Vidio Miliki 62 Juta Pengguna, Perbanyak Hak Siar Olahraga untuk Tingkatkan Pelanggan Berbayar

Vidio makin percaya diri menjadi penantang lokal untuk platform over-the-top (OTT), khususnya di layanan video on-demand (VOD). Berbagai upaya dilakukan, mengingat saat ini potensi penonton VOD semakin besar di Indonesia. Menurut hasil riset terbaru The Trade Desk dan Kantar, 1 dari 3 orang Indonesia menonton OTT dengan tingkat pertumbuhan 25% yoy.

Melalui grup perusahaannya, EMTEK, Vidio akan segera menyiarkan perhelatan olahraga yang cukup signifikan peminatnya, yakni Piala Dunia dan Liga Inggris, untuk melengkapi konten-konten olahraga yang sebelumnya ada. Dinilai ini akan menjadi langkah penting dalam meningkatkan jumlah pengguna, khususnya pelanggan berbayar. Karena untuk mengakses tayangan olahraga premium tersebut pengguna harus berlangganan di paket khusus yang disediakan.

“Vidio juga terus berusaha untuk semakin memantapkan posisinya sebagai platform OTT ‘home of sports’ yang selalu menyajikan tayangan olahraga dan hiburan terbaik serta terlengkap. Vidio pun menargetkan akan terjadinya pertumbuhan eksponensial di tahun 2022 ini” ujar Managing Director Vidio Monika Rudijono kepada DailySocial.id.

Saat ini, Vidio berbagai pertandingan sepakbola dari liga-liga terbaik dunia dan lokal seperti: BRI Liga 1, Liga 2, Liga 3, LaLiga, UEFA Europa League, UEFA Champions League, hingga puncaknya World Cup Qatar 2022. Tak ketinggalan ada juga cabang olahraga basket seperti NBA dan IBL, serta tenis dalam ajang WTA (Women’s Tennis Association), hingga balap Formula 1 yang tengah berlangsung pada bulan Maret ini hingga November 2022 mendatang.

Statistik pertumbuhan bisnis

Turut disampaikan oleh Monika, hingga penutupan Q4 2021 Vidio telah mengalami peningkatan jumlah monthly active users (MAU) mencapai 62 juta pelanggan. Di antara basis penggunanya, 2,3 juta di antaranya adalah pengguna berbayar.

“Vidio menutup Q1 2022 dengan pertumbuhan pelanggan berbayar 1,9x dibandingkan Q1 2021,” imbuhnya.

Mengutip laporan Media Partner Asia Q4 2021, Vidio mendapatkan peringkat #1 untuk OTT di Indonesia, didasarkan pada MAU dan durasi tonton para penggunanya. Sementara itu untuk jumlah pelanggan berbayar, Vidio ada di peringkat #3 setelah Netflix dan Viu.

Vidio sendiri memiliki posisi yang unik, selain dengan konten berseri dan film seperti yang dimiliki Netflix, mereka juga menayangkan program live – termasuk siaran dari televisi lokal. Makin relevan lagi di saat penetrasi smart TV semakin meningkat.

Masih dari hasil riset The Trade Desk, saat ini penonton OTT dengan smartphone masih mendominasi, namun demikian penggunaan smart TV juga semakin meningkat di angka 29%. Bahkan dari survei yang dilakukan, 27% pengguna OTT berencana membeli smart TV baru dalam 6 bulan mendatang.

Strategi penguatan bisnis

Dengan varian konten yang dimiliki, Vidio tidak bergantung sepenuhnya kepada model bisnis berlangganan. Karena bagi penonton yang menikmati konten gratis, mereka juga akan disuguhkan dengan iklan layaknya di televisi tradisional. Iklan ini juga menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan untuk penyelenggara OTT.

Hal ini dikarenakan preferensi pengguna OTT di Indonesia masih sangat divergen. Sebagian besar menikmati platform yang memberikan opsi gratis dengan iklan dan berbayar.

Preferensi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Selain meningkatkan kuantitas konten olahraga, disampaikan oleh VP Marketing Vidio Rezki Yanuar dalam sebuah wawancara, strategi yang tengah digenjot adalah melahirkan konten-konten orisinal. Di tahun 2021 sudah mulai agresif, ada 7 serial yang diproduksi dan ditayangkan.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Di luar konten, beberapa strategi bisnis juga digencarkan, termasuk kerja sama dengan operator telekomunikasi. Vidio ditempatkan sebagai layanan add-on untuk pelanggan. Hal ini dianggap jadi langkah efektif karena berpotensi untuk mendapatkan early adaptor lebih banyak.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Mengulas Bisnis Layanan “Video Streaming” di Masa Pandemi

Kondisi pandemi Covid-19 membatasi aktivitas sosial masyarakat dan menciptakan kebiasaan baru, termasuk dalam mencari hiburan.

DailySocial bersama Rezki Yanuar dari Vidio membahas dampak pandemi dan perubahan cara konsumen dalam menikmati layanan video streaming.

Untuk video selanjutnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Vidio to Strengthen Strategy Amidst the Momentum of OTT Business Growth

The over the top (OTT) platforms are reaching its highest growth momentum. Social restrictions due to the pandemic, encourage people to look for alternative entertainment when they are at home. Video apps have become one of the most popular choices — at least as mentioned by several surveys, including the recent one by The Trade Desk and Kantar.

Obviously, the industry players won’t waste this opportunity, especially local players. Vidio, an OTT platform under Emtek, has recently become a hot topic. Apart from its impressive performance, with the constant position at the top of the rankings for apps in the entertainment/video category, they are also rumored to have planned some strategic actions.

It was rumored that the on-demand video giant Netflix was interested in investing in Vidio. But when we confirmed, the company replied that so far the information is market speculation. Meanwhile, company executives, in several interviews with the media, said that at this time Vidio was indeed open to obtaining external funding [beyond the injection of the parent conglomerate group].

Business growth

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar, said that growth in terms of revenue in Q1 2020 increased by 3-4 times compared to the previous year. This is also driven by the number of users who heavily increased. The exponential traffic occurred around April 2020, at that time one of Vidio’s strategies was to offer free access, also to facilitate changes in consumer behavior in the first phase of PSBB.

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar / Vidio

The growth is also supported by the applied business model. There are two approaches, the first is free access to certain content [movies, series, TV streaming] with advertisements. Next, the premium access to exclusive content such as football match. The first model is considered to be a good bridge to convert new audiences, especially those who are unfamiliar with OTT services or [free] TV viewers.

“OTT is similar to e-commerce services in the past. At first, people were not familiar with the fact that shopping had to be charged for shipping, but now they are getting used to it. It’s the same with OTT, when people get value or benefit from the shows that are presented, they can understand when they have to pay. to watch certain shows,” Rezki said.

To date, Vidio already has more than 1.5 million paid subscribers. In addition to sports broadcasts, his team said that original content was the most popular. For this reason, they are quite aggressive in production this year,  there are currently 7 series ready to be aired. The aggressive move of local content is also seen as a way for Vidio to reach more Indonesian filmmakers.

Indonesia’s OTT market

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Indonesia’s streaming app competition / DailySocial

The OTT industry is in fact, very competitive. The premature market results in massive penetration of foreign players. For local players like Vidio, unique selling points are crucial in order to bring more value to its users.

Responding to market competition, the Vidio team is quite confident that with their knowledge of the local content industry they believe they can better understand the entertainment needs of the Indonesian people. Moreover, Vidio has the support of one of the oldest media companies in Indonesia.

“The most significant OTT competition is content. Marketing and good products are useless without content that can fulfill user needs. For that, we have three pillars related to content, live streaming, sports, and original series/films,” Rezki added.

Understanding of Indonesian culture is very useful as a strong capital for companies to compete. This includes the old habit of consuming pirated content. Vidio has an anticipatory step by having a special team that works with other digital platform providers such as Google or Facebook.

Collaboration with telco

Another strategy taken to expand its content coverage is to collaborate with other content producers. There are several collaboration agendas, but the Vidio team cannot reveal anything yet to the public. Fox Sports is an example of  Vidio’s company partner to enter its content ecosystem. Sports shows such as F1 racing or MotoGP are considered to have a fairly good level of demand in Indonesia.

Collaboration is also intended to launch a monetization strategy. Vidio collaborates with some telecommunications and broadband companies as service distribution channels. In fact, the conversion of premium users from this partnership is quite large. In its form, Vidio access is used as an add-on to telecommunications/data services sold to customers. Also, payment options include paying for a Vidio subscription with a balance cut mechanism. Regarding this payment, the portion is quite large compared to others.

Business plan

Despite the rumors circulating about the fundraising plan, Vidio is indeed trying to become a stronger and independent business entity. He admitted that he aggressively escalating business since last year. The OTT market is very sexy, the company group also provides support, therefore, Vidio is getting serious working on its potential.

“Emtek as a group is well aware that even the future of the entertainment business is digitization. This is a strong reason to push Vidio to go further,” Rezki said.

In general, there are several aspects to be accelerated as a strategy to grow the business. First, the content expansion. Second, product innovation — including supporting live streaming activities, interactive quizzes for complementary events, and other gamification features. And third, Vidio seeks to increase marketing and distribution channels, not only to the smartphone platform but also to smart tv.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Vidio Perkuat Strategi di Tengah Momentum Pertumbuhan Bisnis OTT

Platform over the top (OTT) tengah mendapatkan momentum pertumbuhan terbaik. Pembatasan sosial akibat pandemi, mendorong masyarakat untuk mencari hiburan alternatif ketika di rumah saja. Aplikasi video menjadi salah satu yang menjadi banyak pilihan — setidaknya dibuktikan oleh beberapa survei, termasuk yang baru-baru ini dilakukan The Trade Desk dan Kantar.

Jelas, pelaku industri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, tak terkecuali para pemain lokal. Vidio, platform OTT di bawah naungan Emtek, menjadi buah bibir beberapa waktu terakhir. Selain performanya yang cukup mengesankan, dengan selalu bertanggar di peringkat teratas untuk aplikasi di kategori hiburan/video, mereka juga dikabarkan telah merencanakan beberapa aksi strategis.

Sempat beredar kabar bahwa raksasa video on-demand Netflix tertarik untuk berinvestasi ke Vidio. Namun ketika kami konfirmasi, perusahaan menjawab bahwa sejauh ini informasi tersebut adalah spekulasi pasar. Sementara eksekutif perusahaan, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media, mengatakan bahwa saat ini Vidio memang tengah terbuka untuk mendapatkan pendanaan eksternal [di luar suntikan grup konglomerasi induk].

Pertumbuhan bisnis

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, pertumbuhan dari sisi revenue pada Q1 2020 meningkat 3-4x lipat dibanding periode tahun sebelumnya. Ini salah satunya didorong dengan jumlah pengguna yang menarik derastis. Lonjakan trafik eksponensial terjadi sekitar bulan April 2020, kala itu salah satu strategi yang dilakukan Vidio menggratiskan tontonan untuk pengguna salah satunya untuk memfasilitasi perubahan perilaku konsumen di fase PSBB pertama.

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar / Vidio

Pertumbuhan juga didukung oleh model bisnis yang diaplikasikan. Ada dua pendekatan, pertama adalah akses gratis di konten-konten tertentu [film, serial, streaming TV] disertai iklan. Kemudian yang kedua premium, untuk akses ke konten eksklusif seperti tayangan pertandingan bola. Model pertama dinilai menjadi jembatan yang apik untuk mengonversi penonton baru, khususnya dari kalangan yang sebelumnya tidak terbiasa dengan layanan OTT atau penikmat TV [gratisan].

“OTT mirip layanan e-commerce dulu. Awalnya orang tidak familiar kalau belanja harus dikenakan ongkos kirim, namun makin ke sini makin terbiasa. Sama halnya dengan OTT, ketika orang sudah mendapat value atau benefit dari tontonan yang dihadirkan, mereka bisa memahami ketika harus membayar untuk menonton tayangan tertentu,” ujar Rezki.

Hingga saat ini, Vidio sudah memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan berbayar. Selain tayangan olahraga, pihaknya mengatakan bahwa konten orisinal menjadi yang paling banyak diminati. Untuk itu, di tahun ini mereka cukup agresif melakukan produksi, sejauh ini ada sekitar 7 serial yang siap ditayangkan. Agresivitas konten lokal ini sekaligus dipandang sebagai salah satu cara bagi Vidio untuk merangkul lebih banyak sineas dari Indonesia.

Pasar OTT Indonesia

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial

Tidak dimungkiri bahwa industri OTT juga sangat kompetitif. Masih hijaunya pasar Indonesia membuat para pemain luar berbondong-bondong masuk. Bagi pemain lokal seperti Vidio, unique selling point menjadi hal krusial untuk dibentuk guna menghadirkan nilai lebih bagi penggunanya.

Menanggapi soal kompetisi pasar, tim Vidio cukup percaya diri, bahwa dengan pengetahuannya tentang industri konten lokal mereka yakin bisa lebih mengerti kebutuhan hiburan masyarakat Indonesia. Terlebih Vidio memiliki dukungan salah satu perusahaan media tertua di Indonesia.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Pemahaman tentang kultur di Indonesia juga dijadikan modal yang kuat bagi perusahaan untuk bersaing. Ini termasuk dengan kebiasaan lama mengonsumsi konten bajakan. Vidio memiliki langkah antisipatif dengan memiliki tim khusus yang bekerja sama dengan penyedia platform digital lain seperti Google atau Facebook.

Kerja sama dengan telko

Strategi lain yang dilakukan untuk memperluas cakupan konten adalah berkolaborasi dengan produsen konten lain. Ada beberapa agenda kerja sama, namun tim Vidio belum bisa membeberkannya ke publik. Fox Sports adalah salah satu contoh perusahaan yang digandeng Vidio untuk masuk ke ekosistem kontennya. Tayangan olahraga seperti balap F1 atau MotoGP dinilai memiliki tingkat permintaan yang cukup bagus di Indonesia.

Kerja sama juga termasuk dilakukan untuk melancarkan strategi monetisasi. Vidio menggandeng sejumlah perusahaan telekomunikasi dan broadband sebagai kanal distribusi layanan. Diakui, konversi pengguna premium dari kerja sama ini cukup besar persentasenya. Bentuknya, akses Vidio dijadikan add-on ke layanan telekomunikasi/data yang dijajakan ke pelanggan. Juga, opsi pembayaran langganan Vidio dengan mekanisme potong pulsa. Soal pembayaran ini, disampaikan juga porsinya sangat besar dibanding yang lain.

Rencana bisnis

Terlepas dari rumor yang beredar seputar rencana penggalangan dana, Vidio memang tengah berupaya menjadi entitas bisnis yang lebih kuat dan mandiri. Pihaknya mengaku sudah mulai agresif melakukan eskalasi bisnis sejak tahun lalu. Pasar OTT sangat sexy, grup perusahaan pun memberikan dukungan agar Vidio makin serius menggarap potensinya.

“Emtek secara grup sadar betul, bahkan masa depan bisnis hiburan adalah digitalisasi. Ini jadi alasan yang kuat untuk mendorong Vidio melangkah lebih jauh lagi,” ungkat Rezki.

Secara umum ada beberapa aspek yang akan digenjot sebagai strategi menumbuhkan bisnis. Pertama ialah perluasan konten. Kedua, inovasi produk — termasuk mendukung kegiatan live streaming, kuis interaktif untuk komplementer acara, dan fitur gamifikasi lainnya. Dan yang ketiga, Vidio berupaya untuk meningkatkan kanal pemasaran dan distribusi, tidak hanya ke platform smartphone tapi juga mulai ke smart tv.

Application Information Will Show Up Here

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Vidio’s Way to Capture Indonesian Market

The natural selection of the video on demand market in Southeast Asia has already taken place. iFlix and Hooq run out of fuel. iFlix was acquired by Tencent, while the remnants of Hooq were acquired by Coupang. In Indonesia, the video on demand industry competition is quite fascinating. Video as a local player managed to compete with Viu and Netflix. Vidio proves that their strategy to capture Indonesian market has finally gaining results.

Vidio team told DailySocial that their application managed to get 5 million downloads in April 2020. The visitor rate has reached 60 million times a month. An increase also occurred in downloads through Smart TV which reached 1 million downloads until July 2020.

“This increasing number shows the great enthusiasm of the people for Vidio’s features and services. The thing is, this growth occurred during the Covid-19 pandemic. This shows a change in Indonesian people’s habit to enjoy online entertainment content,” Vidio’s VP Marketing Rezki Yanuar explained.

Platform transformation and content improvement

Since it was first launched, Video has undergone some adjustments. In the beginning of its appearance, Vidio carried the concept of User Generated Content (UGC). Progressively, Vidio was transformed into a video on demand platform that not only provided films but also sports news footage, series, and other original content.

Vidio’s Chief Product Hadikusuma Wahab (Dhiku) explained this is inseparable from the demand of the Indonesian market that requires longer and higher quality content.

“[…] The growing interest in original content is now one of Vidio’s leading features. For us, consumer demand is the most important thing. Therefore, we have moved towards OTT applications (over the top) since 2019. in order to present the best content and services for the Indonesian people. This strategy has proven to produce Vidio’s ever-increasing customer loyalty and is recognized as a local OTT to be proud of,” Dhiku added.

According to Vidio’s Chief Content, Tina Arwin, it has launched several original series contents with various genres since 2019 in few categories, romance, thriller, comedy, and action. Some titles including Girls in The City, Heart Series, I Love You Baby, Get Married the Series, Jawara, On The Weekend, and Omen were successfully produced by Vidio to meet the demands of the Indonesian people for content demand.

“Vidio’s viewers and partners are the main strength of Vidio’s continued growth. We strongly believe that interesting content presented by a good platform, with strong marketing and distribution, will not succeed without an audience that continues to love domestic content and products. We want to thanking the Indonesian audience and our partners who made Vidio what it is today,” Vidio’s COO Hermawan Sutanto said.

Competition with foreign platforms

Quoted from a report, Vidio ranks second as the most popular platform in Indonesia after Viu. He became the only local video on demand player that triumphed in his country. Even in Indonesia, despite being blocked by a giant operator group, Netflix still competes in the top three.

Facing this intense competition, Hermawan explained three important points of their strategy to compete.

The first strategy is content. Hermawan said that content is the king of everything. Indonesian male audiences, for example, enjoy watching sports content such as Shopee Liga 1, UEFA Champions League, UEFA Europa League, NBA, and One Championship. These shows are exclusive content that can only be watched on the Vidio platform.

For drama fans, besides having original content, Vidio also has popular FTV shows, Mini-Series from TV, local films, Korean dramas, and featured soap operas aired on SCTV and other local television. Running under the same group as two popular TV channels in Indonesia is one of its own advantages.

Aside from content, product innovation is one of Vidio’s focuses to raise interest of many Indonesian users. Hermawan said, his platform has the fastest product customization capabilities considering all are developed by local young talents.

“This is reflected in the Vidio platform development that is massively available, not only on Android and iOS, but also available on Android Smart TVs, Tizen (Samsung), WebOS (LG), to Linux. What makes us proud is that the Vidio platform always features as a recommendation application for entertainment on all platforms, from mobile phones to TVs,” Hermawan explained.

Vidio also innovates by developing interactive features, such as quizzes, games, and polls.

Last is to optimize existing marketing channels. In addition to his position as a member of a large media group in Indonesia, Vidio also believes that cooperation with related parties is able to have a big impact. For example, working with Smart TV developers to become a pre-installed application, working with telecommunications operators to facilitate payment and others.

“Vidio’s collaboration with e-commerce and fintech [platforms] has also encouraging results. Vidio is currently the OTT [platform] with the most sales [voucher codes] at Shopee and LinkAja in June 2020. Achievements that can only be achieved by working with the same value as the partners,” Hermawan explained.

Understanding Indonesian market

Some video on demand platform providers have proven themselves how hard it is to win the hearts of Indonesian users. As Vidio observes, Indonesian users are quite distinct, therefore, they need efforts to present diverse content on their platforms and education to continue for them to love and support Indonesian original content, products and works.

“We always prioritize product development to ensure user’s convenience while using the Vidio application. In addition, we will be more intensive to collaborate with distribution partners to introduce Vidio closer to the Indonesian people,” explained Rezki.

One of the challenges of many video-on-demand platforms in Indonesia is piracy. Even though there are already many legal platforms present in Indonesia, illegal platforms cannot be blocked.

Vidio has continued to actively educate the public that OTT is the best option at an affordable price to be able to enjoy quality content while helping the national creative industry grow.

“Vidio also works with content owners, OTT partners in the industry, and is part of related associations to work with Google, Facebook, and other global platforms to reduce piracy with more intensive education,” Hermawan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bagaimana Vidio Menangkan Hati Pengguna Indonesia

Seleksi alam pasar video on demand di Asia Tenggara sudah terjadi. iFlix dan Hooq kehabisan bahan bakar. iFlix diakuisisi Tencent, sementara sisa-sisa Hooq yang dilikuidasi diakuisisi Coupang. Di Indonesia, persaingan industri video on demand cukup menarik. Vidio sebagai pemain lokal berhasil bersaing dengan Viu dan Netflix. Vidio membuktikan strategi yang mereka jalankan untuk mengambil hati pengguna Indonesia mulai membuahkan hasil.

Kepada DailySocial, tim Vidio mengklaim aplikasi mereka berhasil mendapatkan 5 juta unduhan di bulan April 2020 saja. Jumlah kunjungan pada waktu itu menyentuh angka 60 juta kali dalam sebulan. Peningkatan juga terjadi pada unduhan melalui Smart TV yang mencapai 1 juta unduhan hingga Juli 2020.

“Peningkatan ini menunjukkan besarnya antusiasme masyarakat terhadap fitur dan layanan yang Vidio sajikan. Menariknya peningkatan ini terjadi di masa pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menikmati konten hiburan secara online,” terang VP Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Transformasi platform dan kekuatan konten

Sejak pertama kali diluncurkan, Vidio telah mengalami sejumlah penyesuaian. Di awal kemunculannya, Vidio mengusung konsep User Generated Content (UGC). Lambat laun Vidio bertransformasi menjadi platform video on demand yang tak hanya menyediakan film tetapi juga cuplikan berita olahraga, serial, dan konten-konten original lainnya.

Chief Product Vidio Hadikusuma Wahab (Dhiku) menjelaskan, hal tersebut tidak terlepas dari permintaan pasar Indonesia yang membutuhkan konten-konten yang lebih panjang dan lebih berkualitas.

“[…] Meningkatnya ketertarikan terhadap konten lokal original yang sekarang menjadi salah satu ujung tombak Vidio. Bagi kami, kebutuhan konsumen adalah hal yang terpenting. Maka dari itu, sejak tahun 2019, kami bergerak ke arah aplikasi OTT (over the top) demi menyajikan konten dan layanan terbaik untuk masyarakat Indonesia. Terbukti strategi ini menghasilkan loyal customer Vidio yang terus meningkat dan diakui sebagai OTT lokal yang bisa dibanggakan,” imbuh Dhiku.

Menurut penuturan Chief Content Vidio Tina Arwin, sejak tahun 2019 pihaknya sudah meluncurkan beberapa konten original series dengan berbagai genre, baik itu romansa, thriller, komedi, maupun aksi. Judul-judul Seperti Girls in The City, Heart Series, I Love You Baby, Get Married the Series, Jawara, On The Weekend, dan Omen berhasil diproduksi Vidio untuk memenuhi permintaan masyarakat Indonesia akan kebutuhan konten.

“Penonton dan Partner Vidio-lah yang menjadi kekuatan utama Vidio terus bertumbuh. Kami sangat percaya konten yang menarik disajikan oleh platform yang bagus, dengan marketing dan distribusi yang kuat, tidak akan berhasil tanpa penonton yang terus mencintai konten dan produk dalam negeri. Kami ingin berterima kasih bagi penonton Indonesia dan partner kami yang telah menjadikan Vidio seperti sekarang ini,” ujar COO Vidio Hermawan Sutanto.

Kompetitif melawan platform asing

Dikutip dari sebuah laporan, Vidio menempati posisi kedua sebagai platform terpopuler di Indonesia setelah Viu. Ia menjadi satu-satunya pemain video on demand lokal yang berjaya di negaranya. Di Indonesia pun, kendati sempat diblokir grup operator raksasa, Netflix masih bersaing berada di tiga besar.

Menghadapi persaingan ketat ini, Hermawan menjelaskan tiga poin penting strategi mereka untuk bersaing.

Strategi yang pertama adalah konten. Hermawan menyebutkan konten adalah raja segalanya. Penonton laki-laki Indonesia misalnya, gemar menonton konten olahraga seperti Shopee Liga 1, UEFA Champions League, UEFA Europa League, NBA, dan One Championship. Tayangan-tayangan tadi merupakan konten ekslusif yang hanya bisa dinikmati di platform Vidio.

Untuk penggemar drama, selain memiliki konten original, Vidio juga memiliki tayangan FTV, Mini Series populer dari TV, film lokal, drama Korea, dan sinetron unggulan yang tayang di SCTV dan televisi lokal lainnya. Berada di bawah naungan grup yang sama dengan dua kanal TV populer di Indonesia menjadi salah satu keunggulan tersendiri.

Selain konten, inovasi produk menjadi salah satu fokus Vidio untuk bisa dicintai banyak pengguna di Indonesia. Hermawan menuturkan, platform-nya memiliki kemampuan kustomisasi produk tercepat mengingat semua dikembangkan oleh talenta muda lokal.

“Hal ini tercermin dengan pengembangan platform Vidio yang tersedia secara masif, tidak hanya di ponsel Android dan iOS, tapi juga tersedia di Smart TV Android, Tizen (Samsung), WebOS (LG), hingga Linux. Yang sangat membanggakan adalah platform Vidio ini selalu di-feature sebagai aplikasi rekomendasi untuk hiburan di semua platform, dari ponsel hingga TV,” terang Hermawan.

Vidio juga berinovasi dengan mengembangkan fitur interaktif, seperti kuis, game, dan juga polling.

Terakhir adalah dengan memaksimalkan kanal pemasaran yang ada. Selain memanfaatkan posisinya sebagai anggota grup media besar di Indonesia, Vidio juga percaya bahwa kerja sama dengan pihak-pihak terkait mampu memberikan dampak besar. Contohnya bekerja dengan pengembang Smart TV untuk menjadi aplikasi pre-installed, kerja sama dengan operator telekomunikasi untuk memudahkan pembayaran, dan lainnya.

“Kerja sama Vidio dengan [platform] e-commerce dan fintech pun membuahkan hasil yang membanggakan. Vidio saat ini menjadi [platform] OTT dengan penjualan [kode voucher] terbanyak di Shopee dan LinkAja dalam bulan Juni 2020. Pencapaian yang hanya bisa dicapai dengan kerja sama erat dengan para partner,” terang Hermawan.

Memahami penonton Indonesia

Beberapa penyedia platform video on demand sudah membuktikan sendiri bagaimana beratnya mengambil hati pengguna Indonesia. Pihak Vidio mengamati, pengguna Indonesia cukup beragam sehingga perlu upaya menghadirkan konten yang beragam di platform mereka dan edukasi untuk terus mencintai dan mendukung konten, produk, dan karya asli Indonesia.

“Kami juga selalu mengedepankan pengembangan produk untuk memastikan kenyamanan pengguna selama menggunakan aplikasi Vidio. Tidak hanya itu, kami akan lebih bergerilya untuk menjalin kerja sama dengan partner-partner distribusi untuk memperkenalkan Vidio lebih dekat dengan masyarakat Indonesia,” terang Rezki.

Salah satu tantangan banyak platform video on demand di Indonesia adalah pembajakan. Kendati sudah banyak platform legal yang hadir di Indonesia, platform ilegal seolah tak bisa dibendung keberadaannya.

Pihak Vidio hingga kini terus aktif mengedukasi masyarakat bahwa OTT merupakan opsi terbaik dengan harga terjangkau untuk bisa menikmati konten berkualitas sekaligus membantu industri kreatif nasional bertumbuh.

“Vidio juga bekerja sama dengan pemilik konten, rekan OTT dalam industri, dan menjadi bagian dari asosiasi terkait untuk bersama-sama bekerja sama dengan Google, Facebook, dan platform global lainnya untuk mengurangi pembajakan dengan edukasi yang lebih intensif,” tutup Hermawan.

Application Information Will Show Up Here

Viu dan Netflix Bersaing Jadi Platform “Video on Demand” Berbayar Terpopuler di Indonesia

Ketenaran platform OTT semakin bersinar di tengah pandemi. Survei yang diselenggarakan DailySocial dan Populix, pada April lalu, menunjukkan bahwa aplikasi hiburan jatuh pada pilihan kedua (66%) untuk menjawab pertanyaan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan orang Indonesia selama pandemi.

Di luar YouTube yang sifatnya freemium, Netflix dan Viu adalah dua platform berbayar yang mendapatkan antusiasme tinggi dari responden. Survei ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan dipadukan sumber-sumber data lainnya.

Berdasarkan dari data yang dimiliki DailySocial, pada April dan Mei ini Viu berada di posisi pertama untuk pengguna aktif dan total waktu yang dihabiskan di antara para pemain video on demand di Indonesia. Posisi kedua ditempati Netflix, disusul iflix, Vidio, WeTV, dan iQiyi.

Total waktu yang dihabiskan pengguna Viu dalam dua bulan tersebut mencapai angka 174,8 juta menit, diikuti Netflix (141,4 juta menit), iflix (36,9 juta menit), Vidio (27 juta menit), WeTV (8,2 juta menit), dan iQiyi (7,8 juta menit).

DailySocial tertarik membandingkan temuan tersebut ke sumber lainnya, yakni SimilarWeb. Hasilnya persis sama. Dengan rentang waktu dari Maret sampai Mei, Viu memimpin untuk metrik pengguna aktif harian (DAU) dan pengguna aktif bulanan (MAU). Rata-rata waktu yang dihabiskan per user setiap harinya mencapai satu jam.

Sementara itu, Netflix unggul dalam metrik sesi per pengguna (sessions per user) yang mencapai 7.67 sesi. Semakin tinggi angka ini bagus buat platform karena berkaitan langsung dengan traffic yang masuk. Waktu yang dihabiskan kurang lebih sama dengan capaian Viu.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Satu-satunya platform lokal yang masuk di listing ini adalah Vidio. Aplikasi ini unggul dalam metrik install penetration mencapai 7,72%. Ini adalah persentase dari perangkat smartphone atau tablet yang digunakan secara aktif, dalam pasar yang dipilih, yang memiliki aplikasi yang diunduh selama periode waktu yang dipilih.

Vidio juga unggul untuk metrik MAU yang mencapai 2,51 juta orang. Meskipun demikian, total konsumsi penggunanya hanya separuh pencapaian Viu dan Netflix.

Platform lokal lain, GoPlay, yang baru memperoleh pendanaan, masih memiliki jalan panjang untuk bisa bersaing dengan para pemain yang lain.

Sementara angka-angka yang diraih platform berbayar ini jelas belum bisa bersaing dengan pencapaian YouTube yang merajai industri ini.

 

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Komentar Viu

DailySocial mencoba menghubungi Viu dan Netflix terkait temuan data-data di atas, tetapi hanya Viu yang bersedia. Country Head Viu Indonesia Varun Mehta tidak bersedia berkomentar tentang angka-angka terkini. Akan tetapi, dia sepakat dengan isi laporan “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia” untuk kuartal pertama tahun ini. Laporan yang sama DailySocial cantumkan di artikel sebelumnya.

Viu disebut menempati peringkat pertama berdasarkan jumlah pengguna diantara platform streaming video utama, tidak termasuk YouTube, di Asia Tenggara. Berdasarkan waktu yang dihabiskan, Viu ada di posisi kedua, setelah Netflix.

Laporan itu juga menyorot waktu yang dihabiskan per penonton Indonesia tiap minggunya. Viu menduduki posisi kedua, tentunya setelah YouTube. Baru setelahnya ada Catchplay, Netflix, dan OTT lainnya yang bisa disimak dalam grafik di bawah ini.

“Laporan dari MPA cukup akurat [menggambarkan pencapaian Viu],” kata Varun.

Varun menjelaskan, selama pandemi ada kenaikan 30%-35% setiap harinya. Kenaikan ini berdampak pada rata-rata waktu yang dihabiskan per pengguna. Dia mencontohkan untuk pengguna yang merupakan fan base umumnya waktu yang mereka habiskan sekitar 2 jam setiap hari.

“Jadi pas tayang pagi hari subtitle baru ada bahasa Inggris, sudah mereka tonton. Ketika ada subtitle bahasa Indonesia keluar, biasanya mereka tonton lagi. Saya kurang paham mengapa ada tren itu, mungkin mereka ingin lebih mengerti dengan bahasa Indonesia.”

Fakta pendukung lainnya adalah pengguna Viu didominasi oleh kaum perempuan (70%). Mereka ini adalah fan base konten-konten Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang yang masing-masing punya penggemarnya.

Setiap hari Viu menayangkan episode terbaru dari serial ongoing yang dinanti para pengguna. Strategi ini berhasil membawa DAU sebesar 386 ribu orang dan rata-rata waktu yang dihabiskan lebih dari satu jam, sesuai dengan durasi tayang tiap episode baru.

Meski konten Asia kini juga mulai rajin diisi Neflix ke dalam katalognya, sayangnya kami belum tahu seberapa efektivitasnya dalam mendongkrak pengguna. Posisi Netfix, sebagai platform global, memiliki kelebihan keberagaman konten yang dapat dipilih pengguna.

Sebagai bukti, Netflix terus menambah katalog secara rutin dari Korea Selatan, negara-negara Skandinavia, India, Timur Tengah, hingga Afrika. Pilihan tontonan jauh lebih kaya dan beragam. Pemilik konten juga semakin diuntungkan karena mereka bisa mendapat penonton dari belahan dunia manapun.

Viu menghindari persaingan langsung dengan Netflix karena cara tersebut terbukti membuat Hooq menyerah dan Iflix berdarah-darah.

Di Indonesia, nasib Netflix mulai mujur karena kerja samanya dengan Kemendikbud. Baru-baru ini serial dokumenter populer Netflix segera hadir di TVRI sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah. Ini adalah pertama kalinya di dunia, tayangan Netflix disiarkan saluran televisi.

Mulai 20 Juni 2020, konten andalan seperti “Our Planet”, “Street Food: Asia”, “Tidying Up with Marie Kondo”, “Spelling the Dream”, “Chasing Coral”, dan “Night on Earth” akan tayang setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayangan ulang setiap Minggu dan Rabu pukul 09.00 WIB.

Di timing yang bersamaan, Telkom mewacanakan pemblokiran terhadap Netlix akan selesai “dalam hitungan minggu”. Sejak pemblokiran empat tahun lalu, pihak Telkom melihat Netflix sudah banyak berubah, misalnya pengawasan orang tua yang jauh lebih baik dan memiliki take down policy.

Pemblokiran sepihak oleh Telkom sebenarnya dapat dituntut konsumen karena ada hak-hak yang sengaja dihalangi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku belum menerima aduan terkait hal itu dan hanya ramai di media sosial.

Netflix sendiri sudah menyediakan paket berlangganan yang lebih murah, yang memudahkan konsumennya menonton konten hanya melalui ponsel.

Perubahan selera pengguna

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu
Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu

Cara pengguna Viu dalam mengakses konten juga terbilang unik untuk tiap lokasi. Mereka yang tinggal di pulau Jawa cenderung up-to-date dalam menikmati tontonan, misalnya selalu hadir setiap ada episode terbaru dari serial kesukaannya.

Sedangkan pengguna dari Sumatera sangat bervariasi. Konsumen di Sumatera Barat cenderung menonton konten yang sudah lama terkenal. Sementara pengguna di Sumatera Selatan lebih menyukai tontonan dari Indonesia daripada lainnya.

Taste-nya berubah-ubah terus. Tapi saat tayangan A World of Married Couple, semua penonton dari seluruh Indonesia kompak menonton yang sama.”

Fokus ke konten Asia, menurut Varun, sudah terbukti sesuai hipotesis awal sehingga bisa membawa Viu tetap bertahan hingga kini. Entah dengan membuat konten original dengan bahasa lokal atau adaptasi Asia dari format internasional, memasukkan konten lokal, atau membeli konten regional papan atas.

“Saat pandemi, kami juga menemukan kebiasaan baru bahwa pengguna mulai discover new content, tidak lagi menonton karena sedang viral. Akhirnya terlihat bahwa banyak pengguna yang suka dengan konten original.”

Viu juga mencatat kenaikan traffic Viu dari perangkat smartphone (85%) ketimbang dari perangkat lainnya, seperti TV atau laptop. Tidak hanya konten dari Indonesia, Korea, Jepang, Tiongkok, dan Thailand, kini Viu sudah menerbangkan konten dari India dan Timur Tengah, seperti Turki dan Mesir.

Laporan keuangan PCCW Media, induk usaha Viu, mencatatkan pengguna MAU Viu pada tahun lalu adalah 41,4 juta orang, naik 35% dari tahun sebelumnya. Pengguna Viu menyaksikan 5,7 miliar video, naik 69%. Disebutkan konten original Viu terus memberikan kontribusinya dalam meningkatkan angka pengguna.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar yang kami hubungi secara terpisah berkomentar, salah satu dampak pandemi adalah berhentinya penayangan pertandingan olahraga dari berbagai bidang, kecuali konten esports yang tetap berjalan.

Ketika sebagian besar tayangan olahraga berhenti, pihaknya justru menemukan fakta baru bahwa hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap performa Vidio.

“Menurut data yang kami terima, walaupun ada penurunan jumlah tayangan dan penonton konten olahraga, ada peningkatan jumlah penonon tayangan film layar lebar, Vidio Original Series, dan tayangan live streaming. Bukan hanya live streaming TV nasional, tapi juga event eksklusif seperti Konser Satu Cara,” terangnya.

Hasil ini membuat pihaknya percaya diri bahwa Vidio tidak hanya kuat dalam sisi konten olahraga saja, namun juga konten lainnya seperti film layar lebar, Korea, Thailand, Tiongkok, drama India, animasi anak, program musik, dan konten edukasi.

Vidio tidak memberikan data terkini mengenai jumlah pengguna aktif dan pengunduhan aplikasi. Rezki hanya memastikan peningkatan cukup signifikan. Menurutnya, sejak membuat program Vidio Bebas Nonton, promosi gratis untuk menikmati konten Vidio, aplikasinya diunduh lebih dari lima juta kali dalam waktu satu bulan. HAl ini menobatkan perusahaan sebagai aplikasi nomor satu paling banyak diunduh pada April di Google Play dan App Store.

“Saat ini, Vidio telah dikunjungi lebih dari 60 juta kali dalam satu bulan. Peningkatan angka pengguna dan unduhan tak hanya di Google Play dan App Store, kami juga mengalami peningkatan unduhan untuk Smart TV sebanyak 700 ribu kali hingga Mei 2020.”

Melihat angka-angka di atas, Rezki menegaskan komitmennya untuk terus berinovasi memberikan produk terbaik dan terbaru, dalam bentuk aplikasi maupun Smart TV, demi kenyamanan konsumen.

“Salah satu kekuatan Vidio adalah perusahaan lokal yang sangat mengerti kebutuhan konsumen lokal, sehingga strategi yang kami lakukan memperkaya konten karena ini adalah segalanya untuk jenis bisnis ini, serta melakukan marketing dan channel distribution yang beragam,” tutupnya.

Lika Liku Platform OTT Video Lokal

Konsumsi tayangan dari saluran TV masih mendominasi buat sebagian besar orang Indonesia. Mengacu data Nielsen, pada tahun lalu total belanja iklan mencapai Rp181 triliun berdasarkan gross rate card.

Belanja iklan TV menempati porsi terbesar 85% senilai Rp143 triliun, naik 14% dari tahun lalu. Posisi berikutnya ditempati belanja iklan media cetak Rp22 triliun, iklan digital Rp13,3 triliun, dan belanja iklan radio Rp1,7 triliun.

Secara kategori, layanan online menjadi penyumbang belanja iklan terbesar dengan total belanja Rp10,3 triliun, naik 2%. Disusul oleh kategori perawatan rambut Rp9,2 triliun, pemerintah dan organisasi politik Rp8,8 triliun, perawatan wajah Rp8,1 triliun, dan rokok kretek Rp7,2 triliun.

Angka ini memberikan gambaran jelas bahwa pola mengonsumsi tayangan TV masih memiliki pengaruh signifikan buat bisnis perusahaan, karena massa masyarakat ekonomi menengah ke bawah lebih banyak ketimbang menengah ke atas.

Buat negara dengan penetrasi TV yang masih tinggi, seperti Indonesia dan kebanyakan negara di Asia Tenggara lainnya, strategi beriklan ke TV adalah cara termudah, sekaligus termahal untuk mengakusisi pengguna baru karena membutuhkan brand awareness.

Data Nielsen menjadi gambaran awal bagaimana perjalanan platform OTT streaming video berupaya mengubah pola konsumsi konten dari TV yang selalu gratis untuk berbayar lewat smartphone dengan koneksi internet.

Tidak bisa disangkal, Netflix sebagai brand yang kuat, diasosiasikan sebagai pemain OTT tersohor yang punya pengaruh kuat. Hal ini menginspirasi  munculnya berbagai pemain OTT lokal dengan cita rasa yang kurang lebih mirip dengan yang Netflix sajikan.

Mereka yang muncul dan gugur

Bisnis OTT video dikenal sebagai bisnis internet yang sulit dan punya rentetan sejarah kegagalan yang begitu panjang. Hal ini terlihat dari pemain yang hadir di Indonesia bisa dihitung jari untuk mereka yang sudah berusia lebih dari lima tahun.

DailySocial mencatat berbagai macam pemain OTT video lokal yang telah beroperasi, yaitu Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, dan FirstMedia X. Stasiun TV Free-To-Air (FTA) juga ikut merilis platform-nya sendiri, seperti Vision+ dan RCTI+ (MNC) dan Zulu (Net TV).

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua ketimbang koleganya karena mereka telah beroperasi sejak 2014. Mereka masih beroperasi karena punya ekosistem yang berkaitan erat dalam rangka memperkaya konten.

Vidio, misalnya, ada di bawah naungan Grup Emtek yang punya jaringan tayangan TV luas sehingga lebih mudah didigitalkan ke dalam platform. Vidio ditempatkan sebagai bentuk diversifikasi bisnis grup, sehingga tidak menjadi isu jika belum menjadi bisnis yang menguntungkan dalam waktu dekat.

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Tersedia pula tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya keluaran terkini hingga film-film nostalgia.

Vidio

Di luar itu, Genflix masuk ke dalam jaringan Sinar Mas, UseeTV adalah layanan Telkom Group, dan FirstMedia X didukung Lippo Group (kini sedang proses akuisisi oleh MNC).

Bagaimana dengan yang lainnya? Baik GoPlay, KlikFilm, MaxStream, Mola TV adalah pemain yang relatif baru. Kebanyakan dari mereka hadir sejak dua tahun belakangan. Kecuali platform milik MNC dan Net TV, umumnya para pemain ini lebih berani untuk jor-joran dengan rajin produksi konten original dan mengadopsi konsep model bisnis yang sedikit berbeda.

GoPlay menjadi contoh terdekat platform OTT yang rajin memproduksi konten lokal. Mereka mengklaim memosisikan dirinya tidak hanya sebagai platform, tetapi wadah bagi para sineas lokal untuk unjuk gigi dengan produksi film berkualitas. Sejauh ini di dalam katalognya tidak ditemukan sama sekali konten negara-negara Barat, alias hanya ada konten lokal dan Asia saja.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Saat ini kami memiliki ratusan film dan serial di GoPlay, baik original maupun eksklusif. Kami juga berkolaborasi dengan rumah produksi untuk hak eksklusif berbagai judul film Indonesia yang populer di layar lebar, seperti A Man Called Ahok dan Ratu Ilmu Hitam,” terang CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial.

MolaTV, di sisi lain, bisa menjadi contoh bagaimana mereka memosisikan diri sebagai layanan multiplatform televisi kabel, IPTV, dan video on-demand untuk empat kanal premium khusus olahraga. Mereka juga memuat konten film dan acara khusus anak dari berbagai genre dari Indonesia dan mancanegara.

Sementara KlikFilm menempatkan diri sebagai konten terkurasi dari berbagai negara yang secara eksklusif tidak masuk ke bioskop Indonesia. Platform tersebut sekaligus menjadi corong Falcon Pictures untuk mendistribusikan konten buatan mereka sendiri untuk tayang eksklusif. Terhitung ada ratusan film sudah diproduksi sejak mereka beroperasi di 2010.

“Selama ini, kami belum mempresentasikan KlikFilm kepada media. Sekarang kami sudah menemukan formula yang memikat untuk konsumen, dengan menayangkan film-film bagus dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia, KlikFilm akan menayangkannya,” ujar CEO Falcon Pictures HB Naveen dikutip dari Antara.

Seluruh konten hanya bisa dinikmati dengan berlangganan. Harga yang dibanderol Rp7 ribu untuk jangka waktu satu minggu berlangganan.

Konsep berbeda ditampilkan Maxstream. Platform ini menggabungkan konsep video-on-demand dengan channel TV lokal dan internasional dalam satu platform. Mereka juga membuat konten original untuk menambah daya tarik. Hanya saja layanan ini terbatas untuk pelanggan Telkomsel.

Dibalik optimisme yang tinggi, terdapat nafas yang tersengal-sengal hingga terpaksa harus gulung tikar. Dalam catatan DailySocial, ada beberapa platform lokal dan regional yang terpaksa tutup. Setelah Tribe dan Oona TV yang melambaikan bendera putih, teranyar Hooq bakal resmi tutup pada akhir April 2020.

Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro menjelaskan, jelang tanggal penutupan tiba, layanan Hooq masih bisa dinikmati. Ia belum memastikan bagaimana masa depan katalog Hooq. Layanan Hooq di dalam platform Grab juga telah dihapus per 14 April 2020.

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Oona masuk ke Indonesia pada 2018 dengan badan hukum PT Oona Media Indonesia (OMI), sebagai anak usaha NFC Indonesia. Metranet, anak usaha Telkom Indonesia, digaet sebagai mitra eksklusif OMI. Di Hong Kong, Oona bermitra dengan perusahaan patungan Omni Channels Asia (TV4 Entertainment dan Multi Channels Asia) untuk menghadirkan beragam channel di Indonesia.

Aplikasi ini punya ambisi besar bermain di Indonesia, meski mereka berkantor pusat di Hong Kong. Oona mengadopsi model advertising video-on-demand (AVOD) hybrid karena dilengkapi program loyalitas yang dapat ditukar dengan berbagai penawaran. Semakin banyak iklan yang ditonton, semakin banyak poin terkumpul. Oona menawarkan tayangan TV lokal dan internasional yang dapat dinikmati secara cuma-cuma.

Pada kuartal pertama 2019, Oona ganti manajemen menjadi Oona Global Indonesia. Tepatnya 1 November 2019, seluruh operasional Oona di Indonesia ditangani langsung oleh tim di Hong Kong. Selang beberapa bulan kemudian, Oona menutup bisnisnya di Indonesia. Seluruh tim pendukung kegiatan operasional aplikasi dan TV aplikasi berbasis Android box yang ada di Indonesia telah dihentikan.

Selain Oona, ada OTT asal Malaysia yakni Tribe, layanan milik TV kabel Astro. Aplikasi ini hadir di Indonesia sejak Maret 2016 dan selang dua tahun kemudian Tribe menutup bisnisnya.

Layanan on demand Tribe dan rencananya sepanjang tahun 2017 / Tribe

Kedua platform tidak merinci alasan mundurnya dari Indonesia. Besar kemungkinan hal ini didasari kesulitan mencari model bisnis yang tepat dan kurang modal untuk berinovasi. Dua isu yang sering terjadi di perusahaan video on-demand, termasuk dialami sendiri oleh Hooq.

Platform lainnya, Vision+, sebelumnya bernama Moviebay dan sempat berganti nama menjadi MNC Now. Platform ini tidak lagi eksklusif untuk pelanggan TV kabel grup MNC saja.

Konten original sebagai jantung pemain OTT

Strategi yang dilakukan Netflix, melalui produksi konten original, juga dilakukan platform OTT lokal agar menarik perhatian para pengguna. Biaya yang harus disiapkan juga tak tanggung-tanggung besarnya.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan karena dipandang sebagai kekuatan brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas.

“Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah ‘anchor content’ seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi teresterial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya kepada DailySocial.

Bertambahnya konten original dari berbagai platform OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun. Beberapa konten original Vidio antara lain Get Married, Omen, I Love You Baby, Heart, dan Girls in The City.

GM External Corporate Communications Telkomsel Aldin Hasyim menambahkan, peranan konten original memberikan identitas dan positioning sebuah brand OTT yang sesuai dengan segmentasi pelanggannya. Mereka juga turut menyumbang sebagian besar pengguna aktif di MaxStream.

Secara berkala, MaxStream terus memperkaya konten originalnya. Namun dampak dari pandemi, perusahaan melakukan beberapa penyesuaian, bagian yang paling terdampak adalah anggaran produksi konten yang harus ditunda untuk sementara waktu.

“Selanjutnya penyesuaian dalam menggunakan anggaran belanja kami adalah memberikan promo dan program kepada pelanggan sebagai bagian dalam program Telkomsel untuk terus menghibur di rumah,” terangnya.

Konten original MaxStream yang bisa dinikmati d iantaranya Cerita Kamu, Isyarat, Journal of Terror: Afterlife, Nawangsih, Negeri 5 Menara, Cerita Dokter Cinta, dan Brata.

Tidak hanya sebagai bagian dari identitas, menurut Edy, kekuatan konten original bertumpu pada pengembangan cerita dan tingkat kualitas produksi yang berada di atas rata-rata serial yang ada di Indonesia sebelumnya. Para sineas lokal khawatir terhadap jumlah penonton, kompetisi dengan produksi mancanegara, persepsi terhadap kualitas film nasional, pilihan isu yang dapat diangkat, dan jumlah layar yang cukup menonjol, adalah beberapa masukan yang ia terima.

“Kami percaya pentingnya kolaborasi yang erat antara GoPlay dengan berbagai rumah produksi dan sineas berbakat akan menghasilkan karya-karya unik lokal berkualitas dan berdaya saing. Dengan sistem revenue-sharing yang sangat kompetitif dan berpihak pada sineas, kami dan partner rumah produksi berupaya memastikan agar tidak hanya konten berkualitas yang dapat dinikmati masyarakat, tetapi menumbuhkan industri film bersama dalam jangka panjang.”

GoPlay memproduksi beberapa serial original bersama sineas lokal. Beberapa judulnya adalah Saiyo Sakato, Tunnel Indonesia, Gossip Girl Indonesia, Filosofi Kopi The Series, Kata Bocah The Show, dan Bukan Keluarga Biasa. Tidak hanya serial, di bawah studio produksi GoStudio, sudah beberapa kali ikut andil dalam produksi film lokal terkemuka. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, Keluarga Cemara, Buffalo Boys, Kucumbu Tubuh Indahku adalah contoh keterlibatan mereka.

Berkah pandemi

Rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of COVID-19 Pandemic” menyoroti berbagai kenaikan aktivitas digital dan kebiasaan baru yang terjadi sepanjang pandemi. Salah satunya adalah konsumsi video streaming.

Laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden. AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.

Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).

Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.

Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.

Secara agregat, seluruh platform OTT yang beroperasi di Indonesia, Filipina, dan Singapura mengalami kenaikan konsumsi hingga 60% per minggunya. Jumlah konsumsi mingguan video streaming mencapai 58 miliar menit melalui perangkat seluler pada 11 April, naik drastis dari 36,4 miliar menit pada 20 Januari 2020.

Berkah ini juga dirasakan oleh platform OTT regional. Konsumsi iQiyi naik 500% di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Viu naik 274% dan iflix naik 118%.  Sementara Neflix yang naik 115% di keempat negara ini.

Direktur Eksekutif MPA Vivek Couto mengatakan, momentum tersebut harus bisa dimanfaatkan platform untuk mempertahankan pelanggan yang baru diakuisisi ini agar tetap loyal. Empat negara yang dianalisis MPA diestimasi memiliki tujuh juta pelanggan pada akhir Maret 2020, menyumbang $350 juta dalam pengeluaran konsumen tahunan.

“Pemain lokal utama harus didorong dengan meningkatkan konsumsi dan dalam kasus-kasus tertentu, untuk monetisasi di negara yang kami survei, mereka ingin berinvestasi untuk meningkatkan penawarannya dengan mengelola transisi siaran ke video digital. Sekarang adalah tanggung jawab dari penawaran agregator yang lebih kuat dari TV berbayar tradisional dan operator seluler dan operator virtual,” kata Couto.

Rezki tak segan berbagi data mengenai pencapaian Vidio. Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah.

“Pengumpulan data masih terus berjalan, akan tetapi dapat dipastikan Vidio mengalami peningkatan jumlah pengguna yang cukup signifikan di bulan April ini, dilihat dari pencapaian Vidio yang sempat menempati nomor 1 di Top Chart App Store dan Google Play. Kami semakin optimis untuk terus menyediakan tayangan berkualitas yang dibutuhkan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%. Tayangan yang paling banyak dikonsumsi pengguna Vidio adalah pertandingan olahraga (khususnya sepak bola) dan tayangan serial dan film lokal.

Di sisi GoPlay, Edy menyebutkan terjadi kenaikan engagement hingga 10 kali lipat. Tidak disebutkan jumlah pengguna aktifnya. Dari segi demografi, penonton GoPlay mayoritas berusia 18-35 tahun. Genre tayangan yang diminati adalah drama, komedi, horor, dan thriller.

“Kami rasa hal ini karena masyarakat Indonesia terus mencari cerita-cerita lokal yang unik, segar, dan beda dari biasanya, juga berkualitas. Itulah kami menghadirkan berbagai variasi konten yang ada di katalog.”

Bagi MaxStream, pada kuartal pertama tahun ini, kunjungan ke platform-nya juga mengalami kenaikan sekitar 16% dari periode sebelumnya. “Namun kami sangat berharap musibah Covid-19 di negara kita segera berakhir,” harap Aldin.

Jalan panjang berikutnya

Pukulan berat yang harus diterima Hooq memberi gambaran terang bahwa bisnis OTT adalah bisnis yang sulit. Edy melihat kompetisi di platform OTT bukan tergolong winner takes all, tapi bagaimana bisa memberikan kontribusi pada kemajuan industri perfilman Indonesia dengan unique value proposition yang ditawarkan.

“Di sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap konten-konten VOD sudah cukup baik, didukung oleh penetrasi internet yang semakin meningkat dan gawai yang semakin canggih. Sehingga, pertimbangan untuk memilih berlangganan VOD tidak hanya berdasarkan tarif berlangganan, namun proporsi kualitas konten yang dihadirkan dan diminati masyarakat.”

Dia juga menekankan strategi GoPlay akan selaras dengan Gojek Group, khususnya dalam memastikan kepuasan pengguna berdasarkan kualitas konten yang ditawarkan selaras dengan pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.

“GoPlay juga akan terus mengembangkan berbagai fitur dan inovasi baru, serta mendukung kreativitas para sineas dan insan perfilman Indonesia melalui platform yang dapat diakases oleh ratusan juta pengguna Gojek di Indonesia.”

Aldin turut menambahkan, MaxStream sebagian salah satu layanan digital Telkomsel masih memiliki fondasi yang kuat sehingga memungkinkan platform ini tetap kreatif. Mereka juga menempatkan pemain OTT lain bukan sebagai kompetitor, melainkan partner.

“Itulah mengapa banyak konten partner kami yang juga tersedia di layanan MaxStream,” tutupnya.

Berdarah-Darah Rebut Hati Penonton “Streaming” Video

Nafas platform OTT video regional mulai tersengal-sengal memasuki operasional tahun kelima. Asia Tenggara bisa dikatakan sulit untuk menjadi pemain yang dominan di pasar karena karakteristik konsumen yang disasar adalah suka membandingkan harga dan senang dimanja dengan berbagai pilihan. Hooq menjadi platform pertama yang tumbang dengan mengajukan likuidasi akhir Maret lalu.

“OTT video multi-pasar adalah bisnis padat modal dan membutuhkan komitmen investor jangka panjang karena jalur menuju profitabilitas penuh dengan tantangan dan membutuhkan sumber daya yang besar,” ujar Managing Partner Media Partners Asia Vivek Couto dikutip dari Variety.

Dia melanjutkan, “Hooq punya keuntungan sebagai first mover ketika diluncurkan lima tahun lalu. Tetapi mungkin apa yang awalnya dianggap penting secara strategis bagi sebuah grup [Singtel] yang fokus pada pemindahan hulu ke konten karena membawa manfaat dan kedekatan dengan bisnis inti mereka [telekomunikasi], menjadi non-inti bahkan tidak penting jika diperlukan investasi lebih banyak modal untuk skala berhasil di Asia Tenggara.”

Laporan keuangan Hooq pada Maret 2019 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pendapatan naik jadi $21,9 juta dari periode yang sama di tahun sebelumnya $10 juta, namun dibarengi kenaikan rugi sebelum pajak jadi $62,5 juta dari $56,6 juta.

Hooq secara implisit “menyalahkan” lanskap market dan perusahaan lain atas kejadian ini. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut selama lima tahun terakhir terjadi “perubahan struktural yang signifikan dalam pasar video OTT dan lanskap kompetitifnya”.

“Biaya konten tetap tinggi dan kemauan konsumen di negara berkembang untuk berlangganan meningkat naik bertahap di tengah serangkaian pilihan yang meningkat. Karena perubahan ini, model bisnis yang layak untuk platform independen OTT menjadi semakin ditantang.”

Di belakang Hooq, nafas Iflix ikut tersengal-sengal sejak pertama kali beroperasi di 2014. Mereka merumahkan lebih dari 50 karyawan. CEO Iflix Marc Barnett menerangkan ini adalah respons perusahaan terhadap ketidakpastian dari dampak pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

“Industri tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memastikan perusahaan bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini,” tutur Barnett dikutip dari DealStreetAsia.

Executive Director of iflix Cam Walker / iflix
Executive Director of iflix Cam Walker / iflix

Dia mengungkapkan, perusahaan tetap fokus mengarahkan bisnis pada titik impas pada 2021 dan langkah-langkah tersebut adalah bagian dari strategi perusahaan agar tetap dalam jalur tersebut. “Kami secara alami melakukan semua yang kami bisa untuk mendukung staf yang terkena dampak baik secara profesional maupun pribadi.”

PHK adalah pilihan Iflix untuk mengurangi beban agar rencana melantai di bursa efek Australia berjalan mulus. Australian Securities and Investments Commission menetapkan, Iflix mungkin dipaksa untuk menebus lebih dari $47,5 juta convertible loan jika tidak terdaftar di bursa pada 31 Juli 2020.

Rencana IPO Iflix sebenarnya akan berlangsung pada akhir tahun lalu, namun diundur karena perusahaan harus melakukan sejumlah efisiensi dengan merumahkan sebagian besar level senior. Sejak 2016, tercatat mereka sudah melakukan rangkaian PHK agar tetap bertahap di tengah tekanan munculnya pemain OTT global.

Upaya Barnett untuk mencapai titik impas butuh perbaikan signifikan di internal perusahaan. Kerugian bersih perusahaan melebar pada 2018 jadi $158,1 juta dari defisit $120,4 juta pada tahun sebelumnya. Alhasil, arus kas bersihnya dipersempit dengan mengurangi kas operasional pada 2018 dari $67,4 juta di tahun sebelumnya menjadi $25,5 juta.

Apa yang salah?

Analis video OTT Omdia Tony Gunnarsson memaparkan Hooq gagal karena kurang modal. Bahkan ada laporan mereka tidak dapat membayar sejumlah produksi original yang sudah direncanakan.

“Secara umum, video OTT adalah bisnis yang sangat sulit, dan sejarah internet adalah bisnis dengan rentetan layanan video yang gagal. Agar berhasil, layanan video OTT harus memiliki akses ke sumber modal yang stabil untuk membayar konten baru yang menarik, rangkaian teknologi yang layak, dan layanan pelanggan yang andal,” katanya dikutip dari Campaign Asia.

Perusahaan juga harus beriklan rutin untuk mengakuisisi pengguna baru. Meski Hooq punya akses dana, dengan dukungan Singtel, Warner, dan Sony, tidak ada jaminan bakal sukses. Pada dasarnya, tanpa kontrak jangka panjang dan tanpa terikat dengan produk dan layanan lain (seperti TV kabel, kontrak seluler atau broadband), layanan video OTT tetap ada di tangan loyalitas pelanggan. Sangat sulit dijangkau.

Lima tahun sejak diluncurkan, Hooq baru menembus 1 juta pelanggan pada 2019 di lima negara. Pencapaian tersebut bukan hasil yang baik untuk layanan streaming dengan dukungan investor besar.

Pendapat lainnya diungkapkan VP Media Partners Asia Arravind Venugopal. Dia menerangkan, saat Hooq diluncurkan, semangatnya cukup kredibel dan dapat diukur. Mereka ingin memberikan konten melalui perangkat/jaringan seluler dengan harga terjangkau.

“Di atas kertas, silsilahnya benar. Hooq, di samping Iflix dan Viu, mengejar piramida konsumen bagian tengah dan bawah yang belum dilayani Netflix. Pada saat itu, visi dan kepercayaan yang dianut adalah konten Hollywood akan berhasil. Di tengah pembajakan film dan serial barat yang merajalela di kawasan ini, menawarkan ide membuat konten tersebut jadi terjangkau oleh masyarakat,” terang Arravind.

Akan tetapi, tantangan justru terletak pada pelaksanaan ide tersebut yang banyak hambatan, mulai dari struktur pasar, perilaku konsumen, pilihan konten/keadaan ekonomi, dan ketersediaan teknologi. Masalahnya, di negara yang disambangi Hooq (tidak termasuk India), membayar konten bukan bagian dari kebiasaan konsumen.

Konsumsi TV FTA (free-to-air) jauh lebih dominan dan berfungsi sebagai sumber utama konten lokal untuk masyarakat. Di banyak kasus, channel FTA juga membawa konten barat yang di-dubbing atau terjemahkan dalam bahasa lokal. Selain itu, ada tayangan olahraga lokal dan internasional dengan basis penonton yang masif.

“Meyakinkan orang untuk berlangganan bulanan [meskipun jumlahnya lebih kecil dari TV kabel berbayar] dan kemudian mengonsumsi konten on-demand [vs TV FTA], melalui jaringan data seluler mereka [dan di negara tersebut biaya data relatif tinggi], adalah salah satu batu sandungan awal yang besar.”

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Tantangan berikutnya adalah pilihan konten. Film dan serial Barat sebagian besar sudah hadir di TV kabel atau, jika ada dana lebih, berlangganan melalui Netflix. Hal ini menekan keengganan pelanggan untuk berlangganan layanan lain, seperti Hooq dan Iflix. Padahal biaya konten itu biayanya signifikan dibandingkan ambil konten lokal.

Sejauh ini masyarakat di Asia Tenggara lebih suka konten bahasa lokal atau konten Asia, sebagaimana yang berhasil dibuktikan Viu dan eksperimen Iflix menayangkan sajian konten dari Korea Selatan.

Di sisi lain, konten lokal sebagian besar diproduksi oleh dan untuk TV kabel dan FTA. Berarti Hooq dan Iflix perlu membayar tarif premium untuk mendapatkan akses ke penulis dan perusahaan PH terbaik. Hal ini yang menaikkan anggaran konten mereka.

Bila memilih sebagai advertising video on demand (AVOD), kompetisinya sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang mengakses YouTube, Facebook, dan platfrom sejenis. Berkompetisi di bidang iklan, berarti tidak hanya harus membangun produk atau layanan yang benar-benar baru, tapi juga tim yang relevan.

“Hooq telah memulai jalan itu. Menempatkan tim dan beberapa produk untuk mengatasi hal ini. Tapi masih ada tantangan di atasnya, membawa penonton yang cukup untuk menikmati konten gratis. Pencapaian tersebut dapat dijual ke pihak pengiklan.”

Gunnarsson menambahkan, Hooq sadar agar semangat awalnya tetap hidup, perusahaan beberapa kali mengubah model bisnisnya sejak beberapa tahun terakhir. Contohnya menambahkan konten gratis, model freemium (ada iklan), menurunkan harga, dan membuat paket berlangganan harian. Di India, Hooq dipasarkan sebagai agregator konten berbahasa Inggris.

“Meskipun kami merekomendasikan layanan video OTT agar fleksibel dan responsif terhadap pasar lokal, saya pikir layanan harus sangat hati-hati untuk mempertahankan brand recognition dan hal-hal semacam ini [sebab] pada akhirnya dapat menjadi bumerang dan menyebabkan banyak konsumen bingung.”

Pemain global bermodal tebal

Pemain regional akan terus ditekan dengan gencaran OTT global yang sudah membawa modal tebal. Kebanyakan dari mereka mengawali India sebagai ekspansi perdana karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dan populasinya ada di nomor dua di bawah Tiongkok.

Tiongkok tidak masuk radar karena negara tersebut sudah menutup rapat-rapat akses pemain luar dengan serangkaian regulasi yang ketat.

Dalam menyediakan konten, Netflix menyiapkan memiliki surat hutang jangka panjang. Misalnya saja, tahun ini mereka memiliki sekitar $14,6 miliar surat hutang jangka panjang dalam pembukuannya. Sebelumnya, perusahaan menerbitkan sekitar $2,2 miliar dalam bentuk obligasi pada musim gugur lalu dan tambahan $19,1 miliar dalam bentuk kewajiban belanja konten.

Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety
Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety

Anggaran belanja terus membengkak nilainya dari tahun ke tahun, selaras dengan gencarnya pemain lain berkantong tebal yang mulai terjun. Pada 2018, anggaran Netflix mencapai $12 miliar, naik dari sebelumnya $9 miliar. Lalu, angkanya menjadi $15,3 miliar di 2019 dan tahun ini menganggarkan $17,3 miliar.

Menurut firma BMO Capital Market, Netflix akan terus berinvestasi konten dan diprediksi tembus $26 miliar pada 2028. Angka yang begitu fantastis untuk mempertahankan tahtanya sebagai pemain video streaming teratas.

Pendapatan perusahaan ikut meningkat. Mereka tahun lalu memperoleh $20,1 miliar, naik 27,62% dari tahun sebelumnya yang mencapai $16 miliar. Netflix mengantongi laba bersih sebesar $1,85 miliar, naik 54,13% dari tahun sebelumnya $1,21 miliar.

Laba tersebut didapat sepenuhnya dari biaya berlanganan yang dibayarkan konsumen per bulannya. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar Netflix. Diperkirakan 54% penduduk negara tersebut adalah pelanggannya.

Bila ditotal, Netflix memiliki lebih dari 167 juta pelanggan. Pada kuartal IV 2019, ada tambahan 8,8 juta pelanggan baru. Pencapaian tersebut dikatakan menakjubkan, lantaran pada saat yang sama Apple dan Walt Disney merilis layanan video streaming.

Dijabarkan lebih jauh, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Australia, dan India, jumlah pelanggan Netflix mencapai 16,2 juta orang. Di antara empat kawasan, kontribusi kawasan ini adalah yang paling rendah.

Media Partners Asia mengestimasi pada 2018, ada lebih dari 8,5 juta pelanggan di 2018 untuk kawasan APAC. Asia Tenggara berkontribusi sekitar 11% dari angka tersebut atau sekitar 935 ribu pelanggan. Angka tersebut diestimasi akan semakin tinggi, apalagi kini bisa berlangganan lewat pulsa (Indonesia).

Harga yang dibanderol untuk paket ponsel adalah Rp49 ribu per bulan, atau lebih murah setengah harga dari paket dasar sebesar Rp109 ribu.

“Kami melihat Indonesia memiliki waktu menonton (screen time) yang dua kali lebih tinggi dibanding rata-rata pengguna global,” ucap juru bicara Netflix Kooswardini Wulandari yang dikutip dari Kompas.

Pemain OTT global dan regional lainnya yang terang-terangan hadir di Indonesia dan bersaing dengan Netflix adalah Amazon Prime Video, HBO Go, dan Apple TV Plus. Selain menggunakan kartu kredit, pembayarannya bisa melalui pulsa dan GoPay (Google Play) dan Dana (untuk platform besutan Apple).

Selain pemain asal Amerika Serikat, perusahaan raksasa internet dari Tiongkok, Baidu, merilis layanan OTT-nya sendiri iQiyi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pembayaran layanan ini bisa menggunakan pulsa.

Kita belum bicara Disney Plus yang maha raksasa akan jaringan kontennya. Indonesia sudah pasti masuk radar Disney, meski saat ini layanan streaming tersebut mengawalinya dengan India lewat layanan video streaming lokal Hotstar pada awal April 2020.

TechCrunch melaporkan kurang dari seminggu Disney Plus Hotstar sudah menjaring delapan juta pelanggan. Hotstar sendiri tergolong layanan streaming tersohor dengan lebih dari 300 juta pelanggan. Disney Plus sendiri, sejak dirilis kurang dari lima bulan lalu, diklaim sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan di seluruh dunia.

Ramai-ramai berburu pasar Asia Tenggara

Pamor Netflix terancam dengan keberadaan para pemain global ini. Sebelum mereka mulai gencar, Netflix menggaet pemerintah Indonesia (lewat Kemendikbud) untuk melatih talenta lokal membuat film yang akan dipasarkan melalui platform globalnya. Disebutkan perusahaan menyiapkan dana $1 juta dalam kerja sama tersebut.

Pemerintah sejatinya masih “abu-abu” dengan kehadiran Netflix, seperti Kemenkominfo yang mengkhawatirkan penyebaran konten negatif. Kemenkeu juga terus mengincar pemain OTT asing, termasuk Netflix, terkait pembayaran pajak.

Konten Indonesia dalam katalog Netflix jumlahnya semakin banyak. Produksi konten original sudah diuji coba melalui film “The Night Comes for Us” dan serial dokumenter “Street Food” yang meliput kisah pembuat makanan legendaris dari Yogyakarta dalam salah satu episodenya.

Selain Indonesia, mereka aktif memproduksi konten bersama sejumlah sineas tersohor, seperti Malaysia (The Ghost Bride), Thailand (The Stranded), Taiwan (Nowhere Man dan Triad Princess), dan Korea Selatan yang kini jumlah konten originalnya sudah tidak bisa hitung dengan jari.

HBO tidak mau kalah. Meski belum semasif Netflix, sejumlah sineas Indonesia pernah diajak memproduksi konten, semisal film horor Dead Mine, serial Halfworlds, Folklore, dan Serangoon Road.

Katalog harian Viu / Viu
Katalog harian Viu / Viu

Sebagai pemain regional, konten Asia adalah pilihan Viu, yang berdiri sejak tahun 2016, untuk menarik pengguna dan sejauh ini premis mereka tepat.

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta menerangkan, Viu kini dikenal sebagai penyedia konten hiburan Asia. Untuk itu, perusahaan terus berupaya perbanyak produksi konten lokal untuk memuaskan pelanggan di Indonesia.

Lanjutnya, meski konten hiburan dari Korea Selatan digemari, tapi selera tersebut berbeda jika membandingkan konsumen di Jakarta dan Medan misalnya. Yang terakhir lebih menyukai konten lokal.

Pada awal Maret 2020, perusahaan mulai memperkenalkan konten dari Thailand sebagai gelombang konten regional berikutnya di Asia Tenggara. Ketersediaan ini berkat kemitraannya dengan GMM dan One31.

“Kami biasanya merilis sekitar 25-40 episode drama dengan berbagai judul setiap harinya. Ketersediaan konten baru adalah faktor utama mengapa konsumen terus mengakses Viu,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

Perusahaan juga menggaet sineas lokal Indonesia untuk memproduksi konten di Viu. Data terakhir menunjukkan pengguna aktif bulanan Viu hampir 41 juta di 16 negara dan telah ditonton selama lebih dari lima miliar menit pada tahun lalu.

Sumber : Media Partners Asia
Sumber : Media Partners Asia

Pasar video online Asia Pasifik pada 2024 diperkirakan menembus angka $50 miliar menurut Media Partners Asia. Tahun lalu diestimasi ada kenaikan 24% dari tahun sebelumnya. Mereka juga menyebut, model SVOD akan mengalami penyesuaian, sedangkan model AVOD berkontribusi pada mayoritas pendapatan.

Tujuh klaster terbesar APAC secara berurutan akan menguasai pasar video online pada 2024. Mereka adalah Tiongkok, Jepang, Australia & Selandia Baru, India, Korea, Taiwan, dan Indonesia.

Pemain lokal

Dari semua negara di regional Asia Tenggara, kue bisnis terbesar ada di Indonesia. Statista memprediksi pendapatan yang diberikan Indonesia untuk OTT sebesar $161 juta dengan 21,9 juta jumlah pengguna pada tahun ini. Kenaikan nilai ini mencapai dua digit dibandingkan tahun 2019.

Ramalan itu tampaknya benar terjadi karena dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat konsumsi layanan OTT tinggi. Telkomsel mencatat terjadi kenaikan konsumsi data untuk layanan penunjang kerja, komunikasi pesan instan, online gamesdan streaming video. Operator telekomunikasi lain juga melaporkan perolehan yang sama.

Di dalam negeri, ada sekian banyak pemain bermunculan, seperti Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, FirstMediaX. Stasiun TV FTA juga ikut merilis seperti Vision+ dan RCTI+, keduanya milik Grup MNC.

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua daripada koleganya. Mereka beroperasi sejak 2014. Dari keempatnya, Vidio bisa dikatakan punya traksi terkencang. Aplikasi ini sempat menduduki posisi pertama di Top Chart App Store dan Google Play selama pandemi berlangsung.

Kepada DailySocial, VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, perjalanan Vidio bisa sampai ke tahap sekarang karena kekuatan konten lokal yang variatif dan bisa menyasar segala kalangan usia. Namun begitu, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konten original dapat dipandang sebagai kekuatan dari brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas brand. Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah “anchor content” seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi terestrial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya.

Bertambahnya konten original dari berbagai OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun.

Vidio

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Lalu, tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya dari keluaran terkini hingga nostalgia.

Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah. Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%.

Selain perkaya konten, harga tentu menjadi bagian “sensitif” buat pengguna Vidio. Untuk berlanganan harga yang dibanderol mulai dari Rp15 ribu (1 minggu), Rp29 ribu (1 bulan), dan Rp300 ribu (1 tahun).

Dari koleksi katalog dan harga berlangganan, sasaran pengguna Vidio tidak bisa disamakan dengan Netflix. Vidio lebih mengarah pada mass market dengan kelas menengah ke bawah. Perbedaan strategi ini memperlihatkan bahwa masing-masing OTT punya pasar masing-masing.

Ekspansi OTT global yang jor-joran membuat pemain regional dan lokal harus bersiap dengan strategi penghalau. Semakin “lokal” solusi yang konsumen dapatkan, akan semakin mudah mendapat loyalitas. Cara ini yang akhirnya dipakai beragam pemain OTT lokal.

Lagipula, seperti yang dipaparkan Arravind Venugopal, membudayakan untuk membayar suatu acara yang bisa didapat saat nonton TV di rumah yang gratis bukan suatu pekerjaan rumah yang ringan buat orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemerintah di tiap negara juga kompak untuk membuat aturan main yang adil agar mereka tunduk. Memblokir tentu bukan pilihan yang bijak karena di sana ada hak konsumen untuk memilih mana yang ingin mereka nikmati. Semakin dilarang, semakin mudah diterobos karena kecanggihan VPN.