David Beckham Masuki Industri Esports, Tanamkan Modal di Guild Esports

Mantan pesepak bola David Beckham kini memasuki dunia esports dengan menjadi co-owner dari Guild Esports, startup esports asal Inggris. Melalui DB Ventures, Beckham menanamkan modal di Guild Esports, yang tengah mengumpulkan pendanaan dengan target sebesar £25 juta (sekitar Rp44,6 miliar). Selain Beckham, Blue Star Capital juga menjadi salah satu investor awal dari startup esports tersebut.

“Sepanjang karir saya, saya beruntung karena bisa bermain dengan para atlet terbaik. Saya telah melihat semangat dan dedikasi yang diperlukan untuk bisa bermain di tingkat tertinggi,” kata Beckham, menurut laporan Esports Insider. “Saya tahu bahwa para atlet esports juga memiliki semangat tersebut. Di Guild, kami memiliki visi untuk menciptakan standar baru, serta mendukung para pemain profesional untuk maju di masa depan. Kami berkomitmen untuk mendukung pemain muda bertalenta melalui sistem akademi kami dan saya tidak sabar untuk membantu tim Guild Esports untuk tumbuh dan berkembang.”

Guild Esports akan menggunakan model akademi, lapor GamesIndustry. Hal itu berarti, Guild Esports akan mencari pemain muda berbakat dan melatih mereka untuk menjadi atlet esports profesional. Saat ini, Guild akan fokus untuk melatih pemain yang berlaga di Rocket League, FIFA, dan Fortnite.

David Beckham esports
David Beckham menjadi co-owner dari Guild Esports. | Sumber: Nerd4Life

Selain Beckham sebagai co-owner, Guild Esports juga memiliki Carleton Curtis sebagai Executive Chairman. Curtis sempat menjabat sebagai Vice President of Programming di Activision Blizzard. Dia juga berperan penting dalam penyelenggaraan Overwatch League dan Call of Duty League. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Senior Director, Digital Strategy di Fox Sports serta Program Director, Esports di Red Bull.

“Industri esports tengah berkembang pesat dan masih akan terus tumbuh. Hal ini menjadi bukti bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Guild Esports untuk masuk ke dalam industri esports,” kata Curtis. “Kami memiliki tim manajemen yang berpengalaman dan saya senang dengan keberadaan David Beckham sebagai co-owner dari startup ini karena dia memiliki pengalaman dan profesionalisme dalam membuat tim olahraga yang baik. Hal ini sesuai dengan strategi kami untuk membuat tim esports terbaik.”

Memang, meskipun Beckham paling dikenal sebagai pemain sepak bola profesional, dia juga merupakan pemilik dari Inter Miami, tim sepak bola Amerika Serikat baru yang berlaga di Major League Soccer. Beckham bukanlah satu-satunya pemain sepak bola yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Pada akhir tahun lalu, Gareth Bale juga membentuk tim esports yang dinamai Ellevens Esports.

“Di Guild Esports, David akan memegang peran penting dalam membuat program pelatihan yang akan diimplementasikan di akademi kami. Selain itu, dia juga bisa menjadi inspirasi bagi para atlet esports muda,” ujar Curtis.

Sumber header: The Esports Observer

Gandeng Collegiate StarLeague, TikTok Buat TikTok Cup

TikTok bekerja sama dengan Collegiate StarLeague (CSL) untuk mengadakan TikTok Cup, turnamen esports bagi mahasiswa. Memang, CSL adalah penyelenggara turnamen esports yang mengkhususkan diri pada tingkat universitas. Ada empat game yang akan diadu dalam TikTok Cup, yaitu Fortnite, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, dan Rocket League.

Total hadiah dari TikTok Cup mencapai US$60 ribu (sekitar Rp931 juta). Namun, total hadiah tersebut tidak dibagi rata untuk empat game. Masing-masing game memiliki jumlah hadiah yang berbeda-beda. Kompetisi ini terbuka untuk semua orang yang masih terdaftar sebagai mahasiswa dari universitas di Amerika Serikat.

Selain kompetisi esports, TikTok juga menyelenggarakan kompetisi untuk membuat video tentang TikTok Cup. Tentu saja, video tersebut harus dibagikan di platform TikTok. Untuk ikut serta dalam kompetisi ini, seseorang hanya perlu menggunakan tagar TikTokCupContest, lapor Neowin. Pemenang dari kontes video TikTok Cup akan mendapatkan US$2.500 (sekitar Rp38,8 juta).

“Collegiate StarLeague sangat senang karena bisa bekerja sama dengan tim TikTok untuk memberikan kesempatan pada mahasiswa gamer dalam membuat konten yang menggabungkan esports, game, dan video TikTok,” kata Wim Stocks, CEO dari World Gaming Network dan Collegiate StarLeague, seperti dikutip dari Gamasutra. “Kami tidak sabar untuk melihat video seperti apa yang akan dibuat oleh para peserta. Kami berterima kasih pada TikTok atas kerja samanya.”

Ini bukan kali pertama, TikTok menyasar komunitas gamer. Pada Januari 2020, TikTok bekerja sama dengan Fortnite untuk mengadakan event #EmoteRoyaleContest. Dalam kontes ini, para peserta diminta untuk mengunggah video singkat dari tarian mereka. Tarian dari pemenang akan dijadikan sebagai salah satu emote dalam Fortnite.

Masih pada bulan Januari, ByteDance, perusahaan induk TikTok, juga dikabarkan tertarik untuk memasuki industri mobile game. Memang, sebelum ini, mereka juga telah menargetkan para gamer kasual. Namun, nantinya, mereka juga berencana untuk menyasar para hardcore gamer.

Sumber header: The Esports Observer

Intel Tunda Intel World Open Karena Corona

Intel mengumumkan bahwa Intel World Open akan ditunda ke tahun 2021. Mengingat Olimpiade Tokyo 2020 juga telah ditunda ke tahun depan, tidak heran jika Intel memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Pada awalnya, Intel World Open memang diselenggarakan sebagai ajang pembuka Olimpiade Tokyo 2020. Alasan mengapa kedua ajang bergengsi ini ditunda adalah karena pandemik virus Corona.

Dalam Intel World Open, ada dua game yang akan diadu, yaitu Street Fighter V dan Rocket League. Masing-masing dari game tersebut menawarkan hadiah sebesar US$500 ribu (sekitar Rp7,9 miliar). Awalnya, Intel hendak mengadakan dua babak kualifikasi untuk Intel World Open, yaitu babak kualifikasi online dan kualifikasi LAN yang diadakan di Katowice.

Seharusnya, babak kualifikasi online untuk Intel World Open akan diadakan pada 2 Mei 2020. Sayangnya, masih belum diketahui tanggal penyelenggaraan Intel World Open pada tahun depan. Kemungkinan, turnamen tersebut akan digelar berdekatan dengan Olimpiade.

tunda intel world open
Intel tunda Intel World Open ke tahun 2021. | Sumber: Inven Global

“Karena pandemik COVID-19 (virus corona) di dunia dan ditundanya Olimpiade, kami memutuskan untuk menunda Intel World Open dan babak kualifikasi online yang seharusnya diadakan pada 2 Mei ke tahun depan,” kata Intel melalui akun resmi Twitter mereka, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports. “Walaupun kami sangat menanti pertandingan antara para pemain Street Figter 5 dan Rocket League terbaik, kami tetap harus memprioritaskan keselamatan dan kesehatan komunitas.”

Pandemik virus corona memaksa banyak negara untuk menetapkan status lockdown. Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk tidak keluar dari rumah. Ini menyebabkan banyak kegiatan olahraga harus ditunda atau dibatalkan, mulai dari balapan, liga sepak bola, serta NBA. Namun, hal ini juga menjadi kesempatan bagi esports untuk mengisi kekosongan yang ada. Buktinya, ada beberapa kegiatan olahraga yang digantikan oleh pertandingan esports, seperti balapan NASCAR.

Sementara itu, Intel juga mengumumkan bahwa mereka akan memberikan sumbangan sebesar US$50 juta (sekitar Rp793 miliar) untuk mengatasi pandemik virus corona. Dana tersebut akan digunakan untuk riset tentang virus corona, peningkatan layanan kesehatan bagi pasien COVID-19, dan memudahkan akses ke edukasi online.

“Dunia menghadapi tantangan besar dalam mengatasi COVID-19,” kata CEO Intel, Bob Swan, lapor Digital Trends. “Intel berkomitmen untuk membuka akses ke teknologi yang bisa digunakan dalam mengatasi pandemik yang sedang terjadi. Kami juga ingin memudahkan akses ke teknologi baru dan membantu para ilmuwan untuk menemukan cara yang lebih baik dalam menghadapi pandemik di masa depan.”

Intel World Open: Path to Tokyo akan Dimulai pada Bulan Maret 2020

Setelah pengumuman Intel World Open pada bulan September 2019 lalu. Akhirnya Intel memberikan informasi lengkap mengenai pre-event Olimpiade Tokyo 2020 ini. Para pemain yang ingin mewakili negaranya harus melalui dua tahap kualifikasi yaitu online qualifier dan LAN qualifier di Katowice. Delapan negara teratas di LAN qualifier berhak untuk bermain di Tokyo.

Tetapi, ada beberapa negara yang berhak lansung mengikuti LAN qualifier. Negara-negara tersebut adalah Australia, Brazil, Kanada, Perancis, Jerman, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, negara lain harus masuk melalui online qualifier yang dibagi untuk enam region yaitu Afrika, Asia (Mainland), Asia (Maritime & Oceania), Eropa, Amerika Latin dan Timur Tengah. Online qualifier-nya akan dimulai pada bulan Maret untuk game Street Fighter V dan bulan Mei untuk Rocket League. Pemenang dari setiap region berhak melaju ke LAN qualifier di Katowice.

Babak LAN qualifier di Katowice akan diselenggarakan pada tanggal 11 sampai 14 Juni 2020. 16 negara yang bertanding di Katowice akan dibagi menjadi dua grup. Menggunakan sistem round robin, negara di peringkat dua teratas langsung mendapatkan tempat di final Intel World Open Tokyo. Sementara tim yang tersisa akan menjalani bagan double elimination untuk mencari tiga negara yang berhak untuk bermain di final Intel World Open Tokyo.

Babak utama Intel World Open yang diikuti oleh 8 negara akan berjalan pada tanggal 22 sampai 24 Juli 2020 di Zepp DiverCity Tokyo.  Berbeda dengan LAN qualifier, pada babak ini para negara peserta akan bertanding menggunakan bagan single elimination untuk memperebutkan hadiah total US$500 ribu.

Ini adalah pertama kalinya turnamen Rocket League yang mempertandingkan perwakilan negara sehingga turnamen ini mungkin akan menyuguhkan tontonan yang berbeda dari yang biasanya. Pemilihan game Street Fighter V juga sangat tepat. Pasalnya, Street Fighter V atau genre fighting games sangatlah populer di Jepang. Dengan demikian, ini akan mempermudah Intel untuk memperkenalkan esports kepada masyarakat Jepang tepat sebelum dimulainya Olimpiade Tokyo 2020.

Bagi Anda yang ingin mewakili Indonesia di ajang ini, pendaftaran akan dibuka pada tanggal 2 Maret 2020. Anda bisa mendaftarkan diri melalui website resmi Intel World Open.

Barcelona tak Mau Ikut Dalam Game Esports Bertema Kekerasan

FIFA eWorld Cup 2019 ditonton sebanyak 47 juta kali. Hal ini dianggap sebagai bukti dari potensi dari esports FIFA di dunia. Memang, kebanyakan game esports yang populer adalah game dengan genre FPS atau MOBA. Namun, tampaknya, esports sepak bola juga akan semakin populer. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak klub dan pemain sepak bola yang tertarik untuk membentuk tim esports atau bekerja sama dengan organisasi esports yang telah ada, seperti Arsenal atau Juventus. Barcelona menjadi salah satu klub sepak bola yang juga ikut aktif di esports.

Klub Spanyol itu pertama kali memasuki ranah esports pada 2018 dengan berlaga dalam game Pro Evolution Soccer (PES) buatan Konami. Tak berhenti sampai di situ, mereka kemudian ikut turun dalam turnamen Rocket League pada April 2019. Ini memunculkan pertanyaan apakah Barcelona tertarik untuk melakukan ekspansi besar-besaran ke esports. Untuk menjawab pertanyaan ini, President Barcelona, Josep Maria Bartomeu berkata bahwa Barcelona tidak akan ikut serta dalam esports yang menampilkan kekerasan. Alasannya karena kekerasan tidak sesuai dengan reputasi klub.

President Barcelona, Bartomeu. | Sumber: AsianAge
President Barcelona, Joseph Maria Bartomeu. | Sumber: AFP via AsianAge

“Kami punya beberapa tim esports di Asia yang bertanding membawa nama Barcelona,” kata Bartomeu pada Radio Marca, dikutip dari Sports Pro. “Tapi, kami tidak sepenuhnya masuk ke esports karena kami tidak ingin berpartisipasi dalam game yang menampilkan kekerasan, yang merupakan 80 persen dari esports.” Dalam waktu beberapa bulan ke depan, Barcelona berencana untuk bekerja sama dengan tim esports di Tiongkok. Mereka tampaknya lebih memilih untuk bekerja sama dengan tim yang sudah memiliki reputasi daripada harus membangun tim dari nol.

Terkait game bertema kekerasan yang disebutkan Bartomeu, dia tidak menyebutkan judul game tertentu. Namun, game FPS seperti Counter-Strike: Global Offensive dan Call of Duty, keduanya jelas memiliki gameplay yang penuh dengan kekerasan. Padahal, keduanya masuk dalam daftar 15 game esports yang memberikan dampak paling besar pada ekosistem. Meskipun begitu, menurut laporan Palco23, game seperti League of Legends atau Fortnite masih dianggap sebagai game strategi. Sehingga Barcelona tak keberatan untuk mendukung tim yang bermain di kedua game itu.

Dapat Investasi, PlayVS Mau Kembangkan Esports di Tingkat SMA

PlayVS mendapatkan kucuran dana sebesar US$50 juta. Didirikan oleh CEO Delane Parnell pada April 2018, PlayVS adalah startup yang membuat platform kompetisi esports untuk siswa SMA di Amerika Serikat. Alasan Parnell mendirikan PlayVS adalah karena dia percaya, liga SMA memiliki peran penting untuk mendukung ekosistem esports.

Fungsi PlayVS adalah menyediakan platform untuk mengadakan dan menyiarkan pertandingan esports amatir antar siswa SMA. Platform mereka juga dapat mengumpulkan informasi serta membuat statistik pertandingan. Produk pertama PlayVS adalah Seasons, yang diluncurkan pada Oktober 2018 di lima negara bagian di Amerika Serikat. Pada musim semi 2019, PlayVS memperluas jangkauannya sehingga Seasons tersedia di delapan negara bagian. PlayVS memungut bayaran sebesar US$64 per siswa yang hendak ikut di Season. Biasanya, biaya tersebut dibayarkan oleh orangtua siswa atau sekolah. PlayVS mengatakan, rata-rata, satu sekolah mengirimkan 15 siswa. Inilah sumber pendapatan PlayVS.

Sejauh ini, PlayVS telah bekerja sama dengan Psyonix, Hi-Rez Studios, dan Riot Games. Dengan begitu, mereka bisa membuat pertandingan untuk Rocket League, Smite, dan League of Legends. Siswa yang ikut bertanding di PlayVS akan mendapatkan game yang mereka mainkan. Dengan begitu, semua peserta akan bisa berlatih. Jika mereka berlomba dalam game gratis seperti League of Legends, siswa akan mendapatkan fitur khusus seperti Champion Unlocked. Ke depan, PlayVS akan berusaha untuk menambahkan judul game yang bisa dimainkan oleh para siswa. Tujuannya, agar ada lebih banyak siswa yang bisa ikut serta dan menambah jumlah penonton yang tertarik untuk menonton.

Sumber: Inc.com
Sumber: Inc.com

Dengan investasi terbaru ini, secara total, PlayVS telah mengumpulkan dana sebesar US$96 juta. Pendanaan seri C kali ini dipimpin oleh investor lama, New Enterprise Associates. Beberapa investor lain yang turut serta antara lain Battery Ventures, Dick Costolo dan Adam bain dari 01 Advisors, Michael Zeisser, Sapphire Sports, Dennis Phelps dari Institutional Venture Partners, dan Michael Ovitz, salah satu pendiri Create Artists Agency.

“Kucuran dana segar ini akan membantu PlayVS untuk tumbuh dengan lebih cepat lagi dan akan mendukung peluncuran kompetisi baru selain Seasons bagi para siswa SMA,” kata Parnell, seperti dikutip dari Esports Observer. “Pendanaan seri C kami juga membuat kami menjadi lebih berani dalam menguasai pasar kompetisi esports amatir.”

Salah satu alasan PlayVS bisa tumbuh dengan begitu cepat karena pada 2018, National Federation of State High School Associations (NFSH) menjadikan esports sebagai salah satu kompetisi resmi untuk siswa SMA, sama seperti olahraga tradisional. PlayVS kemudian bekerja sama dengan NFSH untuk membuat turnamen bagi para siswa SMA. Sejak saat itu, PlayVS mengatakan, telah ada lebih dari 13 ribu SMA di Amerika Serikat yang telah membuat tim esports atau berencana untuk membuat tim esports untuk bertanding di platform PlayVS. Secara total, ada 19 ribu SMA yang terdaftar sebagai anggota NFSH. Itu artinya, 68 persen SMA di bawah NFSH telah tergabung dalam kompetisi buatan PlayVS. Sebagai perbandingan, jumlah SMA di Amerika Serikat yang memiliki tim american football adalah 14,2 ribu.

Belakangan, jumlah audiens esports memang terus naik, terutama di kalangan milenial dan generasi Z. Menurut laporan Kepios, 32 persen pengguna internet di rentang umur 16-24 tahun menonton esports. Angka ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan penonton olahraga tradisional di rentang umur yang sama.

 

Sumber: Inc.com, TechCrunch, The Esports Observer, VentureBeat

Esports Street Fighter dan Rocket League Jadi Pre-Event Olimpiade 2020

Kemunculan esports di Olimpiade Tokyo 2020 telah cukup lama jadi bahan obrolan hangat di dunia olahraga. Terlebih setelah esports memperoleh panggung di Asian Games dan SEA Games nanti, semakin banyak pihak yang mendukung supaya esports tampil di Olimpiade. Akan tetapi International Olympic Committee (IOC) yang merupakan panitia penyelenggara Olimpiade pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengikutsertakan esports, bahkan hingga Olimpiade Paris 2024.

Kendati demikian, IOC juga berjanji untuk terus memantau perkembangan industri ini serta tebuka terhadap diskusi dengan para stakeholder esports untuk mencari jalan tengah. Kini rupanya diskusi tersebut telah membuahkan hasil. IOC, bekerja sama dengan Intel sebagai sponsor global, mengumumkan peluncuran kompetisi esports Intel World Open sebagai acara penyambutan alias “pre-event” Olimpiade Tokyo 2020.

Intel World Open menyediakan babak kualifikasi online, di mana siapa saja boleh berpartisipasi untuk memperoleh hak maju sebagai perwakilan tim nasional. Kemudian dilanjutkan dengan kualifikasi live pada bulan Juni 2020 di Katowice, Polandia, untuk menentukan siapa yang akan mengikuti final di Tokyo. ESL, yang merupakan partner global Intel, akan menangani produksi Intel World Open.

Intel World Open - Poster
Sumber: The Esports Observer

Bila Olimpiade Tokyo 2020 akan diselenggarakan pada tanggal 24 Juli, maka Intel World Open memiliki acara puncak (final) yang akan berlangsung di tanggal 22 – 24 Juli 2020. Babak final tersebut rencananya digelar di lokasi Zepp DiverCity, Tokyo, yang memiliki kapasitas penonton kurang lebih 1.100 kursi.

Ada dua game yang dipertandingkan dalam Intel World Open, yaitu Street Fighter V: Arcade Edition dan Rocket League. Masing-masing cabang kompetisi menawarkan hadiah sebesar US$250.000, sehingga total hadiah di acara ini adalah US$500.000. Menurut Mark Subotnick, Director of Business Development for Games and Esports di Intel, dua game ini dipilih karena keduanya merupakan game yang paling mudah dimengerti oleh penonton.

“Ketika kami bekerja dengan IOC dan mengerjakan sesuatu seperti Intel World Open, kami benar-benar menginginkan audiens terluas dengan aksesibilitas tertinggi, dan dua judul ini sangat memenuhi tujuan tersebut,” ujar Subotnick, dilansir dari The Esports Observer, “Dua judul ini adalah sesuatu yang dapat dilihat dan dimengerti oleh konsumen atau audiens rata-rata, dan sayangnya hal itu tidak selalu terjadi di esports. Jadi masuk akal untuk bekerja sama dengan dua partner ini (Capcom dan Psyonix Games).”

Zepp DiverCity
Sumber: Zepp Hall Network

Bagi pihak Capcom, Intel World Open merupakan kompetisi unik karena memiliki jangkauan secara nasional. Capcom sudah memiliki program esports berupa Capcom Pro Tour dan Street Fighter League, tapi tidak ada yang bisa menjangkau audiens nasional seperti Intel World Open. Hal ini dikemukakan oleh Mike Larson, Vice President of Marketing di Capcom Media Ventures.

Sementara itu, Psyonix menyambut baik kesempatan ini untuk menguji coba pertandingan dengan format timnas, yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. “Kami rasa meskipun ini bukan ajang Olimpiade resmi, acara ini tetap sesuatu—dengan melihat karakteristik dari acaranya sendiri—yang dapat menciptakan banyak kegembiraan dalam komunitas esports itu sendiri, dan di antara para penggemar,” kata Jeremy Dunham, Vice President of Publishing di Psyonix, “Ini sesuatu yang berbeda. Kami belum pernah mengadakan hal seperti ini sebelumnya, dan ini adalah sesuatu yang sudah banyak diminta para penggemar untuk waktu yang sangat lama—untuk bisa mempertaruhkan kebanggaan nasional ketika mereka bermain Rocket League.”

Intel World Open memang bukan merupakan bagian langsung dari Olimpiade, tapi dengan adanya kompetisi yang memiliki ikatan brand dengan Olimpiade itu sudah merupakan kemajuan besar. IOC pun terus mencari cara untuk menjangkau audiens muda dan memperluas jangkauan audiens Olimpiade. Apakah ini bisa membuka jalan bagi esports untuk masuk Olimpiade nantinya, Subotnick pun tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, melalui Intel World Open, para pegiat olahraga dan para pegiat esports bisa bekerja sama dan saling belajar dari satu sama lain.

Sumber: The Esports Observer

Setelah Pro Evolution Soccer, FC Barcelona Kini Rekrut Tim Esports Rocket League

Ekosistem esports di benua Eropa dalam dua tahun terakhir ini mengalami perkembangan yang cukup unik. Semakin banyak tim-tim olahraga konvensional yang ikut terjun ke dunia esports, terutama yang sering kita lihat adalah tim sepak bola. Sebagian dari mereka merekrut tim di cabang esports yang berkaitan dengan sepak bola itu sendiri, seperti Manchester City yang merekrut atlet-atlet FIFA. Namun ada juga yang tidak berkaitan, contohnya FC Schalke 04 dengan tim League of Legends mereka.

Salah satu tim raksasa Eropa yang melakukan hal serupa adalah sang juara liga Spanyol, FC Barcelona. Klub tempat merumput Lionel Messi ini pertama kali masuk ke dunia esports pada tahun 2018 lalu, ketika mereka merekrut tim Pro Evolution Soccer (PES). Langkah tersebut sangat tepat, karena developer PES yaitu Konami sendiri sebetulnya merupakan salah satu sponsor dari klub FC Barcelona.

Cloud9 - RLCS Season 6
Cloud9 juara RLCS Season 6 | Sumber: Psyonix

Baru-baru ini, FC Barcelona kembali mengumumkan perekrutan sebuah tim esports profesional, yaitu dari cabang Rocket League. Game yang menggabungkan tema sepak bola dengan mobil-mobilan akrobatik ini memiliki kejuaraan resmi bernama Rocket League Championship Series (RLCS). Menurut keterangan di situs resmi FC Barcelona, tim Rocket League yang baru mereka rekrut akan ikut berpartisipasi di turnamen-turnamen bergengsi, salah satunya RLCS Season 7 mulai bulan April 2019 ini.

Roster Rocket League di Blaugrana (sebutan untuk FC Barcelona) terdiri dari pemain-pemain yang dulunya merupakan anggota tim Savage!. Mereka adalah Bluey (Dan Bluett), Deevo (David Morrow), Alpha54 (Yanis Champeonis), dan ByMateos (Adrian Mateos). Mereka dikenal sebagai tim kuat di dunia Rocket League, dengan sederet prestasi termasuk juara RLCS Season 6 – Europe: Rocket League Rival Series.

Rocket League - Esports Shop
Sumber: Psyonix

“Menjadi bagian dari FC Barcelona adalah penghargaan tertinggi yang bisa diraih oleh atlet mana pun, jadi saya merasa sangat terhormat dapat memimpin tim ini,” kata Robert Kendall, manajer sekaligus pelatih tim Rocket League FC Barcelona. Menurutnya, langkah FC Barcelona masuk ke dunia Rocket League adalah kesuksesan bagi klub ini maupun bagi komunitasnya. Kendall akan melatih tim ini dengan nilai-nilai yang telah tertanam di FC Barcelona, termasuk gaya permainan yang erat akan kombinasi dan kerja sama tim.

FC Barcelona bukanlah satu-satunya klub bola Eropa yang telah berinvestasi di esports Rocket League. Selain mereka, ada juga Paris Saint-Germain FC dari Perancis dan Servette FC dari Swiss yang melakukan hal serupa. Esports Rocket League tahun 2019 ini memang tengah berkembang. RLCS Season 7 memperluas wilayah kompetisi ke Amerika Selatan, dan Psyonix (developer Rocket League) baru mengumumkan fitur Esports Shop di dalam game mereka. Mungkinkah Rocket League akan tumbuh menjadi esports besar, seperti Overwatch atau Rainbow Six: Siege di masa depan?

Sumber: The Esports Observer, FC Barcelona

Rocket League Championship Series Season 7 Dibuka dengan Hadiah $1 Juta Lebih

Tahun 2018 merupakan tahun yang sangat baik bagi Rocket League, dengan kesuksesan Rocket League Championship Series (RLCS) Season 6 yang dimenangkan oleh tim Cloud9 dari Amerika Serikat. Di tahun 2019 ini, Psyonix selaku penerbit Rocket League semakin gencar mengembangkan game “sepak bola mobil” tersebut ke audiens yang lebih luas. Ini dapat dilihat dari persiapan mereka dalam RLCS Season 7.

Bila sebelumnya RLCS hanya digelar di tiga wilayah (Eropa, Amerika Utara, dan Oseania), kini RLCS Season 7 hadir dengan menambahkan satu wilayah kompetisi baru, yaitu Amerika Selatan. Psyonix juga telah menerapkan fitur Full Cross-Platform Play, sehingga para pemain PS4, PC (Steam), Xbox One, serta Switch dapat bermain bersama secara online. Komunitas Rocket League di seluruh dunia kini semakin menyatu dan dapat saling beradu kemampuan dengan lebih mudah.

RLCS Season 6 sudah memberikan hadiah senilai US$1 juta, tetapi di Season 7 ini hadiah yang ditawarkan akan lebih dari US$1 juta. Sayangnya jumlah pastinya belum diumumkan. Sesuai dengan semangan cross-platform, Psyonix mengizinkan pemain untuk bertanding menggunakan platform apa pun yang ia inginkan. Saat ini pendaftaran tim untuk RLCS Season 7 sudah dibuka. Sementara babak kualifikasinya akan dimulai antara bulan Maret hingga April 2019, tergantung dari wilayah kompetisinya.

Anehnya, meski hadiah yang ditawarkan dalam kompetisi Rocket League selalu meningkat setiap tahun, ada beberapa tim yang justru merasa pesimis dengan masa depan dunia esports milik game yang satu ini. Tim Envy dan Counter-Logic Gaming telah melepaskan divisi Rocket League mereka di pertengahan 2018 lalu. Meski ada tim-tim besar yang masuk, seperti G2 Esports dan Cloud9, sebagian tim lainnya justru khawatir masa depan esports Rocket League kurang sustainable.

Remkoe - We Dem Girlz
Remkoe (kiri) saat bermain untuk tim We Dem Girlz | Sumber: Psyonix

Salah satu alasan yang banyak dicatut adalah tentang kurangnya usaha Psyonix untuk mempromosikan esports itu sendiri, serta kurangnya transparansi mereka akan segala keputusan penting. “Psyonix sangat hati-hati dalam membuka informasi ke organisasi (esports) tanpa adanya jalinan kontrak, yang mana itu dapat dipahami, tapi mereka menghabiskan waktu terlalu lama untuk ‘menyelesaikan kontrak’ itu,” kata Remkoe (Remco den Boer), mantan pemain Team Envy, kepada Esports Observer.

Pihak Psyonix sendiri masih mengusahakan adanya sistem revenue sharing, yang nantinya dapat membantu tim-tim profesional untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dari ekosistem esports Rocket League. Pada bulan November lalu misalnya, mereka mengumumkan proyek in-game item bertema tim esports.

Rocket League - DC Pack
Psyonix sering bekerja sama dengan pihak ketiga untuk DLC | Sumber: Psyonix

Namun tidak seperti game lain, misalnya Rainbow Six: Siege, yang langsung meluncurkan partnership besar-besaran, Psyonix terlihat masih ragu dan ingin melakukan uji coba secara terbatas dahulu. Dalam situs resminya, Psyonix berkata bahwa mereka ingin ada keseimbangan antara revenue yang dihasilkan dengan value dari in-game item itu sendiri, dan sekadar “menjual team decal sebagai DLC” saja tidak akan memberi hasil memuaskan untuk jangka panjang.

Pemikiran seperti itu memang masuk akal, tapi mungkin sudah waktunya Psyonix mengambil langkah yang lebih berani untuk memberi dorongan jangka pendek. Lagi pula, bila tidak ada proyek jangka pendek sama sekali, bisa saja esports Rocket League justru mati sebelum mencapai “jangka panjang” yang mereka inginkan. Kita tunggu saja apakah akan ada gebrakan baru dari Psyonix di tahun 2019 ini.

Sumber: Psyonix, Esports Observer

Gamer Rocket League di PS4 Kini Bisa Bermain Bersama Pemain di Xbox One dan Switch

Melihat perkembangan industri gaming di 2018, tak sulit menebak apa yang akan terjadi di tahun ini. Developer boleh jadi terus gencar menerapkan strategi ‘video game sebagai layanan’, lalu akan bertambah banyak pula permainan-permainan yang mendukung cross-platform play. Fitur di mode multiplayer ini memungkinkan gamer di platform berbeda untuk bermain bersama.

Namun ketika PC, Xbox One, Switch, sampai perangkat bergerak dengan gembira merangkul cross-play, Sony malah merasa keberatan. Alasannya bisa ditebak, dan sangat berkaitan dengan bisnisnya. Penolakan terhadap fitur ini direalisasikan lewat pemblokiran terhadap sejumlah permainan seperti Rocket League dan Minecraft. Tapi menyadari keputusan mereka itu telah menutup ‘pintu rezeki’, akhirnya dibukalah akses cross-platform play Fortnite di PlayStation 4.

Dan di bulan Januari ini, Sony Interactive Entertainment turut menghadirkan dukungan cross-play secara penuh di Rocket League. Lewat langkah ini, para gamer PlayStation 4 diperkenankan buat menikmati permainan sepak bola berbasis mobil itu bersama pemain di Xbox, Switch dan PC via Steam. Tim Psyonix sebetulnya sudah menyiapkan fitur ini sejak lama, yang mereka tunggu adalah lampu hijau dari sang pemilik platform.

Sebelumnya, para pemain Rocket League di PS4 hanya bisa ber-multiplayer bersama gamer PC. Berkat kehadiran ‘full cross-platform play‘, untuk pertama kalinya mereka bisa bertanding Rocket League melawan gamer Switch dan Xbox One. Perlu diketahui bahwa status cross-play di PlayStation 4 saat ini masih berada di tahap beta, jadi fitur-fiturnya masih belum terlalu lengkap. Buat sekarang, sistem matchmaking online masih bekerja secara acak, sudah diimplementasikan pada mode casual, kompetitif dan Extra Modes.

Menariknya lagi, cross-play juga tersedia untuk match privat walaupun Anda dan kawan punya console berbeda. Kita dipersilakan buat menciptakan pertandingan, atau bergabung ke match yang telah dibuat.

Cross-platform play terhidang secara otomatis. Namun jika Anda ingin memastikannya, silakan masuk ke main menu dalam game, buka Options, kemudian pastikan boks Cross-Platform Play di tab Gameplay tercentang.

“Pengumuman ini sangat penting bagi Psyonix karena kami mengerti bagaimana komunitas sudah lama menanti fitur cross-platform play secara penuh,” tutur vice president Psyonix Jeremy Dunham. “Semua ini tercapai karena Anda, penggemar berat Rocket League, serta berkat para mitra yang dermawan. Mewakilkan seluruh tim, kami mengucapkan terima kasih atas antusiasme serta kegigihan Anda, untuk terus mendorong kami menghidangkan pengalaman bermain Rocket League yang lebih baik.”