VSCO Akuisisi Produsen Kamera 360 Derajat Rylo

Dua nama yang tak bisa lepas dari perbincangan seputar kamera 360 derajat saat ini adalah GoPro Max dan Insta360 One X. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, keduanya merupakan opsi terbaik yang ada di pasaran saat ini, dan dominasi keduanya rupanya telah memakan korban.

Adalah Rylo, kamera 360 derajat bikinan pencipta Hyperlapse yang dirilis di tahun 2017, yang bakal segera menghilang dari pasaran. Kendati demikian, keputusan mereka berhenti bukan didasari faktor kalah saing saja, melainkan juga karena mereka baru saja diakuisisi oleh VSCO, perusahaan pengembang aplikasi edit foto dan video dengan nama yang sama.

Seperti yang kita tahu, VSCO mulai menekuni ranah video sejak dua tahun silam, tepatnya ketika mereka merilis fitur editing video buat para pelanggan layanan berbayarnya. Respon konsumen pun rupanya cukup positif; tahun lalu saja, VSCO melihat adanya kenaikan hingga dua kali lipat dalam hal pemakaian fitur editing video aplikasinya.

VSCO acquires Rylo

Lalu mengapa mereka memilih Rylo, yang notabene merupakan produsen hardware? Well, tidak demikian apabila kita mengenal dua pendirinya, Alex Karpenko dan Chris Cunningham. Jauh sebelum Rylo eksis, tepatnya di tahun 2011, Alex menciptakan aplikasi bernama Luma Camera dengan fitur stabilisasi video yang apik.

Dua tahun setelahnya, Luma Camera diakuisisi oleh Instagram. Selama di Instagram, Alex sibuk mengembangkan Hyperlapse, dan Hyperlapse inilah yang pada akhirnya menjadi fondasi teknologi atas sistem stabilisasi Rylo. Di sisi lain, Chris memulai kiprahnya sebagai anggota tim pengembang software edit foto di Apple, sebelum akhirnya juga berlabuh di Instagram pada tahun 2013.

Ya, daya tarik utama Rylo sebenarnya terletak pada software-nya, dan inilah yang pada akhirnya menarik perhatian VSCO. Pasca akuisisi ini, kita pada dasarnya bisa menanti fitur editing video yang lebih komprehensif dan lebih canggih lagi pada aplikasi VSCO berkat kontribusi dari tim Rylo.

Kamera Rylo sendiri akan segera berhenti dipasarkan, akan tetapi konsumen yang sudah terlanjur membeli bakal tetap bisa menggunakannya. Rylo pun memastikan aplikasi pendampingnya yang tersedia di iOS, Android maupun macOS masih dapat diunduh sampai 31 Januari 2021, dan pengguna tetap bisa memakainya meski sudah lewat tanggal tersebut.

Sumber: 1, 2, 3.

Berkat Firmware Update, Rylo Kini Dapat Merekam Video 360 dalam Resolusi 5,8K

Setahun lalu, pencipta teknologi Hyperlapse memutuskan untuk terjun ke bidang hardware dan merilis Rylo, kamera 360 derajat yang dibekali sistem stabilization super-efektif. Di samping stabilization, fitur unggulan Rylo lainnya adalah kemampuan untuk ‘mengekstrak’ hasil rekaman menjadi video 1080p normal (non-360).

Kendalanya, resolusi 4K kurang bisa memberikan detail yang bagus pada hasil konversinya menjadi video dengan aspect ratio 16:9. Namun pengembangnya sudah menyiapkan solusinya. Melalui firmware update terbaru, Rylo kini bisa merekam video 360 derajat dalam resolusi 5,8K.

Resolusinya ini sedikit lebih tinggi daripada Insta360 One X yang baru dirilis bulan lalu. Namun yang lebih penting adalah, peningkatan resolusi ini semestinya bisa menghasilkan lebih banyak detail, baik pada video 360 derajat maupun video standar hasil konversinya.

Dalam kesempatan yang sama, Rylo juga kedatangan aplikasi pendamping untuk perangkat desktop, meski sayang baru untuk platform macOS saja. Sebelumnya, pengguna harus menggunakan iPhone atau ponsel Android untuk bisa mengedit hasil tangkapannya.

Apa yang dilakukan pengembang Rylo ini sejatinya patut diapresiasi. Ketimbang menelurkan produk generasi kedua dengan pembaruan yang kurang begitu signifikan – dan yang semestinya bisa diwujudkan melalui software – mereka terus rajin merilis firmware update demi menjadikan Rylo lebih menonjol dibandingkan rival-rivalnya.

Sumber: DPReview dan Rylo.

Kamera 360 Derajat Rylo Kedatangan Tiga Fitur Baru yang Menarik

Masih ingat dengan Rylo, kamera 360 derajat hasil garapan pencipta teknologi Hyperlapse? Meski umurnya belum setengah tahun, kamera inovatif tersebut sudah kedatangan sejumlah fitur baru yang cukup menarik melalui software update.

Yang pertama adalah 180° Mode, sebuah mode khusus yang memungkinkan pengguna untuk merekam video 180 derajat, dengan resolusi dan kualitas gambar yang lebih baik ketimbang mode 360 derajat. Mode ini bisa dikatakan sebagai inisiatif Rylo dalam mengantisipasi format VR180 dari Google, yang baru-baru ini dibuka aksesnya ke semua developer dan pabrikan.

Dalam mode ini, Rylo pada dasarnya hanya akan menggunakan satu lensa saja, sehingga ideal untuk skenario seperti ketika kamera dipasangkan di dada, maupun skenario lain di mana salah satu lensanya tertutupi. Berkat mode ini juga peran Rylo sebagai action cam sejatinya bisa lebih maksimal.

Fitur yang kedua adalah Bluetooth Remote Capture. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan pengguna untuk mengontrol kamera dari jauh menggunakan smartphone yang tersambung via Bluetooth. Bukan sebatas memulai dan menyetop perekaman saja, tapi juga mengganti mode perekamannya.

Melengkapi fitur ini adalah Photo Timer, yang memungkinkan pengguna untuk menunda aktivasi tombol shutter sampai 10 detik. Maksudnya supaya pengguna bisa memosisikan kamera di satu titik terlebih dulu, sebelum akhirnya berpose dan mendapatkan hasil yang lebih bagus (tidak ada gambar tangan terpotong dalam frame).

Terakhir, ada fitur Motion Blur, yang bakal menambahkan efek motion blur bernuansa sinematik pada hasil rekaman. Seberapa intens efeknya bergantung pada kecepatan efek timelapse yang ditetapkan (semakin cepat berarti semakin blur).

Ketiga fitur ini sudah tersedia melalui aplikasi pendamping Rylo di iOS. Untuk versi Android-nya, fitur Bluetooth Remote Capture baru akan menyusul dalam waktu dekat.

Sumber: DPReview dan Rylo.

12 Kamera Terbaik di Tahun 2017

2017 adalah tahun yang cukup menarik buat industri kamera. Tidak tanggung-tanggung, Sony meluncurkan dua kamera mirrorless kelas high-end sekaligus tahun ini, demikian pula Panasonic. Lalu ada Fujifilm yang terus mengimplementasikan fitur-fitur modern ke kameranya, demi menuruti permintaan pasar.

Di sisi lain, Nikon mengungkap DSLR paling komplet dan paling cekatan sepanjang sejarah, sedangkan Canon, well, Canon tetaplah Canon. Tahun ini juga menjadi saksi atas action cam baru GoPro yang mengemas prosesor buatan mereka sendiri. Tidak ketinggalan pula DJI yang terus menciutkan ukuran drone-nya sampai ke titik di mana kita bisa menganggapnya sebagai sebuah kamera.

Tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, berikut adalah 12 kamera terbaik yang dirilis di tahun 2017.

Sony a7R III

Sony a7R III

Mungkin inilah salah satu kamera yang paling dinanti kehadirannya tahun ini. Sony a7R III melanjutkan jejak a7R II yang dirilis dua tahun sebelumnya, membawa sederet peningkatan yang tidak kelihatan secara kasat mata. Utamanya peningkatan performa continuous shooting dan autofocus dalam kondisi low-light, serta opsi perekaman video 4K dalam format RAW.

Namun kalau menyimak ulasan-ulasan yang beredar di internet, fitur baru a7R III yang paling disukai adalah baterainya yang kini berkapasitas dua kali lebih besar. Pengoperasiannya juga lebih mudah berkat kehadiran joystick kecil di sebelah layar, serta layar sentuh yang bisa difungsikan sebagai touchpad untuk mengatur titik fokus.

Sony memang hampir tidak menyentuh sensor full-frame yang tersematkan padanya, tapi hasil foto maupun dynamic range-nya masih tetap merupakan yang terbaik saat ini, bahkan melampaui sejumlah DSLR kelas premium sekalipun.

Sony a9

Sony a9

Kalau a7R III sudah lama dinantikan, Sony a9 malah muncul di luar dugaan. Hasil fotonya memang tidak sefenomenal a7R, tapi toh sensor yang digunakan masih full-frame. Yang justru diunggulkan a9 adalah performanya, yang di titik tertentu bahkan bisa mengungguli DSLR.

Bagaimana tidak, a9 sanggup mengambil 362 gambar JPEG atau 241 gambar RAW tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Begitu cepatnya kinerja a9, foto-foto hasil ‘berondongannya’ dapat disatukan dan disimak sebagai video yang mulus. Tidak percaya? Tonton sendiri video di bawah ini.

Performa selama ini kerap dinilai sebagai kekurangan utama kamera mirrorless jika dibandingkan dengan DSLR, namun Sony a9 berhasil mematahkan anggapan tersebut.

Panasonic Lumix GH5

Panasonic Lumix GH5

Diperkenalkan secara resmi di awal tahun, Lumix GH5 meneruskan peran Lumix GH4 sebagai kamera mirrorless favorit para videografer. Kelebihannya? Ia mampu merekam video 4K dalam kecepatan 60 atau 50 fps secara internal dan tanpa batas waktu, alias sampai sepasang SD card yang terpasang terisi penuh.

Kedengarannya memang sepele, tapi hampir semua videografer pasti tahu kalau sampai sekarang pun belum banyak kamera lain yang sanggup melakukannya. Lumix GH5 juga masih mempertahankan gelar sebagai salah satu kamera dengan kemampuan mengunci fokus tercepat di hampir segala kondisi.

Panasonic Lumix G9

Panasonic Lumix G9

Seperti Sony a9, Lumix G9 juga diumumkan di luar ekspektasi. Tidak seperti GH5, kamera ini didedikasikan buat para fotografer, utamanya fotografer olahraga maupun satwa liar, yang mendambakan kamera mirrorless dengan kinerja yang amat ngebut.

Sebanyak 50 foto berformat RAW sanggup ia jepret tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Itu dengan continuous autofocus. Dengan single autofocus, kecepatannya malah naik tiga kali lipat menjadi 60 fps.

Sebagai bagian dari keluarga Lumix, G9 tentu saja masih mewarisi sistem autofocus super-cepat serta kemampuan merekam video 4K 60 fps, meski itu tak lagi menjadi prioritas utamanya. Seperti yang saya katakan, fotografer satwa liar adalah salah satu target utama G9, terlebih karena sasisnya sudah memenuhi standar weather resistant.

Fujifilm X-E3

Fujifilm X-E3

Sebagai pengguna Fujifilm X-E2, X-E3 jelas mendapat tempat spesial di hati saya. Desainnya masih mempertahankan gaya rangefinder yang dicintai banyak orang, tapi di saat yang sama ukurannya sedikit menciut sampai-sampai kita bisa tertipu dan menganggapnya sebagai kamera pocket saat tidak ada lensa yang terpasang.

Namun yang lebih penting untuk disorot dari X-E3 adalah bagaimana Fujifilm mendengarkan dan mewujudkan banyak masukan dari konsumen. Kalau sebelumnya hampir semua pengguna X-E2 tidak ada yang mau memakainya untuk merekam video (termasuk saya), X-E3 menghadirkan opsi perekaman video 4K 30 fps, lengkap dengan efek Film Simulation.

Navigasinya juga turut disempurnakan berkat kehadiran layar sentuh, plus joystick kecil yang sepenuhnya menggantikan tombol empat arah. Komitmen Fujifilm untuk mengadopsi teknologi-teknologi modern terus berlanjut sampai ke konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkan X-E3 untuk terus terhubung ke perangkat mobile demi memudahkan proses transfer gambar.

Nikon D850

Nikon D850

Diumumkan tidak lama setelah Nikon merayakan ulang tahun yang ke-100, satu-satunya DSLR yang masuk dalam daftar ini bisa dibilang merupakan DSLR terkomplet sepanjang sejarah. Hilang sudah kebiasaan Nikon untuk menyisihkan fitur-fitur tertentu pada kamera termahalnya; D850 menawarkan hampir segala yang terbaik yang bisa diberikan oleh Nikon.

Resolusinya sangat tinggi (45,7 megapixel), performa autofocus-nya menyamai Nikon D5 yang dihargai nyaris dua kali lipatnya, serta konstruksinya tahan banting dan tahan terhadap cuaca buruk. Nikon bahkan mengambil langkah yang lebih jauh lagi dengan tidak melupakan aspek perekaman video, di mana D850 menawarkan opsi perekaman 4K 30 fps.

Juga jarang ditemukan pada DSLR kelas atas adalah layar sentuh, plus konektivitas Bluetooth LE yang menjadi rahasia di balik teknologi SnapBridge yang inovatif. Singkat cerita, D850 bukanlah kamera termahal Nikon, tapi Nikon terkesan tidak mau melewatkan satu fitur pun untuknya. Ini jelas berbeda dari apa yang Canon lakukan dengan 6D Mark II, yang bahkan tidak bisa merekam video 4K.

Canon G1 X Mark III

Canon G1 X Mark III

Tanpa ada maksud menjelek-jelekkan Canon, mereka sebenarnya merilis satu kamera yang cukup mengesankan tahun ini, yaitu G1 X Mark III, yang masuk ke kategori kamera pocket premium. Label premium sejatinya belum bisa menggambarkan kapabilitas kamera ini sebenarnya, sebab pada kenyataannya G1 X Mark III mengemas jeroan DSLR.

Bukan sebatas “ala DSLR”, tapi benar-benar spesifikasi milik DSLR, mulai dari sensor APS-C 24 megapixel, teknologi Dual Pixel AF, continuous shooting dalam kecepatan 9 fps, sampai viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot. Semua ini dikemas dalam wujud yang tidak lebih besar dari mayoritas kamera mirrorless.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Jujur sebenarnya OM-D E-M10 Mark III kurang begitu bersinar jika dibandingkan kamera mirrorless lain yang ada dalam daftar ini, akan tetapi hanya sedikit yang bisa menyainginya dalam hal keseimbangan harga dan performa. Yup, dengan modal $650 saja (atau $800 bersama lensa), Anda sudah bisa mendapatkan kamera yang bisa dibilang amat komplet.

Dibandingkan generasi sebelumnya, pembaruannya memang tergolong inkremental, namun setidaknya ia masih menyimpan opsi perekaman video 4K seperti kakaknya, OM-D E-M1 Mark II, yang berlipat-lipat lebih mahal. Lebih lanjut, sistem image stabilization 5-axis Olympus saya kira masih belum tertandingi sampai saat ini, dan itu pun juga hadir di sini.

GoPro Hero6 Black

GoPro Hero6 Black

Tampangnya sama seperti pendahulunya, akan tetapi Hero6 Black pada dasarnya bisa menjadi bukti atas kebesaran nama GoPro di ranah action cam. Ini dikarenakan Hero6 merupakan kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri, bukan lagi buatan Ambarella seperti sebelum-sebelumnya.

Perubahan ini penting dikarenakan belakangan mulai banyak action cam lain yang memakai chip buatan Ambarella, yang pada akhirnya menghadirkan peningkatan kualitas gambar dan performa yang cukup signifikan. Dengan menggunakan prosesor buatannya sendiri, GoPro setidaknya punya nilai jual unik yang tak bisa ditawarkan kompetitornya.

Keseriusan GoPro tampaknya terwujudkan cukup baik. Hero6 Black menjanjikan performa yang belum tersentuh rival-rivalnya, yang mencakup opsi perekaman video 4K 60 fps, serta 1080p 240 fps untuk slow-mo. Sampai detik ini masih belum banyak kamera atau smartphone yang mampu merekam 4K 60 fps ataupun 1080p 240 fps.

Rylo

Rylo

Satu-satunya kamera dalam daftar ini yang berasal dari pabrikan tak dikenal, Rylo sebenarnya dikembangkan oleh sosok yang tidak asing dalam perkembangan teknologi kamera. Mereka adalah pencipta Hyperlapse, teknologi image stabilization berbasis software yang efektivitasnya tidak kalah dibandingkan tripod.

Mereka memutuskan untuk memanfaatkan teknologi Hyperlapse pada kamera buatannya sendiri, dan dari situ lahirlah Rylo. Sepintas ia kelihatan seperti kamera 360 derajat pada umumnya, akan tetapi hasil rekaman beresolusi 4K-nya jauh lebih stabil dan mulus dibandingkan kamera lain di pasaran.

Tidak kalah menarik adalah kemampuan Rylo untuk mengesktrak video 1080p standar dari hasil rekamannya, sehingga pada dasarnya pengguna dapat menentukan ke mana ia harus membidikkan kamera setelah video selesai direkam. Fitur ini sama seperti yang diunggulkan GoPro Fusion, kamera 360 derajat perdana GoPro yang diumumkan bersamaan dengan Hero6 Black.

DJI Spark

DJI Spark

Oke, ini sebenarnya merupakan sebuah drone, tapi dengan dimensi yang tidak lebih besar dari iPhone 8 Plus (saat baling-balingnya terlipat), saya kira wajar apabila Spark dikategorikan sebagai kamera – kamera yang kebetulan saja bisa terbang, sekaligus bergerak dengan sendirinya, menghindari rintangan-rintangan yang ada tanpa input dari pengguna sama sekali.

Di sisi lain, saya pribadi melihat Spark sebagai drone pertama yang bisa digolongkan sebagai gadget mainstream. Pertama karena dimensinya yang mungil, kedua karena kemudahan pengoperasiannya yang berbasis gesture, dan ketiga karena harganya yang cukup terjangkau di angka $499.

Dengan modal yang sama, Anda memang sudah bisa mendapatkan kamera mirrorless yang cukup andal. Namun apakah kamera itu bisa terbang dan mengambil potret keluarga Anda bersama background pemandangan yang menawan dari ketinggian? Pastinya tidak, dan saya kira itulah yang menjadi nilai jual utama Spark sebagai sebuah kamera.

Google Pixel 2

Google Pixel 2 XL

Anggap saja ini sebagai honorable mention, tapi menurut saya Google Pixel 2 membawa pengaruh yang cukup besar pada peran smartphone sebagai kamera secara menyeluruh. Coba Anda telusuri berbagai ulasan atau video perbandingan kualitas kamera smartphone di internet, saya yakin hampir semuanya mengatakan bahwa Pixel 2 adalah yang terbaik saat ini.

Hasil fotonya sangat bagus, oke. Namun yang lebih penting lagi menurut saya adalah bagaimana Pixel 2 bisa membuktikan bahwa itu semua bisa diwujudkan melalui software, termasuk efek foto bokeh yang diandalkan oleh deretan smartphone berkamera ganda tahun ini.

Ya, Pixel 2 hanya dibekali masing-masing satu kamera saja di belakang dan di depan, tapi keduanya sama-sama bisa menghasilkan foto dengan efek blur yang tidak kalah dibanding smartphone lain yang berkamera ganda. Hardware memang penting, dan ini juga tidak mungkin terwujud tanpa teknologi Dual Pixel pada kamera Pixel 2, namun software dan AI memegang peranan penting dalam kinerjanya secara keseluruhan.

Ketergantungannya pada software juga berarti semuanya bisa ditingkatkan dengan mudah seiring berjalannya waktu. Poin lain yang menurut saya tidak kalah penting, Pixel 2 termasuk spesies yang cukup langka karena dua modelnya yang berbeda ukuran menawarkan kinerja kamera yang sama persis. Ini jelas berbeda dari tren yang diadopsi pabrikan lain, yang mengistimewakan kualitas kamera pada satu model tertentu.

Pencipta Hyperlapse Kembangkan Kamera 360 Derajat dengan Sistem Stabilization Kelas Dewa

GoPro resmi merilis kamera 360 derajat perdananya pada akhir September kemarin. Baru satu bulan berselang, sudah muncul satu rivalnya yang sangat berpotensi. Berpotensi karena perangkat bernama Rylo ini bukan sembarang action cam yang mampu merekam video 360 derajat, melainkan yang dikembangkan oleh pencipta Hyperlapse.

Hyperlapse, bagi yang sudah lupa, adalah aplikasi keluaran Instagram yang dirancang untuk memudahkan pengguna mengambil video time lapse dengan tingkat stabilitas yang sangat baik. Begitu efektifnya sistem stabilization Hyperlapse, video yang dihasilkannya tampak seakan diambil menggunakan bantuan tripod.

Rylo

Kini kedua penciptanya, Alex Karpenko dan Chris Cunningham, memutuskan untuk memulai babak baru lewat Rylo. Sepintas Rylo tampak seperti kamera 360 derajat pada umumnya, dengan sepasang lensa fisheye di sisi depan dan belakangnya.

Masing-masing lensa memiliki sudut pandang seluas 208 derajat (setara lensa 7 mm pada kamera biasa) dan aperture f/2.8. Rylo sanggup merekam video 360 derajat dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, atau kalau pengguna mau, foto panorama 360 derajat dalam resolusi 6K.

Kemiripan Rylo dan GoPro Fusion terletak pada kemampuannya mengekstrak video 1080p standar dari hasil rekamannya. Fitur ini sejatinya memungkinkan pengguna untuk menentukan ke mana ia harus membidikkan kamera setelah video selesai direkam.

Rylo

Namun tentu saja yang menjadi fitur andalan Rylo adalah Cinematic Stabilization, yang pada dasarnya merupakan evolusi dari teknologi Hyperlapse, yang kini diterapkan untuk video 360 derajat dan yang bukan dalam mode time lapse. Entah Anda sedang berlari, bersepeda atau malah melompat dari atas tebing, Rylo memastikan hasil rekamannya tetap stabil dan tampak sangat mulus.

Pengoperasiannya juga terkesan sangat mudah, sebab Rylo hanya mengandalkan satu tombol saja untuk menyala-matikan perangkat, serta memulai dan menyetop perekaman. Selesai merekam, pengguna dapat menyambungkannya ke ponsel Android atau iPhone via kabel, lalu mengedit atau membagikan hasilnya langsung dari aplikasi pendampingnya.

Rylo

Fisik Rylo tergolong ringkas, dengan wujud menyerupai kapsul dan dimensi 72,5 x 37 x 42,7 mm. Bobotnya hanya berkisar 108 gram berkat penggunaan material serba aluminium. Ia dibekali layar OLED kecil di salah satu sisinya, sedangkan penyimpanannya mengandalkan kartu microSD dengan dukungan kapasitas maksimum 256 GB. Baterainya dapat bertahan selama 60 menit perekaman dalam satu kali charge.

Rylo saat ini sudah bisa dibeli seharga $500, tapi sayang baru untuk pasar Amerika Serikat saja. Silakan tonton video di bawah untuk mendapatkan gambaran seajaib apa fitur Cinematic Stabilization yang ditawarkannya.

Sumber: PetaPixel.