Logitech Luncurkan G303 Shroud Edition, Digarap Langsung Bersama Sang Streamer

Logitech punya mouse gaming wireless baru, yakni G303 Shroud Edition. Sesuai namanya, mouse ini merupakan hasil kolaborasi langsung Logitech bersama salah satu streamer terpopuler sejagat, Michael “shroud” Grzesiek.

Ini bukan pertama kalinya Logitech bekerja sama dengan sang streamer yang juga mantan pro player CS:GO tersebut. Namun kolaborasinya kali ini lebih spesial karena G303 (yang pertama dirilis di tahun 2015 dan sudah di-discontinue sejak lama) merupakan salah satu mouse favorit shroud yang digunakannya selama bertahun-tahun.

Secara umum, bentuk G303 Shroud Edition tidak jauh berbeda dari G303 orisinal, akan tetapi ada beberapa bagian yang telah diubah. Yang paling kentara tentu saja adalah hilangnya kabel di bagian depan, akan tetapi kita juga bisa melihat perbedaan letak dan wujud kedua tombol sampingnya. Di dalam, posisi switch-nya pun juga ikut dipindah.

Berbeda dari versi aslinya, kita sama sekali tidak akan menemukan pencahayaan RGB di sini. Satu-satunya sumber cahaya yang kelihatan hanyalah lampu kecil di atas scroll wheel sebagai indikator baterai. Di atas kertas, ukuran G303 Shroud Edition sedikit lebih besar ketimbang versi aslinya, akan tetapi bobotnya jauh lebih ringan di angka 75 gram.

Masih seputar fisiknya, kita juga bisa melihat panel samping yang berwarna agak transparan, tidak ketinggalan pula garis-garis penanda yang menunjukkan di mana biasanya shroud meletakkan jari-jarinya. Di bagian belakang mouse, ada laci kecil untuk menyimpan dongle USB.

Dari sisi teknis, G303 Shroud Edition menggunakan sensor HERO dengan sensitivitas 100-25.000 DPI dan kecepatan tracking maksimum 400 IPS. Supaya pergerakannya kian mulus, Logitech tak lupa menyematkan mouse feet berukuran jumbo yang terbuat dari bahan PTFE murni. Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim mampu bertahan hingga 145 jam pemakaian. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Di Amerika Serikat, Logitech G303 Shroud Edition saat ini telah dipasarkan seharga $130. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya secara resmi di pasar tanah air.

Sumber: Ars Technica dan Business Wire.

Daftar Anggota Tim Shroud Terungkap, Siap Berlaga dalam Turnamen Valorant

Setelah sebelumnya Shroud dikabarkan akan membuat tim Valorant untuk berpartisipasi dalam turnamen Valorant Championship Tour yang akan datang, kini teka-teki tersebut akhirnya terjawab. Melalui Twitter salah satu pemainnya, yakni Timmy “iiTzTimmy” An, dia mengatakan dirinya siap bertarung dalam kualifikasi turnamen VCT bersama para pemain dari timnya Shroud.

Dengan begitu terkuak sudah pemain-pemain yang akan bertanding bersama mantan pemain Counter Strike: Global Offensive ini. Keempat pemain yang akan bermain bersama Shroud adalah iiTzTimmy, Relyks, Laski, serta ShawnBM. Tim ini nantinya akan menggunakan nama “what’s going on” untuk berlaga dalam turnamen Valorant kali ini.

Inilah pemain-pemain tim Shroud untuk bertanding dalam babak kualifikasi Valorant Championship Tour:

  • Michael “Shroud” Grzesiek
  • Timmy “iiTzTimmy” An
  • Skyler “Relyks” Weaver
  • Leonardo “Laski” Arroyo
  • Shawn “ShawnBM”

Melihat daftar nama-nama pemain dalam timnya Shroud ini patut ditunggu penampilannya. Nama-nama tersebut merupakan pemain-pemain lama dalam beberapa game FPS yang sudah lebih dulu ada. iiTzTimmy merupakan mantan pemain Apex Legends. Sedangkan ShawnBM adalah seorang content creator Valorant. Kemudian ketiga pemain lainnya yakni Shroud, Relyks, dan Laski merupakan mantan pemain profesional CS:GO.

Valorant Championship Tour sendiri merupakan turnamen tingkat regional yang diselenggarakan oleh Riot Games. Turnamen VCT digelar pada beberapa daerah seperti Amerika Utara, Asia Tenggara, Eropa, Amerika Latin, dll. Turnamen ini merupakan babak kualifikasi untuk menentukan peserta dari turnamen VCT 2021: Stage 3 Masters – Berlin yang akan berlangsung pada September 2021 mendatang di Jerman.

Nantinya Shroud dan kawan-kawan akan berjuang dari babak kualifikasi terbuka lebih dahulu. Perjalanan mereka akan dimulai dari tanggal 22 Juli 2021 ini. Pada babak kualifikasi terbuka akan dipilih 4 tim Valorant terbaik untuk melaju ke babak challenger 2. Pada babak challenger 2, 8 tim akan bertanding untuk memperebutkan 4 slot tersisa menuju challenger playoff. Turnamen Challengers Playoffs inilah nantinya yang mempertemukan 8 tim Valorant terbaik di Amerika Utara dan akan memperebutkan 3 slot menuju VCT 2021: Stage 3 Masters – Berlin.

Panjangnya jalan yang nantinya akan ditempuh oleh Shroud ini menimbulkan banyak spekulasi. Apakah nantinya Shroud dan kawan-kawan ini akan benar-benar tampil all-out dan berusaha memenangkan turnamen yang ada. Ataukah mereka hanya bermain for-fun saja dan tidak terlalu mempedulikan hasil yang nantinya mereka raih. Namun, patut diingat juga bahwa tim Amerika Serikat terbaik saat ini, yakni tim Sentinels, berisikan mantan pemain profesional CS:GO sama seperti timnya Shroud.

Shroud Akan Buat Tim untuk VALORANT Champions Tour

Mantan pemain profesional CS:GO yang saat ini aktif menjadi streamer yaitu Shroud, dilaporkan akan mengikuti turnamen VALORANT. Hal ini dikonfirmasi dari streaming Twitchnya bahwa dia sedang merekrut beberapa pemain untuk mengikuti turnamen VALORANT Champions Tour.

Shroud bukanlah orang baru dalam permainan bergenre First Person Shooter. Pria bernama lengkap Michael Grzesiek tersebut merupakan legenda Counter-Strike: Global Offensive. Shroud sudah aktif dalam kancah profesional CS:GO sejak tahun 2013 silam.

Shroud dahulunya merupakan pilar tim Cloud 9 dan kunci kesuksesan tim tersebut dalam beberapa turnamen internasional yang pernah diikuti. Beberapa turnamen bergengsi yang pernah dimenangkan oleh Shroud bersama Cloud 9 antara lain juara iBUYPOWER Cup 2015, ESL Pro League Season 4 2016, serta Americas Minor Championship — Kraków 2017.

Beberapa nama diisukan akan bergabung bersama tim yang dibuat oleh Shroud ini. Mereka adalah Sean, n0thing, Dicey, serta ShawnBM. Keempat nama tersebut juga merupakan mantan pemain profesional CS:GO.

Rumor yang beredar nantinya mereka akan memakai nama tim sebagai Old Guys Club. Tim yang terakhir mereka gunakan saat bermain turnamen profesional CS:GO pada akhir 2018 lalu. Sementara itu turnamen terakhir yang pernah mereka ikuti adalah turnamen ESEA Amerika Utara pada bulan April 2019 kemarin.

Kesuksesan tim Sentinels dalam menjuarai turnamen VALORANT Champions Tour 2021: Stage 2 Masters – Reykjavík kemarin membuat mantan pemain profesional CS:GO tidak boleh dianggap remeh. Tim Old Guys Club bisa menjadi ancaman baru bagi tim-tim profesional VALORANT di Amerika Utara nantinya.

Meskipun begitu, masih belum diketahui apakah nantinya Shroud dan kawan-kawan benar-benar serius dalam berkarir di kancah profesional VALORANT. Ataukah mereka hanya bermain-main saja dan mengacau dalam turnamen yang diikuti. Turnamen terdekat yang mungkin mereka ikuti nantinya adalah VALORANT Champions Tour 2021: North America Qualifier yang akan berlangsung Juli 2021 ini.

Shroud Sebut Valorant Sebagai Game yang Luar Biasa

Valorant, game FPS besutan pengembang League of Legends, Riot Games, akan segera hadir dalam waktu dekat. Terlihat sejak Maret 2020 kemarin, Riot Games sudah merilis beberapa hal seperti spesifikasi hardware yang dibutuhkan, gameplay, bahkan sampai menjelaskan bentuk-bentuk karakter yang akan tampil di dalam game tersebut.

Dirilis oleh pengembang terpercaya, membuat game ini jadi sangat diantisipas, membuat organisasi esports sekelas T1 segera merekrut mantan pemain CS:GO untuk jadi pemain Valorant saat game ini masih belum rilis.

Lama dinanti, FPS bertemakan Hero Shooter ini sendiri sebenarnya sudah dapat dimainkan, namun terbatas hanya untuk orang-orang tertentu saja. Michael Grzesiek (Shroud) selebriti gamers yang terkenal sangat jago bermain FPS, menjadi salah satu pemain yang mendapat kesempatan mencoba Valorant dalam sesi Alpha Playtest yang dilakukan akhir pekan lalu.

Setelah mencobanya, Shroud membagikan pendapatnya terkait Valorant, dalam sesi streaming yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Menurutnya Valorant sangatlah bagus, sampai-sampai ia merasa bahwa game FPS lainnya tidak lebih baik daripada game tersebut.

“Gue sendiri sebenarnya sudah merasa cukup bosan belakangan, dan bingung mau main game apa. Tapi setelah main Valorant, gue malah jadi tambah bosan.” Ucap Shroud dalam cuplikan streaming tersebut. “Alasannya adalah karena gue sekarang di sini merasa baru saja memainkan game yang luar biasa bagus, tapi harus menerima kenyataan untuk balik lagi memainkan game lain yang tidak sebaik Valorant.”

Bagi Anda yang mungkin belum kenal, Shroud adalah bintang esports CS:GO, yang beralih profesi menjadi seorang streamer. Terkenal lewat Twitch pada awalnya, ia pindah ke Mixer pada Oktober 2019 lalu. Sejak lama, Shroud menjadi satu sosok yang sangat vokal di komunitas, karena kebiasaannya menyatakan pendapat secara terbuka. Ketika streaming, ia kerap kali menyatakan opininya akan sesuatu hal, seperti alasan kenapa Battle Royale tidak akan sukses sebagai esports, dan soal komunitas Mixer yang dia anggap lebih baik daripada Twitch.

Lebih lanjut, Shroud lalu mengatakan “Valorant benar-benar luar biasa. Valorant adalah game terbaik yang pernah gue mainkan sedari lama pengalaman gue. Di luar sana memang banyak game-game yang sangat keren menurut preferensi dan opini gue pribadi, Valorant terlihat menjanjikan untuk menjadi game keren tersebut.”

Mengutip akun Twitter resmi @PlayValorant, fase Closed Beta FPS besutan Riot Games ini sudah akan dibuka tanggal 7 April 2020 mendatang. Namun demikian, fase tersebut masih terbatas untuk regional Eropa (termasuk CIS) dan Amerika Serikat (termasuk Kanada) terlebih dahulu.

Mengutip dari pengumuman resmi, pemain di luar dua regional tersebut kemungkinan tidak akan mendapat kesempatan mencicipi lewat fase closed beta, karena situasi pandemi COVID-19. Namun, Valorant akan tetap diusahakan untuk rilis secara global pada musim panas 2020 (sekitar Juni – September), jika keadaan memungkinkan.

Pendapatan Tahunan Ninja dan Shroud Kini Lebih Besar dari Pemain Bola

Industri gaming di luar negeri sana kini membengkak menjadi segitu besarnya. Tahun 2019 ini saja, Newzoo memprediksi nilainya akan mencapai US$152,1 miliar. Jumlah ini bahkan mengalahkan valuasi gabungan industri film, musik, liga American Football NFL, liga basket NBA, liga baseball MLB, dan liga hoki es NHL.

Melihat ini, maka tak heran jika superstar di dunia gaming juga bisa punya pendapatan melebihi dari superstar di bidang industri hiburan lainnya. Baru-baru ini salah satu media asal Inggris Raya, The Sun, melaporkan bahwa pendapatan tahunan Ninja dan Shroud, duo superstar streamer, sudah melebihi pendapatan pemain bola ternama, Harry Kane dari Tottenham Hotspurs dan Virgil van Dijk dari Liverpool.

Sumber: The Sun
Pendapatan tahunan Ninja dan Shroud mencapai 10,3 juta Poundsterling atau sekitar US$13,3 juta. Sumber: The Sun

Laporan ini dibuat berdasarkan laporan dari Bloomberg yang mengatakan bahwa Ninja mendapatkan US$40 juta (Rp559 miliar) untuk kontrak selama tiga sampai lima tahun. Ini artinya pendapatan Ninja sekitar US$13,3 juta (Rp185 miliar) setiap tahunnya. Jumlah tersebut terpaut cukup tipis jika dibandingkan dengan kontrak milik Harry Kane yang sejumlah US$13,2 juta per tahun (Rp184 miliar), dan beda cukup besar dibanding van Dijk yang menerima US$12,2 juta (Rp170 miliar) per tahun.

Pendapatan streamer sebagai seorang entertainer di kalangan gamers memang terbilang cukup besar. Sebelumnya, Hybrid juga sudah sempat melaporkan, bahwa Ninja bisa menerima Rp700 juta per jam, hanya untuk mempromosikan dengan memainkan sebuah game di dalam streaming yang ia lakukan.

Laporan itu tersebut muncul setelah Ninja dan Shroud ramai-ramai memainkan Apex Legends sebagai bagian dari usaha Electronic Arts untuk mempromosikan game Battle Royale bertempo cepat besutannya.Tak hanya di luar negeri sana, streamer di Indonesia juga terbilang cukup makmur dengan pendapatan yang cenderung lebih besar dibanding rata-rata gaji pekerja di ekosistem esports. Dalam perbincangan saya dengan salah seorang streamer, ia mengatakan bahwa dirinya menerima pendaptan bersih sekitar Rp14 juta setiap bulannya.

Ninja
Sumber: Ninja

Namun itu tidak didapatkan lewat mitos yang selama ini ramai tersebar di kalangan awam, yaitu main game lalu dapat uang. Sang streamer harus konsisten terlihat ceria dan menghibur penontonnya selama kurang lebih 3 jam setiap harinya. Belum lagi selalu ada evaluasi untuk setiap streaming yang ia lakukan, dengan kemungkinan bayarannya menurun jika angka engagement atau viewership yang dia dapatkan menurun.

Terlepas dari semua hingar bingar soal uang yang didapatkan seorang streamer, nyatanya tetap butuh usaha yang keras untuk dapat mencapai hal tersebut, bahkan untuk seorang Ninja. Ia sendiri sudah malang melintang di dunia gaming sejak dari 2009 lalu. Mengawali karirnya sebagai seorang pemain profesional Halo 3, ia lalu mulai menjajaki karir sebagai streamer di 2011, dan baru mulai populer awal 2018 saat Fortnite baru rilis.

Jadi anggapan awam “main game lalu dapat uang” sebenarnya tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Karena di baliknya ada sebuah proses yang tidak bisa didapatkan secara instan, dan butuh berbagai macam pengorbanan untuk mencapainya.

Sumber header: The Verge

Shroud: Mixer Punya Komunitas yang Lebih Baik dari Twitch

Esports telah menjadi industri dengan nilai lebih dari US$1 miliar. Semakin banyak perusahaan endemik dan non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports sebagai sponsor. Jumlah investor di bidang esports juga terus bertambah, yang dianggap sebagai salah satu tanda bahwa industri ini telah menjadi semakin matang. Satu hal yang menarik banyak perusahaan untuk menjadi sponsor adalah penonton esports yang relatif muda.

Inilah mengapa beberapa organisasi esports besar tidak hanya fokus pada memenangkan turnamen, tapi juga dalam membuat konten untuk ditayangkan di platform live streaming dan media sosial. Salah satunya adalah EVOS Esports yang belum lama ini mendapatkan kucuran dana sebesar US$4,4 juta (sekitar Rp61 miliar) yang ditujukan untuk mengembangkan divisi influencer mereka. Tentu saja, tak semua influencer menjadi bagian dari organisasi esports. Contohnya Michael “Shroud” Grzesiek, yang sempat menjadi pemain profesional di bawah Cloud9 sebelum memutuskan untuk pensiun dan menjadi streamer.

Sama seperti kebanyakan streamer, Shroud memulai karirnya di Twitch. Namun, pada akhir Oktober 2019, Shroud mengumumkan keputusannya untuk pindah ke Mixer, platform live streaming milik Microsoft. Saat ini, dari segi viewership, Twitch masih mendominasi. Karena itu, tidak heran jika setelah pindah ke Mixer, jumlah view yang didapatkan oleh Shroud menurun drastis. Meskipun begitu, ketika ditanya oleh penontonnya dalam sesi streaming, Shroud mengaku tidak menyesali keputusannya untuk pindah ke Mixer. Menurutnya, komunitas Mixer lebih baik daripada penonton di Twitch.

“Saya suka komunitas di sini,” kata Shroud, dikutip dari Dexerto. “Orang-orang di sini adalah komunitas utama saya. Seseorang tidak akan menonton konten saya di Mixer jika mereka adalah orang kurang ajar. Orang-orang itu tetap di Twitch, melakukan apa yang mereka senang lakukan, tapi orang-orang yang baik dan suportif mengikuti saya ke Mixer. Saya senang saya bisa tahu siapa fans saya yang setia.” Dia lalu melanjutkan, “Tentu saja, ada orang-orang yang tidak menonton konten saya di Mixer karena mereka memang tidak mau, walau mereka tetap bisa menikmati konten saya, dan mereka mungkin sesekali tetap menonton streaming saya. Pada dasarnya, apa yang saya ingin bilang adalah komunitas di sini lebih baik.”

Shroud bukanlah satu-satunya streamer yang memutuskan untuk pindah dari Twitch. Pada Agustus, Tyler “Ninja” Blevins juga mengumumkan kepindahannya ke Mixer. Selain itu, Soleil “EwOk” Wheeler dari FaZe Clan juga melakukan hal yang sama. Sementara Jack “CouRage” Dunlop memutuskan untuk pindah ke YouTube Gaming setelah mendapatkan kontrak eksklusif.

Sumber header: Twitter

Michael “Shroud” Grzesiek Pindah ke Mixer

Salah satu satu streamer terpopuler di Twitch, Michael “Shroud” Grzesiek mengumumkan bahwa akan menyiarkan konten secara eksklusif di platform streaming buatan Microsoft, Mixer. Nama Grzesiek mulai dikenal ketika dia menjadi streamer Counter-Strike sebelum dia direkrut oleh Cloud9 sebagai pemain profesional. Tahun lalu, saat dia masih berumur 23 tahun, Grzesiek mengundurkan diri dari scene esports profesional. Sejak saat itu, dia mendedikasikan waktunya sebagai streamer.

Grzesiek pindah ke Mixer hanya beberapa bulan setelah Tyler “Ninja” Blevins, salah satu streamer paling populer Twitch lain, memutuskan untuk menyiarkan konten secara eksklusif di platform buatan Microsoft tersebut. Keputusan Grzesiek ini mungkin mengejutkan sebagian orang. Terutama karena ketika Blevins mengumumkan kepindahannya ke Mixer, Grzesiek mengatakan bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk menambah fans-nya di Twitch. Grzesiek mengumumkan keputusannya untuk pindah ke Mixer melalui Twitter. “Shroud yang sama. Tempat baru,” tulisnya dalam sebuah kicauan.

Dengan follower lebih dari tujuh juta orang, Grzesiek adalah salah satu streamer paling populer di Twitch. Fans suka padanya karena dia memiliki skill yang hebat dan sikapnya yang santai. Keputusannya untuk pindah ke Mixer berarti dia harus kembali membangun fanbase-nya dari nol. Saat artikel ini ditulis, ada 290 ribu orang yang mengikuti channel Mixer Shroud. Angka itu jauh lebih sedikit dari channel Shroud di Twitch. Namun, ini tidak aneh, mengingat jumlah penonton Mixer memang masih jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Twitch.

Hal yang sama juga terjadi pada Blevins ketika dia memutuskan untuk pindah ke Mixer. Sejak dia menggunakan Mixer, rata-rata penonton Blevins turun dari 37 ribu per sesi menjadi 14 ribu per sesi. Dikabarkan, alasan Blevins rela pindah ke Mixer yang penontonnya lebih sedikit adalah karena Microsoft berani menawarkan kontrak yang menarik. Dugaan lainnya adalah karena Blevins khawatir akan mengalami burnout. Manager dan istri Ninja, Jessica Blevins, mengatakan, uang bukan alasan mereka untuk pindah dari Twitch. Mereka memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Mixer karena mereka merasa, jika mereka tetap ada di Twitch, mereka tak bisa mengembangkan merek “Ninja”, menurut laporan Business Insider.

Keputusan Blevins untuk pindah ke Mixer mengejutkan banyak orang. Jelas, ini merupakan usaha Microsoft untuk mengejar ketertinggalannya dari Twitch. Menurut data terbaru dari Streamlabs dan Newzoo, kehadian Blevins di Mixer membuat semakin banyak kreator konten tertarik untuk membuat channel di Mixer. Per Q3 2019, jumlah channel di Mixer naik 188 persen. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan pertumbuhan jumlah penonton. Menurut laporan StreamElements, kepindahan Blevins ke Mixer tidak memberikan banyak pengaruh pada total durasi video ditonton. Pada Juli dan September, Twitch masih menguasai 75,6 persen total durasi video ditonton. Sebagai perbandingan, Mixer hanya memberikan kontribusi sebesar 3,2 persen. Tentu saja, satu streamer populer di Mixer tidak akan membuat platfrom itu dapat mengalahkan Twitch.

“Dari Twitch, kita tahu bahwa mengembangkan platform streaming yang sukses adalah proses yang panjang. Jadi, kita sebaiknya tidak menilai apakah keputusan Mixer untuk bekerja sama secara eksklusif dengan sejumlah streamer ternama merupakan keputusan strategis atau tidak berdasarkan jumlah durasi video ditonton,” kata CEO StreamElements, dikutip dari Forbes. “Mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum dampaknya terlihat.” Meskipun saat ini popularitas Mixer masih kalah jauh dari Twitch, tapi Microsoft melengkapi platform streaming mereka dengan berbagai fitur menarik, seperti protokol Faster Than Light dan MixPlay.

Sumber: Kotaku, Polygon, The Verge

Apex Legends Akhirnya Dapatkan Mode Solo, Namun dalam Periode Terbatas

Apex Legends memang bukan battle royale pertama yang meraih popularitas di kalangan gamer, tapi game ini punya keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dari para pesaingnya. Fokus yang besar pada kerja sama, fitur ping untuk komunikasi (yang akhirnya ditiru oleh battle royale lain), serta mode yang mengharuskan pemain untuk membentuk tim beranggota tiga orang (Trio) adalah beberapa aspek unik tersebut.

Akan tetapi tampaknya sebuah battle royale tak lengkap jika tak menyediakan mode survival sendirian alias Solo. Sejak pertama kali Apex Legends dirilis, mode ini selalu jadi fitur yang banyak diminta oleh penggemar lewat jalur-jalur forum atau media sosial. Sebagian orang berpendapat bahwa Apex Legends tidak butuh mode Solo sebab keseluruhan gameplay di dalamnya didesain untuk keseimbangan mode Trio. Tapi bila Fortnite bisa menyajikan mode Solo, Duo, dan Trio sekaligus, mengapa Apex Legends tidak?

Apex Legends - Wattson
Sumber: EA

Untungnya Respawn Entertainmens selalu mendengarkan feedback dari komunitas dan terbuka terhadap masukan. Mereka baru saja mengumumkan bahwa Apex Legends akan mendapat mode Solo, namun terbatas dalam event bernama Iron Crown Collection Event. Event ini digelar pada tanggal 13 – 27 Agustus 2019.

Respawn belum memberikan banyak detail mengenai event ini. Mereka hanya berkata bahwa dalam event ini, “hanya satu orang yang dapat berkuasa”, menunjukkan keberadaan mode Solo tersebut. Mereka juga merilis video singkat yang memamerkan beberapa skin Legend (karakter) yang muncul dalam event ini.

Tiga Legend, yaitu Mirage, Bloodhound, dan Lifeline, tampak memiliki penampilan yang berubah cukup drastis dengan kostum bertema warna emas dan merah. Sementara Bangalore mendapatkan skin yang masih berbentuk seperti penampilan default, namun dengan warna perak metalik. Secara keseluruhan, event Iron Crown Collection ini memiliki tema layaknya peperangan medieval, dengan bentuk-bentuk skin yang menyerupai zirah kesatria zaman dulu.

Menariknya, streamer Apex Legends populer Michael “shroud” Grzesiek justru berpendapat bahwa mode Solo ini tidak akan populer. Dalam siaran streaming di tanggal 7 Agustus, shroud berkata bahwa meskipun mode Solo banyak diminta, praktiknya tidak akan bagus karena sejak awal Apex Legends didesain untuk dimainkan dalam tim tiga orang. Berbagai Ability juga sengaja didesain untuk kerja tim, seperti Passive Ability milik Lifeline yang memberikannya shield dan kemampuan revive lebih cepat. Ability seperti ini tidak akan berguna di mode Solo.

Bila Respawn ingin Apex Legends punya balance yang bagus di mode Solo, mereka harus melakukan perombakan besar. “Menurut saya (mode Solo) akan muncul dalam waktu terbatas, selama dua minggu, orang-orang akan mencobanya, lalu mereka akan membencinya,” kata shroud, “Kemudian (Respawn) akan menariknya dan mungkin tidak akan melakukannya lagi.”

Pendapat shroud cukup masuk akal, meskipun apabila mode Solo ternyata sangat populer tidak menutup kemungkinan Respawn akan menjadikannya permanen. Lagi pula para pemain tentu lebih senang bila mereka bisa memilih untuk bermain sesuai kondisi yang diinginkan. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk penggemar yang ingin mode Solo, atau lebih senang bermain dalam komposisi Trio?

Sumber: Apex Legends, Dexerto, Dot Esports

WSJ: Streamer Terkemuka Dibayar Rp700 Juta Per Jam untuk Promosi Game

Influencer di dunia marketing telah menjadi kekuatan yang diakui, serta terbukti dapat menghasilkan tingkat konversi yang tinggi. Hal ini juga berlaku dalam industri video game. Sudah bukan rahasia bahwa banyak penerbit ternama yang gemar membayar influencer terkenal untuk memainkan game baru mereka lewat platform streaming Twitch, contohnya EA ketika merilis Apex Legends beberapa waktu lalu. Di zaman sekarang, popularitas suatu game di Twitch bahkan dapat menjadi indikator kuat akan kesuksesannya di pasaran.

Yang jadi pertanyaan bagi kita adalah seberapa efektif kekuatan influencer itu, dan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menggunakan influencer marketing? Wall Street Journal (WSJ) mengungkapnya dalam artikel yang diterbitkan pada tanggal 18 Mei 2019 kemarin. Menurut laporan WSJ tersebut, streamer terkenal di Twitch bisa mendapatkan kontrak untuk memainkan game dengan nilai hingga US$50.000 per jam, atau sekitar Rp724,1 juta per jamnya. Luar biasa!

WSJ menyebutkan bahwa beberapa penerbit yang sudah sering menggunakan jasa influencer ternama antara lain Activision Blizzard, Take-Two, Ubisoft, serta tentu saja Electronic Arts. Menariknya, angka US$50.000 itu bukan angka terbesar di dunia streaming. Menurut sumber-sumber yang dikontak oleh Kotaku, tawaran streaming itu bisa mencapai US$60.000, bahkan lebih. Untuk kontrak jangka panjang, nilainya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan dolar.

Ninja (Tyler Blevins) adalah salah satu streamer yang dikabarkan pernah menerima kontrak tujuh digit tersebut. Menurut laporan Reuters, Ninja menerima bayaran sebesar US$1.000.000 dari EA untuk mempromosikan Apex Legends di Twitch dan Twitter. EA juga mengontrak beberapa streamer lain, contohnya Shroud (Michael Grzesiek). Strategi ini terbilang sukses, karena Apex Legends sempat menjadi game paling populer di Twitch untuk waktu yang cukup lama. Nilai saham EA pun meningkat hingga sekitar 10% karenanya.

Game Anda menduduki peringkat atas di Twitch sekarang punya nilai yang besar,” kata Adam Lieb, CEO perusahaan marketing Gamesight, dilansir dari Kotaku. Menurutnya, dengan biaya yang sama, pemasangan iklan di Twitch atau IGN tidak akan menghasilkan dampak yang sama besarnya. Akan tetapi penentuan nilai kontrak streamer ini cukup rumit karena tidak semua streamer dapat memberi hasil yang sama.

Sebagai contoh, ketika audiens seorang streamer sudah sangat besar, bisa jadi banyak dari audiens itu terdiri dari pemirsa muda. Artinya kemungkinan mereka berinteraksi dengan konten game yang disiarkan lebih kecil. Kita tidak bisa mematok perhitungan harga sederhana, misalnya US$1 untuk 1 viewer per 1 jam.

Efektivitas influencer salah satunya datang dari kedekatan personal antara influencer dengan audiens mereka. Ketika audiens modern melihat iklan konvensional, mereka cenderung kurang percaya karena mereka tahu iklan sudah dirancang oleh perusahaan untuk menunjukkan keunggulan produk. Tapi ketika melihat influencer, mereka menemukan sosok yang lebih terpercaya, apa adanya, dan dapat menjadi rujukan rekomendasi yang lebih baik. Influencer yang terikat kontrak pasti memiliki aturan-aturan tertentu (misalnya tidak boleh berkata kasar ketika streaming), tapi mereka masih dipandang sebagai sosok yang jujur ketimbang iklan konvensional.

Dengan semakin membesarnya pasar industri streaming, para selebritas internet telah menjadi sarana pemasaran yang efektif dan relatif murah. Nanti mungkin akan tiba waktunya di mana kita tak lagi bisa membedakan mana konten video yang jujur dan mana yang sebenarnya iklan. Tugas para streamer dan influencer adalah menjaga integritas mereka agar mereka tetap objektif terhadap produk yang mereka iklankan, dan tidak berubah menjadi perpanjangan mulut korporasi saja.

Sumber: Kotaku, Wall Street Journal

Opini Shroud tentang Mengapa Battle Royale Tidak Akan Sukses Sebagai Esports

Battle royale dalam beberapa tahun terakhir sudah menjadi genre besar di dunia esports. Apalagi dua raksasa battle royale dunia yaitu PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) dan Fortnite Battle Royale sama-sama menunjukkan dukungan maksimal terhadap ekosistem esports mereka. Termasuk mengadakan kompetisi-kompetisi besar kelas dunia, seperti PUBG Mobile Star Challenge dan Fortnite World Cup yang kini sedang berjalan.

Akan tetapi di balik gegap gempitanya turnamen-turnamen tersebut dan jutaan dolar hadiah yang menyertainya, battle royale sudah lama memunculkan kekhawatiran. Banyak pihak—baik atlet, kreator konten, atau tim—merasa bahwa battle royale tidak nyaman untuk dimainkan secara kompetitif, bahkan mungkin tidak akan bertahan lama.

Screenshot dari PlayerUnknown's Battleground

Salah satu figur publik yang baru-baru ini angkat suara tentang hal ini adalah shroud (Michael Grzesiek), mantan atlet profesional Counter-Strike: Global Offensive yang kini dihormati sebagai pemain battle royale terbaik di jagat Twitch. Dilansir dari Dot Esports, shroud sempat berkata di tayangan live stream miliknya bahwa battle royale memang menyenangkan untuk dimainkan secara kasual, tapi sebagai esports tidak akan sukses karena terlalu mengandalkan keberuntungan.

“Anda tidak mungkin menghilangkan RNG (random number generator) di awal game, tentang siapa yang mendapat loot apa. Hal itu akan tetap ada, itulah yang membuat (battle royale) menarik. Tapi seiring waktu berjalan, yang membuatnya jadi kurang menarik adalah di mid-game. Karena di mid-game semua orang bersembunyi, lalu late game jadi kacau-balau karena semua orang tadi bersembunyi saat mid-game,” papar shroud.

Alur permainan seperti ini, kata shroud, pada akhirnya menghasilkan kejadian di mana “ada 40 orang yang bertarung di akhir”. Dengan pertempuran sedemikian rusuh di circle (area pertempuran) yang sangat kecil, peran keahlian bermain jadi berkurang dan kemenangan lebih ditentukan oleh siapa yang lebih beruntung saja. Menurut shroud seharusnya tidak seperti itu. Bila ada unsur keberuntungan di awal game itu tidak apa-apa, namun jangan sampai keberuntungan menentukan hasil seluruh pertandingan. “Pasti ada jalan keluarnya,” kata shroud kemudian.

Sistem battle royale dalam dunia esports memang sedikit kurang seimbang, karena penggunaan sistem poin yang ditentukan oleh peringkat akhir tiap rondenya. Meski ada poin bonus dari hasil kill, pada akhirnya hasil terbaik ditentukan oleh siapa yang paling lama bertahan hidup. Karena itu menghindari pertempuran merupakan taktik valid, namun akan membuat pertandingan jadi tidak menarik ditonton.

Turnamen Twitch Rivals Apex Legends beberapa waktu lalu sedikit mengubah hal itu dengan cara memberikan poin lebih sedikit pada tim yang menang. Hanya tim peringkat 1 yang mendapat poin, yaitu senilai 5 poin saja, sementara setiap kill akan memberikan 1 poin. Jadi tim yang tereliminasi di tengah ronde sangat mungkin memperoleh hasil lebih tinggi daripada tim yang berhasil “Chicken Dinner”.

Apex Legends sendiri memang merupakan game dengan irama permainan cepat, dan memiliki arena lebih kecil dari battle royale pada umumnya. Jadi membuat pertandingan heboh yang penuh aksi di Apex Legends cenderung lebih mudah. Developer battle royale lain perlu memutar otak untuk menciptakan keseruan yang sama, agar esports battle royale jadi lebih seru untuk ditonton dari awal hingga akhir.

Sumber: Dot Esports