anak-anak mereka berkata (misalnya) ingin bergabung dengan tim Astralis dan beraksi di panggung. Orang-orang berusia 35 tahun ke atas masih memiliki banyak pengaruh di dunia ini,” ujar Blicharz.

Pandangan tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Yohannes P. Siagian, kepala sekolah SMA 1 PSKD sekaligus juga Vice President EVOS Esports. Dukungan masyarakat terhadap esports ini memang sesuatu yang tidak kasat mata, tapi sebetulnya penting dalam menciptakan ekosistem esports yang berkesinambungan. “Kalau belum ada pengakuan dari masyarakat—masyarakat mainstream, bukan masyarakat gaming—akan ada suatu hambatan sosial pada saat anak-anak atau dewasa muda mau masuk ke gaming,” ujarnya dalam wawancara bersama Hybrid.

Esports juga bisa belajar dari nilai-nilai Olimpiade untuk mendorong gerakan anti korupsi, anti doping, serta perlindungan atlet. Sementara Olimpiade bisa belajar dari dunia esports untuk menyelesaikan beberapa masalah mereka yang sudah lama terjadi di beberapa tahun terakhir. Misalnya di masalah interaksi penggemar (engagement) atau kenyamanan menonton (spectatorship), yang mana keduanya sudah berhasil dilakukan esports dengan sangat baik.

Penting untuk diperhatikan bahwa jalinan kerja sama antara esports dengan Olimpiade itu wujudnya bisa bermacam-macam, tidak hanya berupa “masuknya esports sebagai salah satu cabang medali Olimpiade”. Memang hal itu bisa dibilang merupakan pengakuan tertinggi, tapi sebelum menuju ke sana pun, kedua ekosistem sudah bisa menjalin kerja sama dan saling belajar.

Nicolas Besombes berkata, “Ketika kita bicara gerakan Olimpiade, isinya bukan hanya perlombaan. Di dalamnya juga ada federasi internasional, dan komite Olimpiade. Sebelum kita bergabung ke dalam program olahraga, yang mana merupakan pengakuan tertinggi, kita punya banyak tahapan untuk dilalui. Esports tidak harus masuk ke dalam program olahraga untuk belajar dari gerakan dan federasi tersebut.”

GEF 2019 - Discussion
Panel diskusi GEF 2019 | Sumber: The Esports Observer

Banyak masalah selain isu kekerasan

Selama ini kesulitan masuknya esports ke Olimpiade selalu dikaitkan dengan kekerasan, tapi sebenarnya banyak kendala yang lebih kompleks dan penting untuk diperhatikan. Salah satunya misalnya masalah properti intelektual.

Berbeda dengan olahraga konvensional, yang kepemilikannya tidak dimonopoli pihak tertentu, setiap cabang esports adalah properti intelektual yang berada di bawah payung penerbit. Satu penerbit dengan penerbit lainnya pada dasarnya adalah saingan bisnis. Bagaimana caranya membuat mereka semua bersatu? Tentu tidak mudah.

Properti intelektual ini kemudian juga berdampak pada kelangsungan hidup suatu cabang esports yang sangat tergantung pada penerbitnya. Bila berbicara tentang olahraga konvensional, hingga sepuluh atau dua puluh tahun lagi pun suatu cabang olahraga akan tetap ada. Tapi bagaimana dengan cabang esports, misalnya Dota 2? Belum tentu.

“Ketika IOC berbicara tentang esports, mereka membicarakan esports secara keseluruhan, bukan sebagai judul-judul (game) terpisah. Tapi bila Anda merupakan pelaku esports Anda tahu bahwa ini semua adalah tentang judul-judul terpisah dan esports hanyalah sebuah istilah umum,” kata Blicharz, “Hal itu membingungkan bagi orang luar. Dan bagaimana bila ada penerbit besar yang menutup esports suatu game? Anda tentu tidak mengira olahraga handball dapat tutup sewaktu-waktu.”

Sementara dari masalah kekerasan, GEF beranggapan bahwa IOC sendiri harus segera mendefinisikan batasan yang jelas. Apa kriteria yang diperlukan suatu game agar boleh masuk ke Olimpiade? Apakah dari rating, atau kriteria lainnya? Pegiat esports perlu mengedukasi pihak penyelenggara Olimpiade tentang hal ini, dan menunjukkan bahwa ada game kompetitif yang memiliki rating untuk semua umur. Misalnya Splatoon untuk genre shooter.

IEM Katowice 2019 - Astralis
Astralis saat menjuarai IEM Katowice 2019 | Sumber: IEM

Blicharz juga menjelaskan bahwa ketika kita sudah bicara esports, gambaran kekerasan dalam suatu game itu sebetulnya menjadi tak penting. “Dalam StarCraft II, Anda harus menghancurkan lawan secara simbolis. Tapi bagi kita, kita tidak melihat perbedaan signifikan (antara StarCraft II) dengan Counter-Strike. Anda tidak mementingkan tampilan grafis, Anda hanya berpikir tentang strategi. Banyak hal yang perlu kita lakukan untuk mengedukasi mereka,” tuturnya.

Misi Olimpiade adalah untuk menyatukan dunia lewat olahraga. Dengan sudut pandang seperti itu, esports juga haruslah merupakan permainan yang bisa diterima oleh seluruh dunia. Banyak cabang esports populer yang mengandung unsur kekerasan sehingga tidak bisa diterima semua orang. Sebaliknya, game yang lebih mudah diterima masyarakat (misalnya seri FIFA) mungkin tidak bisa menarik industri esports keseluruhan. Tidak mudah mempertemukan antara dua kepentingan ini, dan mungkin akan butuh usaha panjang.

Salah satu cara yang mungkin bisa menjadi solusi adalah menggelar ajang terpisah dari Olimpiade, tapi masih berada di bawah payung Olimpiade. Dengan demikian ajang ini bisa memiliki aturan-aturan sendiri, bahkan mungkin jadwal/rentang tahun tersendiri untuk memfasilitasi kebutuhan dunia esports.

Para pegiat esports tidak boleh terlalu terburu-buru dalam memaksakan agendanya, apalagi mengingat Olimpiade adalah tradisi yang sudah berusia sangat tua. Untuk mengubahnya bisa jadi perlu waktu lama. Tapi seandainya pun perlu waktu lama, atau seandainya pun ujung-ujungnya kerja sama ini tidak membuahkan hasil, tetap ada hal yang bisa dipelajari oleh kedua belah pihak.

“Di dunia esports di mana semua hal selalu dilakukan tergesa-gesa, gerakan Olimpiade sudah sangat mapan sehingga mereka bisa menghabiskan waktu lama (untuk berubah). Bergerak lambat adalah sesuatu yang baru dalam dunia esports, dan bila akhirnya tidak membuahkan hasil, itu tidak apa-apa. Mengapa kita tidak belajar saja dari satu sama lain, berbagi pengalaman, dan saling membantu untuk tumbuh?” tutup Besombes.

Sumber: The Esports Observer

Stasiun TV Jepang NHK Siarkan Channel Khusus Berisi Konten 8K

Ketika video 4K sudah bisa dikonsumsi dan diciptakan dengan mudah menggunakan ponsel, mungkin sudah saatnya dunia menapak ke tahapan baru, yaitu 8K. Di Jepang, stasiun TV NHK sudah siap untuk menyiarkan channel khusus berisi konten video-video 8K untuk umum.

NHK yang awalnya berdiri sebagai stasiun radio ini sebenarnya sudah mengembangkan format 8K sejak lama. Mereka bahkan sempat mendemonstrasikannya di tahun 2002, dimana pada saat itu televisi HD pun masih belum umum dijumpai di rumah konsumen.

Secara teknis 8K merujuk pada resolusi 7680 x 4320 pixel. Jumlah pixel-nya 4x lipat lebih banyak dari 4K, atau 16x lebih banyak jika dibandingkan dengan resolusi full-HD. Jadi bisa dibayangkan sendiri ketajaman gambarnya seperti apa.

Perbandingan ukuran display 8K sampai dengan standard definition (SD) / Wikipedia
Perbandingan ukuran display 8K sampai dengan standard definition (SD) / Wikipedia

Lebih lanjut, format 8K yang NHK sebut dengan istilah “Super Hi-Vision” ini juga mengemas audio surround 22.2 channel. Bukan salah ketik, tetapi suara benar-benar datang dari puluhan titik di sekitar penonton. Besarnya data yang ditransfer selama siaran juga fenomenal, bisa mencapai angka 100 Gbps.

Semua itu harus dilakukan secara real-time. NHK memastikan semua perlengkapan yang mereka gunakan memenuhi standar. Pun demikian, yang belum bisa memenuhi adalah perlengkapan milik konsumen. Atau dengan kata lain, sejauh ini konsumen belum bisa memutar video 8K di rumahnya sendiri.

Untuk itu, NHK sudah menyiapkan jadwal penyiaran di tempat-tempat umum di Jepang. Channel-nya sendiri berisikan perpaduan konten 8K dan 4K, dengan fokus pada topik seni, musik, dokumenter dan olahraga. Ya, NHK memang sengaja meluncurkan channel 8K ini menjelang Olimpiade 2016, dimana harapannya di tahun 2020 nanti mereka bisa benar-benar menyiarkan Olimpiade di Tokyo dalam format 8K secara penuh.

Sumber: PC World dan NHK.

Jelang Olimpiade 2016, Twitter Hadirkan Emoji Khusus dan Perbarui Fitur Moments

Gaung Olimpiade 2016 semakin mengeras mendekati upacara pembukaannya pada tanggal 5 Agustus besok. Raksasa teknologi tidak ingin ketinggalan momentum; Google telah menyiapkan cara baru untuk memantau informasi seputar Olimpiade 2016, dan kini giliran Twitter yang turut melakukan selebrasi dengan caranya sendiri.

Jejaring sosial berlambang burung tersebut memanfaatkan salah satu fitur andalannya, yaitu hashtag. Dengan menuliskan hashtag tertentu, pengguna bisa memakai emoji khusus dalam Tweet-nya masing-masing.

Emoji cabang-cabang olahraga Olimpiade 2016 beserta hashtag-nya di Twitter / Twitter
Emoji cabang-cabang olahraga Olimpiade 2016 beserta hashtag-nya di Twitter / Twitter

Emoji edisi Olimpiade tersebut mencakup bendera 207 negara yang berpartisipasi sekaligus cabang-cabang olahraga, medali dan emoji lain yang merujuk pada tema Rio 2016. Jadi saat Anda menuliskan Tweet dengan hashtag #INA, bendera Indonesia akan muncul secara otomatis. Demikian pula dengan hashtag #Badminton, #Judo dan sebagainya.

Twitter tidak lupa memperbarui fitur Moments supaya pengguna bisa lebih mudah memantau informasi seputar Olimpiade, dimana kini terdapat tab khusus Rio 2016. Seandainya pengguna tidak sempat mengikuti Tweet dari akun resmi @Rio2016 atau atlet-atlet favoritnya, Moments akan menyuguhkan hasil ringkasannya.

Tampilan tab Rio 2016 pada fitur Moments / Twitter
Tampilan tab Rio 2016 pada fitur Moments / Twitter

Highlight hasil pertandingan, perolehan medali dan lain sebagainya bisa dipantau lewat Moments. Sayang sekali sejauh ini Moments baru tersedia di Amerika Serikat, Australia, Brasil, Inggris Raya, Kanada dan Meksiko.

Namun jangan terlalu cepat berkecil hati, sebab Twitter masih menawarkan cara lain untuk membawa aura Rio 2016 ke dekat Anda lewat Periscope dan Vine. Untuk Periscope, akan hadir channel khusus yang mengemas video-video seputar Olimpiade 2016, sedangkan di Vine pengguna bisa menyimaknya dari tab Explore.

Sumber: Twitter Blog.

Google Siapkan Fitur-Fitur Baru untuk Permudah Pemantauan Informasi Seputar Olimpiade 2016

5 – 21 Agustus mendatang, Olimpiade 2016 resmi diselenggarakan di ibukota Brasil, Rio de Janeiro. Tanpa disuruh siapa-siapa, kemungkinan besar reflek kita akan mengandalkan Google untuk memantau informasi seputar Olimpiade 2016. Itulah mengapa Google telah menyiapkan sejumlah fitur baru yang relevan dengan ajang olahraga terakbar tersebut.

Jadi saat Anda melakukan pencarian dengan keyword “rio 2016” atau semacamnya, Google akan menampilkan hasilnya dalam sebuah kartu khusus yang berisi segala informasi tentang Olimpiade 2016. Pengguna bisa melihat ringkasannya, atau mengikuti per cabang olahraga.

Jadwal setiap hari juga tidak lupa Google sajikan, dan dapat disortir berdasarkan cabang olahraga, negara maupun tahapan. Terdapat tab khusus untuk memantau para atlet yang berlaga di Olimpiade 2016, sekali lagi bisa disortir berdasarkan cabang olahraga, negara, jenis kelamin, popularitas maupun perolehan medali.

Bicara soal perolehan medali, Google juga sudah menyiapkan sebuah tab dimana pengguna bisa memantau progress tiap-tiap negara. Pengguna pun juga bisa menilik informasi lebih mendalam mengenai masing-masing negara, mulai dari acara unggulan sampai atlet-atlet yang dikirimkan.

Google mengutus kru khusus dengan perlengkapan kamera 360 derajat untuk mengabadikan Rio di Google Street View / Google
Google mengutus kru khusus dengan perlengkapan kamera 360 derajat untuk mengabadikan Rio di Google Street View / Google

Semua ini bisa diakses lewat web maupun aplikasi Google untuk Android dan iOS. Beralih ke YouTube, di situ para broadcaster resmi akan bersiap menyuguhkan highlight pertandingan demi pertandingan. Lebih lanjut, YouTube juga telah mengirimkan 15 YouTuber ternama ke Rio untuk melakukan live broadcast langsung dari venue.

Tiap-tiap venue-nya sendiri juga bisa pengguna lihat di Google Maps dalam mode Street View, mengingat Google sudah mengirimkan karyawan-karyawannya ke Rio dengan perlengkapan kamera 360 derajat. Yup, Google nampaknya cukup totalitas dalam misinya menjadi pusat informasi, khususnya untuk Olimpiade 2016.

Sumber: Google Blog.

Data Statistik Olimpiade London 2012 di YouTube

Olimpiade memang telah usai, tetapi selalu menarik untuk melihat beberapa data tentang acara olah raga yang diadakan di London kemarin, terutama dengan julukan ‘the first Social Olympic’ yang menempel pada Olimpiade tahun 2012 ini.

Salah satu yang data statistik yang menarik untuk disimak adalah dari YouTube, salah satu alasannya karena situs ini menyediakan akses khusus termasuk streaming untuk penyelengaraan Olimpiade kali ini.

Dari blog resmi YouTube, diumumkan bahwa selama Olimpiade kemarin ada 231 juta total stream yang ditonton dari seluruh US serta 64 negara di Afrika dan Asia, dari jumlah ini 72 juta berasal dari IOC YouTube Channel. Pada puncaknya, YouTube menghantarkan lebih dari 500 juta livestream secara bersamaan.

Berikut data lain yang diumumkan YouTube terkait Olimpiade London 2012, dikutip dari blog YouTube:

Around the world:

  • Giving more people access to watch live and recorded events was key. Across the US and 64 countries in Africa and Asia you watched 231 million total streams. Of those, 72 million total streams came from IOC YouTube Channel.
  • At peak, YouTube delivered video for more than half a million livestreams at the same time. That’s 5X the capacity of Wembley Stadium.
  • Live video looked better than ever before, with a 7X improvement in quality based on low buffering and high frame rates.

In the U.S:

  • We powered online coverage for NBCOlympics.com, delivering more than 159 million total streams.
  • Through NBC’s native apps, 37 percent of views came from mobile devices, and more than half were in HD.
  • The U.S. Olympic Committee YouTube Channel shared behind the scenes video with more than 6.75 million views, and 50 YouTube Creators “Invaded” London to show the full experience through their eyes.
Untuk lebih lengkap bisa di baca di blog YouTube, beberapa data lain bisa Anda lihat di sini: Foursquare, Instagram, dan Twitter.

ViaVentureBeat.

Selama Olimpiade London, Pengguna Dari 120 Negara Melakukan ‘Check-in’ di Foursquare

Masih seputar Olimpiade London 2012 yang beberapa hari kemarin telah selesai diselenggarakan. Jika sebelumnya Twitter mengumumkan berbagai data yang berhubungan dengan layanan mereka, kini layanan berbasis lokasi Foursquare mengmumumkan via Twitter bahwa lebih dari 120 negara telah melakukan check-in di layanan mereka saat Olimpiade berlangsung.

Continue reading Selama Olimpiade London, Pengguna Dari 120 Negara Melakukan ‘Check-in’ di Foursquare