Semester Pertama 2020, Pemasukan Razer Naik 25 Persen

Razer mengumumkan laporan keuangan untuk semester perta 2020 pada Rabu, 26 Agustus 2020. Dalam laporan tersebut, terlihat bahwa pemasukan Razer pada semester pertama 2020 mencapai US$447 juta (sekitar Rp6,57 triliun), naik 25 persen dari tahun lalu. Salah satu faktor yang membuat pemasukan Razer naik adalah karena meningkatnya permintaan akan hardware dan software gaming selama pandemi COVID-19. Memang, selama karantina dan lockdown berlangsung, masyarakat semakin sering bermain game dan menonton konten gaming.

“Di seluruh dunia, masyarakat diminta untuk tetap di rumah. Keadaan ini mendorong tingkat interaksi pengguna di bidang gaming dan esports,” kata Co-founder dan CEO Razer, Min-Liang Tan, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review. Meskipun begitu, pertumbuhan pemasukan Razer pada semester pertama 2020 lebih rendah dari pertumbuhan pemasukan pada semester pertama 2019. Ketika itu, pemasukan Razer meningkat hingga 30 persen.

keuangan Razer 2020

Pemasukan Razer dari tahun ke tahun.

Razer dikenal sebagai perusahaan pembuat perangkat gaming, mulai dari mouse sampai laptop gaming. Selain itu, mereka juga menawarkan software gaming dan layanan pembayaran digital.

Pada semester pertama 2020, 86 persen dari total pemasukan Razer berasal dari bisnis hardware, dengan bisnis software menyumbangkan 14 persen sisanya. Pemasukan untuk bisnis hardware Razer naik 26 persen menjadi US$382 juta (sekitar Rp5,6 triliun). Sementara jumlah akun pengguna software Razer naik dari 80 juta orang di bulan Desember 2019 menjadi 100 juta orang.

Meskipun begitu, Razer masih mengalami kerugian. Pada enam bulan pertama 2020, kerugian bersih Razer mencapai US$17 juta (sekitar Rp250 miliar), turun dari US$48 juta (sekitar Rp706 miliar) pada tahun lalu. Razer berharap, pada semester kedua 2020, bisnis mereka masiha kan terus tumbuh. Untuk itu, mereka akan memperkenalkan sejumlah produk hardware baru.

Sementara itu, Chief Strategy Officer, Lee Li Meng mengatakan bahwa Razer masih mempertimbangkan rencana mereka untuk membuat bank digital yang menargetkan generasi milenial di seluruh dunia. Razer pertama kali mengumumkan rencana mereka tersebut pada Januari 2020. Ketika ditanya apakah Razer telah mendapatkan izin untuk membuat bank digital tersebut, Lee menjawab bahwa Razer masih terus berdiskusi dengan Monetary Authority of Singapore.

5 Perusahaan akan Luncurkan Produk Co-branding bersama Tencent

Di tengah hambatan dan tantangan aktivitas bisnis dikarenakan pembatasan fisik yang berlaku hampir di seluruh negara di dunia, perusahaan raksasa asal Tiongkok, Tencent, masih terus bergerak di industri gaming dan esports. Aktivitas bisnis Tencent salah satunya terpantau dari gelaran event Tencent Global Esports Summit yang diadakan di Bo’ao, Hainan, beberapa waktu yang lalu.

Pada gelaran event Tencent Global Esports Summit. Mars Hou selaku General Manager dari Tencent Esports mengumumkan kerja sama terbaru mereka. Secara resmi di tanggal 24 Agustus 2020 kemarin Tencent memperkenalkan sejumlah brand seperti Razer, Asus, Kappa, SKG, hingga Tim Hortons.

Dari deretan nama di atas sudah barang tentu terdengar familiar di telinga mereka yang aktif di dunia gaming dan esports. Hanya saja sampai sekarang Tencent belum membuka secara langsung nilai dan jangka waktu dari kerja sama yang baru diumumkan di gelaran event kemarin.

via: Tencent Esports
via: Tencent Esports

Seperti yang diperkirakan, peripheral brand seperti ASUS dan Razer akan memproduksi produk co-branding bagi Tencent. Kali ini ASUS akan meluncurkan gawai internet router untuk menunjang aktivitas esports yang kian menuntut konektivitas yang mumpuni. Sedangkan brand SKG akan memproduksi alat pijat yang disesuaikan dengan kebutuhan atlet esports dan gamers yang sering kali harus duduk dan menundukkan kepala dalam waktu yang panjang.

Dari sisi apparel, Kappa dikabarkan akan memproduksi jersey dengan standar dan material khusus yang diperkenalkan pada produk terbaru mereka. Tidak lupa juga logo Tencent dan Kappa akan melekat pada produk yang sudah dipamerkan di waktu yang sama. Di masa depan, tampaknya akan lebih banyak teknologi yang diimplementasikan sampai kepada jersey yang dipakai oleh atlet esports.

via: Instagram timhortons
via: Instagram Tim Hortons

Salah satu kerja sama yang menarik dalam event kemarin adalah bergabungnya brand Tim Hortons yang merupakan waralaba kedai kopi yang tersohor di Kanada. Pasalnya, selain minuman beralkohol dan minuman energi, kopi sudah menjadi hal yang sangat akrab bagi khalayak luas, termasuk gamers dan atlet esports. Dalam waktu berjalan akan dirancangkan kafe Tim Hortons dengan tema dan nuansa esports yang kental. Semoga hal ini dapat diwujudkan dalam waktu dekat.

Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan Tencent turut menguatkan posisi region Asia dalam peta dunia industri gaming dan esports. Dengan berbagai langkah yang diterapkan, Tencent menjadi salah satu penggerak dalam perkembangan esports di region Asia dan mempunyai pengaruh secara global.

Razer Luncurkan Mouse dan Keyboard Wireless Non-Gaming

Produk-produk bikinan Razer selama ini identik dengan warna hitam, hijau, dan RGB. Namun seperti yang bisa kita lihat pada gambar di atas, keyboard dan mouse wireless terbaru Razer itu malah berwarna putih bersih dengan aksen abu-abu. Apakah filosofi desain Razer sudah bergeser? Tidak. Warna tersebut dipilih karena keduanya tidak termasuk dalam kategori periferal gaming.

Lihat saja mouse-nya, yang dari bentuk dan scroll wheel berbahan logamnya tampak banyak terinspirasi oleh Logitech MX Master 3, salah satu mouse terbaik bagi yang ingin memaksimalkan produktivitas. Di mata saya, desainnya kelihatan seperti hasil perkawinan Razer DeathAdder dan Razer Basilisk. Namun sebenarnya mouse bernama lengkap Razer Pro Click ini merupakan hasil kolaborasi Razer bersama perusahaan ahli ergonomi asal kota New York, Humanscale.

Seperti kebanyakan mouse Razer lain, sisi kiri dan kanan Pro Click juga memiliki lapisan bertekstur agar semakin mantap digenggam. Satu elemen desain yang saya paling suka, terutama jika dibandingkan dengan Logitech MX Master maupun Logitech M720 Triathlon (yang saya pribadi sudah pakai sejak lama, bahkan saat artikel ini ditulis pun), adalah tombol klik kiri dan kanan yang memiliki cekungan mengikuti kontur jari.

Berdasarkan pengalaman saya menggunakan Razer DeathAdder selama bertahun-tahun, cekungan di tombol benar-benar bisa memberikan kenyamanan ekstra. Memang ini harus dirasakan sendiri langsung untuk bisa mengetahui sesignifikan apa perbedaannya.

Di balik tombol tersebut, bernaung switch dengan klaim ketahanan hingga 50 juta kali klik. Secara total, Pro Click mengemas 8 tombol yang semuanya programmable via software Razer Synapse (software yang sama seperti yang Razer siapkan untuk melengkapi lini mouse gaming-nya), termasuk scroll wheel-nya yang selain dapat diklik, juga bisa diklik ke kiri atau kanan seperti Logitech M720 Triathlon – sayang tidak ada opsi untuk mengatur resistensi scroll wheel-nya.

Kompatibilitas dengan Razer Synapse ini menurut saya merupakan nilai jual yang sangat penting, sebab software tersebut memang memiliki opsi pengaturan yang amat sangat komprehensif. Sebagai perbandingan, Logitech M720 Triathlon saya cuma bisa dikustomisasi menggunakan software Logitech Options, yang fitur-fiturnya tidak selengkap software Logitech G Hub yang dirancang untuk mouse gaming. Razer di sisi lain tidak membuatkan software yang berbeda untuk mouse non-gaming-nya ini.

Meski tidak masuk kategori gaming, Pro Click rupanya tetap mengemas sensor optik dengan sensitivitas agak kebablasan; maksimum hingga 16.000 DPI, tapi saya bisa membayangkan kegunaan DPI tinggi buat yang bekerja menggunakan setup multi-monitor. Kelincahannya semakin disempurnakan oleh mouse feet dengan bahan PTFE murni – kedengarannya sepele, akan tetapi mouse gaming pun tidak semuanya dilengkapi dengan fitur ini.

Terkait konektivitas, pengguna dapat memilih antara Bluetooth atau dongle wireless 2,4 GHz yang menancap ke port USB, atau dua-duanya sekaligus. Secara total, Pro Click dapat menyambung ke empat perangkat yang berbeda, dan pengguna tinggal mengklik tombol di sisi bawah mouse untuk berpindah koneksi dari satu perangkat ke yang lain, tanpa perlu menjalani proses pairing ulang.

Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa tahan sampai 400 jam pemakaian, atau sampai 200 jam kalau tersambung via dongle USB-nya. Selagi di-charge, mouse tetap bisa digunakan seperti biasa. Catatan tambahan: konektornya masih kuno alias micro USB, dan belum USB-C.

Untuk mendampingi Pro Click, Razer juga menyiapkan mouse pad Pro Glide yang dijual secara terpisah. Namun pendamping yang lebih esensial mungkin adalah keyboard bernama Razer Pro Type berikut ini.

Secara fisik, desainnya banyak mengingatkan saya pada Razer BlackWidow, tapi tanpa tombol multimedia terpisah dan palm rest. Warna putih dan backlight yang juga putih semakin memperkuat aura minimalisnya, dan Razer tidak lupa membalut tiap-tiap tombolnya dengan lapisan soft-touch agar bisa semakin nyaman dipakai mengetik.

Yang cukup menarik adalah, sebelum ini Razer sebenarnya sudah pernah meluncurkan keyboard yang lebih difokuskan untuk bekerja, yaitu BlackWidow Lite. Pro Type bisa kita anggap sebagai versi penuhnya karena dilengkapi deretan tombol numpad. Namun kemiripan keduanya berpusat pada switch yang digunakan, yakni Razer Orange Mechanical Switches yang bersifat taktil tapi senyap, serta diklaim punya ketahanan hingga 80 juta kali klik.

Seperti halnya Pro Click tadi, Pro Type juga menyambung secara wireless via Bluetooth atau dongle USB, dan juga dapat disambungkan ke empat perangkat yang berbeda. Juga sama adalah kemudahan untuk berpindah koneksi antar perangkat; cukup dengan mengklik tombol Fn + 1 atau 2 atau 3, dan tanpa mengulangi proses pairing.

Ketiga produk untuk segmen produktivitas ini sudah Razer pasarkan sekarang juga. Di Amerika Serikat, mouse Razer Pro Click dibanderol seharga $100, keyboard Pro Type seharga $140, dan mouse pad Pro Glide seharga $10.

Sumber: Razer.

Razer BlackShark V2 Padukan Desain Klasik ala Headset Pilot Helikopter dengan Sejumlah Fitur Modern

Razer punya headset gaming baru, atau lebih tepatnya versi baru dari salah satu headset lawasnya. BlackShark V2 merupakan penerus langsung dari headset bernama sama yang Razer luncurkan sekitar 8 tahun silam, dan kalau Anda ingat dengan perangkat tersebut, bisa kita lihat bahwa Razer masih mempertahankan desain ala headset pilot helikopter pada BlackShark V2.

Desainnya tentu sudah disempurnakan. Dari segi visual, saya pribadi lebih suka generasi pertamanya yang kelihatan klasik, akan tetapi versi barunya ini sepintas terkesan lebih nyaman berkat bantalan kepala yang lebih tebal. Rangkanya terbuat dari bahan stainless steel, dan bobotnya cukup ringan di angka 262 gram.

Lapisan breathable yang membalut bantalan memory foam-nya diyakini dapat meminimalkan panas di sekitar telinga. BlackShark V2 tidak dilengkapi fitur active noise cancelling (ANC), tapi earcup-nya yang besar setidaknya bisa memberikan isolasi suara secara pasif. Satu hal yang paling saya suka dari desainnya adalah adanya kenop untuk mengatur volume di earcup sebelah kiri.

Terkait kualitas suara, BlackShark V2 mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm rancangan Razer sendiri. Namanya merujuk pada tuning yang dilakukan secara terpisah di tiap-tiap rentang frekuensi (low, mid, high), dan menurut Razer desain semacam ini mampu bertindak seperti tiga unit driver yang terpisah.

Hadir sebagai pelengkap tentu saja adalah dukungan THX Spatial Audio seperti sejumlah headset Razer yang lain. Pun demikian, yang baru di sini adalah fitur spesifik bernama THX Game Profiles, yang dirancang untuk mengoptimalkan audio di tiap-tiap game yang berbeda. Sejauh ini, Razer bilang sejauh ini sudah ada 18 judul permainan kompetitif yang didukung oleh fitur ini.

THX Game Profiles sendiri dapat diaktifkan dengan dua mode yang berbeda: Environmental Mode atau Competitive Mode. Environmental dirancang untuk meningkatkan kesan immersive yang timbul, kedengarannya cocok untuk permainan singleplayer yang santai macam Red Dead Redemption 2, sedangkan Competitive dimaksudkan untuk positioning suara yang lebih akurat.

Untuk input-nya, BlackShark V2 datang membawa mikrofon tipe cardioid yang dapat dilepas-pasang. Karakter suara yang ditangkap mikrofonnya ini bisa diatur lebih lanjut via software, sebab BlackShark V2 turut dilengkapi sound card USB dalam paket penjualannya. Sayangnya komponen ini cuma kompatibel dengan PC, dan untuk perangkat lain BlackShark V2 cuma bisa disambungkan via jack 3,5 mm.

Razer BlackShark V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100. Kalau itu terlalu mahal, Razer juga menyediakan BlackShark V2 X yang dihargai $30 lebih murah di Amerika Serikat. Desain keduanya cukup identik, hanya saja BlackShark V2 X tidak dilengkapi lapisan bantalan yang breathable seperti versi standarnya, dan kabelnya juga terbuat dari bahan karet biasa ketimbang yang sangat fleksibel (SpeedFlex) seperti di BlackShark V2.

Beberapa fitur versi standarnya juga sudah dipangkas. Yang paling utama, BlackShark V2 X tidak dilengkapi sound card USB, dan ia hanya menawarkan fitur virtual surround 7.1 generik ketimbang THX Spatial Audio. Unit driver-nya pun agak sedikit berbeda, tetap TriForce tapi tanpa balutan titanium.

Sumber: Razer.

Hasil dan Raihan Tim Indonesia dalam Turnamen Razer SEA Invitational 2020

Gelaran turnamen Razer SEA Invitational 2020 baru saja usai belakangan ini. Sambil bergandengan dengan esports organizer Tier One, Razer melangsungkan turnamen berskala regional. Sekalipun sudah melakukan usaha terbaik, tim Indonesia masih belum mengibarkan sang merah putih di ranah esports kali ini.

Selama kurang lebih 3 pekan, ada 10 negara yang mengirimkan utusannya untuk berlaga di Razer SEA Invitational 2020. Setiap tim yang berlaga di Razer SEA Invitational 2020 sudah terlebih dahulu melalui tahapan kualifikasi di negara masing-masing. Turnamen Razer SEA Invitational 2020 mempertandingkan 3 cabang game yaitu, Mobile Legends, PUBG Mobile, serta Dota 2.

Adapun kontingen asal Indonesia terdiri dari 4 tim esports yang sukses memenangkan tahapan kualifikasi nasional. Pada cabang game PUBG Mobile Indonesia diwakilkan 2 tim sekaligus yaitu, tim Red Rocket dan Dranix. Di cabang game Mobile Legends, tim Rimo Batara hadir untuk membela tim Indonesia. Tidak ketinggalan juga pada cabang game Dota 2 Indonesia diwakilkan oleh tim Army geniuses.

Di tahapan kualifikasi PUBG Mobile, tim Indonesia bermain dengan cukup baik. Tim indonesia mampu bertahan sampai circle akhir dan mengumpulkan kill point yang cukup mendudukkan mereka di posisi 4 besar. Sayangnya di babak final performa dari tim Dranix terasa menurun. Kerap kali Dranix harus bernasib too soon ketika terbunuh di fase awal pertandingan.

Akhirnya akumulasi poin bagi tim Indonesia menjadi tidak maksimal, sekalipun Tim Red Rocket bisa memberikan performa yang stabil di babak final. Raihan akhir dari cabang game PUBG Mobile Indonesia harus cukup puas finis di posisi keempat. Tim PUBG Mobile Vietnam sukses menduduki peringkat teratas dan menjadi juara.

Beralih ke cabang game Dota 2, Indonesia berhasil menyelesaikan fase grup dengan menjadi juara grup B. Indonesia secara berturut-turut mampu bermain mengungguli Team Adversity asal Brunei dan Team Veteran asal Myanmar. Di babak final upper bracket tim Army Geniuses harus berhadapan dengan tim Neon Esports asal Filipina. Tim Neon Esports berhasil memukul tim Army Geniuses ke lower bracket setelah menang dengan skor 2-0 tanpa balas.

Sayangnya, sekali lagi tim Indonesia harus menelan kekalahan dari tim 496 Gaming asal Vietnam. Meski sempat saling berbagi poin di fase grup, kali ini tim 496 Gaming menghentikan laju tim Indonesia sepenuhnya tanpa perlawanan yang berarti. Tim Neon Esports keluar sebagai juara setelah menaklukkan 496 Gaming.

Kontingen Indonesia | via: Instagram duniagames.co.id
Kontingen Indonesia | via: Instagram duniagames.co.id

Dari cabang game Mobile Legends Indonesia memulai perjalanan dari grup B. Bertanding menghadapi tim Myanmar, tim Indonesia mengalami kekalahan pertamanya. Keesokan harinya tim Indonesia bertemu dengan tim Laos dan berhasil mencetak kemenangan.

Hasil seri didapatkan tim Indonesia ketika tampil menghadapi tim Kamboja dan tim Filipina. Langkah tim Indonesia harus terhenti karena raihan poin yang tidak cukup unutk masuk ke babak playoff. Tim Filipina akhirnya bisa menjadi jawara berkat kemenangannya atas tim Vietnam di cabang game Mobile Legends.

Sebagai penutup, gelaran turnamen Razer SEA Invittational bisa menjadi bukti bahwa region Asia Tenggara adalahh region dengan ekosistem yang kompetitif dan cukup stabil.

 

Razer Huntsman Mini Ramaikan Tren Keyboard 60%

Keyboard 60% merupakan salah satu topik terhangat di industri periferal belakangan ini. Baik di kalangan enthusiast maupun gamer, keyboardkeyboard dengan ukuran mini itu sedang ramai diburu oleh konsumen, dan produsen periferal kenamaan macam Razer tentunya tak mau kehilangan momentum.

Mereka baru saja memperkenalkan Razer Huntsman Mini, versi ringkas dari keyboard inovatif bernama sama yang mereka rilis dua tahun silam. Istilah “keyboard 60%” sendiri datang dari ukuran fisiknya yang cuma 60% dari keyboard normal, dan itu juga berlaku pada Huntsman Mini. Ia bahkan lebih mungil ketimbang Razer Huntsman Tournament Edition yang masuk kategori tenkeyless (TKL) alias tanpa numpad.

Seperti seabrek keyboard 60% lain yang ada di pasaran, tentunya banyak tombol yang dieliminasi pada Huntsman Mini. Tombol arah panah, tombol F1 – F12, tombol Home, Print Screen dan kawan-kawannya sudah diubah menjadi function key, yang artinya Anda butuh kombinasi tombol tertentu untuk mengaksesnya.

Contoh yang paling gampang adalah, kombinasi tombol “fn + 1” sama saja dengan mengklik tombol “F1”, demikian pula untuk tombol-tombol lain, menyesuaikan dengan label yang ada di bagian sisi masing-masing tombol. Akses ke tombol pengontrol media pun masih tersedia; kombinasi “fn + Tab” misalnya, sama saja dengan mengklik tombol “Mute”.

Razer Huntsman Mini

Sebagai bagian dari seri Huntsman, tentu saja keunggulan utama Huntsman Mini terletak pada jenis switch yang digunakan, yakni optical switch yang diyakini lebih responsif ketimbang mechanical switch, plus memiliki ketahanan hingga 100 juta klik. Konsumen bisa memilih antara varian switch yang bersifat clicky atau linear, dan Razer mengklaim varian linearnya ini lebih senyap ketimbang yang ada pada Huntsman Tournament Edition.

Setiap switch dibungkus oleh keycap berbahan doubleshot PBT, bahan yang lebih tangguh ketimbang ABS yang umum dipakai di banyak keyboard, dan yang tidak mudah menyisakan bekas minyak dari jari-jari pengguna. Rangka keyboard-nya sendiri terbuat dari material aluminium, dan Razer tak lupa menyertakan kabel USB-C berwujud braided untuk Huntsman Mini (bisa dilepas-pasang).

Razer Huntsman Mini

Pertanyaannya, untuk siapa keyboard kecil seperti Huntsman Mini ini? Untuk gamer yang punya space terbatas di atas mejanya, untuk mereka yang memerlukan area pergerakan mouse yang lebih luas dari biasanya. Keyboard 60% pada dasarnya merupakan tandem yang sangat pas bagi para pemain game FPS kompetitif yang terbiasa menggunakan setting DPI rendah pada mouse-nya, yang kerap terlihat lebay saat menyapukan mouse-nya.

Daripada harus memiringkan salah satu sisi keyboard supaya tidak terbentur mouse (‘teknik’ yang umum saya jumpai pada banyak gamer kompetitif), menggunakan keyboard 60% jelas merupakan solusi yang lebih ideal, bahkan lebih ideal lagi ketimbang keyboard TKL.

Di Amerika Serikat, Razer Huntsman Mini saat ini telah dipasarkan seharga $120 untuk versi clicky-nya. Versi linearnya akan menyusul di bulan Agustus dengan banderol $130, sama persis seperti harga Huntsman Tournament Edition. Pilihan warnanya sendiri ada hitam atau putih.

Sumber: Razer.

Razer DeathAdder V2 Mini Ramaikan Pasar Mouse Gaming Super-Ringan

Salah satu tren terbaru di industri gaming peripheral adalah mouse yang masuk kategori ultra-lightweight alias lebih ringan dari biasanya. Sejumlah pabrikan memenuhi demand di kategori ini dengan mengadopsi desain bolong-bolong alias honeycomb. Buat Razer, arahan yang mereka ambil rupanya cukup berbeda.

Ketimbang ikut latah menciptakan mouse berdesain honeycomb, Razer memilih untuk menciutkan sejumlah mouse besutannya yang memang sudah mendapat respon positif dari konsumen. Hasil eksekusi idenya pertama kali melahirkan Razer Viper Mini, dan sekarang giliran salah satu mouse terlarisnya yang dibuat mengecil, yakni Razer DeathAdder.

Dinamai DeathAdder V2 Mini, ia merupakan versi yang lebih ringkas dari DeathAdder V2 yang dirilis di bulan Januari lalu. Wujud ergonomisnya sama sekali tidak berubah, demikian pula layout tombolnya yang sederhana. Yang berbeda hanyalah ukurannya; panjangnya menyusut menjadi 114,2 mm, lebarnya 65,4 mm, dan tingginya 38,5 mm, menjadikannya lebih cocok untuk konsumen yang bertangan kecil, atau yang terbiasa menggenggam dengan teknik claw grip.

Bobotnya pun otomatis turun menjadi 62 gram (belum termasuk bobot kabel), atau sekitar 3/4 bobot versi standarnya. Satu hal yang juga perlu dicatat adalah, tombol di bawah scroll wheel-nya (yang secara default berfungsi untuk mengganti DPI) cuma satu seperti DeathAdder versi lawas, bukan dua. Total ada 6 tombol di mouse ini yang semuanya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Bicara soal DPI, sensor optik milik DeathAdder V2 Mini menawarkan sensitivitas maksimum 8.500 DPI, bukan 20.000 DPI seperti versi standarnya, dan kecepatan tracking-nya juga lebih lamban di angka 300 IPS. Beruntung Razer tetap menyematkan switch optiknya di sini, switch yang sama persis seperti milik DeathAdder V2 maupun Basilisk V2.

Juga ikut diwariskan adalah kabel braided yang fleksibel (Speedflex), serta mouse feet dari bahan PTFE murni guna memastikan pergerakan mouse yang mulus. Untuk semakin memantapkan genggaman, Razer turut menyertakan semacam stiker bertekstur dalam paket penjualannya, yang dapat konsumen tempelkan pada sisi kiri dan kanan mouse, serta pada kedua tombol utamanya.

Di Amerika Serikat, Razer DeathAdder V2 Mini sekarang telah dipasarkan seharga $50, selisih $20 dari versi standarnya. Semoga saja ia bisa segera masuk ke pasar Indonesia, sebab sebagai eks pengguna DeathAdder Chroma yang merasa mouse itu agak kebesaran, saya tidak sabar untuk bisa mencoba versi mungil dari mouse paling nyaman buat saya ini.

Sumber: The Verge.

Razer Luncurkan Aplikasi THX Spatial Audio untuk Windows 10

2016 lalu, Razer membuat kejutan dengan mengakuisisi THX, dan sejak saat itu mereka getol memanfaatkan branding sang spesialis audio di balik franchise Star Wars tersebut sebagai nilai jual ekstra pada sejumlah produknya.

Ambil contoh headset Razer Kraken Ultimate, yang salah satu fitur andalannya adalah dukungan teknologi THX Spatial Audio. Dibandingkan teknologi virtual surround 7.1 biasa, THX Spatial Audio diklaim punya akurasi yang jauh lebih baik, tidak ketinggalan pula opsi kustomisasi yang amat lengkap.

Pertanyaannya, cukupkah nama besar THX menjadi penentu utama dalam membeli sebuah gaming headset? Sebagian besar konsumen mungkin bakal menjawab tidak, apalagi mengingat gaming peripheral merupakan sebuah topik yang amat subjektif. Kabar baiknya, sekarang ada cara untuk mengawinkan teknologi THX Spatial Audio dengan gaming headset favorit kita masing-masing.

Lewat sebuah siaran pers, Razer mengumumkan bahwa mereka telah merilis aplikasi Razer THX Spatial Audio buat platform Windows 10. Jadi apapun headset yang Anda pakai, baik yang tersambung via jack 3,5 mm, USB, ataupun Bluetooth, semuanya dapat disulap menjadi setup virtual surround 7.1 yang presisi.

Ini juga termasuk earphone sekaligus, sebab Razer mengklaim rendering engine milik THX mampu menciptakan efek 3D yang akurat dari perangkat stereo. Untuk perangkat yang memang mendukung surround 5.1 atau 7.1, akurasinya dapat ditingkatkan lebih lagi, apalagi mengingat ada opsi untuk mengatur posisi speaker secara virtual (kalibrasi).

Salah satu opsi kustomisasi yang sangat berguna: fitur spatial audio dapat diaktifkan per aplikasi / Razer
Salah satu opsi kustomisasi yang sangat berguna: fitur spatial audio dapat diaktifkan per aplikasi / Razer

Kustomisasi via software ini menurut saya merupakan aspek penting lain di samping rendering engine-nya, sebab Razer memang punya reputasi yang sangat baik dalam hal ini. Kalau tidak percaya, lihat saja betapa lengkapnya opsi kustomisasi mouse yang tersedia dalam software Razer Synapse.

Kustomisasi juga menjadi pembeda utama Razer THX Spatial Audio dengan fitur bawaan yang tersedia di Windows 10, yaitu Windows Sonic. Fitur ini pada dasarnya bisa memberikan efek surround yang serupa pada perangkat stereo, namun tanpa opsi kustomisasi sama sekali; yang ada cuma tombol On atau Off.

Razer THX Spatial Audio di sisi lain turut menyediakan fitur pemanis macam dukungan Xbox Game Bar, yang berarti widget-nya dapat diakses langsung dari dalam game dengan menekan kombinasi tombol Win + G, sehingga pengguna bisa dengan cepat mengganti profil EQ maupun mengakses sejumlah fungsi lainnya.

Aplikasi Razer THX Spatial Audio sekarang sudah bisa dibeli seharga $20, dan Anda bisa tonton video di bawah (menggunakan headphone) untuk mendapat gambaran terkait kapabilitas yang ditawarkannya.

Sumber: Razer.

Review Razer Basilisk V2: Tampilan Garang dengan Fitur-Fitur Matang

Jika sebelumnya saya memberikan penilaian saya untuk keyboard SteelSeries Apex 7, kali ini saya akan menuliskan review Razer Basilisk V2 yang baru saya beli bulan Mei 2020 lalu. Makanya, review ini baru keluar sekarang meski mouse ini sudah dirilis awal tahun 2020, bersamaan dengan DeathAdder V2.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa review gaming peripheral sepenuhnya subjektif karena akan sangat bergantung pada pengalaman, kemampuan bermain, dan ukuran fisik sang reviewer. Karena itulah, saya juga merasa harus menyebutkan pengalaman saya sebagai justifikasi atas penilaian saya kali ini.

Saya sendiri memang sudah menggunakan belasan mouse dari Razer dan puluhan gaming peripheral lainnya sejak tahun 2008. Di sisi lain, saya harus mengakui bahwa kemampuan gaming saya juga memang mungkin menyedihkan kawkawkawkawk… Setidaknya jika dibandingkan dengan pro player game FPS ataupun MOBA PC yang menuntut kelincahan dan akurasi super tinggi dalam menggunakan mouse.

Saya sendiri juga sebenarnya lebih suka game-game singleplayer ataupun cooperative seperti Borderlands 3 ataupun The Outer Worlds yang mungkin tidak menuntut kelincahan dan akurasi aiming layaknya CS: GO. Namun setidaknya, karena memang lebih suka memainkan game-game singleplayer, sudah cukup banyak game-game yang saya selesaikan Single Player Campaign-nya — sekitar 2000 judul game PC dari sejak saya mengenal PC gaming di 2003.

Saya kira cukup latar belakang saya yang mungkin bisa Anda pertimbangkan juga saat membaca review Razer Basilisk V2 kali ini.

Bodi dan Fisik Razer Basilisk V2

Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid
Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid

Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ingin memilih gaming mouse untuk dibeli adalah ukurannya, apakah nyaman di tangan dan sesuai dengan gaya menggenggam mouse Anda — apakah itu palm, claw, ataupun fingertip grip. Pasalnya, jika ukuran mouse terlalu kecil untuk tangan, Anda tak mungkin juga menggunakan gaya palm jika gaya itu yang paling sering digunakan.

Saya sendiri lebih terbiasa menggunakan palm grip dengan ukuran tangan sedang (tidak besar, tidak kecil juga) untuk ukuran orang Indonesia dan saya sangat nyaman menggunakan Basilisk V2 ini. Seperti yang saya tuliskan di review sebelumnya, saya bisa bermain game 8 jam tanpa henti — kecuali mungkin ke toilet. Saya pun merasakan kenyamanan sempurna dengan mouse yang satu ini.

Basilisk V2 juga menawarkan 11 tombol yang bisa diganti fungsinya — programmable buttons. Saya memang biasanya tidak menggunakan tombol di bawah scroll, yang biasanya digunakan untuk mengganti sensitivitas — termasuk 2 tombol di bawah scroll di mouse ini. Meski begitu, Razer Naga adalah mouse favorit saya sampai hari ini karena menawarkan 12 tombol di sisi kiri badan — untuk ibu jari. Jadi, saya memang sudah terbiasa untuk memanfaatkan side buttons di gaming mouse.

side buttons di Basilisk V2 juga sangat nyaman digunakan, meski sayangnya tidak sebanyak Razer Naga. Namun, 1 tombol samping di paling depan kurang pas dengan lokasi ibu jari saya sehingga tidak secepat mengakses 2 tombol samping lainnya saat permainan sedang berjalan dengan tempo cepat. Jadi, biasanya saya memilih untuk menggunakan tombol tersebut untuk fungsi yang tidak terlalu butuh kecepatan — seperti membuka map (biasanya tombol M di keyboard). Selain itu, 2 tombol yang ada di samping sangat cepat diakses dan nyaman dipencet.

Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid
Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid

Saya juga suka melihat tampilan Basilisk V2 yang terlihat garang — tidak seperti DeathAdder V2 yang lebih subtle. Oh iya, finishing dan bodi Basilisk V2 juga terasa solid layaknya mouse premium — sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan.

Selain satu tombol samping yang sedikit terlalu jauh tadi, saya sungguh tidak bisa mencari kekurangan lain dari aspek bodi dan fisik yang ditawarkan oleh mouse yang satu ini.

Kecepatan, Akurasi, dan Klik Switch Razer Basilisk V2

Tentu saja, akurasi aiming dan kecepatan gliding juga akan jadi salah satu pertimbangan utama buat Anda para gamer dalam menentukan mouse yang ingin digunakan. Basilisk V2 juga sempurna dalam hal ini. Oh iya, mengingat akurasi dan kecepatan sensor juga bergantung dengan mousepad yang Anda gunakan, saya menggunakan Razer Goliathus Control dengan mouse ini.

Sensor Focus+. Sumber: Razer
Sensor Focus+. Sumber: Razer

Untuk akurasi dan kecepatan yang tak bercela, hal ini mungkin memang sudah sesuai ekspektasi. Spesifikasi yang diungkap Razer untuk Basilisk V2 ini sensornya bisa mencapai 20ribu DPI dengan teknologi Focus+ sensor optical dan akurasi 99.6%. Selain itu, ia juga menyuguhkan akselerasi sampai dengan 650 inci per detik atau 50G. Meski memang sebenarnya tidak ada gamer yang menggunakan DPI ataupun akselerasi tadi sampai mentok, saya kira teknologi sensor Focus+ dengan akurasi 99.6% tadi yang membuat mouse ini sangat nyaman untuk aiming dan gliding.

Dari pengalaman saya mencobanya di Borderlands 3 dan The Outer Worlds, mouse ini sungguh sempurna karena tidak terasa licin namun sangat responsif — beberapa mouse yang sangat responsif kadang terasa sedikit terlalu licin untuk saya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal switch klik yang digunakan. Faktanya, mouse Razer itu dulu memang terkenal dengan masalah double click. Saya bahkan membeli Razer Naga generasi pertama sampai 3 kali dan ketiganya berakhir dengan masalah double click. Namun demikian, saya cukup salut dengan keputusan Razer yang mengakui masalah tersebut dengan mengganti switch yang digunakan. Dari pengalaman saya, switch klik yang biasanya berakhir double click adalah switch dari Omron yang kelas murahan — yang bahkan masih digunakan di mouse gaming beberapa merek lainnya.

Di Basilisk V2 ini, Razer menggunakan optical switch yang diklaim mampu bertahan sampai dengan 70 juta kali pencetan. Sebelum saya memutuskan membeli mouse ini, saya juga sempat googling dengan kata kunci “Razer Basilisk V2 double click” ataupun “razer optical mouse switch double click“. Hasilnya, sentimen netizen tentang mouse ataupun switch ini sangat positif. Setidaknya saya belum menemukan postingan soal double click untuk Basilisk V2 saat menulis artikel ini. Sepertinya, Razer memang berhasil menemukan desain switch yang mampu terhindar dari masalah paling menyebalkan sepanjang sejarah gaming mouse.

Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer
Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer

Meski begitu, saya juga tidak bisa memastikan 100% karena saya memang baru menggunakan mouse ini sekitar sebulan lebih. Selain itu, bisa jadi karena memang mouse ini baru dirilis di awal tahun, belum ada netizen yang melaporkannya. Semoga saja saya ingat untuk meng-update review ini jika terjadi masalah double click dengan mouse saya. Wkwakwakwa

Oh iya, terakhir sebelum saya menutup bagian ini, selain Basilisk V2, Razer juga menggunakan optical switch dan sensor Focus+ di DeathAdder V2, Viper Ultimate, dan Basilisk Ultimate. Nah, yang jadi pertimbangan adalah harga Razer DeathAdder V2 yang dibanderol dengan harga (kurang lebih) Rp200 ribu lebih murah.

Fitur Tambahan Razer Basilisk V2

Jika dibandingkan dengan DeathAdder V2 yang sedikit lebih murah tadi, fitur tambahan yang ada di Basilisk V2 adalah kecepatan scroll yang bisa diatur — dengan menggeser roda yang ada di bagian bawah mouse ini. Di satu sisi, saya sendiri menyukai fitur ini — karena bisa berguna buat fungsi makro yang butuh kecepatan namun tetap terukur. Namun demikian, saya juga tahu fitur ini mungkin tidak akan berguna buat gamer lainnya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal Razer Synapse (versi yang saya gunakan saat menulis ini adalah 3.5.531). Saya tahu banyak orang mungkin tidak terlalu memusingkan soal software gaming peripheral namun saya memang suka bermain-main dengan fungsi makro.

Saya bisa katakan bahwa Razer Synapse menyuguhkan fungsi makro terbaik dari semua software gaming peripheral yang pernah saya gunakan. Semua fungsi makro yang bisa ditemukan di software brand lain (seperti SteelSeries Engine) bisa dilakukan di sini. Namun Razer Synapse menawarkan kelebihan lain, yaitu merekam pergerakan mouse. Dengan begitu, saya bisa menggunakan fungsi makro untuk menekan recoil di game-game FPS.

Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse
Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse. Sumber: screenshot pribadi.

Fungsi makro biasanya lebih sering digunakan di game-game RPG ataupun RTS yang butuh banyak tombol namun Razer Synapse memungkinkan fungsi makro jadi begitu bermanfaat buat game FPS.

Kesimpulan

Saat saya mencoba mouse ini, sebenarnya saya memang sengaja mencari-cari kekurangannya. Namun sampai artikel ini ditulis, saya tidak mampu menemukannya. Satu kekurangan minor mungkin adalah soal salah satu tombol di kiri mouse yang terlalu jauh tadi. Namun kekurangan tersebut sebenarnya sangat tidak signifikan karena saya juga masih menggunakannya — seperti memasukkan tombol map saat di game ataupun menyetel fungsi CTRL+I saat mengedit ataupun mengetik artikel.

Jika berbicara soal kompetitor terberat Basilisk V2, produknya juga mungkin datang dari Razer; DeathAdder V2 yang sama-sama menggunakan sensor Focus+ dan optical switch untuk kliknya. Namun demikian, jika Anda tanya saya, saya akan memilih Basilisk V2 karena selisih harganya yang tidak berarti di kisaran ini. Plus Basilisk V2 punya tampilan yang lebih garang dan scroll yang bisa disesuaikan kecepatannya.

Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer

Razer Blade Pro 17 Unggulkan Layar 300 Hz atau 4K 120 Hz

Laptop 17 inci adalah spesies langka yang kerap diperlakukan sebagai pengganti komputer desktop. Tidak banyak pabrikan yang memproduksinya belakangan ini, akan tetapi beberapa yang eksis sudah pasti tidak mau berkompromi. Salah satunya adalah generasi terbaru Razer Blade Pro 17 berikut ini.

Menyusul Blade Stealth 13 dan Blade 15 edisi 2020 yang sudah hadir lebih dulu, Blade Pro 17 datang membawa penyegaran spesifikasi. Semua variannya kini mengemas prosesor terbaru Intel Core i7-10875H (Comet Lake), sedangkan GPU-nya bisa dipilih antara Nvidia RTX 2070 atau RTX 2080 Super.

Dibandingkan dengan laptop 17 inci lain, semisal Dell XPS 17 yang juga masih sangat gres, Blade Pro 17 unggul soal performa grafik, tapi kalah soal CPU. Itu dikarenakan Dell XPS 17 dapat dikonfigurasikan dengan prosesor Intel Core i9-10885H pada varian termahalnya.

Razer Blade Pro 17

Secara default, Blade Pro 17 mengemas RAM 16 GB, tapi konsumen bisa menambahkan sampai 64 GB jika perlu. Perihal storage, perangkat bisa menampung dua SSD tipe PCIe NVMe dengan kapasitas masing-masing 2 TB, memberikan total ruang penyimpanan sebesar 4 TB. Semua ini dikemas dalam rangka aluminium dengan tebal nyaris 2 cm dan bobot 2,75 kg.

Tidak kalah istimewa adalah layar 17,3 incinya. Ada dua varian yang ditawarkan: 1080p 300 Hz, atau 4K 120 Hz touchscreen. Bukan, tujuan yang hendak dicapai di sini bukanlah menyajikan pengalaman gaming dalam resolusi 4K 120 fps, sebab RTX 2080 Ti pun masih kesulitan melakukannya.

Varian dengan layar 4K ini jelas lebih ditujukan bagi para kreator konten, dan refresh rate 120 Hz tentunya bisa membantu mereka dalam kegiatan seperti menyunting video. Sayangnya, Razer tidak menyertakan dukungan atas teknologi variable refresh rate (Nvidia G-Sync maupun AMD FreeSync) di sini.

Razer Blade Pro 17

Blade Pro 17 juga tidak mengecewakan soal konektivitas. Selain Wi-Fi 6 dan Bluetooth 5, ia turut dibekali port Ethernet, HDMI 2.0b, tiga port USB-A, dua port USB-C (salah satunya Thunderbolt 3), dan UHS-III SD card reader. Di saat darurat, Blade Pro 17 dapat di-charge menggunakan charger USB-C 20V.

Di Amerika Serikat, Razer Blade Pro 17 bakal dipasarkan dengan harga mulai $2.600. Sebagai perbandingan, Dell XPS 17 rencananya akan dijual dengan banderol mulai $1.500, meski memang spesifikasi Blade Pro 17 lebih superior pada varian termurahnya, dan Anda tak akan mendapat layar dengan refresh rate tinggi jika memilih penawaran Dell.

Sumber: Razer.