Strategi LinkAja Menuju Profitabilitas, Fokus ke Pasar BUMN (UPDATED)

Berdarah-darahnya persaingan di area fintech digital payment B2C membuat LinkAja memutuskan untuk mengalihkan bisnisnya ke B2B dan B2B2C sejak 2021. Diklaim dari berbagai strategi efisiensi untuk pivot, telah membuahkan hasil. Sejak Juni 2023 hingga kini, LinkAja telah mencapai posisi EBITDA positif, artinya tinggal sedikit langkah menuju laba.

“LinkAja dalam dua tahun terakhir berturut-turut berhasil menurunkan cost opex 50%, tapi berturut-turut menaikkan revenue hingga 30%. Per Juni, Juli, dan Agustus [2023] selama tiga bulan berturut-turut sudah capai EBITDA positif,” terang Chief Finance and Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo kepada media di Jakarta, Selasa (19/9).

Walau tidak disebutkan secara rinci, ia menyampaikan kenaikan pendapatan ini disokong oleh berbagai inisiatif perusahaan sejak pivot dari B2C, sebagai berikut:

  • Kontribusi bisnis dari lima layanan utama, secara berturut-turut berdasarkan kontributor terbesar adalah produk transfer uang ke rekening bank, beli pulsa, pembayaran PPOB, top up/withdraw saldo, dan manajemen supply chain bersama Telkomsel (agen pulsa DigiPos) dan Pertamina.
  • Efisiensi aktivitas pemasaran turun hingga 98%, sekarang cashback sudah hampir tidak ada.
  • Optimalisasi teknologi dan infrastruktur pendukung, termasuk e-KYC turun sekitar 30%.
  • Merumahkan ratusan karyawan pada Mei 2022.

Menurut Reza, peningkatan ini sangat luar biasa karena perusahaan sekarang sudah tidak lagi bicara mengenai pengguna aktif bulanan (MAU) dan nilai transaksi bruto (GMV) sebagai indikator kinerja, melainkan unit economics yang sudah terpampang nyata.

“Ke depannya kita mau menaikkan revenue yang seperti ini. Ekspektasi kita revenue di 2023 bisa naik 30% dari 2022. Di 2021 itu kita naik 30% setelah menurunkan cost hingga 60%. Loss [EBITDA] tinggal 99%, masih sedikit lagi untuk positif bila secara full year 2023.”

Di balik pencapaian tersebut, ada satu hal yang menarik bahwa jumlah pengguna LinkAja menunjukkan tren penurunan. Namun di saat yang bersamaan, tingkat retensinya meningkat di angka 90%. Reza menjelaskan, hal ini terjadi karena pengguna LinkAja yang ada saat ini tergolong berkualitas. Salah satu kemungkinan terbesar yang mereka lakukan adalah lebih sering bertransaksi.

Ambil contoh, perusahaan melakukan renegosiasi untuk revenue sharing dengan perbankan untuk layanan transfer uang. Dari awalnya gratis tanpa biaya admin, kini dikenakan biaya Rp1.000. Perolehan uang tersebut sepenuhnya masuk ke kantong LinkAja.

“Dibandingkan tiga tahun lalu, ARPU (average revenue per user) sekarang 5-7 kali lipat kenaikannya, dibandingkan kita spend marketing gede-gedean.”

Walau terjadi tren penurunan, pihaknya memastikan bahwa sebenarnya yang diincar adalah pengguna yang berkualitas dan loyal. Jadi masalah kuantitas tidak begitu berpengaruh bagi LinkAja. Kendati demikian, Reza mengaku sudah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk kembali mendongkrak jumlah pengguna ke depannya. Ia ingin setiap uang yang diinvestasikan harus balik menjadi pendapatan perusahaan.

Berdasarkan data internal perusahaan, total pengguna LinkAja yang teregistrasi mencapai 91 juta orang. Tidak disampaikan pengguna aktifnya saat ini.

“Kita mau biarkan turun sementara [jumlah pengguna] untuk jaga profitabilitas. Yang penting proft dulu, jadi benar-benar enggak ada ruang untuk lemak, tinggal daging yang jadi otot.”

Model bisnis LinkAja

Dengan model bisnis B2B dan B2B2C, LinkAja memanfaatkan posisinya yang strategis dengan jajaran investor dari perusahaan pelat merah. Disebutkan sebagian besar perusahaan pelat merah —beberapa adalah pemegang saham di LinkAja— ini adalah pemilik pangsa pasar terbesar di industrinya masing-masing di Indonesia, seperti Telkomsel dan Pertamina.

Menggarap pasar captive jadi lebih masuk akal karena masih banyak potensi yang belum tergarap. Strategi ini selaras dengan ambisi awal dibangunnya LinkAja, yakni berupaya meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia di kota lapis dua dan tiga.

Saat ini, pemegang saham pengendali di LinkAja adalah Telkomsel. Lalu disusul BRI, Bank Mandiri, BNI. Berikutnya, Pertamina, Jasa Marga, Taspen, dan lainnya punya persentase yang kurang lebih sama.

“Daripada kami compete di area yang sama [pemain e-wallet lainnya], lebih baik compete di SOE (state-owned enterprise) karena rata-rata leader di tiap industri itu dari SOE. Kalau startup lain harus ketok pintu satu-satu, tapi LinkAja sudah ada akses.”

Dicontohkan inisiatif B2B yang sudah berjalan, yakni manajemen rantai pasok bersama Telkomsel dan Pertamina. Bersama Telkomsel, melalui aplikasi agen pulsa Digipos, LinkAja menjadi penghubung alat pembayaran, antara agen pulsa dengan diler. Aplikasi tersebut juga telah ditenagai dengan PPOB, sehingga mereka tidak jualan pulsa saja. Diklaim transaksi pembelian pulsa di Digipos mencapai miliaran Rupiah.

“LinkAja adalah satu-satunya alat pembayaran di Digipos, jadi 100% uang berputar di sana. Ini sudah ngomong tentang supply chain di belakangnya. Jadi sekarang kita enggak cuma B2C e-wallet tapi jadi infrastruktur pembayaran.”

Contoh sukses ini akan direplikasi ke manajemen rantai pasok lainnya di ekosistem BUMN. Pertamina misalnya, untuk aplikasi MyPertamina, kini metode pembayarannya bertambah, ada OVO dan GoPay. Induk GoPay adalah pemegang saham di LinkAja, sedangkan OVO adalah afiliasi dari Grab, salah satu investor LinkAja.

Untuk memperkuat infrastruktur pembayaran, LinkAja berencana untuk menambah izin sebagai gerbang pembayaran. Langkah ini akan ditempuh dengan cara organik, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Terlebih saat ini LinkAja sudah memperoleh kategori izin tertinggi dan hanya dibutuhkan beberapa persyaratan lagi untuk mendapat lisensi gerbang pembayaran.

Ambisi yang akan dicapai setelah memperoleh izin tersebut adalah memungkinkan mitra B2B LinkAja untuk tarik dana di kanal mana pun. Saat ini pengguna LinkAja dapat tarik tunai via ATM Himbara. “Jadi kami tidak compete dengan Xendit atau payment gateway yang lain.”

Reza juga mengungkap bahwa sebelum tutup tahun, perusahaan akan melakukan penggalangan dana untuk mengejar pertumbuhan. Terdapat investor existing dan baru dari luar negeri yang akan bergabung.

Aplikasi khusus BUMN

LinkAja

Dalam rangka menggarap pasar captive di ranah B2B2C, baru-baru ini LinkAja merilis aplikasi LinkAja dengan tampilan khusus (skin) BUMN. Tampilan ini diperuntukkan buat para pegawai BUMN dengan fungsi sebagai aplikasi pembayaran dan komunikasi terpadu seputar kementerian maupun perusahaan BUMN yang tergabung di dalamnya.

Tak hanya itu, aplikasi tersebut juga dapat diutilisasi sebagai media promosi terkait produk dan layanan masing-masing perusahaan BUMN.

Disebutkan ada lebih dari 200 ribu karyawan BUMN sudah terdaftar dapat menikmati produk, program, informasi, layanan, dan bertransaksi aktif dalam aplikasi. Bila ditotal ada lebih dari 1 juta karyawan yang berpotensi menjadi pengguna.

“Game besarnya di aplikasi ini ada banyak. Ada yang mau kita replikasi, salah satunya loyalty exchange nanti bisa terintegrasi oleh antar aplikasi BUMN. Lalu kita juga bisa tawarkan produk kasbon ke karyawan BUMN. Strategi seperti ini yang nantinya akan jadi nilai tambah dari kita.”

Nasib terkini iGrow

Terkait nasib iGrow, Reza menuturkan saat ini pihaknya masih menjalani proses hukum untuk bertanggung jawab terhadap gugatan yang dilayangkan oleh sejumlah eks lender karena masalah gagal bayar. Ia pun siap menjalani proses tersebut.

“Kami tetap berusaha menyelesaikan langkah penyelesaian, termasuk apabila aset borrower harus ditarik untuk dikembalikan lagi ke lender. Komitmen kami terhadap iGrow cukup kuat.”

Saat ini proses mediasi antar kedua belah pihak masih buntu karena penggugat mencabut gugatannya untuk sementara dan sedang mempersiapkan gugatan baru.

Sembari proses tersebut kelar, nama badan hukum dan brand telah diubah per Agustus kemarin. Dari PT iGrow Resources Indonesia menjadi PT LinkAja Modalin Nusantara, dengan nama brand LinkAja Modalin Powered by iGrow.

Persiapan ini dalam rangka pivot bisnis dari pembiayaan di industri agrikultur menjadi UMKM close loop di dalam ekosistem BUMN. Produk-produknya adalah Retailer Financing, Invoice Financing, Invoice Financing Mitra Telkomsel, dan Distributor Financing.

“Kami masih terus carikan solusi untuk penyelesaian [pembiayaan agri] sampai clear dan bisnis baru juga sudah clear, baru kita sampaikan ke OJK. Setiap bisnis baru itu kan harus dapat persetujuan dari OJK. Modalin sekarang belum efektif berjalan, tapi kami sudah intensif berkomunikasi dengan OJK dan partner di BUMN,” pungkasnya.

*) Kami memperbaiki informasi struktur pemegang saham di LinkAja

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Sejak Pivot Tahun Lalu, LinkAja Klaim Raihan Kinerja Positif

LinkAja mengungkapkan kinerja yang positif semenjak pivot bisnis tak lagi fokus ke konsumer langsung (direct consumer) pada tahun lalu. Kini LinkAja bermain di B2B2C yang mengandalkan ekosistem BUMN.

Dalam keterangan resmi, Direktur Keuangan & Strategi LinkAja Reza Ari Wibowo menyampaikan, perubahan model bisnis ini sejalan dengan kondisi di industri teknologi global yang sedang mengalami paradigm shifting. Sebelumnya selalu mengejar growth at-all-cost sekarang menjadi path to profitability dan sustainability.

“Di LinkAja, kami sudah melakukan shifting menuju profitability dan sustainability secara bertahap semenjak 2021 dengan membaca arah pergerakan industri. Salah satunya yakni dengan memperkuat model bisnis B2B2C kami yang berfokus pada ekosistem BUMN, yang terbukti sangat efektif dan efisien,” ujarnya.

Pada segmen B2C, LinkAja mengutamakan low-cost user acquisition & retention yang berfokus pada ekosistem BUMN. Hal ini diklaim efektif dan efisien bagi perusahaan. Pada tahun lalu, perusahaan mengimplementasikan solusi keuangan digital dengan Telkomsel, Pertamina, dan Himbara (Himpunan Bank Negara).

Di ekosistem Telkomsel, perusahaan mendigitalkan supply chain tradisional Telkomsel di lebih dari 300 ribu peritel dengan kenaikan pendapatan hampir 90%. Ke depannya, inisiatif tersebut akan dilanjutkan ke tingkat distributor.

Selanjutnya untuk ekosistem Pertamina, LinkAja memperkuat positioning aplikasi MyPertamina, yang berdampak pada pertumbuhan pendapatan eksponensial sebesar 1.600%. Terakhir, use case terkait Himbara memperlihatkan pertumbuhan pendapatan yang sangat signifikan sebesar 80%.

Adapun untuk segmen B2B perusahaan memfokuskan pada end-to-end value chain dari sisi tradisional dan digital, dengan masuk pembayaran, digital goods, dan bisnis lending.

Pada 2021, LinkAja mengakuisisi iGrow yang kini ditransformasi menjadi LinkAja Modalin. Ada tiga model pembiayaan yang disediakan, Invoice Financing, Retailer Financing, dan Agri Ecosystem Financing. Penggunanya adalah Telkomsel, SIG (Semen Indonesia), dan e-Fishery. Melalui lini bisnis ini, perusahaan akan meningkatkan kapabiltasnya untuk mendukung ekosistem BUMN secara closed-loop.

Kalah saing

LinkAja sedari awal tidak dibekali dengan dana jumbo seperti pemain sejenisnya di sektor pembayaran. Sementara bukan jadi rahasia di dunia bisnis digital, strategi bakar duit adalah jalan cepat untuk menjadi pemain yang dominan —apabila bermain di segmen ritel (konsumer) dan fokus mengejar pertumbuhan. Hal ini secara langsung berdampak pada biaya pemasaran membengkak dan menghambat profitablitas perusahaan.

Menurut riset yang dilakukan Populix pada pertengahan tahun lalu berjudul “Consumer Preference Towards Banking and E-Wallet Apps”, memperlihatkan 10 aplikasi e-wallet yang paling banyak digunakan masyarakat. LinkAja menempati urutan ke-5 (30%). Secara berurutan, GoPay berada di urutan pertama (88%); DANA (83%), OVO (79%), ShopeePay (76%).

Mengutip dari Investor.id, LinkAja disebut-sebut akan beralih ke bisnis lending dan menyasar ke ekosistem Pertamina dan Telkom. Untuk mendukung itu, bakal ada suntikan dana secara bertahap dari Telkom dan perusahaan pelat merah lainnya.

Menurut Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, pihaknya sedang mendorong beberapa investor untuk sudah memberikan komitmennya. Sekitar Maret atau April dana akan diberikan dari Telkom dan Himbara. “Maka dari itu kita dorong untuk lending, tapi di ekosistem retailer sama distributor Telkom sama Pertamina,” kata Kartika.

Kinerja keuangan

LinkAja memaparkan kinerja pada tahun lalu sebagai berikut:

  • Pendapatan operasional (revenue growth) tumbuh hampir 30% (dalam YOY)
  • Beban operasional (operational expense) turun lebih dari 50%
  • Biaya pemasaran (marketing expense) turun lebih dari 90%
  • Biaya operational and maintenance (O&M exspense) turun lebih dari 30%
  • Rasio pendapatan terhadap biaya promosi ditekan menjadi 0.1x dari 1.3x
  • Average Revenue per User (ARPU) naik 215%
  • Basket size ARPU naik 55%
  • Retention rate naik lebih dari 70%
  • EBITDA loss ditekan lebih dari 60%

Menurut Reza , dengan EBITDA loss yang mampu ditekan ini memperlihatkan bahwa perusahaan semakin on-track untuk merealisasikan komitmen mencapai EBITDA positif dalam waktu dekat.

Sebagai catatan, EBITDA berguna dalam menghitung arus kas bisnis. Jika EBITDA perusahaan negatif, ia memiliki arus kas yang buruk. Tetapi EBITDA positif tidak secara otomatis berarti bisnis memiliki profitabilitas yang tinggi.

Untuk target tahun ini, perusahaan akan melanjutkan sinergi dengan ekosistem BUMN yang lebih komprehensif dan berkesinambungan. Ditargetkan dapat mencetak pertumbuhan pendapatan lebih dari 80% dengan penurunan beban operasional sebesar 35%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Beberapa inisiatif strategis yang akan dilakukan adalah B2B2C approach —yang mana LinkAja akan menggandeng beberapa perusahaan di bawah kementerian BUMN untuk menjadi penyedia layanan disbursement insentif. Dengan demikian, LinkAja mampu mendapatkan user base besar yang bersifat captive tanpa biaya akuisisi dan retensi.

Reza melanjutkan, konsekuensi yang diambil saat memutuskan untuk fokus pada profitabilitas terkadang harus berani menutup layanan atau use case yang memiliki komponen biaya lebih tinggi dibandingkan pendapatan, dengan tetap menjaga kualitas layanan ke pengguna.

Diklaim keputusan tersebut mampu membuat LinkAja menjadi antitesis di industri digital, ditandai dengan kenaikan pendapatan yang signifikan dan penurunan biaya yang drastis, di tengah situasi industri teknologi yang menantang.

“Ke depannya kami berharap menjadi role model di industri teknologi di Indonesia melalui model bisnis yang lebih profitable dan sustainable, dengan tetap memberikan layanan transaksi digital terintegrasi yang aman dan nyaman [..],” tutup dia.

Dalam menjaga kinerja, perusahaan juga melakukan langkah efisiensi dengan merumahkan “PHK” sekitar 200 karyawannya pada Mei 2022. Pasca pengumuman tersebut, perusahaan mengaku beban operasional perusahaan turun lebih dari 50%.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here